3. 3
Untukmu, Biyung Gami, aku ucapkan terima
kasih yang entah bagaimana aku harus
mengucapkannya. Jika buku ini bermanfaat,
biar pahalanya mengalir untukmu di surga sana.
Semoga kau bahagia…..
Anakmu,
4. 4
MOZAIK KISAH
Dosa Masa Silam
Aulia
Kiai Sudrun Berontak
Panggilan Mahameru
Suluk Adolesen
Cuplikan Senja
Samudera Cinta
Di Bawah Bendera
Purnama Cakra
Kutukan Ibu Pada Bima
Bening Senja
5. 5
Dosa Masa Silam
“IBU ADALAH ORANG YANG MENYUSUIMU
BUKAN ORANG YANG MELAHIRKANMU.”
Aku anak haram!
Setelah 25 tahun aku hidup di dunia, aku baru
menyadari siapa diriku. Aku lahir dari rahim bukan
rahim cinta. Mungkin dari benih nafsu yang
memburu, mungkin dari cinta yang tak tulus.
6. 6
Perselingkuhan. Perzinaan. Begitu aku
menyimpulkan, ‗Aku anak haram!‘
Cerita tadi malam, yang disampaikan dari mulut
perempuan, bergemuruh seperti petir, menyambar
seperti halilintar, ketika ia mengatakan, ―Kau bukan
anakku. Kau adalah anak Bu Darsini.‖ begitu ia
mulai menceritakan semuanya.
Bu Darsini adalah istri kiai Soleh. Suaminya dibunuh
Kasmani, seorang militan PKI waktu itu. Dulu, di
awal kemerdekaan negeri ini, PKI ingin memimpin
negara. Mereka melakukan pemberontakan
terhadadap pemerintahan yang sah. Meskipun semua
sepakat mengusir penjajah dari bumi pertiwi, tapi
siapa yang memimpin itu yang jadi masalah. PKI
memberontak pada tahun 1948 dengan membunuh
tokoh-tokoh agama. Sebab, dalam ideologi komunis,
agama itu penyakit, agama adalah candu bagi
masyarakat, yang harus dimusnahkan.
7. 7
Beberapa waktu setelah kiai Soleh terbunuh, Bu
Darsini hamil anak dari Kasmani. ―Padahal Kang
Kasmani waktu itu masih sah menjadi suamiku.‖ kata
perempuan itu, namanya Khodijah, yang sekarang
berat rasanya aku memanggilnya ‗ibu‘. ―Sejak awal
aku sudah tahu, kalau kang Kasmani cinta sama
Darsini,‖ ia melanjutkan ceritanya. ―Tapi keluarga
Darsini lebih memilih kiai Soleh karena ia lebih
mengerti agama. Sedangkan Kasmani hanya orang
awam, orang biasa.‖
Tahun 1965, prahara PKI kembali mencuat. Negara
melakukan pemberantasan orang-orang PKI. Mereka
dibunuh, termasuk Kasmani. Tak luput istri barunya,
Darsini. Padahal, sebenarnya, Darsini sama sekali tak
mengerti tentang komunisme.
―Mulai saat itu, sejak kau ditinggal pergi kedua orang
tuamu, aku yang merawatmu. Waktu itu, kau baru
berusia satu tahun.‖ katanya sambil mengerutkan
dahi, mencoba mengingat-ingat masa lalu yang
hampir terlupakan. Kenangan 47 tahun silam.
8. 8
Selesai ia menceritakan semuanya, aku hanya bisa
diam. Mulutku serasa terbungkam oleh luapan api
dari dalam dada. Berdenyut dan perih tiada kira. Aku
ingin marah, tapi tak tahu harus marah kepada siapa.
―Aku tahu, kau pasti marah padaku. Memang
salahku.‖ ia melanjutkan ocehannya. Aku masih saja
terdiam. Tubuhku rasanya ingin berdebum meledak.
Aku tak tahu siapa yang harus kusalahkan. Rasa
kecewa menyulutkan api dalam kepala.
―Sekarang terserah kau. Meskipun kau tak
menganggapku ibumu, tapi aku…‖ belum juga ia
selesaikan omongannya itu, aku sudah tak tahan
menahan api dalam diriku.
Aku lari meninggalkan rumah. Hujan lebat
mengiringi langkah kakiku. Guyuran hujan malam itu
menggigilkan tubuh, tapi tak mampu mendinginkan
panasnya hatiku. Bersamaan dengan decak tapak kaki
menginjak genangan air dan dalam suara gemericik
hujan yang rinai, samar-samar aku mendengar
9. 9
panggilan perempuan yang dua puluh empat tahun
lamanya telah merawatku itu, ia memanggilku.
―Reno…..Reno…..Reno….‖ aku mempercepat
langkahku.
***
Setiap hari, berita di TV, surat kabar, dan media
massa lainnya, ramai membahas tentang pelanggaran
HAM yang dilakukan oleh negara saat pembantaian
PKI ‘65 masa silam. Luka lama bangsa ini,
sepertinya akan dikorek kembali.
Pemerintah didesak untuk meminta maaf kepada
keluarga korban pembantaian PKI ‘65. Dalam hal ini,
ada dua pandangan yang berbeda. Pandangan
pertama, pemerintah tak perlu meminta maaf kepada
keluarga korban dengan alasan PKI bukanlah korban,
tapi mereka yang memulai pemberontakan dan
kekejaman. Toh, Gus Dur, saat menjabat sebagai
presiden sudah pernah meminta maaf.
10. 10
Pandangan kedua, seharusnya pemerintah minta maaf
kepada keluarga korban ‘65 atas apa yang dilakukan
negara waktu silam, yaitu membasmi dan membunuh
anggota PKI dengan sadis. Pemerintah pusat
seharusnya berani minta maaf secara jantan seperti
yang telah dilakukan oleh gubernur salah satu
wilayah di Indonesia, dengan memberi pendidikan
gratis dan bantuan lainnya kepada keluarga korban
sebagai ungkapan maaf.
Bersama jalannya waktu, usaha rekonsiliasi lambat
laun malah membelok dan semakin memburuk.
Bukan kata saling maaf yang didapat, tapi
perpecahan. Muncul kelompok yang pro-pemerintah
dan pro-keluarga PKI. Kedua kelompok berseteru.
Jika malam datang, suasana mencekam. Banyak
teror, tawuran, penculikan. Suasana tragedi ‘65
tampaknya akan terulang.
Dan benar! Akhirnya, pemerintah mengambil
tindakan tegas untuk mengatasi masalah yang sedang
11. 11
melanda. Semua keluarga PKI kembali ditangkap.
Aku tak tahu keturunan PKI yang bagaimana yang
diciduk. Tersiar kabar bahwa sudah banyak
penculikan yang dilakukan oleh aparatur Negara.
Apakah nantinya aku juga akan ditangkap?
Lima bulan telah lewat sejak aku meninggalkan
rumah. Aku terlibat dalam gerakan ―Mari Belajar
Melupakan‖. Gerakan ini mencoba menjadi penengah
untuk mengatasi masalah yang sedang terjadi.
Melupakan memang sulit, jauh lebih sulit dari pada
mengingat. Tapi, meskipun sulit, musti kita lakukan.
Semua bangsa, dalam perjalan sejarahnya, memiliki
tragedi pahit. Namun mereka berusaha melupakan
demi kehidupan yang lebih baik. Misal, Amerika
melupakan perbudakan, Rusia melupakan
Bolsyewiyk, Cina melupakan Revolusi Kebudayaan.
Mengapa kita malah membuat luka baru?
Jangan sampai kita diadu domba. Pertengkaran
antaranak bangsa, adalah indikasi akan adanya
12. 12
intervensi ke Indonesia melalui jalur HAM yang
sesungguhnya bertujuan imperialisme ekonomi
belaka. Konspirasi mengorek luka lama bangsa ini
harus dihentikan sebelum bangsa ini diserahkan
nasibnya ke bangsa asing. Begitu kata guruku yang
mendorongku untuk menggerakkan gerakan ini.
***
Pada suatu senja, usai berkumpul dengan teman-
teman ―Mari Belajar Melupakan‖, entah apa yang
membuatku ingin mengunjungi perempuan yang
bukan ibuku itu, setelah lima bulan aku
meninggalkannya sendirian.
Aku ingin pulang.
Di dalam bus kota yang mengantarku malam ini,
hujan kembali mengiringi. Sama seperti waktu
kepergianku dulu. Kaca jendela tertutup oleh air
hujan yang mengembun, menutup pandangan keluar.
13. 13
Di sampingku, duduk seorang ibu yang membawa
bayi di bahunya. Orok kecil itu mengenyot puting
susu ibunya dalam lelap. Sang ibu, sesekali
kepalanya mengangguk menahan kantuk di matanya.
Di barisan bangku yang berseberangan dari tempat
dudukku, di sana muda-mudi terlihat seperti sedang
saling bisik. Setelah kuperhatikan ternyata tidak
sedang saling bisik, tapi mengaitkan bibir mereka di
tengah dinginnya hujan. Edan! Aku pura-pura tidur.
Aku merasa sungkan sendiri melihatnya.
Waktu menunjuk pukul sembilan, ketika aku turun
dari bus. Aroma tanah basah mengiringi sepanjang
jalan. Ada rasa khawatir yang menggelanyut dalam
hati. Apakah perempuan yang bukan ibuku itu, walau
cuma janda dari seorang militan PKI, juga diciduk
oleh pemerintah.
Aku memasuki sebuah gang jalan tak beraspal.
Gedibal tanah lekat dengan alas sepatuku yang
semakin terasa menebal. Dari seberang jalan, aku
14. 14
melihat rumah itu gelap. Aku kira perempuan itu
sudah tidur. Aku masuk jalan yang membelah
halaman rumah. Sampai di depan pintu, dengan ragu,
kuketok pintu.
―I….i….i….buuu.‖ aku memanggilnya ragu dari
balik pintu. Tak ada jawaban.
Kuulangi lagi dan tak ada jawaban. Berkali-kali.
Lagi-lagi tak ada jawaban.
―Ibuuuu.‖ lebih kutegaskan suaraku. Masih tak ada
jawaban.
Aku ingat, jika dia sedang pergi keluar rumah, ia
meletakkan kunci di bawah pot bunga samping pintu.
―Nah, ini dia,‖ gumamku, saat menumukan kunci itu
di sana.
Aku masuk rumah kemudian kunyalakan lampu. Di
atas meja tamu, aku menemukan selembar kertas
dengan tulisan tangan. Ada yang aneh, selama aku
15. 15
bersamanya, tak pernah aku temui ia bisa menulis.
Lalu, siapa yang menuliskan surat ini?
Aku tahu kau akan pulang hari ini, Nak. Ibumu
sekarang tidak ada di rumah. Ibu mau diajak
rekreasi sama seseorang yang menjemput ibu malam
ini. Jika kau lapar, di lemari ada makanan
kesukaanmu: Dadar jagung.
Ibuk.
Setelah membaca surat itu, aku membuka lemari
makan, mencicipi dadar jagung yang dikatakan dalam
surat. Masih terasa hangat. Berarti, belum lama ia
meninggalkan rumah.
Tiba-tiba aku teringat kata REKREASI dalam
kalimat yang baru saja aku baca. Orang-orang PKI
‘65 yang akan dihabisi nyawanya, menyangka mau
diajak rekreasi. Padahal, dibawa ke suatu tempat
yang entah dimana, kemudian dibunuh.
16. 16
Lidahku kelu. Tubuhku melemas. Apakah aku
kehilangan seorang yang menyusuiku?
Air mata, tak terasa mengalir dari sudut mata.
17. 17
Aulia
―Berangkatlah ke pesantren, Nak. Sudah ada ibu yang
mengurus Bapak. Kamu, belajarlah yang rajin!‖
Sore itu juga, Aulia langsung kembali ke pesantren,
tempat ia menimba ilmu.
Langkahnya terasa berat untuk meninggalkan
bapaknya yang sedang terkulai lemas karena sakit.
Padahal bapaknya adalah penopang kebutuhan
keluarga sepenuhnya. Ibunya sudah tak lagi kerja.
18. 18
***
Di kampung Ilodan, hampir semua wanita bekerja
sebagai "penjual" tubuh. Siang hari, kampung itu
tampak sepi. Tapi ketika malam mulai merayap,
lelaki hidung belang pencari kenikmatan sesaat,
mulai berkeliaran meramaikan jalanan di setiap sudut
kampung; mencari pasangan yang hendak
dikencaninya.
Setiap tahun, menjelang bulan Ramadan, kampung
itu selalu didatangi sekelompok orang yang ingin
membubarkan semua praktik maksiat di tempat itu.
Bagi Pak Sakir, kedatangan mereka selalu
mengingatkan ketika ia belum lama tinggal di
kampung itu.
Pada suatu malam, sehari sebelum masuk bulan
Ramadan, sekelompok orang datang. Tanpa tedeng
aling-aling, mereka merusak rumah yang ada di sana.
19. 19
Tak tersisa dan tanpa kecuali. Mereka marah
membabi-buta.
Pekik dan jerit terdengar di mana-mana. Terutama
wanita-wanita dan anak kecil. Pak Sakir dan istrinya
yang sedang berbincang di ruang tamu juga tak luput
amuk mereka.
―Bubarkan tempat-tempat maksiat ini!‖ pekik
pemimpin mereka yang berseragam serba hitam.
―Hancurkan!‖ sambut yang lain sambil memecahkan
kaca rumah-rumah.
Mendengar keributan, Pak Sakir langsung keluar,
―Hentikan!‖ cegahnya, ―Tenang! Tenang! Kita…,‖
belum sempat ia menyelesaikan bicaranya, satu
pukulan telak mendarat di belakang lehernya.
Seketika pandangannya kabur. Ia tersungkur.
Seseorang datang. Langsung menghadiahi pukulan di
perutnya.
20. 20
―Beggg....‖ Pak Sakir kemudian hanya melihat gelap,
tak tahu lagi apa yang terjadi selanjutnya.
Setelah ia sadar, pukulan kembali menghunjam. Tapi
kali ini, bukan di tubuhnya, tapi hatinya. Istrinya
yang hamil muda harus dibawa ke rumah sakit. Ia
terjatuh ketika akan menolongnya di antara
keroyakan orang-orang berseragam hitam tersebut.
Tragis, nyawa istrinya tak dapat diselamatkan, tapi
untung, bayi yang sedang ia kandung masih bisa
ditolong.
Sendirian Pak Sakir merawat bayinya. Baru setelah
bayi itu berusia satu tahun, ia menikah lagi dengan
Fatimah, seorang pelacur.
***
Pak Sakir adalah orang yang sederhana. Ia bekerja
sebagai guru, mengajar di SD kampung Ilodan.
Gajinya hanya cukup menutupi kebutuhan keluarga
sebulan.
21. 21
Ia pindah ke kampung itu sejak 30 tahun lalu bersama
istri pertamanya. Karena terkenal sebagai sarang
maksiat, berkali-kali Ilodan akan dibubarkan
pemerintah kota setempat maupun Ormas. Tapi
masalahnya tak pernah tuntas. Sekarang dihancurkan
besok tumbuh lagi. Begitu seterusnya. Sebab, usaha
pembubaran tersebut tak pernah menyentuh akar
permasalahan sesungguhnya. Karena sebenaranya,
praktik kemaksiatan di kampung itu berakar dari
usaha demi menyambung nyawa. Hampir 99 persen
pemuas birahi itu terbentur keadaan ekonomi yang
tidak adil.
