1. Anak muda Indonesia memiliki kolektivisme yang kuat di mana masalah pribadi dianggap sebagai masalah bersama dan harus diungkapkan kepada teman-teman.
2. Kolektivisme inilah yang bertanggung jawab atas kebergantungan anak muda terhadap media sosial untuk berbagi informasi dengan teman-teman.
3. Perubahan foto profil sering kali dilakukan untuk menunjukkan komitmen terhadap kelompok dan men
tugas 1 anak berkebutihan khusus pelajaran semester 6 jawaban tuton 1.docx
Indonesian youth culture
1. INDONESIAN YOUTH CULTURE: BAB I
Kolektivisme, Identitas, dan Media Sosial
(Unpublished material for the upcoming book: Indonesian Youth Culture)
Muhammad Faisal
Kei, Seorang sahabat dari Jepang, pernah bertanya kepada saya pada sebuah pertemuan
santai di sebuah Kafe di bilangan Sabang “Mengapa anak muda di negaramu selalu menggonta-
ganti foto mereka di facebook dan bbm?”, saya balik bertanya “ada yang salah dengan hal
itu?”. Kei lalu menyambut “Di Jepang saat ini anak muda menilai privasi dengan harga yang
sangat mahal, bahkan mereka rela membeli sebuah avatar sebagai topeng untuk menutup wajah
asli mereka!”.
Pertemuan dengan Kei Shimada, seorang kawan ahli telekomunikasi dari Jepang tersebut
meninggalkan sebuah pertanyaan hipotetis yang mendalam pada diri saya. Dimana, pertanyaan
hipotetis tersebut apabila bisa terjawab dengan baik, maka akan dapat menjelaskan begitu
banyak permasalahan seputar perilaku dan budaya anak muda millenial di Indonesia. Pertanyaan-
pertanyaan yang sebenarnya juga telah menjadi unek-unek dari kelompok generasi baby boomers
yang kini mengambil peran sebagai orang tua juga pendidik. Kumpulan unek-unek itu apabila
tidak ditanggapi dengan serius oleh kaum “senior” maka akan melahirkan stereotipy-stereotipy
negatif seputar generasi muda kita. Beberapa stereotypi yang kini telah muncul serta terlontar
antara lain adalah ungkapan „generasi narsis‟ dan „generasi labil‟.
Sebelum terjun bebas dalam dunia riset mengenai budaya anak muda (youth culture) saya
sendiri menyimpan prasangka dan stereotipy negatif yang kuat terhadap Gen Y. Beberapa
pengalaman pahit mengajar di jenjang universitas membuat saya menjadi pesimis tentang masa
depan generasi muda di Indonesia. Namun, setelah melihat realitas dari kacamata riset yang
jernih dari sangkaan dan dugaan, saya menjadi bersimpati juga berempati terhadap generasi yang
memiliki tantangan lebih berat ini.
Generasi millenial sendiri sering kali didefinisikan tidak berdasarkan tanggal lahir namun
berdasarkan kecenderungan perilaku dan psikografis mereka. Dimana, generasi yang unik ini
adalah generasi yang lahir di era intenet. Perilaku adaptif mereka sendiri sangat cepat terhadap
segala sesuatu yang bernuansa digital. Saya secara pribadi lebih sepakat terhadap definisi seperti
ini. Namun, dalam sudut pandang yang berbeda, generasi millenial juga dikatakan merupakan
kelanjutan dari Generasi X atau Generasi Mtv, Generasi Millenial yang lahir di dekade akhir
80an dan dekade 90an.
Apabila kita mundur beberapa tahun kebelakang, yaitu pada tahun 2002 ketika Media
Friendster pertama kali mengudara di jagad digital. Maka kita akan dapati bahwa para pengguna
2. pertama media sosial tersebut berasal dari kalangan pelajar di jenjang SMU dan Sarjana. Akan
tetapi, jika ditelisik lebih jauh, mereka memiliki latar belakang yang sama, yaitu ikut serta dalam
program pertukaran pelajar. Pada bab berikutnya, saya akan membahas secara lebih mendetil
tentang pola keluar masuknya budaya pop pada segmen muda Indonesia ini secara lebih
mendetil.
