SlideShare a Scribd company logo
1 of 12
Asas Legalitas Dalam Hukum Pidana (Criminal Law)
Asas legalitas merupakan asas yang digunakan untuk menentukan suatu perbuatan
termasuk dalam kategori perbuatan pidana yang merupakan terjemahan dari principle
of legality. Ruba`i (2001) mengemukakan bahwa Von Feuerbach (1775-1833)
murumuskan asas tersebut didalam bahasa latin yang sampai saat ini merupakan
istilah yang seringkali digunakan oleh para pakar sebagai “Nullum delictum
nullapoena sina praevia lege” yang artinya “Tidak ada tindak pidana, tidak ada
pidana tanpa peraturan terlebih dahulu”.
Asas legalitas ini merupakan perlindungan kepada perorangan terhadap kesewenangwenangan yang mungkin dilakukan penguasa terhadap rakyatnya. Oleh karena itu,
asas legalitas merupakan asas yang esensiel di dalam penerapan hukum pidana. Pasal
1 ayat (1) KUHP mencantumkan asas legalitas ini sebagai berikut :
“Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas ketentuan-ketentuan pidana dalam
perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan”.
Dari rumusan tersebut, dapat diartikan bahwa suatu perbuatan baru dapat dipidana
jika :
1. Ada ketentuan pidana tentang perbuatan tersebut yang dirumuskan dalam UndangUndang atau tertulis sebagaimana disebutkan dalam kalimat “atas ketentuanketentuan pidana dalam perundang-undangan”.
2. Dilakukan setelah ada rumusannya didalam peraturan perundang-undangan
sebagaimana tercantum dalam kalimat “ketentuan perundang-undangan sudah ada
sebelum perbuatan dilakukan”. Dengan perkataan lain ketentuan pidana tidak berlaku
surut (retro aktif).
Perkecualian terhadap larangan retro aktif atau berlaku surut ini dimungkinkan oleh
pasal 1 ayat (2) KUHP yang berbunyi :
“Apabila ada perubahan perundang-undangan sesudah perbuatan terjadi, maka
haruslah dipakai ketentuan teringan bagi terdakwa”.
Dari ketentuan pasal 1 ayat (2) tersebut, Ruba`i (2001) mengartikan bahwa larangan
berlaku surut dapat disimpangi bila :
1. Sesudah terdakwa melakukan tindak pidana ada perubahan dalam perundangundangan.
2. Peraturan yang baru lebih meringankan terdakwa.
Sumber :
Anny Isfandyarie dan Fachrizal Afandi, 2006, Tanggung Jawab Hukum dan Sanksi
bagi Dokter, Buku ku II, Prestasi Pustaka Publisher, h.59-61

ASAS LEGALITAS DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA INDONESIA
DAN KAJIAN PERBANDINGAN HUKUM
Pada dasarnya asas legalitas lazim disebut juga dengan terminologi 'principle of
legality', 'legaliteitbeginsel', 'non-retroaktif', 'de la legalite' atau 'ex post facto laws'.
Ketentuan asas legalitas diatur dalam Pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP) Indonesia yang berbunyi: 'Tiada suatu peristiwa dapat dipidana selain
dari kekuatan ketentuan undang-undang pidana yang mendahuluinya.' (Geen feit is
strafbaar dan uit kracht van een daaran voorafgegane wetteljke strafbepaling).
P.A.F. Lamintang dan C. Djisman Samosir merumuskan dengan terminologi sebagai,
'Tiada suatu perbuatan dapat dihukum kecuali didasarkan pada ketentuan pidana
menurut undang-undang yang telah diadakan lebih dulu'.[1] Andi Hamzah
menterjemahkan dengan terminologi, 'Tiada suatu perbuatan (feit) yang dapat
dipidana selain berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang
mendahuluinya'.[2] Moeljatno menyebutkan pula bahwa, 'Tiada suatu perbuatan dapat
dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah
ada, sebelum perbuatan dilakukan'.[3]
Oemar Seno Adji menentukan prinsip 'legality' merupakan karakteristik yang
essentieel, baik ia dikemukakan oleh 'Rule of Law' – konsep, maupun oleh faham
'Rechtstaat' dahulu, maupun oleh konsep 'Socialist Legality'. Demikian misalnya
larangan berlakunya hukum Pidana secara retroaktif atau retrospective, larangan
analogi, berlakunya azas 'nullum delictum' dalam Hukum Pidana, kesemuanya itu
merupakan suatu refleksi dari prinsip 'legality'. [4] Nyoman Serikat Putra Jaya,
menyebutkan perumusan asas legalitas dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP mengandung
makna asas lex temporis delicti, artinya undang-undang yang berlaku adalah undangundang yang ada pada saat delik terjadi atau disebut juga asas 'nonretroaktif', artinya
ada larangan berlakunya suatu undang-undang pidana secara surut. Asas legalitas juga
berkaitan dengan larangan penerapan ex post facto criminal law dan larangan
pemberlakuan surut hukum pidana dan sanksi pidana (nonretroactive application of
criminal laws and criminal sanctions).[5]
Dikaji dari substansinya, asas legalitas dirumuskan dalam bahasa Latin sebagai
nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali (tidak ada delik, tidak ada
pidana tanpa ketentuan pidana yang mendahuluinya), atau nulla poena sine lege (tidak
ada pidana tanpa ketentuan pidana menurut undang-undang), nulla poena sine crimine
(tidak ada pidana tanpa perbuatan pidana), nullum crimen sine lege (tidak ada
perbuatan pidana tanpa pidana menurut undang-undang) atau nullum crimen sine
poena legali (tidak ada perbuatan pidana, tidak ada pidana tanpa ketentuan pidana
yang mendahuluinya) atau nullum crimen sine lege stricta (tidak ada perbuatan pidana
tanpa ketentuan yang tegas).
Konsepsi asas ini dikemukakan oleh Paul Johan Anslem von Feurbach (1775-1833),
seorang sarjana hukum pidana Jerman dalam bukunya Lehrbuch des penlichen recht
pada tahun 1801 yang mengemukakan teori mengenai tekanan jiwa (Psychologische
Zwang Theorie). Paul Johan Anslem von Feurbach beranggapan bahwa suatu
ancaman pidana merupakan usaha preventif terjadinya tindak pidana dan jikalau
orang telah mengetahui sebelumnya bahwa ia diancam pidana karena melakukan
tindak pidana, diharapkan akan menekan hasratnya untuk melakukan perbuatan
tersebut. Akan tetapi, menurut J.E. Sahetapy dikemukakan bahwa Samuel von
Pufendorflah yang mendahului von Feuerbach, maka Oppenheimer menganggap
bahwa 'Talmudic Jurisprudence' lah yang mendahului teori von Feurbach.[6] Bambang
Poernomo menyebutkan bahwa, apa yang dirumuskan oleh von Feurbach
mengandung arti yang sangat mendalam, yaitu dalam bahasa Latin berbunyi: 'nulla
poena sine lege; nulla poena sine crimine; nullum crimen sine poena legali'.[7]
Akan tetapi, walaupun asas legalitas diformulasikan dalam bahasa Latin, ada
menimbulkan kesan seolah-olah asal muasal asas ini adalah dari hukum Romawi
kuno. Aturan ini, dalam formulasi bahasa Latin, berasal dari juris Jerman, von
Feuerbach – ini berarti bahwa asas ini lahir pada awal abad 19 dan harus dipandang
sebagai produk ajaran klasik.[8] J.E. Sahetapy menyebutkan bahwa asas legalitas
dirumuskan dalam bahasa Latin semata-mata karena bahasa Latin merupakan bahasa
‘dunia hukum’ yang digunakan pada waktu itu.[9] Moeljatno menyebutkan bahwa,
baik adagium ini maupun asas legalitas tidak dikenal dalam hukum Romawi Kuno.[10]
Pada saat itu dikenal kejahatan yang disebut criminal extra ordinaria, yang berarti
'kejahatan-kejahatan yang tidak disebut dalam undang-undang'. Diantara criminal
extra ordinaria ini yang terkenal adalah crimina stellionatus (perbuatan durjana/jahat).
Dalam sejarahnya, criminal extra ordinaria ini diadopsi raja-raja yang berkuasa.
Sehingga terbuka peluang yang sangat lebar untuk menerapkannya secara sewenangwenang. Oleh karena itu, timbul pemikiran tentang harus ditentukan dalam peraturan
perundang-undangan terlebih dahulu perbuatan-perbuatan apa saja yang dapat
dipidana.
Selain konteks di atas, ada juga yang berasumsi bahwa asas legalitas berasal dari
ajaran Montesquieu dalam bukunya L’Esprit des Lois. Menurut van der Donk dan
Hazewinkel Suringa baik ajaran Montesquieu maupun Rosseau mempersiapkan
penerimaan umum terhadap asas legalitas, akan tetapi dalam ajaran kedua tokoh
tersebut tidak terdapat rumusan asas legalitas. Maksud dari pelajaran kedua tokoh
tersebut adalah melindungi individu terhadap tindakan hakim yang sewenangwenang, yaitu melindungi kemerdekaan pribadi individu terhadap tuntutan tindakan
yang sewenang-wenang.[11] Hans Kelsen menyebutkan dimensi asas nulla poena sine
lege, nullum crimen sine lege adalah ekspresi legal positivism dalam hukum pidana.
[12]

