SlideShare a Scribd company logo
1 of 17
Download to read offline
AFIKS YANG TERGOLONG RAGAM FRASA VERBA PADA ESAI
“BAHASA DAN SASTRA INDONESIA SEBAGAI IDENTITAS BANGSA”
KARYA SASTRI SUNARTI
MAKALAH
UNTUK MEMENUHI TUGAS MATAKULIAH
Sintaksis Bahasa Indonesia
Yang dibina oleh Bapak Sumadi
Oleh
Dita Devi Defianti 150211600396
UNIVERSITAS NEGERI MALANG
FAKULTAS SASTRA
JURUSAN SASTRA INDONESIA
Desember 2016
1. Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Bahasa merupakan sarana komunikasi yang digunakan masyarakat
dunia. Setiap wilayah memiliki bahasa tersendiri yang menjadi identitas
dari masing-masing wilayah. Negara indonesia menggunakan bahasa
Indonesia sebagai identitas sekaligus sebagai bahasa nasional pemersatu
bangsa. Akan tetapi, pada masing-masing daerahnya menggunakan bahasa
daerah tersendiri sebagai warisan kearifan lokal budaya Indonesia.
Sintaksis sebagai cabang ilmu bahasa mempunyai kedudukan yang
sama dengan fonologi, morfologi, dan semantik. Cabang-cabang ilmu
bahasa ini terbagi menjadi dua bagian besar yaitu morfologi dan sintaksis
termasuk tataran gramatika, sedangkan fonologi dan semantik termasuk
tataran di luar gramatika. Sintaksis adalah bahagian dari tata bahasa yang
membicarakan struktur frase dan kalimat (Ramlan dalam Tarigan, 1986).
Dalam kajian sintaksis terdapat pembahasan mengenai frasa yang
dapat digolongkan menjadi beberapa bagian. Oleh karena itu, dalam
makalah ini akan dibahas mengenai konsep dasar frasa, pengklasifikasian
frasa, yang pada akhirnya akan dibahas mengenai penggolongan frasa
verba.
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1 Bagaimanakah konsep dasar frasa?
1.2.2 Bagaimanakah konsep dasar frasa verba?
1.2.3 Bagaimanakah konsep dasar afiks?
1.2.4 Bagaimanakah klasifikasi afiks yang tergolong frasa verba dalam esai?
1.3 Tujuan
1.3.1 Memahami konsep dasar frasa.
1.3.2 Memahami konsep dasar frasa verba.
1.3.3 Memahami kosep dasar afiks.
1.3.4 Mengetahui klasifikasi afiks yang tergolong frasa verba dalam esai.
2. Pembahasan
2.1 Konsep Dasar Frasa
Frasa merupakan bagian kecil dalam kalimat. Menurut Ramlan
(1986:143), frase ialah satuan gramatik yang terdiri atas dua kata atau
lebih yang tidak melampaui batas fungsi, maksudnya frase itu selalu
terdapat dalam satu fungsi, ialah dalam S, P, O, Pel, atau KET. Elson dan
Pickett dalam (Sugondo dan Indiastini, 1994:14) mendefinisikan frasa
sebagai komposisi unit yang secara potensial terdiri dari dua kata atau
lebih, tetapi tidak memiliki ciri-ciri suatu klausa, dan kontruksi ini dapat
mengisi slot-slot pada tataran klausa. Chaer (dalam Sumadi, 2016)
mendefinisikan frasa sebagai gabungan dua kata atau lebih yang
merupakan satu kesatuan dan menjadi salah satu unsur atau fungsi kalimat
(subjek, predikat, objek, atau keterangan). Sementara itu, Samsuri (dalam
Sumadi, 2016) menyatakan bahwa frasa merupakan satuan sintaksis
terkecil yang merupakan pemadu kalimat.
Berbeda dengan pendapat ahli di atas, Sumadi (2016:12) frasa
menyatakan ialah satuan gramatik yang terdiri atas satu kata atau lebih
yang tidak melampaui batas fungsi dan tidak bersifat predikatif.
Berdasarkan paparan pendapat dari masing-masing ahli di atas,
dapat disimpulkan bahwa dapat disebut frasa apabila (1) terdiri atas satu
kata atau lebih, (2) tidak melampaui batas fungsi, serta (3) tidak bersifat
predikatif.
Dalam pengklasifikasian frasa terdapat dua dasar yang mendasari
pengklasifikasian frasa tersebut. Frasa dapat diklasifikasikan (1)
berdasarkan persaman distribusi dengan unsurnya atau pemadunya, (2)
berdasarkan kategori kata yang menjadi unsur pusat (UP) atau penandanya
(Sumadi, 2016).
Berdasarkan persamaan distribusi dengan unsurnya, frasa
diklasifikasikan menjadi frasa endosentris dan frasa eksosentris. Frasa
endosentris dapat dibagi menjadi frasa endosentris koordinatif, frasa
endosentris atributif, frasa endosentris apositif, serta frasa endosentris Ø
(Zero). Sedangkan frasa eksosentris dapat dibagi menjadi frasa eksosentris
konjungtif dan frasa eksosentris disjungtif.
Berdasarkan kategori kata yang menjadi UP atau penanda, frasa
diklasifikasikan menjadi frasa nomina, frasa verba, frasa adjektiva, frasa
numeralia, frasa preposisiona, dan frasa konjungsi.
2.2 Konsep Dasar Frasa Verba
Berdasarkan kategori kata yang menjadi UP atau penanda, frasa
diklasifikasikan menjadi beberapa bagian, salah satunya adalah frasa
verba. Frasa verba adalah kelompok kata yang didalamnya mengandung
verba. Sumadi (2016:99) mendefinisikan frasa verba sebagai frasa yang
UP-nya berupa kata-kata yang termasuk kategori verba. Frasa verba
biasanya ditandai dengan adanya afiks, yaitu meN-, meN-i, meN-kan,
memper, memper-i, memper-kan, di-, di-i, di-kan, ber-, ber-i, ber-kan, ter-,
ke-an, dsb.
Sedangkan dalam sumber lain menggunakan istilah frase verbal
dan frase golongan V untuk menyebut frasa verba. Frase verbal atau frase
golongan V ialah frase yang mempunyai distribusi yang sama dengan kata
golongan V (Ramlan, 1986:158-159). Berbeda dengan pendapat ahli
diatas, Kridalaksana (dalam Sugono dan Indiyastini, 1994:15) menyatakan
frasa verba sebagai satuan gramatikal yang didampingi partikel tidak dan
tidak dapat didahului preposisi di, ke, dari, atau dengan patikel seperti
sangat lebih atau agak.
Sementara itu dalam buku Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia,
Alwi, dkk. (2003:157) mendefinisikan frasa verbal sebagai satuan bahasa
yang terbentuk dari dua kata atau lebih dengan verba sebagai intinya tetapi
bentuk ini tidak merupakan klausa.
Berdasarkan pendapat ahli mengenai frasa verba di atas, dapat
disimpulkan bahwa dikatakan sebagai frasa verba apabila mempunyai ciri
(1) terdapat unsur yang berkategori verba, (2) tidak dapat didahului
preposisi di, ke, dari, atau dengan partikel lain sangat lebih atau agak, (3)
ditandai adanya afiks meN-, meN-i, meN-kan, memper, memper-i,
memper-kan, di-, di-i, di-kan, ber-, ber-i, ber-kan, ter-, ke-an, dsb.
Frasa verba dapat diklasifikasikan menjadi beberpa bagian. Sugono
dan Indiyastini (1994) mengklasifikasikan verba berdasarkan bentuknya.
Berdasarkan bentuknya verba terdiri atas verba tanpa tanda bentuk, dan
verba dengan tanda bentuk.
a) Verba tanpa tanda bentuk dapat disebut juga dengan verba
dasar. Verba tanpa tanda bentuk adalah verba yang tanpa
diikuti dengan afiks.
 Matahari terbit pada keesokan harinya.
 Generasi muda bangkit dari tidurnya.
Kedua contoh diatas mengandung verba dasar berupa terbit
dan bangkit. Verba dasar terbit dan bangkit merupakan verba
dasar yang membutuhkan komplemen yang mengikutinya
berupa keterangan.
b) Verba dengan tanda bentuk adalah verba yang mengandung
afiks. Afiks adalah satuan gramatik terikat yang bukan
merupakan bentuk dasar, tidak mempunyai makna leksikal, dan
hanya mempunyai makna gramatikal, serta dapat dilekatkan
pada bentuk asal atau bentuk dasar untuk membentuk bentuk
dasar dan atau kata baru (Sumadi, 2015:74). Umunya berupa
afiks meN-, di-, ber-, ter, per, dan ke-an.
Verba dengan tanda bentuk diklasifikasikan menjadi beberpa
bagian seperti berikut.
1) Verba Berafiks meN-
Verba berafiks meN- dapat berupa mem-, men-,
memper-kan, memper-i, mem-kan, mem-i. Dapat dilihat
pada contoh berikut ini.
 Bocah itu akan memperlihatkan barisan giginya
yang rusak.
 Aku bangkit memperbaiki baju yang telah
kukenakan.
2) Verba Berafiks di-
Verba berafiks di- dapat berupa di-i, di-kan, diper-,
diper-i, serta diper-kan. Seperti terdapat pada contoh
berikut ini.
 Makanan Vietnam itu tidak bisa dinikmati di
lidah melainkan di langit-langit.
 Seorang puteri Champa dipersunting sebagai
permaisuri.
3) Verba Berafiks ber-
Verba berafiks ber- dapat dilihat melalui contoh berikut
ini.
 Tusuk konde itu berbentuk naga.
 Kain itu bermotifkan bunga-bunga dan kupu-
kupu.
4) Verba Berafiks ter-
Verba berafiks ter- dapat dilihat melalui contoh berikut
ini.
 Sakitnya hanya dapat terobati oleh obat-obat.
 Sejumlah binatang liar terdesak ke tempat-
tempat yang tidak enak.
5) Verba Berafiks ke-an
Verba berafiks ke-an dapat dilihat melalui contoh
berikut ini.
 Para pengungsi korban banjir kekurangan
makanan dan obat-obatan.
6) Verba Berafiks per-
Verba berafiks per- dikelompokkan menjadi dua yaitu
verba yang kata dasarnya diawali konsonan /r/ dan yang
kedua adalah verba yang tidak diawali konsonan /r/.
Contoh verba berafiks per- yang kata dasarnya diawali
/r/ perajut, perendah, dsb. Sedangkan yang tidak
berawalan /r/ perketat, percepat, perpanjang, dsb.
Berbeda dengan pendapat di atas, Sumadi (2016:99) memilah verba
menjadi verba aktif dan verba keadaan. Verba aktif merupakan verba
yang ditandai dengan adanya kata ―sedang‖ di awal frasa, sedangkan
