Konseling kelompok dengan teknik self kontrol diujicobakan untuk mengurangi sifat narsis pada remaja pengguna Instagram. Remaja cenderung narsis untuk mendapat perhatian lewat postingan mereka. Konseling kelompok diharapkan membantu remaja mengontrol diri sehingga postingan sesuai norma dan tidak impulsif.
1. 1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Penelitian
Remaja ialah individu yang berada pada masa peralihan dari periode anak-
anak ke periode dewasa. Periode ini dianggap sebagai masa yang sangat penting
dalam kehidupan seseorang khususnya dalam pembentukan kepribadian. Idealnya
remaja berkembang dengan baik tidak menonjolkan perilaku yang mengarah pada
perilaku negatif. Tingkah laku negatif bukan perkembangan remaja yang normal,
remaja yang berkembang dengan baik akan memperlihatkan perilaku positif
(Prayitno, 2006).
Status masa remaja dalam kisaran 17-25 tahun merupakan status yang
memerlukan pembinaan dan pemupukan jati diri, sebagai wahana untuk
menumbuhkan nilai, persepsi, dan sikap yang positif serta produktif dalam
menjalani lintasan selanjutnya. Bagi sebagian besar remaja, selama mengalami
status ini, dinamika kehidupan moderinitas telah mewarnai mereka dengan gaya
hidup, atribut kelompok yang menjadi panutan, dan perilaku konsumsi
produksi/jasa yang menjadi ikon untuk mengekspresikan diri.
Selama masa remaja ini berlangsung, di kalangan remaja akan muncul
banyak masalah yang mengincar kehidupan para remaja. Permasalahan remaja itu
tergolong permasalahan yang paling kompleks di dunia. Mulai dari masalah pacar,
masalah sekolah, masalah pergaulan, masalah penampilan dan lain sebagainya.
Namun, permasalahan tersebut sebenarnya adalah sebuah proses pencarian jati
diri yang nantinya bakal menjadi sebuah sebab dari kedewasaan. Pada masa
pencarian jati diri, setiap individu berusaha menemukan dan menanyakan identitas
dirinya.
Pada usia transisi, banyak sekali remaja yang mengalami masalah dalam
penampilan diri, mereka berlomba-lomba dalam berpenampilan sebaik mungkin
untuk mendapat pengakuan tertentu dan daya tarik.
Menurut Kernan dalam Santrock (1980) “Penampilan diri terutama di
hadapan teman-teman sebaya merupakan petunjuk yang kuat dari minat remaja
dalam sosialisasi”. Remaja mengaktualisasikan minatnya terhadap penampilan
diri secara berlebihan memiliki kecenderungan narsis, namun biasanya memiliki
2. 2
permasalahan dengan kepercayaan diri. Halgin & Whitbourne (2010) menjelaskan
bahwa mereka memiliki penghargaan yang berlebihan terhadap kehidupan mereka
sendiri dan terus merasa kesal terhadap orang lain yang mereka rasa lebih sukses,
cantik, dan cerdas. Narsisisme (dari bahasa Inggris) atau narsisme (dari bahasa
Belanda) adalah perasaan cinta terhadap diri sendiri yang berlebihan. Orang yang
mengalami gejala ini disebut narsisis (narcissist). Istilah ini pertama kali
digunakan dalam psikologi oleh Sigmund Freud dengan mengambil dari tokoh
dalam mitos Yunani, Narkissos (versi bahasa Latin: Narcissus), yang dikutuk
sehingga ia mencintai bayangannya sendiri di kolam. Ia sangat terpengaruh oleh
rasa cinta akan dirinya sendiri dan tanpa sengaja menjulurkan tangannya hingga
tenggelam dan akhirnya tumbuh bunga yang sampai sekarang disebut bunga
narsis (King, Johnson, Davison, et al., 2010).
Berbagai macam cara yang dilakukan remaja untuk bisa mengekspresikan
dirinya, diantara yaitu dengan memotret dirinya semenarik mungkin atau biasa
disebut dengan “selfie”. Mereka berusaha untuk bisa mendapat potert diri yang
semenarik mungkin lalu mengunggahnya di media sosial. Salah satu media sosial
yang sedang banyak digunakan oleh pengguna gadget saat ini adalah Instagram.
Internet, sosial media dan jejaring sosial memang membawa perubahan bagi
dunia, tetapi tetap saja disamping dampak positif pasti diiringi dampak negatif
terutama dalam hal pergaulan.
Munculnya situs-situs pertemanan (media sosial) yang kian digandrungi
jutaan penduduk dunia ternyata juga mampu memicu pergeseran nilai-nilai sosial
dalam masyarakat, khususnya remaja. Media sosial telah menjadi bagian dari
pengalaman tumbuh dewasa untuk para remaja (Griggs, 2009: 5). Banyak
pengguna Instagram yang bertujuan untuk mengekspresikan kepribadiannya
masing-masing melalui media sosial Instagram, salah satunya adalah untuk
memenuhi kesenangan dan kepuasan dirinya melalui upload-an foto yang mereka
lakukan. Dalam hal meng-upload foto di Instagram dapat memberikan kebebasan
berekspresi untuk memenuhi kepuasan tersendiri. Instagram adalah sebuah
aplikasi berbagi foto yang memungkinkan pengguna mengambil foto, menerapkan
filter digital, dan membagikannya ke berbagai layanan jejaring sosial, termasuk
milik Instagram sendiri. Instagram berdiri pada tahun 2010 dan didirikan oleh dua
3. 3
bersahabat Kevin Systrom dan Mike Krieger. Tujuan umum dari Instagram itu
sendiri salah satunya yakni sebagai sarana kegemaran dari masing-masing
individu yang ingin mempublikasikan kegiatan, barang, tempat atau pun dirinya
sendiri kedalam bentuk foto. Hal tersebut menjadi menarik jika dikaitkan dengan
konsep eksistensi remaja dalam instagram, apakah menggunakan sebagai ajang
pamer atau yang lainnya (2016, www.frans.co.id).
Remaja di seluruh dunia begitu lekat dengan media sosial, mereka terus
berkomunikasi lewat media sosial, bahkan pada saat makan, berjalan dan belajar.
Waktu yang dihabiskan untuk media sosial seringkali lebih banyak dibandingkan
dengan waktu yang dihabiskan untuk belajar atau berkumpul bersama keluarga.
Berbagai hal menjadi alasan media sosial begitu menarik bagi para remaja,
beberapa alasannya yaitu mendapatkan perhatian, meminta pendapat,
menumbuhkan citra, hobi dan untuk menambah teman. Akan tetapi terkadang
aktivitas ini membuat kesemangatan belajar mereka menurun dan mereka malah
disibukkan dengan berusaha mencari spot foto yang menurut mereka
instagramable dan mereka akan membagikan hasil foto tersebut diinstagram
dengan tujuan agar mereka bisa mendapat menuai banyak like dan komentar yang
menyanjung tentang dirinya. Bahkan terkadang usaha mereka untuk mendapat
banyak like dan komentar mereka melakukannya dengan usaha-usaha yang salah
dan terkadang bahkan mereka melanggar norma-norma sosial yang berlaku hanya
karena agar mereka bisa membuat postingan yang “viral”.
Menyikapi hal yang berkaitan dengan perilaku narsistik yang dimiliki oleh
remaja, faktor penting yang hendaknya dimiliki remaja aialah kontrol diri.