Dikaji dari perspektif sejarah terbentuknya asas legalitas dalam KUHP Indonesia
berasal dari Wetboek van Strafrecht Nederland (WvS. Ned), sebagaimana berasal dari
ketentuan Pasal 8 Declaration des Droits De L’Homme Et Du Citoyen tahun 1789
yang berbunyi, 'tidak ada orang yang dapat dipidana selain atas kekuatan undangundang yang sudah ada sebelumnya', dan merupakan pandangan Lafayette dari
Amerika ke Perancis dan bersumber dari Bill of Rights Virgina tahun 1776.
Apabila dianalisis lebih intens, detail dan terperinci terminologi 'ketentuan
perundang-undangan (wettelijk strafbepaling)' dan 'undang-undang' maka ruang
lingkup asas legalitas dalam hukum pidana materiil lebih luas dengan terminologi
'perundang-undangan' dari kata 'undang-undang' pada ketentuan hukum acara pidana.
Tegasnya, asas legalitas di samping dikenal dalam ketentuan hukum pidana materiel
juga dikenal dalam ketentuan hukum acara pidana (hukum pidana formal). Andi
Hamzah kemudian lebih lanjut menyebutkan bahwa dengan demikian, asas legalitas
dalam hukum acara pidana lebih ketat daripada dalam hukum pidana materiel, karena
istilah dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP (sama dengan Belanda) 'ketentuan perundangundangan' (wettelijk strafbepaling) sedangkan dalam hukum acara pidana disebut
undang-undang pidana. Jadi, suatu peraturan yang lebih rendah seperti Peraturan
Pemerintah dan Peraturan Daerah dapat menentukan suatu perbuatan dapat dipidana
tetapi tidak boleh membuat aturan acara pidana.[13]
Hakikat ketentuan Pasal 1 ayat (1) KUHP tersebut mendeskripsikan tentang
pemberlakuan hukum pidana menurut waktu terjadinya tidak pidana (tempus delicti).
Konkritnya, untuk menentukan dapat atau tidaknya suatu perbuatan agar dipidana
maka ketentuan pidana tersebut harus ada terlebih dahulu diatur sebelum perbuatan
dilakukan. Francis Bacon (1561-1626), seorang filsuf Inggris merumuskan dalam
adagium moneat lex, priusquam feriat (undang-undang harus memberikan peringatan
terlebih dahulu sebelum merealisasikan ancaman yang terkandung di dalamnya), ini
kiranya mencakup lebih dari sekedar itu, yakni mencakup juga pembenaran atas
pidana yang dijatuhkan. Hanya jika ancaman pidana yang muncul terlebih dahulu
telah difungsikan sebagai upaya pencegahan, menghukum dapat dibenarkan.
Dalam perspektif tradisi Civil law, ada empat aspek asas legalitas yang diterapkan
secara ketat, yaitu terhadap peraturan perundangan-undangan (law), retroaktivitas
(retroactivity), lex certa dan analogi.[14] Roelof H. Haveman menyebutkan keempat
dimensi konteks di atas sebagai, though it might be said that not every aspect is that
strong on its own, the combination of the four aspects gives a more true meaning to
principle of legality.[15] Moeljatno menyebutkan bahwa asas legalitas mengandung
tiga pengertian, yaitu:
1. Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau hal itu
terlebih dahulu belum dinyatakan dalam suatu aturan undang-undang.
2. Untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi
(kiyas).
3. Aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku surut.[16]
Komariah Emong Sapardjaja[17] dengan bertitik tolak pandangan Groenhuijsen
menyebutkan ada empat makna yang terkandung asal legalitas dalam Pasal 1 ayat (1)
KUHP. Pertama, bahwa pembuat undang-undang tidak boleh memberlakukan suatu
ketentuan pidana berlaku mundur. Kedua, bahwa semua perbuatan yang dilarang
harus dimuat dalam rumusan delik sejelas-jelasnya. Ketiga, hakim dilarang
menyatakan bahwa terdakwa melakukan perbuatan pidana didasarkan pada hukum
tidak tertulis atau hukum kebiasaan. Keempat, terhadap peraturan hukum pidana
dilarang diterapkan analogi. Polarisasi pemikiran Komariah Emong Sapardjaja
dengan bertitik tolak pandangan Groenhuijsen hakikatnya identik dengan pendapat
dari Machteld Boot dengan titik tolak pandangan Jeschek dan Weigend yang
menyebutkan empat syarat asas legalitas.
Pertama, tidak ada perbuatan pidana dan pidana tanpa undang-undang sebelumnya
(asas nullum crimen, noela poena sine lege pravia). Kedua, tidak ada perbuatan
pidana, tidak ada pidana tanpa undang-undang tertulis (asas nullum crimen, nulla
poena sine lege scripta). Ketiga, tidak ada perbuatan pidana, tidak ada pidana tanpa
aturan undang-undang yang jelas (asas nullum crimen, nulla poena sine lege certa).
Keempat, tidak ada perbuatan pidana, tidak ada pidana tanpa undang-undang yang
ketat (asas nullum crimen, noela poena sine lege stricta). Lebih detail Machteld Boot
menyebutkan bahwa:
'The formulation of the Gesetzlichkeitsprinzip in Article 1 StGB is generally
considered to include four separate requirements. Fist, conduct can only be punished
if the punishability as well as the acconpanying penalty had been determined before
the offence was committed (nullum crimen, noela poena sine lege praevia).
Furthermore, these determinations have to be be included in statutes (Gesetze):
nullum crimen, noela poena sine lege scripta. These statutes have to be difinite
(bestimmt): nullum crimen, noela poena sine lege certa. Lastly, these statutes may not
be applied by analogy which is reflected in the axion nullum crimen, noela poena sine
lege stricta.'[18]
JH. J. Enschede, menyebutkan hanya ada dua makna yang terkandung dalam asas
legalitas, yaitu: Pertama, suatu perbuatan dapat dipidana hanya jika diatur dalam
perundang-undangan pidana (...wil een feit strafbaar zijn, dan moet het vallen onder
een wettelijke strafbepaling...). Kedua, kekuatan ketentuan pidana pidana tidak boleh
diberlakukan surut (...zo’n strafbepaling mag geen terugwerkende kracht hebben...).
[19] Kemudian Jan Remmelink menyebutkan tiga hal tentang makna asas legalitas.
Pertama, Konsep perundang-undang yang diandaikan ketentuan Pasal 1. Ketentuan
Pasal 1 Sv (KUH Pidana Belanda maupun Indonesia, bdgk. Pasal 3 KUHP Indonesia
1981) menetapkan bahwa hanya perundang-undangan dalam arti formal yang dapat
memberi pengaturan di bidang pemidanaan. Kata perundang-undangan (wettelijk)
dalam ketentuan Pasal 1 menunjuk pada semua produk legislatif yang mencakup
pemahaman bahwa pidana akan ditetapkan secara legitimate.
Sebelumnya telah ditunjukkan bahwa pelbagai bentuk perundang-undangan tercakup
di dalamnya, termasuk peraturan yang dibuat oleh pemerintah daerah (tingkat provinsi
maupun kabupaten/kotamadya) dan seterusnya. Kedua, Lex Certa (undang-undang
yang dirumuskan terperinci dan cermat/nilai relatif dari ketentuan ini). Asas Lex Certa
atau bestimmtheitsgebot merupakan perumusan ketentuan pidana yang tidak jelas atau
terlalu rumit hanya akan memunculkan ketidakpastian hukum dan menghalangi
keberhasilan upaya penuntutan (pidana) karena warga selalu akan dapat membela diri
bahwa ketentuan-ketentuan seperti itu tidak akan berguna sebagai pedoman perilaku.
Ketiga, dimensi analogi. Asas legalitas menyimpan larangan untuk menerapkan
ketentuan pidana secara analogis (nullum crimen sine lege stricta: tiada ketentuan
pidana terkecuali dirumuskan secara sempit/ketat di dalam peraturan perundangundangan).[20]
Lebih lanjut Von Feurbach menyebutkan makna asas legalitas menimbulkan tiga
peraturan lain. Pertama, setiap penggunaan pidana hanya dapat dilakukan berdasarkan
hukum pidana (nulla poena sine lege). Kedua, penggunaan pidana hanya mungkin
dilakukan, jika terjadi perbuatan yang diancam dengan pidana oleh undang-undang
(nulla poena sine crimine). Ketiga, perbuatan yang diancam dengan pidana yang
menurut undang-undang, membawa akibat hukum bahwa pidana yang diancamkan
oleh undang-undang dijatuhkan (nullum crimen sine poena legali).[21] Berikutnya
Richard G. Singer dan Martin R. Gardner menyebutkan asas legalitas berkorelasi
dengan 3 (tiga) dimensi, yaitu: Pertama, pemidanaan tidak dapat diberlakukan secara
retroaktif. Kedua, pembentuk undang-undang dilarang membuat hukum yang berlaku
surut. Ketiga, perbuatan pidana harus didefinisikan oleh lembaga atau institusi yang
berwenang.[22]
Pada dasarnya, perkembangan asas legalitas eksistensinya diakui dalam KUHP
Indonesia baik asas legalitas formal (Pasal 1 ayat (1) KUHP) maupun asas legalitas
materiil (Pasal 1 ayat (3) RUU KUHP Tahun 2008).[23] Akan tetapi, Utrecht
keberatan dengan dianutnya asas legalitas di Indonesia. Alasannya ialah banyak sekali
perbuatan yang sepatutnya dipidana (strafwaardig) tidak dipidana karena adanya asas
tersebut serta asas legalitas menghalangi berlakunya hukum pidana adat yang masih
hidup dan akan hidup. Lebih terperinci maka Utrecht mengatakan bahwa:
'Terhadap azas nullum delictum itu dapat dikemukakan beberapa keberatan. Pertamatama dapat dikemukakan bahwa azas nullum delictum itu kurang melindungi
kepentingan-kepentingan kolektif (collectieve belangen). Akibat azas nullum delictum
itu hanyalah dapat dihukum mereka yang melakukan suatu perbuatan yang oleh
hukum (=peraturan yang telah ada) disebut secara tegas sebagai suatu pelanggaran
ketertiban umum. Jadi, ada kemungkinan seorang yang melakukan suatu perbuatan
yang pada hakikatnya merupakan kejahatan, tetapi tidak disebut oleh hukum sebagai
suatu pelanggaran ketertiban umum, tinggal tidak terhukum. Azas nullum delictum itu
menjadi suatu halangan bagi hakim pidana menghukum seorang yang melakukan
suatu perbuatan yang biarpun tidak 'strafbaar'’ masih juga 'strafwaardig'. Ada lagi satu
alasan untuk menghapuskan pasal 1 ayat 1 KUHPidana, yaitu suatu alasan yang
dikemukakan oleh terutama hakim pidana di daerah bahwa pasal 1 ayat 1 KUH
Pidana menghindarkan dijalankannya hukum pidana adat.'[24]
Akan tetapi, walaupun demikian pada umumnya asas legalitas tersebut menurut Andi
Hamzah diterima dalam KUHP Indonesia meskipun merupakan dilema. Lebih jauh
dikatakan, bahwa:
'Menurut pendapat Andi Hamzah, adanya asas tersebut di dalam KUHP Indonesia
merupakan dilemma, karena memang dilihat dari segi yang satu seperti digambarkan
oleh Utrecht tentang hukum adat yang masih hidup, dan menurut pendapat Andi
Hamzah tidak mungkin dikodifikasikan seluruhnya karena perbedaan antara adat
pelbagai suku bangsa, tetapi dilihat dari sudut yang lain, yaitu kepastian hukum dan
perlindungan terhadap hak asasi manusia dari perlakuan yang tidak wajar dan tidak
adil dari penguasa dan hakim sehingga diperlukan adanya asas itu. Lagipula sebagai
negara berkembang yang pengalaman dan pengetahuan para hakim masih sering
dipandang kurang sempurna sehingga sangat berbahaya jika asas itu ditinggalkan.'[25]
Barda Nawawi Arief[26] menyebutkan bahwa perumusan ketentuan Pasal 1 ayat (1)
KUHP mengandung di dalamnya asas 'legalitas formal', asas 'lex certa', dan asas 'Lex
Temporis Delicti' atau asas 'nonretroaktif'. Asas legalitas formal (lex scripta) dalam
tradisi civil law sebagai penghukuman harus didasarkan pada ketentuan UndangUndang atau hukum tertulis. Undang-Undang (statutory, law) harus mengatur
terhadap tingkah laku yang dianggap sebagai tindak pidana. Lex Certa atau
bestimmtheitsgebot dimaksudkan kebijakan legislasi dalam merumuskan undangundang harus lengkap dan jelas tanpa samar-samar (nullum crimen sine lege stricta).
Perumusan yang tidak jelas atau terlalu rumit hanya akan memunculkan
ketidakpastian hukum dan menghalangi keberhasilan upaya penuntutan (pidana)
karena warga selalu akan dapat membela diri bahwa ketentuan-ketentuan seperti itu
tidak berguna sebagai pedoman perilaku. Kemudian asas nonretroaktif menentukan
peraturan perundang-undangan tentang tindak pidana tidak dapat diberlakukan surut
(retroaktif) akan tetapi harus bersifat prospectif. Oleh karena itu maka makna asas
legalitas tersebut hakikatnya terdapat paling tidak ada 4 (empat) larangan
(prohibitions) yang dapat dikembangkan asas tersebut, yaitu:
a) 'nullum crimen, nulla poena sine lege scripta' (larangan untuk memidana atas dasar
hukum tidak tertulis—unwritten law--);
b) 'Nullum crimen, nulla poena sine lege stricta' (larangan untuk melakukan analogy);
c) 'Nullum crimen, nulla poena sine lege praevia' (larangan terhadap pemberlakuan
hukum pidana secara surut);
d) 'Nullum crimen, nulla poena sine lege certa' (larangan terhadap perumusan hukum
pidana yang tidak jelas –unclear terms-).
Ketentuan asas legalitas ini dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) KUHP Tahun
2008 perumusannya identik dengan Pasal 1 ayat (1) KUHP. Ketentuan Pasal 1 ayat
