Media literacy adalah kemampuan untuk memahami, menganalisis, dan mendekonstruksi pesan media. Tujuannya adalah agar konsumen media sadar akan cara media dikonstruksi dan dampaknya, sehingga mampu memilih mana informasi yang bermanfaat. Terdapat berbagai pandangan mengenai definisi dan tujuan media literacy, namun secara umum bertujuan memberdayakan masyarakat dalam mengontrol dan mengolah pesan media secara kritis.
1. LITERASI MEDIA
Media massa adalah media yang digunakan secara massal untuk menyebarluaskan informasi
kepada masyarakat. Informasi itu bisa berupa hiburan, atau pendidikan. Media massa terdiri dari media
cetak dan media elektronik. Yang termasuk media cetak adalah koran, majalah, tabloid, newsletter, dan
lain-lain. Sedangkan media elektronik adalah televisi dan film (media audiovisual), juga radio (media
audio).
Fungsi Media massa ada empat, yaitu menginformasikan (to inform), mendidik (to educate),
membentuk opini atau pendapat (to persuade), dan menghibur (to entertain). Media literacy muncul
didorong kenyataan bahwa fungsi media massa lebih dominan dalam hal menghibur, dan mengabaikan
fungsi mendidik.
Dari bangun tidur hingga menjelang tidur, terkadang kita tidak lepas dari kebiasaan kita untuk
menikmati aneka media yang tersedia baik media massa maupun media elektronik.Saat pagi hari biasanya
kita menyetel tv untuk menikmati kuliah subuh, dilanjutkan dengan berita pagi, menjelang siang hari
biasa ibu-ibu gemar menikmati sinetron, dan infotaiment artis kesayangannya.Terkadang kita juga di pagi
hari menikmati berita terkini via surat kabar bagi yang berlangganan sambil menikmati hidangan kopi
panas di pagi hari.Selain itu juga terkadang di waktu senggang kita mencoba untuk membuka Fb dan
medsos lainnya untuk mengetahui perkembangan teman-teman kita saat ini, kita juga terkadang sering
mendengarkan musik untuk menghilangkan kejenuhan setelah melakukan aktifitas sehari-hari.
Namun fakta bicara, tidak semua isi media massa bermanfaat bagi masyarakat. Banyak di
antaranya yang tidak mendidik dan hanya mengedepankan kepentingan pemilik/pengelola media untuk
mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya. Media literacy bermaksud membekali khalayak dengan
kemampuan untuk memilah dan menilai isi media massa secara kritis, sehingga masyarakat diharapkan
hanya memanfaatkan isi media sesuai dengan kepentingannya.
Literasi media adalah kemampuan untuk memahami, menganalisis, dan mendekonstruksi
pencitraan media. Kemampuan untuk melakukan hal ini ditujukan agar pemirsa sebagai konsumen media
(termasuk anak-anak) menjadi sadar (melek) tentang cara media dikonstruksi (dibuat) dan diakses.
Istilah Media Literacy mungkin belum begitu akrab di telinga kita. Masyarakat mungkin masih
terheran dan kurang paham jika ditanya apa sebenarnya Media Literacy tersebut. Para ahli pun memiliki
konsep yang beragam tentang pengertian Media Literacy , Mc Cannon mengartikan Media Literacy
sebagai kemampuan secara efektif dan secara efesien memahami dan menggunakan komunikasi massa
(Strasburger & Wilson, 2002). Ahli lain James W Potter (2005) mendefinisikan Media Literacy sebagai
satu perangkat perspektif dimana kita secara aktif memberdayakan diri kita sendiri dalam menafsirkan
pesan-pesan yang kita terima dan bagaimana cara mengantisipasinya.
Perspektif adalah kerangka konseptual, perangkat asumsi, perangkat nilai dan perangkat gagasan
yang mempengaruhi persepsi seseorsng sehingga pada skhirnya akan mempengaruhi tindakan seseorang
dalam situasi tertentu.(Joel M Charon)
2. Secara ringkas Media Literacy artinya adalah pintar, cakap, mampu dengan baik, menggunakan,
memahami, menganalisa, media baik media televisi, radio, surat kabar, dan film. Kajian Media Literacy
terkini menunjukkan adanya perkembangan media seperti video, komputer, dan internet. Kehidupan
modern dan perkembangan teknologi canggih membuat manusia dalam kesehariannya selalu diterpa oleh
media. Istilah populernya adalah tiada hari tanpa media.