verba keadaan merupakan verba yang ditandai dengan adanya kata
―sudah‖. Berikut merupakan contoh dari verba aktif dan verba keadaan.
a) Semua mahasiswa sedang mendiskusikan masalah bangsa.
b) Kedua orang tuanya sudah meninggal.
Pada contoh kalimat a) menunjukkan contoh verba aktif karena
ditandai dengan adanya kata sedang, sedangkan pada kalimat b)
menunjukkan verba keadaan ditandai dengan adanya kata sudah.
2.3 Analisis Pengklasifikasian Afiks yang Tergolong Verba dalam Esai
“Bahasa dan Sastra Indonesia sebagai Identitas Bangsa” Karya Sastri
sunarti
Berdasarkan pemaparan mengenai konsep dasar frasa, konsep
dasar frasa verba serta bentuk-bentuknya, maka akan diklasifikasikan
berbagai afiks yang tergolong verba pada tabel berikut.
Verba
Tanpa
Tanda
Bentuk
Verba dengan Tanda Bentuk Verba
Aktif
(sedan
g)
Verba
Keadaan
(sudah)Berafiks
meN-
Berafik
s di-
Berafiks
ber-
Berafik
s ter-
Berafik
s ke-an
Berafik
s per-
Digunakan √ √
Menerima √ √
Mencetusk
an
√ √
Menelusuri √ √
Mengetah
ui
√ √
Dilakukan √ √
Menyebutk
an
√ √
Mencakup √ √ √
Terbit √ √ √
Bekerja √ √ √
Ditemukan √ √
dilaung-
laungkan
√ √
Mengguna
kan
√ √
Mencuat √ √
Menggolon
gkan
√ √
Dimaklumi √ √
Dibicaraka
n
√ √ √
Mengusun
g
√ √
Menyebab
kan
√ √
Didengung
kan
√ √
Diharapkan √ √
Menyumba
ngkan
√ √
Dikukuhka
n
√ √
Berkemban
g
√ √ √
Dipelajari √ √ √
Dianggap √ √
Menyangk
ut
√ √
Menorehk
an
√ √
Dikenal √ √ √
Mengandu
ng
√ √
Menawark
an
√ √
Terbaca √ √
Diberontak
i
√ √
Berupaya √ √ √
Terinspiras
i
√ √
Berkonsent
rasi
√ √ √
Memperlih
atkan
√ √ √
Memuat √ √ √
Dimuat √ √
Sejalan √ √
Disebabka
n
√ √
Diterapkan √ √ √
Mengingin
kan
√ √
Mengguna
kan
√ √
√ √
Berperan
Berdasarkan bentuknya verba dipilah menjadi verba tanpa tanda
bentuk dan verba dengan tanda bentuk. Pada tabel diatas verba dengan
tanda bentuk berupa afiks meN- dan afiks di- mendominasi pada
pengklasifikasian tersebut. Afiks meN- terdiri dari meN-, meN-kan, serta
meN-i, yang berupa menerima, mencetuskan, menelusuri, mengetahui,
menyebutkan, mencakup, menggunakan, mencuat, menggolongkan,
mengusung, menyebabkan, menyumbangkan, menyangkut, menorehkan,
mengandung, menawarkan, memperlihatkan, memuat, menginginkan dan
menggunakan. Sedangkan afiks di- terdiri dari di-, di-kan, serta di-i, yang
berupa digunakan, dilakukan, ditemukan, dilaungkan, dimaklumi,
dibicarakan, didengungkan, diharapkan, dikukuhkan, dipelajari, dianggap,
dikenal, diberontaki, dimuat, disebabkan, serta diterapkan.
Sementara itu selain afiks meN- dan di- terdapat pula afiks ter- dan
ber- yang tidak mendominasi pada tabel tersebut. Afiks ter- yang berupa
terbaca dan terinspirasi, sedangkan afiks ber- yang berupa bekerja,
berkembang, berupaya, berkonsentrasi, dan berperan.
Terdapat pula klasifikasi verba tanpa tanda bentuk atau verba
dasar. Verba tanpa tanda bentuk merupakan verba yang tanpa diikuti afiks.
Pada tabel di atas yang tergolong verba tanpa tanda bentuk atau verba
dasar adalah terbit dan sejalan.
Selain klasifikasi verba berdasarkan bentuknya, terdapat pula
klasifikasi verba yang berupa verba aktif dan verba keadaan. Verba aktif
diikuti oleh ―sedang‖ , sedangkan verba keadaan diikuti oleh ―sudah‖ di
awal frasa. Pada tabel analisis diatas verba pasif lebih mendominasi dari
verba aktif, akan tetapi terdapat pula afiks yang tergolong kedalam dua
verba yakni, aktif dan keadaan. Afiks yang tergolong pada verba aktif
adalah menelusuri, dilaungkan, menggunakan, mencuat, menggolongkan,
mengusung, menyebabkan, mengandung, menawarkan, diberontaki,
dimuat, menginginkan, dan menggunakan. Sedangkan yang tergolong
verba keadaan adalah berperan, disebabkan, sejalan, terbaca, menorehkan,
menyangkut, dikukuhkan, menyumbangkan, diharapkan, didengungkan,
menyebabkan, dimaklumi, ditemukan, menyebutkan, dilakukan,
mengetahui, mencetuskan, menerima, serta digunakan. Sementara yang
tergolong kedalam dua verba yakni aktif dan keadaan adalah mencakup,
terbit, bekerja, dibicarakan, berkembang, dipelajari, dikenal, berupaya,
terinspirasi, berkonsentrasi, memperlihatkan, memuat, serta diterapkan.
3. Penutup
3.1 Kesimpulan
Pada dasarnya penggunaan frasa verba merujuk pada lengkap ada
tidaknya predikat pada suatu kalimat. Tidak semua afiks di- tergolong
kedalam verba keadaan, begitupula pada afiks meN- tidak semua merujuk
pada verba aktif. Setelah diklasifikasi ternyata ditemukan afiks di- yang
tergolong verba aktif begitupula dengan afiks meN- yang tergolong verba
keadaan, bahkan terdapat afiks di- atau meN- yang tergolong kedalam dua
verba tersebut.
Daftar Rujukan
Alwi, Hasan; Soenjono Dharjowidjoyo; Hans Lapoliwa; Anton
Moeliono. 2003. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta:Balai
Pustaka.
Ramlan, M. 1986. Ilmu Bahasa Indonesia Sintaksis. Yogyakarta:CV
Karyono.
Sugondo, Dendy dan Titik Indiyastini. 1994. Verba dan
Komplementasinya. Jakarta:Pusat Pembinaan dan Pengembangan
Bahasa.
Sumadi. 2015. Morfologi Bahasa Indonesia. Malang:Universitas Negeri
Malang.
Sumadi. 2016. Sintaksis Bahasa Indonesia. Malang:A3 (Asih Asah
Asuh).
Sunarti, Sastri. 2014. Bahasa dan Sastra sebagai Identitas Bangsa.
(Online), (http://www.horisononline.or.id/esai/bahasa-dan-sastra-
indonesia-sebagai-identitas-bangsa) diakses pada 30 November
2016.
Tarigan, Henry Guntur. 1986. Pengajaran Sintaksis. Bandung:Angkasa.
Lampiran
Esai “Bahasa dan Sastra Indonesia Sebagai Identitas Bangsa” Karya Sastri
Sunarti
Kapan istilah Indonesia mulai digunakan?
Meski kita sudah menerima jadi kongres Pemuda yang mencetuskan
kesepakatan penggunaan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan di Hindia
Belanda pada masa lalu, ada baiknya juga kita menelusuri kembali kapan
sebetulnya istilah Indonesia ini digunakan.
Untuk mengetahui hal ini marilah kita mulai dari pengkajian surat kabar
dan dunia percetakan yang terbit di Hindia Belanda dan sudah dilakukan oleh
beberapa peneliti seperti Ahmad Adam (2003) dan disertasi saya sendiri (2011).
Ahmad Adam (2003:39),menyebutkan bahwa surat kabar berbahasa
Melayu pertama di pulau Jawa adalah adalah, Selompret Melajoe di Semarang
(1860) dan Bientang Timoor di Jawa Timur (1862).
Penyebaran surat kabar Bientang Timoor ini ternyata juga mencakup
wilayah Sumatera dan Makassar, sehingga di daerah lain seperti Minangkabau
juga terpicu menerbitkan surat kabar berbahasa Melayu pertama dengan nama
yang mirip yakni Bintang Timoer dengan beraksara Latin.
Edisi perdananya ialah pada tanggal 7 Desember 1864 dan kemudian
terbit secara rutin (mingguan setiap Rabu) mulai 4 Januari 1865.
Oleh sebab tidak memiliki mesin cetak sendiri maka penerbit ini bekerja
sama dengan percetakan Chatelin Press milik orang Belanda (Ahmad Adam,
2003, 41-43).
Pada periode ini penggunaan bahasa Indonesia di kalangan penerbit
pribumi masih belum ditemukan.
Barulah pada awal abad keduapuluh ketika semangat kebangsaan mulai
bangkit di kalangan pemuda dan rakyat Indonesia istilah Indonesia mulai ramai
dilaung-laungkan penggunaannnya
Para pemuda pergerakan yang duduk di wakil rakyat seperti Haji Agus
Salim dan kemudian diikuti oleh Muhammad Yamin, sudah mulai menyebutkan
bahasa Indonesia dan bukan lagi bahasa Melayu dalam pidato-pidato mereka yang
dimuat dalam surat kabar maupun ketika dalam rapat-rapat di wakil rakyat
(volksraad) di Hindia Belanda tahun 1919.
Namun, jauh sebelumnya beberapa sarjana Eropa seperti Adolf Sebastian
telah menggunakan istilah Indonesia ini dalam satu tulisan yang dimuat di
majalah de Malaisch tahun 1850.
Begitu pula ketika terbentuknya Serikat Islam pada tahun 1912, semangat
kebangsaan nasionalismepun sudah mencuat keras dalam kancah perjuangan
politik dan kebudayaan para pemuda pergerakan.
Di bidang kesusastraan, tepatnya pada tahun 1937—1942 di Medan,
Sumatera Utara, terbit roman-roman yang dijuluki ―Roman Medan‖ oleh
Roolvink (1955).
Balai Pustaka sebagai lembaga resmi kebudayaan di Hindia Belanda pada
masa itu menggolongkan roman tersebut sebagai karya picisan dan bahkan
bacaaan liar, (Erlis, 2005:30--31).
Hal ini dapat dimaklumi karena berdasarkan hasil penelitia Erlis dan
kawan-kawan (2005) ternyata dalam Roman Medan, isu-isu kemerdekaan,
pergerakan politik, dan anti pemerintah Hindia Belanda amat banyak dibicarakan
oleh tokoh-tokoh dalam karya tersebut.
Kebanyakan peran tokoh utama dalam Roman Medan adalah kaum
pergerakan yang sudah barang tentu mengusung semangat kemerdekaan.
Oleh sebab itu dapatlah dimaklumi jika kemudian pemerintah Belanda
melalui Balai Pustaka menggolongkan karya-karya seperti itu sebagai bacaan
bermutu rendah.
Sebaliknya, dalam karya-karya Roman Medan selain ditemukan isu-isu
kebangkitan bangsa, semangat Nasionalisme, juga ditemukan isu perkawinan
antarras.
Tempat bertumbuhnya Roman Medan ini ternyata juga tidak hanya