(1) RUU KUHP Tahun 2008 menyebutkan asas legalitas dengan redaksional sebagai,
'Tiada seorangpun dapat dipidana atau dikenakan tindakan, kecuali perbuatan yang
dilakukan telah ditetapkan sebagai tindak pidana dalam peraturan perundangundangan yang berlaku pada saat perbuatan itu dilakukan'. Kemudian ketentuan asas
legalitas ini lebih lanjut menurut penjelasan Pasal 1 ayat (1) RUU KUHP Tahun 2008
disebutkan, bahwa:
'Ayat ini mengandung asas legalitas. Asas ini menentukan bahwa suatu perbuatan
hanya merupakan tindak pidana apabila ditentukan demikian oleh atau didasarkan
pada Undang-undang. Dipergunakan asas tersebut, oleh karena asas legalitas
merupakan asas pokok dalam hukum pidana. Oleh karena itu peraturan perundangundangan pidana atau yang mengandung ancaman pidana harus sudah ada sebelum
tindak pidana dilakukan. Hal ini berarti bahwa ketentuan pidana tidak berlaku surut
demi mencegah kesewenang-wenangan penegak hukum dalam menuntut dan
mengadili seseorang yang dituduh melakukan suatu tindak pidana.'
Asas legalitas konteks di atas dalam KUHP Indonesia mengacu kepada ide dasar
adanya kepastian hukum (rechtzekerheids). Akan tetapi, dalam implementasinya
maka ketentuan asas legalitas tersebut tidak bersifat mutlak. A. Zainal Abidin Farid
menyebutkan pengecualian asas legalitas terdapat dalam hukum transistoir (peralihan)
yang mengatur tentang lingkungan kuasa berlakunya undang-undang menurut waktu
(sphere of time, tijdgebied) yang terdapat pada pasal 1 ayat (2) KUH Pidana yang
berbunyi, 'bilamana perundang-undangan diubah setelah waktu terwujudnya
perbuatan pidana, maka terhadap tersangka digunakan ketentuan yang paling
menguntungkan baginya.[27]
Barda Nawawi Arief mempergunakan terminologi melemahnya/bergesernya asas
legalitas antara lain dikarenakan sebagai berikut:
1. Bentuk pelunakan/penghalusan pertama terdapat di dalam KUHP sendiri,
yaitu dengan adanya Pasal 1 ayat (2) KUHP;
2. Dalam praktik yurisprudensi dan perkembangan teori, dikenal adanya ajaran
sifat melawan hukum yang materiel;
3. Dalam hukum positif dan perkembangannya di Indonesia (dalam Undangundang Dasar Sementara 1950; Undang-undang Nomor 1 Drt 1951; Undangundang Nomor 14 Tahun 1970 jo Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999; dan
Konsep KUHP Baru), asas legalitas tidak semata-mata diartikan sebagai
'nullum delictum sine lege', tetapi juga sebagai 'nullum delictum sine ius' atau
tidak semata-mata dilihat sebagai asas legalitas formal, tetapi juga legalitas
materiel, yaitu dengan mengakui hukum pidana adat, hukum yang hidup atau
hukum tidak tertulis sebagai sumber hukum;
4. Dalam dokumen internasional dalam KUHP negara lain juga terlihat
perkembangan/pengakuan ke arah asas legalitas materiel (lihat Pasal 15 ayat
(2) International Convention on Civil and Political Right (ICCPR) dan KUHP
Kanada di atas);
5. Di beberapa KUHP negara lain (antara lain KUHP Belanda, Yunani, Portugal)
ada ketentuan mengenai 'pemaafan/pengampunan hakim' (dikenal dengan
berbagai istilah, antara lain 'rechterlijk pardon', 'Judicial pardon', 'Dispensa de
pena' atau 'Nonimposing of penalty') yang merupakan bentuk 'Judicial
corrective to the legality principle';
6. Ada perubahan fundamental di KUHAP Perancis pada tahun 1975 (dengan
Undang-undang Nomor 75-624 tanggal 11 Juli 1975) yang menambahkan
ketentuan mengenai 'pernyataan bersalah tanpa menjatuhkan pidana' ('the
declaration of guilt without imposing a penalty');
7. Perkembangan/perubahan yang sangat cepat dan sulit diantisipasi dari 'cybercrime' merupakan tantangan cukup besar bagi berlakunya asas 'lex certa',
karena dunia maya (cyber-space) bukan dunia riel/realita/nyata/pasti.[28]
Khusus terhadap pengecualian asas legalitas ditentukan asas 'lex temporis delicti'
sebagaimana ketentuan Pasal 1 ayat (2) KUHP. Konklusi dasar asas ini menentukan
apabila terjadi perubahan perundang-undangan maka diterapkan ketentuan yang
menguntungkan terdakwa. Jan Remmelink menyebutkan ketentuan Pasal 1 ayat (2)
memberikan jawaban dalam artian bahwa bila undang-undang yang berlaku setelah
tindak pidana ternyata lebih menguntungkan, maka pemberlakuannya secara surut
diperkenankan. Pandangan demikian diakui dan diterima di Belgia dan Jerman.
A. Zainal Abidin Farid menyebutkan yang dimaksud dengan perubahan undangundang dalam pasal 1 ayat (2) KUHP apakah termasuk undang-undang pidana saja
atau semua aturan hukum maka aspek ini dapat dijawab dengan tiga teori yaitu teori
formil yang dianut oleh Simons, kemudian teori materiil terbatas yang dikemukakan
oleh van Geuns dan teori materiil tak terbatas. Menurut teori formil maka perubahan
undang-undang baru dapat terjadi bilamana redaksi undang-undang pidana yang
diubah. Perubahan undang-undang lain selain dari undang-undang pidana, walaupun
berhubungan dengan undang-undang pidana, bukanlah perubahan undang-undang
menurut pasal 1 ayat (2) KUH Pidana. Kemudian menurut teori materiil terbatas
bahwa perubahan undang-undang yang dimaksud harus diartikan perubahan
keyakinan hukum pembuat undang-undang. Perubahan karena zaman atau keadaan
tidak dapat dianggap sebagai perubahan undang-undang ex pasal 1 ayat (2) KUH
Pidana. Teori materiil tak terbatas dimana H.R. dalam keputusannya tanggal 5
Desember 1921 (N.J. 1922 h. 239) yang disebut Huurcommicciewet-arrest,
berpendapat bahwa 'perundang-undangan meliputi semua undang-undang dalam arti
luas dan perubahan undang-undang meliputi semua macam perubahan, baik
perubahan perasaan hukum pembuat undang-undang menurut teori materiil terbatas,
maupun perubahan keadaan karena waktu'.
Konklusi dasar asas legalitas sebagaimana diuraikan konteks di atas, dikaji dari
prespektif karakteristiknya terdapat dimensi-dimensi sebagai berikut:
• Tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan ketentuan pidana menurut undangundang.
• Tidak dapat diterapkan undang-undang pidana berdasarkan analogi.
• Tidak dipidana hanya berdasarkan kebiasaan.
• Tidak boleh ada rumusan delik yang kurang jelas (asas lex certa).
• Tidak ada ketentuan pidana diberlakukan secara surut (asas nonretroaktif).
• Tidak ada pidana, kecuali ditentukan dalam undang-undang.
• Penuntutan pidana hanya berdasarkan ketentuan undang-undang.
Dikaji dari perspektif perbandingan hukum (comparative law) maka asas legalitas
tersebut juga dikenal dan diakui oleh beberapa negara. Pada International Criminal
Court (ICC) asas legalitas diatur khususnya pada article 22, article 23 dan article 24.
Ketentuan article 22 Nullum crimen sine lege ayat (1) menyebutkan, 'A person shall
not be criminally responsible under this Statute unless the conduct in question
constitutes, at the time it takes place, a crime within the jurisdiction of the court', dan
ayat (2) menyebutkan, 'The definition of a crime shall not be extended by analogy. In
case of ambiguity. The definition shall be intepreted in favour of the person being
investigated, prosecuted, or convicted', dan ayat (3), 'This article shll not affect the
characterization of any conduct as criminal under international law independently of
the Statute'. Kemudian article 23 berbunyi, 'A person convicted by the court may be
punished only in accordance with the Statute', dan article 24 ayat (1) selengkapnya
berbunyi bahwa, 'No person shall be criminally responsible under this Statute for
conduct prior to the entry into force of the Statute', dan ayat (2) berbunyi bahwa, 'In
the event of change in the applicable to a given case prior to a final judgment, the law
more favorable to the person being investigated or convicted shall apply'.
Kemudian dalam Pasal 9 Konvensi Amerika tentang Hak Asasi Manusia yang
ditandatangani di San Jose, Costa Rica tanggal 22 November 1968 dan mulai berlaku
pada tanggal 18 Juli 1978 asas legalitas diformulasikan dengan redaksional bahwa,
'No one shall be convicted of any act or omission that did notconstitute a criminal
offence, under applicable law, at the time when it was committed. A heavier penalty
shall not be imposed than the one that was applicable at the time the criminal offence.
If subsequent to the commission of the offense that law provides for the imposition of
a lighter punishment, the guilty person shall benefit thereform'.
Berikutnya, asas legalitas juga terdapat dalam Deklarasi Hak Asasi Manusia yang
diumumkan oleh Resolusi Majelis Umum PBB 217A (III) tanggal 10 Desember 1948
dimana pada Pasal 11 ayat (2) disebutkan asas legalitas dengan redaksional bahwa,
'No one shall be had guilty of any penal offence on account of any act or omission
which did not constitute a penal offence, under national or international law, at the
time when it was commited. Not shall a heavier by imposed than the one that was
applicable at the time the penal offence was committed'. Selain itu, asas legalitas juga
dikenal dalam Pasal 7 ayat (2) African Charter on Human and People Rights yang
ditandatangani di Nairobi, Kenya, dan berlaku pada tangal 21 Oktober 1986 yang
menyebutkan bahwa, 'No one may be condemmed for an act or omission which did
not constitute a legally punishable offence for which no provision was made at the
time it was committed. Punishment is personal and can be imposed only on the
offender'.
Kemudian pada KUHP Jerman yang diumumkan tanggal 13 November 1998 (Federal
Law Gazette I, p. 945, p. 322) disebut Strafgesetzbuch (StGB) pada Section 1 No
Punishment Without a Law disebutkan bahwa, 'Sebuah perbuatan hanya dapat
dipidana apabila telah ditetapkan oleh undang-undang sebelum perbuatan itu
dilakukan', (An act may only be punished if its punishability was determined by law
before the act was committed). Pada asasnya, asas legalitas ini di Jerman juga
berorientasi kepada dimensi penuntutan, sehingga menurut George P. Fletcher di
Jerman menganut 'positive legality principle'.[29]
Kemudian asas legalitas ini juga dikenal di Negara Polandia. Pada ketentuan Pasal 42
Konstitusi Republik Polandia maka asas legalitas dirumuskan dengan redaksional,
'Only a person who has commited an act prohibited by a statute in force at the
moment of commission there of, and which is subject to a penalty, shall be geld
criminally responsible. This principle shaal not prevent punishment of any act which,
at the moment of its commission, constituted an offence within the meaning of
international law'. Berikutnya asas legalitas ini dirumuskan dalam Pasal 7 Konstitusi
Perancis dengan menyebutkan bahwa, 'A person may be accused, arrested, or detained
only in the cases specified by law and in accordance with the procedures which the
law provides. Those who solicit, forward, carry out or have arbitrary orders carried
out shall be punished; however, any citizen summoned or apprehended pursuant to
law obey forhwith; by resisting, he admits his guilt'.
Kemudian dalam Pasal 25 Konstitusi Spanjol ditegaskan asas legalitas adalah, 'No
one may be convicted or sentenced for actions or omissions which when committed
did not constitute a criminal offence, misdemeanour or administrative offence under
the law then in force' dan dalam Pasal 25 Konstitusi Italia asas legalitas dirumuskan
sebagai, 'No one shall be punished on the basic of a law which has entered into force
before the offence has been committed'.
Selain negara-negara di atas maka asas legalitas juga dikenal dalam Pasal 14
Konstitusi Negara Belgia sebagai, 'No punishment can be made or given except in
pursuance of the law'. Kemudian Pasal 29 Konstitusi Republik Portugal menentukan
bahwa, 'No one shall be convicted under the criminal law except for an act or
omission made punishable under exiisting law; and no one shall be subjected to a
security measure, except for reasons authorised under existing law. No sentences or
security measures shall be ordered that are not expressly provided for in existing
lawas. No one shall bee subjected to a sentence or security measure that is more
severe than hose applicable at the time the act was committed or the preparations for
its commission were made. Criminal laws that are favourable to the affender shall
aply retroactively'. Selanjutnya pada Pasal 57 Konstitusi Hongaria disebut asas
legalitas dengan redaksional sebagai, 'No one shall be declared guilty and subjected to
punishment for an offense that was not a criminal offense under Hungarian law at the
time such offense was committed'.