Media Literacy atau melek media adalah suatu istilah yang digunakan sebagai jawaban atas
maraknya pandangan masyarakat tentang pengaruh dan dampak yang timbul akibat isi (content) media
massa, dimana cenderung negatif dan tidak diharapkan. Sehingga perlu diberikan suatu kemampuan,
pengetahuan, kesadaran dan keterampilan secara khusus kepada masyarakat sebagai pembaca media
cetak, penonton televisi atau pendengar radio. Berikut ini dipaparkan tentang pengertian media literacy
dari beberapa pakar (dalam Chang, Sup, 2001 : 424) Media literacy adalah :
leadership Confrence on Media literacy, 1992)
ia di masyarakat (Paul Messaris,1990)
transmisi pesan.
memahami sumber dan teknologi komunikasi, simbol yang digunakan, pesan yang diproduksi, diseleksi,
diinterpretasi dan akibat yang ditimbulkannya.
Media Literacy di Indonesia lebih dikenal dengan istilah Melek Media. James Potter dalam
bukunya yang berjudul “Media Literacy” (Potter, dalam Kidia) mengatakan bahwa media Literacy adalah
sebuah perspekif yang digunakan secara aktif ketika individu mengakses media dengan tujuan untuk
memaknai pesan yang disampaikan oleh media. Jane Tallim menyatakan bahwa media literacy adalah
kemampuan untuk menganalisis pesan media yang menerpanya, baik yang bersifat informatif maupun
yang menghibur.
Allan Rubin menawarkan tiga definisi mengenai media literacy. Yang pertama dari National Leadership
Conference on Media Literacy (Baran and Davis, 2003) yaitu kemampuan untuk mengakses,
menganalisis, mengevaluasi dan mengkomunikasikan pesan. Yang kedua dari ahli media, Paul Messaris,
yaitu pengetahuan tentang bagaimana fungsi media dalam masyarakat. Yang ketiga dari peneliti
komunikasi massa, Justin Lewis dan Shut Jally, yaitu pemahaman akan batasan-batasan budaya, ekonomi,
politik dan teknologi terhadap kreasi, produksi dan transmisi pesan. Rubin juga menambahkan bahwa
definisi-definisi tersebut menekankan pada pengetahuan spesifik, kesadaran dan rasionalitas, yaitu proses
kognitif terhadap informasi.Fokus utamanya adalah evaluasi kritis terhadap pesan. Media literasi
merupakan sebuah pemahaman akan sumber-sumber dan teknologi komunikasi, kode-kode yang
digunakan, pesan-pesan yang dihasilkan serta seleksi, interpretasi dan dampak dari pesan-pesan tersebut.
3. Terdapat dua pandangan mengenai media literacy yaitu dari Art Silverblatt dan James Potter (Potter
dalam Kidia). Silverblatt menyatakan bahwa seseorang dikatakan memiliki keterampilan literasi media
apabila dirinya memuat faktor-faktor sebagai berikut :
1) Sebuah kesadaran akan dampak media terhadap individu dan masyarakat
2) Sebuah pemahaman akan proses komunikasi massa
3) Pengembangan strategi-strategi yang digunakan untuk menganalisis dan membahas pesan-pesan media
4) Sebuah kesadaran akan isi media sebagai ‘teks’ yang memberikan wawasan dan pengetahuan ke dalam
budaya kontemporer manusia dan diri manusia sendiri
5) Peningkatan kesenangan, pemahaman dan apresiasi terhadap isi media.
