Dokumen tersebut membahas beberapa topik seperti metode penyelesaian sengketa dalam kontrak konstruksi, perbedaan antara dua peraturan terkait pengadaan jasa konsultansi, pengertian force majeure dan penyebabnya, ketentuan dalam UU Bangunan Gedung, serta tujuh kategori korupsi menurut undang-undang terkait.
1. Nama : Noni Putra Irama Gulo
Npm : 19310003
Mk : Aspek Hukum Pembangunan
Soal
1. Jelaskan apa saja metode penyelesaian sengketa yang dapat ditempuh dalam sebuah
kontrak / proyek konstruksi !
2. Jelaskan apa perbedaan antara PERPRES 54/2010 dan PERPRES 16/2018 dalam hal
pengadaan langsung jasa konsultansi !
3. Jelaskan apa yang diesebut force majeur dan hal-hal apa saja yang dapat mengakibatkan
force majeur !
4. Jelaskan apa-apa saja yang diatur dalam UU Bangunan Gedung no 28 tahun 2002 !
5. Sebutkan 7 kategori korupsi menurut no. 31 thn 1999 jo UU no 20 tahun 2001 tentang
Korupsi !
Jawab:
1. Sengketa dalam kontrak kerja konstruksi atau construction dispute adalah kejadian yang
terkadang timbul dan tidak dapat dihindari dalam pelaksanaan kontrak. Penyebab
terjadinya pun bermacam-macam baik dari faktor internal maupun eksternal.
Secara garis besar, langkah-langkah yang dilakukan dalam penyelesaian sengketa dapat
ditempuh melalui lembaga pengadilan (Litigasi) dan lembaga diluar pengadilan (non-
Litigasi) yaitu melalui Arbitrase, tergantung dari pilihan para pihak yang bersengketa. Hal
yang perlu digarisbawahi sebelum penyelesaian sengketa melalui pengadilan dan arbitrase,
diusahakan untuk dapat menyelesaikan dengan prinsip dasar musyawarah mufakat
2. 1. Lebih Sederhana
Perpres PBJ Baru direncanakan memiliki 15 Bab dengan 98 pasal, lebih sederhana
dibandingkan Perpres No. 54 Tahun 2010 beserta perubahannya yang memiliki 19 Bab
dengan 139 Pasal. Selain jumlah pasalnya yang lebih sedikit, Perpres PBJ Baru juga akan
menghilangkan bagian penjelasan dan menggantinya dengan penjelasan norma-norma
pengadaan. Hal-hal yang bersifat prosedural, pelaksanaan tugas dan fungsi organisasi akan
diatur lebih lanjut dalam peraturan Kepala LKPP dan peraturan kementerian sektoral
lainnya.
2. 2. Agen Pengadaan
Dalam Perpres Baru akan diperkenalkan Agen Pengadaan yaitu Perorangan, Badan Usaha
atau UKPBJ (ULP) yang akan melaksanakan sebagian atau seluruh proses pengadaan
barang/jasa yang dipercayakan oleh K/L/D/I.
Mekanisme penentuan Agen Pengadaan dapat dilakukan melalui proses swakelola bilamana
pelakananya adalah UKPBJ K/L/D/I atau melalui proses pemilhan bilamana dilakukan oleh
perorangan atau badan usaha.
Agen Pengadaan akan menjadi solusi untuk pengadaan yang bersifat kompleks atau tidak
biasa dilaksakan oleh suatu satker, sementara satker tersebut tidak memiliki personil yang
memiliki kemampuan untuk melaksanakan proses pengadaan sendiri.
3. Swakelola Tipe Baru
Bila pada Perpres No. 54 Tahun 2010 beserta perubahannya kita mengenai 3 tipe swakelola,
maka pada Perpres PBJ Baru dikenal dengan 4 tipe swakelola. Tipe keempat yang menjadi
tambahan adalah Swakelola yang dilakukan oleh organisasi masyarakat seperti ICW, dll.
4. Layanan Penyelesaian Sengketa Kontrak Pengadaan
Melihat banyaknya masalah kontrak yang tidak terselesaikan, bahkan sering berujung ke
pengadilan atau arbitrase yang mahal, maka LKPP memberikan respon dengan membentuk
Layanan Penyelesaian Sengketa Kontrak yang akan diatur lebih rinci didalam Perpres PBJ
Baru. Layanan ini diharapkan menjadi solusi untuk menyelesaikan masalah pelaksanaan
kontrak sehingga tidak perlu harus diselesaikan di pengadilan.
5. Perubahan Istilah
Perpres PBJ Baru akan memperkenalkan istilah baru dan juga mengubah istilah lama sebagai
penyesuaian dengan perkembangan dunia pengadaan. Istilah baru tersebut diantaranya
adalah Lelang menjadi Tender, ULP menjadi UKPBJ, Pokja ULP menjadi Pokja Pemilihan
dan K/L/D/I menjadi K/L/SKPD.