Hal itu diketahui Pak Sakir 28 tahun lalu, ketika ia
ngobrol bersama Fatimah, sebelum menjadi istrinya.
―Kenapa kamu mencari nafkah dengan menjual
tubuh, bukankah ada pekerjaan lain yang lebih
halal?‖
―Mau kerja apa, Mas. Wong ijazah SD saja aku tak
punya. Sementara melamar kerja, semuanya butuh
22. 22
ijazah. Memang ada banyak tawaran kerja ke luar
negeri. Tapi setelah aku tahu, aku jadi miris sendiri.
Banyak berita-berita yang mengabarkan sering terjadi
penyiksaan tenaga-tenaga kerja di negeri orang. Dari
pada mati, kan lebih baik memilih yang lebih aman
saja."
―Ah, hidup ini memang keras, Mas,‖ lanjutnya.
―Sebenarnya bukan keinginan kita bekerja seperti ini.
Semua perempuan di kampung ini mungkin juga
punya pikiran sama. Kita semua pasti mengharapkan
punya kerjaan yang halal dan hidup bahagia bersama
keluarga.‖
―Sejak kapan bekerja seperti ini?‖ tanya Pak Sakir
lagi.
―Yaaa…sudah lama lah pokoknya.‖
―Kalau pengen hidup bersama keluarga, kenapa gak
cari suami?‖
23. 23
―Emang ada orang yang mau menikahi seorang
wanita pelacur? Aku kira tak akan ada yang mau,
Mas,‖ katanya sambil menebaskan tangan kanannya
melambai.
Setelah pertemuan itu, Pak Sakir menawari Fatimah
menjadi istrinya. Meskipun dalam kitab suci yang ia
yakini melarang menikahi perempuan ahli zina, tapi
ia punyai tafsir sendiri, bahwa menikahi perempuan
pelacur adalah jihad kecilnya untuk menghentikan
prakik pelacuran.
Menurutnya, berani menikahi pelacur adalah
pemecahan masalah yang lebih realistis dan
menyentuh akar permasalahan dibandingkan dengan
hanya berkoar-koar dan merusaki tempat-tempat
maksiat. Mereka yang berani mengambil jatah
menikahi empat wanita pelacur misalanya, adalah
meraka orang-orang yang shaleh saja, yakni orang-
orang yang bisa berpikir panjang. Toh, seorang lelaki
24. 24
boleh menikahi wanita hingga empat, asal bisa adil di
antara mereka.
Kalau hanya sekadar menyeru penumpasan
kemaksiatan tanpa berpikir ke depan, burung beo pun
bisa. Kalau sekadar menghancurkan, orang edan pun
juga bisa.
***
Sudah seminggu, Pak Sakir hanya bisa berbaring di
ranjang ditemani Fatimah. Dokter mengatakan bahwa
penyakitnya hanya bisa sembuh jika dioperasi.
Sedangkan uang yang ada semakin menipis, biaya
operasi tentu sangat mahal.
―Aku carikan hutangan lagi di tetangga lagi ya, Pak,‖
usul istrinya yang tak tega melihat keadaan suaminya
yang semakin hari semakin melemah.
―Ndak usah, Bu. Aku baik-baik aja, kok. Lagian uang
yang ibu pinjam dari Bu RT buat tebus obat kemarin
25. 25
belum sempat dibayar, kan?‖ cegah Pak Sakir dengan
suara lirih.
Diam-diam, tanpa sepengetahuan suaminya, Fatimah
ingin menawarkan tubuhnya kepada lelaki yang dulu
pernah jadi pelanggannya. Tapi sayang, pamornya
sudah kalah dengan pendatang-pendatang baru yang
lebih muda.
Ia memutar otak lagi untuk mendapatkan uang untuk
biaya operasi suaminya. Dalam pikiran yang kalut, ia
sempat punya pikiran menjemput Aulia di pesantren
dan membujuknya agar ia mau menjual
keperawanannya. Tapi sebaiknya ia pulang dulu,
mengatakan niatnya kepada suaminya. Barangkali ia
setuju.
***
Di pondok pesantren Annisa, Aulia masih saja
memikirkan bapaknya yang sedang sakit. Ia sholat
hajat untuk meminta kesembuhan bapaknya.
26. 26
Ditemani oleh sahabatnya, Eva, mereka mendoakan
agar bapak Aulia segera sembuh.
Usai berdoa, keduanya pergi tidur. Pikiran Aulia
selalu diliputi wajah bapaknya. Entah kenapa,
pikiran-pikiran negatif kerap hadir menyesakkan
dadanya. Tak sabar, ia menangis sesenggukan.
―Kenapa kamu menangis?‖ tanya Eva, yang
terbangun sebab mendengar suara tangis sahabatnya.
―Aku takut, Mbak. Bagaimana jika bapakku…‖
―Sssttt…‖ potong Eva. ―Semuanya akan baik-baik
saja. Yakinlah, Allah akan mendengar doa hambanya.
Kamu pasti ingat firman Tuhan: ud‟uni astajib
lakum. Berdoalah kepadaku, maka aku (Tuhan) akan
mengabulkan doa kalian. Allah pasti mendengar doa
anak yang shalihah sepertimu, Aulia. Dan doa anak
yang shalehah kepada orang tua itu termasuk doa
yang mustajabah, doa yang mudah untuk dikabulkan
27. 27
Allah. Sekarang tidurlah, jangan sampai tangismu
membangunkan yang lain.‖
―Iya, Mbak. Terima kasih, Mbak.‖
Eva adalah sahabat Aulia di pesantren, sahabat yang
setia menemaninya dalam suka atau duka. Ia selalu
ada untuk Aulia. Begitupun sebaliknya. Meskipun
usianya lebih tua dari pada Aulia, ia tak pernah
merasa bahwa dirinya lebih dewasa atau lebih pintar.
Bahkan ia sering menanyakan tentang pelajaran yang
tak ia pahami pada Aulia. Dalam bidang akademi,
Aulia memang santri paling cerdas di antara santri
yang lainnya.
Baru saja mereka berdua akan memejamkan mata,
ada orang yang mengetuk pintu kamar.
Setelah uluk salam, orang itu membuka pintu.―Ukhti
Aulia….. Tantadhiru ummuki fiddiwan,‖ orang itu
berbicara dengan bahasa Arab.
28. 28
Aulia mendengar namanya dipanggil, ia langsung
bangun kemudian cepat-cepat menutup kepalanya
dengan sehelai kain kerudung.
―Na‘am, Ustadzah,‖ jawab Aulia. Ia langsung
bergegas, berlari menuju kantor pesantren.
Sampai di kantor, ia langsung mengecup tangan
ibunya.―Ada apa, Bu, kok datang ke pesantren
malam-malam begini?‖
―Bapak menyuruhmu pulang, Nak.‖
―Bagaimana keadaan Bapak, Bu?‖ Aulia mulai
khawatir tentang kabar bapaknya.
―Kita bicarakan di rumah saja.‖
***
Aulia langsung memeluk bapaknya yang sedang
tertidur pulas di atas ranjang. Airmatanya mengalir
menangisi bapaknya. Keadaan bapak sepertinya
29. 29
lebih parah dari pada saat ia berangkat ke pesantren
beberapa waktu silam.
―Sakit bapakmu sudah semakin parah, Nak,‖ kata
ibunya sambil memegang pundak Aulia.
―Kenapa nggak dibawa ke rumah sakit saja, Bu.‖
―Dokter menyuruh agar bapakmu segera dioperasi.
Biaya operasi itu sangat mahal. Ibu bingung dari
mana harus mendapatkan biaya itu,‖ dengan mata
berkaca-kaca, ia melanjutkan, ―Berhari-hari ibu telah
mencoba cari uang dengan menceburkan diri lagi ke
lembah pelacuran, tapi sudah tak laku. Yang mereka
cari sekarang adalah gadis-gadis muda SMA.
Mendapatkan gadis semuda itu, sekarang juga tidak
sulit. Ibu yang sudah tua ini, tentu kalah jauh dengan
mereka.‖
Aulia bangun dari duduknya dan mengajak keluar
ibunya dari dalam kamar.
30. 30
―Apakah tubuhku laku dijual, Bu?‖ kata Aulia.
Mendengar ungkapan Aulia, tentu ibunya sangat
terkejut. ―Kamu adalah anak perempuan satu-
satunya. Kamu dididik di pesantren agar menjadi
anak yang baik. Bapakmu selalu mengharapkanmu
menjadi perempuan yang beradab, menjadi
pemimpin, menjadi contoh, untuk semua perempuan
dengan budimu yang luhur. Bukan menjadi pelacur
seperti kebanyakan wanita di kampung ini.‖
―Untuk bapak, aku rela melakukan semuanya, Bu.‖
***
Keringat dingin keluar dari seluruh tubuh Aulia.
Malam ini adalah pertama kalinya ia berduaan di
dalam kamar dengan seorang lelaki. Pria inilah yang
menghargai keperawanan Aulia dengan tawaran
paling tinggi di antara penawar lainnya. Ia akan
membayar dengan menanggung semua biaya operasi
bapaknya ke luar negeri.
31. 31
Di dalam kamar bercahaya redup, di atas seprai
warna putih, Aulia berbaring. Dalam ketakutannya, ia
mencoba memberanikan diri melirik lelaki yang akan
dihiburnya malam ini. Samar-samar, Aulia melihat
lelaki itu sedang melepas dasi dan kemejanya,
kemudian ia menggantungkan di balik pintu. Setelah
itu, ia menelan sesuatu ke dalam mulutnya lalu
berjalan mendekat dan berbaring di sampingnya.
Jantung Aulia berdebar hebat, ia memejamkan mata,
ia tak sanggup membayangkan apa yang akan terjadi
selanjutnya.
Lelaki itu memiringkan tubuh seraya memandang ke
arahnya. Aulia tak berani membuka matanya. Dari
dalam tubuhnya semakin deras mengalir keringat
dingin, mencoba melawan rasa takut. Bagaimanapun,
apapun yang akan terjadi, harus ia lakukan.
Tiba-tiba lelaki itu memegang tangan Aulia yang
terbujur kaku di atas dadanya. Lelaki itu
32. 32
menggenggam tangan kanan Aulia, menggiring ke
bagian tubuhnya.
Ia hanya pasrah dengan apa yang dilakukan oleh
lelaki itu. Dari kerut kulit yang menyentuh tanganya,
lelaki yang ada di sampingnya ini dapat dipastikan
sudah tidak muda. Mungkin sudah seumuran
bapaknya.
Belum sampai menyentuh apapun, suara keras
menggedor-gedor dari balik pintu.
― Dooor….!!! Dorrr…..!!!‖
―Buka pintu, buka pintu…. dasar pezina laknatullah.‖
Setelah pintu terbuka dengan paksa, segerombolan
orang berseragam serba hitam langsung memukul
lelaki yang masih berbaring di atas ranjang bersama
Aulia.
―Begg….Beggg…Begg..‖ lelaki itu seketika tak
bergerak.
33. 33
Melihat kejadian itu, Aulia menjerit histeris. Dua
orang bertubuh kekar menghampirinya dan
membungkam mulut dan hidungnya dengan kain
beraroma sangat menyengat, membuat kepalanya
pusing dan pandangannya kabur, kemudian
semuanya menjadi hening.
Ketika ia sadar, ia mendapati dirinya sedang berada
di atas mobil yang melaju kencang. Entah kemana ia
akan dibawa, ia tak tahu. Ia kaget ketika melihat
dirinya tak tertutup oleh sehelai benang pun. Ia
menjerit sekeras-kerasnya.
―Bapaaaaaaaaaakkkk…..‖
―Aulia….Aulia….‖ suara Eva membangunkan.
Dengan napas yang masih memburu, Aulia bangun
dari mimpi buruknya.
34. 34
―Istighfar, Aulia!!!‖ Eva mencoba menenangkannya.
―Mimpi apa kamu?‖ tanyanya sambil menyuguhkan
segelas air putih.
Setelah Aulia menceritakan semua mimpinya pada
Eva, ia mengatakan pada sahabatnya, ―Kata orang
tua, mimpi mendekati subuh adalah mimpi yang bisa
menjadi kenyataan. Aku takut, Mbak.‖
―Jangan percaya dengan mimpi, Aulia. Mimpi
hanyalah bunga tidur yang diciptakan menurut
imajinasi kita sendiri. Mimpi juga berarti ulah setan
untuk mengelabuhi manusia. Kecuali mimpi bertemu
Kanjeng nabi Muhammad. Itu mimpi yang bisa
dipercaya. Sebab, setan tak bisa menyerupakan
dirinya dengan wajah Rasul kita. Dari pada bahas
mimpi, yuk, kita ke masjid. Sudah adzan subuh tuh,‖
ajaknya.
Adzan subuh telah selesai berkumandang, Aulia dan
Eva berangkat shalat subuh berjamaah di masjid.
Setelah menunaikan shalat subuh berjamaah, mereka
35. 35
kembali ke kamar untuk membaca surat Al Mulk dan
Waqi‘ah bersama-sama santriwati sekamar.
―Ukthi Aulia… tantadhiru ummuki fiddiwan,‖ tiba-
tiba ustadzah mecungul dari balik pintu.
Kata-kata itu membuat Aulia kaget. Kata-kata yang
sama seperti dalam mimpinya. Ia takut mimpinya
akan menjadi kenyataan. Aulia menatap Eva. Eva
menatap Aulia. Penuh tanya di wajah mereka berdua.
Aulia bergegas, berlari menuju kantor pesantren. Eva
membuntuti di belakangnya.
Sampai di kantor, ia melihat ibu dan bapaknya
sedang berbincang-bincang dengan dewan guru di
ruang kantor pesantren. Ia langsung menyalami
ibunya dahulu, kemudian memeluk bapaknya.
―Ini bapakmu sedang kangen sama kamu, Nduk. Hari
belum terang sudah ngajak berangkat jenguk kamu.‖
36. 36
kata ibu Aulia diiringi senyum menyungging di
bibirnya.
―Bapak sudah sembuh, kan?‖ tanya Aulia.
―Alaaaah… Nduk, orang miskin seperti kita ini, sakit
yang paling parah paling-paling cuma demam. Tuhan
itu maha Adil. Dia mengerti kekuatan hambanya.
Lihatlah orang yang sakitnya aneh-aneh, kebayakan
adalah orang kaya. Karena uang mereka banyak.
Mereka mampu buat bayar dokter. Kalaupun kita
yang terkena sakit aneh-aneh itu, berarti memang
sudah waktunya mati,‖ jawab bapaknya dengan gaya
bicaranya yang ceplas-ceplos.
―Hua…hua…hua…,‖ kantor itu dipenuhi tawa
karena mendengar ucapan Pak Sakir. Begitupun Eva
yang mendengar dari luar kantor. Ia tak bisa
menyembunyikan wajah bahagianya karena melihat
kebahagian Aulia dikunjungi orang tuannya.