Secara lanjut, para siswa/i dan mahasiswa/i yang mengikuti pertukaran pelajar di benua
lain ini yang bertanggungjawab besar dalam tumbuh kembangnya media sosial Friendster di
Indonesia. Kala itu Friendster memiliki dua fungsi utama yaitu sebagai media pertemanan dan
ajang mencari pacar. Friendster bahkan mengalahkan MiRC, sebuah aplikasi chatting terkemuka
pada awal dekade 2000 dalam hal keampuhannya mencari „gebetan‟ baru. MiRC pun bergeser
segmen, yaitu segmen dewasa menengah. Perilaku anak muda Indonesia di Friendster sendiri
memiliki pola yang menarik. Dimana, penulisan testimoni di account seorang teman bersifat
transaksional. “Aku menulis hal-hal bagus tentang kamu, therefore you do the same for me”
demikian kurang lebih rules of thumb yang berlaku.
Lucunya Rule of thumb tersebut tidak terlalu eksplisit pada para pengguna Friendster dari
benua lain, akan tetapi norma tersebut bersifat indigenous, unik, dan khas Indonesia. Melalui
perjalanan enam tahun penelitian secara intensif mengenai perilaku, gerak-gerik dan budaya anak
muda Indonesia. Saya pada akhirnya menyimpulkan dan menyadari bahwa anak muda Indonesia
memiliki kolektivisme yang sangat kuat. Sayapun berani bertaruh bahwa kolektivisme anak
muda Indonesia merupakan salah satu yang terkuat di dunia.
Kolektivisme sebagaimana saya pahami dan sadari adalah bahwa segala isu dan
permasalahan dalam kehidupan anak muda Indonesia memiliki batasan sosial yang tipis.
Permasalahan apapun menjadi sesuatu yang wajib untuk di shared kepada teman. Selain itu, ia
juga merupakan saham permasalahan dari peergroup dan kelompok pertemanan yang lebih luas.
Sebut saja permasalahan „jadian‟, yaitu ketika seorang anak laki-laki „menembak‟ (menyatakan
bahwa ia suka) seorang perempuan atau sebaliknya. Dalam kolektivisme youth culture Indonesia
„Jadian‟ merupakan sebuah peristiwa yang proses awal dan akhirnya harus di share kepada
peergroup, apabila tidak, maka anak muda tersebut dianggap telah mengkhianati atau
merendahkan makna pertemanan di dalam peergroup.
Kolektivisme ini pula yang sering kali bertanggung jawab terhadap terjadinya
perkelahian antara pelajar. Dimana sebenarnya episentrum dari sebuah „tawuran‟ adalah
permasalahan interpersonal (antara individu) yang ditarik ke ranah kolektif. „Masalah temen kite,
masalah kite semua!‟ kurang lebih demikian filosofi yang berlaku. Konflik yang tidak riil bagi
mayoritas anggota kelompok tiba-tiba sanggup mengejawantah menjadi sebuah tanggung jawab
bersama karena stimulus mikro yang terjadi pada salah satu anggotanya. Pikiran, perasaan, dan
aksi menjadi sesuatu yang di shared di dalam peer group!
3. Dengan demikian, kebergantungan anak muda Indonesia terhadap media sosial perlu
lebih dipahami sebagai manifestasi dari kolektivisme. Aplikasi dan perkembangan teknologi
digital bukan merupakan faktor utama yang membuat anak muda kebergantungan terhadap
media sosial! akan tetapi shared culture-lah yang berperan sebagai motor gerak adopsi media
sosial. Disini, teruntai jawaban dari pertanyaan yang dilontarkan oleh kawan Jepang saya; Kei.
Yaitu bahwa sebab-musabab dari intensitas perubahan profile picture anak muda dalam media-
media digital yang mereka gunakan bukan karena mereka memiliki kerapuhan kepribadian!
bukan pula karena mereka tidak memahami batasan dari privacy. Terdapat sebuah eksplanasi
kultural dibaliknya yang perlu dipahami terlebih dahulu. Yaitu, dorongan kolektivisme dimana
tidak terdapat ranah privat. Sebab segala sesuatu di-share dalam peergroup, tidak ada yang
bersifat rahasia. Semakin besar investasi sharing dalam peergroup semakin besar pula
keterikatan dan komitmen antar anggota di dalamnya.
Bersambung…