Peningkatan tindakan kecenderungan narsistik siswa diasumsikan bersumber dari
melemahnya kontrol diri. Remaja yang mampu mengontrol diri dengan baik, tidak
akan mudah terpengaruh dengan perubahan yang terjadi dan juga dapat terhindar
dari tindakan kekerasan. Thalib (dalam Firman, 2016) menjelaskan kontrol diri
menggambarkan keputusan individu melakukan sesuatu melalui pertimbangan
kognitif untuk menyatukan perilaku yang telah disusun untuk meningkatkan hasil
dan tujuan seperti yang diinginkan. Goldfried dan Marbaum (dalam Ghufron,
2014: 22) mengartikan kontrol diri sebagai kemampuan untuk menyusun,
mengatur dan mengarahkan bentuk perilaku yang dapat membawa ke arah
4. 4
konsekuensi positif. Hal inilah yang memberikan pengaruh penting pada
perkembangan remaja, pentingnya kontrol diri bagi remaja dimaksudkan agar
perilaku yang dimunculkan dapat selaras dengan tuntutan lingkungan sehingga
tidak menimbulkan dampak negatif bagi dirinya sendiri maupun orang lain.
Kontrol diri yang dimiliki remaja di sekolah dilalui melalui proses
pematangan dengan berbagai kegiatan yang dilakukan melalui kegiatan konseling
dan konseling salah satunya dengan konseling kelompok. Di dalam konseling
kelompok siswa dapat memecahkan masalah mereka secara berkelompok. Remaja
yang mempunyai akun instagram diharapkan dapat mengontrol dirinya agar
perilaku sesuai dengan norma, serta terhindar dari perilaku impulsive.
Berdasarkan hasil wawancara dan pengamatan yang dilakukan di SMAN 1
Boyolangu Tulungagung, banyak sekali siswa yang belum memiliki kontrol diri
yang baik dalam penggunaan sosial media yang mereka miliki terutama dalam
penggunaan instagram. Mereka hampir seminggu sekali atau bahkan terkadang
lebih dalam memposting foto di instagram hanya karena ingin mendapatkan like,
komendar dan jumlah follower yang banyak di akun mereka.
Berdasarkan dari fenomena-fenomena yang sudah dipaparkan dan
disukung oleh teori-teori yang ada, maka perlu dilakukan penelitian mengenai
“keefektifan konseling kelompok dengan teknik self kontrol untuk mereduksi
kecenderungan narsistik siswa pengguna instagram”. Kontrol diri diperlukan
untuk mengatur tindakan yang akan dilakukan oleh remaja, sehingga diharapkan
mampu untuk menurunkan kecenderungan sifat narsistik yang dimiliki oleh siswa.
1.2 Identifikasi Masalah
Berdasarakan uraian diatas dapat diidentifikasi permasalahan
sebagai berikut:
a. Remaja sering bermain di sosial media sehingga mengganggu
aktifitas belajar.
b. Remaja membuat caption, dan memberi komentar-komentar
dengan menggunakan kata-kata kasar
c. Remaja memposting foto-foto dan video-video agar dirinya
mendapat pujian
5. 5
d. Remaja membuat postingan yang melanggar norma hanya karena
ingin viral.
1.3 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas,
maka permasalahan yang dapat di rumuskan yaitu : Apakah konseling
kelompok dengan teknik self kontrol efektif untuk mereduksi
kecenderungan narsistik siswa pengguna instagram?
1.4 Tujuan dan Manfaat
1.4.1 Tujuan Penelitian
Secara umum tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui
Apakah konseling kelompok dengan teknik self kontrol efektif untuk
mereduksi kecenderungan narsistik siswa pengguna instagram?
1.4.2 Manfaat Penelitian
a. Manfaat teoritis.
1) Hasil yang diharapkan dapat memberikan informasi yang
berguna bagi pengembangan ilmu pengetahuan khususnya
bagi Konseling dan Konseling.
2) Melalui penelitian ini diharapkan dapat memberi wawasan
bagi peneliti yang mungkin akan dilakukan lagi.
b. Manfaat praktis.
Manfaat praktis ini diharapkan dapat memberikan kontribusi
dan menambah khazanah keilmuan Konseling dan Konseling.
Manfaat praktis di penelitian ini diharapkan dapat :
1) Memberi masukan bagi para remaja agar lebih selektif lagi
dalam memilih akun media sosial dan dapat mengambil
manfaat secara positif.
2) Memberi masukan bagi orang tua agar memantau dan
mengarahkan anak dalam pemakaian media sosial dengan
baik.
3) Memberi masukan kepada subyek penelitian untuk dapat
mengontrol diri untuk tidak melakukan hal-hal yang kurang
terpuji.
6. 6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Narsistik
2.1.1 Pengertian Narsistik
Narsistik adalah pola kepribadian yang didominasi oleh perasaan
dirinya hebat, senang dipuji dan dikagumi serta tidak ada rasa empati,
kepribadian narsistik memiliki perasaan yang kuat bahwa dirinya adalah orang
yang sangat penting serta merupakan individu yang unik. Mereka sangat sulit
sekali menerima kritikan dari orang lain, sering ambisius, dan mencari
ketenangan (Ardani,2011). Sedangkan menurut Davidson,dkk (2012) orang-
orang dengan kepribadian narsistik memiliki pandangan yang berlebihan
mengenai keunikan dan kemampu an mereka, mereka terfokus dengan fantasi
keberhasilan besar.
American Psychiatric Association (2000) menjelaskan bahwa gangguan
kepribadian narsistik (NPD) sebagai pola yang membesar-besarkan sesuatu
(baik dalam fantasi maupun perilaku), kebutuhan untuk dikagumi dan lemah
dalam empati, yang dimulai dari dewasa awal dan hadir dari berbagai konteks
(Campbell & Miller, 2011). Nevid, dkk (2005) menambahkan orang dengan
gangguan kepribadian narsistik umumnya berharap orang lain melihat kualitas
khususnya, bahkan saat prestasinya biasa saja, individu bersantai di bawah
sinar pemujaan.
Menurut Campbell (dalam Adi, 2008) mengatakan bahwa orang
narsistik cenderung selalu meminta umpan balik terhadap hal-hal yang telah
dikerjakannya, selalu menilai penampilannya suka memperkirakan bahwa
perilaku-perilakunya selalu bersifat positif.
Individu narsisme memanfaatkan hubungan sosial untuk mencapai
popularitas, selalu asik dan hanya tertarik dengan hal-hal yang menyangkut
kesenangan diri sendiri (Mehdizadeh, 2010). Menurut Rathus dan Nevid
(2000), orang yang narsistik memandang dirinya dengan cara yang berlebihan,
individu senang sekali menyombongkan dirinya dan berharap orang lain
memberikan pujian. Definisi narsis adalah sebuah pola sifat dan prilaku yang
dipenuhi obsesi dan hasrat pada diri sendiri untuk mengabaikan orang lain,
7. 7
egois serta tidak memperdulikan orang lain dalam memenuhi keputusan,
dominasi dan ambisinya sendiri.