37. 37
―Haduh, Pak Ustadz, dokter sekarang ini
kelakuannya semakin bejat. Satu minggu lalu,
keluarga kami hampir kena tipu. Dia bilang penyakit
saya harus dioperasi. ‗Kalau gak dioperasi, tak akan
sembuh,‘ katanya. Karena kami nggak ada uang,
akhirnya saya larang istriku untuk memenuhi saran
dokter itu. Istri saya ini sampai mau cari hutangan
untuk biaya operasi, tapi saya larang. Lha wong, aku
merasa baik-baik saja kok mau dioperasi. Ya,
mungkin karena waktu itu sedang demam, jadi
tubuhku terasa lemas. Gitu saja, kata dokter itu, saya
terkena penyakit entah apa namanya, istilahnya
sangat aneh. Farises fabicolous atau apa gitulah, saya
lupa.‖
―Aku kemarin juga sempat mau cari uang dengan
melacur lagi lho, Pak. ― ibu Aulia menimpali.
Kontan, seluruh ruang langsung hening,
mengarahkan pandangan padanya. ―Untung nggak
ada yang mau dengan tawaranku itu. Ketika aku balik
rumah, e…. ternyata… bapak udah duduk santai di
38. 38
depan rumah. Maaf ya, Pak, baru ibu katakan
sekarang.‖
―Astagfirullahalngandim, Buuu….,‖ pekik Pak Sakir
sambil menebah dadanya.
Malang, 19 Juli 2012
39. 39
Kiai Sudrun Berontak
Warga tengah menjalankan salat tarawih, ketika suara
mirip ledakan bom menggelegar. Tanpa aba-aba,
mereka semburat keluar dari dalam mushola.
Mereka langsung pulang, memeriksa rumah mereka
masing-masing. Barangkali ada maling yang sedang
beraksi. Pasalnya, sudah lama dusun itu terus terjadi
kasus pencurian yang semakin lama semakin
menggelisahkan. Tak pernah terungkap siapa
pelakunya. Mungkin yang melakukan adalah warga
kampung sebelah yang terkenal sebagai kampung
maling.
40. 40
Ketika orang-orang sedang memeriksa barang di
rumah mereka, kang Alim, imam mushola Al Amin
di dusun itu teriak-teriak via corong mushola, ―Mbah
Sudrun bangkit dari kubuuuuuuuur!!!‖
Semua kaget. Orang-orang bergegas kembali ke
mushola. Makam Mbah Sudrun terletak tak jauh dari
mushola menjadi tujuan mereka. Makam yang sudah
berusia ratusan tahun itu berantakan seperti habis
tertimpa bom.
Mereka melihat dengan mata kepala mereka sendiri,
mbah Sudrun tiba-tiba berada di dalam mushola. Jika
itu hantu, tentu ini adalah penampakan hantu pertama
kalinya di dunia secara terang-terangan di depan
banyak orang, di desa Mislahan, kampungnya orang-
orang yang tersohor shaleh.
***
Keesokan harinya, mbah Sudrun ikut salat berjamaah
dengan warga. Setelah selesai salat, ia maju di depan
41. 41
para jamaah menyampaikan ceramah. ―Ini mbah
Sudrun beneran, bukan hantu.‖ bisik salah satu
jamaah dengan jamaah yang lainnya.
Semuanya terdiam khidmat ingin mendengarkan
pesan-pesan yang akan disampaikan oleh mbah
Sudrun. Sebab, selama ini mereka hanya mendengar
cerita tentang kiai kondang itu secara turun-temurun
bahwa beliau adalah nenek moyang yang
menyebarkan agama Islam di kampung mereka.
Selain itu, berdasarkan tutur yang diwariskan dari
generasi ke generasi bahwa mbah Sudrun adalah
orang sakti. Ia bisa mengubah daun pisang menjadi
lembaran uang. Mushola yang mereka tempati
sekarang, juga warisan mbah Sudrun. Konon,
mushola itu adalah tempat beliau mengajarkan
ilmunya pada murid-muridnya.
Ceramah mbah Sudrun malam itu benar-benar
memukau para jamaah. Ceramahnya sangat singkat
42. 42
tapi mengejutkan. Tidak seperti ceramah kiai
umumnya.
‖Mushola ini, dulu, aku yang mendirikan. Maka, aku,
sekarang, juga berhak merubuhkan.‖ hanya itu, lalu
ia mengakhiri dengan salam.
Orang-orang bingung, saling bertatap muka dengan
berjuta tanya. Mereka menyimpulkan, ternyata orang
dulu yang dianggap pintar, hebat, sakti, ternyata
adalah orang ngawur; orang yang berpikir tidak
logis. Tapi mereka semua, tidak ada yang berani
membantah.
***
Keesokan harinya, mushola yang tidak terlalu besar
itu sudah rubuh, rata dengan tanah. Entah siapa yang
membantu mbah Sudrun meruntuhkan bangunan
mushola itu.
43. 43
Mula-mula, mbah Sudrun menjadikan bekas lahan
mushola itu menjadi sawah. Orang-orang juga tidak
tahu, dari mana ia mendapatkan alat bertani. Tak ada
orang satu pun yang sudi membantunya. Mereka
telah menganggap mbah Sudrun orang gila, edan, dan
orang yang berdosa karena telah merubuhkan tempat
ibadah.
Suasana di kampung itupun berubah. Biasanya,
memasuki waktu shalat lima waktu, selalu mendayu
suara adzan. Tapi sekarang, waktu sehabis senja,
yang terdengar hanya suara burung-burung malam
yang mulai berkeliaran. Hening, tidak ada lagi suara
adzan seperti biasa. Tidak ada lagi orang-orang
berpakaian baju taqwa (baju koko/busana muslim)
berbondong-bondong pergi ke mushola. Begitulah
keadaannya.
***
Pada satu malam, mbah Sudrun sedang jalan-jalan
menyusuri setiap pojok kampung. Ia mendapati
44. 44
gerak-gerik orang yang mencurigakan. Diam-diam,
mbah Sudrun membuntutinya.
Orang itu menyelinap masuk ke dalam rumah. Ia
berjalan mengendap-endap agar tidak ketahuan
orang. Mungkin ia habis mencuri. Dan, benar!! Ia
keluar membawa kambing.
―Maling... Maling... Maling...!!!‖ pekik mbah
Sudrun. Tak pelak, teriakannya mengundang
semburat warga lainnya. Tak membutuhkan waktu
lama, akhirnya pencuri itu tertangkap. Mereka
menggiringnya ke balai desa untuk diadili bersama.
Tak lama berselang, teriakan mbah Sudrun kembali
membahana, ―Di sini juga ada maliiing.....!!!‖
Satu maling terpergok lagi. Saat suasana sedang sepi,
ketika orang-orang sedang menggiring maling ke
balai desa, rupanya maling yang satu ini ingin
memanfaat kesempatan, untuk memuluskan aksinya.
45. 45
Kedua maling itu diikat tangannya dengan tali.
Dikerumuni banyak orang. Mereka hanya bisa pasrah
dengan hukuman yang akan dijeratkan padanya.
―Ooo, ternyata kalian, yang selama ini meresahkan
warga di sini. Sungguh kelakuan yang tak pantas
seorang muslim.‖ kata kang Alim, yang sedang
berdiri di barisan paling depan dalam kerumunan
warga yang sedang berjubel memenuhi balai desa
malam itu.
―Kalian harus dihukum mati!‖ pekik yang lain
dengan nada emosi.
―Potong tangannya!‖ yang lain lagi menimpali.
―Usir dari kampung ini!‖
―Kalian tak pantas tinggal di dusun ini. Kalian telah
mengotori nama baik kampung kita. Dasar pencuri
bajingan....!‖
46. 46
Suara riuh mengumpat saling bergantian dari mulut
mereka. Segala emosi selama ini, mereka tumpahkan
pada dua orang yang sekarang meringkuk pasrah.
Wajah kedua orang itu merunduk malu dan merah.
Sejak sekian lama, kasus pencurian di dusun itu,
memang tak pernah terungkap sama sekali. Ronda
malam yang digalakkan ternyata tak mampu
menakuti ulah para pencuri. Padahal petugas ronda
selalu melakukan sweeping seluruh pojok kampung.
Tapi, pencurian demi pencurian tetap berjalan mulus,
tak pernah ketahuan. Tapi malam itu, berkat mbah
Sudrun, semuanya jadi jelas, siapa biang keladi yang
meresahkan warga selama ini; yaitu kang Paijo dan
kang Sulaiman.
Sejak malam itu, warga mulai percaya kalau mbah
Sudrun memang orang sakti. Buktinya, ia dapat
menangkap dua maling dalam satu malam sekaligus,
yang sebelumnya tak pernah terjadi.
47. 47
―Sudah...Sudah...!!!‖ teriak mbah Sudrun mencoba
menenangkan keributan warga. ―Biarkan mereka ikut
bersamaku. Aku berjanji akan mengembalikan
barang yang telah mereka curi.‖
Keributan agak reda.
―Aku akan suruh mereka menggarap sawahku. Aku
akan emberi mereka pekerjaan. Karena mungkin,
malam ini, kedua maling ini mencuri karena sedang
dalam kebutuhan yang sangat mendesak.‖ kata mbah
Sudrun di depan kerumunan orang-orang, mencoba
menenangkan keributan warga yang sudah diliputi
emosi.
―Betul, Mbah! Baru satu kali ini saya mencuri. Istri
saya sebentar lagi akan melahirkan. Saya belum ada
uang. Sedangkan tetangga tak ada yang mau
menghutangi. Aku terpaksa mencuri. Maafkan aku!!!
‖ kata kang Paijo ketahuan mencuri kambing,
memohon ampun.
48. 48
―Saya juga baru satu kali ini. Saya mencuri karena
ada kesempatan. Memang saya tak punya kerjaan.
Tapi sebelumnya, saya tak pernah mencuri.‖ saut
kang Sulaiman dengan wajah memelas.
―Kalian sudah mendengar sendiri penjelasan dari
mereka." Mbah Sudrun memotong pembicaraan kang
Sulaiman. Kemudian ia melanjutkan, "Aku mohon
kepada kalian semua bisa maafkan mereka!‖
"Jika mereka mencuri lagi, aku yang akan
bertanggungjawab. Dan, hukuman yang kalian
tawarkan tadi, semoga menimpa kalian sendiri jika
kalian juga pernah mencuri.‖ ucap mbah Sudrun
mengakhiri. Lalu, ia berjalan meninggalkan balai
desa.
Mendengarkan ucapan mbah Sudrun yang terakhir,
bulu kuduk orang yang teriak-teriak tadi berkidik.
Pikir mereka, jika mbah Sudrun benar-benar orang
sakti, semua yang dikatakan pasti akan terjadi.
49. 49
***
Lewat tengah malam. Ini tidak biasa. Hanya orang
yang punya kepentingan mendesak yang rela
keluyuran sendirian hingga selarut itu. Atau mungkin
ada misi top secret.
Ada seseorang sedang menuju sawah mbah Sudrun
yang sekaligus menjadi tempat tinggalnya. Di pojok
petakan sawah itu terdapat gubuk kecil.
Setelah dipastikan keadaan sepi, orang misterius itu
masuk ke dalam gubuk mbah Sudrun. Di dalam
gubuk itu tidak ada barang berharga kecuali dipan
yang terbuat dari bambu setinggi lutut. Di pojok,
terdapat cangkul dan sebilah parang, menggantung
di dinding alang-alang.
Di dalam gubuk ia tidak mendapati mbah Sudrun.
Kiai itu mungkin sedang keluar, pikirnya. Ia
menunggu. Ia duduk di atas dipan yang ada di
50. 50
depannya. Malam ini ia harus menemui mbah
Sudrun, sebelum hal buruk terjadi padanya.
Tiba-tiba sesosok manusia muncul dari balik mulut
pintu. Napasnya tersengal-sengal. Bukan mbah
Sudrun, tapi kang Diyat.
―Lho, Pak Yai Alim, sedang apa sampean ada di
sini??‖ dia kaget dengan keberadaan kiai Alim di
dalam gubuk itu.
―Lha, sampean ke sini juga ada urusan apa, Kang?‖ ia
balik bertanya.
―Saya sekedar silaturahmi, Yi.‖ begitu jawab Kang
Diyat.
―Sama. Aku juga.‖
Saat mereka sama-sama menunggu, datang lagi kang
Warijan. Kedatangannya tentu juga sangat
mengejutkan. Tiga orang sudah, semuanya menunggu
sedang menunggu kedatangan mbah Sudrun. Tapi ia
51. 51
tak juga menampakkan batang hidungnya. Kemana
dia sebenarnya?
Waktu terus berjalan. Satu, dua, tiga, hingga puluhan
orang datang. Sekarang gubuk itu berjubel manusia-
manusia yang sebelumnya tak pernah berkunjung ke
sana. Bukan rahasia lagi, kedatangan mereka
sebenarnya bukan untuk bersilaturahmi kepada kiai
Sudrun, tapi karena takut dengan ucapan orang yang
dipercaya sakti itu waktu di balai desa kemarin.
Tapi hingga menjelang pagi, mbah Sudrun belum
juga pulang. Kemana dia sebenarnya?
Bersamaan dengan kokok ayam jantan tanda
datangnya fajar, tiba-tiba datang seseorang yang
mengaku sebagai petugas pengantar surat dari mbah
Sudrun. Ia ditugaskan agar menyampaikan surat
kepada orang yang datang ke gubuknya pada suatu
tengah malam.
52. 52
Kiai Alim menerima surat itu kemudian langsung
membukannya. Mereka membaca surat itu bersama-
sama.
Jangan jadikan agama sebagai kedok saja.
Kalian menjalankan salat tapi sebenarnya
kalian tak tahu maksud yang kalian kerjakan.
Salat kalian laksanakan, maksiat tetap jalan.
Sama sekali tidak ‘hamemayu hayuning
buwana’. Artinya, tidak memberikan
kesejahteraan di muka bumi. Bukankah salat
yang kalian lakukan seharusnya mencegah
perbuatan keji?
Itulah alasanku kenapa aku merubuhkan
mushola., agar salat yang kalian lakukan bukan
merupakan formalitas belaka. Bekerja dengan
cara tidak merugikan orang lain, itulah hakikat
salat sebenarnya. Membantu tetangga yang
sedang membutuhkankan agar tidak jatuh
dalam kemiskinan, itulah zakat sesungguhnya.
53. 53
Sembahyang, seharusnya bisa kalian kerjakan
dimana saja, kapan saja, meliputi segala apa
yang sedang kalian lakukan...
Tentang ucapanku kemarin, mintalah maaf
kepada orang yang barangnya pernah kalain
ambil agar kalian tidak tertimpa adzab yang
sangat pedih itu..
―Aku minta maaf kepada kalian semua,‖ kiai Alim
mengawali permohonan maaf setelah membaca surat
dari mbah Sudrun. ―Uang kas mushola yang kemarin
aku kabarkan hilang dicuri maling, sebenarnya aku
sendiri yang menghabiskan. Tapi, aku berjanji akan
mengganti uang itu.‖
Semua orang yang ada di dalam gubuk itu terkaget
mendengar ucapan kiai Alim. Ternyata, kiai juga
pernah melakukan hal dosa. Tak berselang lama,
kang Warijan angkat bicara. ―Kang Diyat, aku minta
maaf. Aku kemarin yang mengambil uangmu.‖
katanya dengan wajah tertunduk malu.
