Ringkasan dokumen tersebut adalah:
1. Qira'at adalah perbedaan cara membaca Al-Quran yang berasal dari Nabi Muhammad SAW.
2. Perbedaan Qira'at muncul karena adanya perbedaan pelafalan dan penyampaian ayat Al-Quran.
3. Perbedaan Qira'at dapat mempengaruhi penetapan hukum Islam karena perbedaan makna ayat.
2. Latar Belakang
Al-Qur’an merupakan kitab Allah yang menjadi pegangan dan rujukan
seluruh kaum muslimin. Pada masa awal islam, mushaf Al- Qur’an tidak
bertitik dan berharkat. Ini memungkinkan Al-Qur’an dibaca dengan bacaan
berbeda-beda. Pada satu mushaf suatu kalimat dibaca dengan bacaan
tertentu dan pada mushaflain kalimat tersebut dibaca dengan bacaan lain.
Agar dapat menjadi pegangan (menghindari perbedaan), hanyalah orang-
orang yang benar-benar tsiqat (kuat hafalannya) dan meriwayatkan sampai
pada Nabi SAW yang dipercayai atau menjadi pegangan menyampaikan Al
Qur’an.
3. Daftar Isi
01. 03.
Latar belakang
timbulnya perbedaan
Qira’at
02. Penutup
04.
Pengertian Qira’at
Pengaruh perbedaan
Qir’at terhadap
istinbath hukumnya
5. Pengertian Qira’at Al qur’an
Qira’at secara bahasa adalah bentuk jamak dari
qira’ah. Qira’ah diambil dari kata قرأ lalu
dibentuk mashdarnya menjadi Yaqra’u – Qira’ah
– Qira’atun – Wa Qur’ana yang berarti
menghimpun atau membaca. Sedangkan
menurut terminologi qira’ah adalah :
“Qira’ah adalah perbedaan lafadzh-lafadzh
wahyu yang disebutkan (AlQur’an) dalam
penulisan huruf, atau cara mengucapkan lafadzh
AlQur’an seperti ringan dan berat serta lainnya.”
7. Suatu ketika Umar bin Khoththab berbeda pendapat dengan Hisyam bin Hakim Ketika membaca Al-Qur’an. Umar
tidak puas terhadap bacaan Hisyam sewaktu membacakan Surat Al Furqan. Menurut,Umar bacaan Hisyam Tidak
benar dan bertentangan dengan apa yang di ajarkan Nabi kepadanya. Namun, Hisyam menegaskan pula bahwa
bacaannyapun berasal dari Nabi. Seusai Sholat, Hisyam diajak menghadap Nabi seraya melaporkan peristiwa
diatas. Nabi menyuruh Hisyam mengulangi bacaannya sewaktu sholat tadi. Setelah Hisyam melakukannya, Nabi
bersabda :Artinya ”memang begitulah Al-Qur’an diturunkan. Sesungguhnya AlQur‟an ini diturunkan dalam tujuh
Huruf, maka bacalah oleh kalian yangkalian anggap mudah dari tujuh huruf itu”
Didalam Riwayatnya, Ubai pernah bercerita : “saya masuk ke masjid untuk mengerjakan sholat, kemudian
datanglah seorang dan membaca surat An Nahl, tetapi bacaannya berbeda dengan bacaan saya. Setelah selesai,
saya bertanya, “siapakah yang mebacakan ayat itu kepadamu?” ia menjawab, “Rasulullah SAW”. Kemudian,
datangalh seorang mengerjakan sholat dengan membaca permula‟an surat An-Nahl (16), tetapi bacaannya
berbeda dengan bacaan saya dan bacaan teman tadi. Setelah sholatnya selesai, saya bertanya, “siapakah yang
membacakan ayat itu kepadamu?” ia menjawab “Rosulullah SAW”. Kedua orang itu lalu saya ajak menghadap Nabi,
Beliau meminta salah satu dari kedua orang itu membacakan lagi surat itu. Setelah bacaannya selesai, nabi
bersabda “baik”. Kemudian, Nabi meminta kepada yang lian agar melakukan hal yang sama. Dan Nabi pun
menjawabnya baik.”
Secara Historis
8. Perbedaan dalam I’rab atau Harkat kalimat tanpa perunbahan makna dan bentuk kalimat. Artinya : “…yaitu
orang -orang yang kikir, dan menyuruh orang lain berbuat kikir…” (Q.S. An-Nisa‟ [4]:37) Kata Al-bakhl yang
berarti kikir disini dapat dibaca fathah pada huruf ba‟ nya sehingga dibaca “bi Al bakhli”, dapat juga dibaca
dhamah pada ba‟ nya sehingga dibaca “bi Al bukhli”.
Perbedaan pada I‟rab dan harkat (baris) kalimat sehingga mengubah maknanya, misalnya pada firman Allah.
Artinya : “Ya Tuhan kami, jadikanlah jarak perjalanan kami” (Q.S. Saba‟[34]:19) Kata yang diterjemahkan menjadi
jauhkanlah diatas adalah ba‟id karena statusnya sebagai fi‟il amr, boleh juga dibaca ba‟ada yang berarti
kedudukannya menjadi fi‟il madhi, sehingga artinya telah jauh.
Perbedaan pada perubahan huruf antara perubahan I‟rab dan bentuk tulisannya, sementara maknaya berubah.