Karakteristik gangguan kepribadian narsistik ditujukan pada
orangorang yang menunjukan pola tentang sesuatu yang berlebihan seperti
yang terlihat, dari lima atau lebih hal-hal berikut yaitu faham kebesaran tentang
dirinya, tenggelam dalam hayalan akan kesuksesan, kekuasaan,
kecerdasan,kecantikan atau cinta yang ideal, kepercayaan bahwa mereka begitu
istimewa dan bahwa mereka hanya harus bergabung dengan orang lain yang
dapat mengerti mereka. Kebutuhan akan kebanggaan yang berlebihan
menuntut suatu hak; Gaya interpersonal yang bersifat Eksploitasi, kurangnya
rasa empati, iri pada orang lain atau percaya bahwa orang lain iri hati serta
perilaku dan sikap yang arogan ( Halgin dan Susan, 2010)
Dapat disimpulakan dari beberapa uraian diatas bahwa narsistik
ditandai dengan kecenderungan untuk memandang dirinya dengan cara yang
berlebihan, senang sekali menyombongkan dirinya dan berharap orang lain
memberikan pijian selain itu juga tumbuh perasaan paling unik di bandingkan
remaja orang lain.
2.1.2 Ciri-ciri Narsistik
Menurut DSM-IV (Diagnostic and Statistical Manual of Mental
Disorders Fourth Edition) individu dapat dianggap mengalami gangguan
kepribadian narsistik jika sekurang-kurangnya memiliki 5 (lima) dari 9
(Sembilan) ciri kepribadian sebagai berikut :
a) Grandiose view of one’s importance, arrogance. Merasa diri paling hebat
namun tidak sesuai dengan potensi atau kompetensi yang dimiliki dan
senang memamerkan apa yang dimiliki termasuk gelar (prestasi) dan harta
benda.
b) Preoccupation with one’s success, beauty, brilliance. Dipenuhi dengan
fantasi tentang kesuksesan, kekuasaan, kepintaran, kecantikan dan cinta
sejati.
c) Extreme need of admiration. Memiliki kebutuhan yang eksesif untuk
dikagumi.
8. 8
d) Strong sense of entitlement. Merasa layak untuk diperlakukan istimewa.
e) Lacks of empathy. Kurang Empati
f) Tendency to exploit others. Mengekspoitasi hubungan interpersonal.
g) Envy of others. Seringkali merasa iri pada orang lain atau menganggap
orang lain iri kepadanya.
h) Shows arrogant, haughty behavior or attitudes. Angkuh,memandang rendah
orang lain.
i) Belive that she or he is special and unique. Percaya bahwa dirinya special
dan unik.
Maria dkk (2001), menyebutkan beberapa karakreristik kepribadian
narsistik yaitu, rasa sensitif terhadap kritik atau kegagalan, kebutuhan yang
besar untuk dikagumi dan kurangnya empati. Secara umum, ciri-ciri orang
yang narsis biasanya selalu merasa lebih dari orang lain, butuh kekaguman
yang berlebiha, kurangnya empati dan iri hati. Tidak hanya sering iri pada
orang lain, orang dengan kepribadian narsistik juga menganggap bahwa orang
lain merasa iri pada dirinya. Pada orang narsistik juga sering muncul sifat
sombong, arogan, tanpa emosi dan merendahkan orang lain.
2.1.3 Faktor Penyebab Narsistik
Terdapat berbagai faktor penyebab seseorang cenderung menjadi
narsis, Faktor tersebut antara lain adalah faktor keturunan dan faktor
lingkungan. Narsis biasanya timbul akibat dari pujian dan penghormatan yang
diterima berulang kali dari individu lain, narsisme merupakan variete yang
amat luas, bukan hanya mengenal gejalanya saja melainkan penyebabnya
(Lubis,1993).
Kent dan Listyawati (2012) menyatakan bahwa individu yang secara
konstan memposting gambar dan update terhadap aktivitas, sebenarnya sedang
mencari tanggapan ataupun komentar terhadap apapun yang mereka posting.
Hal ini dilakukannya guna meningkatkan harga diri yang rapuh, dalam rangka
menemukan diri dalam keadaan berharga. Individu membutuhkan penilaian
positif dari orang lain atas sikap, prestasi, perilaku serta kehebatan yang
individu tersebut lakukan.
9. 9
Remaja yang mempunyai akun pada jejaring sosial diharapkan
memiliki ketrampilan untuk mengatur perilakunya agar sesuai dengan norma
yang berlaku dimasyarakat, serta terhindar dari perilaku yang impulsif .
Keterampilan ini disebut dengan istilah kontrol diri. Berk (dalam Singgih D.
Gunarsa, 2006) menyatakan bahwa kontrol diri merupakan kemampuan
individu untuk menahan keinginan atau dorongan sesaat yang bertentangan
dengan tingkahlaku yang tidak sesuai dengan norma sosial. Chaplin (2006)
menjelaskan bahwa kontrol diri (self control) merupakan kemampuan untuk
membimbing tingkah laku sendiri, serta kemampuan untuk menekan atau
merintangi impuls-impuls atau tingkah laku impulsif.
Menurut ( Mitchell 2007) ada lima penyebab kemunculan narsis pada
remaja, yaitu adanya kecenderungan mengharapkan perlakuan khusus, kurang
bisa berempati sama orang lain, sulit memberikan kasih sayang, belum punya
kontrol diri / moral yang kuat, dan kurang rasional.
Penyebab narsisme timbul karena faktor keturunan dan faktor
lingkungan. Narsis biasanya timbul akibat dari pujian dan penghormatan yang
diterima berulang kali dari individu lain, narsis tidak hanya termanifestasi ada
perilaku yang gemar memuji dirinya sendiri, kerap menghadap cermin atau
kerap bergaya seperti model, tetapi juga terdapat implikasi lain dari pada sikap
narsis itu sendiri.
2.2 Konseling Kelompok dengan teknik self control
2.2.1 Layanan Konseling Kelompok
2.2.1.1 Konsep Dasar Konseling Behavioral
Menurut Skinner, perilaku manusia atas konsekuensi yang diterima.
Apabila perilaku mendapat ganjaran positif, maka individu akan meneruskan atau
mengulangi tingkah lakunya, sebaliknya apabila perilaku mendapat ganjaran
negatif (hukuman), maka individu akan menghindari atau menghentikan tingkah
lakunya. Pendekatan behavioral lebih berorientasi pada masa depan dalam
menyelesaikan masalah. Inti dari behavioral adalah proses belajar dan lingkungan
individu. Konseling behavioral dikenal sebagai ancangan yang pragmatis.
10. 10
Perilaku dipandang sebagai respon terhadap stimulasi atau perangsangan
eksternal dan internal. Karena itu tujuan terapi adalah untuk memodifikasi
koneksi-koneksi dan metode-metode Stimulus-Respon (S-R) sedapat mungkin.
Kontribusi terbesar konseling behavioral adalah bagaimana memodifikasi perilaku
melalui rekayasa lingkungan sehingga terjadi proses belajar untuk perubahan
perilaku.
Corey (2001) mengatakan bahwa konseling behavioral yang modern tidak
mempunyai asumsi deterministik tentang manusia yang menganggap manusia
hanya sebagai produk dari kondisioning sosiokultur. Individu adalah hasil
produksi dan juga yang memproduksi lingkungannya. Corey melihat Skinner
sebagai penganut teori tingkah laki yang radikal yang tidak mengakui
kemungkinan diri sebagai penentu dan kebebasan diri. Kecenderungan sekarang
adalah untuk mengajarkan pengendalian kepada konseli, dengan demikian
meningkatkan kebebasan mereka. Modifikasi tingkah laku bertujuan
meningkatkan keterampilan individu sehingga mereka mempunyai lebih banyak
pilihan dalam memilih suatu tingkah laku.