54. 54
Kang Diyat terkejut mendengar ungkapan maaf dari
kang Warijan. Ternyata dia yang mengambil uangnya
yang hilang beberapa waktu silam. Tapi kemudian, ia
tersenyum. Dengan meringis, tampak giginya yang
besar-besar itu, ia sepertinya ingin mengungkapkan
sesuatu pada kang Warijan. Tapi ia malu. Ia
menggaruk kepalanya yang tak gatal kemudian
berkata, ―Maafkan aku juga, Kang.‖ ia memulai kata-
katanya, ―Aku yang memanen buah mangga di
kebunmu yang ada di samping rumahku.‖
Semua jadi jelas sekarang, siapa sebenarnya maling-
maling di kampung yang terkenal dengan orang-
orangnya yang shaleh. Mereka saling minta maaf,
yang satu dengan lainnya, yang lainnya dengan
satunya. Ternyata, tanpa dinyana, si A pernah
mencuri milik si B, dan sebaliknya. A dan B minta
maaf kepada C. si C juga minta maaf pada B. Dan
banyak kasus alur pencurian lain, hingga alur yang
lebih rumit untuk dijelaskan.
55. 55
Akhirnya, mereka semua paham bahwa apa yang
dilakukan mbah Sudrun ternyata membawa
perubahan. Di kampung itu, hari selanjutnya, geger
kasus pencurian tak pernah terjadi lagi.
Warga kembali membangun mushola Al Amin di
atas tanah milik kang Alim, seseorang yang terkenal
memiliki sawah terluas di kampung itu. Beberapa
meter tanah di dekat rumahnya diwakafkan untuk
mushola.
Sementara itu, mbah Sudrun tidak pernah muncul
kembali. Entah kemana ia pergi. Lahan bekas
mushola lama masih berupa sawah, digarap oleh
kang Sulaiman, karena dia belum juga mendapat
pekerjaan lain. Sementara kang Paijo dapat pinjaman
dari kang Diyat untuk biaya melahirkan. Istri dan
anak pertamanya selamat.
Malang, 04 Agustus 2012
56. 56
Panggilan Mahameru
Awang, sejak terlahir di dunia, ia sangat akrab
dengan alam. Seruan untuk menjelajah alam liar,
selalu menggema dalam dirinya. Tetapi dalam
tubuhnya, ia mengidap penyakit yang dapat
mengancam hidupnya sewaktu-waktu. Dua hal yang
selalu bertentangan dalam dirinya.
Ketika ia sedang melakukan pendakian gunung
bersama teman-temannya, jika penyakitnya itu
57. 57
kambuh, sangat menyusahkan teman-temannya dan
menjadi hambatan mencapai puncak. Tapi, teman-
teman di komunitas pecinta alam tempat ia
bergabung itu, sudah seperti keluarga sendiri yang
setia mengurusinya.
Pernah, pada suatu ketika sakitnya kambuh, saat
kapan itu hampir sampai di puncak salah satu gunung
di Jawa. Teman-teman komunitas yang berangkat
bersamanya, rela menggendongnya kembali turun
demi keselamatannya. Kemudian minta tolong
kepada warga terdekat untuk membawanya ke dokter
terdekat. Padahal sebelum pendakian, teman-
temannya sudah memperingatkan agar ia tidak ikut.
―Perjalanan ini sangat berbahaya. Sebaiknya kau tak
usah ikut.‖, kata seorang teman padanya sebelum
berangkat. ―keluarga lebih penting dari pada
pendakian gunung, kan?‖ lanjut teman Awang yang
sudah tahu betul keadaan tubahnya.
58. 58
Dasar Awang keras kepala, hari ini ia akan mendaki
gunung tertinggi di pulau Jawa: Semeru. Sendirian.
***
Matahari sudah condong di barat ketika Awang
memulai pendakiaannya. Ia mengambil rute dari arah
utara untuk mencapai puncak yang biasa disebut
Jonggring Saloko.
Gunung Semeru merupakan gunung tertinggi di Jawa
dengan ketinggian 3676 m dpl. Jalur yang akan ia
tempuh melalui Landengan Dowo, Watu Rejeng,
Ranu Kumbolo, Oro Oro Ombo, Cemoro Kandang,
Jambangan, Kalimati, Arcopodo, kemudian menuju
puncak. Rencananya, Awang akan mendirikan tenda
dan bermalam di Ranu Kumbolo sebelum
melanjutkan perjalanannya.
Kali ini, jalan setapak pegunungan yang sunyi ia
telusuri sendiri tanpa seorang teman. Setiap langkah
yang ia bawa, adalah jawaban dari sebuah janji yang
59. 59
masih bersemayam dalam dirinya hingga kini. Ada
keyakinan, kegelisahan, dan ketakutan yang
berkecamuk dalam hatinya.
Perjalanan berjarak 17.8 km dari tempat ia memulai
pendakian, yaitu dari danau Ranu Pani, ia nikmati
sendiri. Suara burung di atas ranting pepohonan
membelai-belai dirinya di tengah kesunyian.
Sampai di Watu Rejeng, sekitat 1 km dari Ranu Pani,
ia rebahkan tubuh di atas ransel besar yang ia
sandarkan di pohon. Awang beristirahat sejenak
untuk mengatur kembali napasnya setelah melewati
jalan yang terjal. Ia mengambil botol air yang ia taruh
di bagian kanan luar tas ranselnya. Selembar kertas
terjatuh saat ia menarik botol itu keluar. Ia baca, lalu
memasukkan kembali ke dalam.
Setelah napasnya kembali normal ia lanjutkan
perjalanannya sebelum matahari jauh berjalanan
menuju benam. Ia mengangkat ransel berat yang
60. 60
berisi segala persediaan selama perjalanan. Dengan
segala keyakinan bahwa ia bisa, ia melangkah....
Semakin tinggi, hawa dingin semakin terasa menusuk
tulang. Gumpalan mendung hitam bergelantung tepat
di atasnya. Jika hujan turun, maka perjalanan akan
sangat menyusahkan dan berbahaya. Jalan akan
menjadi licin. Apalagi jalan setapak itu banyak yang
berada di bibir jurang yang curam.
Dan, benar! Gumpalan awan hitam tiba-tiba
bergumul di cakrawala. Dan gerimis pun mulai turun.
Cuaca di pegunungan selalu sulit diperkirakan.
Waktu ia memulai perjalanan, langit sangat cerah.
Ia meyakinkan dirinya bahwa ia akan bisa melewati
segala kemungkinan terburuk yang akan terjadi.
Jikalau pun nyawanya melayang di tengah
perjalanan, ia telah menyerahkan segalanya kepada
yang Maha Kuasa. ―Tiada kekuatan selain Dia,‖
sebutnya dalam hati. Ia memantapkan langkah....
61. 61
Hujan kini semakin deras disertai angin. Langkah
Awang harus terhenti oleh pohon yang tumbang
menghalangi jalan. Ia keluarkan parang untuk
membersihkan ranting yang menghadang jalan yang
di laluinya itu.
Dengan susah payah Awang tebas ranting itu
sendirian. Halangan ini cukup menguras tenaganya.
Tiba-tiba, ia sedikit merasakan nyeri dalam dadanya.
Tapi ia terus melangkah....
Hujan lebat sudah reda. Kini langit kembali membiru,
awan hitam lamat-lamat hilang. Cahaya matahari
berwarna kuning pelan-pelan menimpa daun
pepohonan.
Waktu senja sudah tiba. Rencana untuk sampai di
Ranu Kumbolo diperkirakannya akan molor dan ia
akan melalui perjalanan malam untuk sampai di sana.
Kuning senja semburat di wajah langit ufuk barat. Ia
putuskan untuk berhenti di sebuah pos yang
62. 62
disediakan untuk tempat peristirahatan para pendaki.
Awang masih percaya dengan petuah nenek moyang
bahwa waktu senja adalah waktu yang berbahaya.
Orang-orang dulu menyebut senja dengan sebutan
―Sandek Olo‖ (dekat dengan bahaya). Memasuki
waktu senja, mereka menyarankan keluarganya agar
segera masuk rumah, dan yang di luar rumah supaya
hati-hati karena celaka sering terjadi pada saat
perpisahan antara siang dan malam.
Awang sempatkan untuk minum obat di pos itu.
Sebab, nyeri dalam dadanya semakin terasa.
Beberapa saat Awang pejamkan mata, mengatur
napas agar tetap tenang dan berdoa supaya diberi
kekuatan sepanjang perjalanan.
Saat ia membuka matanya kembali, bintang-bintang
sudah mulai muncul di hamparan langit. Sebuah
keindahaan alam yang alami; bintang itu terasa
sangat dekat sekali dari tempanya duduk. Matanya
tak berkedip melihat keindahaan alam yang luar
63. 63
biasa. Bahkan ia sempat lupa dengan nyeri dalam
dadanya. Diam-diam air mata mengalir membasahi
pipinya. Ada suatu yang menamparnya saat
pikirannya sedang melompat ke masa lalu, membaca
kembali kenangan yang dititipan pada cahaya
bintang-bintang itu. Ia melangkah melanjutkan
perjalanan...
Malam gelap, dingin, terasa membekukan tulang. Ia
keluarkan jaket tebal dari ranselnya untuk melawan
dingin yang ia rasakan semakin lama semakin
menggigit.
Ia merasakan napasnya semakin berat, ia terus
berusaha tenang. Ia pun duduk di antara semak-
semak di pinggir jalan. Jalan segelap itu, ia sendirian.
Demi sebuah janji dan menantang dirinya sendiri.
Ia mengatur napasnya agar tetap normal. Tapi
kemudian, ia merasakan napasnya semakin lama
semakin berat. Ia terus berusaha mengais udara, tapi
ia rasakan tubuhnya semakin lemah, kemudian
64. 64
melemah, dan melemah, kemudian gelap. Tubuhnya
seperti terbang menuju kehampaan.
***
―Awang...Awang...Awang!!!‖
Samar-samar Awang mendengar ada suara yang
memanggilnya dari arah entah dari mana. Dengan
susah payah, ia mencoba menerka panggilan itu.
Semakin lama, suara itu semakin jelas terdengar.
Suara yang memanggilnya, seperti suara yang pernah
ia dengar sebelumnya. Cahaya terang menghampiri
matanya. Ia sangat terkejut dengan apa yang dilihat di
depannya saat ini.
Ia tak percaya. Ia mengira dirinya dihantui demit
pegunungan yang menyaru sebagai kekasihnya dulu;
Laksmi.
Laksmi adalah kekasih yang dulu pernah mengukir
cerita cinta bersamanya. Aneh jika ia sekarang ada di
65. 65
hadapannya. Sudah beberapa tahun silam Laksmi
meninggalkannya.
Saat ini, Laksmi sedang bersimbah air mata, mengalir
deras dari matanya. Ia masih ingat betul dengan mata
indah milik Laksmi itu.
Dulu, ketika Awang masih bersama Laksmi, tiap
malam purnama, mereka sering menikmati malam
penuh bintang bersama. Saat itulah Awang sering
melihat pemandangan indah di mata Laksmi. Sampai
sekarang, mata indah itu sulit untuk terlupakan. Mata
yang tak kalah indah dengan kedipan bintang yang
bertebaran di langit, mata yang tak kalah indah
dengan bulat sempurna bulan purnama.
Awal ia bertemu dengan Laksmi adalah ketika ia
bergabung dengan komunitas pecinta alam masa
SMA. Jika terjadi cinta lokasi dalam sebuah
komunitas itu hal biasa. Dari situlah mereka memulai
kisah cinta meraka.
66. 66
Tapi mereka harus berpisah setelah lulus sekolah,
karena masing-masing dari mereka melanjutkan
belajar di kampus kota yang berbeda. Terpaksa
mereka harus berhubungan jarak jauh.
Tujuh tahun berlalu. Sepanjang apapun cerita
percintaan, apalagi hanya terikat status pacaran, tak
bisa memberi jaminan keabadiaan kebersamaan.
Awang harus memutuskan hubungan dengan
kekasihnya. Karena Laksmi, harus segera menikah.
Pernikahan Laksmi dengan lelaki lain bukan karena
ia tak cinta lagi dengan Awang. Tetapi Laksmi harus
berhadapan dengan pilihan yang sulit.
Laksmi merasa menjadi anak durhaka jika tak
memenuhi keinginan orang tuanya saat itu. Ia juga
merasa iba pada keluarganya karena selalu mendapat
cemooh dari para tetangga. Mereka bilang kalau
keluarganya tak bisa mencarikan jodoh untuk anak
perempuannya. Para perawan seumurannya di desa
tempat ia tinggal sudah menikah semua. Selain itu,
67. 67
Laksmi juga sudah lulus dari kuliahnya sejak dua
tahun lalu. Keluarganya tak mau dicap punya anak
perawan tua. Sebab itu, keluarganya meminta Laksmi
untuk segera menikah saja, tak usah menunggu
Awang yang sampai sekarang belum lulus. Sejak itu
mereka berpisah dan tak pernah bertemu lagi.
‖Awang, kamu tak apa-apa, kan?‖ Laksmi
menggerakkan tubuh Awang yang lemas.
Awang hanya terdiam, tak sepatah kata pun mampu
keluar dari bibirnya. Ia masih tak percaya dengan apa
yang ada di depannya. Tapi, ia melihat Laksmi
semakin deras meneteskan butiran bening mengalir di
pipinya.
Awang berusaha bangun dari rebahnya dengan
bertumpu kedua sikunya. Laksmi membantu
mengangkat tubuhnya. Saat Awang terduduk, Laksmi
memeluk Awang, ―Maafkan aku.....‖ kata Laksmi
sambil bersedu-sedan. Pertemuan ini tak pernah
68. 68
direncanakan. Alam semesta mempertemukan
mereka kembali setelah lama berpisah.
Awang belum memahami semuanya; kenapa dia tiba-
tiba ada dalam tenda, kenapa ada Laksmi di
hadapannya, kenapa ia minta maaf padanya?
Laksmi melepaskan pelukannya lalu ia membuka
lipatan kertas yang ia genggam sedari tadi, ―Aku
menemukan ini....‖ Laksmi membuka lembaran itu,
menunjukkannya pada Awang, ―Aku menemukan
ini....‖ Laksmi mengulangi, karena suaranya terputus
oleh senggukan tangis, ―Aku menemukan ini, saat
aku mencari identitasmu.‖ lanjutnya.
Ketika Laksmi dan teman-temannya menemukan
Awang terkulai di tengah jalan, mereka berhenti dan
mendirikan tenda di lahan yang tak begitu luas di
sekitar Awang tak sadarkan diri.
69. 69
―Kita mendirikan tenda di sini karena melihatmu
sangat lemas, Mas‖ kata seseorang lelaki, teman
Laksmi yang duduk di sampingnya di dalam tenda.
―Kamu besok harus turun lagi. Dengan keadaanmu
seperti ini, akan sangat berbahaya, Wang.‖, pinta
Laksmi, ―Biar nanti beberapa temanku mengantarmu
turun.‖
―Biarkan saja aku melanjutkan perjalanan,‖ Awang
berkata dengan suara pelan, ―Aku sedang ada janji di
puncak Mahameru sana.‖ Awang pandai
mendramatisir suasana. Bukan aneh, karena di
kampusnya, ia aktor teater.
Tangis Laksmi kembali pecah mendengar ucapan
Awang. Ia tak dapat menahan air matanya. Ia masih
ingat dengan janji Awang yang pernah dikatakan
padanya dulu. ―Laksmi kekasihku, aku berjanji, suatu
saat, kita akan mendaki gunung Semeru bersama.
Aku akan membacakan puisi di atas puncak
untukmu.‖ kata Awang waktu itu.
