Buku ini membahas pentingnya pengembangan kapasitas pemerintahan desa dan pelayanan di tingkat desa untuk mendukung peran strategis desa. Desa merupakan entitas pemerintahan terdepan yang berhubungan langsung dengan masyarakat, namun kapasitasnya perlu ditingkatkan seiring perubahan zaman. Beberapa tantangan yang dihadapi antara lain minimnya SDM di desa, keterbatasan dana pembangunan, serta lemahnya partisipasi
emka_Slide Recall Modul Melakukan Perencanaan PBJP Level 1 V3.1.pptx
Pengembangan Kapasitas Desa dan Pengembangan Pelayanan di Tingkat Desa
1. DAFTAR ISI
DAFTAR ISI.......................................................................................................... i
DAFTAR TABEL ................................................................................................ iii
DAFTAR BAGAN................................................................................................ iv
DAFTAR GAMBAR..............................................................................................v
KATA PENGANTAR.......................................................................................... vi
BAB I PENDAHULUAN...................................................................................
A. General Frameworking of Thinking.................................................
B. Maksud dan Tujuan..........................................................................
C. Alur Berfikir.....................................................................................
D. Output Kegiatan ...............................................................................
E. Tema dan Topik Bahasan.................................................................
BAB II SEMESTA DESA : PEMERINTAHAN, PEMBANGUNAN DAN
KEMASYARAKATAN.........................................................................
A. Pendahuluan.....................................................................................
B. Konsep Dasar : Desa Vs Pedesaan...................................................
C. Otonomi Desa = Desa Mandiri ........................................................
D. Kebijakan Nasional..........................................................................
E. Kedudukan Desa ..............................................................................
F. Kewenangan Desa............................................................................
G. Perencanaan Desa.............................................................................
H. Alokasi Dana (ADD)........................................................................
I. Badan Usaha Milik Desa (BumDes)................................................
J. BPD dan Demokrasi Desa................................................................
K. Perangkat Desa.................................................................................
L. Pemberdayaan Masyarakat...............................................................
M. Tujuan dan Agenda Reformasi Desa................................................
BAB III ARAH PENGATURAN DESA DALAM RUU DESA.......................
A. Landasan Umum Pengaturan Desa ..................................................
B. Pembentukan dan Perubahan Desa ..................................................
C. Kewenangan Desa............................................................................
D. Penyelenggaraan Pemerintahan Desa ..............................................
E. Peraturan Desa .................................................................................
F. Perencanaan Pembangunan Desa.....................................................
G. Keuangan Desa.................................................................................
H. Kerjasama Desa................................................................................
I. Lembaga Kemasyarakatan ...............................................................
2. J. Badan Usaha Milik Desa dan Pembinaan dan Pengawasan.............
BAB IV PENGUATAN PEMERINTAHAN DESA (PENGALAMAN
EMPIRIK KEPEMIMPINAN DESA).................................................
A. Kewenangan Desa dan Kelurahan .....................................................
B. Keuangan Desa...................................................................................
C. Kelembagaan......................................................................................
D. Personil...............................................................................................
E. Implementasi Kebijakan.....................................................................
F. Peta Masalah Desa .............................................................................
BAB V INTISARI SESSI DISKUSI....................................................................
BAB VI PENUTUP ................................................................................................
A. Kesimpulan.........................................................................................
B. Saran dan Rekomendasi .....................................................................
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
3. DAFTAR TABEL
Tabel 1.1 Perbedaan Konsep “Membangun Desa” dan “Desa
Membangun”.........................................................................................
Tabel 1.2 Model Kelembagaan Perencanaan Desa Dalam Konteks “Desa
Membangun”.........................................................................................
Tabel 1.3 Tiga Model Kebijakan ADD di Tingkat Daerah...................................
Tabel 1.4 Wadah Demokrasi Desa........................................................................
Tabel 1.5 Potret Desa Ideal ..................................................................................
Tabel 2.1 Persandingan Peraturan Desa dalam PP No.72 Tahun 2005
Tentang Desa dan RUU Tentang Desa................................................
Tabel 2.2 Perbandingan Perysaratan Perubahan Desa Menjadi Keluarahan
Dalam PP No. 72 Tahun 2005 dan RUU Desa....................................
4. DAFTAR BAGAN
Bagan 1 Konsep Dasar.......................................................................................
Bagan 2 Besaran Kewenangan dan Skala Kekuasaan........................................
5. DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 Alur Fikir Pengembangan Kapasitas Pemerintahan Desa dan
Pengembangan Pelayanan di Tingkat Desa.........................................
Gambar 2 Tata Cara Pembentukan Desa Dalam RUU Desa................................
6. KATA PENGANTAR
Buku ini merupakan proceeding dari hasil Workshop yang mengangkat judul
”Pengembangan Kapasitas Desa dan Pengembangan Pelayanan di Tingkat Desa”,
yang diselenggarakan oleh PKP2A III LAN Samarinda. Workshop ini didasari oleh
pemikiran bahwa adanya anggapan bahwa pemerintahan desa merupakan
penyelenggara pemerintahan pada level “alas kaki”, merupakan pemahaman yang a-
historis, reduksionalis dan illogic. Pandangan yang melihat bahwa “otonomi desa”
merupakan “anugerah” dari tindak karitatif negara, dan bukan kedaulatan asli yang
melekat pada eksistensi historis entitas yang bernama desa, merupakan kesalahan
paradigmatik dan cara berpikir kronis.
Desa pada awalnya merupakan organisasi komunitas lokal yang mempunyai
batas-batas wilayah, dihuni oleh sejumlah penduduk dan mempunyai adat istiadat
untuk melakukan pengelolaan sendiri secara otonom tanpa ikatan hirarkhis-struktural
dengan struktur yang lebih tinggi, yang disebut dengan self-governing community.
Penyelenggaraan pemerintahan desa merupakan suatu sub sistem penyelenggaraan
pemerintahan daerah, dan pemerintahan desa merupakan unit terdepan dalam
pelayanan kepada masyarakat, serta menjadi tonggak strategis untuk keberhasilan
semua program. Desa akan menjadi garis depan pemerintahan, jika desa mampu
melaksanakan fungsi-fungsi pemerintahan dengan baik. Di era desentralisasi ini
sudah saatnya masyarakat desa diberikan kesempatan dan kewenangan yang luas
untuk melakukan pengelolaan pembangunan pemerintahan desanya.
Desa sebagai sebuah kawasan yang otonom memang diberikan hak-hak
istimewa, diantaranya adalah terkait pengelolaan keuangan dan alokasi dana desa,
pemilihan kepala desa serta proses pembangunan desa. Namun, di tengah pemberian
otonomisasi desa tersebut masih ada jerat-jerat intervensi pemerintah tingkat atas
urusan-urusan yang telah diserahkan. Selain itu otonomi desa juga tidak dibarengi
dengan peningkatan kapasitas SDM-nya, sehingga pelaksanaannya masih jauh dari
harapan. Padahal otonomisasi desa hendaknya dibarengi dengan penguatan kapasitas
SDM dan penguatan dalam beberapa aspek lainnya seperti aspek kewenangan dan
kelembagaan, agar tujuan dan harapan dari adanya otonomi desa itu sendiri dapat
terwujud dan terlaksana dengan baik.
Selain itu Pemerintah Desa perlu terus dikembangkan sesuai dengan
kemajuan masyarakat desa dan lingkungan sekitarnya agar dapat menjalankan
peranannya secara efektif dan efisien. Dengan perkataan lain, perubahan sosial yang
terjadi pada masyarakat desa karena adanya gerakan pembangunan desa perlu
diimbangi pula dengan pengembangan kapasitas Pemerintahan Desanya.
Akhir kata, kami menyadari sepenuhnya bahwa karya ini masih sangat jauh
dari sempurna. Oleh karena itu, saran dan kritik dari berbagai pihak sangat kami
nantikan dengan tangan dan hati terbuka lebar. Walaupun kami sadar bahwa buku ini
masih sangat dangkal, kami tetap berharap bahwa karya sederhana ini dapat
7. menghasilkan manfaat yang optimal bagi bangsa dan negara umumnya dan
Kalimantan pada khususnya.
Samarinda, November 2009
Kepala PKP2A III LAN,
Dr. Meiliana, SE., MM.
8. BAB I
PENDAHULUAN
A. General Frameworking of Thingking
Anggapan bahwa pemerintahan desa merupakan penyelenggara
pemerintahan pada level “alas kaki”, merupakan pemahaman yang a-historis,
reduksionalis dan illogic. Pandangan yang melihat bahwa “otonomi desa” (kini
muncul pemahaman yang beragam) merupakan “anugerah” dari tindak karitatif
negara, dan bukan kedaulatan asli (genuine) yang melekat pada eksistensi
historis entitas yang bernama desa, merupakan kesalahan paradigmatik dan
fallacy (cara berpikir) kronis.
Desa merupakan entitas pemerintahan yang langsung berhubungan
dengan rakyat. Hal itu menyebabkan desa memiliki arti sangat strategis sebagai
basis penyelenggaraan pelayanan publik dan memfasilitasi pemenuhan hak-hak
publik rakyat lokal. Sejak masa penjajahan Hindia Belanda sekalipun,
pemerintah kolonial telah menyadari peran strategis desa dalam konstelasi
ketatanegaraan pada masa itu.
Untuk dapat menjalankan peranannya secara efektif dan efisien,
pemerintah desa perlu terus dikembangkan sesuai dengan kemajuan masyarakat
desa dan lingkungan sekitarnya. Dengan perkataan lain, perubahan sosial yang
terjadi pada masyarakat desa karena adanya gerakan pembangunan desa perlu
diimbangi pula dengan pengembangan kapasitas pemerintahan desanya.
Saat ini terdapat realitas banyaknya desa tertinggal yang disebabkan
oleh minimnya infrastruktur, terbatasnya jumlah sumber daya manusia serta
kurang efektifnya pelayanan pemerintah baik pusat maupun daerah, diperparah
dengan keterbatasannya dana pembangunan desa yang dialokasikan dalam
APBD maupun APBN. Selain itu ketertinggalan desa juga disebabkan karena
sulitnya desa keluar dari:
1. Kebijakan pembangunan yang terlalu bertumpu pada dimensi sektoral
(parsial, ego sektoral);
2. Kebijakan yang sering berorientasi jangka pendek (orientasi proyek) dan
pragmatis;
3. Orientasi pelayanan publik yang bergeser pada orientasi politis;
4. Belum dimasukkannya dimensi spasial dalam perencanaan pembangunan.
Diabaikannya dimensi spasial membuat warna pembangunan daerah
ditentukan “mekanisme pasar”. Akibatnya modal dan orang cenderung
memilih daerah yang menawarkan return yang lebih tinggi dan menarik, yang
pada gilirannya daerah yang maju semakin maju, yang tertinggal tetap
tertinggal
9. Langkah konkret upaya pembangunan desa antara lain berupa lahirnya
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang
merupakan pengganti beberapa peraturan perundangan mengenai pemerintah
desa. Salah satu tujuan dikeluarkannya UU No 32 Tahun 2004 adalah guna
memodernisasikan Pemerintahan Desa serta meningkatkan kemampuan
perangkat pemerintahan desa dan aparatur kelurahan, agar senantiasa mampu
memberikan pelayanan secara efektif sesuai tuntutan masyarakat. UU No 32
Tahun 2004 tersebut mengakui adanya otonomi desa, dan dengan adanya
otonomi desa tersebut diharapkan desa akan menjadi mandiri. Kemandirian itu
dipengaruhi beberapa faktor seperti: desentralisasi kewenangan, penguatan
keuangan desa, penguatan kelembagaan desa dan kelembagaan masyarakat,
kapasitas dan perangkat desa (SDM) serta pemberdayaan masyarakat desa.
Secara umum Alokasi Dana Desa (ADD) atau yang di beberapa daerah
dikenal juga dengan istilah Perimbangan Keuangan Kabupaten dan Desa atau
juga fiskal transfer ke desa memang cukup mampu mendorong desa untuk lebih
berkembang. Meskipun demikian, masih ada beberapa catatan hambatan dan
tantangan ke depan. Hambatan yang paling terasa di beberapa daerah terdapat
pada kesiapan aparatur pemerintahan desa. Pengalaman yang baru ini diakui oleh
semua pihak masih membutuhkan waktu untuk belajar banyak bagaimana
mengelola secara mandiri pembangunan di desa. Kesenjangan kemampuan
antara aparatur pemerintahan kabupaten dan desa yang disebabkan oleh
perbedaan jam terbang ini masih menjadi penghambat kelancaran implementasi
ADD. Kelemahan perangkat dan aparatur pemerintah desa tersebut menjadi
sumber kelemahan administrasi desa. Inilah masalah yang paling sering terjadi
sehingga menjadi titik lemah bagi kelancaran pencairan dana maupun
pertanggung jawaban kepala desa. Kelemahan SDM dalam pemerintahan desa,
khususnya dalam pengelolaan keuangan tersebut malah menjadikan banyaknya
kasus penyimpangan anggaran. Dengan pemberian kewenangan pengelolaan
keuangan desa berdasarkan Permendagri 37/2007, dan adanya Alokasi Dana
Desa berdasarkan PP 72/2005, yang terjadi adalah semakin banyak kasus
penyelewengan dan memperkaya diri yang dilakukan oleh kepala desa yang
akhirnya menghambat kemajuan dan kemakmuran suatu desa.
Sebenarnya kasus penyimpangan anggaran juga berangkat dari tidak
adanya partisipasi aktif dari masyarakat untuk terlibat dalam pelaksanaan
pembangunan desa. Seharusnya masyarakat ikut terlibat mulai dari tahap
perencanaan (Musrenbang Desa) sampai pada pelaksanaan dan pengawasan
pembangunan desa serta pertanggungjawabannya. Dalam konteks governance
pun, partisipasi menempatkan masyarakat pada posisi yang sebenarnya. Satu
elemen pokok dalam strategi pembangunan nasional juga mengarah pada
partisipasi masyarakat. Hal ini telah muncul sebagai salah satu elemen inti
pembangunan dengan mengacu pada sejumlah alasan berikut. Pertama,
partisipasi masyarakat desa merupakan suatu perangkat ampuh untuk
memobilisasi sumber daya lokal, mengorganisir serta membuka tenaga, kearifan
10. dan kreatifitas masyarakat demi lajunya aktivitas pembangunan. Kedua,
partisipasi masyarakat desa juga akan membantu upaya identifikasi dini terhadap
kebutuhan masyarakat dan membantu mengatur aktivitas pembangunan agar
mampu memenuhi kebutuhan yang ada. Di atas itu semua, partisipasi masyarakat
desa merupakan cerminan pengakuan (legitimacy) mereka atas proyek maupun
aktivitas, menumbuhkan komitmen masyarakat desa dalam implementasi
program dan demi penguatan daya tahan program. Pengalaman beberapa tahun
terakhir menyiratkan bahwa ada keterkaitan signifikan antara tingkat intensitas
partisipasi masyarakat desa dengan keberhasilan aktivitas pembangunan.1
Disamping itu pengalaman desa dalam hal perencanaan juga bisa
dibilang masih sangat lemah. Hal ini sangat difahami karena peranan desa
selama ini hanya pengusul program yang disampaikan kepada supra desa. Tentu
saja mereka tidak memiliki kemampuan di bidang perencanaan desa yang
menjadi bagian penting ketika desa harus mengelola dana. Hal ini tentu saja
semakin menghambat proses kemajuan, perkembangan dan penguatan kapasitas
desa.