Adapun ciri-ciri dari karakteristik konseling behavioral antara lain adalah,
yaitu:
a. Kebanyakan perilaku manusia dapat dipelajari dan karena itu dapat
dirubah.
b. Perubahan-perubahan khusus terhadap lingkungan individual dapat
membantu dalam merubah perilaku-perilaku yang relevan; prosedur-
prosedur konseling berusaha membawa perubahan-perubahan yang relevan
dalam perilaku konseli dengan merubah lingkungan.
c. Prinsip-prinsip belajar sosial, seperti misalnya “reinforcement” dan “sosial
modeling”, dapat digunakan untuk mengembangkan prosedur-prosedur
konseling.
d. Keefektifan konseling dan hasil konseling dinilai dari perubahan-perubahan
dalam perilaku-perilaku khusus konseli diluar dari layanan konseling yang
diberikan.
11. 11
e. Prosedur-prosedur konseling tidak statik, tetap, atau ditentukan
sebelumnya, tetapi dapat secara khusus di desain untuk membantu konseli
dalam memecahkan masalah khusus.
2.2.1.2 Peran Konselor dan Konseli Dalam Konseling
1. Peran Konselor
Pada umumnya konselor yang mempunyai orientasi behavioral bersikap
aktif dalam proses konseling. Konseli belajar menghilangkan atau belajar kembali
bertingkah laku tertentu. Dalam proses ini, konselor berfungsi sebagai konsultan,
guru, pemberi dukungan dan fasilitator. Ia bisa juga memberi instruksi atau
mensupervisi orang-orang pendukung yang ada di lingkungan konseli yang
membantu dalam proses perubahan tersebut. Konselor behavioral yang efektif
beroperasi dengan perspektif yang luas dan terlibat dengan konseli dalam setiap
fase konseling (Gladding, 2004).
Fungsi dan tugas konselor juga dijelaskan untuk mengaplikasikan
prinsip dari mempelajari manusia untuk memberi fasilitas pada penggantian
perilaku maladaptif dengan perilaku yang lebih adaptif. Kemudian menyediakan
sarana untuk mencapai sasaran konseli, dengan membebaskan seseorang
dari perilaku yang mengganggu kehidupan yang efektif sesuai dengan nilai
demokrasi tentang hak individu untuk bebas mengejar sasaran yang
dikehendaki sepanjang sasaran itu sesuai dengan kebaikan masyarakat secara
umum.
Lebih rincinya peranan seorang konselor dalam proses konseling
kelompok ini, antara lain adalah:
1) Konselor berperan sebagai guru, pengarah, dan ahli dalam mendiagnosis
tingkah laku yang ditunjukan oleh konseli.
2) Konselor harus menerima dan memahami konseli tanpa mengadili atau
mengkritik.
3) Konselor juga harus dapat membuat suasana yang hangat, empatik dan
memberikan kebebasan bagi konseli untuk mengekspresikan diri.
4) Memberikan informasi dan menjelaskan proses yang dibutuhkan anggota
untuk melakukan perubahan.
12. 12
5) Konselor harus memberikan reinforcement.
6) Mendorong konseli untuk mentransfer tingkah lakunya dalam kehidupan
nyata.
2. Peran Konseli
Keberadaan konseli dalam konseling kelompok khususnya behavioral
tidak harus berasal dari konseli yang mempunyai permasalahan yang sama. Setiap
anggota kelompok diberikan kesempatan untuk menanggapi persoalan yang
sedang dihadapi oleh salah seorang anggota kelompok. Di sini, ada
semacam sharing pendapat di antara teman sebaya dalam memecahkan sebuah
persoalan.
Adapun peranan atau hak seorang konseli dalam proses konseling
kelompok behavioral, antara lain adalah:
1) Setiap anggota mengemukakan masalahnya secara khusus, meneliti variabel
eksternal dan internal yang mungkin menstimulasi dan menguatkan perilakunya
dan lebih lanjut membuat pernyataan perilaku baru yang diharapkan.
2) Konseli dituntut memiliki kesadaran dan berpartisipasi dalam terapeutik.
3) Konseli berani menanggung resiko atas perubahan yang ingin dicapai.
Dalam kegiatan konseling, konselor memegang peranan aktif dan
langsung. Hal ini bertujuan agar konselor dapat menggunakan pengetahuan ilmiah
untuk menemukan masalah-masalah konseli sehingga diharapkan kepada
perubahan perilaku yang baru. Sistem dan prosedur konseling behavioral sangat
terdefinisikan, juga demikian pula peranan yang jelas dari konselor dan konseli.
Konseli harus mampu berpartisipasi dalam kegiatan konseling, Ia harus
memiliki motivasi untuk berubah, harus bersedia bekerjasama dalam melakukan
aktivitas konseling, baik ketika berlangsung konseling maupun diluar konseling.
Dalam hubungan konselor dengan konseli ada beberapa hal yang harus
dilakukan, yaitu:
a. Konselor memahami dan menerima konseli
b. Antara konselor dan konseli saling bekerjasama dalam satu kelompok.
c. Konselor memberikan bantuan dalam arah yang diinginkan konseli.
13. 13
2.2.1.3 Proses Konseling Kelompok
Untuk memberikan gambaran singkat tentang proses konseling kelompok
secara umum, berikut urutan proses pelaksanaannya:
1. Konselor memperkenalkan diri, kemudian mempersilahkan masing-masing
anggota kelompok untuk memperkenalkan diri mereka.
2. Konselor menjelaskan aturan main dalam konseling kelompok.
3. Konselor menyuruh setiap anggota kelompok mengemukakan persoalan yang
saat ini dihadapi.
4. Setelah semua anggota sudah menyampaikan permasalahan, maka konselor
bersepakat dengan semua anggota kelompok untuk membahas satu permasalahan
yang dianggap paling mendesak untuk dipecahkan.
5. Mempersilahkan setiap anggota kelompok untuk menanggapi persoalan yang
dibahas.
6. Setelah menemukan solusi terhadap persoalan, konselor menanyakan
kesanggupan anggota kelompok untuk melaksanakan kesepakatan bersama.
7. Menutup pertemuan dengan kalimat yang baik.
Guna mencapai perubahan yang menjadi tujuan penyelenggaraan
konseling behavioral, maka tahap-tahap pelaksanaan konseling harus sistematis.
Hal ini disebabkan konseling behavioral berbasis pada tingkah laku khusus yang
akan dirubah. Berikut merupakan tahapannya:
1. Memulai Kelompok (Beginning The Group)
Konselor mengadakan pertemuan dengan setiap individu untuk
menentukan apakah individu-individu tersebut cocok untuk ditangani dalam
kelompok dan memiliki kemauan untuk berpartisipasi dalam kelompok. Aktivitas
dalam pertemuan kelompok yang pertama dipusatkan pada pengorganisasian
kelompok, serta mengorientasikan konseli ke proses kelompok dan memulai
membangun sebuah kebersamaan kelompok.