70. 70
Sambil memandangi kertas bertuliskan kata-kata
puisi yang sedang dipeganginya, Laksmi terbawa
kembali ke dalam ingatan masa lalu. Ia mengingat
sebuah puisi, puisi yang selalu dibacakan oleh
Awang untuknya saat mereka bersama. Laksmi
sesekali menyeka air matanya yang mengalir deras.
―Maafkan aku, Laksmi, jika baru sekarang aku bisa
memenuhi janjiku. Tapi janji itu sepertinya akan
gagal kulaksanakan jika kamu tak
menyelamatkanku.‖ kata Awang sambil mengulurkan
tangan, meminta lipatan kertas yang sedang dibawa
Laksmi. ―Maafkan, jika aku merepotkan
perjalananmu dan teman-temanmu. Aku tetap akan
melanjutkan perjalanan.‖
―Malam ini, kita istirahat dulu di sini. Dan kamu
harus kembali turun besok pagi.‖ kata Laksmi
mendesak Awang dalam sisa-sisa tangisnya.
―Aku harus melanjutkan perjalanan...‖ bantah Awang
lagi.
71. 71
―Bagaimana jika sakitmu kambuh lagi di tengah jalan
nanti?‖ suara Laksmi agak meninggi.
―Bagaimana jika aku mati tapi aku masih berhutang
janji?‖
***
Keesokan harinya, Awang melanjutkan perjalanan
bersama dengan rombongan Laksmi yang tak pernah
mereka rencanakan. Hari itu adalah 19 Mei, tiga hari
sebelum hari yang sangat mengenang, adalah hari
dimana Awang dan Laksmi pernah menyebutnya hari
cinta; hari saat mereka memulai kisah cinta mereka
waktu SMA dulu.
Puncak gunung Semeru, direncanakan akan ditempuh
selama dua hari dari tempat Laksmi menemukan
Awang, di Watu Rejeng. Beberapa kilometer
sebelum Ranu Kumbolo.
72. 72
Sebelum mendaki puncak, rombongan ini bermalam
di Kalimati, tempat terakhir istirahat para pendaki
sebelum menuju puncak. Pendakian menuju puncak
dilanjutkan pada pagi hari untuk menghindari gas
beracun yang sering keluar pada waktu siang.
Kabut tebal menyelimuti puncak gunung Semeru,
ketika mereka telah sampai di sana. Awang berdiri
beberapa meter di hadapan Laksmi membacakan
sebuah puisi untuknya.
73. 73
Kau dan aku tegak berdiri melihat hutan hutan yang
menjadi suram
Meresapi belaian angin yang menjadi dingin
Apakah kau masih membelaiku selembut dahulu
Ketika kudekap kau dekaplah lebih mesra,
Lebih dekat
Apakah kau masih akan berkata
Kudengar derap jantungmu
Kita begitu berbeda dalam semua kecuali dalam
cinta*
.
* Penggalan dari puisi berjudul ―Sebuah Tanya‖ ditulis oleh Soe Hok Gie pada
01 April 1969 sebelum dia meninggal karena menghirup gas beracun di puncak
gunung Semeru.
74. 74
Awang mengakhiri membaca puisi, lalu melihat
wajah Laksmi yang sedang berdiri di depannya.
Laksmi berjalan menuju ke arah Awang dan
memeluknya.
―Apakah kau masih mencintaiku?‖ bisik Laksmi
memeluk Awang.
Teman-teman Laksmi bersorak-sorai, ―Cieee……!!!
Cieee….!!!!‖
―Si janda muda menemukan cinta lagi, nih.‖
Ranu Kumbolo, 19 Mei 2012
75. 75
Suluk Adolesen
Sudah sekian lama ia merenung, menenggelamkan
diri dalam kamar. Sebenarnya, ia adalah orang
periang, kemudian ia kehilangan senyumnya sejak ia
kehilangan wanita yang ia cinta.
Sudah empat tahun, ia menjalin hubungan cinta
dengan kekasihnya, tapi hubungan itu harus kandas
di tengah jalan karena wanita pujaan hatinya
berpaling pada orang ketiga yang sudah lama
mendekatinya.
76. 76
Kekasihnya pergi, ia sakit hati. Amuk badai
kesedihan di hati menggiringnya ke dalam lembah
sepi, menenggelamkan dalam kesunyian tak bertepi.
Begitulah cara cinta menyakiti.
Bagaimanapun, cinta adalah jalan yang licin untuk
dilewati. Orang yang terjatuh di jalan cinta bisa
mengalami kelumpuhan hingga tak mampu berdiri
kembali.
Ia hidup seperti bulan kehilangan cahaya matahari,
jiwanya redup tak mampu bersinar. Ada tapi seperti
tak ada. Jiwanya kosong. Ia lebih banyak menyelam
dalam lautan kesunyian, berombak air mata yang
menyeretnya ke tengah luas samudera papa. Jauh ia
terhempas oleh badai air mata kehilangan, hingga ia
tak memikirkan nasib kuliahnya.
Jika di dalam kelas, yang ada dalam otaknya hanya
banyangan-bayangan tentang dia, tentang masa indah
bersama kekasihnya, tentang rasa sakit karenanya.
77. 77
Semuanya melebur menjadi satu, menjadikan hati
dan otaknya kalut tak karuhan.
―Siapakah tokoh teori psikologi, Rama?‖ tanya
dosennya suatu hari ketika dalam kelas.
―Friska, Pak, ‖ jawabnya gagap. Ia terkejut, baru
tersadar dari lamunanan.
Jawabannya itu memancing gelagak tawa semua
temannya dalam ruang kelas. Mukanya mendadak
merah, ia malu karena jawaban yang bodoh itu.
―Rama…!!!‖ bentak dosennya, ―Jangan membuat
lelucon di kelas ini.‖ dosen itu kemudian berjalan
mendekati kursi tempat ia duduk.
―Maksud saya, Sigmund Freud, Pak‖ raut wajahnya
tegang sambil membetulkan duduknya.
―Apa yang kamu tahu tentang teori itu?‖
78. 78
―Emmm…bahwa tindakan-tindakan kita, sebenarnya
tidak dituntun oleh akal, Pak. ‖ ia diam sejenak
menggali ingatan di otaknya.
―Ya, lalu?‖
―Tindakan kita adalah manifestasi dari pengalaman
yang tersimpan di dalam alam bawah sadar kita sejak
masa kecil.‖
―Berikan contoh!‖ perintah dosen itu sambil berjalan
kembali menuju ke tempat duduknya di depan kelas.
Rama memeras otak mencari contoh, ―Tindakan saya
ketika mengatakan ‗Friska‘ tadi, Pak. Itu adalah alam
bawah sadar saya yang berbicara berdasarkan
pengalaman-pengalaman pribadi saya di masa lalu.‖
sekali lagi, seluruh kelas menertawakannya.
―Duh. Yang sedang kasmaran sama Friska. Sekarang
putus dan gagal move on.‖ Teriak salah satu
mahasiswa di kursi belakang dengan nada mengejek.
79. 79
Lama kelamaan dia semakin tak betah belajar dalam
kelas. Sebab, saat dalam kelas, ia tak bisa
konsentrasi pada penjelasan dosen. Dia malah lebih
sering memikirkan tentang wanita yang telah
meninggalkannya itu. Akibatnya, ia sering dapat
semprot dari dosen karena sering melamun di dalam
kelas.
Akhirnya, Rama meninggalkan dunia perkuliahan.
Orang tuanya menerima surat pemberitahuan ‗drop-
out‘ untuk anaknya. Karena ia meninggalkan kuliah
selama satu semester penuh tanpa kabar yang jelas.
Orang tuanya marah-marah padanya. Dia malu
karena kegagalannya itu. Ia melarikan diri dari rumah
tanpa pamit. Dia merasa telah mengecewakan orang
tuanya. Karena keluarganya telah memeras keringat
sekuat tenaga hanya untuk melanjutkan sekolahnya di
perguruan tinggi.
Sejak minggat dari rumah, ia sengaja tak pernah
menghubungi orang tuanya agar mereka tak tahu
80. 80
keberadaannya. Ia tak mau memikirkan, apakah
keluarganya mencari atau membiarkannya. Ia hanya
ingin lari dari masalah yang semakin rumit.
Sebenarnya, Rama adalah anak yang sangat
diharapkan keluarga; dia adalah anak laki satu-
satunya dari dua bersaudara. Kakak perempuannya
sudah menikah dan tinggal di rumah suaminya. Ialah
yang diharapkan menjadi penerus keluarganya.
Di sebuah permukiman di tengah kota Surabaya, ia
tidak punya tempat tinggal. Ia gunakan pos kamling
untuk jaga malam sebagai tempat tidurnya, yang
kebetulan tidak dimanfaatkan oleh warga sana.
Untuk memenuhi kebutuhan makan, ia menjadi
pekerja kasar di toko yang berada di sebelah pos itu.
Setiap hari, ia diberi pekerjaan menurunkan barang-
barang kiriman dari truk besar dengan bayaran
duapuluh ribu setelah selesai.
81. 81
Setelah bekerja ia kembali pulang ke pos tempat ia
tinggal. Biasanya, disana, ia ditemani oleh para
remaja berstatus pengangguran. Setiap malam, waktu
mereka habiskan untuk main kartu.
***
Dengan kening mengerut, Rama mengamati angka
dan gambar kartu yang ia pegangi dengan ujung-
ujung jemarinya. Ia tampak memikirkan sesuatu amat
mendalam, ketika ia memandang gambar yang
berbeda-beda di setiap kartu yang berjejer di depan
matanya itu.
Meski jumlah kartu selalu sama, berjumlah 52 tanpa
kartu joker, yang dibagikan kepada empat pemain
yang duduk membentuk sebuah lingkaran di pos
malam itu—dibagikan secara acak—sanggup
memberikan harapan kemenangan dalam sebuah
permainan yang disebut Remi. Ya, selalu memberi
sebuah harapan kemenangan.
82. 82
Pesan itu ditangkapnya dari tujuh lembar kartu di
tangannya, yang ia renungi. Sangat berbeda dengan
kehidupannya. Jumlah tujuh kartu yang diterima
setiap pemain sama dengan jumlah rangkaian hari
yang ia jalani. Tetapi tujuh hari yang ia lalui itu
ternyata tak sekalipun pernah memberi harapan. Dia
hanya merasa bahwa hari-harinya, akhir-akhir ini,
hanya seperti angin yang berhembus; datang dan
pergi, begitu seterusnya. Karena ia tak pernah
menanam suatu pengharapan untuk sebuah
kemenagan di hari depan.
Terbesit di otaknya, untuk menjadikan hari yang ia
jalani memiliki makna dan harapan—bukan hanya
datang dan pergi—agar hidup yang dijalani lebih
menggairahkan dari pada hanya berjalan seperti di
kehampaan, seperti sekarang ini.
Tapi sepertinya, menjadikan hidup bergairah hanya
menjadi semacam bunga tidur untuknya saat ini.
Sangat berbeda ketika ia masih memiliki segalanya;
83. 83
keluarga, cinta, dan pendidikan. Hari-hari yang ia
lewati sekarang hanya seperti angin sepoi yang
membelai ujung rambutnya, lalu pergi entah kemana.
Ia seakan tak ingat lagi dengan nama-nama hari dan
urutannya. Yang ia pahami hanya kekosongan hari
kemarin, sekarang, dan esok; Tak ada pelajaran dari
hari kemarin, tak ada yang istimewa hari ini, tak ada
harapan esok hari. Biasa saja, tanpa impian.
Harapan, adalah semacam hiburan untuk memulai
hari mendatang. Orang tanpa harapan akan
merasakan kehampaan yang pekat dalam gerbong
waktu yang membawanya pergi dalam perjalanannya,
melewati hari-hari yang panjang. Harapan menjadi
semacam kekuatan Tuhan yang diberikan kepada
manusia yang masih hidup untuk melawan
kekejaman dunia. Karena tanpa harapan, seseorang
akan mengalami depresi hingga mengakibatkan
membunuh diri.
84. 84
Di tengah ruangan pos itu, Rama sedang bersama
teman-temannya: main remi.
―Sial, kartu macam apa ini!‖ teman yang duduk tepat
di depannya membanting kartu gambar raja keriting
ke lantai.
Rama tertawa mengejek temannya itu. Dengan
senyum yang tersungging di bibirnya ia berkata,
―Kartuku istimewa, aku pasti menang.‖
Setelah menyelesaikan satu putaran terakhir dengan
kemenangan, ia keluar dari lingkaran itu.
―Maaf, kawan, aku ingin pulang. Aku pamit untuk
meninggalkan tempat ini.‖ ia bergegas keluar dari
dalam ruangan pos itu.
Ketiga temannya memandangi langkahnya dengan
wajah terheran-heran. Mereka menebak-nebak apa
yang sebenarnya terjadi kepadanya. Kenapa dia tiba-
tiba pergi dan mengatakan ingin pulang? Bukankah
85. 85
tempat tinggal dia adalah di pos ini sejak beberapa
tahun lalu?
―Hai, kemana kamu akan pergi?‖ teriak salah satu
temannya ketika ia sudah agak jauh.
―Aku ingin pulang, aku ingin menemukan harapan.‖
teriak Rama.
Lalu, ia hilang ditelan gelap malam di tikungan jalan.
86. 86
Cuplikan Senja
Seperti hari biasa, aku bekerja menelusuri jalan-jalan.
Lagu-lagu yang kunyanyikan tak lagi terasa merdu.
Lagu sebahagia apa pun terasa sendu. Tak seindah
dulu, ketika ia selalu ada di sampingku. Sekarang, ia
hanya bisa tinggal di rumah karena penyakit yang
belum diketahui sebabnya. Semakin hari, tubunya
semakin melemah.
87. 87
Ketika dia masih ada, aku dan dia sering
menyanyikan lagu cinta bersama-sama, bersama deru
suara kendaraan di jalan. Meskipun kita sedang
menyanyikan lagu di samping kaca jendela mobil,
tapi sebenarnya kita sedang menyanyi untuk
kebahagiaan kita sendiri. Tak ada uang tak masalah,
senyum adalah penawar segala resah. Begitulah
hidup kita, sehari-hari bersamanya. Begitu indah.
Awal mula pertemuanku dengannya, saat aku hampir
menyerah dengan kehidupan. Waktu itu, ia datang
menawarkan semangat baru untukku, untuk tetap
hidup, menikmati indahnya lika-liku kehidupan.
Sebenarnya, aku adalah seorang bersandang gelar
pendidikan, lulus dengan gelar SS (Sarjana Sastra)
dari Universitas terkemuka di Indonesia yang
bernasib menyedihkan. Tiap lowongan pekerjaan
yang ada sudah aku datangi, tapi begitu menyakitkan
ketika semuanya membutuhkan sogok uang dan
ijazah sekolah.
88. 88
Sementara beberapa waktu lalu, sebulan setelah hari
kelulusan, aku seperti kehilangan semua harapan.
Aku hidup hanya sebatang kara setelah rumah orang
tua kebakaran dan semua keluargaku meninggal
terperangkap api. Semua dokumen kuliahku hangus
dilahap api. Saat itulah aku ingin menyerah dari
kehidupan, menyusul keluarga yang telah pergi. Aku
ingin mengakhiri hidup dengan gantung diri.
Ketika semua tali sudah siap, aku membaca doa
menjelang mati, aku sendiri yang mengarang doa
menjelang mati itu. Lalu, aku menali leherku.
―Eeee, Hentikan!!! Hentikan!!!‖ suara seorang
perempuan tiba-tiba datang dari arah belakang.