Di sisi lain, Potter (Baran and Davis, 2003 dalam Kidia) memberikan pendekatan yang agak berbeda
dalam menjelaskan ide-ide mendasar dari media literacy, yaitu:
1) Sebuah rangkaian kesatuan, yang bukan merupakan kondisi kategorikal (Media Literacy is a
continuum not a category
2) Media literacy perlu dikembangkan dengan melihat tingkat kedewasaan seseorang
3) Media literacy bersifat multidimensi, yaitu domain kognitif yang mengacu pada proses mental dan
proses berpikir, domain emosi yaitu dimensi perasaan, domain estetis yang mengacu pada kemampuan
untuk menikmati, memahami dan mengapresiasi isi media dari sudut pandang artistik, dan domain moral
yang mengacu pada kemampuan untuk menangkap nilai-nilai yang mendasari sebuah pesan
4) Tujuan dari media literacy adalah untuk memberi kita kontrol yang lebih untuk menginterpretasi pesan.
Tujuan dari melek media adalah untuk memberdayakan individu-individu dalam mengontrol media
pemrograman. Istilah pemrograman dalam pengertian ini, tidak bermaksud program televisi atau media
pesan. Seorang individu oleh dirinya sendiri tidak akan punya banyak pengaruh mengubah bagaimana
massa kerajinan media pesan mereka. Seorang individu akan pernah bisa menjalankan banyak kendali
atas apa yang akan ditawarkan kepada publik. Namun, seseorang bisa belajar untuk mengerahkan banyak
kontrol atas cara berfikir seseorang yang dapat diprogram. Dengan demikian, tujuan media keaksaraan
adalah untuk menunjukkan orang-orang bagaimana untuk mengalihkan kontrol dari media sendiri. Inilah
yang saya maksud ketika saya mengatakan bahwa tujuan melek media untuk membantu orang
mengendalikan program media.
Media Literasi juga bertujuan untuk:
• Membatasi PILIHAN
Media telah memprogram kita untuk percaya bahwa kita sedang menawarkan banyak pilihan, tetapi
pilihan kisaran sangat terbatas. The media have programmed you to think that you have choices when in
fact the degree of choice is greatly limited, berarti Media telah memprogram Anda berpikir bahwa Anda
memiliki pilihan ketika pada kenyataannya tingkat pilihan sangat terbatas.
• Memperkuat PENGALAMAN
4. Kita tetap akan kembali ke jenis pesan yang sama, percaya bahwa Kita akan memiliki pengalaman yang
memuaskan sekali lagi seperti yang ada di masa lalu. Seiring berjalannya waktu, kebiasaan menjadi kuat,
dan itu menjadi jauh lebih sulit untuk mencoba sesuatu yang baru.
The Cognitive Model of Media Literacy
engatur pengolahan informasi tugas. Ini juga
bentuk dan makna-makna pencocokan konstruksi.
Lokus pribadi terdiri dari tujuan dan pengendali. Tujuan membentuk tugas pemrosesan informasi dengan
menentukan apa yang akan disaring dan apa yang harus diabaikan. Semakin Anda menyadari tujuan
Anda, semakin Anda dapat langsung proses pencarian informasi. Dan semakin kuat pengendalian
informasi Anda, semakin banyak Anda akan memperluas usaha untuk mencapai tujuan Anda. Namun,
lokus lemah (Anda tidak menyadari tujuan tertentu dan energi pengendalian Anda rendah), Anda akan
gagal untuk kontrol media: yaitu, Anda memperbolehkan media untuk menjelajahi diri anda dan kontrol
atas informasi pengolahan.
-alat yang diperlukan untuk
melaksanakan rencana. Alat-alat tersebut adalah kompetensi dan keterampilan. Kompetensi adalah orang-
orang yang telah memperoleh alat-alat untuk membantu mereka berinteraksi dengan media dan untuk
mengakses informasi dalam pesan. Kompetensi yang dipelajari pada awal kehidupan, yang diterapkan
secara otomatis. Kompetensi relatif dikotomis: yaitu, baik orang mampu melakukan sesuatu atau mereka
tidak mampu. Sebagai contoh, baik orang tahu bagaimana mengenali kata dan maknanya sesuai dengan
makna hafal atau mereka tidak. Memiliki kompetensi tidak membuat satu media yang melek huruf, tetapi
tidak memiliki kompetensi ini mencegah salah satu dari media menjadi melek karena kekurangan media
ini mencegah seseorang mengakses jenis informasi tertentu. Sebagai contoh, orang-orang yang tidak
memiliki kompetensi dasar membaca tidak dapat mengakses bahan cetakan.