Oleh karenanya, peningkatan SDM Desa adalah salah satu hal mutlak
yang perlu dikembangkan. Beberapa hal yang bisa dilakukan antara lain,
kemampuan perangkat desa menyusun rencana desa, bahkan rencana jangka
menengah desa, kemampuan administrasi desa, dan kemampuan dalam
menyusun peraturan desa (Perdes) tentang APBDesa dan Perdes tentang
Pungutan Desa. Bahkan desa juga sudah bisa mulai memikirkan peningkatan
SDM warganya.
B. Maksud Dan Tujuan
Berdasarkan fenomena yang ada serta mengacu pada latar belakang di
atas, maka pelaksanaan Workshop ini dimaksudkan untuk mencari upaya yang
dapat dilakukan dalam rangka pengembangan pemerintah desa dalam proses
pembangunan yang lebih responsif terhadap potensi dan masalah desa serta
untuk menggali saran-saran yang diharapkan dapat meningkatkan pengembangan
pelayanan di tingkat desa.
C. Alur Berfikir
Kegiatan workshop Pengembangan Kapasitas Desa dan Pengembangan
Pelayanan di Tingkat Desa ini mempunyai sebuah alur fikir dari tiga aspek yang
menjadi penguatan desa itu sendiri, yaitu aspek kewenangan, aspek kelembagaan
dan aspek sumber daya.
1
Susilo Bambang Yudhoyono. 2004. Membangun Republik Desa. http://kepustakaan
presiden.pnri.go.id/uploaded_files/pdf/articles_clipping/normal/Aa%20(MEMBANGUN%20REPUBLIK%20DE
SA).pdf (diakses 22 Desember 2009)
11. Ditinjau dari aspek kewenangan, sebaiknya otonomi desa dan
kewenangan bukan pemberian dari kabupaten/kota tetapi langsung oleh negara
dengan tetap mempertimbangkan efisiensi, akuntabilitas dan eksternalitas.
Otonomi desa/kampung yang ideal meliputi tiga aspek, yakni desentralisasi
dalam hal kewenangan, desentralisasi dalam hal keuangan dan desentralisasi
dalam hal pembangunan. Artinya desa secara otonom mengelola kewenangan
penuh yang dimilikinya untuk melakukan pengelolaaan tata pemerintahannya.
Kemudian desa juga dengan otonom mengelola keuangan yang dimiliki baik dari
PADesnya maupun hak desa dari Alokasi Dana Desa, pajak dan retribusi
maupun bantuan-bantuan lain yang dimiliki desa sebagai modal ekonomi di desa.
Serta kewenangan mengelola sumber daya alam yang ada di desa. Kemudian
desa secara otonom juga akan melakukan pembangunan untuk kampungnya,
terutama untuk melakukan pemberdayaan dan perencanaan desa.
Ditinjau dari aspek kelembagaan, perangkat desa perlu dilengkapi
dengan berbagai wadah representatif yang mempunyai fungsi penuh sebagai
lembaga perwakilan yang mampu menyalurkan aspirasi masyarakat desa serta
mempunyai kewenangan untuk mengontrol jalannya pemerintahan desa.
Pengembangan jabatan-jabatan struktural dan peningkatan eselonering juga
dirasakan sangat berperan penting dalam penguatan kapasitas desa. Di samping
itu, desa juga seharusnya diberikan hak penuh dalam mengatur struktur
organisasi kelembagaannya, susunan personalia, mekanisme kerja, uraian tugas
tiap anggotanya, hak dan kewajiban, pengembangan SDM dan jaringan kerja.
Selain itu desa juga diberi kebebasan untuk menentukan tata cara pembentukan
kelembagaannya, apa sebutannya, siapa anggotanya, dan bagaimana proses
pemilihan pemimpinnya.
Ditinjau dari aspek sumber daya, dapat diklasifikasi menjadi dua yaitu
sumber daya manusia (SDM) dan sumber daya keuangan. SDM yang dimaksud
disini adalah penguatan pada kapasitas sumber daya manusia (SDM) aparatur
penyelenggara pemerintahan desa. Seperti yang telah kita ketahui bahwa pada
pemerintahan desa masih banyak terkendala pada ketersediaan SDM yang baik
dan profesional yang sangat terbatas. Seluruh perangkat pemerintahan desa juga
dituntut harus dapat memahami dan melaksanakan tugas pokok dan fungsinya,
dan masyarakat pun perlu memahami tugas pokok dan fungsi perangkat
kepemerintahan desa. Disamping itu potensi dan sumber daya pembangunan
desa (alam, manusia, buatan) teridentifikasi dapat diolah dan dimanfaatkan untuk
kesejahteraan rakyat. Sedangkan jika ditinjau dari aspek keuangan, desa
sebenarnya mempunyai hak untuk memegang kekuasaan keuangan walaupun
masih dapat juga dilimpahkan kepada perangkat desa yang lain. Tetapi kondisi
yang ada saat ini pembiayaan pemerintah desa masih menjadi tanggung jawab
kabupaten dan kota, walaupun terdapat beberapa provinsi telah memberikan
bantuan keuangan kepada desa. Oleh karena itu guna mencapai kemandirian
dalam manajemen pemerintahan desa, maka perlu adanya penguatan keuangan
desa.
12. Gambar 1
Alur Fikir Pengembangan Kapasitas Pemerintahan Desa dan Pengembangan
Pelayanan di Tingkat Desa
D. Output Kegiatan
Kegiatan ini akan menghasilkan sebuah output, yaitu tersusunnya
naskah akademik (academic paper) tentang kebijakan pengembangan kapasitas
pemerintah desa serta pengembangan pelayanan ditingkat desa.
E. Tema dan Topik Bahasan
Tema umum kegiatan workshop ini adalah Pengembangan Kapasitas
Desa dan Pengembangan Pelayanan di Tingkat Desa.
Pengembangan Kapasitas Desa dan
Pelayanan di Tingkat Desa
Aspek
Kewenangan
Aspek
Kelembagaan
Aspek
Sumber Daya
OTONOMI DESA
Peningkatan pelayanan dan
kesejahteraan masyarakat
13. Peserta yang hadir adalah Pejabat atau staf dari Bagian Pemerintahan,
Badan / Kantor Pemberdayaan Masyarakat Desa, Kecamatan dan Kelurahan /
Desa atau unit kerja lain yang berkaitan dengan tema kegiatan workshop ini.
Kegiatan workshop ini terbagi dalam tiga pokok pembahasan utama dari
oleh tiga orang Narasumber, yaitu :
1. “Dimensi-Dimensi Penguatan Kapasitas Otonomi Desa “, oleh Dr. Meiliana,
SE.MM (Kepala PKP2A III LAN Samarinda).
2. “Semesta Desa : Pemerintahan, Pembangunan dan Kemasyarakatan”, oleh
Sutoro Eko (Dosen Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa
“APMD”
3. “Pengalaman Empirik Kepemimpinan Desa”, oleh Suwardjo HW, S.Pd.,
MM (Ketua Umum DPP APDESI).
14. BAB II
“Semesta Desa : Pemerintahan, Pembangunan dan
Kemasyarakatan”2
Oleh : Sutoro Eko
A. Pendahuluan
Konstitusi asli UUD 1945 sebenarnya secara tegas mengakui dan
menyebut desa dan nama-nama lain (seperti nagari, marga, dusun, dan lain-lain)
sebagai kesatuan masyarakat hukum adat (self governing community). Tetapi
amandemen keempat UUD 1945 justru menghilangkan sama sekali sebutan desa.
Konstitusi hanya memberikan amanat kepada negara untuk menghormati dan
mengakui satuan-satuan masyarakat adat beserta hak-hak tradisionalnya
sepanjang masih ada. “Kalau sudah mati”, demikian tutur banyak pejabat,
“jangan dihidupkan kembali”. Kalimat-kalimat ini menimbulkan tafsir yang
bermacam-macam. Satuan masyarakat adat tanpa menyebut desa berarti
menunjuk pada masyarakat tribal yang tidak tersentuh modernisasi seperti Suku
Baduy Dalam, Suku Anak Dalam, Suku Tengger, Suku Wana, Sedulur Sikep
atau suku-suku lain di pedalaman atau yang sering disebut masyarakat adat
terpencil.
Meskipun tidak disebut dalam konstitusi, desa tetap menjadi fenomena
penting dalam penyelenggaraan pemerintahan dan kehidupan sehari-hari di
Indonesia. Dulu domain desa sebagai self governing community mengandung
kekuasaan atau pemerintahan dalam pengertian tradisional, komunitas dan
sumberdaya lokal. Tetapi sejak orde baru domain itu berubah menjadi
pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan. Desa merupakan organisasi
pemerintahan yang menjalankan fungsi public regulations, public goods dan
empowerment. Di ranah pembangunan, pemerintah berupaya membawa
program-program dan dana pembangunan masuk desa. Infrastruktur merupakan
primadona utama pembangunan yang bekerja di ranah desa. Kemasyarakatan
merupakan kegiatan sosial keagamaan, yang di dalamnya sarat dengan kegiatan-
kegiatan silaturahmi hingga pemanfaatan modal sosial untuk tolong menolong
bersama.
Selama sepuluh tahun terakhir, desa sedikit banyak mengalami perubahan
politik dan kelembagaan. Banyak desa sekarang dipimpin oleh generasi baru
berpendidikan tinggi dan mempunyai visi ke depan, antifeodalisme dan kritis
terhadap pemerintah. Mereka tidak takut melakukan protes atau aksi kolektif
2
Makalah ini disajikan dalam Workshop “PENGEMBANGAN KAPASITAS DESA DAN
PENGEMBANGAN PELAYANAN DI TINGKAT DESA” yang diselenggarakan oleh PKP2A III
LAN Samarinda pada hari Rabu, 25 November 2009.
15. menuntut kebijakan pemerintah. Di banyak tempat mereka menuntut otonomi
desa, pembagian kewenangan dan keuangan yang lebih besar dan adil kepada
desa. Di bawah, masyarakat jauh lebih kritis yang menuntut TPA (transparansi,
partisipasi dan akuntabilitas) kepada pemerintah desa.
Di sisi lain desa dijadikan obyek sentuhan berbagai konsep dan
kebijakan. Otonomi atau desa mandiri adalah konsep yang terkemuka. Selain itu
juga ada konsep pemberdayaan, perencanaan partisipatif, tata pemerintahan yang
baik, dan sebagainya. Semua konsep ini perlu elaborasi dan analisis lebih jauh,
mulai dari substansi hingga praktik empiriknya.
B. Konsep Dasar : Desa Vs Perdesaan
Konsep “desa” dan “perdesaan” tidak pernah akur, tidak pernah
bersenyawa menjadi satu. Para pemakai kedua konsep itu berbeda-beda. Para
pihak yang mempelajari pemerintahan dan NGOs umumnya menggunakan
konsep desa. Kalangan NGOs menyebut desa sebagai entitas, hulu, basis dan
lokus penghidupan dan kehidupan masyarakat, yang notabene berbeda dengan
negara. Sebaliknya orang ekonomi dan teknik adalah pemakai konsep perdesaan.
Para pemakai konsep perdesaan menilai bahwa konsep desa itu terlalu kecil atau
hanya wilayah administratif, sementara perdesaan mereka lihat sebagai
functional areas secara lebih luas seperti pertanian, kehutanan, pariwisata,
perdagangan, dan lain-lain yang semua ini mempunyai dampak terhadap
masyarakat desa.
Di dalam tubuh pemerintah, Departemen Dalam Negeri adalah pemakai
utama konsep desa, termasuk juga menggunakan konsep “pembangunan desa”.
Beberapa departemen/kementerian lain juga memakai desa, misalnya
Departemen Kesehatan punya “desa siaga”, Departemen Kehutanan punya
“hutan desa”, Departemen Kelautan dan Perikanan bermain di “desa pesisir” atau
“desa nelayan”, Departemen ESDM punya “desa mandiri energi”, Departemen
Pertanian punya “desa mandiri pangan”, Departemen Pariwisata mampunyai
mainan “desa wisata”, dan Kementerian PDT mempunyai “desa tertinggal”.
Tetapi konsep desa yang dimiliki oleh beberapa departemen/kementerian ini
berbeda dengan konsep desa yang dimiliki Depdagri. Mereka menyebut desa
dalam pengertian lembaga-lembaga dan masyarakat sebagai penerima manfaat
program-program mereka, bukan sebagai kesatuan masyarakat hukum atau
organisasi pemerintahan yang memiliki otonomi.
Sementara departemen/kementerian lain (Bappenas, Departemen PU,
Depdiknas) tidak menggunakan desa, melainkan menggunakan perdesaan dan
secara spesifik pembangunan perdesaan. Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional (RPJMN) 2004-2009 dan Draft RPJPMN 2009-2014 serta
UU No. 17/2007 tentang RPJP 2005-2025 – yang merupakan karya besar
Bappenas, mempunyai satu chapter tentang Pembangunan Perdesaan, yang lebih
banyak bicara tentang perdesaan daripada desa. RPJMN dan RPJP ini sama
16. sekali tidak melihat desa ataupun masyarakat adat sebagai sebuah entitas, basis
dan 3 hulu penghidupan dan kehidupan masyarakat. Di atas semua itu, UUD
1945 sama sekali tidak menyebut desa dan perdesaan.
Intinya, penggunaan dan praktik pembangunan perdesaan cenderung
mengabaikan makhluk bernama desa, yang di dalamnya terdapat kekuasaan,
manusia, komunitas, kultur, dan sebagainya. Sementara romantisme pada desa
juga terjerembab pada isu-isu lokal, yang mengabaikan pembangunan perdesaan.