Aku kaget. Aku terjatuh. Tali di leherku melilit
begitu kuat. Tubuhku bergetar, menggelinjang di
udara. Cepat-cepat ia memutus tali yang
menggantungku dan aku pun terjatuh ke tanah.
Begitulah ceritaku yang ingin mengakhiri hidup, tapi
gagal karena ketahuan seseorang.
89. 89
Lambat laun perjumpaan kita tumbuh menjadi benih
cinta. Ia mampu membuatku melupakan segala luka
kehidupan, ia yang kemudian membuatku mampu
melukis senyum kembali. Ia menjelma kekuatan baru
dalam hidupku. Ia seperti mentari yang bersinar di
pagi hari.
Jika tuhan menghendaki, semua akan terjadi, seperti
pertemuan yang tak terduga ini.
***
Sang bagaskara menggantung pendek di ufuk barat,
menyemprotkan cahaya emas di kaca-kaca gedung
yang menjulang tinggi. Satu per satu, lampu jalanan
menyalala. Hanya ada uang recehan menggerincing
di saku celana. Aku melangkahkan kakiku pulang
dengan membawa pendapatan yang tak memuaskan.
Perutku lapar. Sejak pagi tadi belum sesuap nasi pun
aku makan. Jalanku lunglai, menyusuri trotoar yang
90. 90
diterangi cahaya lampu jalan warna kekuningan.
Kepala terasa berat aku bawa. Tubuhku lemas.
―Ah, tak apa-apa, biarkan!‖ gumamku dalam hati.
Hal terpenting dalam hidupku sekarang adalah cari
uang untuk biaya pengobatannya. Aku tak boleh
lemah.
Wajahnya pucat, kelihatan lebih tua, ia menyambut
kedatanganku di depan rumah kita. Rumah beratap
beton dan berdinding angin: rumah di kolong
jembatan.
Begitulah dia, entah kekuatan apa yang ada dalam
dirinya. Dia selalu tahu kapan aku datang. Ia selalu
menyambutku dengan senyuman. Di wajahnya hanya
ada raut bahagia dalam menghadapi cobaan sebesar
apapun.
―Sudah pulang? Biasanya sampai malam? ‖ tanyanya
dengan suara agak serak diiringi batuk yang ia tahan.
91. 91
―Iya, badanku terasa agak tak enak.‖ aku mengelus
rambutnya.
―Sayang, sudah makan?‖
―Sudah,‖ aku cium keningnya.
―Ya sudah, istirahat dulu sana.‖
***
―Aku sudah gak kuat!‖ katanya.
―Bertahanlah, Sayang. Bertahanlah!!!‖ teriakku,
menyemangatinya agar terus bernapas.
Tapi, manusia tak punya kuasa melawan maut, ―Aku
sayang kamu,‖ masih sempat ia mengatakan kata
sayang itu. Lalu, ia pergi selamanya.
Tidak. Dia tidak mati. Ia masih bernapas. Ia bangun
lagi. Wajahnya yang pucat dan tampak lebih tua itu,
kini, berubah lebih muda lagi. Anggun! tiba-tiba ia
92. 92
memakai gaun putih yang menjuntai panjang ke
tanah. Dalam senyumnya yang simpul dia berkata.
―Sayang, hidup itu indah dengan cinta. Cinta kita
akan bermuara kepada Sang Maha Cinta. Sampai
berjumpa, Sayang.‖ . Kemudian, ia melayang ke
awan.
Aku berteriak sekuat tenaga. Aku mengejarnya. Dia
semakin jauh, dan hilang bersama gumpalan awan
putih di langit.
Keringat mengalir deras di tubuhku. Aku terengah-
engah. Jantung masih berdebar kencang.
Kegugupanku terobati ketika aku melihatnya baring
di sampingku. Ternyata semua tadi hanya mimpi.
Dia tidur miring di sampingku dengan tanganya
sebagai tumpuhan kepalanya. Wajahnya mengarah ke
wajahku. Dia masih terlelap. Sepertinya ia sedang
memandangi aku sebelum ia tertidur. Dalam tidurnya
itu, ia masih tampak cantik. Meskipun sedang sakit,
gurat bahagia tak pernah hilang dari raut wajahnya.
93. 93
Aku melanjutkan tidurku, sambil kupeluk tubuhnya.
***
Hari selanjutnya, saat aku pulang kerja. Aku terkejut
bukan kepalang saat aku temui dia tergeletak di
lantai. Tubuhnya sangat lemas. Ia sudah tak sadarkan
diri. Untung! jantungnya masih berdenyut. Aku
angkat dia, lalu aku gendong ia di atas punggung.
Aku berlari sekuat tenaga petang itu. Aku
membawanya ke dokter.
―Kita mau kemana?‖ tiba-tiba dia bicara di dekat
telingaku.
Aku berhenti sejenak saat mendapatinya sadarkan
diri, ―Kita akan ke dokter,‖ jawabku.
―Aku masih ingin hidup. Aku masih ingin
bersamamu. Bawa aku pulang!‖ pintanya dengan
suara lirih.
94. 94
―Kita harus ke dokter agar kamu sembuh.‖ aku
melanjutkan lagi langkahku.
―Apakah kamu ingin aku mati?‖ pertanyaanya
mengejutkan.
Aku tak mampu menolak keinginannya jika ia sudah
mengancam dengan kata-kata mati. Aku benar-benar
takut kehilangannya. Aku merasa berhutang
kehidupan padanya. Jika ia pergi, entah siapa lagi
yang mampu meyakinkanku bahwa hidup ini masih
layak untuk dijalani.
―Bawa aku ke sebuah tempat. Sebuah tempat paling
indah untukku. Tempat pertama kita bertemu. Aku
ingin menikmatinya untuk yang terakhir kali.‖. Dia
menyandarkan kepalanya di bahuku.
***
Pada suatu senja kala. Langit mengharu biru
menyaksikan sebuah kisah cinta yang begitu setia.
95. 95
Angin mengalir semilir, menggerayangi tubuh
sepasang manusia dalam keharmonian cinta. Suara
gemericik air sungai mengalunkan musik cinta.
Dedaunan pohon seolah ikut menari mengikuti
romansa cinta alam semesta.
―Sayang, bisakah kau selamanya bersamaku?‖
tanyaku memecahkan keheningan saat itu.
―Lihatlah langit itu, Sayang!‖ jawabnya sambil
tersenyum, wajahnya melihat ke atas.
―Kenapa dengan langit itu?‖ aku menatap matanya
lalu mengikuti arah pandangannya.
―Aku melihat sesuatu di sana,‖ dia tersenyum
memandangi biru cakrawala. ―Langit itu sangat
indah. Aku sedang mencoba menemukan ujungnya.
Aku ikuti terus. Dan, pandanganku berhenti pada
saga cahaya senja di ujung barat sana.‖ dia berhenti
sejenak. ―Itulah rumah cinta kita, Sayang. Cinta kita
begitu indah. Aku akan mati, begitu juga kamu. Kita
96. 96
akan pulang dalam pelukan Maha Cinta. Kemudian ia
menutup matanya. Ia terlelap untuk selamanya,
dalam pelukanku saat itu.
―Selamat jalan, Sayang, semoga kau bahagia di
surga.
Malang, 17 Juli 2011
97. 97
Samudera Cinta
Aku tak ingat lagi, mengapa aku hidup di sini. Aku
tak ingat lagi, sejak kapan aku hidup di sini. Mula-
mula aku terperangkap dalam lubang hitam. Gelap
pekat sekali.
Tiba-tiba hadir sesosok naga yang mengejutkan
dengan lingkaran api sebagai tunggangannya.
―Tidak, tidak!!! Aku tidak boleh takut,‖ kata hatiku.
98. 98
―Ya, memang kau tak perlu takut,‖ kata naga, ia
mengerti ketakutanku. ―karena aku di sini akan
menjadi teman yang baik untukmu. Aku bisa
mengubah diriku menjadi apa saja yang kau mau.‖
Semua perasaan takut lambat laun hilang. Naga itu
kemudian menjadi teman yang baik bagiku. Ia bisa
menuruti apa saja yang kumau. Makanan berlimpah,
teman hidup, kekuasaan, semuanya aku dapatkan.
Membahagiakan, tapi semuanya menjadi hal yang
membosankan setelah sekian lama kumiliki.
Kegelisahan tiba-tiba muncul dalam hati. Aku
menemui naga itu lagi. Aku ingin kebahagiaan,
ketenanangan, kedamaian yang abadi, yang tak
membosankan.
―Maaf, Tuanku yang mulia, kami hanya bisa
memberikan yang bersifat materi. Ketenangan hati,
kebahagiaan abadi itu, kau sendiri yang harus
mencari.‖
99. 99
Setiap malamku berubah menjadi penjara kesedihan.
Menakutkan. Lalu, apa sebenarnya yang harus
kucari?
―Hai, Naga, sesungguhnya tempat apa ini, jika tak
bisa memberi kebahagiaan abadi? ―
―SUMUR DURANGGA, atau SUMUR
KEBOHONGAN.‖ suara naga itu menggelegar bagai
halilintar.
―Jadi, apa yang aku miliki selama ini hanya sebuah
kobohongan?‖
―Benar.‖
―Lalu, bagaimana cara terbebas dari dunia
kebohongan ini, hai, Naga?‖
―Bunuhlah aku.‖
―Bagaimana cara membunuhmu?‖
100. 100
―Kau harus perang sekuat tenagamu, melawanku?‖
***
Tak mudah melawan naga. Aku harus berpuasa
selama 40 hari untuk bisa mengalahkannya.
Gunanya, untuk melemahkan panca indra yang selalu
tergoda dengan apa yang ditawarkan oleh naga:
perempuan cantik, harta, kekuasaan. Ia terus
menyerang nafsuku sehingga aku lemah di
hadapannya. Lalu, nafsu yang membelenggu
kumatikan, naga itupun mati bersamanya.
Sumur yang sempit itu, kemudian berubah menjadi
hutan belantara. Lebih luas dari pada Sumur
Durangga. Di sini, aku cukup lega bernapas.
Nafsu yang telah kumatikan dalam diriku,
menjadikan aku tak mempunyai hasrat apa-apa. Desir
angin, suara gemericik air sungai, kicau burung yang
beraneka suara, semua menenangkan. Semua terasa
101. 101
aman, tenang, bebas, damai, membahagiakan.
Kebahagiaan yang sesungguhnya.
Di dalam HUTAN ANDADAWA namanya, aku
duduk bersemedi, menghanyutkan diri dalam kidung
dzikir alam.
***
Setelah sekian lamak aku bersemedi, aku mendapati
diriku berada di dalam dasar samudera. Meskipun
bertempat di tempat yang belum pernah aku kunjungi
sebelumnya, aku sama sekali tak merasa ketakutan.
Tak ada kesedihan disini. Aku seperti baru tersadar
dari mimpi. Aku baru ingat, memang di sinilah tujuan
hidupku yang sempat terlupa. Aku bertemu dengan
Dewa Ruci, ia menyuguhiku segelas air Khidir.
Setelah kuteguk minuman itu, diriku berubah menjadi
ombak di samudera. Menyatu dengan ombak yang
lainnya, di dalam samudera yang maha luas. Dalam
102. 102
SAMUDERA LAWANA UDADU. Di sinilah aku
ingat segalanya bahwa aku pernah tersesat, lupa diri
sendiri. Aku adalah air yang harus kembali lagi ke
dalam samudera.
Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun.... sesungguhnya
kami adalah milikmu, kembali kepadamu. (Ayat)
*Cerita ini berdasarkan serat yang ditulis oleh Empu Siwa Murti,
ditulis pada akhir kerajaan Majapahit. Merupakan imajinasi saya
sendiri tentang isi serat tersebut, yang disampaikan oleh guruku.
Malang, 02 Agustus 2012
103. 103
Di Bawah Naungan Bendera
Di bawah bendera yang berkibar bocah kecil berdiri
memandang kibaran bendera yang perkasa.
Menghempas terterpa angin di udara. Ia mendongak
ke atas dengan pandangan tajam dipenuhi rasa yakin
akan kejayaan. Dia berdiri tegak menghormat kepada
sang saka merah putih. Berdirinya tegak setegak
tiang bendera di depannya. Kakinya kuat, sekuat
bendera melawan angin di udara.
Bocah kecil yang pernah mengenyam pendidikan
formal meski tak begitu lama itu, dibayangi harapan-
harapan yang mengganggu setiap menjelang
104. 104
tidurnya. Meskipun, kenyataan tak seindah yang ia
impikan.
Nasib sekolahnya harus ia korbankan karena keadaan
yang begitu mendorongnya kuat untuk meninggalkan
dunia pendidikan. Ia harus bergulat dengan waktu di
usianya yang dini demi melangsungkan kehidupan
dia dan ibunya. Sejak ia berumur sepuluh tahun, ia
harus mengurus ibunya yang tak bisa apa-apa kecuali
berbaring di atas ranjang, lumpuh tak tahu sebabnya.
―Maafkan ibu o anakku,‖ kata ibunya di atas ranjang
tanpa kasur, sambil mengelus rambut anaknya.
―Maafkan ibumu karena tak bisa menyekolahkanmu
lagi. Kamu harus memutus sekolahmu sebelum
lulus.‖
―Tak mengapa, Bu,‖ jawabnya dengan wajah
merunduk. ―Aku sudah bersyukur sempat sekolah
berkat usaha ibu dan ayah.
105. 105
―Andai ayahmu masih ada mngkin kau masih bisa
sekolah bersama kawan-kawanmu.‖ lanjut ibunya
sambil memejamkan mata, lalu mengalirlah cairan
bening dari matanya.
―Sudahlah, Bu, aku akan selalu bersyukur. Aku
sekarang sudah bisa bekerja dengan alat musik dari
tutup botol ini.‖ dia kemudian memeluk ibunya. ―
Dalam keadaan apapun aku akan menjaga ibu sampai
usia senja.‖
―O anakku, hati-hati, ya nak, ketika bekerja di jalan.‖
ibunya membalas pelukan makin erat, makin deras
pula air matanya. Sesekali ia mengecup kening
anaknya. ―Ibu gak mau terjadi apa-apa dengan mu o
anakku. Kamu adalah satu-satunya harta yang ibu
punya. Hanya kamu yang bisa melindungi ibu dari
bahaya. Kamu yang bisa memberi makan ibu. Kamu
o anakku, yang bisa membuatku merasa sejahtera.
Pemerintah di negeri ini sudah tak peduli lagi dengan
orang–orang menderita seperti kita. Mereka hanya
106. 106
memikirkan perut mereka sendiri. Harta telah
membutakan mata hati mereka. Rumah kita yang reot
ini mungkin akan dihancurkan mereka pada suatu
ketika. Tapi, mereka malah mau memperkokoh
bangunan gedung tempat mereka sidang. Bukti kalau
mereka tak pernah berpihak kepada kita, o anakku.