3. 6. Otonomi BLU Untuk Mengatur Pengadaan Sendiri
Perpres PBJ Baru akan menekankan bahwa BUMN/BUMD dan BLU Penuh untuk mengatur
tatacara pengadaan sendiri yang lebih sesuai dengan karakteristik lembaga. Fleksilitas ini
dalam rangka untuk meningkatkan efisiensi dan efektifitas pengadaan di BUMN/BUMD dan
BLU.
Namun demikian, hendaknya BUMN/BUMD dan BLU dalam menyusun tatacara
pengadaannya tidak terjebak sekedar mengubah batasan pengadaan langsung dan lelang dan
secara substansi tidak memiliki perbedaan yang signifikan dengan Perpres Pengadaan
Pemerintah.
7. ULP menjadi UKPBJ
Istilah ULP atau Unit Layanan Pengadaan yang merupakan nama generic untuk menunjukan
organisasi pengadaan di K/L/D/I akan diubah menjadi Unit Kerja Pengadaan Barang/Jasa.
8. Batas Pengadaan Langsung
Batas pengadaan langsung untuk jasa konsultansi akan berubah dari Rp.50 juta menjadi
Rp.100 juta, sedangkan untuk pengadaan barang/konstruksi/jasa lainnya tetap dinilai sampai
dengan Rp.200 juta.
9. Jaminan Penawaran
Jaminan penawaran yang dihapus oleh Perpres No. 4 Tahun 2015 kembali akan diberlakukan
khusus untuk pengadaan barang/konstruksi/jasa lainnya untuk pengadaan diatas Rp.10
Milyar.
10. Jenis Kontrak
Jenis kontrak akan disederhanakan menjadi dua jenis pengaturan saja, yaitu untuk
barang/konstruksi/jasa lainnya hanya akan diatur kontrak lumpsum, harga satuan, gabungan,
terima jadi (turnkey) dan kontrak payung. Sedangkan untuk konsultansi terdiri dari kontrak
keluaran (lumpsum), waktu penugasan (time base) dan Kontrak Payung.
4. 3.) Force Majeure adalah atau keadaan memaksa (overmacht) dimana posisi salah satu pihak,
misalnya Pihak Pertama gagal melakukan kewajiban akibat sesuatu yang terjadi diluar kuasa
Pihak Pertama. Jadi, dengan adanya keadaan force majeure tidak ada pihak yang diwajibkan
membayar ganti rugi kepada pihak lain karena wanprestasi
Hal-hal yang mengakibatkan Force Majeure
Force Majeure yang sering dialami berupa, tanah longsor, banjir, angin topan, badai
gunung meletus, epidemik, keadaan perang, kerusuhan, pemberontakan, terorisme,
sabotase, kudeta militer dan lainnya. Menurut KBBI, force majeure dikenal dengan
keadaan kahar. Berbeda dari kamus bahasa Prancis yang mengartikan force majeure adalah
kekuatan yang lebih besar. Klausul ini wajib tercantum dalam perjanjian pokok guna
mengantisipasi hal-hal yang dapat terjadi dan berpotensi menjadi konflik bagi para pihak
bersangkutan. Force majeure tidak dapat dipisahkan menjadi perjanjian tambahan.
4.)UU 28 tahun 2002 tentang Bangunan Gedung mengatur ketentuan tentang bangunan
gedung yang meliputi fungsi, persyaratan, penyelenggaraan, peran masyarakat, dan
pembinaan. Pengaturan bangunan gedung dalam UU 28 tahun 2002 tentang Bangunan
Gedung memiliki tujuan untuk:
1.mewujudkan bangunan gedung yang fungsional dan sesuai dengan tata bangunan
gedung yang serasi dan selaras dengan lingkungannya;
2. mewujudkan tertib penyelenggaraan bangunan gedung yang menjamin keandalan
teknis bangunan gedung dari segi keselamatan, kesehatan, kenyamanan, dan
kemudahan;
mewujudkan kepastian hukum dalam penyelenggaraan bangunan gedung.
Definisi Bangunan Gedung dalam UU 28 tahun 2002 tentang Bangunan Gedung adalah
wujud fisik hasil pekerjaan konstruksi yang menyatu dengan tempat kedudukannya,
sebagian atau seluruhnya berada di atas dan/atau di dalam tanah dan/atau air, yang
berfungsi sebagai tempat manusia melakukan kegiatannya, baik untuk hunian atau tempat
tinggal, kegiatan keagamaan, kegiatan usaha, kegiatan sosial, budaya, maupun kegiatan
khusus.