Misalnya pada firman Allah Artinya : “…dan gunung -gunung seperti bulu yang dihambur- hamburkan.” (Q.S. Al-
Qari‟ah [101]:5) Beberapa qira‟at mengganti kata “kaal’ihin” dengan “kashshufi” sehingga yang mulanya
bermakna “bulu bulu” berubah menjadi “bulu bulu domba”. Perubahan seperti ini, berdasarkan ijma’ ulama tidak
dibenarkan, karena bertentangan dengan mushaf „Utsmani.
SECARA PENYAMPAIAN
9. Perbedan pada kalimat dimana bentuk dan maknanya berubah pula. Misalnya pada ungkapan thl‟in mandhud
menjadi thalhin mandhud
Perdaan pada mendahulukan dan mengakhirkannya. Misalnya pada firmanAllah Artinya : “Dan datanglah
sakaratul maut dengan sebenar benarnya” (Q.S Qaf : 19) Konon, menurut suatu riwayat, Abu bakar pernah
membacanya menjadi Wa ja‟at sakrat Al -haqq bi Al-maut. Abu bakar menggeser kata “al - maut” ke belakang,
sementara kata “al-haqq” dimajukan ke tempat yang ia geser ke belakang. Setelah mengalami pergeseran
ini,biladiterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, kalimat itu menjadi “dan datanglah sekarat yang benar- benar
dengan kematian.”
Perbedaan dengan menambah dan mengurangi huruf, seperti pada firmanAllah Artinya : “…Surga-surga yang
mengalir sungai-sungai di dalamnya. (Q.S.Al-Baqarah [2]: 25)” Kata min pada ayat ini dibuang. Dan pada ayat
serupa yang tanpamin justru ditambah.Di dalam buku yang ditulis oleh Prof. Dr. Rosihon Anwar ini, beliau
menuturkan beberapa sebab terjadinya perbedaan qira‟at, dan diantara sebab-sebab munculnya beberapa
qira‟at yang berbeda adalah sebagai berikut.
Perbedaan pada perubahan huruf antara perubahan I‟rab dan bentuk tulisannya, sementara maknaya berubah.
Misalnya pada firman Allah Artinya : “…dan lihatlah kepada tulang-belulang keledai itu, kemudian Kami
menyusunnya kembali.” (Q.S. Al-Baqarah [2]:259) Kata nunsyizuha (Kami menyusun kembali) yang ditulis
denganmenggunakan huruf zay diganti dengan huruf ra sehingga menjadi berbunyi nunsyiruha yang berarti
“Kami hidupkan kembali”.
11. Perbedaan qira’at terkadang berpengaruh dalam menetapkan ketentuan
hukum, antara lain :
Qs. Al-Baqarah ayat 222 : Artinya: “Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: "Haidh
itu adalah suatu kotoran". oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu
haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka Telah suci,
Maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah
menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.”
Berkaitan dengan ayat ini, di antara Imam Qira‟at tujuh, yaitu Abu Bakar Syu‟bah (Qira‟at ,Ashim
riwayat Syau‟bah), Hamzah, dan Al-Kisa‟i membaca kata ‘yathhurna’ dengan memberi syiddah pada
huruf tha‟ dan ha. Maka, bunyinya menjadi “yuththahhirna”. Berdasarkan perbedaan qira‟at ini, para
ulama fiqh berbeda pendapat sesuai dengan banyaknya perbedaan qira‟at. Ulama yang membaca
‘yathhurna’ berpendapat bahwa seorang suami tidak diperkenankan berhubungan dengan istrinya
yang sedang haid, kecuali telah suci atau berhenti dari keluarnya darah haid. Sementara yang
membaca “yuththahhirna” menafsirkan bahwa seorang suami tidak boleh melakukan hubungan
seksual dengan istrinya, kecuali telah bersih.
12. Qs. An-Nisa‟ ayat 43 : Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang
kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula
hampiri mesjid) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu
mandi. dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau
kamu Telah menyentuh perempuan, Kemudian kamu tidak mendapat air, Maka bertayamumlah
kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha
Pema'af lagi Maha Pengampun.”
Berkaitan dengan ayat ini, Imam Hamzah dan Al-Kisa‟i memendekkan huruf lam pada kata “lamastum”
sementara Imam lainnya memanjangkannya “laamastum”. Bertolak dari perbedaan qira‟at ini,
terdapat tiga versi pendapat para ulama mengenai maksud kata itu, yaitu bersetubuh, bersentuh, dan
sambil bersetubuh. Sedangkan para ulama fiqh ada yang berpendapat bahwa persentuhan laki-laki dan
perempuan itu membatalkan wudhu‟. Namun, ada juga yang berpendapat bahwa bersentuhan itu tidak
membatalkan wudhu‟, kecuali kalau berhubungan badan.
13. Qira‟ah adalah suatu madzhab yang dianut oleh seorang imam yang berbeda dengan imam yang
lainnya dalam segi pelaflan Al-Qur‟an dan sanadnya bersambung langsung kepada Rasulullah
SAW . Latar belakang timbulnya perbedaan itu ada secara historis dan adasecara pengucapan
dan secara penyampaian.
Dan diantara keragaman Qira‟at itu memiliki beberapa manfa‟at diantaranya, yaitu:
1. Menunjukkan terjaga dan terpelihara kitabullah dari perubahan dan penyimpangan
2. Meringankan umat islam dan memudahkan mereka untuk membaca al-Qur‟an
3. Bukti kemu‟jizatan al-Qur‟an dari segi kepadatan maknanya
4. Penjelasan terhadap sesuatu yang masih global dalam Qira‟at lain.
PENUTUP