terbatas di kota Medan saja, melainkan juga terdapat di beberapa daerah lain
seperti di Solo, Padang, Bukitinggi, dan Yogyakarta.
Semangat nasionalisme dan isu kebangsaaan yang kerap dimuat dalam
roman-roman tersebut menyebabkan beberapa penulis dan penerbitnya pernah
dibreidel oleh Belanda.
Di dalam terbitan karya-karya Roman Medan seperti inilah sebetulnya
kita banyak menemukan penggunaan istilah Indonesia dilaung-laungkan pada
masa-masa awal kebangkitan kebangsaan dan semangat nasionalisme mulai
didengungkan secara terbuka dalam dunia penerbitan dan percetakan.
Di satu sisi, penelusuran terhadap karya-karya Roman Medan,
sebagaimana yang telah dilakukan oleh Erlis dan kawa-kawan di atas merupakan
salah satu usaha untuk melengkapi penulisan sejarah sastra Indonesia.
Yang pada akhirnya nanti penulisan sejarah sastra tersebut diharapkan
akan menyumbangkan pemikiran yang berharga untuk mengetahui sejarah dan
perkembangan pemikiran bangsa Indonesia melalui penelitian yang intensif
terhadap Roman Medan sehingga akan dapat diketahui ideologi kebangsaan pada
masa itu.
Sebagaimana kita mengenal beberapa karya sastra lain seperti Student
Hidjo karya Mas Marco Martodikromo yang jauh lebih awal juga telah
menyinggung masalah nasionalisme ini.
Situasi Setelah Kemerdekaan
Setelah kemerdekaan Indonesia tahun 1945, bahasa Indonesia sebagai
bahasa resmi negara dikukuhkan dalam Undang-Undang Dasar 1945 kkhususnya
Bab XV, pasal 32 dan 36. Kemudian dikukuhkan dalam undang-undang
kebahasaan tahun 2010. Bahasa dan sastra Indonesia semakin mantap dikukuhkan
sebagai alat pemersatu dan pengikat bagi seluruh rakyat Indonesia. Bahasa
Indonesia sebagai identitas bangsa juga semakin kuat tercermin melalui
kemunculan karya sastra Indonesia modern yang berkembang dengan pesat
setelah kemerdekaan.
Bahasa yang dapat dipelajari melalui karya sastra sebagaiman telah
disebutkan di atas sarat dengan kandungan pemikiran dan ideologi. Kedua unsur
inilah yang kemudian dianggap sebagai jatidiri suatu bangsa. Dalam hubungan
antarbangsa, identitas menjadi penting karena menyangkut keberlanjutan
eksistensi sebuah bangsa lebih-lebih dalam konteks global. Kepentingan identitas
menjadi utama kalau kita ingin menunjukkan diri sebagai bangsa dalam gempuran
budaya global.
Karya Sastra dapat menjadi dinding identitas itu selama sang pengarang
memiliki keterpanggilan untuk berbuat sesuatu yang besar bagi bangsanya.
Sutardji Calzoum Bachri, dalam sebuah kesempatan di tahun 2006, menyatakan
bahwa dengan karyanya seorang pengarang menorehkan identitas dirinya. Ketika
seorang pengarang menorehkan identitasa dirinya, ia juga telah menorehkan
identitas bangsanya. Jadi, sastra memberikan ruang yang di dalamnya kebangsaan
dapat kita temukan. Sebagaimana alam Melayu (Malay World) di wilayah
serantau ini mengenalkan Hamzah Fansuri sebagai penyair dari zaman
kegemilangan tamaddun Melayu masa lampau atau William Shakespeare sebagai
sastrawan Inggris dari zaman Victoria yang dikenal di seluruh dunia.
Karya sastra seperti puisi misalnya mengandung lirik-lirik yang personal
dan indah, yang menyuarakan kesepian, kesendirian, dan keterasingan manusia.
Sebagaimana terbaca dalam sajak-sajak, Chairil Anwar, Abdul Hadi WM,
Subagio Sastrowardoyo, Sapardi Djoko Damono, Goenawan Mohamad, dan lain-
lain. Pada sajak Sutardji Calzoum Bachri misalnya, mencuat nada nihilistik dan
renungan-renungan surealis. Pada sajak-sajak Danarto, Kuntowijoyo, dan Sutardji
Calzoum Bachri cenderung muncul unsur mistikal dan sufistik. Juga dalam
beberapa beberapa puisi, Taufiq Ismail, Emha Ainunnadjib, D. Zawawi Imron dan
lain-lain. Melalui karyanya mereka menawarkan sumber-sumber kearifan lokal –
yaitu tasawuf dan mistisisme – sebagai kerangka dasar keindahan puitikanya,
(Abdul Hadi WM, 2010: 13-14).
Karya-karya sastra seperti prosa yang mengeksplorasi budaya lokal juga
akan terbaca pada novel Umar Kayyam, Chairul Harun, Y. B, Mangunwijaya, dan
lain-lain. Melalui karya sastra pula kita dapat menemukan konteks sosial dan
zaman yang terepresentasi dalam sajak-sajak milik WS. Rendra, Taufiq Ismail,
Emha Ainunnadjib, Hamid Jabbar, dan lain-lain. Demikian pula jika kita
membaca kembali tetralogi karya Pramoedya Anantatoer yang terkenal itu Bumi
Manusia, Anak Semua Bangsa, Jalan Lurus, dan Rumah Kaca, maka akan kita
temukan isu-isu yang dimuat di dalamnya tidak terbatas pada persoalan suatu
bangsa (Indonesia masa penjajahan) saja. Meskipun keempat novel itu banyak
berbicara tentang manusia Jawa tetapi menurut Sudibyo (2007:18) Jawa justru
menjadi unsur yang diberontaki oleh penulis. Terutama mentalitas Jawa yang
terbelakang, tidak kritis, hipokrit, pasrah, dan terlalu loyal pada atasan. Tokoh
protagonist Minke dalam novel tersebut berupaya keras mengingkari
kejawaaannya dan berupaya bertransformasi menjadi manusia kosmopolitan, anak
semua bangsa yang menyusu tidak hanya dari peradaban Eropa melainkan juga
peradaban unggul dari Asia. Keempat novel ini yang mengambil latar waktu pada
pergantian abad ke 19-20 sangat terinspirasi pada perubahan zaman terutama pada
kebangkitan Jepang yang sangat cepat pasca restorasi Meiji dan organisasi bawah
tanah Cina perantauan yang berusaha mengembalikan misi suci membangun
imperium Cina yang bermartabat. Dua novel Pramudya yang terakhir yakni Jalan
Lurus dan Rumah Kaca sangat berkosentrasi pada pembenihan dan persemaian
kebangkitan bangsa Hindia-Belanda (baca Indonesia) pada pergantian abad
tersebut.
Jauh sebelum kemunculan sastran modern di atas, bahasa dan sastra
Indonesia yang berakar dari bahasa Melayu telah memperlihatkan fungsinya
sebagai jatidiri bangsa di Nusantara. Historiografi tradisional yang terdapat
dalam khasanah sastra tulis maupun tradisi lisan masyarakat di Nusantara memuat
kearifan tersendiri. Hasil karya nenek moyang kita tersebut dimuat dalam
klasifikasi tersendiri seperti, tambo, babad, riwayat, hikayat, riwayakna,
salasilah, serat sarasilah, pustakaraja, ruwayat dan lain sebagainya memuat
pemahaman asal-usul suatu komunitas, tempat, atau tokoh dari sebuah negeri di
Nusantara. Misalnya, Hikayat Raja-Raja Pasai yang menurut Winstedt dalam
(Sweeney, 1967:94) merupakan ―sejarah‖ dalam kesusastraan Melayu yang
paling tua. Selain Hikayat Raja-Raja Pasai (1960) juga terdapat Salasilah Kutai
(1981) dari Kalimantan, Tambo Minangkabau (1991), dan sejarah raja-raja di
Jawa dalam Babad Tanah Jawi, Babad Demak, Pustakaraja Purwa, Sajarah
Ageng,Nusa Jawi, Serat Purwakanda, Serat Sarasilah Raja-Raja Jawa
(Djamaris, 1991:13), I Laga Ligo (1991) dari Sulawesi Selatan, dan lain
sebagainya.
Keadaan Kebahasaan saat ini
Kekayaan sastra yang telah digambarkan di atas hendaknya juga sejalan
dengan fungsi kekayaan bahasa daerah di Indonesia yakni sejogyanya menjadi
penyumbang bagi pengembangan bahasa Indonesia ke depan. Untuk itu, perlu
sekali kita mengingat kembali kondisi kebahasaan kita saat ini yang menurut
Yayah Lumintaintang (1999:137) adalah bahasa yang bilingual/multilingual, baik
secara individual maupun secara komunal. Hal ini disebabkan penutur bahasa di
Indonesia selain menggunakan bahasa Indonesia kita juga memiliki kekayaan
bahasa daerah yang saat ini menurut data Linguists List per 1 April 2008 terdapat
sebanyak 746 bahasa daerah termasuk bahasa Cina di wilayah Indonesia (Ganjar,
2010: 34).
Di sinilah politik bahasa yang tepat perlu diterapkan sehingga bahasa
daerah tidak menjadi terancam perannya dan bahasa ibu tetap dapat hidup dan
berkembang dengan baik ketika kebijakan bahasa Indonesia menjadi pilihan
politis yang juga harus dijalankan. Kita tentu tidak menginginkan situasi
kebahasaan yang rumit seperti di India terjadi juga di negera kita. India yang juga
memiliki ratusan bahasa daerah terpaksa menggunakan bahasa Inggris sebagai
bahasa Nasional kedua ketika bahasa Nasional resmi yakni Hindi tidak mampu
menjadi jembatan bagi alat komunikasi yang menyatukan bangsa India yang multi
etnik tersebut. Belum lagi persoalan penyerapan kata asing ke dalam bahasa
Indonesia seperti yang disampaikan oleh Remy Sylado (2005) bahwa 9 dari 10
kosakata Bahasa Indonesia adalah bahasa asing. Hal ini tentu agak menyedihkan
jika mengingat betapa kayanya bahasa daerah yang dapat kita kita manfaatkan
untuk menambah kosakata bahasa Indonesia tersebut. Tetapi sayang hal ini belum
terlaksana dengan baik.
Di sinilah peran dan tantangan yang harus kita ambil sebagai peneliti
kebahasaan dan kesastraan Indonesia dan daerah baik yang berada di lembaga
bahasa seperti Badan Bahasa dan kantor Balai Bahasa maupun perguran tinggi
seperti Universitas Negeri Gorontalo untuk berperan mengembangkan bahasa dan
sastra Indonesia ke depannya.