ASAS LEGALITAS DALAM HUKUM ACARA PIDANA
Asas atau prinsip legalitas dengan tegas disebut dalam konsideran KUHAP seperti
yang dapat dibaca pada huruf a, yang berbunyi : “ Bahwa negara republik indonesia
adalah negara hukum yang berdasarkan pancasila dan Undang-undang dasar 1945
yang menjunjung tinggi hak asaasi manusia serta yang menjamin segala warga negara
bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung
tinggi hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. Dari bunyi kalimat
di atas dapat kita simak :

1. Negara Republik Indonesia adalah “negara hukum”, berdasarkan Pancasila
dan UUD 1945
2. negara menajim setiap warga negara bersamaan kedudukannya di dalam
hukum dan pemerintahan;
3. setiap warga negara “tanpa kecuali”, wajin menjunjung hukum dan
pemerintahan.

pelaksanaan penerapan KUHAP harus bersumber pada titik tolak the rule of
law.semua tindakan penegakan hukum harus :
1. berdasarkan ketentuan hukum dan undang-undang.
2. menempatkan kepentingan hukum dan perundang-undangan di atas segalagalanya, sehingga terwujud suatu kehiudpan masyarakat bangsa yang takluk di
bawah “supremasi hukum” yang selaras dengan ketentuan-ketentuan
perundang-undangan dan perasaan keadilan bangsa indonesia. jadi arti the rule
of law dan supreamsi hukum, menguji dan meletakkan setiap tindakan
penegakan hukum takluk di bawah ketentuan konstitusi, undang-undang dan
rasa keadilan yang hidup ditengah-tengah kesadaran masyarakat. memaksakan
atau menegakkan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat bangsa lain,
tidak dapat disebut rule of law, bahkan mungkin berupa penindasan.
Sebagaimana diketahui, bertolak belakan dengan asas legalitas adalah asas
“oportinitas”, yang berarti sekalipun seorang tersangka terang cukup bersalah menurut
pemeriksaan penyidikan, dan kemungkinan besar akan dapat dijatuhi hukuman,
namun hasil pemeriksaan tersebut tidak dilimpahkan ke sidang pengadilan oleh
penuntut umum. Kasus perkara itu “dideponir” oleh pihak kejaksaan atas dasar
pertimbangan “demi kepentingan umum”. kejaksaan berendapat, lebih bermanvaat
bagi kepentingan umum jika perkara itu tidak diperksa di muka sidang pengadilan.
dngan demikian perkaranya dikesampingkan saja (dideponir). cara penyimpangan
seperti itulah yang disebut asas oportunitas.
hal ini menimbulkan dualistis dalam KUHAP. satu segi dengan tegas mengakui “asas
Legalitas” tapi disis lain asas legalitas itu dikebiri oleh kenyataan pengakuan KUHAP
itu sendri akan eksistensi “asas oportunitas”. kita menyadari masalah ini agak unik.
dalam konsideran tegas dinyatakan KUHAP menganut prinsip legalitas, akan tetapi
masih tetap mengakui asas opertunitas. kenyataan ini mau tak mau harus diterima,
dengan penjernihan. mungkin dalam sejarah penegakan hukum yang akan datang,
bangsa kita semakin memahami betapa adilnya mempergunakan asas legalitas secara
mutlak dan menyeluruh, tanpa diskirminasi atas alasan kepentingan umum, dan segera
melenyapkan praktek penegakan hukum yang berasaskan oportuitas demi tegaknya
equalitu before the law, equality protection ont the law, an equality justice under the
law.