Tulisan ini beranggapan bahwa desa dan perdesaan memang mempunyai
perbedaan seperti terlihat dalam bagan 1, tetapi keduanya tidak bisa dipisahkan
satu sama lain, dan hal ini membentuk desa (rural village), sebagai pintu masuk,
basis, lokus dan hulu semua masalah. Termasuk sumber masalah urbanisasi dari
desa ke kota. Bagan 1 itu menunjukkan 4 unit pemerintahan yang diklasifikasi
menjadi dua garis, yakni garis vertikal atau garis pemerintahan, yang
menggambarkan hirarkhi pemerintahan antara desa dan daerah. Sedangkan garis
horizontal merupakan garis pembangunan atau arah modernisasi, yang
menghasilkan konsep perdesaan dan perkotaan. Konsep desa menunjuk pada
kesatuan masyarakat hukum lokal (local village) yang mempunyai wilayah, tata
kuasa, pemerintah, rakyat dan masyarakat. Perdesaan sebenarnya menunjuk pada
desa-desa di pedalaman atau kawasan bentang alam dan ekonomi beberapa desa
atau lintas desa dalam lingkup daerah.
BAGAN I
Konsep Dasar
Daerah
Kabupaten (1) Kota (2)
Perdesaan Perkotaan
Desa atau Rurral Village (3) Kelurahan atau Urban Village (4)
Desa
17. Pembicaraan tentang desa dan pembangunan perdesaan tentu yang paling
dasar berada pada kuadran desa (3) dan lebih luas lagi berada di kuadran
kabupaten (1). Meskipun kabupaten dan kota sama-sama merupakan daerah
otonom, tetapi keduanya berbeda dari sisi pertumbuhan ekonominya. Kabupaten
pada umumnya mempunyai desa-desa dalam jumlah besar dan bercorak agraris,
yang menghadapi keterbatasan input, proses dan output pertumbuhan ekonomi.
Sebaliknya kota cenderung mengalami surplus pertumbuhan, dimana di setiap
titik menjadi sumber pertumbuhan, tetapi masalah seriusnya adalah dampak
(impact) pertumbuhan, misalnya dalam bentuk ledakan penduduk, segregasi
sosial, sampah, lingkungan yang buruk, slum, pengemis jalanan, kejahatan,
ketidaktertiban dan lain-lain.
Berdasarkan gambar itu juga, saya sebenarnya tidak membedakan secara
tegas antara pembangunan perdesaan dan pembangunan desa, tetapi saya
membuat level yang berbeda: yakni “desa membangun” (local development)
yang bekerja di dalam desa (desa tunggal) dan “membangun desa” (rural
development), yang bekerja di ranah banyak desa (desa jamak) atau di ranah
daerah. Yang lebih tinggi lagi adalah regional development yang mencakup antar
kabupaten / kota dan national development yang mencakup antarprovinsi.
Tabel 1.1
Perbedaan konsep
“membangun desa” dan “desa membangun”
Item/Isu Desa Membangun Desa
(pembangunan perdesaan)
Membangun (pembangunan
desa)
Pintu masuk Perdesaan Desa
Pendekatan Functional Locus
Level Rural development Local development
Konsep-konsep
terkait
Rural-urban linkage, market,
pertumbuhan, lapangan
pekerjaan.
Otonomi, kearifan lokal, modal
sosial, demokrasi, partisipasi,
kewenangan, alokasi dana, dll.
Level, skala dan
cakupan
Kawasan ruang dan ekonomi
yang lintas desa. Contohnya
adalah kecamatan sebagai small
town.
Dalam jangkauan skala dan
yurisdiksi desa
Skema
kelembagaan
Pemda melakukan perencanaan
dan pelaksanaan didukung alokasi
dana khusus. Pusat melakukan
fasilitasi, supervisi dan akselerasi.
UU menetapkan kewenangan
skala desa, melembagakan
perencanaan desa, alokasi dana
dan kontrol lokal.
Pemegang
kewenangan
Pemerintah daerah Desa (pemerintah desa dan
masyarakat)
Tujuan Mengurangi keterbelakangan, Menjadikan desa sebagai ujung
18. ketertinggalan, kemiskinan,
sekaligus membangun
kesejahteraan
depan yang dekat dengan
masyarakat, serta membangun
desa yang mandiri
Peran
pemerintah
daerah
Merencanakan, membiayai dan
melaksanakan
Fasilitasi, supervisi dan
pengembangan kapasitas desa
Peran desa Berpartisipasi dalam perencanaan
dan pengambilan keputusan
Sebagai aktor utama yang
merencanakan, membiayai dan
melaksanakan
Hasil • Infrastruktur lintas desa yang
lebih baik
• Tumbuhnya kota-kota kecil
sebagai pusat pertumbuhan dan
penghubung transaksi ekonomi
desa kota.
• Terbangunnya kawasan hutan,
collective farming, industri,
wisata, dll.
• Pemerintah desa menjadi
ujung depan
penyelenggaraan pelayanan
publik bagi warga
• Satu desa mempunyai
produk ekonomi unggulan
(one village one product)
Seperti terlihat dalam tabel 1.,1 konsep “desa membangun” terkait
dengan penguatan otonomi desa atau membuat desa mandiri, yang di dalamnya
mengharuskan transfer kekuasaan dan kewenangan kepada desa, sekaligus juga
memperkuat inisiatif dan kapasitas desa. Dilihat dari skalanya, “desa
membangun” secara mandiri tersebut berada pada skala desa, yang kemudian
direncanakan dengan perencanaan desa (village self planning) dan dibiayai
dengan APBDes.
Perbedaan antara “membangun desa” dan “desa membangun” juga
berkaitan dengan pembagian kerja antar level pemerintahan. Konsep “desa
membangun” berarti sebagai local development yang secara mandiri dikelola
oleh desa. Pemerintah supradesa sebaiknya tidak menjadi pemain langsung
dalam ranah “desa membangun”, meskipun menggunakan program-program
pemberdayaan dan skema dana Bantuan Langsung Masyarakat (BLM).
C. Otonomi Desa = Desa Mandiri
Pembicaraan tentang otonomi desa membahana di mana-mana. Hampir
setiap RPJMD menulis secara eksplisit komitmen pemerintah kabupaten
mengembangkan otonomi desa. Kalangan NGOs yang bergerak di level daerah
dan grass roots juga mengangkat isu otonomi desa sebagai lokus advokasi.
Anda boleh memulai berbagi pengalaman tentang otonomi desa, tetapi
juga lebih baik kalau anda memulai dengan pelurusan dan penajaman perspektif.
Mengapa? Kalau perspektifnya (cara pandang) salah, maka pilihan strategi dan
19. tindakannya salah, dan kalau salah sekali maka kerugiannya akan bertahun-
tahun. Kalau perspektif sudah terbangun dengan baik, maka langkah selanjutnya
adalah membangun strategi. Salah satu strategi adalah pembelajaran dengan cara
berbagi pengalaman dan pelajaran terbaik dari daerah / desa inovatif.
Selama ini semua pihak memahami otonomi sebagai kemandirian. Ini
benar. Tetapi apa penjabaran kemandirian?. Ada sebuah prinsip dasar, bahwa
kemandirian bukanlah “kedirian” dan bukan pula “kesendirian”. Kalau kedirian
itu bukan otonomi tetapi autarkhi. Ini bisa dilihat dari kuatnya klaim kepemilikan
sumberdaya, tetapi cenderung melepas tanggungjawab. Kalau ada sumberdaya
atau ada uangnya akan diklaim ini punya saya, tetapi kalau ada masalah itu
bukan kewenangan dan tanggungjawab sata. Kacau!! Atau kuatnya isu “putera
daerah” yang tidak dipandang secara jernih, tetapi sebagai bentuk politisasi yang
dangkal. Kedirian (autarkhi) itu menghasilkan kesombongan atau arogansi, yang
membuat daerah atau desa menjadi eksklusif alias tidak inklusif. Kalau tidak
inklusif berarti secara substantif tidak demokratis.
Cara pandang kesendirian muncul dimana-mana oleh siapa saja, baik
oleh pemerintah, akademisi dan NGOs. Kesendirian berarti desa mengurus
dirinya sendiri dengan kekuatan lokal yang tersedia, tanpa harus ada kehadiran
“turun tangan” pemerintah. Baik pemerintah maupun kalangan nonpemerintah
mempunyai titik pandang serupa, yang mengutamakan swadaya masyarakat
sebagai kekuatan lokal. Pemerintah melihat swadaya sebagai tolak ukur
keberhasilan otonomi desa, sekaligus juga keberhasilan pembangunan yang
didekati dengan stimulan. Jika dana stimulan berhasil meraup swadaya
masyarakat yang jauh lebih besar, maka program stimulan itu dikatakan berhasil
besar. Kalangan nonpemerintah juga senang dengan swadaya, bahkan dalam
advokasi mereka juga mendorong tumbuhnya swadaya masyarakat. “Biarkan
masyarakat desa mengurus dirinya sendiri, pemerintah tidak usah campur tangan
(intervensi), demikian ungkapan yang sering dikemukakan oleh kalangan NGOs.
Swadaya masyarakat memang tidak bisa dihindari, ia bisa menjadi
kekuatan untuk mengukur kesiapan masyarakat. Swadaya tentu bisa menjadi
substitusi di kala pemerintah tidak mampu atau mengalami kelumpuhan, seperti
pengalaman lumpuhnya Pemda Bantul pada saat terjadi gempa Mei 2006. Tetapi
ada beberapa catatan kritis tentang swadaya.
• Swadaya masyarakat berangkat dari bentuk-bentuk resiprositas sosial antar
rumah tangga, dan kemudian berkembang menjadi modal sosial yang lebih
besar untuk mengelola urusan-urusan secara komunal. Padahal dari hari ke
hari, banyak urusan lokal (misalnya jalan kampung) yang telah berubah dari
urusan komunal menjadi urusan publik, karena itu harus diselesaikan dengan
mekanisme publik, apalagi Indonesia adalah republik.
• Jika swadaya masyarakat diutamakan maka hal itu merupakan bentuk
kolonialisme baru, sebagai bentuk evolusi dari kerja paksa (rodi) pada masa
penjajahan Belanda. Dengan kalimat lain, mengutamakan swadaya
20. masyarakat berarti sama saja dengan eksploitasi terhadap masyarakat dengan
cara dan bungkus pemberdayaan.
• Kalau kalangan NGOs terlalu romantis pada masyarakat beserta swadayanya,
sementara intervensi pemerintah dibatasi, maka hal ini sama dengan
neoliberal dengan cara lain, padahal ideologi ini diharamkan oleh NGOs.
Saya hendak mengatakan bahwa kemandirian bukan kesendirian dan
bukan kedirian, tetapi pada intinya desa yang bertenaga secara sosial, berdaulat
secara politik, bermartabat secara budaya dan berdaya secara ekonomi. Inisiatif
lokal merupakan titik awal kemandirian, tetapi di dalam kemandirian
mengandung keadilan yang bekerja dalam bingkai Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Negara Kesatuan Republik Indonesia bukanlah NKRI, sebab NKRI
selama ini mengalami penyempitan makna hanya sebagai bentuk sentralisme dan
ketakutan Jakarta terhadap keutuhan wilayah. Padahal NKRI sebenarnya
mengandung empat frasa: Negara, Kesatuan, Republik dan Indonesia. Desa tentu
menjadi bagian di dalamnya. Kontitusi mengamanatkan negara mengakui dan
menghotmati desa, termasuk mengambalikan banyak hal dari desa yang diambil
negara, serta negara membagi sumberdaya (kekuasaan dan uang) kepada desa.
Kalau negara tidak berbagi sumberdaya kepada desa, maka yang terjadi adalah
ketidakdilan, desa menjadi terbelakang, tertinggal, marginal. Kalau frasa
republik sebenarnya menghendaki semua hal yang berpengaruh terhadap hajat
hidup orang banyak diselesaikan dengan mekanisme publik, bukan dengan
mekanisme komunal apalagi dengan mekanisme dinasti.
Secara filosofis, kemandirian desa sebenarnya bermakna: bertenaga
secara sosial, berdaulat secara politik, berdaya secara ekonomi dan bermartabat
secara budaya. Sedangkan ukuran-ukuran desa mandiri adalah sebagai berikut:
a. Desa mempunyai sarana-prasarana publik yang memadai.
b. Desa mempunyai administrasi desa yang tertata dengan baik
c. Desa mempunyai perencanaan desa yang berkualitas
d. Desa mempunyai kewenangan dan tupoksi yang jelas.
e. Desa mempunyai APBDes yang memadai, yang bersumber dari ADD maupun
Pendapatan Asli Desa (PADes).
f. Desa mempunyai kekhasan lokal yang bersumber pada potensi unggulan desa
g. Desa mampu mengenali dan mengembangkan potensi ekonomi lokal sebagai
sumber PADes dan pendapatan masyarakat
h. Desa mempunyai tata pemerintahan yang baik
i. Desa mempunyai modal sosial yang bertenaga
j. Desa mempunyai masyarakat yang aktif dan partisipatif
k. Desa mampu menciptakan ketahanan pangan
D. Kebijakan Nasional
21. Para kepala desa beserta perangkat desa sudah sangat akrab bahwa desa
mempunyai fungsi pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan. Tidak jauh
berbeda, konsep dan kebijakan nasional tentang desa mengandung dan mengarah
pada tiga pilar: pemerintahan (governance), pembangunan (rural development)
dan pemberdayaan (empowerment).
Untuk menjalankan tiga pilar itu UU No. 32/2004 menegaskan bahwa
pengaturan mengenai desa mengandung beberapa prinsip dasar: otonomi asli,
keragaman, demokrasi, partisipasi dan pemberdayaan.
Kebijakan nasional secara inkremental (bertahap dan pelan-pelan)
mengarah pada tiga tujuan. Pertama, mengembangkan kemandirian (otonomi)
desa melalui penyerahan kewenangan, distribusi pendapatan, pembagian
tanggungjawab, pengembangan kapasitas serta inisiatif dan potensi lokal. Kalau
kita cermati substansi UU No. 32/2004 dan PP No. 72/2005, otonomi desa itu
secara lokal digerakkan dengan inisiatif dan kemampuan desa; sementara secara
kelembagaan otonomi desa masuk dalam kerangka kewenangan, perencanaan
desa dan keuangan desa. Kewenangan maupun inisiatif dan potensi lokal
diwadahi dengan perencanaan jangka menengah dan jangka tahunan, kemudian
dibiayai dengan APBDes yang bersumber dari pendapatan desa dan alokasi dana
dari pemerintah.
Kedua, mengembangkan tata pemerintahan desa yang demokratis yang
bercirikan penyelenggaraan pemerintahan desa secara transparan, akuntabel dan
partisipatif. Ketiga, meningkatkan kesejahteraan rakyat melalui pembangunan
desa dan pemberdayaan.