More Related Content

What's hot

Hbml2103 morfologi dan_sintaksis
Hbml2103 morfologi dan_sintaksisHbml2103 morfologi dan_sintaksis
Hbml2103 morfologi dan_sintaksisFaridah Husin
 
Bml 3053 morfologi bahasa melayu(perbandingan kata adjektif)
Bml 3053 morfologi bahasa melayu(perbandingan kata adjektif)Bml 3053 morfologi bahasa melayu(perbandingan kata adjektif)
Bml 3053 morfologi bahasa melayu(perbandingan kata adjektif)maee68
 
Bml 3053 morfologi bahasa melayu tugasan perbandingan
Bml 3053 morfologi bahasa melayu tugasan perbandinganBml 3053 morfologi bahasa melayu tugasan perbandingan
Bml 3053 morfologi bahasa melayu tugasan perbandinganmaee68
 
A.Dengan membuat rujukan kepada beberapa buah buku Semantik, bincangkan tenta...
A.Dengan membuat rujukan kepada beberapa buah buku Semantik, bincangkan tenta...A.Dengan membuat rujukan kepada beberapa buah buku Semantik, bincangkan tenta...
A.Dengan membuat rujukan kepada beberapa buah buku Semantik, bincangkan tenta...darminladiro
 
4. kata, frase, dan klausa, dalam kalimat
4. kata, frase, dan klausa, dalam kalimat4. kata, frase, dan klausa, dalam kalimat
4. kata, frase, dan klausa, dalam kalimatbusitisahara
 
ANALISIS WACANA KOHESI DAN KOHERENSI
ANALISIS WACANA KOHESI DAN KOHERENSIANALISIS WACANA KOHESI DAN KOHERENSI
ANALISIS WACANA KOHESI DAN KOHERENSIArief Kurniatama
 
Konsep tatabahasa secara umum
Konsep tatabahasa secara umumKonsep tatabahasa secara umum
Konsep tatabahasa secara umumJaf Hussin
 
Assignement
AssignementAssignement
AssignementSJKCHAU
 
Morfologi Bahsa Indonesia
Morfologi Bahsa IndonesiaMorfologi Bahsa Indonesia
Morfologi Bahsa IndonesiaDarwis Maulana
 
Wacana Penulisan
Wacana Penulisan Wacana Penulisan
Wacana Penulisan Alif Akram
 

What's hot (20)

Jenis-Jenis Semantik
Jenis-Jenis SemantikJenis-Jenis Semantik
Jenis-Jenis Semantik
 
Hbml2103 morfologi dan_sintaksis
Hbml2103 morfologi dan_sintaksisHbml2103 morfologi dan_sintaksis
Hbml2103 morfologi dan_sintaksis
 
Bml 3053 morfologi bahasa melayu(perbandingan kata adjektif)
Bml 3053 morfologi bahasa melayu(perbandingan kata adjektif)Bml 3053 morfologi bahasa melayu(perbandingan kata adjektif)
Bml 3053 morfologi bahasa melayu(perbandingan kata adjektif)
 
Nota morfologi
Nota morfologiNota morfologi
Nota morfologi
 
KLAUSA
KLAUSAKLAUSA
KLAUSA
 
Frasa dan klausa
Frasa dan klausaFrasa dan klausa
Frasa dan klausa
 
Bml 3053 morfologi bahasa melayu tugasan perbandingan
Bml 3053 morfologi bahasa melayu tugasan perbandinganBml 3053 morfologi bahasa melayu tugasan perbandingan
Bml 3053 morfologi bahasa melayu tugasan perbandingan
 
Sintaksis
SintaksisSintaksis
Sintaksis
 
A.Dengan membuat rujukan kepada beberapa buah buku Semantik, bincangkan tenta...
A.Dengan membuat rujukan kepada beberapa buah buku Semantik, bincangkan tenta...A.Dengan membuat rujukan kepada beberapa buah buku Semantik, bincangkan tenta...
A.Dengan membuat rujukan kepada beberapa buah buku Semantik, bincangkan tenta...
 
Sintaksis
SintaksisSintaksis
Sintaksis
 
Morfologi
MorfologiMorfologi
Morfologi
 
Sintaksis
SintaksisSintaksis
Sintaksis
 
Sintaksis
SintaksisSintaksis
Sintaksis
 
4. kata, frase, dan klausa, dalam kalimat
4. kata, frase, dan klausa, dalam kalimat4. kata, frase, dan klausa, dalam kalimat
4. kata, frase, dan klausa, dalam kalimat
 
ANALISIS WACANA KOHESI DAN KOHERENSI
ANALISIS WACANA KOHESI DAN KOHERENSIANALISIS WACANA KOHESI DAN KOHERENSI
ANALISIS WACANA KOHESI DAN KOHERENSI
 
Konsep tatabahasa secara umum
Konsep tatabahasa secara umumKonsep tatabahasa secara umum
Konsep tatabahasa secara umum
 
Assignement
AssignementAssignement
Assignement
 
Morfologi Bahsa Indonesia
Morfologi Bahsa IndonesiaMorfologi Bahsa Indonesia
Morfologi Bahsa Indonesia
 
Wacana Penulisan
Wacana Penulisan Wacana Penulisan
Wacana Penulisan
 
Nota wacana
Nota wacanaNota wacana
Nota wacana
 

Similar to Ragam frasa verba

Similar to Ragam frasa verba (20)

Morfologi 2 april-2019 isi
Morfologi 2 april-2019 isiMorfologi 2 april-2019 isi
Morfologi 2 april-2019 isi
 
Sintaksis
SintaksisSintaksis
Sintaksis
 
ppt indo.pptx
ppt indo.pptxppt indo.pptx
ppt indo.pptx
 
Tata bahasa indonesia dasar
Tata bahasa indonesia dasarTata bahasa indonesia dasar
Tata bahasa indonesia dasar
 
Struktur morfologi bahasa indonesia
Struktur morfologi bahasa indonesiaStruktur morfologi bahasa indonesia
Struktur morfologi bahasa indonesia
 
Frasa 2010
Frasa 2010 Frasa 2010
Frasa 2010
 
sandang kata
sandang katasandang kata
sandang kata
 
Buku penghubung 2018
Buku penghubung 2018Buku penghubung 2018
Buku penghubung 2018
 
Pengertian wacana
Pengertian wacanaPengertian wacana
Pengertian wacana
 
Proposal
ProposalProposal
Proposal
 
Konjungsi Koordinatif dan Subordinatif Bahasa Minangkabau
Konjungsi Koordinatif dan Subordinatif Bahasa MinangkabauKonjungsi Koordinatif dan Subordinatif Bahasa Minangkabau
Konjungsi Koordinatif dan Subordinatif Bahasa Minangkabau
 
Sintaksis 1 jadi
Sintaksis 1 jadiSintaksis 1 jadi
Sintaksis 1 jadi
 
Nota wacana
Nota wacanaNota wacana
Nota wacana
 
Pengertian Kalimat dan Klasifikasi Kalimat.docx
Pengertian Kalimat dan Klasifikasi Kalimat.docxPengertian Kalimat dan Klasifikasi Kalimat.docx
Pengertian Kalimat dan Klasifikasi Kalimat.docx
 
Pengertian Kalimat dan Klasifikasi Kalimat.pdf
Pengertian Kalimat dan Klasifikasi Kalimat.pdfPengertian Kalimat dan Klasifikasi Kalimat.pdf
Pengertian Kalimat dan Klasifikasi Kalimat.pdf
 
BAHASA INDONESIA
BAHASA INDONESIABAHASA INDONESIA
BAHASA INDONESIA
 
Semantik makna
Semantik maknaSemantik makna
Semantik makna
 
Bab 3-modul-bahasa-keimluan-edt1
Bab 3-modul-bahasa-keimluan-edt1Bab 3-modul-bahasa-keimluan-edt1
Bab 3-modul-bahasa-keimluan-edt1
 
Makalah kesinoniman kata dalam bahasa muna
Makalah kesinoniman kata dalam bahasa munaMakalah kesinoniman kata dalam bahasa muna
Makalah kesinoniman kata dalam bahasa muna
 
Makalah kesinoniman kata dalam bahasa muna
Makalah kesinoniman kata dalam bahasa munaMakalah kesinoniman kata dalam bahasa muna
Makalah kesinoniman kata dalam bahasa muna
 

Recently uploaded

Topik 1 - Pengenalan Penghayatan Etika dan Peradaban Acuan Malaysia.pptx
Topik 1 - Pengenalan Penghayatan Etika dan Peradaban Acuan Malaysia.pptxTopik 1 - Pengenalan Penghayatan Etika dan Peradaban Acuan Malaysia.pptx
Topik 1 - Pengenalan Penghayatan Etika dan Peradaban Acuan Malaysia.pptxsyafnasir
 
adap penggunaan media sosial dalam kehidupan sehari-hari.pptx
adap penggunaan media sosial dalam kehidupan sehari-hari.pptxadap penggunaan media sosial dalam kehidupan sehari-hari.pptx
adap penggunaan media sosial dalam kehidupan sehari-hari.pptxmtsmampunbarub4
 
DESAIN MEDIA PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA BERBASIS DIGITAL.pptx
DESAIN MEDIA PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA BERBASIS DIGITAL.pptxDESAIN MEDIA PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA BERBASIS DIGITAL.pptx
DESAIN MEDIA PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA BERBASIS DIGITAL.pptxFuzaAnggriana
 
MATERI 1_ Modul 1 dan 2 Konsep Dasar IPA SD jadi.pptx
MATERI 1_ Modul 1 dan 2 Konsep Dasar IPA SD jadi.pptxMATERI 1_ Modul 1 dan 2 Konsep Dasar IPA SD jadi.pptx
MATERI 1_ Modul 1 dan 2 Konsep Dasar IPA SD jadi.pptxrofikpriyanto2
 
PRESENTASI PEMBELAJARAN IPA PGSD UT MODUL 2
PRESENTASI PEMBELAJARAN IPA PGSD UT MODUL 2PRESENTASI PEMBELAJARAN IPA PGSD UT MODUL 2
PRESENTASI PEMBELAJARAN IPA PGSD UT MODUL 2noviamaiyanti
 
PRESENTASI EEC social mobile, and local marketing.pptx
PRESENTASI EEC social mobile, and local marketing.pptxPRESENTASI EEC social mobile, and local marketing.pptx
PRESENTASI EEC social mobile, and local marketing.pptxPCMBANDUNGANKabSemar
 
PUEBI.bahasa Indonesia/pedoman umum ejaan bahasa Indonesia pptx.
PUEBI.bahasa Indonesia/pedoman umum ejaan bahasa Indonesia pptx.PUEBI.bahasa Indonesia/pedoman umum ejaan bahasa Indonesia pptx.
PUEBI.bahasa Indonesia/pedoman umum ejaan bahasa Indonesia pptx.aechacha366
 