More Related Content

What's hot

Hukum pidana
Hukum pidanaHukum pidana
Hukum pidanairmasiti8
 
Presentation12`1qa
Presentation12`1qaPresentation12`1qa
Presentation12`1qaandiex25
 
Presentation12`1qa
Presentation12`1qaPresentation12`1qa
Presentation12`1qaAndiex Ae
 
Asas Hukum Pidana
Asas Hukum PidanaAsas Hukum Pidana
Asas Hukum PidanaNakano
 
Tugas Kuliah Materi Hukum Pidana (Dosen Pak Prima)
Tugas Kuliah Materi Hukum Pidana (Dosen Pak Prima)Tugas Kuliah Materi Hukum Pidana (Dosen Pak Prima)
Tugas Kuliah Materi Hukum Pidana (Dosen Pak Prima)Riskasoesilawati
 
Sistem peradilan pidana
Sistem peradilan pidanaSistem peradilan pidana
Sistem peradilan pidanayudikrismen1
 
Hukum pidana khusus
Hukum pidana khususHukum pidana khusus
Hukum pidana khusussesukakita
 
Hukum pidana khusus - Definisi, ruang lingkup, dan posisi hukum pidana khusus...
Hukum pidana khusus - Definisi, ruang lingkup, dan posisi hukum pidana khusus...Hukum pidana khusus - Definisi, ruang lingkup, dan posisi hukum pidana khusus...
Hukum pidana khusus - Definisi, ruang lingkup, dan posisi hukum pidana khusus...Idik Saeful Bahri
 
Pertemuan 17 sifat hukum pidana, kedudukan
Pertemuan 17 sifat hukum pidana, kedudukanPertemuan 17 sifat hukum pidana, kedudukan
Pertemuan 17 sifat hukum pidana, kedudukanyudikrismen1
 
Hukum pidana i
Hukum pidana iHukum pidana i
Hukum pidana iyahyaanto
 
Rangkuman hukum acara pidana & perdata
Rangkuman hukum acara pidana & perdataRangkuman hukum acara pidana & perdata
Rangkuman hukum acara pidana & perdataMakmurZakaria
 
Pertemuan 2 hukum pidana sbg hukum publik
Pertemuan 2 hukum pidana sbg hukum publikPertemuan 2 hukum pidana sbg hukum publik
Pertemuan 2 hukum pidana sbg hukum publikyudikrismen1
 
1, hbl, digna adya, hapzi ali, hukum civil dan objek hukum, universitas mercu...
1, hbl, digna adya, hapzi ali, hukum civil dan objek hukum, universitas mercu...1, hbl, digna adya, hapzi ali, hukum civil dan objek hukum, universitas mercu...
1, hbl, digna adya, hapzi ali, hukum civil dan objek hukum, universitas mercu...DignaAdyaPratiwi
 

What's hot (20)

Hukum pidana
Hukum pidanaHukum pidana
Hukum pidana
 
Asas Asas Hukum Pidana
Asas Asas Hukum PidanaAsas Asas Hukum Pidana
Asas Asas Hukum Pidana
 
Hukum pidana khusus
Hukum pidana khususHukum pidana khusus
Hukum pidana khusus
 
Presentation12`1qa
Presentation12`1qaPresentation12`1qa
Presentation12`1qa
 
Presentation12`1qa
Presentation12`1qaPresentation12`1qa
Presentation12`1qa
 
Materi ke 11
Materi ke 11Materi ke 11
Materi ke 11
 
Asas Hukum Pidana
Asas Hukum PidanaAsas Hukum Pidana
Asas Hukum Pidana
 
Tugas Kuliah Materi Hukum Pidana (Dosen Pak Prima)
Tugas Kuliah Materi Hukum Pidana (Dosen Pak Prima)Tugas Kuliah Materi Hukum Pidana (Dosen Pak Prima)
Tugas Kuliah Materi Hukum Pidana (Dosen Pak Prima)
 
Sistem peradilan pidana
Sistem peradilan pidanaSistem peradilan pidana
Sistem peradilan pidana
 
Hukum pidana khusus
Hukum pidana khususHukum pidana khusus
Hukum pidana khusus
 
Hukum pidana
Hukum pidanaHukum pidana
Hukum pidana
 
Hukum acara pidana
Hukum acara pidanaHukum acara pidana
Hukum acara pidana
 
Hukum pidana khusus - Definisi, ruang lingkup, dan posisi hukum pidana khusus...
Hukum pidana khusus - Definisi, ruang lingkup, dan posisi hukum pidana khusus...Hukum pidana khusus - Definisi, ruang lingkup, dan posisi hukum pidana khusus...
Hukum pidana khusus - Definisi, ruang lingkup, dan posisi hukum pidana khusus...
 
Hukum pidana khusus
Hukum pidana khususHukum pidana khusus
Hukum pidana khusus
 
Hukum Privat dan Hukum Publik
Hukum Privat dan Hukum PublikHukum Privat dan Hukum Publik
Hukum Privat dan Hukum Publik
 
Pertemuan 17 sifat hukum pidana, kedudukan
Pertemuan 17 sifat hukum pidana, kedudukanPertemuan 17 sifat hukum pidana, kedudukan
Pertemuan 17 sifat hukum pidana, kedudukan
 
Hukum pidana i
Hukum pidana iHukum pidana i
Hukum pidana i
 
Rangkuman hukum acara pidana & perdata
Rangkuman hukum acara pidana & perdataRangkuman hukum acara pidana & perdata
Rangkuman hukum acara pidana & perdata
 
Pertemuan 2 hukum pidana sbg hukum publik
Pertemuan 2 hukum pidana sbg hukum publikPertemuan 2 hukum pidana sbg hukum publik
Pertemuan 2 hukum pidana sbg hukum publik
 
1, hbl, digna adya, hapzi ali, hukum civil dan objek hukum, universitas mercu...
1, hbl, digna adya, hapzi ali, hukum civil dan objek hukum, universitas mercu...1, hbl, digna adya, hapzi ali, hukum civil dan objek hukum, universitas mercu...
1, hbl, digna adya, hapzi ali, hukum civil dan objek hukum, universitas mercu...
 

Viewers also liked

The future belongs to the youth
The future belongs to the youthThe future belongs to the youth
The future belongs to the youthOluwabunmi Ajilore
 
2014_Annual_P3_Report
2014_Annual_P3_Report2014_Annual_P3_Report
2014_Annual_P3_ReportBryan Kendro
 
Promoting clinical research within the AHP's - Angela Green & Sarah Reel
Promoting clinical research within the AHP's - Angela Green & Sarah ReelPromoting clinical research within the AHP's - Angela Green & Sarah Reel
Promoting clinical research within the AHP's - Angela Green & Sarah ReelSHUAHP
 
Habilidades para la vida adalberto 2013
Habilidades para la vida   adalberto 2013Habilidades para la vida   adalberto 2013
Habilidades para la vida adalberto 2013Mineducyt El Salvador
 
Sound recording glossary updated
Sound recording glossary updated Sound recording glossary updated
Sound recording glossary updated TomCrook
 
The Global View Hotel (Trabajo de Tic)
The Global View Hotel (Trabajo de Tic)The Global View Hotel (Trabajo de Tic)
The Global View Hotel (Trabajo de Tic)theglobalviewhotel
 
Sound recording glossary improved
Sound recording glossary improvedSound recording glossary improved
Sound recording glossary improvedBen Atherton
 
Quality & Service Improvement - Sally Fowler-Davis
Quality & Service Improvement - Sally Fowler-DavisQuality & Service Improvement - Sally Fowler-Davis
Quality & Service Improvement - Sally Fowler-DavisSHUAHP
 
Sound recording glossary
Sound recording glossarySound recording glossary
Sound recording glossaryBen Atherton
 

Viewers also liked (15)

Enfoques didacticos
Enfoques didacticosEnfoques didacticos
Enfoques didacticos
 
Modul 4 kb 1
Modul 4 kb 1Modul 4 kb 1
Modul 4 kb 1
 
Resume 2016
Resume 2016Resume 2016
Resume 2016
 
The future belongs to the youth
The future belongs to the youthThe future belongs to the youth
The future belongs to the youth
 
2014_Annual_P3_Report
2014_Annual_P3_Report2014_Annual_P3_Report
2014_Annual_P3_Report
 
Promoting clinical research within the AHP's - Angela Green & Sarah Reel
Promoting clinical research within the AHP's - Angela Green & Sarah ReelPromoting clinical research within the AHP's - Angela Green & Sarah Reel
Promoting clinical research within the AHP's - Angela Green & Sarah Reel
 
Habilidades para la vida adalberto 2013
Habilidades para la vida   adalberto 2013Habilidades para la vida   adalberto 2013
Habilidades para la vida adalberto 2013
 
Que es american airlines
Que es american airlinesQue es american airlines
Que es american airlines
 
Sound recording glossary updated
Sound recording glossary updated Sound recording glossary updated
Sound recording glossary updated
 
The Global View Hotel (Trabajo de Tic)
The Global View Hotel (Trabajo de Tic)The Global View Hotel (Trabajo de Tic)
The Global View Hotel (Trabajo de Tic)
 
Sound recording glossary improved
Sound recording glossary improvedSound recording glossary improved
Sound recording glossary improved
 
Quality & Service Improvement - Sally Fowler-Davis
Quality & Service Improvement - Sally Fowler-DavisQuality & Service Improvement - Sally Fowler-Davis
Quality & Service Improvement - Sally Fowler-Davis
 
Jnk
JnkJnk
Jnk
 
Sound recording glossary
Sound recording glossarySound recording glossary
Sound recording glossary
 
Enfoques de la enseñanza
Enfoques de la enseñanzaEnfoques de la enseñanza
Enfoques de la enseñanza
 

Similar to Legalitas-perekonomian indonesia

Makalah hukum tata pemerintahan
Makalah hukum tata pemerintahanMakalah hukum tata pemerintahan
Makalah hukum tata pemerintahanRoberto Pecah
 
467_Perumusan KetentuanPidana.pdf
467_Perumusan KetentuanPidana.pdf467_Perumusan KetentuanPidana.pdf
467_Perumusan KetentuanPidana.pdfOopickPick
 
Asas_asas_Hukum_Pidana_EBook.pdf
Asas_asas_Hukum_Pidana_EBook.pdfAsas_asas_Hukum_Pidana_EBook.pdf
Asas_asas_Hukum_Pidana_EBook.pdfAchmad98
 
dasar hukum pidana bidang migas.pdf
dasar hukum pidana bidang migas.pdfdasar hukum pidana bidang migas.pdf
dasar hukum pidana bidang migas.pdfBUMIManilapai1
 
467 perumusan ketentuan pidana
467 perumusan ketentuan pidana467 perumusan ketentuan pidana
467 perumusan ketentuan pidanaFrans Newtony
 
HAP PERT.2 DAN 3.pptx
HAP PERT.2 DAN 3.pptxHAP PERT.2 DAN 3.pptx
HAP PERT.2 DAN 3.pptxDirgaGunk
 
Hukum pidana bagian II
Hukum pidana bagian IIHukum pidana bagian II
Hukum pidana bagian IIyahyaanto
 
Hukum Acara Pidana 2.ppt
Hukum Acara Pidana 2.pptHukum Acara Pidana 2.ppt
Hukum Acara Pidana 2.pptahmadreynld23
 
