Studi mata kuliah filsafat perenial di STF Driyarkara mengacu pada buku E.F. Schumacher yang berjudul Keluar dari Kemelut (buku terjemahan). Saya telah mempresentasikan materi bab 4 buku ini yang berfokus pada tiga hal utama terkait filsafat perenial, yakni Prinsip Epistemologis, Latar Belakang Ide, dan Kontra Reduksionisme Filsafat Barat Modern.
2. Gambaran Besar
Isi Bab 4
Epistemologi metafisis
dan prinsip Adæquatio
Thomas Aquinas
Prinsip Epistemologis
Neoplatonis, Agustinus,
Pascal, Sufisme, &
Buddhisme
Latar Belakang Ide
Descartes, Locke, Hume,
dan positivisme
Kontra Reduksi
Filsafat Barat Modern
3. Apakah yang memungkinkan manusia mengetahui segala sesuatu
bagaimanapun tentang dunia di sekelilingnya? [...] Tak ada yang dapat
diketahui tanpa adanya sebuah "alat" yang tepat di dalam susuan
diri orang yang tahu. Ini merupakan Kebenaran Besar adæquatio
(kesesuaian-edit), yang merumuskan pengetahuan sebagai adæquatio
rei et intellectus: pengertian orang yang tahu haruslah sesuai dengan
benda yang harus diketahui.
John Smith berkata, "Yang memungkinkan kita mengetahui dan
memahami setepat-tepatnya hal-hal yang berasal dari Tuhan pastilah
suatu prinsip hidup kesucian di dalam diri kita," dan boleh
ditambahkan ucapan St. Thomas Aquinas bahwa, "pengetahuan
muncul sejauh objek yang diketahui berada di dalam orang yang tahu."
Prinsip Epistemologis
Ref: hlm. 44.
4. Kesejajaran Struktur Ontologis
Manusia terdiri atas keempat Tingkat Eksistensi dan karena itu
terdapat suatu tingkat kesejajaran atau kesesuaian fitrah
antara tata-susuan manusia (mikrokosmos) dengan tata-
susunan dunia (makrokosmos).
Pancaindra membuat manusia "memadai" bagi Tingkat
Eksistensi mineral dan hanya memberikan banyak sekali data
indriawi. Untuk memahami, kita memerlukan kemampuan
dan kecakapan yang lain. Kita boleh menyebutnya 'indra
intelektual'.
Ref: hlm. 44-45
5. Indra-indra Intelektual
Sementara pancaindra dapat diluksikan sebagai nisbi pasif,
semata-mata penerima apa yang kebetulan terjadi dan
banyak dikendalikan oleh indra-indra intelektual.
Berkenaan dengan pancaindra, tiap orang sehat memiliki
anugrah yang sama. Namun, tak seorang pun dapat
mengabaikan kenyataan bahwa ada perbedaan-perbedaan
penting dalam kekuatan dan daya jangkau pikiran
manusia.
Orang tak dapat menghargai sepotong musik karena tiadanya
adæquatio dalam pikirannya.
Ref: hlm. 45.
6. Adæquatio >< Inadæquatio
Pikiran orang pertama (komponis-edit) memadai (adequate)
bagi simfoni, sedangkan pikiran orang yang belakangan
(awam-edit) tak memadai (inadequate).
Bagi kita masing-masing, fakta dan gejala hanya ada jika kita
punya adæquatio baginya & oleh karenanya kita tak berhak
menganggap bahwa kita tak boleh tidak memadai untuk
segala sesuatu.
Ada fakta jasmani yang dicercap pancaindra, dan juga ada
fakta non-jasmani yang tetap tak ketahuan kecuali jika kerja
indra-indra dikendalikan dan dilengkapi beberapa
kemampuan pikiran "yang lebih tinggi".
Ref: hlm. 46.
Homo capax Dei
7. "Sintetik Apriori"
"Data indriawi" bersifat sama saja dan fakta-fakta yang
diperlihatkan kepada mata serupa sifatnya. Bukan mata,
melainkan hanya pikiran yang dapat menentukan "tingkat
arti".
"Persepsi tidaklah semata-mata ditentukan pola rangsangan,"
ujar R.L. Gregory, "ia lebih merupakan suatu pencarian
dinamis tafsiran terbaik tentang data yang tersedia."