E. Kedudukan Desa
UUD 1945 hanya menghendaki desentralisasi sampai di level
kabupaten/kota, tidak sampai ke level desa. Konstitusi hanya mengakui dan
menghormati (rekognisi) terhadap desa-desa (atau dengan sebutan lain) sebagai
kesatuan masyarakat adat yang telah dan/atau masih ada. Karena desentralisasi
itulah maka terbentuk daerah-daerah otonom, sementara kita tidak mengenal
konsep desa otonom atau daerah otonom tingkat III. Konstitusi sebenarnya tidak
secara eksplisit memerintahkan desa sebagai kesatuan masyarakat adat berada
dalam subsistem daerah otonom.
Tetapi baik UU No. 22/1999 dan UU No. 32/2004 menempatkan
kedudukan desa berada dalam subsistem pemerintahan daerah. Pasal 2 ayat 1
menegaskan: “Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah
provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota yang masing-
masing mempunyai pemerintahan daerah”. Pasal ini menegaskan tentang
desentralisasi yang diberikan kepada provinsi dan kabupaten / kota.
Selanjutnya pasal 200 ayat 1 menegaskan: “Dalam pemerintahan daerah
kabupaten/kota dibentuk pemerintahan desa yang terdiri dari pemerintah desa
dan badan permusyawatan desa”. Pasal ini menegaskan klausul “dalam
22. pemerintahan daerah kabupaten / kota” , bukan klausul “dalam wilayah
kabupaten/kota dibentuk desa”. Artinya pemerintahan desa berada dalam
subsistem pemerintahan kabupaten / kota, dan wilayah desa berada dalam
jangkauan wilayah dan kewenangan kabupaten / kota.
Amanat UU 32/2004 itu mengandung arti bahwa bupati mempunyai “cek
kosong” untuk mengatur dan mengurus desa. Karena itu pemerintah kabupaten
mempunyai dua jenis kewengan, yakni kewenangan sektoral (kesehatan,
pendidikan, pertanian, kehutanan, pekerjaan umum, industri, pariwisata, dan
lain-lain) dan kewenangan spasial (ruang berupa wilayah desa, yang di dalam
wilayah desa terdapat bentang alam, kawasan, penduduk, masyarakat dan
pemerintahan desa). Selama ini pengelolaan pemerintahan daerah, termasuk
perencanaan daerah, lebih bias sektoral dan kurang menaruh perhatian pada
kewenangan spasial.
Bentuk / tipe desentralisasi adalah :
1) Devolusi atau disebut desentralisasi politik: pemindahan kekuasaan dan
kewenangan dari pemerintah pusat sebagai representasi negara kepada
pemerintah subnasional (daerah). Daerah mempunyai otonomi yang luas.
Daerah mempunyai pemerintah daerah sebagai organisasi kekuasaan yang
dibentuk melalui pemilihan lokal, dan pemerintah daerah mempunyai
kewenangan luas terhadap berbagai bidang pemerintahan. Pemerintah daerah
bertanggungjawab kepada rakyat dan secara horizontal kepada parlemen
lokal, bukan kepada pemerintah pusat.
2) Delegasi: penyerahan sebagian kewenangan dari pusat ke daerah. Daerah
mempunyai kewenangan penuh dalam keputusan politik dan keputusan
administratif, tetapi akuntabilitas politik dibawa naik ke pusat.
3) Dekonsentrasi: pelimpahan sebagian urusan dari pusat ke daerah. Daerah
atau pejabat yang menjalankan tugas dekonsentrasi bertindak sebagai wakil
pemerintah pusat. Daerah tidak mempunyai kewenangan untuk mengambil
keputusan politik, tetapi hanya berwenang menjalankan keputusan
administratif.
4) Tugas pembantuan: penugasan pemerintah pusat kepada daerah ataupun desa
untuk menjalankan tugas-tugas pemerintahan. Penerima tugas pembantuan
berarti hanya sebagai “pesuruh” yang diberikan upah.
5) Subsidiaritas: penetapan berbagai kewenangan yang berskala lokal yang
bisa/mampu ditangani secara lokal.
6) Rekognisi: pengakuan hak asal-usul yang sudah lama dimiliki desa.
F. Kewenangan Desa
Kewenangan mengandung kekuasaan untuk mengambil keputusan, hak
untuk memperoleh sumberdaya ekonomi dan tanggungjawab atas keputusan
yang dibuat. Jika kita melihat otonomi desa secara kelembagaan dan politik,
maka kewenangan itu menjadi unsur paling utama, yang membuat desa akan
23. berdaulat secara politik. Sesuai dengan ketentuan regulasi, desa mempunyai tiga
jenis kewenangan: kewenangan asal-usul (indigenous) yang ada sebelum
terbentuk NKRI yang diakui oleh negara, urusan yang diserahkan oleh
kabupaten/kota dan kewenangan dalam tugas pembantuan.
Menurut UU No. 32/2004 dan PP No. 72/2005, urusan pemerintahan
yang menjadi kewenangan desa mencakup:
a. Urusan pemerintahan yang sudah ada berdasarkan hak asal-usul desa. Asal-
usul bisa disebut sebagai hak bawaan atau hak asli (indigenous rights) yang
sudah ada dan dimiliki desa sebelum ada Republik Indonesia. Contohnya
adalah hak ulayat di Sumatera, tanah adat di Kalimantan dan Papua, tanah
pecatu di Bali dan NTB, tanah bengkok di Jawa. Contoh yang lain: desa
membentuk susunan asli, menyelenggarakan peradilan adat, dan
menyelenggarakan kegiatan budaya dan adat istiadat. Negara prinsipnya
melakukan penghormatan dan pengakuan terhadap hak asal-usul ini.
b. Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan kabupaten/kota yang
diserahkan pengaturannya kepada desa. Kewenangan ini diatur lebih lanjut
dalam Permendagri No. 30/2006 tentang Tatacara penyerahan urusan dari
kabupaten/kota ke desa. Tetapi pada umumnya pemerintah kabupaten/kota
belum membuat Perda tentang penyerahan urusan ini kepada desa.
c. Tugas pembantuan dari Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah
Kabupaten/Kota. Tugas pembantuan ini sebenarnya bukan termasuk dalam
kewenangan karena desa hanya menjalankan tugas dari pemerintah. Dalam
PP 72/2005 ditegaskan Tugas pembantuan dari Pemerintah, Pemerintah
Provinsi dan Pemerintah Kabupaten / Kota kepada Desa wajib disertai
dengan dukungan pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sumber daya
manusia. Dalam pasal 10 ayat 3 ditegaskan bahwa Desa berhak menolak
melaksanakan tugas pembantuan yang tidak disertai dengan pembiayaan,
prasarana dan sarana, serta sumber daya manusia.
d. Urusan pemerintahan lainnya yang oleh peraturan perundang-undangan
diserahkan kepada desa. Sampai sejauh ini belum ada realisasi atas pasal ini.
Kewenangan asal-usul, sebagian masih bertahan, misalnya pengelolaan tanah
bengkok di Jawa atau tanah adat di berbagai daerah. Tetapi sebagian besar
tanah adat (ulayat) sudah hilang karena diambil negara dan swasta.
Kewenangan yang diserahkan dari kabupaten memang problematik.
Sebenarnya teori desentralisasi dan hukum tata negara tidak membenarkan
penyerahan kewenangan dari daerah otonom ke desa seperti di Indonesia.
Pemberi kewenangan adalah negara. Mendagri telah mengeluarkan
Permendagri No. 302/006. Tetapi susah dijalankan. Sejauh saya tahu, baru
Kabupaten Bandung dan Solok yang membagi kewenangan kepada desa.
Jadi hampir 100% kabupaten / kota belum membagi kewenangan kepada
desa. Rata-rata mereka mengalami kesulitan mencari formula yang tepat,
atau memang tidak tahu, atau memang karena enggan sebab pembagian
24. kewenangan juga harus diikuti dengan uang (ingat no mandate without
funding).
G. Perencanaan Desa
UU No. 25/2005 sama sekali tidak mengenal desa. UU No. 32/2004 juga
tidak secara eksplisit menyebutnya secara panjang. PP No. 72/2005 justru
melakukan “subversi” atas dua undang-undang itu, yang berupaya memperkuat
perencanaan desa sebagai basis kelembagaan otonomi desa. Sekarang desa
tengah hiruk-pikuk menyiapkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa
(RPJMDes) jangka lima tahun dan setiap tahun juga menyelenggarakan
Musrenbang untuk menghasilkan Rencana Kerja Pembangunan Desa (RKPDes).
Saat ini sudah banyak, atau bahkan dikatakan sebagian besar desa
mempunyai RPJMDes, meski dengan kualitas yang berbeda-besa. Semua ini
tidak lepas dari kebijakan pemkab yang memberikan persyaratan keberadaan
RPJMDes untuk menerima ADD. Artinya untuk memperoleh ADD, desa harus
menyiapkan RPJMDes. Repotnya, karena desa belum memiliki 11 kewenangan,
maka substansi perencanaan mengalami kesulitan. Ada banyak desa yang
membuat rencana untuk mencapai yang ideal, padahal capaian-capaian yang
direncanakan itu merupakan kewenangan kabupaten / kota. Tetapi lebih banyak
RPJMDes yang dibangun berdasarkan pengalaman dalam menjalankan urusan-
urusan publik dan berdasarkan analisis skala desa. Kalau suatu urusan bisa
ditangani dengan kemampuan desa, maka hal itu akan menjadi cakupan bagi
perencanaan desa.
Ada kesulitan struktural dalam perencanaan desa karena masuknya
program-program dari atas. PNPM Mandiri sebagai salah satu contoh yang
terkemuka. Mengacu pada tabel 2, ada tiga model perencanaan desa: model pasar
atau perencanaan yang terfragmentasi; perencanaan terpadu, dan perencanaan
jaringan. Program-program dari atas, termasuk PNPM, membuat atau
menempatkan desa seperti pasar, sehingga terjadi fragmentasi perencanaan.
PNPM sebenarnya juga merujuk UU No. 32/2004 dan PP No. 72/2005 sebagai
payung hukumnya. Tetapi jabarannya tidak sesuai dengan jiwa regulasi yang
hendak memperkuat desa itu. Apa buktinya? Pertama, konsep perencanaan desa
tidak dimengerti sebagai self planning tetapi sebagai dokumen yang diusulkan ke
atas. Ini kalimatnya: “Rencana kegiatan pembangunan desa / kelurahan
dituangkan ke dalam dokumen rencana pembangunan desa / kelurahan jangka
menengah (PJM) dan rencana tahunan serta rencana strategis (renstra)
pembangunan desa / kelurahan. Dokumen hasil perencanaan partisipatif PNPM
Mandiri merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari dokumen musrenbang
desa/kelurahan untuk diteruskan ke musrenbang di tingkat lebih lanjut”. Kalimat
ini mengandaikan bahwa posisi yang sama antara desa dan kelurahan dalam
rezim perencanaan. Padahal keduanya sangat berbeda. Kedua, PNPM tidak
mengikuti atau menyatu institusi pemerintahan dan kelembagaan masyarakat
25. desa yang sudah ada, melainkan membentuk sendiri lembaga baru yang disebut
LEMBAGA KESWADAYAAN MASYARAKAT. Ini kalimat dalam Panduan
PNPM:
“Kelembagaan PNPM Mandiri di desa / kelurahan adalah lembaga keswadayaan
masyarakat yang dibentuk, ditetapkan oleh masyarakat, dan bertanggungjawab
kepada masyarakat melalui musyawarah desa / kelurahan. Lembaga ini berfungsi
secara kolektif dan bertanggungjawab terhadap pengelolaan kegiatan PNPM
Mandiri di desa / kelurahan. Prinsip pemilihan keanggotaan dan kepengurusan
lembaga tersebut adalah langsung, umum, bebas, dan rahasia. Proses pemilihan
dilakukan dengan cara: tanpa kampanye, tanpa pencalonan, berjenjang mulai dari
tingkat basis dengan menggunakan kartu pilih, berdasarkan rekam jejak perilaku
dan perbuatannya. Keanggotaan dan kepengurusan bersifat suka rela dan
periodik berdasarkan kesepakatan masyarakat”.
Tabel 1.2
Model kelembagaan perencanaan desa
dalam konteks “desa membangun”
Market/fragmented
planning
Integrated planning Congested/network
planning
Gambaran Desa terdapat
berbagai outlet
perencanaan /
program baik dari
desa sendiri maupun
dari luar
Desa mempunyai
wadah tunggal
RPJMDes dan
APBDes. Semua
program dan uang
masuk ke dalam
rencana dan
penganggaran desa.
Desa mempunyai
RPJMDes. Program-
program yang masuk
ke desa tidak
membuka outlet
secara bebas seperti
model pasar, tetapi
mengacu sekaligus
memperkuat
RPJMDes.
Peran
pemerintah
desa
Minimalist state.
Pemdesa menjadi
fasilitator saja, bahkan
hanya menjadi
penonton
Maximalist state.
Pemdes menjadi
regulator yang kuat
Congested state.
Melakukan kontrol
dan memastikan
bahwa program-
program yang masuk
desa sesuai dengan
rencana desa.
Tujuan Memotong mata
rantai
perencanaan daerah
yang ruwet seperti
Membuat agenda
“desa membangun”
lebih terarah dan
terpadu guna
Menyambungkan
“missink link” atau
membuat jaringan
berbagai program
26. benang kusut. Juga
memberi kepercayaan
kepada masyarakat
dalam kerangka
community driven
development.
memperkuat
otonomi
desa.
yang masuk ke desa
dengan rencana desa.
Risiko/
konsekuensi
Terjadi fragmentasi
rencana, tujuan,
proses, wadah, dll
Semua program dan
uang yang masuk
desa
harus tunduk pada
rencana desa.
Pembawa program
harus “rela” tunduk
pada desa.
Pemerintah desa jadi
overloaded. Butuh
proses, disain
kelembagaan dan
waktu yang panjang
dan rumit untuk
membuat jaringan.
Ketiga, jika UU No. 32/2004 dan PP No. 72/2005 menghendaki
pemerintahan desa yang kuat dan aktif, sebaliknya skema PNPM menempatkan
unsur pemerintahan desa hanya sebagai fasilitator. Demikian kalimat dalam
Panduan PNPM: Hal yang harus diperhatikan dalam perencanaan partisipatif
PNPM Mandiri adalah keterlibatan perangkat pemerintahan desa / kelurahan
(pemerintah desa / kelurahan, Badan Permusyawaratan Desa / BPD, dan lembaga
kemasyarakatan desa / kelurahan) dalam memfasilitasi masyarakat. Oleh sebab
itu perlu dilakukan peningkatan kapasitas perangkat pemerintahan
desa/kelurahan dalam menjaring aspirasi, permasalahan, dan potensi masyarakat
secara nyata.