Media Literacy pertama kali dikembangkan sebagai alat dalam melindungi orang-orang dari
paparan media. Negara yang pertama kali mendengungkan konsep ini adalah Inggris pada tahun 1930 an.
Pada tahun 1980 di Inggris dan Australia Media Literacy sudah menjadi mata pelajaran tersendiri.
Sementara itu di Eropa pendidikan Media Literacy diperkenalkan pada kurikulum dasar di negara
Finlandia pada tahun 1970 dan pendidikan menengah atas tahun 1977. Di negara Swedia Media literacy
berkembang sejak tahun 1980, dan di Denmark sejak tahun 1970.
Apa saja yang ingin dicapai lewat pendidikan Media Literacy ini? Pada umumnya pendidikan
Media Literacy khususnya televisi, yang dilakukan di negara maju menekankan pada peran orang tua agar
bersikap kritis dalam menonton. Artinya kita tidak dibenarkan menerima apa saja yang ditawarkan, tanpa
memahami dan menganalisa dengan baik informasi yang diterima. Proses memilah informasi mana yang
baik dan mana yang buruk adalah hal yang mutlak harus dilakukan. Contohnya : orang tua harus memilah
film mana yang layak tonton dan mana yang tidak. Kebanyakan film berisikan tayangan sampah, yang
tidak bermanfaat. Setelah dirinya mampu memilah, kebiasaan ini ditularkan kepada anaknya. Mereka
melakukan pemantauan terhadap kebiasaan menonton anak-anaknya. Orang tua melakukan
pendampingan, memilihkan acara yang bermutu, menjelaskan apa yang mereka tonton dan melakukan
penjadwalan, kapan anaknya boleh menonton dan kapan tidak. Pada tahap selanjutnya orang tua membuat
5. organisasi yang bersedia melakukan pelatihan kepada kelompok masyarakat yang membutuhkan, seperti:
kelompok orang tua, para murid di sekolah, dan sebagainya.
Bagaimana dengan Indonesia? Sejauh ini pendidikan Media Literacy belum terorganisisr dengan
baik. Belum diakomodir lewat kurikulum sekolah atau dalam kegiatan pokok di satu instansi. Baru
sebatas kegiatan seminar, diskusi, ceramah, yang sifatnya belum berkesinambungan. Kegiatan pendidikan
Media Literacy paling banyak dilakukan di Jakarta. Tokoh seperti Ade Armando, Nina Armando, B.
Guntarto, adalah orang-orang yang penulis ketahui amat peduli terhadap Media Literacy khususnya media
televisi sejak tahun 1997an. Mereka mendirikan lembaga yang bertindak sebagai pemantau siaran televisi
(Watch Dog), dan melakukan aksi-aksi cukup semarak, seperti: Hari Tanpa TV di setiap tanggal 23 Juli
bertepatan dengan Hari Anak Indonesia.
Kendala yang melingkari terciptanya masyakat literat ini tidak lain adalah sebagai berikut (Bukhori,
2005) :
Pertama, budaya minat baca bangsa Indonesia masih tergolong rendah. Terbukti, kebanyakan kita merasa
lebih berani merogoh saku lebih tebal untuk membeli kebutuhan lain seperti makanan, pakaian, perhiasan,
dan bahkan alat-alat rumah tangga, ketimbang membeli buku. Tingkat ekonomi yang rendah sering
menjadi alasan lemahnya daya beli buku masyarakat. Karenanya, kita menjadi tidak akrab dan merasa
asing dengan buku dan memiliki minat membaca yang rendah.
Kedua, karena adanya dampak negatif perkembangan teknologi bagi masyarakat. Masyarakat kita yang
awalnya bertradisi lisan atau oral society secara drastis bergerak ke budaya elektronik seperti TV dan
radio, sebelum memasuki budaya tulis secara ajek. Kita telah langsung melompat dari tradisi mendongeng
ke tradisi menonton sebelum terbiasa dengan tradisi membaca.