2. Pembatasan atau Penentuan masalah (Definition of the Problem)
Masalah konseli yang diceritakan pada kelompok perlu dianalisis terlebih
dahulu. Konselor mengidentifikasi anteseden dan konsekuensi tingkah laku
dengan melakukan analisis yang sistematis tentang tingkah laku bermasalah
14. 14
tersebut, sehingga konselor dapat memberikan stimuli dan mengeksplorasi lebih
lanjut unsur-unsur penguat yang mungkin ada pada masalah itu.
3. Perkembangan dan Sejarah Sosial (The Development and Social History)
Pada tahap ini, konselor dapat meminta konseli untuk mengungkapkan
keberhasilan dan kegagalan dalam hidupnya, kelebihan dan kekurangan dirinya,
hubungan sosial, penghambat tingkah laku, dan konflik-konflik yang dialami.
4. Pernyataan Tujuan Behavioral (Stating Behavioral Goal)
Konseli harus menyatakan masalah dan tujuan yang diharapkan dalam
bentuk behavioral. Tujuan yang spefisik ini merupakan tujuan bagi perilaku
khusus yang akan diubah.
5. Strategi Pengubahan Tingkah Laku (Strategies for Behavioral Change)
Pada tahap ini akan sangat membantu jika konselor mengembangkan
kontrak behavioral yang spefisik, yaitu kontrak mingguan dengan setiap anggota.
6. Pengalihan dan Pemeliharaan Tingkah Laku yang Dikehendaki (Transfer and
Maintenance of Desired Behavior)
Pengalihan pengubahan tingkah laku ini dapat difasilitasi pemanfaatan
kelompok sebagai dunia kecil dari kehidupan yang sebenarnya. Konselor perlu
membangun situasi di mana anggota kelompok dapat mencoba tingkah laku yang
dikehendaki dalam situasi kelompok sehingga mereka dapat memperoleh balikan
(feedback) atas usaha mereka.
2.2.2 Kontrol Diri (Self Control)
2.2.2.1 Pengertian Kontrol diri
Kontrol diri merupakan suatu kecakapan individu dalam kepekaan
membaca situasi diri dan lingkungannya serta kemampuan untuk mengontrol
dan mengelola factor-fakto perilaku sesuai dengan situasi dan kondisi untuk
menampilkan diri dalam melakukan sosialisasi. Borba (2008) yang mengatakan
kontrol diri adalah kemampuan mengendalikan perasaan, pikiran dan tindakan
agar dapat menahan dorongan dari dalam maupun luar sehingga seseorang
mampu bertindak dengan benar. Kemampuan untuk mengendalikan perilaku,
kecenderungan untuk menarik perhatian, keinginan untuk mengubah perilaku
15. 15
agar sesuai untuk orang lain, selalu nyaman dengan orang lain, menurup
perasaannya (Gufron & Risnawati, 2011).
Sedangkan menurut Contrada & Goyal, 2004 (dalam Sarafino, 2010)
kontrol diri adalah keyakinan seseorang akan kemampuannya untuk membuat
keputusan, bertindak secara efektif terhadap apa yang dibutuhkan dan menolak
melakukan sesuatu yang tidak dibutuhkan. Goldfried dan Merbaum (dalam
Lazarus, 1976) mendefinisikan kontrol diri sebagai suatu kemampuan untuk
menyusun, membimbing, mengatur dan mengarahkan bentuk perilaku yang
dapat membawa individu ke arah konsekuensi positif.
Kontrol diri digunakan oleh individu untuk mengelola faktor-faktor
perilaku yang sesuai dengan lingkungan sekitar, digunakan dalam mengontrol
perilalu serta mengubah perilaku yang sesuai dengan kondisi dan sesuai
dilingkungan sekitarnya. Avrill (1973) mengemukakan kontrol diri yaitu
kemampuan individu dalam mengontrol tindakan langsung terhadap
lingkungan, pemahaman makna terhadap peristiwa dan control terhadap
alternative suatu pilihan.
Berk (dalam Gunarsa, 2006 ) menyatakan bahwa kontrol diri
merupakan kemampuan individu untuk menahan keinginan atau dorongan
sesaat yang bertentangan dengan tingkah laku yang tidak sesuai dengan norma
sosial. Menurut kamus psikologi (Chaplin, 2002), definisi kontrol diri atau self
control adalah kemampuan individu untuk mengarahkan tingkah lakunya
sendiri dan kemampuan untuk menekan atau menghambat dorongan yang ada.
Kontrol diri sebagai suatu kemampuan untuk menyusun, membimbing,
mengatur dan mengarahkan bentuk perilaku yang dapat membawa individu
kearah konsekuensi positif.
Sebagai salah satu sifat kepribadian, kontrol diri pada setiap individu
tidaklah sama. Ada individu yang memiliki kontrol diri yang tinggi dan ada
yang memiliki kontrol diri yang rendah. Individu yang memiliki kontrol diri
yang tinggi, mampu untuk mengubah kejadian dan menjadi agen utama dalam
mengarahkan dan mengatur perilaku yang membawa kepada konsekuensi
positif. Terkadang suatu perilaku menghasilkan konsekuensi positif tetapi ada
kemungkinan menghasilkan konsekuensi negatif. Oleh karena itu, kontrol diri
16. 16
selain berubah kemampuan untuk mendapatkan konsekuensi positif juga
merupakan kemampuan untuk mengatasi konsekuensi negatif (Widiana, dkk,
2004).
Berkaitan dengan pengertian kontrol diri, beberapa psikolog penganut
behaviorisme memberikan batasan-batasan. Batasan tersebut adalah sebagai
berikut, seseorang menggunakan kontrol dirinya bila demi tujuan jangka
panjang, individu dengan sengaja menghindari melakukan perilaku yang biasa
dikerjakan atau yang segera memuaskannya yang terjadi secara bebas tetapi
malah menggantinya dengan perilaku yang kurang biasa dikerjakan atau yang
segera memuaskannya yang kurang biasa atau menawarkan kesenangan yang
tidak segera dirasakan (Mufidah,2008)
Ketika berinteraksi dengan orang lain, seseorang akan berusaha
menampilkan perilaku yang dianggap paling tepat bagi dirinya, yaitu perilaku
yang dapat menyelamatkan interaksinya dari akibat negative yang disebabkan
karena respons yang dilakukannya. Kontrol diri diperlukan guna membantu
individu dalam mengatasi berbagai hal merugikan yang mungkin terjadi yang
berasal dari luar (Gufron & Risnawati, 2011)
Skiner menyatakan bahwa kontrol diri merupakan tindakan diri dalam
mengontrol variable-variabel luar yang menentukan tingkah laku, dan tingkah
laku dapat dikontrol melalui beberapa cara yaitu menghindar, penjenuhan,
stimuli yang tidak disukai, dan memperkuat diri (Alwisol, 2009).
Setiap orang membutuhkan pengendalian diri, begitu juga para remaja.