Ilustrasi di atas menggambarkan ada dua jalur yang berbeda. Jalur reguler
/ resmi menghendaki penguatan pemerintahan desa, kelembagaan masyarakat,
kewenangan, perencanaan dan keuangan desa untuk menopang otonomi desa
secara inkremental dan berkelanjutan. Sementara PNPM sebagai jalur ad hoc
cenderung memandang sebelah mata atau mengabaikan pemerintahan desa,
melainkan langsung masuk ke ranah lembaga keswadayaan masyarakat. Ini tidak
mengherankan, sebab semua departemen maupun LND di Jakarta, kecuali
Departemen Dalam Negeri, memandang desa hanya dalam bentuk satuan
masyarakat, bukan sebagai kesatuan pemerintahan yang mempunyai banyak
perangkat.
H. Alokasi Dana (ADD)
ADD ini paling ramai dibicarakan dan diperebutkan, sebab ukuran
konkret komitmen pemerintah dan juga otonomi desa adalah uang. Semua pihak
menyadari bahwa ADD itu hak desa, bukan lagi sebagai bentuk bantuan
pemerintah, yang tergantung atau suka-suka yang memberi bantuan. Kalau hak,
maka sumberdaya (APBD) yang langka sekalipun, harus dibagi secara adil
27. kepada kelompok atau pihak-pihak yang marginal, termasuk dalam hal ini adalah
desa.
Alokasi Dana Desa (ADD) mulai muncul pada tahun 2001/2002 di
beberapa daerah inovatif seperti Solok dan Sumedang. Dari tahun ke tahun ADD
semakin populer, semakin banyak daerah yang mereplikasi ADD, meskipun UU
No. 22/1999 tidak memberikan amanat kepada kabupaten / kota untuk
memberikan ADD kepada desa. Kebijakan ADD baru ditegaskan dalam PP No.
72/2005. Sejak tahun 2005, Pemerintah pusat telah mengimplemntasikan
kebijakan alokasi dana desa (ADD).3
Tabel 3 menggambarkan tiga model kebijakan ADD di daerah yang
beragam. Dalam implementasinya, muncul tiga problem berkaitan ADD.
Pertama, sumber ADD berasal dari bagian dana perimbangan yang diterima
pemerintah kabupaten/kota. Dengan demikian, yang memegang otoritas dan
tanggungjawab ADD adalah kabupaten / kota. Hal ini terjadi karena UU No.
33/2004 hanya mengenal perimbangan keuangan pusat dan daerah, tidak sampai
ke Desa. Kedua, karena ADD “berhenti” di kabupaten maka pengalokasian ADD
ke desa angat tergantung pada kemampuan dan good will pemerintah kabupaten.
Ketiga, setelah dialokasikan ke desa, ADD juga seringkali tidak tepat sasaran.
Misalnya, di banyak daerah, kurang tepat dalam menata alokasi ADD. ADD
tidak digunakan untuk 30% operasional dan 70% pemberdayaan masyarakat,
melainkan sekitar 70% untuk membayar insentif dan/honor kepada kepala desa,
perangkat desa, BPD, dan lembaga-lembaga kemasyarakatan.
Tabel 1.3
Tiga Model Kebijakan ADD
di Tingkat Daerah
Model Deskripsi Contoh Daerah
Maksimal • Pemkab memberi kepercayaan penuh
kepada desa.
• ADD sebesar 10% atau lebih dari total
dana perimbangan.
• Diberikan secara block grant, artinya
desa mempunyai hak penuh untuk
menggunakan ADD, ADD menyatu
dengan APBDes, pencairan dan
pelaporan 1 kali.
Magelang, Sukoharjo,
Wonosobo, Boyolali,
Kebumen, Kulonprogo,
Purbalingga, Banyumas,
Sumedang, Sijunjung,
Solok, Jembrana, Bangka,
Bangka Selatan, Belitung
Timur, Lamongan, Kota
Banjar Jawa Barat,
3
Kebijakan ADD yang tertuang di dalam PP No.72/2005 pada dasarnya mengadopsi kebijakan
Depdagri sebagaimana tertuang dalam Surat Edaran (SE) Mendagri No.140/640/SJ tanggal 22 Maret
2005. SE Mendagri ini lahir karena pada beberapa kabupaten, kebijakan mengenai ADD telah
diterapkan dan mampu memberikan manfaat yang baik bagi perkembangan perekonomian dan
pembangunan masyarakat Desa. ADD menjadi penting sebagai sumber pendapatan Desa karena
selama ini sumber-sumber pendapatan Desa lain praktis tidak dapat diandalkan.
28. • Penghasilan atau tunjangan perangkat
desa terpisah dari ADD.
• 30% untuk belanja operasional (diluar
gaji) dan 70% untuk pemberdayaan
masyarakat.
• Disertai dengan pembinaan dan
supervisi.
Kabupaten Bandung, Paser
Kaltim, Tuban, Malang,
Gresik, Sidoarjo.
Inkremental • Pemkab bersikap “hati-hati” kepada
desa dalam memberikan ADD.
• Besaran ADD berkisar 10% diberikan
secara bervariasi.
• Tidak spesific grant, tetapi ada rambu-
rambu atau persyaratan yang relatif
ketat. Misalnya ADD baru diberikan
setelah Desa menyelesaikan dan
menyetorkan Pajak Bumi dan
Bangunan.
• Pencairan dan pelaporan lebih dari satu
kali. Pelaporan digunakan untuk
pencairan tahap berikutnya.
Kutai Kartanegara, Luwu
Utara, Rokan Hulu, Batu,
Banyuwangi, Gunungkidul,
Grobogan, Maros,
Banjarnegara, Palalawan,
Blora, Siak, Tegal,
Minimal • Pemkab “enggan” memberikan ADD
yang besar dengan alasan APBD yang
terbatas.
• Atau Pemkab bersikap konservatif,
yang menganggap desa “tidak siap”
atau “tidak mampu”
• Polanya bervariasi:
ADD kurang dari 10% diberikan secara
bervariasi.
Sleman, Klaten, TTS, TTU,
Aceh Utara, Serdang
Badagai, Maros,
Banjarnegara, Bekasi,
Tangerang, Lumajang,
Pasuruan, Probolinggo,
Jember, Bolmong, Gianyar,
Kediri, Tulungagung,
Kuningan, Cirebon,
Mojokerto, Enrekang,
Blitar, Aceh Besar,
Pontianak.
ADD kurang dari 10% diberikan secara
rata pada semua desa, tidak
memperhatikan variasi desa.
Belu NTT, Kutai Barat,
Kutai Timur, Cilacap, Bone,
Serang, Pandeglang, Barru,
Bojonegoro, Bangka Tengah,
Minahasa Utara
ADD kurang dari 10% dan bersifat Bantul, Jayawijaya, Lombok
29. spesific grant. Artinya alokasi ADD di
desa sudah ditentukan secara ketat oleh
kabupaten, dan pencairan maupun
pelaporan lebih dari satu kali dalam
setahun.
Timur, Lombok Tengah,
Lombok Barat, Sumbawa
Gaji atau penghasilan perangkat desa
diambil dari ADD, sehingga
penggunaan ADD di desa tidak
mengikuti pola 30% operasional dan
70% pemberdayaan.
Polewali Mandar, Deli
Serdang, Tanjung Jabung
Barat, Banjar Kalsel, Barito
Kuala, Hulu Sungai Selatan,
Hulu Sungai Utara, Tabanan,
Manfaat dan Pelajaran berharga ADD
• Mengubah cara pandang pemerintah dalam memberikan uang kepada desa,
yakni dari “bantuan” ke “alokasi” yang mengakui hak desa.
• Mengurang kesenjangan keuangan antara daerah dan desa.
• Menumbuhkan kepercayaan pemerintah kepada desa, sekaligus juga
memupuk tanggungjawab dan kapasitas desa dalam mengelola pemerintahan
dan pembangunan.
• Mendorong subsidiarity pada desa: masalah-masalah lokal yang kecil mampu
ditangani secara mandiri oleh desa, tanpa harus dibawa naik ke atas.
• Mendukung pemberian layanan publik desa yang berskala lokal.
• Mendorong proses pembelajaran bagi desa dan masyarakat untuk
membangun akuntabilitas, transparansi dan partisipasi.
• Pada tahun pertama dan kedua, ADD menciptakan political shock yang
memicu moral hazzard bagi kades untuk melakukan korupsi. Tetapi kontrol
dan pembelajaran yang baik, mulai tahun ketiga pelaksanaan ADD menjadi
lebih baik.
I. Badan Usaha Milik Desa (BumDes)
Di masa lalu, desa memiliki Koperasi Unit Desa (KUD) sebagai bentuk
lumbung sosial atau sebagai bentuk proteksi sosial dan sampai tahun 1980-an
terdapat Badan Usaha Unit Desa (BUUD). KUD pada umumnya hancur karena
digerogoti oleh pengurusnya, sehingga muncul istilah “koperasi”, artinya
pengurus malah “memeras” koperasi. Sementara BUUD sebenarnya merupakan
“institusi bisnis” untuk menambah PADes. Di Jawa, sebagian kecil desa
menjalankan BUUD itu, misalnya dengan mengubah tanah kas desanya menjadi
rumah toko, membuat gedung serba guna yang disewakan kapada umum,
lembaga kredit keuangan mikro, pasar desa, dan lain-lain. Semua ini
memberikan tambahan PADes. Tetapi lama-lama nama BUUD hilang dari
permukaan, meski usaha desa yang dijalankan oleh pemerintah desa masih
berjalan sampai sekarang.
30. Di masa sekarang, BUMDes ramai dibicarakan, didorong dan juga
dijalankan oleh Desa. Pemerintah juga sangat getol mendorong tumbuhnya
BUMDes, seperti halnya getol meningkatkan PAD, tentu disertai tujuan agar
beban-beban kabupaten untuk mengurus desa bisa berkurang. Sudah banyak
kabupaten yang membuat aturan daerah sebagai payung hukum bagi BUMDes.
Pada umumnya BUMDes ditetapkan sebagai lembaga bisnis desa yang tujuannya
untuk mencari pendapatan.
Ada apa dengan BUMDes?
1. Adanya kesulitan bentuk badan hukum bagi BUMDes. Kalau koperasi tidak,
PT juga tidak. Koperasi itu adalah kumpulan orang, yang kedaulatannya pada
anggota. Kalau PT tentu terlalu privat. Mungkin modelnya bisa pakai model
BUMN maupun BUMD, namun persoalannya kedua unit bisnis pemerintah
ini sudah diakui oleh dunia bisnis dan keuangan.
2. Selama ini dari hari ke hari sudah bermunculan usaha desa tanpa bentuk dan
tanpa badan hukum, tetapi jalan dengan baik. Misalnya PAM Desa, lembaga
kredit desa, pasar desa, ruko, gedung serba guna, dan lain-lain. Institusi
bisnis ini menyatu dengan pemerintahan desa dan dikelola oleh pemerintah
desa.
Prinsip-prinsip dasar BUMDes:
1. Layanan atau usaha yang tidak bisa dilakukan masyarakat atau swasta, atau
usaha yang tidak menyaingi usaha masyarakat. Contoh: kalau ada warga
masyarakat sudah usaha bikin genteng, maka desa sebaiknya tidak membikin
BUMDes yang usahanya bikin genteng. Sebaiknya BUMDes itu mendorong
dan mendukung usaha-usaha masyarakat.
2. Layanan atau usaha yang menguasai hajat hidup orang banyak misalnya
tambatan perahu, pasar desa, LKD, PAM desa, dll.
3. Layanan berorientasi pada pelayanan publik dan peningkatan pendapatan
desa. Misalnya ada BUMDes PAM Desa: yang berorientasi pada pelayanan
air bersih kepada warga, dan hasilnya untuk peningkatan pendapatan.
4. BUMDes jangan sampai dikelola secara komunal, sebab akan hancur.
BUMDes mempunyai orientasi kebijakan sosial tetapi pengelolaannya
bersifat profesional.
Karena itu tampaknya BUMDes itu terlalu sempit. Mengapa badan
hukum dan jenis-jenis usaha BUMDes sangat terbatas? Pertama, desa
mempunyai kedudukan campuran bahkan ambigu. Di satu sisi dia adalah
institusi semi negara (parastatal), dan sisi lain dia juga institusi masyarakat yang
bersifat komunal. Desa sama sekali tidak berbau pasar / swasta. Karena
mengandung negara, maka BUMDes harus dikelola dengan mekanisme publik,
bukan dengan komunal. Karena masih mengandung komunal, maka sifat dasar
BUMDes itu mendukung atau melayani kesejahteraan bersama, dan juga ada
akses bagi masyarakat untuk memiliki modalnya dan mengontrol pengelolaan
BUMDes. Kedua, kewenangan desa itu jumlahnya sedikit dan skala
kekuasaannya juga kecil. Mari kita lihat dalam bagan 2, tentang tipologi
31. pembagian kewenangan. Negara jelas memiliki banyak kewenangan dan skala
kekuasaan yang besar. Dia bisa melakukan apa saja, yang tidak bisa dilakukan
oleh daerah, swasta dan desa.
BAGAN 2
Besaran kewenangan dan skala kekuasan
Skala Kekuasaan
Besar Kecil
Banyak
Jumlah Kekuasaan
Sedikit
Ketiga, berbeda dengan koperasi, PT, BUMN mapun BUMD, keberadaan
BUMDes tiak diakui oleh peraturan yang mengatur tentang bisnis maupun
undang-undang keuangan negara. Keempat, kalau BUMDes bersifat privat, ada
kecenderungan kapitalisasi desa yang dilakukan sendiri oleh elite lokal, yang
akan berkongsi dengan pemilik modal. Karena itu untuk antisipasi, jangan
sampai pemerintah desa mengutamakan orientasi bisnis dan memupuk modal,
tanpa memperhatikan proteksi terhadap SDA sebagai hajat hidup orang banyak.
J. BPD dan Demokrasi Desa
Di masa lalu, desa (atau nama lain) mempunyai tradisi demokrasi
komunitarian yang lebih mengutamakan kebaikan bersama daripada kebebasan
individu, serta mempunyai wadah pengambilan keputusan dalam bentuk
musyawarah. Wadah musyawarah itu berbeda-beda, yang kalau di Jawa disebut
rembug desa. Di masa Orde Baru, wadah-wadah demokrasi lokal itu
diseragamkan dan diganti dengan wadah Lembaga Musyawarah Desa (LMD),
yang berisi para tokoh masyarakat dan dipimpin oleh kepala desa. Pada
praktiknya, LMD bukanlah institusi demokrasi, melainkan sebagai institusi
korporatis dan oligarkhis yang dikendalikan kepala desa sebagai sang penguasa
tunggal.