Penjelasan kitab undang undang hukum acara pidana
Penjelasan kitab undang undang hukum acara pidanaPenjelasan kitab undang undang hukum acara pidana
Penjelasan kitab undang undang hukum acara pidanaSei Enim
 
Tugas merangkum ilmu hukum
Tugas merangkum ilmu hukumTugas merangkum ilmu hukum
Tugas merangkum ilmu hukumAndrew Hutabarat
 
XII. Asas Hukum.pptx
XII. Asas Hukum.pptxXII. Asas Hukum.pptx
XII. Asas Hukum.pptxdonihasmanto
 
Makalah tindak pidana dosen johny
Makalah tindak pidana dosen johnyMakalah tindak pidana dosen johny
Makalah tindak pidana dosen johnyTotok Priyo Husodo
 
Pengayaan Sesi 4a.pptx
Pengayaan Sesi 4a.pptxPengayaan Sesi 4a.pptx
Pengayaan Sesi 4a.pptxmarcoorias2
 
Tindak-Pidana-Korupsi-iiiPertemuan-3.ppt
Tindak-Pidana-Korupsi-iiiPertemuan-3.pptTindak-Pidana-Korupsi-iiiPertemuan-3.ppt
Tindak-Pidana-Korupsi-iiiPertemuan-3.pptAZIS50
 
Tindak-Pidana-Korupsi-Pertemuan-3.ppt
Tindak-Pidana-Korupsi-Pertemuan-3.pptTindak-Pidana-Korupsi-Pertemuan-3.ppt
Tindak-Pidana-Korupsi-Pertemuan-3.pptssuser0a01f91
 
Konsepsi rechtstaat dan rule of law
Konsepsi rechtstaat dan rule of lawKonsepsi rechtstaat dan rule of law
Konsepsi rechtstaat dan rule of lawTOFIK SUPRIYADI
 
PPT Sistematika Hukum Perdata.pptx
PPT Sistematika Hukum Perdata.pptxPPT Sistematika Hukum Perdata.pptx
PPT Sistematika Hukum Perdata.pptxNikenMuji
 
1. htn bentuk bentuk sumber hukum berdasarkan sumber formil
1. htn bentuk bentuk sumber hukum berdasarkan sumber formil1. htn bentuk bentuk sumber hukum berdasarkan sumber formil
1. htn bentuk bentuk sumber hukum berdasarkan sumber formilYori Feriyandi
 

Similar to Legalitas-perekonomian indonesia (20)

Makalah hukum tata pemerintahan
Makalah hukum tata pemerintahanMakalah hukum tata pemerintahan
Makalah hukum tata pemerintahan
 
467_Perumusan KetentuanPidana.pdf
467_Perumusan KetentuanPidana.pdf467_Perumusan KetentuanPidana.pdf
467_Perumusan KetentuanPidana.pdf
 
Asas_asas_Hukum_Pidana_EBook.pdf
Asas_asas_Hukum_Pidana_EBook.pdfAsas_asas_Hukum_Pidana_EBook.pdf
Asas_asas_Hukum_Pidana_EBook.pdf
 
dasar hukum pidana bidang migas.pdf
dasar hukum pidana bidang migas.pdfdasar hukum pidana bidang migas.pdf
dasar hukum pidana bidang migas.pdf
 
467 perumusan ketentuan pidana
467 perumusan ketentuan pidana467 perumusan ketentuan pidana
467 perumusan ketentuan pidana
 
HAP PERT.2 DAN 3.pptx
HAP PERT.2 DAN 3.pptxHAP PERT.2 DAN 3.pptx
HAP PERT.2 DAN 3.pptx
 
Hukum pidana bagian II
Hukum pidana bagian IIHukum pidana bagian II
Hukum pidana bagian II
 
Pengantar Hukum Indonesia.pptx
Pengantar Hukum Indonesia.pptxPengantar Hukum Indonesia.pptx
Pengantar Hukum Indonesia.pptx
 
Hukum Acara Pidana 2.ppt
Hukum Acara Pidana 2.pptHukum Acara Pidana 2.ppt
Hukum Acara Pidana 2.ppt
 
Penjelasan kitab undang undang hukum acara pidana
Penjelasan kitab undang undang hukum acara pidanaPenjelasan kitab undang undang hukum acara pidana
Penjelasan kitab undang undang hukum acara pidana
 
Tugas merangkum ilmu hukum
Tugas merangkum ilmu hukumTugas merangkum ilmu hukum
Tugas merangkum ilmu hukum
 
XII. Asas Hukum.pptx
XII. Asas Hukum.pptxXII. Asas Hukum.pptx
XII. Asas Hukum.pptx
 
Makalah tindak pidana dosen johny
Makalah tindak pidana dosen johnyMakalah tindak pidana dosen johny
Makalah tindak pidana dosen johny
 
Pengayaan Sesi 4a.pptx
Pengayaan Sesi 4a.pptxPengayaan Sesi 4a.pptx
Pengayaan Sesi 4a.pptx
 
Tindak-Pidana-Korupsi-iiiPertemuan-3.ppt
Tindak-Pidana-Korupsi-iiiPertemuan-3.pptTindak-Pidana-Korupsi-iiiPertemuan-3.ppt
Tindak-Pidana-Korupsi-iiiPertemuan-3.ppt
 
Tindak-Pidana-Korupsi-Pertemuan-3.ppt
Tindak-Pidana-Korupsi-Pertemuan-3.pptTindak-Pidana-Korupsi-Pertemuan-3.ppt
Tindak-Pidana-Korupsi-Pertemuan-3.ppt
 
Konsepsi rechtstaat dan rule of law
Konsepsi rechtstaat dan rule of lawKonsepsi rechtstaat dan rule of law
Konsepsi rechtstaat dan rule of law
 
PPT Sistematika Hukum Perdata.pptx
PPT Sistematika Hukum Perdata.pptxPPT Sistematika Hukum Perdata.pptx
PPT Sistematika Hukum Perdata.pptx
 
1. htn bentuk bentuk sumber hukum berdasarkan sumber formil
1. htn bentuk bentuk sumber hukum berdasarkan sumber formil1. htn bentuk bentuk sumber hukum berdasarkan sumber formil
1. htn bentuk bentuk sumber hukum berdasarkan sumber formil
 
Makalah Hukum Pidana: Sifat Melawan Hukum dalam Perbuatan Pidana dan Pertangg...
Makalah Hukum Pidana: Sifat Melawan Hukum dalam Perbuatan Pidana dan Pertangg...Makalah Hukum Pidana: Sifat Melawan Hukum dalam Perbuatan Pidana dan Pertangg...
Makalah Hukum Pidana: Sifat Melawan Hukum dalam Perbuatan Pidana dan Pertangg...
 

More from Mas Mito

Risalah aswaja
Risalah aswajaRisalah aswaja
Risalah aswajaMas Mito
 
Aqidah Ahlus Sunnah Karya Hadratush Syaikh Hasyim Asyari
Aqidah Ahlus Sunnah Karya Hadratush Syaikh Hasyim AsyariAqidah Ahlus Sunnah Karya Hadratush Syaikh Hasyim Asyari
Aqidah Ahlus Sunnah Karya Hadratush Syaikh Hasyim AsyariMas Mito
 
25 quotes-on-managing-change
25 quotes-on-managing-change25 quotes-on-managing-change
25 quotes-on-managing-changeMas Mito
 
Born to win
Born to winBorn to win
Born to winMas Mito
 
10 kesalahpahaman-tentang-sukses
10 kesalahpahaman-tentang-sukses10 kesalahpahaman-tentang-sukses
10 kesalahpahaman-tentang-suksesMas Mito
 
Konsep memperkenalkan diri dalam bahasa inggris
Konsep memperkenalkan diri dalam bahasa inggrisKonsep memperkenalkan diri dalam bahasa inggris
Konsep memperkenalkan diri dalam bahasa inggrisMas Mito
 
buku Ekonomi islam
buku Ekonomi islambuku Ekonomi islam
buku Ekonomi islamMas Mito
 
Uts makro lanjut
Uts makro lanjutUts makro lanjut
Uts makro lanjutMas Mito
 
Keseimbangan pasar tenaga kerja
Keseimbangan pasar tenaga kerjaKeseimbangan pasar tenaga kerja
Keseimbangan pasar tenaga kerjaMas Mito
 
Bentuk bentuk perusahaan
Bentuk bentuk perusahaanBentuk bentuk perusahaan
Bentuk bentuk perusahaanMas Mito
 
Makalah bursa perdagangan dan pasar modal
Makalah bursa perdagangan dan pasar modalMakalah bursa perdagangan dan pasar modal
Makalah bursa perdagangan dan pasar modalMas Mito
 
Perekonomian Indonesia-Fakultas Ekonomi UM
Perekonomian Indonesia-Fakultas Ekonomi UMPerekonomian Indonesia-Fakultas Ekonomi UM
Perekonomian Indonesia-Fakultas Ekonomi UMMas Mito
 
Sejarah pemikiran ekonomi dari dunia kuno
Sejarah pemikiran ekonomi dari dunia kunoSejarah pemikiran ekonomi dari dunia kuno
Sejarah pemikiran ekonomi dari dunia kunoMas Mito
 
Karya ilmiah
Karya ilmiahKarya ilmiah
Karya ilmiahMas Mito
 
Presentasi bab 11 korelasi linear
Presentasi bab 11 korelasi linearPresentasi bab 11 korelasi linear
Presentasi bab 11 korelasi linearMas Mito
 
Aspek hukum ekonomi bisnis (done)
Aspek hukum ekonomi bisnis (done)Aspek hukum ekonomi bisnis (done)
Aspek hukum ekonomi bisnis (done)Mas Mito
 

More from Mas Mito (16)

Risalah aswaja
Risalah aswajaRisalah aswaja
Risalah aswaja
 
Aqidah Ahlus Sunnah Karya Hadratush Syaikh Hasyim Asyari
Aqidah Ahlus Sunnah Karya Hadratush Syaikh Hasyim AsyariAqidah Ahlus Sunnah Karya Hadratush Syaikh Hasyim Asyari
Aqidah Ahlus Sunnah Karya Hadratush Syaikh Hasyim Asyari
 
25 quotes-on-managing-change
25 quotes-on-managing-change25 quotes-on-managing-change
25 quotes-on-managing-change
 
Born to win
Born to winBorn to win
Born to win
 
10 kesalahpahaman-tentang-sukses
10 kesalahpahaman-tentang-sukses10 kesalahpahaman-tentang-sukses
10 kesalahpahaman-tentang-sukses
 
Konsep memperkenalkan diri dalam bahasa inggris
Konsep memperkenalkan diri dalam bahasa inggrisKonsep memperkenalkan diri dalam bahasa inggris
Konsep memperkenalkan diri dalam bahasa inggris
 
buku Ekonomi islam
buku Ekonomi islambuku Ekonomi islam
buku Ekonomi islam
 
Uts makro lanjut
Uts makro lanjutUts makro lanjut
Uts makro lanjut
 
Keseimbangan pasar tenaga kerja
Keseimbangan pasar tenaga kerjaKeseimbangan pasar tenaga kerja
Keseimbangan pasar tenaga kerja
 
Bentuk bentuk perusahaan
Bentuk bentuk perusahaanBentuk bentuk perusahaan
Bentuk bentuk perusahaan
 
Makalah bursa perdagangan dan pasar modal
Makalah bursa perdagangan dan pasar modalMakalah bursa perdagangan dan pasar modal
Makalah bursa perdagangan dan pasar modal
 
Perekonomian Indonesia-Fakultas Ekonomi UM
Perekonomian Indonesia-Fakultas Ekonomi UMPerekonomian Indonesia-Fakultas Ekonomi UM
Perekonomian Indonesia-Fakultas Ekonomi UM
 
Sejarah pemikiran ekonomi dari dunia kuno
Sejarah pemikiran ekonomi dari dunia kunoSejarah pemikiran ekonomi dari dunia kuno
Sejarah pemikiran ekonomi dari dunia kuno
 
Karya ilmiah
Karya ilmiahKarya ilmiah
Karya ilmiah
 
Presentasi bab 11 korelasi linear
Presentasi bab 11 korelasi linearPresentasi bab 11 korelasi linear
Presentasi bab 11 korelasi linear
 
Aspek hukum ekonomi bisnis (done)
Aspek hukum ekonomi bisnis (done)Aspek hukum ekonomi bisnis (done)
Aspek hukum ekonomi bisnis (done)
 