Namun kebanyakan dari mereka belum mampu mengontrol dirinya, karena dia
belum mempunyai pengalaman yang memadai untuk dirinya. Dia akan sangat
peka karena pertumbuhan fisik dan seksual yang berlangsung dengan cepat,
sebagai akibat dari pertumbuhan fisik dan seksual yang tersebut terjadi
kegoncangan dan kebimbang dalam dirinya terutama dalam pergaulan terhadap
lawan jenis ( Panuju & Umami, 1999)
Berdasarkan beberapa pengertian di atas, maka dapat disimpulkan
bahwa kontrol diri adalah keyakinan serta kemampuan seseorang untuk
menyusun, membimbing, mengatur dan mengarahkan pikiran, perilaku dan
17. 17
keputusannya dalam melakukan sesuatu dengan mempertimbangkan kebutuhan
dan konsekuensi yang akan dihasilkan.
2.2.2.2 Aspek-Aspek Kontrol Diri
Berdasarkan konsep Averill (1973), terdapat 3 jenis kemampuan mengontrol
diri yang meliputi 3 aspek. Averill menyebut kontrol diri dengan sebutan
control personal, yaitu kontrol (behavioral control), kontrol kognitif (cognitive
control), dan mengontrol kepuasan (decisional control) control.
a) Behavioral control (Kontrol Perilaku), merupakan kesiapan atau
tersedianya suatu respon yang dapat secara langsung mempengaruhi atau
memodifikasi suatu keadaan yang tidak menyenangkan. Kemampuan
mengontrol perilaku ini diperinci menjadi dua komponen, yaitu mngatur
pelaksanaan (regulated administrion) dan kemampuan memodifikasi
stimulus (stimulis modifiability). Kemampuan mengatur pelaksanaan
merupakan kemampuan individu untuk menentukan siapa yang
mengendalikan keadaan, dirinya sendiri atau suatu yang ada di luar dirinya.
Kemampuan mengatur stimulus merupakan kemampuan untuk mengetahui
bagaimana dan kapan suatu stimulus yang tidak dikehendaki di hadapi.
b) Cognitive control (Kontrol pikiran), merupakan kemampuan individu
dalam mengelola informasi yang tidak diinginkan dengan cara
menginterpretasi, menilai atau menggabungkan suatu kejadian dalam suatu
kerangka kognitif sebagai adaptasi psikologis atau untuk mengurangi
tekanan . Aspek ini terdiri dari dua komponen, yaitu memperoleh informasi
dan melakukan penilaian. Dengan informasi yang dimiliki oleh individu
mengenai suatu keadaan yang tidak menyenangkan, individu dapat
mengantisipasi keadaan dengan berbagai pertimbangan. Melakukan
penilaian berarti individu berusaha menilai dan menafsirkansuatu keadaan
atau peristiwa dengan cara memperhatikan segi-segi positif secara
subjektif.
c) Decisional control (Kontrol pengambilan keputusan), merupakan
kemampuan seseorang untuk memilih suatu tindakan berdasarkan pada
suatu yang sudah diyakini atau disetujuinya. Kontrol diri dalam
menentukan pilihan akan berfungsi baik dengan adanya suatu kesempatan,
18. 18
kebebasan, atau kemungkinan pada diri individu untuk memilih berbagai
kemungkinan tindakan.
Berdasarkan dari aspek-aspek kontrol diri, ada 3 jenis kemampuan
mengontrol diri dengan Behavioral control kontol perilaku dan mengantur
stimulus, Cognitive control mampu mengelola informasi dan menilai keadaan,
Decisional control mampu mengambil keputusan dan mengambil tindakan.
Ketiga aspek ini sangat di butuhkan dan saling terkait satu sama lain.
2.3 Kerangka Berfikir
Kerangka berfikir merupakan sintesis tentang hubungan antara dua
variabel yang disusun dari berbagai teori yang telah di deskripsikan. Menurut
sugiyono, kerangka pemikiran merupakan sintesa tentang hubungan antara
variabel yang disusun dari berbagai teori yang di deskripsikan.
Kerangka berfikir dalam penelitian ini adalah bahwa self- control
dalam menangani siswa yang memiliki tingkat narsistik yang tinggi. Setelah
siswa mendapatkan terapi di harapkan siswa memiliki kesadaran diri akan
pentingnya dampak beperilaku narsisitik dan diharapkan dengan adanya
pemberian tritmen konseling kelompok dengan teknik self control tingkat
narsistik siswa dalam memposting di instagram menurun.
Berikut ini merupakan kerangka berfikir.
Narsistik
a. Remaja sering bermain di sosial media sehingga mengganggu aktifitas
belajar.
b. Remaja membuat caption, dan memberi komentar-komentar dengan
menggunakan kata-kata kasar
c. Remaja memposting foto-foto dan video-video agar dirinya mendapat pujian
b. Remaja membuat postingan yang melanggar norma hanya karena ingin
viral.
Konseling kelompok dengan
teknik self control
19. 19
2.4 Hipotesis
Hipotesis diartikan sebagai jawaban sementara terhadap rumusan
masalah penelitian. Hipotesis merupakan jawaban yang bersifat sementara
terhadap rumusan masalah atau sub masalah yang diajukan oleh peneliti dan
dijabarkan melalui landasan teori dan masalah harus diuji kebenarannya
melalui data yang dikumpulkan melalui penelitian yang ilmiah. Adapun
hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah narsistik yang tinggi dapat
diturunkan dengan layanan konseling kelompok dengan teknik self control
pada peserta didik di SMA Negeri 1 Boyolangu tahun pelajaran 2019/2020.
Berdasarkan konsep hipotesis penelitian yang diajukan maka untuk menguji
hipotesis tersebut, hipotesis diubah terlebih dahulu menjadi hipotesis statistik,
yaitu:
Ho: layanan konseling kelompok dengan teknik diskusi belum efektif
untuk meningkatkan narsistik pada peserta didik di SMA Negeri 1 Boyolangu
tahun pelajaran 2019/2020.
Ha: layanan konseling kelompok dengan teknik diskusi efektif untuk
meningkatkan narsistik pada peserta didik di SMA Negeri 1 Boyolangu tahun
pelajaran 2019/2020
Adapun hipotesis statistiknya adalah sebagai berikut:
H0 : µ1 ≠ µ0
H1 : µ1= µ0
Pre-test Post-test
Penurunan narsisitik
siswa pengguna instagram
20. 20
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Rancangan Penelitian
Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian kuantitatif quansi
eksperimental, karena untuk mengetahui penurunan tingkat narsistik siswa
pengguna instagram dengan teknik self control dan data-data yang didapat berupa
data tertulis dan lisan. Sebagaimana definisi metode penelitian kuantitatif yaitu
metode penelitian yang berlandaskan pada filsafat positivism, digunakan untuk
meneliti pada populasi atau sampel tertentu, pengumpulan data menggunakan
instrumen penelitian, analisis data bersifat kuantitatif/statistik, dengan tujuan
untuk menguji hipotesis yang telah ditetapkan.
Jenis desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah Pre-test and Post-
test Control Group Design. Desain ini merupakan desain eksperimen yang
dilakukan dengan jalan melakukan pengukuran awal sebelum perlakuan diberikan
dan setelah perlakuan pada kelompok eksperimen dan kelompok kontrol yang
ditetapkan.
Maka dalam metode pengukuran dilakukan sebanyak dua kali yaitu
sebelum dan sesudah perlakuan. Langkah pertama yang dilakukan adalah dengan
pengukuran (pre-test), dengan menggunakan skala perilaku yang berkaitan dengan
narsistik kemudian diberikan perlakuan dalam jangka waktu tertentu dengan
menggunakan layanan konseling kelompok dengan teknik diskusi.