Singkatnya, kita "melihat" tak hanya dengan mata, tapi juga
dengan suatu bagian besar perlengkapan mental yang
beragam bagi tiap orang. Sebagian bisa melihat, sebagian
tidak.
Ref: hlm. 47.
8. Kemampuan yang
lebih Tinggi
Kemampuan-kemampuan terendah, seperti melihat dan
menghitung, ada pada tiap orang biasa, sedangkan
kemampuan-kemampuan yang lebih tinggi, seperti apa
yang diperlukan untuk memahami segi-segi kenyataan
yang lebih halus, makin kita daki makin sulit kita peroleh
secara luas.
Karunia manusia tak sama rata, tapi ketaksamarataan itu jauh
kalah pentingnya dibandingkan dengan perbedaan-
perbedaan minat dan perbedaan "latar-belakang pikiran".
Ref: hlm. 48.
9. Pijakan Epistemis
Tingkat arti yang dicoba seorang pengamat menyesuaikan
dirinya tak dipilih berdasarkan kecerdasannya, melainkan
berdasarkan kepercayaannya.
Jika saya tak punya "iman," dan karenanya memilih tingkat
arti yang tak memadai bagi penyelidikan saya, takkan ada
dejarat "keobjektifan" yang pernah menyelamatkan saya
terhadap keluputan maksud seluruh hal-ihwal.
Si pengamat tak hanya tergantung pada kesesuaian pada
sifat-sifat yang lebih tinggi, ia juga tergantung pada apakah
memadai "iman"-nya atau pra-anggapan pokok dan
dugaan dasarnya. Iman ini bisa ditiadakan oleh subjek.
Ref: hlm. 49.
10. Posisi dan Peran Hati
Batin dapat disamakan dengan yang "lebih tinggi" dan
lahir yang "lebih rendah. [...] Hanya melalui "hati"-lah
hubungan dapat dijalin dengan derajat-derajat arti dan
Tingkat Eksistensi yang lebih tinggi.
*) Hati: unsur pemahaman yang menangkap prinsip-
prinsip pertama kenyataan secara berlainan dari rasio.
Kita tahu kebenaran juga dengan hati (gak melulu rasio)
dan yang tahu Allah secara langsung ialah hati.
Ref: hlm. 50.
Blaise Pascal
11. [...]Manusia dapat mencapai Tingkat-tingkat Eksistensi yang
lebih tinggi asalkan ia membiarkan nalarnya dituntun oleh
iman. Agustinus: iman ialah jantung hal-ihwal, mengatakan
hal yang perlu dipahami, dan memurnikan hati.
"Satu-satunya urusan kita dalam hidup ini ialah kembali
menyehatkan mata hati untuk dapat melihat Allah,"
Agustinus, Restless Heart.
John Smith, "Kita harus menutup mata indra dan membuka
mata pengertian-pengertian yang lebih cerah" (mata lain
dari jiwa).
Ref: hlm. 53.
Iman dan "Mata Hati"
Psukhe
Noûs
To Hen
12. Buddhisme:
1) datang dan tergerak oleh keprcayaan, 2) menerima ajaran,
3)menguji maknanya, 4) menyadari kebenaran tertinggi itu
sendiri.
Kemampuan melihat menjadi berkembang, pikiran
diterangkan, dan jiwa dibebaskan.
Cahaya sebagai bentuk kesadaran yang analog dengan
kebenaran dan kebebasan.
Ref: hlm. 54.
Proses Memperoleh
Adæquatio
13. Kebenaran gagasan-gagasan tak dapat dilihat dengan indra-
indra, melainkan hanya dengan "mata hati" yang secara
misterius memiliki daya pengenalan atas kebenaran.
Hubungan antara daya iluminasi dan hasil-hasil pencerapan
indriawi sebagai pengalaman dapat dilukiskan sebagai
berikut:
• Pengalaman yang mengatakan kepada kita tentang
eksistensi, dan perubahan dari hal-hal indriawi.
• Iluminasi yang mengatakan kepada kita tentang arti hal-
hal dan sepatutnya hal-hal menjadi apa.
Ref: hlm. 55.
Cahaya dan Pembebasan
14. TINGKAT-TINGKAT EKSISTENSI YANG
LEBIH TINGGI TAKKAN BISA
DIKETAHUI TANPA IMAN DAN
BANTUAN KEMAMPUAN-KEMAMPUAN
LEBIH TINGGI SI MANUSIA-BATINIAH
Ernst Friedrich Schumacher