Pelaksanaan putusan Pengadilan Hubungan Industrial sering menemui kendala karena minimnya anggaran untuk eksekusi yang menyebabkan proses eksekusi hanya dapat dilakukan sampai tahap aanmaning saja. UU Cipta Kerja diharapkan dapat mengatur secara khusus tentang penganggaran pelaksanaan putusan dan lembaga terkait untuk memastikan hak-hak pekerja dapat terpenuhi.
LK.01._LK_Peta_Pikir modul 1.3_Kel1_NURYANTI_101.docx
Materi KPN Semarang.pptx
1. PELAKSANAAN PUTUSAN HAKIM PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL
SEBAGAI BENTUK PERLINDUNGAN HAK TENAGA KERJA
PASCA BERLAKUNYA UU CIPTA KERJA
Oleh:
Dr. Agus Rusianto, S.H.,M.H.
Ketua Pengadilan Negeri Semarang
Disampaikan Dalam Focus Group Discussion
Rabu, 1 September 2021
Melalui Zoom Meeting
2. PUTUSAN PENGADILAN PPHI
YANG BERKEKUATAN HUKUM TETAP
Pasal 57 UU No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian
Perselisihan Hubungan Industrial (UU PPHI) telah
merumuskan secara tegas bahwa hukum acara yang berlaku
di Pengadilan Penyelesaian Perselisihan Hubungan
Industrial (PPHI) adalah hukum acara perdata, kecuali
beberapa hal yang diatur secara khusus dalam UU PPHI.
4. UPAYA HUKUM TERHADAP PUTUSAN
YANG TELAH BERKEKUATAN HUKUM TETAP
oUndang-undang PPHI (Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial) tidak mengatur secara khusus
mengenai upaya hukum apa yang dapat dilakukan
terhadap putusan PHI yang sudah inkracht.
oPelaksanaan putusan merujuk pada hukum acara yang
berlaku, yaitu permohonan eksekusi yang diatur dalam
pasal 195 sampai pasal 208 HIR.
5. Pasal 195 ayat (1) HIR
Tidak ada yang dapat menunda suatu putusan yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap, kecuali dengan jalan
damai dan pelaksanaan putusan tersebut di bawah
pimpinan Ketua Pengadilan Negeri yang pada tingkat
pertama pemeriksaan perkara tersebut.
6. Pasal 196 HIR
o Tergugat yang tidak secara suka rela melaksanakan isi putusan untuk membayar
sejumlah uang, sehingga pihak penggugat sebagai pihak yang dimenangkan
mengajukan permohonan secara lisan atau tertulis kepada Ketua Pengadilan Negeri
agar putusan dapat dijalankan.
o Jika permohonan eksekusi sudah dilakukan dan pengusaha tetap tak mau
membayarkan pesangon atau hak-hak lainnya, maka pekerja dapat memohonkan sita
eksekutorial atas barang-barang milik pengusaha/perusahaan Permohonan sita
eksekutorial tetap diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri. Setelah semua barang-
barang disita, selanjutnya dilelang yang hasilnya digunakan untuk membayarkan
kewajiban pengusaha/perusahaan kepada pekerja dan juga biaya-biaya yang timbul
sehubungan dengan pelaksanaan putusan.
7. KENDALA PELAKSANAAN EKSEKUSI
PUTUSAN PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL
o Pada saat mengajukan permohonan eksekusi, dalam praktik sering terjadi pengusaha tetap tidak mau
membayarkan pesangon meski sudah ada putusan PHI yang sudah inkracht.
o Dapat terjadi pula ada upaya lain yang dilakukan oleh pemohon/tenaga kerja terhadap pengusaha
agar dapat membayar pesangon yang telah diputus oleh pengadilan, dalam hal ini perusahaan dalam
keadaan pailit yang telah diputus oleh Pengadilan Niaga. Jumlah besaran pesangon yang sudah
ditetapkan berdasarkan putusan PHI yang sudah inkracht dijadikan dasar sebagai hutang pengusaha
atau piutang pekerja. Hal mana kedudukan pekerja adalah kreditur, sementara pengusaha menjadi
debitur.
o Dalam hal yang demikian piutang dari hubungan kerja dari putusan PHI, tersebut tenaga kerja yang
merupakan kreditur preferen yang harus dibayar lebih dulu dibandingkan dengan kreditur separatis
maupun kreditur konkuren. Pada kenyataannya benda-benda milik pengusaha/perusahaan sudah
dalam keadaan menjadi jaminan kebendaan, dan bukan termasuk sebagai boedel pailit, sehingga
tenaga kerja tidak dapat melakukan sita eksekusi untuk menjamin piutangnya.
8. TURUNAN ATURAN PELAKSANA
DARI UU CIPTA KERJA
• Pemerintah menerbitkan 49 aturan pelaksana dari Undang-Undang Cipta
Kerja Nomor 11 Tahun 2020. Ke-49 aturan turunan itu terdiri atas 45 Peraturan
Pemerintah (PP) dan 4 Peraturan Presiden (Perpres).
• Tidak ada sama sekali pengaturan yang berkaitan penganggaran atau
peningkatan anggaran pelaksanaan putusan Pengadilan PPHI.