Legalitas-perekonomian indonesia

  • 1. Asas Legalitas Dalam Hukum Pidana (Criminal Law) Asas legalitas merupakan asas yang digunakan untuk menentukan suatu perbuatan termasuk dalam kategori perbuatan pidana yang merupakan terjemahan dari principle of legality. Ruba`i (2001) mengemukakan bahwa Von Feuerbach (1775-1833) murumuskan asas tersebut didalam bahasa latin yang sampai saat ini merupakan istilah yang seringkali digunakan oleh para pakar sebagai “Nullum delictum nullapoena sina praevia lege” yang artinya “Tidak ada tindak pidana, tidak ada pidana tanpa peraturan terlebih dahulu”. Asas legalitas ini merupakan perlindungan kepada perorangan terhadap kesewenangwenangan yang mungkin dilakukan penguasa terhadap rakyatnya. Oleh karena itu, asas legalitas merupakan asas yang esensiel di dalam penerapan hukum pidana. Pasal 1 ayat (1) KUHP mencantumkan asas legalitas ini sebagai berikut : “Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas ketentuan-ketentuan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan”. Dari rumusan tersebut, dapat diartikan bahwa suatu perbuatan baru dapat dipidana jika : 1. Ada ketentuan pidana tentang perbuatan tersebut yang dirumuskan dalam UndangUndang atau tertulis sebagaimana disebutkan dalam kalimat “atas ketentuanketentuan pidana dalam perundang-undangan”. 2. Dilakukan setelah ada rumusannya didalam peraturan perundang-undangan sebagaimana tercantum dalam kalimat “ketentuan perundang-undangan sudah ada sebelum perbuatan dilakukan”. Dengan perkataan lain ketentuan pidana tidak berlaku surut (retro aktif). Perkecualian terhadap larangan retro aktif atau berlaku surut ini dimungkinkan oleh pasal 1 ayat (2) KUHP yang berbunyi : “Apabila ada perubahan perundang-undangan sesudah perbuatan terjadi, maka haruslah dipakai ketentuan teringan bagi terdakwa”. Dari ketentuan pasal 1 ayat (2) tersebut, Ruba`i (2001) mengartikan bahwa larangan berlaku surut dapat disimpangi bila : 1. Sesudah terdakwa melakukan tindak pidana ada perubahan dalam perundangundangan. 2. Peraturan yang baru lebih meringankan terdakwa. Sumber : Anny Isfandyarie dan Fachrizal Afandi, 2006, Tanggung Jawab Hukum dan Sanksi bagi Dokter, Buku ku II, Prestasi Pustaka Publisher, h.59-61 ASAS LEGALITAS DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA INDONESIA DAN KAJIAN PERBANDINGAN HUKUM Pada dasarnya asas legalitas lazim disebut juga dengan terminologi 'principle of legality', 'legaliteitbeginsel', 'non-retroaktif', 'de la legalite' atau 'ex post facto laws'. Ketentuan asas legalitas diatur dalam Pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia yang berbunyi: 'Tiada suatu peristiwa dapat dipidana selain dari kekuatan ketentuan undang-undang pidana yang mendahuluinya.' (Geen feit is strafbaar dan uit kracht van een daaran voorafgegane wetteljke strafbepaling).
  • 2. P.A.F. Lamintang dan C. Djisman Samosir merumuskan dengan terminologi sebagai, 'Tiada suatu perbuatan dapat dihukum kecuali didasarkan pada ketentuan pidana menurut undang-undang yang telah diadakan lebih dulu'.[1] Andi Hamzah menterjemahkan dengan terminologi, 'Tiada suatu perbuatan (feit) yang dapat dipidana selain berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang mendahuluinya'.[2] Moeljatno menyebutkan pula bahwa, 'Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada, sebelum perbuatan dilakukan'.[3] Oemar Seno Adji menentukan prinsip 'legality' merupakan karakteristik yang essentieel, baik ia dikemukakan oleh 'Rule of Law' – konsep, maupun oleh faham 'Rechtstaat' dahulu, maupun oleh konsep 'Socialist Legality'. Demikian misalnya larangan berlakunya hukum Pidana secara retroaktif atau retrospective, larangan analogi, berlakunya azas 'nullum delictum' dalam Hukum Pidana, kesemuanya itu merupakan suatu refleksi dari prinsip 'legality'. [4] Nyoman Serikat Putra Jaya, menyebutkan perumusan asas legalitas dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP mengandung makna asas lex temporis delicti, artinya undang-undang yang berlaku adalah undangundang yang ada pada saat delik terjadi atau disebut juga asas 'nonretroaktif', artinya ada larangan berlakunya suatu undang-undang pidana secara surut. Asas legalitas juga berkaitan dengan larangan penerapan ex post facto criminal law dan larangan pemberlakuan surut hukum pidana dan sanksi pidana (nonretroactive application of criminal laws and criminal sanctions).[5] Dikaji dari substansinya, asas legalitas dirumuskan dalam bahasa Latin sebagai nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali (tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa ketentuan pidana yang mendahuluinya), atau nulla poena sine lege (tidak ada pidana tanpa ketentuan pidana menurut undang-undang), nulla poena sine crimine (tidak ada pidana tanpa perbuatan pidana), nullum crimen sine lege (tidak ada perbuatan pidana tanpa pidana menurut undang-undang) atau nullum crimen sine poena legali (tidak ada perbuatan pidana, tidak ada pidana tanpa ketentuan pidana yang mendahuluinya) atau nullum crimen sine lege stricta (tidak ada perbuatan pidana tanpa ketentuan yang tegas). Konsepsi asas ini dikemukakan oleh Paul Johan Anslem von Feurbach (1775-1833), seorang sarjana hukum pidana Jerman dalam bukunya Lehrbuch des penlichen recht pada tahun 1801 yang mengemukakan teori mengenai tekanan jiwa (Psychologische Zwang Theorie). Paul Johan Anslem von Feurbach beranggapan bahwa suatu ancaman pidana merupakan usaha preventif terjadinya tindak pidana dan jikalau orang telah mengetahui sebelumnya bahwa ia diancam pidana karena melakukan tindak pidana, diharapkan akan menekan hasratnya untuk melakukan perbuatan tersebut. Akan tetapi, menurut J.E. Sahetapy dikemukakan bahwa Samuel von Pufendorflah yang mendahului von Feuerbach, maka Oppenheimer menganggap bahwa 'Talmudic Jurisprudence' lah yang mendahului teori von Feurbach.[6] Bambang Poernomo menyebutkan bahwa, apa yang dirumuskan oleh von Feurbach mengandung arti yang sangat mendalam, yaitu dalam bahasa Latin berbunyi: 'nulla poena sine lege; nulla poena sine crimine; nullum crimen sine poena legali'.[7] Akan tetapi, walaupun asas legalitas diformulasikan dalam bahasa Latin, ada menimbulkan kesan seolah-olah asal muasal asas ini adalah dari hukum Romawi kuno. Aturan ini, dalam formulasi bahasa Latin, berasal dari juris Jerman, von
  • 3. Feuerbach – ini berarti bahwa asas ini lahir pada awal abad 19 dan harus dipandang sebagai produk ajaran klasik.[8] J.E. Sahetapy menyebutkan bahwa asas legalitas dirumuskan dalam bahasa Latin semata-mata karena bahasa Latin merupakan bahasa ‘dunia hukum’ yang digunakan pada waktu itu.[9] Moeljatno menyebutkan bahwa, baik adagium ini maupun asas legalitas tidak dikenal dalam hukum Romawi Kuno.[10] Pada saat itu dikenal kejahatan yang disebut criminal extra ordinaria, yang berarti 'kejahatan-kejahatan yang tidak disebut dalam undang-undang'. Diantara criminal extra ordinaria ini yang terkenal adalah crimina stellionatus (perbuatan durjana/jahat). Dalam sejarahnya, criminal extra ordinaria ini diadopsi raja-raja yang berkuasa. Sehingga terbuka peluang yang sangat lebar untuk menerapkannya secara sewenangwenang. Oleh karena itu, timbul pemikiran tentang harus ditentukan dalam peraturan perundang-undangan terlebih dahulu perbuatan-perbuatan apa saja yang dapat dipidana. Selain konteks di atas, ada juga yang berasumsi bahwa asas legalitas berasal dari ajaran Montesquieu dalam bukunya L’Esprit des Lois. Menurut van der Donk dan Hazewinkel Suringa baik ajaran Montesquieu maupun Rosseau mempersiapkan penerimaan umum terhadap asas legalitas, akan tetapi dalam ajaran kedua tokoh tersebut tidak terdapat rumusan asas legalitas. Maksud dari pelajaran kedua tokoh tersebut adalah melindungi individu terhadap tindakan hakim yang sewenangwenang, yaitu melindungi kemerdekaan pribadi individu terhadap tuntutan tindakan yang sewenang-wenang.[11] Hans Kelsen menyebutkan dimensi asas nulla poena sine lege, nullum crimen sine lege adalah ekspresi legal positivism dalam hukum pidana. [12] Dikaji dari perspektif sejarah terbentuknya asas legalitas dalam KUHP Indonesia berasal dari Wetboek van Strafrecht Nederland (WvS. Ned), sebagaimana berasal dari ketentuan Pasal 8 Declaration des Droits De L’Homme Et Du Citoyen tahun 1789 yang berbunyi, 'tidak ada orang yang dapat dipidana selain atas kekuatan undangundang yang sudah ada sebelumnya', dan merupakan pandangan Lafayette dari Amerika ke Perancis dan bersumber dari Bill of Rights Virgina tahun 1776. Apabila dianalisis lebih intens, detail dan terperinci terminologi 'ketentuan perundang-undangan (wettelijk strafbepaling)' dan 'undang-undang' maka ruang lingkup asas legalitas dalam hukum pidana materiil lebih luas dengan terminologi 'perundang-undangan' dari kata 'undang-undang' pada ketentuan hukum acara pidana. Tegasnya, asas legalitas di samping dikenal dalam ketentuan hukum pidana materiel juga dikenal dalam ketentuan hukum acara pidana (hukum pidana formal). Andi Hamzah kemudian lebih lanjut menyebutkan bahwa dengan demikian, asas legalitas dalam hukum acara pidana lebih ketat daripada dalam hukum pidana materiel, karena istilah dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP (sama dengan Belanda) 'ketentuan perundangundangan' (wettelijk strafbepaling) sedangkan dalam hukum acara pidana disebut undang-undang pidana. Jadi, suatu peraturan yang lebih rendah seperti Peraturan Pemerintah dan Peraturan Daerah dapat menentukan suatu perbuatan dapat dipidana tetapi tidak boleh membuat aturan acara pidana.[13] Hakikat ketentuan Pasal 1 ayat (1) KUHP tersebut mendeskripsikan tentang pemberlakuan hukum pidana menurut waktu terjadinya tidak pidana (tempus delicti). Konkritnya, untuk menentukan dapat atau tidaknya suatu perbuatan agar dipidana
  • 4. maka ketentuan pidana tersebut harus ada terlebih dahulu diatur sebelum perbuatan dilakukan. Francis Bacon (1561-1626), seorang filsuf Inggris merumuskan dalam adagium moneat lex, priusquam feriat (undang-undang harus memberikan peringatan terlebih dahulu sebelum merealisasikan ancaman yang terkandung di dalamnya), ini kiranya mencakup lebih dari sekedar itu, yakni mencakup juga pembenaran atas pidana yang dijatuhkan. Hanya jika ancaman pidana yang muncul terlebih dahulu telah difungsikan sebagai upaya pencegahan, menghukum dapat dibenarkan. Dalam perspektif tradisi Civil law, ada empat aspek asas legalitas yang diterapkan secara ketat, yaitu terhadap peraturan perundangan-undangan (law), retroaktivitas (retroactivity), lex certa dan analogi.[14] Roelof H. Haveman menyebutkan keempat dimensi konteks di atas sebagai, though it might be said that not every aspect is that strong on its own, the combination of the four aspects gives a more true meaning to principle of legality.[15] Moeljatno menyebutkan bahwa asas legalitas mengandung tiga pengertian, yaitu: 1. Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau hal itu terlebih dahulu belum dinyatakan dalam suatu aturan undang-undang. 2. Untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi (kiyas). 3. Aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku surut.[16] Komariah Emong Sapardjaja[17] dengan bertitik tolak pandangan Groenhuijsen menyebutkan ada empat makna yang terkandung asal legalitas dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP. Pertama, bahwa pembuat undang-undang tidak boleh memberlakukan suatu ketentuan pidana berlaku mundur. Kedua, bahwa semua perbuatan yang dilarang harus dimuat dalam rumusan delik sejelas-jelasnya. Ketiga, hakim dilarang menyatakan bahwa terdakwa melakukan perbuatan pidana didasarkan pada hukum tidak tertulis atau hukum kebiasaan. Keempat, terhadap peraturan hukum pidana dilarang diterapkan analogi. Polarisasi pemikiran Komariah Emong Sapardjaja dengan bertitik tolak pandangan Groenhuijsen hakikatnya identik dengan pendapat dari Machteld Boot dengan titik tolak pandangan Jeschek dan Weigend yang menyebutkan empat syarat asas legalitas. Pertama, tidak ada perbuatan pidana dan pidana tanpa undang-undang sebelumnya (asas nullum crimen, noela poena sine lege pravia). Kedua, tidak ada perbuatan pidana, tidak ada pidana tanpa undang-undang tertulis (asas nullum crimen, nulla poena sine lege scripta). Ketiga, tidak ada perbuatan pidana, tidak ada pidana tanpa aturan undang-undang yang jelas (asas nullum crimen, nulla poena sine lege certa). Keempat, tidak ada perbuatan pidana, tidak ada pidana tanpa undang-undang yang ketat (asas nullum crimen, noela poena sine lege stricta). Lebih detail Machteld Boot menyebutkan bahwa: 'The formulation of the Gesetzlichkeitsprinzip in Article 1 StGB is generally considered to include four separate requirements. Fist, conduct can only be punished if the punishability as well as the acconpanying penalty had been determined before the offence was committed (nullum crimen, noela poena sine lege praevia). Furthermore, these determinations have to be be included in statutes (Gesetze): nullum crimen, noela poena sine lege scripta. These statutes have to be difinite (bestimmt): nullum crimen, noela poena sine lege certa. Lastly, these statutes may not
  • 5. be applied by analogy which is reflected in the axion nullum crimen, noela poena sine lege stricta.'[18] JH. J. Enschede, menyebutkan hanya ada dua makna yang terkandung dalam asas legalitas, yaitu: Pertama, suatu perbuatan dapat dipidana hanya jika diatur dalam perundang-undangan pidana (...wil een feit strafbaar zijn, dan moet het vallen onder een wettelijke strafbepaling...). Kedua, kekuatan ketentuan pidana pidana tidak boleh diberlakukan surut (...zo’n strafbepaling mag geen terugwerkende kracht hebben...). [19] Kemudian Jan Remmelink menyebutkan tiga hal tentang makna asas legalitas. Pertama, Konsep perundang-undang yang diandaikan ketentuan Pasal 1. Ketentuan Pasal 1 Sv (KUH Pidana Belanda maupun Indonesia, bdgk. Pasal 3 KUHP Indonesia 1981) menetapkan bahwa hanya perundang-undangan dalam arti formal yang dapat memberi pengaturan di bidang pemidanaan. Kata perundang-undangan (wettelijk) dalam ketentuan Pasal 1 menunjuk pada semua produk legislatif yang mencakup pemahaman bahwa pidana akan ditetapkan secara legitimate. Sebelumnya telah ditunjukkan bahwa pelbagai bentuk perundang-undangan tercakup di dalamnya, termasuk peraturan yang dibuat oleh pemerintah daerah (tingkat provinsi maupun kabupaten/kotamadya) dan seterusnya. Kedua, Lex Certa (undang-undang yang dirumuskan terperinci dan cermat/nilai relatif dari ketentuan ini). Asas Lex Certa atau bestimmtheitsgebot merupakan perumusan ketentuan pidana yang tidak jelas atau terlalu rumit hanya akan memunculkan ketidakpastian hukum dan menghalangi keberhasilan upaya penuntutan (pidana) karena warga selalu akan dapat membela diri bahwa ketentuan-ketentuan seperti itu tidak akan berguna sebagai pedoman perilaku. Ketiga, dimensi analogi. Asas legalitas menyimpan larangan untuk menerapkan ketentuan pidana secara analogis (nullum crimen sine lege stricta: tiada ketentuan pidana terkecuali dirumuskan secara sempit/ketat di dalam peraturan perundangundangan).[20] Lebih lanjut Von Feurbach menyebutkan makna asas legalitas menimbulkan tiga peraturan lain. Pertama, setiap penggunaan pidana hanya dapat dilakukan berdasarkan hukum pidana (nulla poena sine lege). Kedua, penggunaan pidana hanya mungkin dilakukan, jika terjadi perbuatan yang diancam dengan pidana oleh undang-undang (nulla poena sine crimine). Ketiga, perbuatan yang diancam dengan pidana yang menurut undang-undang, membawa akibat hukum bahwa pidana yang diancamkan oleh undang-undang dijatuhkan (nullum crimen sine poena legali).[21] Berikutnya Richard G. Singer dan Martin R. Gardner menyebutkan asas legalitas berkorelasi dengan 3 (tiga) dimensi, yaitu: Pertama, pemidanaan tidak dapat diberlakukan secara retroaktif. Kedua, pembentuk undang-undang dilarang membuat hukum yang berlaku surut. Ketiga, perbuatan pidana harus didefinisikan oleh lembaga atau institusi yang berwenang.[22] Pada dasarnya, perkembangan asas legalitas eksistensinya diakui dalam KUHP Indonesia baik asas legalitas formal (Pasal 1 ayat (1) KUHP) maupun asas legalitas materiil (Pasal 1 ayat (3) RUU KUHP Tahun 2008).[23] Akan tetapi, Utrecht keberatan dengan dianutnya asas legalitas di Indonesia. Alasannya ialah banyak sekali perbuatan yang sepatutnya dipidana (strafwaardig) tidak dipidana karena adanya asas tersebut serta asas legalitas menghalangi berlakunya hukum pidana adat yang masih hidup dan akan hidup. Lebih terperinci maka Utrecht mengatakan bahwa:
  • 6. 'Terhadap azas nullum delictum itu dapat dikemukakan beberapa keberatan. Pertamatama dapat dikemukakan bahwa azas nullum delictum itu kurang melindungi kepentingan-kepentingan kolektif (collectieve belangen). Akibat azas nullum delictum itu hanyalah dapat dihukum mereka yang melakukan suatu perbuatan yang oleh hukum (=peraturan yang telah ada) disebut secara tegas sebagai suatu pelanggaran ketertiban umum. Jadi, ada kemungkinan seorang yang melakukan suatu perbuatan yang pada hakikatnya merupakan kejahatan, tetapi tidak disebut oleh hukum sebagai suatu pelanggaran ketertiban umum, tinggal tidak terhukum. Azas nullum delictum itu menjadi suatu halangan bagi hakim pidana menghukum seorang yang melakukan suatu perbuatan yang biarpun tidak 'strafbaar'’ masih juga 'strafwaardig'. Ada lagi satu alasan untuk menghapuskan pasal 1 ayat 1 KUHPidana, yaitu suatu alasan yang dikemukakan oleh terutama hakim pidana di daerah bahwa pasal 1 ayat 1 KUH Pidana menghindarkan dijalankannya hukum pidana adat.'[24] Akan tetapi, walaupun demikian pada umumnya asas legalitas tersebut menurut Andi Hamzah diterima dalam KUHP Indonesia meskipun merupakan dilema. Lebih jauh dikatakan, bahwa: 'Menurut pendapat Andi Hamzah, adanya asas tersebut di dalam KUHP Indonesia merupakan dilemma, karena memang dilihat dari segi yang satu seperti digambarkan oleh Utrecht tentang hukum adat yang masih hidup, dan menurut pendapat Andi Hamzah tidak mungkin dikodifikasikan seluruhnya karena perbedaan antara adat pelbagai suku bangsa, tetapi dilihat dari sudut yang lain, yaitu kepastian hukum dan perlindungan terhadap hak asasi manusia dari perlakuan yang tidak wajar dan tidak adil dari penguasa dan hakim sehingga diperlukan adanya asas itu. Lagipula sebagai negara berkembang yang pengalaman dan pengetahuan para hakim masih sering dipandang kurang sempurna sehingga sangat berbahaya jika asas itu ditinggalkan.'[25] Barda Nawawi Arief[26] menyebutkan bahwa perumusan ketentuan Pasal 1 ayat (1) KUHP mengandung di dalamnya asas 'legalitas formal', asas 'lex certa', dan asas 'Lex Temporis Delicti' atau asas 'nonretroaktif'. Asas legalitas formal (lex scripta) dalam tradisi civil law sebagai penghukuman harus didasarkan pada ketentuan UndangUndang atau hukum tertulis. Undang-Undang (statutory, law) harus mengatur terhadap tingkah laku yang dianggap sebagai tindak pidana. Lex Certa atau bestimmtheitsgebot dimaksudkan kebijakan legislasi dalam merumuskan undangundang harus lengkap dan jelas tanpa samar-samar (nullum crimen sine lege stricta). Perumusan yang tidak jelas atau terlalu rumit hanya akan memunculkan ketidakpastian hukum dan menghalangi keberhasilan upaya penuntutan (pidana) karena warga selalu akan dapat membela diri bahwa ketentuan-ketentuan seperti itu tidak berguna sebagai pedoman perilaku. Kemudian asas nonretroaktif menentukan peraturan perundang-undangan tentang tindak pidana tidak dapat diberlakukan surut (retroaktif) akan tetapi harus bersifat prospectif. Oleh karena itu maka makna asas legalitas tersebut hakikatnya terdapat paling tidak ada 4 (empat) larangan (prohibitions) yang dapat dikembangkan asas tersebut, yaitu: a) 'nullum crimen, nulla poena sine lege scripta' (larangan untuk memidana atas dasar hukum tidak tertulis—unwritten law--); b) 'Nullum crimen, nulla poena sine lege stricta' (larangan untuk melakukan analogy); c) 'Nullum crimen, nulla poena sine lege praevia' (larangan terhadap pemberlakuan hukum pidana secara surut);
  • 7. d) 'Nullum crimen, nulla poena sine lege certa' (larangan terhadap perumusan hukum pidana yang tidak jelas –unclear terms-). Ketentuan asas legalitas ini dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) KUHP Tahun 2008 perumusannya identik dengan Pasal 1 ayat (1) KUHP. Ketentuan Pasal 1 ayat (1) RUU KUHP Tahun 2008 menyebutkan asas legalitas dengan redaksional sebagai, 'Tiada seorangpun dapat dipidana atau dikenakan tindakan, kecuali perbuatan yang dilakukan telah ditetapkan sebagai tindak pidana dalam peraturan perundangundangan yang berlaku pada saat perbuatan itu dilakukan'. Kemudian ketentuan asas legalitas ini lebih lanjut menurut penjelasan Pasal 1 ayat (1) RUU KUHP Tahun 2008 disebutkan, bahwa: 'Ayat ini mengandung asas legalitas. Asas ini menentukan bahwa suatu perbuatan hanya merupakan tindak pidana apabila ditentukan demikian oleh atau didasarkan pada Undang-undang. Dipergunakan asas tersebut, oleh karena asas legalitas merupakan asas pokok dalam hukum pidana. Oleh karena itu peraturan perundangundangan pidana atau yang mengandung ancaman pidana harus sudah ada sebelum tindak pidana dilakukan. Hal ini berarti bahwa ketentuan pidana tidak berlaku surut demi mencegah kesewenang-wenangan penegak hukum dalam menuntut dan mengadili seseorang yang dituduh melakukan suatu tindak pidana.' Asas legalitas konteks di atas dalam KUHP Indonesia mengacu kepada ide dasar adanya kepastian hukum (rechtzekerheids). Akan tetapi, dalam implementasinya maka ketentuan asas legalitas tersebut tidak bersifat mutlak. A. Zainal Abidin Farid menyebutkan pengecualian asas legalitas terdapat dalam hukum transistoir (peralihan) yang mengatur tentang lingkungan kuasa berlakunya undang-undang menurut waktu (sphere of time, tijdgebied) yang terdapat pada pasal 1 ayat (2) KUH Pidana yang berbunyi, 'bilamana perundang-undangan diubah setelah waktu terwujudnya perbuatan pidana, maka terhadap tersangka digunakan ketentuan yang paling menguntungkan baginya.[27] Barda Nawawi Arief mempergunakan terminologi melemahnya/bergesernya asas legalitas antara lain dikarenakan sebagai berikut: 1. Bentuk pelunakan/penghalusan pertama terdapat di dalam KUHP sendiri, yaitu dengan adanya Pasal 1 ayat (2) KUHP; 2. Dalam praktik yurisprudensi dan perkembangan teori, dikenal adanya ajaran sifat melawan hukum yang materiel; 3. Dalam hukum positif dan perkembangannya di Indonesia (dalam Undangundang Dasar Sementara 1950; Undang-undang Nomor 1 Drt 1951; Undangundang Nomor 14 Tahun 1970 jo Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999; dan Konsep KUHP Baru), asas legalitas tidak semata-mata diartikan sebagai 'nullum delictum sine lege', tetapi juga sebagai 'nullum delictum sine ius' atau tidak semata-mata dilihat sebagai asas legalitas formal, tetapi juga legalitas materiel, yaitu dengan mengakui hukum pidana adat, hukum yang hidup atau hukum tidak tertulis sebagai sumber hukum; 4. Dalam dokumen internasional dalam KUHP negara lain juga terlihat perkembangan/pengakuan ke arah asas legalitas materiel (lihat Pasal 15 ayat (2) International Convention on Civil and Political Right (ICCPR) dan KUHP Kanada di atas); 5. Di beberapa KUHP negara lain (antara lain KUHP Belanda, Yunani, Portugal) ada ketentuan mengenai 'pemaafan/pengampunan hakim' (dikenal dengan
  • 8. berbagai istilah, antara lain 'rechterlijk pardon', 'Judicial pardon', 'Dispensa de pena' atau 'Nonimposing of penalty') yang merupakan bentuk 'Judicial corrective to the legality principle'; 6. Ada perubahan fundamental di KUHAP Perancis pada tahun 1975 (dengan Undang-undang Nomor 75-624 tanggal 11 Juli 1975) yang menambahkan ketentuan mengenai 'pernyataan bersalah tanpa menjatuhkan pidana' ('the declaration of guilt without imposing a penalty'); 7. Perkembangan/perubahan yang sangat cepat dan sulit diantisipasi dari 'cybercrime' merupakan tantangan cukup besar bagi berlakunya asas 'lex certa', karena dunia maya (cyber-space) bukan dunia riel/realita/nyata/pasti.[28] Khusus terhadap pengecualian asas legalitas ditentukan asas 'lex temporis delicti' sebagaimana ketentuan Pasal 1 ayat (2) KUHP. Konklusi dasar asas ini menentukan apabila terjadi perubahan perundang-undangan maka diterapkan ketentuan yang menguntungkan terdakwa. Jan Remmelink menyebutkan ketentuan Pasal 1 ayat (2) memberikan jawaban dalam artian bahwa bila undang-undang yang berlaku setelah tindak pidana ternyata lebih menguntungkan, maka pemberlakuannya secara surut diperkenankan. Pandangan demikian diakui dan diterima di Belgia dan Jerman. A. Zainal Abidin Farid menyebutkan yang dimaksud dengan perubahan undangundang dalam pasal 1 ayat (2) KUHP apakah termasuk undang-undang pidana saja atau semua aturan hukum maka aspek ini dapat dijawab dengan tiga teori yaitu teori formil yang dianut oleh Simons, kemudian teori materiil terbatas yang dikemukakan oleh van Geuns dan teori materiil tak terbatas. Menurut teori formil maka perubahan undang-undang baru dapat terjadi bilamana redaksi undang-undang pidana yang diubah. Perubahan undang-undang lain selain dari undang-undang pidana, walaupun berhubungan dengan undang-undang pidana, bukanlah perubahan undang-undang menurut pasal 1 ayat (2) KUH Pidana. Kemudian menurut teori materiil terbatas bahwa perubahan undang-undang yang dimaksud harus diartikan perubahan keyakinan hukum pembuat undang-undang. Perubahan karena zaman atau keadaan tidak dapat dianggap sebagai perubahan undang-undang ex pasal 1 ayat (2) KUH Pidana. Teori materiil tak terbatas dimana H.R. dalam keputusannya tanggal 5 Desember 1921 (N.J. 1922 h. 239) yang disebut Huurcommicciewet-arrest, berpendapat bahwa 'perundang-undangan meliputi semua undang-undang dalam arti luas dan perubahan undang-undang meliputi semua macam perubahan, baik perubahan perasaan hukum pembuat undang-undang menurut teori materiil terbatas, maupun perubahan keadaan karena waktu'. Konklusi dasar asas legalitas sebagaimana diuraikan konteks di atas, dikaji dari prespektif karakteristiknya terdapat dimensi-dimensi sebagai berikut: • Tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan ketentuan pidana menurut undangundang. • Tidak dapat diterapkan undang-undang pidana berdasarkan analogi. • Tidak dipidana hanya berdasarkan kebiasaan. • Tidak boleh ada rumusan delik yang kurang jelas (asas lex certa). • Tidak ada ketentuan pidana diberlakukan secara surut (asas nonretroaktif). • Tidak ada pidana, kecuali ditentukan dalam undang-undang. • Penuntutan pidana hanya berdasarkan ketentuan undang-undang.
  • 9. Dikaji dari perspektif perbandingan hukum (comparative law) maka asas legalitas tersebut juga dikenal dan diakui oleh beberapa negara. Pada International Criminal Court (ICC) asas legalitas diatur khususnya pada article 22, article 23 dan article 24. Ketentuan article 22 Nullum crimen sine lege ayat (1) menyebutkan, 'A person shall not be criminally responsible under this Statute unless the conduct in question constitutes, at the time it takes place, a crime within the jurisdiction of the court', dan ayat (2) menyebutkan, 'The definition of a crime shall not be extended by analogy. In case of ambiguity. The definition shall be intepreted in favour of the person being investigated, prosecuted, or convicted', dan ayat (3), 'This article shll not affect the characterization of any conduct as criminal under international law independently of the Statute'. Kemudian article 23 berbunyi, 'A person convicted by the court may be punished only in accordance with the Statute', dan article 24 ayat (1) selengkapnya berbunyi bahwa, 'No person shall be criminally responsible under this Statute for conduct prior to the entry into force of the Statute', dan ayat (2) berbunyi bahwa, 'In the event of change in the applicable to a given case prior to a final judgment, the law more favorable to the person being investigated or convicted shall apply'. Kemudian dalam Pasal 9 Konvensi Amerika tentang Hak Asasi Manusia yang ditandatangani di San Jose, Costa Rica tanggal 22 November 1968 dan mulai berlaku pada tanggal 18 Juli 1978 asas legalitas diformulasikan dengan redaksional bahwa, 'No one shall be convicted of any act or omission that did notconstitute a criminal offence, under applicable law, at the time when it was committed. A heavier penalty shall not be imposed than the one that was applicable at the time the criminal offence. If subsequent to the commission of the offense that law provides for the imposition of a lighter punishment, the guilty person shall benefit thereform'. Berikutnya, asas legalitas juga terdapat dalam Deklarasi Hak Asasi Manusia yang diumumkan oleh Resolusi Majelis Umum PBB 217A (III) tanggal 10 Desember 1948 dimana pada Pasal 11 ayat (2) disebutkan asas legalitas dengan redaksional bahwa, 'No one shall be had guilty of any penal offence on account of any act or omission which did not constitute a penal offence, under national or international law, at the time when it was commited. Not shall a heavier by imposed than the one that was applicable at the time the penal offence was committed'. Selain itu, asas legalitas juga dikenal dalam Pasal 7 ayat (2) African Charter on Human and People Rights yang ditandatangani di Nairobi, Kenya, dan berlaku pada tangal 21 Oktober 1986 yang menyebutkan bahwa, 'No one may be condemmed for an act or omission which did not constitute a legally punishable offence for which no provision was made at the time it was committed. Punishment is personal and can be imposed only on the offender'. Kemudian pada KUHP Jerman yang diumumkan tanggal 13 November 1998 (Federal Law Gazette I, p. 945, p. 322) disebut Strafgesetzbuch (StGB) pada Section 1 No Punishment Without a Law disebutkan bahwa, 'Sebuah perbuatan hanya dapat dipidana apabila telah ditetapkan oleh undang-undang sebelum perbuatan itu dilakukan', (An act may only be punished if its punishability was determined by law before the act was committed). Pada asasnya, asas legalitas ini di Jerman juga berorientasi kepada dimensi penuntutan, sehingga menurut George P. Fletcher di Jerman menganut 'positive legality principle'.[29]
  • 10. Kemudian asas legalitas ini juga dikenal di Negara Polandia. Pada ketentuan Pasal 42 Konstitusi Republik Polandia maka asas legalitas dirumuskan dengan redaksional, 'Only a person who has commited an act prohibited by a statute in force at the moment of commission there of, and which is subject to a penalty, shall be geld criminally responsible. This principle shaal not prevent punishment of any act which, at the moment of its commission, constituted an offence within the meaning of international law'. Berikutnya asas legalitas ini dirumuskan dalam Pasal 7 Konstitusi Perancis dengan menyebutkan bahwa, 'A person may be accused, arrested, or detained only in the cases specified by law and in accordance with the procedures which the law provides. Those who solicit, forward, carry out or have arbitrary orders carried out shall be punished; however, any citizen summoned or apprehended pursuant to law obey forhwith; by resisting, he admits his guilt'. Kemudian dalam Pasal 25 Konstitusi Spanjol ditegaskan asas legalitas adalah, 'No one may be convicted or sentenced for actions or omissions which when committed did not constitute a criminal offence, misdemeanour or administrative offence under the law then in force' dan dalam Pasal 25 Konstitusi Italia asas legalitas dirumuskan sebagai, 'No one shall be punished on the basic of a law which has entered into force before the offence has been committed'. Selain negara-negara di atas maka asas legalitas juga dikenal dalam Pasal 14 Konstitusi Negara Belgia sebagai, 'No punishment can be made or given except in pursuance of the law'. Kemudian Pasal 29 Konstitusi Republik Portugal menentukan bahwa, 'No one shall be convicted under the criminal law except for an act or omission made punishable under exiisting law; and no one shall be subjected to a security measure, except for reasons authorised under existing law. No sentences or security measures shall be ordered that are not expressly provided for in existing lawas. No one shall bee subjected to a sentence or security measure that is more severe than hose applicable at the time the act was committed or the preparations for its commission were made. Criminal laws that are favourable to the affender shall aply retroactively'. Selanjutnya pada Pasal 57 Konstitusi Hongaria disebut asas legalitas dengan redaksional sebagai, 'No one shall be declared guilty and subjected to punishment for an offense that was not a criminal offense under Hungarian law at the time such offense was committed'. ASAS LEGALITAS DALAM HUKUM ACARA PIDANA
  • 11. Asas atau prinsip legalitas dengan tegas disebut dalam konsideran KUHAP seperti yang dapat dibaca pada huruf a, yang berbunyi : “ Bahwa negara republik indonesia adalah negara hukum yang berdasarkan pancasila dan Undang-undang dasar 1945 yang menjunjung tinggi hak asaasi manusia serta yang menjamin segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. Dari bunyi kalimat di atas dapat kita simak : 1. Negara Republik Indonesia adalah “negara hukum”, berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 2. negara menajim setiap warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan; 3. setiap warga negara “tanpa kecuali”, wajin menjunjung hukum dan pemerintahan. pelaksanaan penerapan KUHAP harus bersumber pada titik tolak the rule of law.semua tindakan penegakan hukum harus : 1. berdasarkan ketentuan hukum dan undang-undang. 2. menempatkan kepentingan hukum dan perundang-undangan di atas segalagalanya, sehingga terwujud suatu kehiudpan masyarakat bangsa yang takluk di bawah “supremasi hukum” yang selaras dengan ketentuan-ketentuan perundang-undangan dan perasaan keadilan bangsa indonesia. jadi arti the rule of law dan supreamsi hukum, menguji dan meletakkan setiap tindakan penegakan hukum takluk di bawah ketentuan konstitusi, undang-undang dan rasa keadilan yang hidup ditengah-tengah kesadaran masyarakat. memaksakan atau menegakkan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat bangsa lain, tidak dapat disebut rule of law, bahkan mungkin berupa penindasan. Sebagaimana diketahui, bertolak belakan dengan asas legalitas adalah asas “oportinitas”, yang berarti sekalipun seorang tersangka terang cukup bersalah menurut pemeriksaan penyidikan, dan kemungkinan besar akan dapat dijatuhi hukuman, namun hasil pemeriksaan tersebut tidak dilimpahkan ke sidang pengadilan oleh penuntut umum. Kasus perkara itu “dideponir” oleh pihak kejaksaan atas dasar pertimbangan “demi kepentingan umum”. kejaksaan berendapat, lebih bermanvaat bagi kepentingan umum jika perkara itu tidak diperksa di muka sidang pengadilan. dngan demikian perkaranya dikesampingkan saja (dideponir). cara penyimpangan seperti itulah yang disebut asas oportunitas. hal ini menimbulkan dualistis dalam KUHAP. satu segi dengan tegas mengakui “asas Legalitas” tapi disis lain asas legalitas itu dikebiri oleh kenyataan pengakuan KUHAP itu sendri akan eksistensi “asas oportunitas”. kita menyadari masalah ini agak unik. dalam konsideran tegas dinyatakan KUHAP menganut prinsip legalitas, akan tetapi masih tetap mengakui asas opertunitas. kenyataan ini mau tak mau harus diterima, dengan penjernihan. mungkin dalam sejarah penegakan hukum yang akan datang, bangsa kita semakin memahami betapa adilnya mempergunakan asas legalitas secara
  • 12. mutlak dan menyeluruh, tanpa diskirminasi atas alasan kepentingan umum, dan segera melenyapkan praktek penegakan hukum yang berasaskan oportuitas demi tegaknya equalitu before the law, equality protection ont the law, an equality justice under the law.