Tabel 1.4
Wadah demokrasi desa
No Item Rembug Desa LMD Badan
Perwakilan
Badan
Permusyawaratan
Negara Daerah
Swasta Desa
32. Desa Desa
1. Penentuan
pemimpin
dan anggota.
Musyawarah Tanpa
musyawarah
dan
pemilihan,
tetapi
penunjukkan
oleh kades
(lurah)
Pemilihan
yang
melibatkan
masyarakat
Diambil dari RT,
RW, adat, maupun
tokoh masyarakat
dengan mekanisme
musyawarah
2. Pembuatan
keputusan
Partisipatif dengan
musyawarah.
Musyawarah
oleh “wali”
masyarakat
Perwakilan. Musyawarah
terbatas
3. Kedudukan
dan fungsi
Pemegang
kedaulatan
tertinggi, membuat
keputusan yang
mengikat rakyat
Subordinat
kades
Sebagai
lembaga
konsultatif
yang
dikendalikan
kades.
Otonom dari
kades.
Legislasi
dan kontrol
terhadap
kades.
Korporatis, menjadi
unsur penyelenggara
pemerintahan
4. Kedudukan
kades
Sebagai ketua
rembug desa
Sebagai ketua
umum dan
mendominasi
LMD
Lepas dari
organisasi
BPD.
Lepas dari
organisasi
BPD
5. Keterlibatan
masyarakat
Seluruh kepala
keluarga terlibat,
kecuali anak-anak
muda dan
perempuan.
Masyarakat
tidak
terlibat.
Hanya
elite desa
yang
terlibat.
Masyarakat
terlibat
memilih,
tetapi kurang
terlibat
dalam
proses
pembuatan
keputusan.
Sebagian
masyarakat
terlibat dalam
musyawarah
pembentukan BPD
6. Tipe
demokrasi
Permusyawaratan
(deliberative)
Perwalian
(delegatif)
yang
tidak
sempurna.
Perwakilan Permusyawaratan
yang
terpimpin
(korporatis)
Ketika UU No. 22/1999 lahir, LMD digantikan dengan Badan Perwakilan
Desa (BPD). Semangatnya adalah menghilangkan struktur oligarkhis yang
dikendalikan penguasa tunggal, sembari memberi wadah representasi bagi
33. banyak kelompok di desa untuk permusan kebijakan yang lebih demokratis dan
kontrol terhadap kepala desa. BPD waktu sangat powerfull karena dipilih
langsung oleh rakyat dan berwenang melakukan kontrol dan bahkan bisa
menjatuhkan (impeachment) terhadap kepala desa, meskipun secara normatif
BPD adalah mitra sejajar kepala desa. Karena itu UU No. 22/1999 waktu
menciptakan hubungan konfliktual antara BPD dan kepala desa. Pihak kepala
desa sering menyebut BPD adalah Badan Provokasi Desa dan juga Badan
Pemborosan Desa.
Karena konfliktual itu, UU No. 32/2004 berupaya membangun hubungan
harmonis antara Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dan kepala desa. BPD
sekarang tidak dipilih langsung oleh rakyat, tetapi diambil dari tokoh-tokoh
masyarakat melalui proses musyawarah. Posisi BPD menjadi lebih korporatis,
yakni sebagai unsur penyelenggara pemerintahan. Kekuasaan kepala desa bisa
dipulihkan kembali.
K. Perangkat Desa
Pemerintahan desa mempunyai organisasi dan birokrasi yang sederhana.
Para birokrat desa (sekretaris desa hingga kepala-kepala urusan) disebut sebagai
perangkat desa yang bertugas membantu kepala desa dalam menjalankan urusan
pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan, termasuk pelayanan
administratif di dalamnya. Di Jawa, perangkat desa sering disebut sebagai
“pamong desa”, yang karena posisinya sebagai pemuka masyarakat yang
memperoleh mandat untuk mengayomi dan membimbing rakyat desa. Mereka
juga mempunyai atribut mentereng (abdi negara dan abdi masyarakat) yang
menjadi kebanggaannya. Sebagai abdi negara, perangkat desa menyandang
atribut dan simbol-simbol yang diberikan oleh negara, sekaligus menjalankan
tugas-tugas negara, seperti menarik pajak, mengurus administrasi, surat-surat
resmi, pendataan penduduk dan lain-lain.
Sebagai abdi masyarakat, perangkat desa bertugas melayani masyarakat
24 jam, mulai pelayanan administratif hingga pelayanan sosial (mengurus
kematian, hajatan, orang sakit, pasangan suami isteri yang mau cerai, konflik
antarwarga, dan sebagainya).
Sistem birokrasi desa sangat berbeda dengan sistem birokrasi negara,
meskipun desa juga sebagai unit pemerintahan yang menjalankan tugas-tugas
negara, baik pelayanan publik maupun pembangunan. Birokrasi negara didisain
dan dikelola teknokratis dan modern dari sisi rekruitmen, pembinaan, penggajian
(remunerasi), organisasi, tatakerja, tupoksi, dan lainlain.
Birokrat negara, baik pejabat administratif maupun pejabat fungsional
(kesehatan dan pendidikan), berstatus sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS), yang
dikelola dengan kepastian mulai dari pengangkatan pertama, pembinaan,
pembagian tugas, promosi, penggajian hingga sampai pensiun di hari tua.
34. Birokrasi desa didisain dan dikelola dengan sistem campuran antara
pendekatan tradisional dengan pendekatan modern (teknokratis), tetapi
pendekatan teknokratis tidak bisa berjalan secara maksimal antara lain karena
gangguan pendekatan tradisonal. Status perangkat desa bukanlah PNS, tetapi
sebagai aparat yang direkrut secara lokal-tradisional (dari penduduk desa
setempat) dengan cara teknokratis (memperhatikan syarat-syarat dan proses
modern).
Pengisian perangkat bukanlah dari nol sebagai staf seperti PNS,
melainkan langsung mengisi pos jabatan-jabatan dalam birokrasi desa (sekdes,
kaur, kadus) yang posisinya lowong.
Semula mereka ditetapkan bekerja seumur hidup, tetapi belakangan
banyak kabupaten / kota yang menetapkan masa kerja perangkat desa selama 20
tahun atau berusia maksimal 60 tahun. Pembinaan PNS dimulai dari prajabatan,
diklat penjenjangan maupun promosi dari staf hingga eselon I, perangkat desa
tidak diperlakukan yang sama. Ketika seseorang menduduki jabatan kepala
urusan maka dia selamanya akan duduk situ sampai usia pensiun.
Dia tidak akan mengalami promosi menjadi sekretaris desa, kecuali jika
dia melepas jabatan kaur dan bertarung melamar posisi sekdes yang kosong. Para
perangkat desa juga tidak memperoleh pendidikan dan latihan yang sistematis
dan berkelanjutan sebagaimana diberikan negara kepada PNS. Perangkat desa
terkadang memperoleh pembekalan awal mengenai tupoksi dan tugas-tugas
administrasi, tetapi setelah itu tidak memperoleh diklat teknis dan juga tidak ada
monev. Terkadang sebagian perangkat desa memperoleh diklat teknis (misalnya
administrasi, perencanaan, pendataan, keuangan) jika ada proyek diklat dari
pemerintah yang datangnya tidak menentu.
Disebabkan miskinnya pembinaan, maka kapasitas (pengetahuan,
wawasan dan keterampilan) perangkat desa sangat terbatas. Sebagian besar
perangkat desa di Indonesia tidak memahami berbagai peraturan dan tugas yang
menyangkut diri mereka sendiri, kecuali sebagian kecil perangkat yang mau
mencari tahu atau mereka yang kritis. Pada umumnya mereka bekerja apa
adanya (taken for granted) sesuai dengan kebiasaan perangkat sebelumnya. Di
masa Orde Baru, semua formulir administrasi (monografi, buku tamu, buku
keuangan, buku proyek, buku tanah desa, dan sebagainya) bisa terisi dan
diperbarui terus karena ada proses monev yang berjalan. Tetapi di era reformasi,
buku-buku administrasi itu terbengkelai, kecuali desa-desa yang mempunyai
predikat maju. Di banyak desa, data monografi desa sekian tahun lalu masih
terpampang dengan tulisan spidol/cat parmanen.
“Ada organisasi tetapi tidak berorganisasi” adalah sebuah metafora yang
menggambarkan bahwa organisasi birokrasi desa tidak berjalan dengan baik,
apalagi desa-desa yang terbelakang, terutama di luar Jawa. Sebagian besar desa
di Indonesia sampai sekarang belum memiliki kantor desa sebagai pusat
penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan administrasi.
35. Banyak desa di luar Jawa yang tidak memiliki kantor desa sendiri,
sehingga menggunakan kantor desa di rumah kepala desa yang terpilih. Selain
tidak memiliki jam kerja yang jelas, banyak hari di “kantor desa” itu terlihat sepi,
jarang didatangi perangkat desa. Kepala desa sendiri, si pemilik “kantor desa”
jarang berada di “kantor desa” pada jam kerja, karena “kantor” yang riil berada
di kantong saku yang dibawa kemanapun ketika penguasanya pergi. Kepala desa
tidak mengurusi jabatan dan fungsinya, tetapi lebih banyak menghabiskan waktu
jam kerjanya untuk mencari nafkah (ke sawah, ladang, pantai, hutan atau bisnis).
Kalau warga hendak berurusan administrasi dengan perangkat desa, maka
mereka akan pergi ke rumah masing-masing atau ke tempat dimana perangkat
desa mangkal sehari-hari.
Karena kondisi ini, UU No. 32/2004 menetapkan pengisian sekdes
dengan PNS dengan tujuan agar pelayanan administrasi di semua desa bisa
berjalan, apalagi desa-desa di Lua Jawa yang tidak berorganisasi.
Kinerja organisasi dan perangkat desa yang sangat terbatas juga berkaitan
dengan keterbatasan kesejahteraan mereka dan tidak jelasnya sistem penggajian
(remunerasi) yang didisain pemerintah. Meski di atas kertas sistem birokrasi desa
dibuat modern, tetapi penggajian perangkat masih menggunakan pola yang
sangat tradisional. Selama ini belum ada kebijakan yang memadai mengenai
penggajian (remunerasi) terhadap kepala desa dan perangkat desa. Di sebagian
besar desa-desa di Jawa, perangkat memperoleh penghasilan dari tanah bengkok
(palungguh), sebagai bentuk remunerasi secara tradisional yang diwariskan
secara turun-temurun. Besaran tanah bengkok yang dikelola perangkat itu sangat
bervariasi dari satu desa ke desa lain, bahkan ada juga sebagian desa yang sama
sekali tidak mempunyai tanah bengkok.
Para perangkat desa tentu mempunyai status yang terhormat bagi
masyarakat, tetapi pada umumnya tingkat kesejahteraan perangkat desa sangat
memprihatinkan. ”Kami ini betul-betul ditelantarkan, apalagi kalau sudah
pensiun. Rata-rata pensiunan perangkat desa cepat mati karena hidup terlantar”,
demikian ungkap seorang sekdes di Kebumen, suatu ketika.
Meski demikian, mereka selalu berujar bahwa mereka menjadi ”ujung
tombak” sekaligus ”ujung tombok” bagi masyarakat. Karena itu sejak lama para
perangkat desa selalu menuntut dan berharap agar pemerintah betul-betul
memperhatikan nasib dan kesejahteraan mereka.
Pemerintah sebenarnya telah menegaskan tentang penghasilan perangkat
desa dalam PP No. 72/2005. Pasal 27 dari PP 72/2005 berbunyi: (1) Kepala Desa
dan Perangkat Desa diberikan penghasilan tetap setiap bulan dan/atau tunjangan
lainnya sesuai dengan kemampuan keuangan desa; (2) Penghasilan tetap
dan/atau tunjangan lainnya yang diterima kepala desa dan Perangkat Desa
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan setiap tahun dalam APBDesa:
(3) Penghasilan tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling sedikit sama
dengan Upah Minimum Regional Kabupaten/Kota.
36. Tanpa diatur sekalipun pemerintah desa bisa berkreasi sendiri melakukan
penggajian terhadap perangkat desa yang diambilkan dari APBDes. Padahal
yang ditunggu oleh perangkat desa adalah tanggungjawab dan kebijakan
pemerintah yang jelas dan konkret dalam memberikan penghasilan, bukan
sekadar mengatur penghasilan dalam APBDes.
Lokalisasi penghasilan melalui APBDes ini akan menghadapi kendala,
terutama bagi desa-desa yang memiliki APBDes minim. Mungkinkah mereka
akan dapat memberikan penghasilan kepada kepala desa beserta perangkatnya
senilai penghasilan upah minimum regional kalau untuk membiayai
pembangunan dan kemasyarakatan masih kurang?
Dapat dikatakan bahwa belum ada perhatian yang cukup setimpal
terhadap kepala desa beserta perangkat desa. Penghargaan terhadap kepala desa
beserta perangkatnya selama ini masih diserahkan sebagian besar kepada desa itu
sendiri (pasal 27 tersebut di atas).
Disamping itu dengan APBD pemerintah Kabupaten sebenarnya juga
sudah turut membantu, namun sejauhmana bantuan itu sudah mencukupi atau
belum, itu masih sangat tergantung dari kemauan baik Kabupaten. Sedangkan
pembagian pengghasilan dari dana perimbangan, bantuan, retribusi desa, dan
lain-lain untuk mendukung keuangan desa tidak ada kepastian dan sangat
tergantung dengan kebijakan Pemerintah kabupaten. Pemerintah kabupaten
biasanya memberikan pengharhagaan kepada kepala desa beserta perangkatnya
tiap tiga bulan yang masing-masing besarannya berbeda antara satu kabupaten
dengan kabupaten lainnya.
L. Pemberdayaan Masyarakat
Selama satu dekade terakhir, pemberdayaan menjadi mantra baru dalam
kebijakan pemerintah dan wacana dalam studi pembangunan. Bahkan ia menjadi
latah, dimana setiap institusi pemerintah mempunyai bidang dan program
berjudul pemberdayaan. Padahal pemberdayaan adalah pendekatan atau
semangat yang harus ada dalam setiap program.