Kemudian dilakukan pengukuran kembali (post-test) dengan
menggunakan skala yang sama yaitu skala perilaku yang berkaitan dengan self
control guna melihat ada atau tidaknya pengaruh perlakuan yang diberikan
terhadap subjek yang diteliti. Desain penelitian dapat digambarkan sebagai
berikut:
Pengukuran
(Pretest) Perlakuan
Pengukuran
(Posttest)
E O1 X O2
K O3 X O4
Pola Pretest-Posttest Kontrol Group
21. 21
E : kelompok eksperimen
K : kelompok kontrol
O1 dan O3 : pengukuran awal narsistik pada peserta didik kelas XI di SMA
Negeri 1 Boyolangu sebelum diberikan perlakuan akan diberikan pre-test.
Pengukuran dilakukan dengan memberikan skala narsistik. Jadi, pada pre-test ini
merupakan mengumpulkan data siswa yang memiliki narsistik tinggi dan belum
mendapat perlakuan
X : pemberian perlakuan dengan menggunakan layanan konseling
kelompok dengan teknik diskusi kepada peserta didik
Definisi Operasional
Variabel Definisi operasional Alat
Ukur
Hasil
Ukur
Skala
Ukur
Variabel
independen:
Teknik Self
Control
Teknik Self Control merupakan
teknik terapi konseling behavior
yang membantu konseli untuk
mengembangkan kecakapan
individu dalam kepekaan
membaca situasi diri dan
lingkungannya serta kemampuan
untuk mengontrol dan mengelola
factor-faktor perilaku sesuai
dengan situasi dan kondisi untuk
menampilkan diri dalam
melakukan sosialisasi.
Berdasarkan dari aspek-aspek
kontrol diri, ada 3 jenis
kemampuan mengontrol diri
dengan Behavioral control
kontol perilaku dan mengantur
stimulus, Cognitive control
mampu mengelola informasi dan
menilai keadaan, Decisional
- - -
22. 22
control mampu mengambil
keputusan dan mengambil
tindakan. Ketiga aspek ini sangat
di butuhkan dan saling terkait
satu sama lain.
Variabel
dependen:
narsistik
Narsistik adalah pola
kepribadian yang didominasi
oleh perasaan dirinya hebat,
senang dipuji dan dikagumi serta
tidak ada rasa empati,
kepribadian narsistik memiliki
perasaan yang kuat bahwa
dirinya adalah orang yang sangat
penting serta merupakan
individu yang unik. Mereka
sangat sulit sekali menerima
kritikan dari orang lain, sering
ambisius, dan mencari
ketenangan (Ardani,2011).
- - -
3.2 Data Penelitian
Adapun populasi yang peneliti ambil adalah wilayah generalisasi yang
terdiri atas; subjek atau objek dengan kualitas dan karakteristik tertentu yang
ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulan. Pada
penelitian ini populasi yang diambil adalah kelas XI MIA 2, XI MIA 5 dan XI IIS
1 1, XI IIS 2 SMA Negeri 1 Boyolangu Tulungagung dengan jumlah 120 peserta
didik.
Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh
populasi. Pada penelitian ini penulis menggunakan teknik purposive sampling
(pengambilan sampel berdasarkan tujuan). Dalam hal ini peserta didik diberikan
skala narsistik yang berupa angket pernyataan pada peserta didik kelas XI MIA 2,
XI MIA 5 dan XI IIS 1 1, XI IIS 2 yang kemudian diperoleh jumlah peserta didik
23. 23
yang memiliki narsistik tinggi. Skala narsistik berfungsi menjaring peserta didik
yang memiliki narsistik tinggi dengan pretest untuk mendapatkan sampel
penelitian dengan kriteria yang telah ditentukan kemudian akan diberikan layanan
teknik kontrol diri dengan teknik diskusi sebagai treatmen.
Kriteria dalam menentukan sampel adalah:
a. peserta didik kelas XII SMA Negeri 1 Boyolangu Tulungagung Tahun
Pelajaran 2020/2021;
b. peserta didik yang terindikasi memiliki narsistik tinggi dengan skor
narsisik 57 – 81
c. bersedia menjadi responden dalam penelitian ini.
Adapun teknik pengumpulan data dari penelitian ini sebagai berikut:
1. Angket (Kuesioner)
Merupakan metode yang dilakukan untuk mengumpulkan data dengan
cara membagi daftar pertanyaan atau pernyataan yang berkaitan dengan
narsistik kepada responden agar ia memberikan jawabannya. Pada penelitian
ini angket yang digunakan untuk proses pengumpulan data yaitu dalam bentuk
pernyataan mengenai narsistik
2. Wawancara
Dalam penelitian ini menggunakan teknik wawancara terstruktur.
Wawancara digunakan sebagai teknik pengumpulan data apabila ingin
melakukan studi pendahuluan untuk menemukan permasalahan yang harus
diteliti, tetapi juga apabila peneliti ingin mengetahui hal-hal dari responden
yang lebih mendalam. Metode ini digunakan untuk memperoleh informasi dari
Guru Konseling dan Konseling SMA Negeri 1 Boyolangu dan peserta didik
SMA Negeri 1 Boyolangu, terkait dengan layanan konseling kelompok dalam
menurunkan tingkat narsistik siwa pengguna instagram
3. Observasi
Berdasarkan tujuan pada penelitian ini observasi digunakan untuk
mengamati perilaku subjek penelitian dalam hal gejala-gejala narsistik. Pada
penelitian ini gejala yang dimaksud ialah karakteristik perilaku yang berkaitan
narsistik. Teknik observasi yang digunakan adalah observasi terstruktur,
24. 24
karena peneliti hanya akan meneliti perilaku atau hal-hal yang termasuk dalam
kriteria narsistik.
3.2.1 Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian yang digunakan untuk mengukur data kuantitatif
yang akurat harus mempunyai skala. Sugiyono menjelaskan bahwa skala
pengukuran merupakan kesepakatan yang digunakan sebagai acuan untuk
menentukan panjang pendeknya interval yang ada dalam alat ukur. Skala yang
digunakan dalam pengukuran setiap variabel dalam penelitian ini adalah skala
Likert. Hal ini dikarenakan skala Likert digunakan untuk mengukur sikap,
pendapat, dan persepsi seseorang atau sekelompok orang tentang fenomena sosial.
Menurut Suharsimi Arikunto skala Likert merupakan suatu ukuran subjektif yang
dibuat berskala. Skala ini terdiri dari sejumlah pernyataan yang meminta reaksi
responden. Reaksi itu harus diungkapkan dari tingkat sangat sesuai sampai sangat
tidak sesuai. Skala tersebut memiliki dua item yaitu favourable dan unfavourable.
Setiap item pada kelompok pernyataan tersebut memiliki lima pilihan jawaban
yaitu Sangat Sesuai (SS), Sesuai (S), Ragu-ragu (R), Tidak Sesuai (TS), dan
Sangat Tidak Sesuai (STS).