Mereka sering pergi jalan-jalan ke luar negeri dengan
alasan studi banding, akan tetapi mereka pulang tak
membawa ilmu apa-apa kecuali barang-barang mahal
dari sana; emas, mutiara, tas, arloji, kemeja untuk dia
dan saudara-saudara meraka dengan uang anggaran
belanja Negara. Belum juga pajak-pajak yang rakyat
bayarkan ternyata diembat untuk foya-foya. Tapi, o
anakku, tetaplah kau bangga jadi orang Indonesia.
cintailah Indonesia sepenuhnya. Perjuangkanlah ia
agar tetap merdeka. Ibu sudah cerita, bukan? Tentang
darah para pahlawan yang mereka korbankan untuk
negeri ini. Tetaplah yakin wahai anakku, suatu saat
nanti, di negeri ini pasti ada ksatria yang peduli
dengan kaum papa seperti kita.‖
107. 107
―Iya ibu, meskipun hidup kita selalu sengsara, tapi
aku yakin harapan itu masih ada.‖ sambungnya
dalam hangat pelukan ibunya.
***
Setelah bocah itu selesai melakukan ritual di bawah
bendera untuk membangkitkan keyakinan yang ada
dalam hatinya akan suatu kejayaan di Indonesia, dia
lantas pulang ke rumah. Ia hendak pergi kerja,
mengambil peralatannya di rumah.
Waktu itu matahari belum terlalu panas mengguyur
bumi. Ketika melihat rumahnya, bocah itu tak
sanggup lagi berdiri dengan tegak seperti saat dia
hormat pada bendera beberapa waktu barusan.
Hatinya seketika diguncang gelombang melebihi
gelombang tsunami Jepang. Memporak-porandakan
seluruh keyakinan yang baru ia tanamkan. Semua
luluh lantak. Ia jatuhkan tubuhnya di atas tanah
setelah melihat orang-orang berseragam sama
bertuliskan satpol PP di salah satu lengan bahunya.
108. 108
Mereka bagaikan iblis kesiangan muncul di muka
bumi.
Saat itu, ibu-ibu, anak-anak, berteriak bagai cacing
disiram air panas. Orang-orang berseragam itu
bersikap brutal merusak tempat tinggal cacing yang
tak berdaya. Tapi meraka tak menghiraukan lagi
suara teriakan yang mereka dengar dengan telinga
mereka. Mereka ratakan rumah-rumah dengan tanah.
Semua di kampung bawah kolong jembatan itu
musnah.
―Ibu, bagaimana harus aku tanamkan lagi keyakinan
akan kesejahteraan di tanah ibu pertiwi jika seperti
ini adanya?‖ gerutunya dalam hatiya yang panas.
109. 109
Purnama Cakra
Suasana pesantren sedang sepi karena liburan setelah
ujian akhir pesantren Al Islam, Tuban. Hanya
segelintir santri yang masih tetap tinggal. Mereka
adalah santri yang telah bernazar atau berjanji kepada
kainya untuk tidak pulang selama lima tahun. Sebab
kenapa mereka bernazar seperti itu, adalah karena
mereka sangat percaya dengan kata kiainya yang
biasa mereka panggil Abah.
110. 110
―Barang siapa yang tidak pulang selama lima tahun,
meskipun otaknya tidak cerdas, selama belajar di
pondok ini, saya doakan semoga mereka sukses
dalam hidupnya.‖ begitu dawuh kiai Pesantren Al
Islam pada santrinya. Hingga sekarang, semua santri
masih meyakini kebenaran ucapan itu.
Jika dinalar, hal semacam itu tidak masuk akal. Tapi
kenyataan telah membuktikan. Jauh sebelumnya, ada
santri yang melaksanakan kata kiai yang tidak masuk
akal itu. Selama nyantri, ia tak pernah paham dengan
pelajaran di pesantren. Bahkan, hingga ia keluar dari
pesantren, ia tak lancar membaca al Qur‘an. Aktivitas
yang selalu ia tekuni hanya membersihkan halaman
pondok setiap pagi. Akhirnya, ia menjadi pengusaha
bahan bangunan di kampungnya. Dari
penghasilannya itu, ia mampu mendirikan lembaga
pendidikan untuk anak-anak yatim dan keluarga tak
mampu.
111. 111
***
Malam itu, bulan purnama benderang di bulan
Sya‘ban, 15 hari sebelum memasuki bulan Ramadan.
Di dalam masjid, ada seorang santri yang sedang
membaca surat Yasin yang diulang-ulang sebanyak
tiga kali. Suaranya, terdengar lirih-lirih dari luar
masjid. Dalam doanya ia melafalkan,
allahummarzuqni, allahumma tawwil umri,
allahumma tsabit imaani.Tuhan, berilah aku rizki
yang banyak dan halal. Tuhan, panjangkanlah usiaku
dalam ketaatan di jalanmu. Tuhan, tetapkanlah
imanku hingga ajal menjemput.
Sementara di luar masjid, cahaya bulan menggenang
di pelataran. Duduk seorang lelaki di halaman masjid.
Masjid itu berada di tengah bangunan pesantren yang
melingkar segi empat. Sejak habis jamaah isya‘ tadi,
ia tak beranjak dari tempat itu. Jika diamati, dia
bukan salah satu santri pondok pesantren Al Islam.
112. 112
Santri yang baru saja selesai membaca surat yasin,
keluar dari dalam masjid menyapa lelaki yang ia
temui, ―Mas…‖ sapanya diiringi senyum.
Tapi sepertinya lelaki itu tak tahu ada orang yang
menyapanya, ia tetap diam, tak membalas. Sedang
kenapa sebenarnya, galaukah? Bisukah?
Santri mengulangi lagi, ―Mas…‖ sambil
mengulurkan tangan, mengajak salaman. Lelaki itu
tetap diam dengan pandangan kosong, lantas santri
tadi menepuk pundaknya yang sedang duduk
termenung. Lelaki itu kaget, kemudian menoleh ke
arah santri.
―Jenengan siapa?‖ tanya santri.
―Aku alumni pondok ini.‖ jawabnya.
―Ooo… saya kira siapa, Mas.‖
―Ini liburan kok gak pulang?‖ lelaki itu balik
bertanya.
113. 113
―Ndak, Mas.‖
―Sedang bernazar kepada Abah, ya?‖
―Jenengan dulu juga pernah melakukan ini?‖ santri
itu langsung paham maksud pertanyaan yang
dilontarkan oleh lelaki yang baru ia temui itu.
―Pernah, sudah menjadi tradisi santri sejak dulu
memang. Apalagi yang berotak lemah seperti aku ini,
hanya bisa mengharapkan barokah dari kiai dengan
mentaati tuturnya. Tapi saya gagal karena ada
masalah dengan keluarga.‖
―Ooo… gitu.‖
―Semoga sampean lancar menjalankan nazarmu ini,
Dek.‖
―O, iya, Mas, jika boleh berbagi pengalaman, tadi
kata jenengan yang menjadi sebab kegagalan dalam
menjalankan nazar ini adalah keluarga. Kira-kira ada
masalah apa, Mas?‖
114. 114
―Karena aku disuruh masuk di Universitas oleh
orangtuaku.‖
―Bukankah itu lebih keren?‖
―Iya, memang, dulu, menurutku memang lebih
keren.‖
―Pendidikan di Universitas sampai sekarang kan
memang lebih keren dari pada pendidikan di
pesantren, Mas?‖
―Jika sampean sudah tahu, Dek, tak ada lembaga
pendidikan yang menggembleng anak didiknya
seikhlas seperti di pesantren.‖
―Maksudnya, Mas?‖
―Universitas dan lembaga pendidikan lainnya,
kebanyakan, orientasinya adalah uang, uang, uang,
dan uang. Sehingga lulusan yang dicetak pun akan
berorientasi pada uang; setelah lulus, ketika mereka
bekerja, mereka akan mencari uang ganti dengan cara
115. 115
yang kadang tidak benar untuk mengganti biaya yang
telah dihabiskan untuk bayar kampus yang amat
mahal.‖
Lelaki itu kemudian menarik bungkus rokok dari
dalam sakunya, kemudian melanjutkan ucapannya
―Contoh…‖ suaranya tak terdengar jelas karena
tersumbat batang rokok yang ia apit dengan kedua
bibirnya. Setelah bara api di ujung batang itu
menyala, ia melanjutkan, ―Dalam kasus mencari uang
ganti, kita ambil contoh seorang dokter di Indonesia.
Kebanyakan dokter di negeri ini, memberi obat pada
pasiennya secara tidak semestinya. Mestinya, orang
sakit batuk bisa sembuh dengan satu obat tertentu,
tapi dokter memberi bermacam-macam obat. Intinya
cuma satu, agar stok obatnya laris manis. Padahal,
harga obat itu tidak murah.‖
―Saya setuju, Mas.‖ kata santri itu menggapi dengan
berkobar-kobar, ― Lha wong aku kemarin sakit
demam karena kehujanan. Saat setelah periksa ke
116. 116
dokter, saya diberi obat buaaanyak sekali. Akhirnya,
obat itu hanya aku minum satu macam saja. Lihat
obat segitu banyak, aku jadi ingin muntah. Tapi,
alhamdulillah, saya dikasih sembuh, Mas.‖ santri itu
kemudian menertawakan ucapannya sendiri.
―Semoga di negeri ini, pendidikan macam apa pun
tak berorientasi mencari uang. Pondok pesantren pun
akan kehilangan ruhnya jika hanya mencari uang.
Harapanku pondok ini tetap bertujuan mendidik dan
mencetak orang-orang berakhlak baik meskipun tak
pintar akalnya. Ya, mencetak seorang santri yang
seutuhnya. Seperti kata santri itu sendiri, kata santri
yang diambil dari bahasa Sansakerta; san artinya
orang baik; tra artinya suka menolong. Berarti santri
adalah orang yang harus suka menolong orang lain,
bermanfaat untuk yang lainnya.‖
―Amin…. Kalau aku baca sejarah, Mas, dunia
pesantren telah berhasil mencetak orang-orang yang
bermanfaat untuk bangsa ini. Tokoh-tokoh hebat
117. 117
seperti; HOS Cokroaminoto guru pertama Soekarno,
KH. Mas Mansur, KH.Hasyim Ash‘ari, KH. Ahmad
Dahlan, Ki Bagus Hadikusumo, KH.Kahar Muzakkir,
semuanya sangat berpengaruh pada era pra-
kemerdekaan. Mereka adalah orang-orang yang
pernah mengenyam pendidikan di pesantren. Bukan
begitu, Mas?‖
―Betul. Pesantren sebagai sistem pendidikan tertua di
Indonesia ini sudah banyak berjasa kepada bangsa.‖
―Berarti jenengan sekarang masih kuliah, ya, Mas?‖
―Sudah tidak lagi. Aku mahasiswa droup out karena
sudah 7 tahun tidak lulus.‖
―Wah, sayang sekali! Pokoknya, yang terpenting
tetap semangat belajar, Mas. Kalau gitu balik aja ke
pondok ini lagi aja, Mas.‖ santri itu terkekeh,
mencoba menghiburnya, ―Ya sudah, aku pamit mau
ke kamar duluan, Mas,‖ santri itu kemudian
meninggalkan lelaki itu sendiri lagi.
118. 118
Setelah santri pergi meninggalkannya, lelaki yang
dulu pernah mondok di pesantren ini, kembali
memandangi langit biru yang berbintang malam itu.
Kemudian pandangannya turun ke setiap bangunan
pesantren yang mengelilinginya. Setiap bangunan
yang diam itu seakan-akan bercerita kepadanya
tentang masa lalu, ketika ia masih nyantri. Ia
menikmati sebuah pertunjukan layar lebar yang ia
sebut sebagai ―Kenangan‖.
Terlihat jelas saat-saat awal-awal ia menjadi santri;
jatuh cinta terlarang pada perempuan; sakit hati sebab
cinta ditolak; ditempeleng ustadz karena melanggar
aturan pondok; bersendau gurau dengan teman yang
sudah seperti keluarga, dan semua hal lainnya. Setiap
titik tempat di pesantren ini mampu menghadirkan
kisah-kisah masa lalu itu. Semua. Suka maupun duka
indah untuk dikenang. Tak dipungkirinya, sungguh,
ia merindukan masa-masa lalu.
119. 119
Saat lelaki itu sedang asyik dengan tayangan yang ia
nikmati, tiba-tiba didatangi santri yang tadi habis
ngobrol dengannya. Ia datang kembali membawa
sebuah cawan emas berisi air. Ia mengulurkan cawan
itu kepadanya. Santri itu mengatakan bahwa cawan
itu bisa menayangkan gambar cuplikan-cuplikan
masa silam.
Ia menuruti perintah santri yang baru saja
memberinya cawan. Kemudian, ia meletakkannya di
bawah sinar bulan purnama.
***
Masa libur pesantren Al Islam telah habis. Memasuki
tahun ajaran baru, berdatangan santri baru yang ingin
menimba ilmu di sana. Tapi bagi Alan, santri
seangkatannya ini, tak ada yang baru. Mereka sudah
pernah ia temui entah waktu kapan. Ia yakin betul, ia
merasa kenal mereka.
120. 120
Pada suatu hari, para santri berkumpul dalam masjid
bersama Abah. Meskipun lantainya masih belum
dilapisi keramik, dindingnya juga belum diperhalus,
tapi masjid itu sudah digunakan untuk kegiatan
belajar mengajar.
―Barang siapa yang tidak pulang selama lima tahun,
meskipun otaknya tidak cerdas ketika belajar di
pondok, saya doakan sukses dalam hidupnya.‖ kata
Abah, pendiri pondok Al Islam, yang sekarang sudah
berusia 70-an.
Alan yang duduk di barisan paling depan mengangkat
tangan tinggi. ―Saya siap melakukannya, Bah.‖ kata
Alan dengan semangat.
―Apakah nanda siap melaksanakannya?‖
―Insya Allah… Sekalipun, saya tidak akan
terpengaruh oleh siapapun. Bahkan pengaruh dari
keluarga sendiri.‖
121. 121
Bagi Alan, perkataan kiai adalah mantra. Tidak
masuk akal, maka hasilnya juga tidak masuk akal.
Kepuasan jiwa yang ia raih, bukan dengan apa yang
ia kejar, tapi pemberian tangan-tangan gaib dibalik
jagad raya.
Bangilan, 06 Juli 2012
122. 122
Kutukan Ibu Pada Bima
Hujan sangat lebat. Bima meminta izin pada ibunya,
Kunti.
"Jangan engkau pergi, oh anakku." cegah kunti pada
anaknya, "Kakakmu, Yudhistira dan ketiga adikmu
juga tidak akan merestui kepergianmu."
"Tapi ibu...." ia membantah, "Tak ada seorang pun
yang dapat mencegahku. Aku akan tetap pergi untuk
mencari air suci itu ke Tikbrasara."
123. 123
Tanpa restu ibunya, Bima meluncur pergi membelah
hujan yang lebat. Deru angin dan guntur tak
sedikitpun memberatkan langkahnya.
Setelah sampai di Tikbrasara, ia mencari air suci itu
atas saran gurunya, pendeta Durna. Ia masuk ke
dalam gua yang gelap.
Tiba-tiba ia diserang oleh raksasa, Rukmaka dan
Rukmakala. Bima dihajar habis-habisan hingga
babak belur.
Ketika ia hampir lumpuh, kemudian datanglah Dewa
Indra dan Dewa Bayu untuk menolong Bima. Konon,
Dewa Bayu adalah ayah kandung Bima. Sebab secara
diam-diam, Dewi Kunti menjalin hubungan dengan
Dewa Bayu lantaran Pandu tidak bisa memberi
keturunan.
"Pulanglah ke Ngamarta, kembalilah pada ibumu"
kata Dewa Bayu.