Teknik Menjawab Kertas P.Moral SPM 2024.pptx
Teknik Menjawab Kertas P.Moral SPM  2024.pptxTeknik Menjawab Kertas P.Moral SPM  2024.pptx
Teknik Menjawab Kertas P.Moral SPM 2024.pptxwongcp2
 
IPA Kelas 9 BAB 10 - www.ilmuguru.org.pptx
IPA Kelas 9 BAB 10 - www.ilmuguru.org.pptxIPA Kelas 9 BAB 10 - www.ilmuguru.org.pptx
IPA Kelas 9 BAB 10 - www.ilmuguru.org.pptxErikaPuspita10
 
RENCANA + Link2 Materi Pelatihan/BimTek "Teknik Perhitungan & Verifikasi TKDN...
RENCANA + Link2 Materi Pelatihan/BimTek "Teknik Perhitungan & Verifikasi TKDN...RENCANA + Link2 Materi Pelatihan/BimTek "Teknik Perhitungan & Verifikasi TKDN...
RENCANA + Link2 Materi Pelatihan/BimTek "Teknik Perhitungan & Verifikasi TKDN...Kanaidi ken
 
UNGGAH PEGANGAN LOKAKARYA DAN PENDAMPINGAN INDIVIDU DALAM KEGIATAN PEMBEKALAN...
UNGGAH PEGANGAN LOKAKARYA DAN PENDAMPINGAN INDIVIDU DALAM KEGIATAN PEMBEKALAN...UNGGAH PEGANGAN LOKAKARYA DAN PENDAMPINGAN INDIVIDU DALAM KEGIATAN PEMBEKALAN...
UNGGAH PEGANGAN LOKAKARYA DAN PENDAMPINGAN INDIVIDU DALAM KEGIATAN PEMBEKALAN...jumadsmanesi
 
Catatan di setiap Indikator Fokus Perilaku
Catatan di setiap Indikator Fokus PerilakuCatatan di setiap Indikator Fokus Perilaku
Catatan di setiap Indikator Fokus PerilakuHANHAN164733
 
Materi power point Kepemimpinan leadership .ppt
Materi power point Kepemimpinan leadership .pptMateri power point Kepemimpinan leadership .ppt
Materi power point Kepemimpinan leadership .pptAcemediadotkoM1
 
Kisi-kisi UTS Kelas 9 Tahun Ajaran 2023/2024 Semester 2 IPS
Kisi-kisi UTS Kelas 9 Tahun Ajaran 2023/2024 Semester 2 IPSKisi-kisi UTS Kelas 9 Tahun Ajaran 2023/2024 Semester 2 IPS
Kisi-kisi UTS Kelas 9 Tahun Ajaran 2023/2024 Semester 2 IPSyudi_alfian
 
aksi nyata pendidikan inklusif.pelatihan mandiri pmm
aksi nyata pendidikan inklusif.pelatihan mandiri pmmaksi nyata pendidikan inklusif.pelatihan mandiri pmm
aksi nyata pendidikan inklusif.pelatihan mandiri pmmeunikekambe10
 
Kesebangunan Segitiga matematika kelas 7 kurikulum merdeka.pptx
Kesebangunan Segitiga matematika kelas 7 kurikulum merdeka.pptxKesebangunan Segitiga matematika kelas 7 kurikulum merdeka.pptx
Kesebangunan Segitiga matematika kelas 7 kurikulum merdeka.pptxDwiYuniarti14
 
MA Kelas XII Bab 1 materi musik mkontemnporerFase F.pdf
MA Kelas XII  Bab 1 materi musik mkontemnporerFase F.pdfMA Kelas XII  Bab 1 materi musik mkontemnporerFase F.pdf
MA Kelas XII Bab 1 materi musik mkontemnporerFase F.pdfcicovendra
 
SILABUS MATEMATIKA SMP kurikulum K13.docx
SILABUS MATEMATIKA SMP kurikulum K13.docxSILABUS MATEMATIKA SMP kurikulum K13.docx
SILABUS MATEMATIKA SMP kurikulum K13.docxrahmaamaw03
 
Panduan Substansi_ Pengelolaan Kinerja Kepala Sekolah Tahap Pelaksanaan.pptx
Panduan Substansi_ Pengelolaan Kinerja Kepala Sekolah Tahap Pelaksanaan.pptxPanduan Substansi_ Pengelolaan Kinerja Kepala Sekolah Tahap Pelaksanaan.pptx
Panduan Substansi_ Pengelolaan Kinerja Kepala Sekolah Tahap Pelaksanaan.pptxsudianaade137
 
TPPK_panduan pembentukan tim TPPK di satuan pendidikan
TPPK_panduan pembentukan tim TPPK di satuan pendidikanTPPK_panduan pembentukan tim TPPK di satuan pendidikan
TPPK_panduan pembentukan tim TPPK di satuan pendidikanNiKomangRaiVerawati
 

Recently uploaded (20)

Topik 1 - Pengenalan Penghayatan Etika dan Peradaban Acuan Malaysia.pptx
Topik 1 - Pengenalan Penghayatan Etika dan Peradaban Acuan Malaysia.pptxTopik 1 - Pengenalan Penghayatan Etika dan Peradaban Acuan Malaysia.pptx
Topik 1 - Pengenalan Penghayatan Etika dan Peradaban Acuan Malaysia.pptx
 
adap penggunaan media sosial dalam kehidupan sehari-hari.pptx
adap penggunaan media sosial dalam kehidupan sehari-hari.pptxadap penggunaan media sosial dalam kehidupan sehari-hari.pptx
adap penggunaan media sosial dalam kehidupan sehari-hari.pptx
 
DESAIN MEDIA PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA BERBASIS DIGITAL.pptx
DESAIN MEDIA PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA BERBASIS DIGITAL.pptxDESAIN MEDIA PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA BERBASIS DIGITAL.pptx
DESAIN MEDIA PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA BERBASIS DIGITAL.pptx
 
MATERI 1_ Modul 1 dan 2 Konsep Dasar IPA SD jadi.pptx
MATERI 1_ Modul 1 dan 2 Konsep Dasar IPA SD jadi.pptxMATERI 1_ Modul 1 dan 2 Konsep Dasar IPA SD jadi.pptx
MATERI 1_ Modul 1 dan 2 Konsep Dasar IPA SD jadi.pptx
 
PRESENTASI PEMBELAJARAN IPA PGSD UT MODUL 2
PRESENTASI PEMBELAJARAN IPA PGSD UT MODUL 2PRESENTASI PEMBELAJARAN IPA PGSD UT MODUL 2
PRESENTASI PEMBELAJARAN IPA PGSD UT MODUL 2
 
PRESENTASI EEC social mobile, and local marketing.pptx
PRESENTASI EEC social mobile, and local marketing.pptxPRESENTASI EEC social mobile, and local marketing.pptx
PRESENTASI EEC social mobile, and local marketing.pptx
 
PUEBI.bahasa Indonesia/pedoman umum ejaan bahasa Indonesia pptx.
PUEBI.bahasa Indonesia/pedoman umum ejaan bahasa Indonesia pptx.PUEBI.bahasa Indonesia/pedoman umum ejaan bahasa Indonesia pptx.
PUEBI.bahasa Indonesia/pedoman umum ejaan bahasa Indonesia pptx.
 
Teknik Menjawab Kertas P.Moral SPM 2024.pptx
Teknik Menjawab Kertas P.Moral SPM  2024.pptxTeknik Menjawab Kertas P.Moral SPM  2024.pptx
Teknik Menjawab Kertas P.Moral SPM 2024.pptx
 
IPA Kelas 9 BAB 10 - www.ilmuguru.org.pptx
IPA Kelas 9 BAB 10 - www.ilmuguru.org.pptxIPA Kelas 9 BAB 10 - www.ilmuguru.org.pptx
IPA Kelas 9 BAB 10 - www.ilmuguru.org.pptx
 
RENCANA + Link2 Materi Pelatihan/BimTek "Teknik Perhitungan & Verifikasi TKDN...
RENCANA + Link2 Materi Pelatihan/BimTek "Teknik Perhitungan & Verifikasi TKDN...RENCANA + Link2 Materi Pelatihan/BimTek "Teknik Perhitungan & Verifikasi TKDN...
RENCANA + Link2 Materi Pelatihan/BimTek "Teknik Perhitungan & Verifikasi TKDN...
 
UNGGAH PEGANGAN LOKAKARYA DAN PENDAMPINGAN INDIVIDU DALAM KEGIATAN PEMBEKALAN...
UNGGAH PEGANGAN LOKAKARYA DAN PENDAMPINGAN INDIVIDU DALAM KEGIATAN PEMBEKALAN...UNGGAH PEGANGAN LOKAKARYA DAN PENDAMPINGAN INDIVIDU DALAM KEGIATAN PEMBEKALAN...
UNGGAH PEGANGAN LOKAKARYA DAN PENDAMPINGAN INDIVIDU DALAM KEGIATAN PEMBEKALAN...
 
Catatan di setiap Indikator Fokus Perilaku
Catatan di setiap Indikator Fokus PerilakuCatatan di setiap Indikator Fokus Perilaku
Catatan di setiap Indikator Fokus Perilaku
 
Materi power point Kepemimpinan leadership .ppt
Materi power point Kepemimpinan leadership .pptMateri power point Kepemimpinan leadership .ppt
Materi power point Kepemimpinan leadership .ppt
 
Kisi-kisi UTS Kelas 9 Tahun Ajaran 2023/2024 Semester 2 IPS
Kisi-kisi UTS Kelas 9 Tahun Ajaran 2023/2024 Semester 2 IPSKisi-kisi UTS Kelas 9 Tahun Ajaran 2023/2024 Semester 2 IPS
Kisi-kisi UTS Kelas 9 Tahun Ajaran 2023/2024 Semester 2 IPS
 
aksi nyata pendidikan inklusif.pelatihan mandiri pmm
aksi nyata pendidikan inklusif.pelatihan mandiri pmmaksi nyata pendidikan inklusif.pelatihan mandiri pmm
aksi nyata pendidikan inklusif.pelatihan mandiri pmm
 
Kesebangunan Segitiga matematika kelas 7 kurikulum merdeka.pptx
Kesebangunan Segitiga matematika kelas 7 kurikulum merdeka.pptxKesebangunan Segitiga matematika kelas 7 kurikulum merdeka.pptx
Kesebangunan Segitiga matematika kelas 7 kurikulum merdeka.pptx
 
MA Kelas XII Bab 1 materi musik mkontemnporerFase F.pdf
MA Kelas XII  Bab 1 materi musik mkontemnporerFase F.pdfMA Kelas XII  Bab 1 materi musik mkontemnporerFase F.pdf
MA Kelas XII Bab 1 materi musik mkontemnporerFase F.pdf
 