Namun dalam penelitian ini pilihan jawaban yang digunakan mengalami
modifikasi menjadi empat pilihan jawaban, yaitu Sangat Sesuai (SS), Sesuai (S),
Tidak Sesuai (TS), dan Sangat Tidak Sesuai (STS) sehingga menjadikan skala ini
sebagai skala modifikasi. Hal ini dikarenakan untuk menghindari nilai tengah
pada skala tersebut. Menurut Sugiyono, penggunaan dengan skala ini dengan
alasan menghemat waktu dan tenaga karena dapat digunakan serentak serta lebih
efisien dalam mengukur variabel. Selain itu, penggunaan empat alternatif jawaban
ini didukung oleh pendapat Arikunto, yang mengatakan bahwa ada kelemahan
dengan lima alternatif karena responden cenderung memilih alternatif yang ada di
tengah (karena dirasa aman dan mudah karena hampir tidak berfikir), maka
disarankan alternatif jawabannya hanya empat saja. Oleh karena itu penulis
memilih menggunakan skala likert dengan empat pilihan jawaban, untuk melihat
tingkat narsistik peserta didik.
25. 25
3.2.2 Rancangan Pemberian Treatmen
1) Tahap pertama Sebelum pelaksanakan treatment kepada peserta didik
kelompok eksperiment dan kelompok kontrol dibagikan angket pre-test. Pretest
ini perlu dilakukan untuk mengetahui apakah kecenderungan narsistik dapat
dipengaruhi melalui layanan konseling kelompok dengan teknik self control.
2) Pemberian Treatment (perlakuan) Setelah kedua kelompok diberikan pretest
dan dianggap sepadan, maka tahap selanjutnya adalah melakukan Treatment /
perlakuan yang diberikan pada kelas eksperiment berupa konseling kelompok
dengan teknik self control, sedangkan pada kelas kontrol menggunakan layanan
konseling kelompok dengan menggunakan teknik time out pemberian
treatment/perlakuan akan dilakukan dengan 4 tahap inti dengan waktu 45 menit
dapat dilihat pada table 10 dalam setiap tahapan dilakuan sebanyak 2-3 kali
pertemuan untuk dapat memaksimalkan tercapainya tujuan kegiatan-kegiatan
yang akan dilaksanakan,adapun tahap-tahapannya dapat dilihat pada tabel di
bawah ini
Rancangan Pemberian treatment konseling kelompok dengan teknik self control
untuk mereduksi kecenderungan narsistik
No Pertemuan Kegiatan Jumlah
pertemuan
waktu
1. 1 Assesment dan Diagnose 2-3 pertemuan 45 menit
2. 2 Menetapkan tujuan dengan
mengetahui Kebutuhan
peserta didik
2-3 pertemuan 45 menit
3. 3 Implementasi teknik Self
control
2-3 pertemuan 45 menit
4. 4 Evaluasidan Pengakhiran
dalam sesi kelompok
2-3 pertemuan 45 menit
3. Tahap ketiga, Post-test Yaitu Post-test langkah terakhir sekaligus langkah
pengawasan ini dengan memberikan angket sama seperti tahap pre-test.
darihasilnya berupa data kemampuan akhir peserta didik yang digunakan untuk
26. 26
mengetahui pengaruh yang ditimbulkan akibat dari perlakuan yang telah diberikan
oleh penulis.
4. Evaluation Termination Langkah pada pertemuan ini menanyakan peserta
didik tentang apa yang telah dipahami, bagaimana perasaannya, dan apa yang
akan dilakukannya setelah mengikuti proses konseling dan membahas tugas-tugas
yang harus dilakukan lalu mengakhiri proses konseling dengan ucapan
terimakasih pada peserta didik.
3.3 Teknik pengolahan dan analisis data
1. Teknik Pengolahan Data Pengolahan data diterapkan pada saat semua data
sudah terkumpul, untuk mempermudah proses olah data maka perlu dilakukan
persiapan, diantaranya
a. (pengeditan data), merupakan kegiatan untuk pengecekan dan perbaikan isian
formulir atau kuisioner jawaban-jawaban pertanyaan konsisten dengan jawaban
pertanyaan yang lainnya.
b. Coding (pengkodean), setelah melakukan editing, selanjutnyadilakukan
pengkodeanyakni mengubah data berbentuk kalimat atau huruf menjadi data
angka atau bilangan.
c. pada tahap Processing pemprosesan data dengan memasukan data dari seluruh
skala yang terkumpul kedalam program SPSS 16.
d. Cleaning (pembersihan data), untuk melihat kemungkinan-kemungkinan
adanya kesalahan-kesalahan kode dan ketidak lengkapan, kemudian dilakukan
pembetulan atau koreksi merupakan pengecekan kembali data yang sudah dientri.
2. Analisis data Analisis data merupakan proses ketika data dari responden sudah
terkumpul, Perolehan data tersebut dari hasil angket, melalui pengelompokan
dalam setiap kategori, menguraikan, dan menarik kesimpulan agar mudah ditelaah
oleh pembaca, Keberhasilan dalam penelitian dapat diketahui apabila adanya
peserta didik yang mengalami penurunan, untuk mengetahui hal tersebut maka
peneliti menggunakan uji Wilcoxon.
27. 27
DAFTAR PUSTAKA
Amiruddin. 2012. Layanan Konseling Belajar Untuk Meningkatkan Self- Control
Siswa Yang Prokastinasi Akademik: Studi Kasus Siswa KelasVII SMP Jati
Agung Sidoarjo 2011/2012. Tesis. Surabaya: UIN Sunan Ampel
Campbell, W. K. & Miller, J. D. 2011. The Handbook of Narcissism and
Narcissistic Personality Disorder: Theoretical Approaches, Empirical Finding and
Treatments. New Jersey: John Wiley & Sons, Inc.
Chaplin, J. P. 2009. Kamus Lengkap Psikologi. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Dhianty, M. A. 2016. Kecenderungan Narsistik Pengguna Media Sosial Path Pada
Siswa Kelas 12 SMU AL-Kautsar Bandar Lampung, skripsi. Universitas
Lampung Bandar Lampung.
Hadi, S. 2010. Statistik jilid 2. Yogyakarta: Penerbit Andi.
Hurlock, E. B. 1980. Psikologi Perkembangan Suatu Pendekatan Rentang
Kehidupan. Edisi kelima. Jakarta: Erlangga
Komalasari, Gantina dkk. 2011. Teori dan Teknik Konseling. Jakarta: Permata
Puri Media.
Nurihsan, A. 2009. Konseling dan Konseling dalam Berbagi Latar Kehidupan.
Bandung Refika Adita
Pangastuti, H. 2015. Hubungan Antara Narsisme Dengan Presentasi Diri Pada
Pengguna Jejaring Sosial Facebook. Skripsi. Universitas Muhammadiyah
Surakarta
Prayitno dan Amti, E. 2004. Dasar-Dasar Konseling dan Konseling. Jakarta:
Rineka Cipta RS.
Satmoko. 2002. Psikologi tentang penyesuaian hubungan kemanusian edisi ke 3
Santrock, J.W. 2003. Adolesence (Perkembangan Remaja). Jakarta: Erlangga.
Sugiyono. 2006. Statistik untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta.
Sukardi, DK. 2003. Pengantar Pelaksanaan Program Konseling dan Konseling di
Sekolah. Jakarta: Rineka Cipta.
Winkel, WS dan M.M Sri Hastuti. 2004. Konseling dan Konseling di Institusi
Pendidikan. Yogyakarta: Media Abadi
Winkel dan Sri Hastuti, 2008. Konseling dan Konseling Kelompok. Jakarta:
Rineka Cipta