Mari kita lihat Program Nasional Pemberdayaan Nasional (PNPM)
sebagai program pemberdayaan paling besar yang masuk ke desa. Program
Pengembangan Kecamatan (PPK) dari tahun 1998 hingga 2006 kemudian
diteruskan oleh Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri
sejak 2007, sebenarnya merupakan program yang paling nyata untuk
pembangunan desa (membangun desa) yang dijalankan pemerintah. Kebijakan
pembangunan desa dari pusat ini dibungkus dengan agenda penanggulangangan
kemiskinan berbasis pada pemberdayaan, atau menggunakan model community
driven development.
Artinya masyarakat sebagai aktor utama yang mengagas, menggali,
merencanakan, menggerakkan, melaksanakan, mengontrol dan memanfaatkan
pembangunan sesuai dengan kebutuhan lokal. Pemerintah (negara) tidak perlu
37. menjadi aktor yang intervensionis seperti model integrated rural development di
masa lalu, tetapi cukup memberikan dana stimulan untuk mendukung prakarsa
masyarakat dan sekaligus menjadi fasilitator atas proses pemberdayaan yang
dijalankan oleh masyarakat. Dana dari pemerintah nasional, yang dikenal dengan
BLM, tidak mengalir melalui provinsi, kabupaten, kecamatan dan juga tidak
diterima oleh pemerintah desa melainkan langsung diterima oleh masyarakat.
Khusus PNPM Perdesaan mencakup 12.045 Desa tertinggal yang tersebar
di di 2.780 kecamatan pada 365 Kabupaten di 32 Provinsi. Sedangkan di
Provinsi Papua dan Papua Barat dilaksanakan kerja sama dengan Program
RESPEK – OTSUS di 386 Kecamatan / Distrik di Kabupaten dengan dana BLM
sebesar Rp. 100 Juta per Kampung. NPM melakukan kritik atas pendekatan
bantuan dan perlindungan sosial (BLT, BOS, Raskin, Askeskin, dll) karena
pendekatan ini menciptakan ketergantungan masyarakat kepada pemerintah. Satu
dan dua langkah ke depan, PNPM menempuh pendekatan pemberdayaan dan
selangkah lagi juga mengembangkan UMKM.
Di tengah kelangkaan, masyarakat desa di manapun memberikan
sambutan luar biasa terhadap BLM dari PNPM. Mereka jauh lebih antusias
merayakan PNPM daripada terlibat dalam musrenbang regular, sebab dana
PNPM jauh lebih jelas dan lebih besar daripada dana yang berasal dari
mekanisme reguler. Masyarakat benar-benar merasakan PNPM dari masyarakat,
oleh masyarakat dan untuk masyarakat. Mereka merasa dimanusiakan dalam
proses penggalian gagasan, dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan.
Demikian juga dengan kaum perempuan yang mempunyai ranah khusus di
kegiatan simpan pinjam untuk usaha mereka. Masyarakat miskin bisa menikmati
dana PNPM untuk modal usaha maupun untuk mendukung beasiswa anak-
anaknya, maupun memperoleh upah dari proyek-proyek padat karya. PNPM
sangat sukses menjadi stimulan untuk menggerakkan swadaya masyarakat. Pada
saat yang sama mereka belajar mengelola uang dengan tanggungjawab dan
transparan. Mulai dari PPK hingga PNPM juga membuahkan berbagai output
yang signifikan: berbagai infrastruktur perdesaan hingga pundi-pundi dana
dalam UPK. Tentu saja, PNPM juga berkontribusi terhadap penurunan angka
kemiskinan.
Namun PNPM tentu tidak lepas dari berbagai pertanyaan dan kritik.
Apakah PNPM mampu menjadi kekuatan investasi sosial dan ekonomi terhadap
pro poor, pro jobs dan pro growth secara berkelanjutan? Apakah PNPM mampu
menjadi benteng yang ampuh bagi masyarakat desa dari faktor-faktor seperti
bencana alam dan pasar yang sering menciptakan kerentanan? Apakah PNPM
mampu menjadi investasi yang signifikan untuk “membangun desa” dalam
bentuk “kolam-kolam” ikan? Apakah PNPM mampu menumbuhkan sumber-
sumber penghidupan desa sehingga bisa mengurangi urbanisasi?
Sejauh ini berbagai kritik yang dialamatkan kepada PNPM:
38. • Pendekatan pemberdayaan sangat penting dan bermanfaat untuk
pembelajaran dan menggerakkan masyarakat desa, tetapi tidak cukup kuat
untuk membangun desa secara keseluruhan. Metafora memberi kail dalam
pendekatan pemberdayaan harus dicermati secara kritis. Masalah struktural
yang dihadapi desa adalah keterbatasan aset dan akses atau tidak memiliki
kolam ikan. Kalau rakyat desa diberi kail, lantas kail itu untuk memancing
apa, wong kolamnya tidak ada.
• Dengan semangat pemerataan, PNPM menempuh cara fragmented budget
untuk membiayai unit-unit produksi pada kelompok-kelompok masyarakat
sebanyak mungkin. Menurut teori ekonomi, semakin banyak unit produksi,
maka biaya produksi semakin besar, skala ekonomi semakin kecil dan
produksi juga semakin kecil.
• PNPM tampaknya belum mampu membentengi masyarakat desa dari
berbagai kerentanan akibat dari faktor-faktor alam dan ganasnya pasar.
• Karena bukan investasi jangka panjang, PNPM belum mampu menyediakan
lapangan pekerjaan yang berkelanjutan bagi penduduk desa.
M. Tujuan dan Agenda Reformasi Desa
Saya mengusulkan beberapa pendekatan untuk memahami desa. Pertama,
pendekatan yang berbasis hak (right based approach) untuk memperkuat dan
memperjelas akses desa terhadap SDA, pelayanan publik dan anggaran.
Pendekatan ini merupakan antitesis dari pendekatan yang berbasis kebutuhan
dasar (basic needs approach). Dalam studi pembangunan, pendekatan kebutuhan
dasar muncul pertama kali dalam merespons dan mengkritik pembangunan yang
berorientasi pertumbuhan, terutama untuk menjawab problem kemiskinan yang
diakibatkan dari pertumbuhan atau kegagalan konsep trickle down effect dalam
menjanjikan kemakmuran. Pendekatan kebutuhan dasar memang paling dasar
harus dilakukan kepada kaum marginal, misalnya kaum miskin, dalam bentuk
layanan sosial yang paling dasar. Pemerintah tentu berkewajiban menyediaan
layanan sosial dasar, sekaligus membuka askes secara terbuka dan
nondiskriminatif bagi kaum marginal untuk memperoleh layanan itu. Tetapi
belakangan dalam studi pembangunan muncul pendekatan baru, yakni
pendekatan yang berbasis hak (right based approach to development), sebagai
kritik dan revisi atas pendekatan berbasis kebutuhan dasar. Jika pendekatan
berbasis kebutuhan berupaya mengamankan sumberdaya tambahan untuk
melayani atau mencukupi kebutuhan kelompok-kelompok marginal, maka
pendekatan berbasis hak menegaskan bahwa sumberdaya yang tersedia
seharusnya dibagi secara adil kepada kaum marginal, sekaligus memperkuat
posisi kaum margninal memperjuangkan hak-hak mereka atas sumberdaya.
Kedua pendekatan itu juga berbeda dari sisi motivasi. Jika kebutuhan bisa
ditangani dengan pendekatan karitatif (amal), maka hak kaum marginal berbasis
pada kewajiban legal (legal obligation) bahkan dalam beberapa kasus ia berbasis
39. pada kewajiban etik yang menjadi fondasi bagi nasib manusia (Celestine
Nyamu-Musembi dan Andrea Cornwall, 2004).
Kedua, pendekatan yang memadukan antara “membangun desa” dari atas
dan “desa membangun” dari dalam dan dari bawah. Konsep “desa membangun”
berarti mempunyai dimensi kemandirian, yang menempatkan desa sebagai
subyek mandiri untuk merencanakan dan menjalankan agenda-agenda
pembangunan yang berskala lokal. Secara kelembagaan, pendekatan ini
merekomendasikan bahwa desa sebaiknya mempunyai kewenangan yang
proporsional, sistem perencanaan mandiri dan sumber-sumber keuangan yang
salah satu sumbernya berasal dari Alokasi Dana Desa dari atas. Konsep “desa
membangun” selain digerakkan oleh pemerintah desa sebagai institusi publik
yang kuat, juga bertumpu pada modal sosial yakni dalam bentuk kearifan lokal,
solidaritas sosial, kerjasama dan jaringan sosial baik berskala lokal maupun
berskala yang lebih besar di luar batas-batas wilayah desa.
Bagaimanapun “desa membangun” lebih berorientasi pada pemberdayaan
dan penghargaan terhadap desa, tetapi ia tidak cukup mampu mendongkrak
kemiskinan dan ketertinggalan desa. Kalau pembangunan desa hanya bertumpu
pada “desa membangun” akan menciptakan kesendirian, bukan kemandirian.
Karena itu harus juga ada pendekatan “membangun desa”. Konsep “membangun
desa” adalah kebijakan afirmatif yang harus dilakukan pemerintah.
Ketiga, pendekatan transformatif, sebagai antitesis atas pendekatan
romantisme-lokalisme. Artinya desa harus dikembangkan dalam kerangka
republik, atau dikembangkan menjadi institusi publik yang mandiri, demokratis
dan sejahtera. Tentu hal ini dilakukan secara inkremental yang tetap
memperhatikan dimensi sejarah dan konteks lokal. Tetapi kalau terus-menerus
bicara sejarah dan konteks lokal, maka upaya membangun republik akan
mengalami kesulitan besar.
Berbagai pendekatan itu yang menjadi referensi penting untuk reformasi
(pembaruan) desa, yang secara konseptual mengandung komponen pemerintahan
(village governance), pembangunan (rural development) dan pemberdayaan
(community empowerment), sekaligus mempunyai tujuan untuk mencapai desa
yang mendiri, demokratis dan sejahtera.
Interaksi antara komponen (pemerintahan, pembangunan dan
pemberdayaan) dengan tujuan (mandiri, demokratis dan sejahtera) menghasilkan
gambar tentang desa ideal seperti tersaji dalam tabel 5.
Pemerintahan mandiri. Kuadran 1 merupakan pertemuan antara
pemerintahan dan mandiri menghasilkan “otonomi desa” atau kemandirian desa,
yang secara kelembagaan desa mempunyai otonomi dalam kewenangan,
perencanaan dan keuangan. Konsep “kemandirian” tentu sangat berbeda dengan
“kesendirian” dan berbeda juga dengan “kedirian”. Kedirian berarti local ego,
atau autarkhi atau lokalisme, yang berarti desa mempunyai klaim-klaim kuat atas
identitas dan sumberdaya alam tanpa mau melihat dunia luar dan juga tidak
tunduk pada regulasi yang dibuat oleh Republik Indonesia. Kesendirian sama
40. dengan kesepian, yang berarti desa mengurus kepentingan masyarakat setempat
dengan kekuatan sendiri, misalnya dengan modal sosial (swadaya dan gotong-
royong), tanpa responsivitas pemerintah.
Tabel 1.5
Potret Desa Ideal
Tujuan
Komponen
Mandiri Demokratis Sejahtera
Pemerintahan Otonomi
(kemandirian)
desa: Desa
mempunyai
kewenangan,
perencanaan dan
keuangan sebagai
pilar kelembagaan
otonomi.
Pemerintahan desa
“dari” (partisipasi)
rakyat, “oleh”
(akuntabel dan
transparan)
dan “untuk”
(responsif) rakyat.
Pemerintah desa
mengelola sumber
daya lokal dan
berperan aktif dalam
pelayanan publik
dasar.
Pembangunan “Desa
membangun”:
desa mempunyai
kewenangan dan
kekuatan
menjalankan
pembangunan
berskala desa secara
mandiri desa.
Pembangunan desa
dikelola secara
bertanggungjawab,
transparan dan
partisipatif.
“Membangun desa”:
pemerintah daerah
menjalankan
“pembangunan
berimbang” yang
menyentuh langsung
kehidupan
masyarakat.
Pemberdayaan
Desa
Desa mempunyai
inisiatif lokal dan
kapasitas yang baik.
Masyarakat aktif
dan partisipatif.
Masyarakat desa
mempunyai basis
ketahanan sosial
ekonomi, dan juga
kekuatan untuk
mengembangkan
ekonomi lokal dari
bawah (bottom up
economics growth)
Pemerintahan yang demokratis. Ingat bahwa desa tidak lagi sepenuhnya
menjadi organisasi komunal seperti dulu yang cenderung paternalistik, tetapi
telah mengalami evolusi (karena masuk ke dalam negara) menjadi organisasi
publik. Desa menjadi bagian dari republik, karena itu desa adalah milik publik,
41. dan dikembalikan kepada publik. Ini identik dengan demokrasi. Pemerintahan
desa yang demokratis identik dengan pemerintahan rakyat: pemerintahan yang
berasal “dari” (partisipasi) rakyat; pemerintahan yang dikelola “oleh” (secara
transparan dan bertanggungjawab) rakyat dan dimanfaatkan sebaik-baiknya
“untuk” (secara responsif) rakyat.
Pemerintahan yang mendukung kesejahteraan. Penguatan otonomi desa
(kewenangan, perencanaan dan keuangan) sebenarnya ditujukan untuk
kesejahteraan, atau memberi tanggungjawab dan peran besar kepada desa untuk
agenda penanggulangan kemiskinan dan pembangunan kesejahteraan. Dalam hal
ini desa mengelola sumberdaya lokal, mengelola perencanaan dan anggaran serta
unit-unit usaha lokal dimaksudkan untuk membiayai dan menyelenggarakan
pelayanan publik yang berskala lokal desa. Ini dilakukan oleh pemerintah desa
dan lembaga-lembaga kemasyarakatan.
Pembangunan yang mandiri. Ini yang disebut dengan “desa
membangun”. Artinya desa mempunyai kewenangan, kesempatan dan kekuatan
untuk merencanakan, membiayai, melaksanakan dan monev agenda-agenda
pembangunan desa secara mandiri. Mandiri bukan berarti sendiri.
Pembangunan yang demokratis. Pembangunan di tingkat desa yang
dikendalikan oleh pemerintah desa sebaiknya bersendikan pada demokrasi, yakni
dijakankan secara partisipatif, bertanggungjawab, transparan dan responsif.
Pembangunan untuk kesejahteraan. Desa sendirian dengan semangat
“desa membangun” tidak cukup kuat untuk mewujudkan kesejahteraan
masyarakat, sehingga juga harus ada tindakan pemerintah “membangun desa”
melalui pembangunan daerah yang peka terhadap kemiskinan dan kondisi desa.
Selama ini pola pembangunan cenderung bias (bias kota, bias sektor, bias
industri, bias sektor keuangan, dll), sehingga perlu dibangun dengan model
“pembangunan berimbang”. Dari sudut pandang governance, kita juga butuh
pembangunan berimbang dari sisi aktor (negara, swasta dan masyarakat).