5.) Ada tujuh jenis kelompok tindak pidana korupsi yang diatur dalam Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 junto. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
5. Pertama, perbuatan yang merugikan negara. Perbuatan yang merugikan negara, dapat di
bagi menjadi dua bagian, yaitu mencari keuntungan dengan cara melawan hukum dan
merugikan negara serta menyalahgunakan jabatan untuk mencari keuntungan dan
merugikan negara. (Baca Juga: Perusahaan Harus Memperhatikan Risiko Kecurangan). “Di
sini syaratnya harus ada keuangan negara yang masih diberikan. Biasanya bentuknya
tender, pemberian barang, atau pembayaran pajak sekian yang dibayar sekian. Kalau ada
yang bergerak di sektor industri alam kehutanan atau pertambangan, itu mereka ada policy
tax juga agar mereka menyetorkan sekali pajak, semua itu kalau terjadi curang nanti bisa
masuk ke konteks ini (kerugian negera-red),” kata Dwi saat menyampaikan materi dalam
public training bertema “Anti Corruption Training Every Business Need” yang
diselenggarakan pada Rabu (15/11) di Jakarta.
Kedua, Suap. Dwi menjelaskan pengertian suap adalah semua bentuk tindakan pemberian
uang atau menerima uang yang dilakukan oleh siapa pun baik itu perorangan atau badan
hukum (korporasi). “Sekarang korporasi sudah bisa dipidana, makanya penting sekali
dunia usaha mengerti audit. Jadi penerimanya ini syaratnya khusus, penerimanya itu
klasifikasinya ialah pegawai negeri atau penyelenggara negara. Pasal diberikannya di
depan atau DP dulu atau nanti di belakang diminta, itu tidak menjadi persoalan, dua-
duanya tetap suap-menyuap sepanjang kita memberikannya kepada dua pihak tadi,”
katanya.
Ketiga, gratifikasi. Yang dimaksud dengan korupsi jenis ini adalah pemberian hadiah yang
diterima oleh pegawai negeri atau penyelenggara negara. Gratifikasi dapat berupa uang,
barang, diskon, pinjaman tanpa bunga, tiket pesawat, liburan, biaya pengobatan, serta
fasilitas-fasilitas lainnya. (Baca Juga: Korupsi Merupakan Salah Satu Problem Utama
Berbisnis di Indonesia). “Itu (gratifikasi-red) sebenarnya dari bahasa gratitude jadi
terimakasih, dia itu netral, artinya dia itu baik, hal itu terjadinya karena ada ramah tamah
dan lain-lain. Tapi kenapa ini sekarang dilarang? Yang dilarang adalah kalau bentuk-
bentuk terima kasih ini, kita berikan untuk ke pegawai negeri atau peyelenggara negara dan
kita tahu ini ada kaitan dengan jabatannya, itu gratiifikasi,” jelasnya. “Dan ini yang
membedakan adalah yang ngotot adalah yang kasih seperti contoh sebelumnya yang niat
adalah yang kasih, sedangkan suap itu dua-duanya komitmen telah melakukan
kesepakatan,” tuturnya. (Baca Juga: Sektor Perizinan Masuk Urutan Pertama Penyuapan di
Indonesia).
Keempat, penggelapan dalam jabatan. Kategori ini sering juga dimaksud sebagai
penyalahgunaan jabatan, yakni tindakan seorang pejabat pemerintah yang dengan
kekuasaaan yang dimilikinya melakukan penggelapan laporan keuangan, menghilangkan
barang bukti atau membiarkan orang lain menghancurkan barang bukti yang bertujuan
untuk menguntungkan diri sendiri dengan jalan merugikan negara. “Penggelapan dalam
jabatan ini biasanya banyak memang khusus pegawai negeri karena yang bisa melakukan
ini adalah yang memiliki kewenangan,” ujarnya.
6. Kelima, pemerasan. Pemerasan adalah tindakan yang dilakukan oleh pegawai negeri atau
penyelenggara negara untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan
hukum atau dengan menyalahgunakan kekuasaaannya dengan memaksa seseorang
memberikan sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk
mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri. “Pemerasan ini seperti pungli. Nah, ini tadi
bedanya apa dengan gratifikasi, pemerasan yang terima yang maksa,” kata Dwi.
Keenam, perbuatan curang. Menurut Dwi, perbuatan curang ini biasanya terjadi di proyek-
proyek pemerintahan, seperti pemborong, pengawas proyek, dan lain-lain yang melakukan
kecurangan dalam pengadaan atau pemberian barang yang mengakibatkan kerugian bagi
orang lain atau keuangan negara. (Baca Juga: 5 Tips Agar Perusahaan Terhindar dari kasus
Korupsi).
Ketujuh, benturan kepentingan dalam pengadaan. Pengadaan adalah kegiatan yang
bertujuan untuk menghadirkan barang atau jasa yang dibutuhkan oleh instansi atau
perusahaan.