124. 124
Bima berjalan dengan sisa-sisa kekuatannya dengan
perasaan kecewa dan menyesal karena tak menuruti
kata-kata ibunya. Dia gagal mendapatkan air suci tapi
untung, nyawanya masih selamat.
Sejak saat itu, ia percaya betapa sakral perkataan
seorang Ibu.
125. 125
Bening Senja
Menjadi pengecut sepertiku bukan pilihan yang apik.
Pengecut bukan takdir, tapi karena tidak adanya
keberanian, itu saja. Jiwa pengecut adalah sesuatu
yang diciptakan oleh diri sendiri. Jiwa pengecut, yang
menyulut pertikaian sepanjang hidupku, hingga saat
ini.
126. 126
Seandainya aku berani, aku cukup mengatakan, ―Aku
mencintaimu.‖ semuanya akan selesai, dari pada
menanggung penyesalan yang tak pernah habis
sepanjang usia.
***
―Pa, kenapa Papa selalu duduk di sini, setiap cahaya
di ujung barat sana mulai menjingga?‖ tanya Senja
anakku yang sudah berusia 19 tahun. Sekarang
sedang menempuh pendidikan di perguruan tinggi.
―Apakah Papa sedang menikmati keindahan cahaya
senja itu?‖ lanjutnya. Kemudian, ia duduk di kursi
sebelahku yang dipisahkan oleh meja kecil. Bunga
warna merah di dalam vas kecil mentereng di atas
meja itu, lusuh. Sejak dulu, bunga itu tak pernah
pindah tempat, apalagi terganti dengan bunga yang
baru.
Aku menoleh ke arahnya. Ia sepertinya menunggu
jawaban atas pertanyaannya. Ia sedang memandang
127. 127
ke arah cahaya temaram senja, mungkin ia sedang
mencoba mencari jawaban sendiri dengan menikmati
cahaya di sore yang amat cerah itu.
Garis kecantikan di wajahnya semakin tampak
sejalan dengan usianya yang semakin dewasa. Aku
teringat wajah ibunya yang cantik, amat mirip
dengannya. Mamanya telah pergi sejak ia masih
duduk di bangku sekolah dasar.
―Nak,‖ Aku memulai bicara, ia pun menoleh ke
arahku, ―Senja itu indah bukan hanya karena
cahayanya yang jingga. Tapi indah senja itu berkaitan
dengan waktu.‖ Aku diam sejenak, ―Seperti halnya
kamu, Nak. Yang menjadikanmu cantik bukan hanya
parasmu, tapi juga tergantung waktu orang yang
sedang memandangmu.‖
―Maksudnya?‖
―Kecantikanmu saat ini bukan berarti kecantikan
esok hari. Sekarang ini, orang mendefinisakan cantik
128. 128
dengan perempuan yang berwajah putih, tubuh
langsing, rambut lurus. Mungkin, suatu saat, definisi
cantik akan kembali berubah. Kembali ke definisi
cantik masa dulu; perempuan cantik adalah mereka
yang bertubuh besar, berambut keriting, warna kulit
hitam, dan yang lainnya.‖
Senja tampak serius mendengarkan penjelasanku,
―Oooh...seperti di zaman kekaisaran Romawi. Wanita
cantik adalah yang bertubuh gemuk karena dianggap
subur.‖
―Betul. Yang mempengaruhi opini publik dalam
mendefinisikan cantik adalah media. Soalnya, semua
aktor Holywood diperankan oleh wanita bertubuh
kecil, sih.‖ lantas aku tertawa.
―Lalu, kenapa keindahan senja juga tergantung waktu
tertentu?‖ ia menaikkan kedua alisnya. Ia masih
penasaran dengan filosofi senja.
129. 129
―Keindahan senja akan berbeda jika muncul di awal
hari. Di awal hari, manusia dipenuhi dengan gairah
mengejar nafsu yang membuncah dalam jiwa mereka.
Sedangkan waktu senja yang ada di akhir hari akan
menjadi momentum kontemplasi manusia atas apa
yang dikerjakan selama sehari. Di dalam agama kita
disebut muhasabah, yang nantinya akan membawa
manusia pada titik pertaubatan.‖
Senja menganggukan kepala tanda mengerti apa yang
kukatakan, ―Jika aku boleh membuat perumpamaan,
siang hari adalah kehidupan dan malam hari adalah
kematian. Waktu senja adalah waktu perpisahan
antara siang dan malam; perpisahan antara kehidupan
dan kematian. Pagi merupakan awal kehidupan, masa
kanak-kanak. Siang hari adalah waktu produktif
seseorang, saat seseorang usia dewasa. Dan, sore
adalah waktu rehat, atau masa usia tua. Senja adalah
jalan menuju malam, yiatu menuju kematian yang
gelap.‖
130. 130
―Perumpamaan yang tepat, Nak. Coba sekarang
pejamkan matamu....‖ perintahku pada Senja. Ia
menutup mata, ―Kosongkan pikiranmu, dan katakan
apa yang kau rasakan‖
Beberapa saat kemudian. ―Ketenangan..‖ katanya,
lalu diam.
―Rasakan lagi.‖
―Harapan..... Penyesalan....Kenangan‖
―Tepat.‖ kataku dalam hati.
Ia mumbuka mata, ―Pa, Jika Senja boleh tahu,
penyesalan apa yang Papa rasakan hingga saat ini?‖
Aku terkejut mendengar pertanyaan ini. Tapi aku
akan ceritakan semuanya, sebagai pelajaran untuk
anakku, Senja.
―Menjadi pengecut, Nak.‖ Kataku simpul.
131. 131
―Hah...Maksudnya, Pa?‖ mata Senja langsung
melotot memandang ke arahku.
"Simaklah..."
***
Diam-diam, mataku selalu mengarah padanya. Ia
sedang duduk di bangku kayu, di atas kapal
pengantar yang menyeberangkan kita ke Pulau
Sempu dari pantai Sendang Biru di daerah Malang
Selatan kala itu.
Harapan liar tentang kebahagiaan memilikinya
berguguran dari hati yang paling jujur. Perasaan
seperti ini, amat biasa untuk orang yang sedang jatuh
cinta. Aku tak perlu panjang lebar menjelaskan
tentang perasaan yang kualami saat itu. Begitulah
rasanya mencintai. Dan, jika jatuh cinta, hal semacam
itu adalah biasa saja. Tapi, biasa yang istimewa.
132. 132
Yang tak biasa dari kisah cintaku, paling tidak
berbeda denganmu para pemberani adalah, perasaan
cinta ini tak pernah mau keluar dari dalam hati.
Hanya terus, dan terus mencintai. Hanya itu yang aku
bisa. Sudah hampir tiga tahun lamanya, sejak
pertemuanku dengannya.
―Kita sudah hampir sampai di Teluk Semut.‖ suara
salah satu teman membuyarkan lamunanku. Segera
kuangkat ransel besarku kemudian menuruni tangga
perahu.
Sampai di Teluk Semut, matahari sudah berada tepat
di atas kepala. Cahaya matahari jatuh di atas ombak-
ombak kecil, berkejaran menuju akar pohon bakau
yang tumbuh berjajar di pinggiran pulau Sempu.
Teluk Semut merupakan tempat berlabuhnya kapal
pengantar para pengunjung pulau Sempu. Jarak
antara Sendang Biru dan tempat ini hanya sekitar 500
meter. Perjalanan menaiki kapal ditempuh selama 15
menit. Dalam waktu yang pendek itu, lamunanku di
133. 133
atas kapal tadi, lebih jauh daripada jarak yang
ditempuh perahu. Bayanganku melambung jauh
melampaui waktu berjuta menit ke depan; tentang
kebahagian menjalin cinta bersama seseorang
berambut panjang terkuncir, kulitnya tak hitam legam
juga tak putih mulus, tubuhnya juga tak seseksi
Syahrini.
Dan sekarang, ia berjalan di belakangku saat kita
mulai menyusuri jalan setapak menuju Segara
Anakan, di kawasan pulau Sempu yang seluas 877
ha.
Aku bersama sepuluh teman lainnya berjalan
mengular. Aku dan dia berada paling belakang.
Jalan bertanah liat, batu karang semburat di
sembarang tempat, akar pohon menjulur semrawut
tak beraturan di tengah jalan, pohon tumbang
melintang, kadang menghambat perjalanan kita. Jika
turun hujan tentu tambah sulit. Untung, hari itu cuaca
sangat cerah.
134. 134
Ransel besar berisi perbekalan dan tenda menarik
kuat urat persendian hingga punggungku terasa kaku.
Keringat mengalir dari seluruh pori tubuhku. Kita
menyusuri jalan sepanjang sekitar 3 km untuk sampai
tujuan: Segara Anakan.
―Rahu, tunggu....‖ suaranya yang selalu terdengar
merdu di telinga memaksaku untuk memperlambat
langkahku.
―Ah, betapa bodohnya aku, membiarkan perempuan
berjalan paling belakang.‖ gumam hatiku. ―Ah...
hinanya aku jadi seorang lelaki,‖
Sebelum menoleh ke belakang, aku hirup napas
dalam, agar aku tak kelihatan grogi saat menatap
matanya. Aku membalikkan badan dan melemparkan
senyum kepadanya, ―Panas banget, ya.‖ kata basa -
basiku memulai pembicaraan.
―Iya nih, aku capek, Rahu.‖ Ia berjalan ke arahku.
Aku menghentikan langkah. Aku melihat wajahnya
135. 135
dipenuhi basah keringat. Butiran air bening mengalir
di kening, dari celah rambut yang hitam legam itu.
―Cantik‖ sebutku dalam hati, memaksaku menelan
ludah yang terasa keras di tenggorakan.
―Istirahat bentar, yuk!‖ ajaknya. Lalu, ia membanting
tubuhnya di samping aku berdiri. Dan aku pun duduk
di sebelahnya. Sementara teman-teman sudah jauh di
depan.
Dibelai semilir angin sejuk di bawah rindang
pepohonan, aku dan dia mengurangi rasa lelah
perjalanan yang sudah cukup panjang itu. Saat itu, di
tengah pulau yang sedemikian luas, serasa hanya ada
aku dan dia. Suasana sangat sepi. Momentum yang
jarang-jarang terjadi. Perasaan indah kurasakan..
―Itu, dari sini Segara Anakan sudah kelihatan.‖
kataku sambil menunjuk ke arah warna biru air yang
berkilauan di bawah terik matahari, yang tampak
dari celah dedaunan.
136. 136
―Iya, kelihatan bagus.‖ ucapnya sambil mengipas-
kipaskan telapak tangan di lehernya.
―Seperti bintang berkilauan di langit.‖ aku
menambahi.
―Hemmm....‖ ia tersenyum kecil. Amat manis. Duh!
Sudah cukup beristirahat, aku dan dia melanjutkan
perjalanan. Tak lama, aku dan dia sampai di
hamparan pasir pantai Segara Anakan yang tak begitu
luas.
Tempat itu menyuguhkan kesempurnaan alam di
mataku. Seperti mengunjungi surga yang pernah
kubayangkan. Seperti baru saja aku memasuki pintu
surga yang terserpih di dunia.
Segara Anakan berair warna biru jernih dengan
ombak-ombak kecil berkejaran menyentuh bibir
pantai berpasir putih bersih. Aku berdiri di bibir
pantai melihat dasar laut yang bersih. Di seberang
137. 137
barat sana, bukit menjulang tinggi sebagai pembatas
antara Segara Anakan dan Samudera Hindia. Di
sebelah timur juga menjulang bukit lebih tinggi.
Sementara di antara kedua bukit itu terdapat
terowongan sebagai tempat masuknya air samudera
Hindia ke Segara Anakan. Berdebur ombak besar
membentur dinding tebing. Ada di sini, di kelilingi
bukit yang menjulang, serasa aku berada di dalam
lingkaran keindahan yang tiada habis kunikmati.
Melihat kejernihan air Segara Anakan, aku segera
menceburkan diri, mengikuti teman-teman yang
sudah lebih dulu berpadu dengan air. Segala
kepenatan dan kepayahan seketika luntur bersama
basuhan air yang begitu mendamaikan.
Begitu ajaibnya air. Ia dapat mendinginkan semua
yang bersifat panas. Tak hanya mematikan kobaran
api, tapi juga dapat memadamkan emosi yang
membara dalam diri manusia. Ketika orang yang
138. 138
diliputi rasa amarah, akan kembali tenang ketika
bersentuhan dengan air.
Setelah selesai bermain dengan air, kita semuanya
mendirikan tenda. Matahari mulai menuju temaram.
Semburat warna jingga dari balik bukit, menegaskan
keindahan alam semesta ciptaan yang Maha Pencipta
dengan cinta yang maha sempurna.
Bintang-bintang mulai tampak bertebaran tak
beraturan di langit. Bintang itu mempunyai arti
tertentu bagi yang mafhum ilmu perbintangan, tapi
untuk orang sepertiku, bintang hanyalah sebuah
hiasan malam yang menemaniku dalam setiap
kesunyian dalam diriku. Kesepian tersebab seorang
pengecut, yang tak pernah punya keberanian
mengatakan cinta pada seseorang yang ada di
sampingku saat ini. Kita sedang menikmati butiran
bintang malam itu.
Satu per satu, teman-teman yang sedang menikmati
keindahan cakrawala di pinggir pantai malam itu
139. 139
undur diri untuk istirahat. Hanya tersisa aku dan
orang yang diam-diam kucintai selama ini. Ya, dia
adalah yang tadi siang istirahat bersamaku di bawah
rindang dedaunan.
―Rahu, maukah kamu membuatkan puisi untukku.‖
Pintanya itu membuatku terhenyak, menjadikan
hatiku berdebar-debar dan berpikir, ―Yah!!! Mungkin,
inilah waktu yang tepat untuk mengungkapkan
perasaanku kepadanya.‖
―Hemmm...‖ aku tersenyum menoleh ke wajahnya
dalam balutan gelap malam, ―Aku tak bisa membuat
puisi.‖ “Ah, kalimat itu tak seharusnya yang aku
ucapkan. Tapi, Ah!!! Seharusnya bilang seperti ini:
„Sebenarnya dari tadi aku telah membuat puisi
untukmu, yang aku susun dari cahaya bintang yang
berkedip cantik seperti wajahmu.‟ Ah, Iya.
Seharusnya aku bilang seperti itu. Bodoh, bodoh,
bodoh.” hatiku ribut sendiri.
140. 140
―Ayolah, Rahu! Aku kemarin pernah baca puisimu
kok, di buku catatan kuliahmu.‖ ia memaksa.
Ah, Busyet, aku malu.
―Kamu jahil juga, ya, ternyata....‖ kataku menutupi
malu.
―Ayolah...!‖ paksanya dengan suara merengek manja.
―Baiklah, baiklah, tunggu sebentar, ya..‖
Suasana hening. Bening. Aku jumputi kata-kata yang
berkelebat dalam pikiranku, dalam hening malam nan
indah.
Beberapa saat kemudian, ―Ini puisiku untukmu.
Dengarkan..!‖ aku tetap menatap ke langit saat aku
mengungkapkan puisi itu.
141. 141
Senja Bening Lazuardi kembali menyapa
Desir angin dan dedaunan merunduk
Kaki ombak mulai berjingkrak
Berharap setiap malam ada sebongkah bahagia
Dalam hening senja bening lazuardi
Di dalam hati paling jauh
Menyimpan cahaya kerinduan yang semakin tumbuh
Menjelma malam pekat penuh rindu mengaduh.