• Tidak ada pengaturan secara khusus yang berkaitan dengan pemberian jaminan
secara khusus sehingga pesangon atau hak-hak lainnya dari tenaga kerja yang
telah diputus oleh Pengadilan Hubungan Industrial dapat dilakukan sita eksekusi
dan pelelangan
9. Pasal 58 UU Ketenagakerjaan
o Ditegaskan bahwa tiap gugatan yang nilainya kurang dari Rp150 juta, tidak
dikenakan biaya perkara.
o Dalam praktek acap kali Kuasa Pemohon mengajukan gugatan dengan membagi
dengan masing-masing gugatan yang nilainya kurang dari Rp. 150 juta dengan
maksud agar tidak dibebani untuk membayar biaya perkara.
o Dengan tidak adanya beban biaya perkara dalam mengajukan gugatan, tentunya
dalam pelaksanaan putusan atau eksekusi juga tidak akan dibebani untuk
membayar biaya perkara, dengan kata lain biaya eksekusi ditanggung oleh
negera
10. ANGGARAN BIAYA PELAKSANAAN PUTUSAN
PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL
• Penggunaan anggaran pelaksanaan putusan Pengadilan Hubungan Industril ditanggung oleh
negera (Pemerintah) dalam suatu anggaran khusus
• Nilai atau jumlah anggaran untuk eksekusi yang terbatas yang terjadi setiap tahun, yang di
dalam angaran tersebut sudah termasuk untuk biaya teguran (aanmaning), sita eksekusi dan
biaya lelang
• Apabila dilaksanakan sejak aanmaning, sita eksekusi sampai dengan pelelangan, anggaran tidak
akan mencukupi
• Secara praktik biaya eksekusi hanya mampu sampai pelaksanaan teguran atau aanmaning
• Solusinya Ketua Pengadilan hanya melakukan pendekatan eksekusi yang bersifat mediasi, agar
perusahaan dapat melaksanakan secara sukarela dengan hasil akhir perdamian antara pemohon
(tenaga kerja) dan pengusaha
11. AANMANING YANG BERHASIL
DAN TIDAK BERHASIL
• Aanmaning yang tidak berhasil damai dalam pratik tidak dapat dilaksanakan yang disebabkan
minimnya atau tidak cukupnya anggaran yang disediakan oleh negara
• Dengan adanya Omnibus Law di bidang ketiga kerjaan ini diharapkan dapat diterbitkannya
peraturan pelaksanaan berupa Peraturan Pemerintah atau peraturan lainnya yang mengatur
secara khusus tentang pelaksanaan putusan serta pengaturan tentang anggaran pelaksanaan
putusan.
• Perlunya pengaturan secara khusus tentang lembaga-lembaga pemerintah yang terkait dengan
pelaksanaan putusan (Sita Eksekusi sampai Pelelangan) termasuk KPKLN khususnya adalah
Kantor Lelang Negara dan Kantor Pertanahan dalam pelaksanaan putusan PHI yang biayanya
ditanggung oleh negara.
• Dalam hal ini eksekusi putusan Pengadilan Hubungan Industrial merupakan eksekusi
pembayaran sejumlah uang, yaitu eksekusi yang dilakukan untuk pembayaran hak tenaga kerja,
tentunya membutuhkan anggaran yang tidak sedikit karena prosesnya yang panjang
dibandingkan dengan eksekusi pengosongan.
12. CURRICULUM VITAE
Meraih gelar Master Hukum Ilmu Hukum dari Universitas Airlangga Surabaya (2004)
Meraih Gelar Doktor Ilmu Hukum dari Universitas Airlangga Surabaya (2015)
Sebagai Pimpinan Pengadilan Negeri
1. Wakil Ketua Pengadilan Negeri Saumlaki (Kabupaten Maluku Tenggara Barat (2008-2010).
2. Ketua Pengadilan Negeri Saumlaki (Kabupaten Maluku Tenggara Barat (2010-2011).
3. Ketua Pengadilan Negeri Boyolali (2011-2013)
4. Wakil Ketua Pengadilan Negeri Mamuju (2013-2014)
5. Wakil Ketua Pengadilan Negeri Madiun 2014-2015)
6. Ketua Pengadilan Negeri Madiun (2015-2016)
7. Wakil Ketua Pengadilan Negeri Batam (2016-2017)
8. Ketua Pengadilan Negeri Dumai (2017-2018)
9. Wakil Ketua Pengadilan Negeri Makassar )2018-2020)
10. Ketua Pengadilan Negeri Semarang (2020 – sekarang)
Sertifikasi Hakim Khusus:
1. Sertifikasi Hakim Tindak Pidana Korupsi
2. Sertifikasi Hakim Niaga (Kepailitan dan PKPU, HAKI),
3. Sertifikasi Hakim Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial
4. Sertifikasi Hukum Lingkungan Hidup
5. Sertifikasi Hakim Anti Praktek Monopoli dan Persiangan Usaha Tidak Sehat
Penulis Buku: Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana (Tinjauan Kritis Melalui
Konsistensi Antara Asas, Teori dan Penerapannya (buku 2015),
Sebagai Dosen:
Sejak tahun 2011 sampai saat ini sebagai dosen tidak tetap pada Lembaga Pendidikan
Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga, Jawa Tengah