Ditambah lagi, tipe pendidikan di Indonesia masih cenderung menganut interaksi satu arah dalam
proses pembelajarannya. Dengan kondisi seperti ini, semakin mempertebal fakta bahwa keterampilan
anak didik di Indonesia hanya sebatas sampai tataran menjadi pendengar yang baik saja. Terjadi
demikian, karena mereka terbiasa hanya mempersiapkan telinga untuk belajar tanpa tahu bagaimana
caranya mencari sampai meramu sebuah informasi. Jadi, tidak heran apabila diberikan kepadanya sebuah
tugas yang mengharuskan mereka untuk mensintesis sebuah informasi, yang dikumpulkan hanya seperti
memindahkan sumber ke tempat yang lain tanpa dimaknai dengan hasil pemikirannya sendiri. Fenomena
ini, merupakan miniatur yang menggambarkan secara jelas tentang bagaimana tingkat literasi anak didik
(dalam hal ini mahasiswa).
Literasi media adalah salah satu keterampilan yang harus dimiliki seseorang dalam era
globalisasi. Dikatakan demikian, karena dalam era tersebut manusia akan semakin sering bersinggungan
dengan media. Baik itu untuk menambah wawasan atau pengetahuan maupun hanya untuk sekedar
sebagai sarana hiburan pelepas penat saja.
Ada berbagai hal yang disoroti dalam keterampilan literasi media ini, mulai dari kesadaran
individu atau masyarakat terhadap dampak media sampai dengan bagaimana individu atau masyarakat
memposisikan dan mengapresiasikan media dalam kehidupannya sehari-hari.
Kehadiran ragam media yang mulai memadati segala bidang kehidupan manusia ditanggapi
positif oleh sebagian besar masyarakat. Walaupun begitu, merekapun sadar bahwa kehadiran media juga
6. tidak terlepas dari dampak negatifnya. Mereka juga beranggapan, media memiliki peran strategis dalam
proses komunikasi khususnya komunikasi massa. Ditarik kesimpulan demikian, karena hampir seluruh
masyarakat menyatakan bahwa informasi yang terkandung dalam media massa dapat membantu
terjadinya komunikasi diantara masyarakat dan media juga dapat membentuk suatu opini tertentu
ditengah-tengah masyarakat tentang berbagai hal. Seseorang yang memiliki keterampilan literasi media
tidak akan langsung mempercayai sebuah berita sebelum mengkrosceknya dengan sumber lain. Yang
biasa dilakukan adalah memilih media yang diakui kredibilitasnya, mengkroscek keakuratan berita
dengan sumber lain, dan akan selalu mencari kelengkapan suatu berita yang didengarnya dari orang lain
di dalam suatu media massa. Bila dibandingkan dengan ketiga hal tersebut, hampir setengah dari
masyarakat tidak melakukan kroscek ulang terhadap berita yang telah didapatnya.
Seperti yang telah disampaikan sebelumnya, selain memiliki dampak negatif media juga memiliki
banyak dampak positif. Kata yang paling mudah untuk menggambarkan dampak positif dari media adalah
“gudang informasi”. Dengan adanya media, individu atau masyarakat terbantu dalam hal
mengembangkan wawasan dan pengetahuannya. Ini dibuktikan, sebagian besar masyarakat menyatakan
merasa tidak nyaman bila tidak berhubungan dengan media walaupun hanya satu hari. Tetapi, bukan
berarti mereka hanya menghargai pendapat/hasil karya orang lain yang ditampilkan dalam media massa
saja. Karena, walau bagaimanapun juga mereka beranggapan bahwa beragam media dan corak yang
muncul saat ini telah mampu menambah pemahaman mereka tentang peristiwa yang sedang menggejala
atau sedang ‘in’ di dunia ini.
Pembahasan di atas bila dilandasi pendapat Ofcom, secara sederhana dapat digambarkan bahwa
individu yang telah memiliki keterampilan literasi media mempunyai kemampuan untuk mengakses,
menganalisa, mengevaluasi dan sekaligus mengkomunikasikannya dalam berbagai macam format. Lebih
daripada itu, mereka juga mampu mengenali dan mengerti informasi secara komprehensif untuk
mewujudkan cara berpikir kritis, seperti tanya jawab, menganalisa dan mengevaluasi informasi itu.