Pemberdayaan mandiri. Konsep ini berarti desa secara mandiri
mempunyai inisiatif dan kemampuan untuk menemukenali potensi, kebutuhan
dan masalah lokal; yang kemudian ditransformasikan menjadi perencanaan desa.
Desa sebaiknya juga terus-menerus belajar untuk memupuk kemampuan lokal
untuk menjalankan rencana yang sudah disiapkan.
Bagaimanapun inisiatif dan kemampuan itu menjadi fondasi lokal yang
menopang dan memungkinkan fondasi institusional (kewenangan, perencanaan
dan keuangan) dapat bekerja. Meskipun ada transfer kewenangan dan anggaran
dalam jumlah besar, tetapi kalau komponen lokal desa lembam, maka tidak akan
terjadi perubahan menuju desa mandiri.
Pemberdayaan yang demokratis, artinya masyarakat desa bergerak secara
aktif dan partisipatif sehingga dalam lingkup desa tumbuh ruang-ruang publik
dan masyarakat sipil yang tidak hanya peduli dalam kegiatan sosial
kemasyarakatan, tetapi juga peduli pada masalah-masalah publik yang
mempengaruhi hidup mereka.
42. Pemberdayaan kesejahteraan. Masyarakat desa mempunyai basis
ketahanan sosial ekonomi, dan juga kekuatan untuk mengembangkan ekonomi
lokal dari bawah (bottom up economics growth).
BAB III
MENEROPONG ARAH PENGATURAN DESA
DALAM RUU TENTANG DESA
A. Landasan Umum Pengaturan Desa
Dalam UUD 1945 Pasal 18 B disebutkan bahwa “Negara mengakui dan
menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak
tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan
masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia”. Berangkat dari
pengakuan tersebut, maka desa sebagai bagian dari kesatuan masyarakat hukum
tersebut juga diberikan keleluasaan dalam mengatur dan mengelola dirinya
sendiri. Hal ini juga didukung dalam UU No. 32 Tahun 2004 Tentang
Pemerintahan Daerah yang menyebutkan, bahwa Desa atau yang disebut dengan
nama lain, selanjutnya disebut desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang
memiliki batas batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus
kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-asul dan adat istiadat
setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Meskipun secara terang dan jelas telah disebutkan,
namun kenyataannya otonomi berhenti di Kabupaten / Kota. Sedangkan
pengaturan lebih jauh tentang Desa dilakukan oleh Kabupaten/ Kota, dimana
kewenangan Desa adalah kewenangan Kabupaten / Kota yang diserahkan kepada
Desa.
Semangat No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah yang
meletakkan posisi Desa yang berada di bawah Kabupaten tidak relevan dan
sinkron dengan ketentuan lain dalam UU No. 32 Tahun 2004 yang justru
mengakui dan menghormati kewenangan asli yang berasal dari hak asal-usul.
Pengakuan pada kewenangan asal-usul ini menunjukkan bahwa UU No.32
Tahun 2004 menganut prinsip pengakuan (rekognisi). Dalam artian bahwa desa
memiliki otonomi, sehingga konsekuensi dari pengakuan atas otonomi asli ini
adalah Desa memiliki hak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri
berdasarkan asal-usul dan adat-istiadat setempat (self governing community), dan
bukan merupakan kewenangan yang diserahkan pemerintahan Kabupaten/ Kota
pada Desa.
43. Desa memiliki kewenangan untuk membuat Peraturan Desa, kepala
desanya dipilih secara demokratis melalui pemilihan umum, serta memiliki
Badan Permusyawaratan Desa (BPD) yang setara dengan DPRD dalam
melaksanakan tri-fungsi umumnya (Legislasi, Budgetting, dan Controlling)
menunjukkan ciri-ciri secara tegas jikalau Desa memiliki desain yang sama
dengan kabupaten / kota dalam menyelenggarakan otonomi / desentralisasi.
Dimana juga berarti memiliki kemampuan dalam mengatur urusan rumah
tangganya sendiri dengan kewenangan-kewenangan khusus yang perlu diatur
dan dipisahkan antara Pemerintah, Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten /
Kota, dan Pemerintah Desa.
Kemandirian dan demokrasi desa merupakan alat dan peta jalan untuk
mencapai kesejahteraan rakyat desa. Desentralisasi memungkinkan alokasi
sumber daya kepada desa, dan demokrasi memungkinkan pengelolaan
sumberdaya desa berpihak pada rakyat desa. Hak desa untuk mengelola sumber
daya alam merupakan modal yang sangat berharga bagi ekonomi rakyat desa.
Demikian juga dengan alokasi dana desa yang lebih besar akan sangat
bermanfaat untuk menopang fungsi desa dalam penyediaan layanan dasar warga
desa. Namun, kesejahteraan rakyat desa yang lebih optimal tidak mungkin
mampu dicakup oleh pemerintah desa semata, karena itu dibutuhkan juga
kebijakan pemerintah supra desa yang responsif dan partisipatif, yang
berorientasi pada perbaikan pelayanan dasar dan pengembangan ekonomi lokal.
Guna mendorong pengakuan atas otonomi yang dimiliki oleh desa
tersebut, disamping juga mendesain pengaturan atas desa yang lebih lengkap dan
kuat, disusunlah Rancangan Undang-Undang Tentang Desa yang merupakan
pecahan atas UU Pemerintahan Daerah. Landasan pemikiran dalam rangka
pengaturan dan pembinaan desa tersebut adalah keanekaragaman, partisipasi,
otonomi asli, demokrasi, dan pemberdayaan masyarakat.
1. Keanekaragaman, yang memiliki makna bahwa istilah desa dapat disesuaikan
dengan asal usul dan kondisi sosial budaya masyarakat setempat. Hal ini
berarti pola penyelenggaraan pemerintahan serta pelaksanaan pembangunan
di Desa harus menghormati sistem nilai yang berlaku pada masyarakat
setempat namun, harus tetap mengindahkan sistem nilai bersama dalam
kehidupan dan bernegara
2. Partisipasi, memiliki makna bahwa penyelenggaraan pemerintahan dan
pembangunan Desa harus mampu mewujudkan peran aktif masyarakat agar
masyarakat senantiasa memiliki dan turut serta bertanggung jawab terhadap
perkembangan kehidupan bersama sebagai sesama warga Desa
3. Otonomi asli, memiliki makna bahwa kewenangan pemerintahan Desa dalam
mengatur dan mengurus masyarakat setempat didasarkan pada hak asal-usul
dan nilai-nilai sosial budaya yang terdapat pada masyarakat setempat namun,
harus diselenggarakan dalam perspektif administrasi pemerintahan negara
yang selalu mengikuti perkembangan zaman.
44. 4. Demokratisasi, memiliki makna bahwa penyelenggaraan pemerintahan dan
pelaksanaan pembangunan di Desa harus mengakomodasi aspirasi
masyarakat yang diartikulasi dan diagregasi melalui BPD dan lembaga
kemasyarakatan sebagai mitra Pemerintahan Desa
5. Pemberdayaan masyarakat, memiliki makna bahwa penyelenggaraan
pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan di Desa ditujukan untuk
meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat melalui penetapan
kebijakan, program dan kegiatan yang sesuai dengan esensi masalah dan
prioritas kebutuhan masyarakat
Rancangan Undang-Undang (RUU) Tentang Desa menunjukkan esensi
dan urgensi dalam memperkuat Pemerintahan Desa agar mampu mendorong dan
menggerakkan partisipasi masyarakatnya dalam menyelenggarakan otonomi
desa. Oleh karenanya, didalamnya diatur mengenai pembentukan dan perubahan
desa; Kewenangan Desa; Penyelenggaraan Pemerintahan Desa; Peraturan Desa;
Perencanaan Pembangunan Desa; Keuangan Desa; Badan Usaha Milik Desa;
Kerjasama Desa; Lembaga Kemasyarakatan; serta Pembinaan dan Pengawasan.
RUU Tentang Desa ini sebenarnya hampir seluruhnya mengadopsi atau
dengan kata lain hampir sama dengan pengaturan tentang desa yang telah diatur
dalam PP No. 72 Tahun 2005 Tentang Desa, hanya saja level bentuk
perundangannya yang berusaha ditingkatkan dari PP menjadi UU. Meski
demikian, terdapat beberapa perubahan-perubahan serta penambahan-
penambahan pengaturan tentang desa yang terdapat dalam RUU tersebut yang
menjadi pembeda dengan PP No. 72 Tahun 2005.
Tabel 2.1
Persandingan Pengaturan Desa dalam PP No. 72 Tahun 2005 Tentang Desa dan
Rancangan Undang-Undang (RUU) Tentang Desa
No PP No. 72 Tahun 2005 Tentang Desa No RUU Tentang Desa
1. BAB I KETENTUAN UMUM 1. BAB I KETENTUAN UMUM
2. BAB II
PEMBENTUKAN
DAN PERUBAHAN
STATUS DESA
- Bagian Pertama
Pembentukan
- Bagian Kedua
Perubahan Status
2. BAB II
PEMBENTUKAN DAN
PERUBAHAN STATUS
DESA
- Bagian Kesatu
Pembentukan Desa
- Bagian Kedua
Perubahan Status Desa
3. BAB III KEWENANGAN DESA 3. BAB III KEWENANGAN DESA
4. BAB IV
PENYELENGGARA
PEMERINTAHAN
DESA
- Bagian Kesatu
Umum
- Bagian Kedua
Pemerintahan desa
• Pemerintah
Desa
• Tugas,
4. BAB IV
PENYELENGGARA
PEMERINTAHAN
DESA
- Bagian Kesatu
Pemerintahan Desa
• Asas
Penyelenggaraan
Pemerintahan Desa
• Pemerintah Desa
• Hak dan
45. Wewenang,
Kewajiban, dan
Hak Kepala
Desa
• Perangkat Desa
• Kedudukan
Keuangan
Kepala Desa
dan Perangkat
Desa
- Bagian Ketiga
Badan
Permusyawaratan
Desa
- Bagian Keempat
Pemilihan Kepala
Desa
Kewajiban
Pemerintah Desa
• Tugas, Wewenang,
Hak, dan
Kewajiban Kepala
Desa
• Larangan Bagi
Kepala Desa
• Pemberhentian
Kepala Desa
• Perangkat Desa
• Kedudukan
Keuangan Kepala
Desa dan
Perangkat Desa
- Bagian Kedua
Badan
Permusyawaratan Desa
• Umum
• Fungsi,
Wewenang,
Kewajiban, Hak,
dan Larangan BPD
• Penetapan
Anggota BPD
- Bagian Ketiga
Pemilihan Kepala Desa
• Umum
• Persyaratan
Pemilih dan
Mekanisme
Pemilihan
• Atribut, Pakaian
Dinas, dan
Penghargaan
5. BAB V PERATURAN DESA 5. BAB V PERATURAN DESA
6. BAB VI PERENCANAAN PEMBANGUNAN
DESA
6. BAB VI PERENCANAAN PEMBANGUNAN DESA
7. BAB VII
KEUANGAN DESA
- Bagian Pertama
Umum
- Bagian Kedua
Sumber Pendapatan
- Bagian Ketiga
Anggaran
Pendapatan dan
Belanja Desa
- Bagian Keempat
Pengelolaan
- Bagian Kelima
Badan Usaha Milik
7. BAB VII
KEUANGAN DESA
- Bagian Pertama Umum
- Bagian Kedua Sumber
Pendapatan
- Bagian Ketiga
Anggaran Pendapatan
dan Belanja Desa
- Bagian Keempat
Pengelolaan
46. Desa
8. BAB VIII KERJASAMA DESA 8. BAB VIII BADAN USAHA MILIK DESA
9. BAB IX LEMBAGA KEMASYARAKATAN 9. BAB IX KERJA SAMA DESA
10. BAB X PEMBINAAN DAN PENGAWASAN 10. BAB X
LEMBAGA
KEMASYARAKATAN
- Bagian Kesatu
Pembentukan, tugas,
dan fungsi
- Bagian Kedua
Hubungan kerja dan
pembiayaan
11. BAB XI
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
Berdasarkan tabel di atas, dapat diketahui bahwa secara umum
pengaturan desa antara RUU Desa dengan PP No. 72 Tahun 2005 tidaklah jauh
berbeda, meskipun terdapat beberapa tambahan ketentuan dalam RUU Desa
seperti, terdapatnya Bab khusus yang mengatur secara rinci mengenai Badan
Usaha Milik Desa (BUMDes); penguraian lebih lanjut terhadap lembaga
kemasyarakatan; serta beberapa ketentuan tambahan di Bab Penyelenggaraan
Pemerintahan Desa. Oleh karenanya, arah pengaturan desa akan diuraikan dan
diperbandingkan antara PP No.72 Tahun 2005 Tentang Desa dengan RUU
Tentang Desa dengan penekanan khusus pada penguraian ketentuan-ketentuan
khusus yang diatur dalam RUU Desa namun tidak terdapat dalam PP No. 72
Tahun 2005 ataupun peraturan perundangan lainnya. Berdasarkan hal tersebut,
nantinya dapat diketahui arah pengaturan desa yang hendak disempurnakan
dalam rangka menunjang perkembangan desa ke arah yang lebih maju dan
sejahtera.
Dalam ketentuan umum RUU Desa terdapat beberapa penjelasan
peristilahan baru yang digunakan dan tidak terdapat dalam PP No. 72 Tahun
2005 Tentang Desa, diantaranya :
a. Pembentukan desa, yaitu tindakan penggabungan beberapa desa, atau bagian
desa yang bersandingan, atau pemekaran dari satu desa menjadi dua desa
atau lebih, atau pembentukan desa diluar desa yang telah ada.
b. Badan Usaha Milik Desa yang selanjutnya disingkat BUMDes adalah badan
usaha yang sebagian besar permodalannya berasal dari APBDesa yang
dipisahkan dan dapat mengkoordinasikan segala bentuk usaha desa seperti
ekonomi produktif, perdagangan, jasa, dan lembaga keuangan non-bank dan
lain sebagainya yang ada di desa
c. Perubahan definisi anggaran pendapatan dan belanja desa selanjutnya
disingkat APBDesa adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan desa,
yang bersumber dari APBN, APBD, Pendapatan Asli Desa, dan sumber
lainnya yang sah, dibahas dan disetujui bersama oleh pemerintah desa dan
BPD, dan ditetapkan dengan peraturan desa
d. Dijelaskan pula definisi keuangan desa yaitu semua hak dan kewajiban
dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan desa yang dapat dinilai dengan