SILABUS MATEMATIKA SMP kurikulum K13.docx
SILABUS MATEMATIKA SMP kurikulum K13.docxSILABUS MATEMATIKA SMP kurikulum K13.docx
SILABUS MATEMATIKA SMP kurikulum K13.docx
 
Panduan Substansi_ Pengelolaan Kinerja Kepala Sekolah Tahap Pelaksanaan.pptx
Panduan Substansi_ Pengelolaan Kinerja Kepala Sekolah Tahap Pelaksanaan.pptxPanduan Substansi_ Pengelolaan Kinerja Kepala Sekolah Tahap Pelaksanaan.pptx
Panduan Substansi_ Pengelolaan Kinerja Kepala Sekolah Tahap Pelaksanaan.pptx
 
TPPK_panduan pembentukan tim TPPK di satuan pendidikan
TPPK_panduan pembentukan tim TPPK di satuan pendidikanTPPK_panduan pembentukan tim TPPK di satuan pendidikan
TPPK_panduan pembentukan tim TPPK di satuan pendidikan
 

Ragam frasa verba

  • 1. AFIKS YANG TERGOLONG RAGAM FRASA VERBA PADA ESAI “BAHASA DAN SASTRA INDONESIA SEBAGAI IDENTITAS BANGSA” KARYA SASTRI SUNARTI MAKALAH UNTUK MEMENUHI TUGAS MATAKULIAH Sintaksis Bahasa Indonesia Yang dibina oleh Bapak Sumadi Oleh Dita Devi Defianti 150211600396 UNIVERSITAS NEGERI MALANG FAKULTAS SASTRA JURUSAN SASTRA INDONESIA Desember 2016
  • 2. 1. Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Bahasa merupakan sarana komunikasi yang digunakan masyarakat dunia. Setiap wilayah memiliki bahasa tersendiri yang menjadi identitas dari masing-masing wilayah. Negara indonesia menggunakan bahasa Indonesia sebagai identitas sekaligus sebagai bahasa nasional pemersatu bangsa. Akan tetapi, pada masing-masing daerahnya menggunakan bahasa daerah tersendiri sebagai warisan kearifan lokal budaya Indonesia. Sintaksis sebagai cabang ilmu bahasa mempunyai kedudukan yang sama dengan fonologi, morfologi, dan semantik. Cabang-cabang ilmu bahasa ini terbagi menjadi dua bagian besar yaitu morfologi dan sintaksis termasuk tataran gramatika, sedangkan fonologi dan semantik termasuk tataran di luar gramatika. Sintaksis adalah bahagian dari tata bahasa yang membicarakan struktur frase dan kalimat (Ramlan dalam Tarigan, 1986). Dalam kajian sintaksis terdapat pembahasan mengenai frasa yang dapat digolongkan menjadi beberapa bagian. Oleh karena itu, dalam makalah ini akan dibahas mengenai konsep dasar frasa, pengklasifikasian frasa, yang pada akhirnya akan dibahas mengenai penggolongan frasa verba. 1.2 Rumusan Masalah 1.2.1 Bagaimanakah konsep dasar frasa? 1.2.2 Bagaimanakah konsep dasar frasa verba? 1.2.3 Bagaimanakah konsep dasar afiks? 1.2.4 Bagaimanakah klasifikasi afiks yang tergolong frasa verba dalam esai? 1.3 Tujuan 1.3.1 Memahami konsep dasar frasa. 1.3.2 Memahami konsep dasar frasa verba. 1.3.3 Memahami kosep dasar afiks.
  • 3. 1.3.4 Mengetahui klasifikasi afiks yang tergolong frasa verba dalam esai.
  • 4. 2. Pembahasan 2.1 Konsep Dasar Frasa Frasa merupakan bagian kecil dalam kalimat. Menurut Ramlan (1986:143), frase ialah satuan gramatik yang terdiri atas dua kata atau lebih yang tidak melampaui batas fungsi, maksudnya frase itu selalu terdapat dalam satu fungsi, ialah dalam S, P, O, Pel, atau KET. Elson dan Pickett dalam (Sugondo dan Indiastini, 1994:14) mendefinisikan frasa sebagai komposisi unit yang secara potensial terdiri dari dua kata atau lebih, tetapi tidak memiliki ciri-ciri suatu klausa, dan kontruksi ini dapat mengisi slot-slot pada tataran klausa. Chaer (dalam Sumadi, 2016) mendefinisikan frasa sebagai gabungan dua kata atau lebih yang merupakan satu kesatuan dan menjadi salah satu unsur atau fungsi kalimat (subjek, predikat, objek, atau keterangan). Sementara itu, Samsuri (dalam Sumadi, 2016) menyatakan bahwa frasa merupakan satuan sintaksis terkecil yang merupakan pemadu kalimat. Berbeda dengan pendapat ahli di atas, Sumadi (2016:12) frasa menyatakan ialah satuan gramatik yang terdiri atas satu kata atau lebih yang tidak melampaui batas fungsi dan tidak bersifat predikatif. Berdasarkan paparan pendapat dari masing-masing ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa dapat disebut frasa apabila (1) terdiri atas satu kata atau lebih, (2) tidak melampaui batas fungsi, serta (3) tidak bersifat predikatif. Dalam pengklasifikasian frasa terdapat dua dasar yang mendasari pengklasifikasian frasa tersebut. Frasa dapat diklasifikasikan (1) berdasarkan persaman distribusi dengan unsurnya atau pemadunya, (2) berdasarkan kategori kata yang menjadi unsur pusat (UP) atau penandanya (Sumadi, 2016). Berdasarkan persamaan distribusi dengan unsurnya, frasa diklasifikasikan menjadi frasa endosentris dan frasa eksosentris. Frasa endosentris dapat dibagi menjadi frasa endosentris koordinatif, frasa endosentris atributif, frasa endosentris apositif, serta frasa endosentris Ø
  • 5. (Zero). Sedangkan frasa eksosentris dapat dibagi menjadi frasa eksosentris konjungtif dan frasa eksosentris disjungtif. Berdasarkan kategori kata yang menjadi UP atau penanda, frasa diklasifikasikan menjadi frasa nomina, frasa verba, frasa adjektiva, frasa numeralia, frasa preposisiona, dan frasa konjungsi. 2.2 Konsep Dasar Frasa Verba Berdasarkan kategori kata yang menjadi UP atau penanda, frasa diklasifikasikan menjadi beberapa bagian, salah satunya adalah frasa verba. Frasa verba adalah kelompok kata yang didalamnya mengandung verba. Sumadi (2016:99) mendefinisikan frasa verba sebagai frasa yang UP-nya berupa kata-kata yang termasuk kategori verba. Frasa verba biasanya ditandai dengan adanya afiks, yaitu meN-, meN-i, meN-kan, memper, memper-i, memper-kan, di-, di-i, di-kan, ber-, ber-i, ber-kan, ter-, ke-an, dsb. Sedangkan dalam sumber lain menggunakan istilah frase verbal dan frase golongan V untuk menyebut frasa verba. Frase verbal atau frase golongan V ialah frase yang mempunyai distribusi yang sama dengan kata golongan V (Ramlan, 1986:158-159). Berbeda dengan pendapat ahli diatas, Kridalaksana (dalam Sugono dan Indiyastini, 1994:15) menyatakan frasa verba sebagai satuan gramatikal yang didampingi partikel tidak dan tidak dapat didahului preposisi di, ke, dari, atau dengan patikel seperti sangat lebih atau agak. Sementara itu dalam buku Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia, Alwi, dkk. (2003:157) mendefinisikan frasa verbal sebagai satuan bahasa yang terbentuk dari dua kata atau lebih dengan verba sebagai intinya tetapi bentuk ini tidak merupakan klausa. Berdasarkan pendapat ahli mengenai frasa verba di atas, dapat disimpulkan bahwa dikatakan sebagai frasa verba apabila mempunyai ciri (1) terdapat unsur yang berkategori verba, (2) tidak dapat didahului preposisi di, ke, dari, atau dengan partikel lain sangat lebih atau agak, (3)
  • 6. ditandai adanya afiks meN-, meN-i, meN-kan, memper, memper-i, memper-kan, di-, di-i, di-kan, ber-, ber-i, ber-kan, ter-, ke-an, dsb. Frasa verba dapat diklasifikasikan menjadi beberpa bagian. Sugono dan Indiyastini (1994) mengklasifikasikan verba berdasarkan bentuknya. Berdasarkan bentuknya verba terdiri atas verba tanpa tanda bentuk, dan verba dengan tanda bentuk. a) Verba tanpa tanda bentuk dapat disebut juga dengan verba dasar. Verba tanpa tanda bentuk adalah verba yang tanpa diikuti dengan afiks.  Matahari terbit pada keesokan harinya.  Generasi muda bangkit dari tidurnya. Kedua contoh diatas mengandung verba dasar berupa terbit dan bangkit. Verba dasar terbit dan bangkit merupakan verba dasar yang membutuhkan komplemen yang mengikutinya berupa keterangan. b) Verba dengan tanda bentuk adalah verba yang mengandung afiks. Afiks adalah satuan gramatik terikat yang bukan merupakan bentuk dasar, tidak mempunyai makna leksikal, dan hanya mempunyai makna gramatikal, serta dapat dilekatkan pada bentuk asal atau bentuk dasar untuk membentuk bentuk dasar dan atau kata baru (Sumadi, 2015:74). Umunya berupa afiks meN-, di-, ber-, ter, per, dan ke-an. Verba dengan tanda bentuk diklasifikasikan menjadi beberpa bagian seperti berikut. 1) Verba Berafiks meN- Verba berafiks meN- dapat berupa mem-, men-, memper-kan, memper-i, mem-kan, mem-i. Dapat dilihat pada contoh berikut ini.  Bocah itu akan memperlihatkan barisan giginya yang rusak.
  • 7.  Aku bangkit memperbaiki baju yang telah kukenakan. 2) Verba Berafiks di- Verba berafiks di- dapat berupa di-i, di-kan, diper-, diper-i, serta diper-kan. Seperti terdapat pada contoh berikut ini.  Makanan Vietnam itu tidak bisa dinikmati di lidah melainkan di langit-langit.  Seorang puteri Champa dipersunting sebagai permaisuri. 3) Verba Berafiks ber- Verba berafiks ber- dapat dilihat melalui contoh berikut ini.  Tusuk konde itu berbentuk naga.  Kain itu bermotifkan bunga-bunga dan kupu- kupu. 4) Verba Berafiks ter- Verba berafiks ter- dapat dilihat melalui contoh berikut ini.  Sakitnya hanya dapat terobati oleh obat-obat.  Sejumlah binatang liar terdesak ke tempat- tempat yang tidak enak. 5) Verba Berafiks ke-an Verba berafiks ke-an dapat dilihat melalui contoh berikut ini.  Para pengungsi korban banjir kekurangan makanan dan obat-obatan. 6) Verba Berafiks per- Verba berafiks per- dikelompokkan menjadi dua yaitu verba yang kata dasarnya diawali konsonan /r/ dan yang kedua adalah verba yang tidak diawali konsonan /r/. Contoh verba berafiks per- yang kata dasarnya diawali
  • 8. /r/ perajut, perendah, dsb. Sedangkan yang tidak berawalan /r/ perketat, percepat, perpanjang, dsb. Berbeda dengan pendapat di atas, Sumadi (2016:99) memilah verba menjadi verba aktif dan verba keadaan. Verba aktif merupakan verba yang ditandai dengan adanya kata ―sedang‖ di awal frasa, sedangkan verba keadaan merupakan verba yang ditandai dengan adanya kata ―sudah‖. Berikut merupakan contoh dari verba aktif dan verba keadaan. a) Semua mahasiswa sedang mendiskusikan masalah bangsa. b) Kedua orang tuanya sudah meninggal. Pada contoh kalimat a) menunjukkan contoh verba aktif karena ditandai dengan adanya kata sedang, sedangkan pada kalimat b) menunjukkan verba keadaan ditandai dengan adanya kata sudah. 2.3 Analisis Pengklasifikasian Afiks yang Tergolong Verba dalam Esai “Bahasa dan Sastra Indonesia sebagai Identitas Bangsa” Karya Sastri sunarti Berdasarkan pemaparan mengenai konsep dasar frasa, konsep dasar frasa verba serta bentuk-bentuknya, maka akan diklasifikasikan berbagai afiks yang tergolong verba pada tabel berikut. Verba Tanpa Tanda Bentuk Verba dengan Tanda Bentuk Verba Aktif (sedan g) Verba Keadaan (sudah)Berafiks meN- Berafik s di- Berafiks ber- Berafik s ter- Berafik s ke-an Berafik s per- Digunakan √ √ Menerima √ √ Mencetusk an √ √ Menelusuri √ √ Mengetah ui √ √ Dilakukan √ √ Menyebutk an √ √ Mencakup √ √ √ Terbit √ √ √ Bekerja √ √ √
  • 9. Ditemukan √ √ dilaung- laungkan √ √ Mengguna kan √ √ Mencuat √ √ Menggolon gkan √ √ Dimaklumi √ √ Dibicaraka n √ √ √ Mengusun g √ √ Menyebab kan √ √ Didengung kan √ √ Diharapkan √ √ Menyumba ngkan √ √ Dikukuhka n √ √ Berkemban g √ √ √ Dipelajari √ √ √ Dianggap √ √ Menyangk ut √ √ Menorehk an √ √ Dikenal √ √ √ Mengandu ng √ √ Menawark an √ √ Terbaca √ √ Diberontak i √ √ Berupaya √ √ √ Terinspiras i √ √ Berkonsent rasi √ √ √ Memperlih atkan √ √ √ Memuat √ √ √ Dimuat √ √ Sejalan √ √
  • 10. Disebabka n √ √ Diterapkan √ √ √ Mengingin kan √ √ Mengguna kan √ √ √ √ Berperan Berdasarkan bentuknya verba dipilah menjadi verba tanpa tanda bentuk dan verba dengan tanda bentuk. Pada tabel diatas verba dengan tanda bentuk berupa afiks meN- dan afiks di- mendominasi pada pengklasifikasian tersebut. Afiks meN- terdiri dari meN-, meN-kan, serta meN-i, yang berupa menerima, mencetuskan, menelusuri, mengetahui, menyebutkan, mencakup, menggunakan, mencuat, menggolongkan, mengusung, menyebabkan, menyumbangkan, menyangkut, menorehkan, mengandung, menawarkan, memperlihatkan, memuat, menginginkan dan menggunakan. Sedangkan afiks di- terdiri dari di-, di-kan, serta di-i, yang berupa digunakan, dilakukan, ditemukan, dilaungkan, dimaklumi, dibicarakan, didengungkan, diharapkan, dikukuhkan, dipelajari, dianggap, dikenal, diberontaki, dimuat, disebabkan, serta diterapkan. Sementara itu selain afiks meN- dan di- terdapat pula afiks ter- dan ber- yang tidak mendominasi pada tabel tersebut. Afiks ter- yang berupa terbaca dan terinspirasi, sedangkan afiks ber- yang berupa bekerja, berkembang, berupaya, berkonsentrasi, dan berperan. Terdapat pula klasifikasi verba tanpa tanda bentuk atau verba dasar. Verba tanpa tanda bentuk merupakan verba yang tanpa diikuti afiks.
  • 11. Pada tabel di atas yang tergolong verba tanpa tanda bentuk atau verba dasar adalah terbit dan sejalan. Selain klasifikasi verba berdasarkan bentuknya, terdapat pula klasifikasi verba yang berupa verba aktif dan verba keadaan. Verba aktif diikuti oleh ―sedang‖ , sedangkan verba keadaan diikuti oleh ―sudah‖ di awal frasa. Pada tabel analisis diatas verba pasif lebih mendominasi dari verba aktif, akan tetapi terdapat pula afiks yang tergolong kedalam dua verba yakni, aktif dan keadaan. Afiks yang tergolong pada verba aktif adalah menelusuri, dilaungkan, menggunakan, mencuat, menggolongkan, mengusung, menyebabkan, mengandung, menawarkan, diberontaki, dimuat, menginginkan, dan menggunakan. Sedangkan yang tergolong verba keadaan adalah berperan, disebabkan, sejalan, terbaca, menorehkan, menyangkut, dikukuhkan, menyumbangkan, diharapkan, didengungkan, menyebabkan, dimaklumi, ditemukan, menyebutkan, dilakukan, mengetahui, mencetuskan, menerima, serta digunakan. Sementara yang tergolong kedalam dua verba yakni aktif dan keadaan adalah mencakup, terbit, bekerja, dibicarakan, berkembang, dipelajari, dikenal, berupaya, terinspirasi, berkonsentrasi, memperlihatkan, memuat, serta diterapkan. 3. Penutup 3.1 Kesimpulan Pada dasarnya penggunaan frasa verba merujuk pada lengkap ada tidaknya predikat pada suatu kalimat. Tidak semua afiks di- tergolong kedalam verba keadaan, begitupula pada afiks meN- tidak semua merujuk pada verba aktif. Setelah diklasifikasi ternyata ditemukan afiks di- yang tergolong verba aktif begitupula dengan afiks meN- yang tergolong verba keadaan, bahkan terdapat afiks di- atau meN- yang tergolong kedalam dua verba tersebut.
  • 12. Daftar Rujukan Alwi, Hasan; Soenjono Dharjowidjoyo; Hans Lapoliwa; Anton Moeliono. 2003. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta:Balai Pustaka. Ramlan, M. 1986. Ilmu Bahasa Indonesia Sintaksis. Yogyakarta:CV Karyono. Sugondo, Dendy dan Titik Indiyastini. 1994. Verba dan Komplementasinya. Jakarta:Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Sumadi. 2015. Morfologi Bahasa Indonesia. Malang:Universitas Negeri Malang. Sumadi. 2016. Sintaksis Bahasa Indonesia. Malang:A3 (Asih Asah Asuh). Sunarti, Sastri. 2014. Bahasa dan Sastra sebagai Identitas Bangsa. (Online), (http://www.horisononline.or.id/esai/bahasa-dan-sastra- indonesia-sebagai-identitas-bangsa) diakses pada 30 November 2016. Tarigan, Henry Guntur. 1986. Pengajaran Sintaksis. Bandung:Angkasa.
  • 13. Lampiran Esai “Bahasa dan Sastra Indonesia Sebagai Identitas Bangsa” Karya Sastri Sunarti Kapan istilah Indonesia mulai digunakan? Meski kita sudah menerima jadi kongres Pemuda yang mencetuskan kesepakatan penggunaan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan di Hindia Belanda pada masa lalu, ada baiknya juga kita menelusuri kembali kapan sebetulnya istilah Indonesia ini digunakan. Untuk mengetahui hal ini marilah kita mulai dari pengkajian surat kabar dan dunia percetakan yang terbit di Hindia Belanda dan sudah dilakukan oleh beberapa peneliti seperti Ahmad Adam (2003) dan disertasi saya sendiri (2011). Ahmad Adam (2003:39),menyebutkan bahwa surat kabar berbahasa Melayu pertama di pulau Jawa adalah adalah, Selompret Melajoe di Semarang (1860) dan Bientang Timoor di Jawa Timur (1862). Penyebaran surat kabar Bientang Timoor ini ternyata juga mencakup wilayah Sumatera dan Makassar, sehingga di daerah lain seperti Minangkabau juga terpicu menerbitkan surat kabar berbahasa Melayu pertama dengan nama yang mirip yakni Bintang Timoer dengan beraksara Latin. Edisi perdananya ialah pada tanggal 7 Desember 1864 dan kemudian terbit secara rutin (mingguan setiap Rabu) mulai 4 Januari 1865. Oleh sebab tidak memiliki mesin cetak sendiri maka penerbit ini bekerja sama dengan percetakan Chatelin Press milik orang Belanda (Ahmad Adam, 2003, 41-43). Pada periode ini penggunaan bahasa Indonesia di kalangan penerbit pribumi masih belum ditemukan. Barulah pada awal abad keduapuluh ketika semangat kebangsaan mulai bangkit di kalangan pemuda dan rakyat Indonesia istilah Indonesia mulai ramai dilaung-laungkan penggunaannnya Para pemuda pergerakan yang duduk di wakil rakyat seperti Haji Agus Salim dan kemudian diikuti oleh Muhammad Yamin, sudah mulai menyebutkan bahasa Indonesia dan bukan lagi bahasa Melayu dalam pidato-pidato mereka yang dimuat dalam surat kabar maupun ketika dalam rapat-rapat di wakil rakyat (volksraad) di Hindia Belanda tahun 1919. Namun, jauh sebelumnya beberapa sarjana Eropa seperti Adolf Sebastian telah menggunakan istilah Indonesia ini dalam satu tulisan yang dimuat di majalah de Malaisch tahun 1850.
  • 14. Begitu pula ketika terbentuknya Serikat Islam pada tahun 1912, semangat kebangsaan nasionalismepun sudah mencuat keras dalam kancah perjuangan politik dan kebudayaan para pemuda pergerakan. Di bidang kesusastraan, tepatnya pada tahun 1937—1942 di Medan, Sumatera Utara, terbit roman-roman yang dijuluki ―Roman Medan‖ oleh Roolvink (1955). Balai Pustaka sebagai lembaga resmi kebudayaan di Hindia Belanda pada masa itu menggolongkan roman tersebut sebagai karya picisan dan bahkan bacaaan liar, (Erlis, 2005:30--31). Hal ini dapat dimaklumi karena berdasarkan hasil penelitia Erlis dan kawan-kawan (2005) ternyata dalam Roman Medan, isu-isu kemerdekaan, pergerakan politik, dan anti pemerintah Hindia Belanda amat banyak dibicarakan oleh tokoh-tokoh dalam karya tersebut. Kebanyakan peran tokoh utama dalam Roman Medan adalah kaum pergerakan yang sudah barang tentu mengusung semangat kemerdekaan. Oleh sebab itu dapatlah dimaklumi jika kemudian pemerintah Belanda melalui Balai Pustaka menggolongkan karya-karya seperti itu sebagai bacaan bermutu rendah. Sebaliknya, dalam karya-karya Roman Medan selain ditemukan isu-isu kebangkitan bangsa, semangat Nasionalisme, juga ditemukan isu perkawinan antarras. Tempat bertumbuhnya Roman Medan ini ternyata juga tidak hanya terbatas di kota Medan saja, melainkan juga terdapat di beberapa daerah lain seperti di Solo, Padang, Bukitinggi, dan Yogyakarta. Semangat nasionalisme dan isu kebangsaaan yang kerap dimuat dalam roman-roman tersebut menyebabkan beberapa penulis dan penerbitnya pernah dibreidel oleh Belanda. Di dalam terbitan karya-karya Roman Medan seperti inilah sebetulnya kita banyak menemukan penggunaan istilah Indonesia dilaung-laungkan pada masa-masa awal kebangkitan kebangsaan dan semangat nasionalisme mulai didengungkan secara terbuka dalam dunia penerbitan dan percetakan. Di satu sisi, penelusuran terhadap karya-karya Roman Medan, sebagaimana yang telah dilakukan oleh Erlis dan kawa-kawan di atas merupakan salah satu usaha untuk melengkapi penulisan sejarah sastra Indonesia. Yang pada akhirnya nanti penulisan sejarah sastra tersebut diharapkan akan menyumbangkan pemikiran yang berharga untuk mengetahui sejarah dan perkembangan pemikiran bangsa Indonesia melalui penelitian yang intensif
  • 15. terhadap Roman Medan sehingga akan dapat diketahui ideologi kebangsaan pada masa itu. Sebagaimana kita mengenal beberapa karya sastra lain seperti Student Hidjo karya Mas Marco Martodikromo yang jauh lebih awal juga telah menyinggung masalah nasionalisme ini. Situasi Setelah Kemerdekaan Setelah kemerdekaan Indonesia tahun 1945, bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi negara dikukuhkan dalam Undang-Undang Dasar 1945 kkhususnya Bab XV, pasal 32 dan 36. Kemudian dikukuhkan dalam undang-undang kebahasaan tahun 2010. Bahasa dan sastra Indonesia semakin mantap dikukuhkan sebagai alat pemersatu dan pengikat bagi seluruh rakyat Indonesia. Bahasa Indonesia sebagai identitas bangsa juga semakin kuat tercermin melalui kemunculan karya sastra Indonesia modern yang berkembang dengan pesat setelah kemerdekaan. Bahasa yang dapat dipelajari melalui karya sastra sebagaiman telah disebutkan di atas sarat dengan kandungan pemikiran dan ideologi. Kedua unsur inilah yang kemudian dianggap sebagai jatidiri suatu bangsa. Dalam hubungan antarbangsa, identitas menjadi penting karena menyangkut keberlanjutan eksistensi sebuah bangsa lebih-lebih dalam konteks global. Kepentingan identitas menjadi utama kalau kita ingin menunjukkan diri sebagai bangsa dalam gempuran budaya global. Karya Sastra dapat menjadi dinding identitas itu selama sang pengarang memiliki keterpanggilan untuk berbuat sesuatu yang besar bagi bangsanya. Sutardji Calzoum Bachri, dalam sebuah kesempatan di tahun 2006, menyatakan bahwa dengan karyanya seorang pengarang menorehkan identitas dirinya. Ketika seorang pengarang menorehkan identitasa dirinya, ia juga telah menorehkan identitas bangsanya. Jadi, sastra memberikan ruang yang di dalamnya kebangsaan dapat kita temukan. Sebagaimana alam Melayu (Malay World) di wilayah serantau ini mengenalkan Hamzah Fansuri sebagai penyair dari zaman kegemilangan tamaddun Melayu masa lampau atau William Shakespeare sebagai sastrawan Inggris dari zaman Victoria yang dikenal di seluruh dunia. Karya sastra seperti puisi misalnya mengandung lirik-lirik yang personal dan indah, yang menyuarakan kesepian, kesendirian, dan keterasingan manusia. Sebagaimana terbaca dalam sajak-sajak, Chairil Anwar, Abdul Hadi WM, Subagio Sastrowardoyo, Sapardi Djoko Damono, Goenawan Mohamad, dan lain- lain. Pada sajak Sutardji Calzoum Bachri misalnya, mencuat nada nihilistik dan renungan-renungan surealis. Pada sajak-sajak Danarto, Kuntowijoyo, dan Sutardji Calzoum Bachri cenderung muncul unsur mistikal dan sufistik. Juga dalam beberapa beberapa puisi, Taufiq Ismail, Emha Ainunnadjib, D. Zawawi Imron dan lain-lain. Melalui karyanya mereka menawarkan sumber-sumber kearifan lokal – yaitu tasawuf dan mistisisme – sebagai kerangka dasar keindahan puitikanya, (Abdul Hadi WM, 2010: 13-14).
  • 16. Karya-karya sastra seperti prosa yang mengeksplorasi budaya lokal juga akan terbaca pada novel Umar Kayyam, Chairul Harun, Y. B, Mangunwijaya, dan lain-lain. Melalui karya sastra pula kita dapat menemukan konteks sosial dan zaman yang terepresentasi dalam sajak-sajak milik WS. Rendra, Taufiq Ismail, Emha Ainunnadjib, Hamid Jabbar, dan lain-lain. Demikian pula jika kita membaca kembali tetralogi karya Pramoedya Anantatoer yang terkenal itu Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jalan Lurus, dan Rumah Kaca, maka akan kita temukan isu-isu yang dimuat di dalamnya tidak terbatas pada persoalan suatu bangsa (Indonesia masa penjajahan) saja. Meskipun keempat novel itu banyak berbicara tentang manusia Jawa tetapi menurut Sudibyo (2007:18) Jawa justru menjadi unsur yang diberontaki oleh penulis. Terutama mentalitas Jawa yang terbelakang, tidak kritis, hipokrit, pasrah, dan terlalu loyal pada atasan. Tokoh protagonist Minke dalam novel tersebut berupaya keras mengingkari kejawaaannya dan berupaya bertransformasi menjadi manusia kosmopolitan, anak semua bangsa yang menyusu tidak hanya dari peradaban Eropa melainkan juga peradaban unggul dari Asia. Keempat novel ini yang mengambil latar waktu pada pergantian abad ke 19-20 sangat terinspirasi pada perubahan zaman terutama pada kebangkitan Jepang yang sangat cepat pasca restorasi Meiji dan organisasi bawah tanah Cina perantauan yang berusaha mengembalikan misi suci membangun imperium Cina yang bermartabat. Dua novel Pramudya yang terakhir yakni Jalan Lurus dan Rumah Kaca sangat berkosentrasi pada pembenihan dan persemaian kebangkitan bangsa Hindia-Belanda (baca Indonesia) pada pergantian abad tersebut. Jauh sebelum kemunculan sastran modern di atas, bahasa dan sastra Indonesia yang berakar dari bahasa Melayu telah memperlihatkan fungsinya sebagai jatidiri bangsa di Nusantara. Historiografi tradisional yang terdapat dalam khasanah sastra tulis maupun tradisi lisan masyarakat di Nusantara memuat kearifan tersendiri. Hasil karya nenek moyang kita tersebut dimuat dalam klasifikasi tersendiri seperti, tambo, babad, riwayat, hikayat, riwayakna, salasilah, serat sarasilah, pustakaraja, ruwayat dan lain sebagainya memuat pemahaman asal-usul suatu komunitas, tempat, atau tokoh dari sebuah negeri di Nusantara. Misalnya, Hikayat Raja-Raja Pasai yang menurut Winstedt dalam (Sweeney, 1967:94) merupakan ―sejarah‖ dalam kesusastraan Melayu yang paling tua. Selain Hikayat Raja-Raja Pasai (1960) juga terdapat Salasilah Kutai (1981) dari Kalimantan, Tambo Minangkabau (1991), dan sejarah raja-raja di Jawa dalam Babad Tanah Jawi, Babad Demak, Pustakaraja Purwa, Sajarah Ageng,Nusa Jawi, Serat Purwakanda, Serat Sarasilah Raja-Raja Jawa (Djamaris, 1991:13), I Laga Ligo (1991) dari Sulawesi Selatan, dan lain sebagainya. Keadaan Kebahasaan saat ini Kekayaan sastra yang telah digambarkan di atas hendaknya juga sejalan dengan fungsi kekayaan bahasa daerah di Indonesia yakni sejogyanya menjadi penyumbang bagi pengembangan bahasa Indonesia ke depan. Untuk itu, perlu sekali kita mengingat kembali kondisi kebahasaan kita saat ini yang menurut Yayah Lumintaintang (1999:137) adalah bahasa yang bilingual/multilingual, baik
  • 17. secara individual maupun secara komunal. Hal ini disebabkan penutur bahasa di Indonesia selain menggunakan bahasa Indonesia kita juga memiliki kekayaan bahasa daerah yang saat ini menurut data Linguists List per 1 April 2008 terdapat sebanyak 746 bahasa daerah termasuk bahasa Cina di wilayah Indonesia (Ganjar, 2010: 34). Di sinilah politik bahasa yang tepat perlu diterapkan sehingga bahasa daerah tidak menjadi terancam perannya dan bahasa ibu tetap dapat hidup dan berkembang dengan baik ketika kebijakan bahasa Indonesia menjadi pilihan politis yang juga harus dijalankan. Kita tentu tidak menginginkan situasi kebahasaan yang rumit seperti di India terjadi juga di negera kita. India yang juga memiliki ratusan bahasa daerah terpaksa menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa Nasional kedua ketika bahasa Nasional resmi yakni Hindi tidak mampu menjadi jembatan bagi alat komunikasi yang menyatukan bangsa India yang multi etnik tersebut. Belum lagi persoalan penyerapan kata asing ke dalam bahasa Indonesia seperti yang disampaikan oleh Remy Sylado (2005) bahwa 9 dari 10 kosakata Bahasa Indonesia adalah bahasa asing. Hal ini tentu agak menyedihkan jika mengingat betapa kayanya bahasa daerah yang dapat kita kita manfaatkan untuk menambah kosakata bahasa Indonesia tersebut. Tetapi sayang hal ini belum terlaksana dengan baik. Di sinilah peran dan tantangan yang harus kita ambil sebagai peneliti kebahasaan dan kesastraan Indonesia dan daerah baik yang berada di lembaga bahasa seperti Badan Bahasa dan kantor Balai Bahasa maupun perguran tinggi seperti Universitas Negeri Gorontalo untuk berperan mengembangkan bahasa dan sastra Indonesia ke depannya.