Kemandirian Badan Peradilan Penting untuk Negara Hukum
1. 1
“URGENSI KEMANDIRIAN BADAN PERADILAN DI INDONESIA”
Oleh :
Lanka Asmar, S.HI, M.H
(Telah dimuat di koran Waspada hari Kamis tanggal 17 April 2014)
A. PENDAHULUAN
Negara hukum Indonesia bertujuan mewujudkan tata kehidupan bangsa,
negara, dan masyarakat yang tertib, bersih, makmur dan keadilan berdasarkan
Pancasila.1 Cita negara hukum Indonesia yang berdasarkan Pancasila telah
dirumuskan dalam pembukaan Undang-undang Dasar (UUD) 1945. Para pendiri
negara Republik Indonesia (the founding father’s) telah meletakkan dasar-dasar
negara hukum bagi Republik Indonesia, sebagaimana dituangkan dalam
pembukaan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang
menyatakan bahwa negara Indonesia yang hendak dibentuk adalah :
“ ….negara yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh
tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia
yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.”
Selanjutnya dalam pasal 1 ayat (3) UUD 1945 hasil amandemen ketiga
menyatakan bahwa “Negara Indonesia adalah negara hukum”. Sejalan dengan
ketentuan tersebut salah satu prinsip negara hukum adalah adanya jaminan
penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka, bebas dari pengaruh
kekuasaan lainnya untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum
1 Oemar Seno Adji, Peradilan Bebas Negara Hukum, Penerbit Erlangga, Jakarta, 1985 hal. 13
2. dan keadilan. Pasal 24 ayat (1) Undang-undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 menegaskan bahwa kekuasaan kehakiman merupakan
kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan
2
hukum dan keadilan.
Pasca Amandemen UUD 1945 ada perubahan yaitu diakui dan
dibentuknya lembaga independen/mandiri, selain dari eksekutif, legislatif dan
yudikatif. Lembaga yang mempunyai kedudukan sebagai lembaga negara
mandiri yaitu BPK (pasal 23 E), Komisi Yudisial (pasal 24 B ayat 1) Bank Sentral
(Pasal 23 D), Komisi Pemilihan Umum (pasal 22 E ayat 5).2
Dalam penyelenggaraan peradilan ada hubungan erat antara hukum dan
kekuasaan. Hubungan hukum dan kekuasaan dapat dirumuskan yaitu hukum
tanpa kekuasaan adalah angan-angan, kekuasaan tanpa hukum adalah
kezaliman”. Dalam penerapannya hukum memerlukan suatu kekuasaan untuk
pendukungnya. Ciri utama inilah yang membedakan antara hukum di satu pihak
dengan norma-norma sosial dan norma-norma agama. Kekuasaan itu diperlukan
oleh karena hukum itu bersifat memaksa, tanpa adanya kekuasaan pelaksanaan
hukum di masyarakat akan mengalami hambatan-hambatan. 3
Apabila suatu masyarakat tertib dan teratur, makin berkurang diperlukan
dukungan kekuasaan. Masyarakat tipe ini memiliki kesadaran hukum yang tinggi
di lingkungan anggota-anggotanya. 4
Meskipun masyarakat memiliki kesadaran hukum yang tinggi, namun
lembaga peradilan tetap diperlukan. Di Indonesia ada 4 macam lingkungan
peradilan yaitu Peradilan Negeri, Peradilan Agama, Peradilan Tata Usaha
2 Imam Soebechi, “Eksistensi Peradilan Tata Usaha Negara Dalam Dinamika Hukum Dan Demokrasi”,
Varia Peradilan Tahun XXVII No. 329, Tahun 2013, Hal. 18-19
3 Lili Rasjidi, Dasar-dasar Filsafat dan Teori Hukum, Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, 2007 hal. 75
4 ibid
3. Negara dan Peradilan Militer. Namun eksistensi lembaga peradilan dan
3
kemandiriannya masih dibawah bayang-bayang lembaga eksekutif dan legislatif.
Pada zaman Orde Lama dan Orde Baru, lembaga peradilan masih
bernaung dibawah kekuasaan eksekutif. Hal ini dapat dilihat masing-masing
peradilan bernaung dibawah Departemen Kehakiman, Departemen Agama, dan
Departemen Pertahanan. Namun pada zaman reformasi, telah dilakukan
beberapa perubahan yaitu dikembalikannya lembaga peradilan ke bawah
kekuasaan yudikatif yaitu Mahkamah Agung RI.
Berdasarkan permasalahan tersebut, penulis ingin mengangkat 3
permasalahan yaitu :
1. Bagaimana eksistensi lembaga peradilan di Indonesia?
2. Bagaimana faktor-faktor yang berperan dalam penyelenggaraan
peradilan?
3. Bagaimana hambatan dan kendala dalam penyelenggaraan peradilan?
B. PEMBAHASAN
1. Eksistensi lembaga peradilan di Indonesia
Pengadilan memiliki kedudukan dan peran penting dalam pembaharuan
hukum. Berlaku adagium bahwa hakim dianggap tahu tentang hukumnya (ius
curia novit) dari perkara yang diajukan kepadanya. Karena itu Undang-undang
kekuasaan kehakiman menegaskan bahwa pengadilan tidak boleh menolak
mengadili perkara dengan alasan hukum tidak jelas atau hukum tidak mengatur.
4. Pengadilan berkewajiban memeriksa, mengadili, dan memberikan putusan
4
terhadap perkara yang diajukan kepadanya.5
Makna dari adagium tersebut adalah figur hakim harus memiliki
pengetahuan dan wawasan yang dalam dan luas tentang hukum, hingga hukum-hukum
paling mutakhir sekalipun. Hakim yang secara mitologi dianggap sebagai
“wakil tuhan di dunia” diyakini akan mampu menggunakan kewenangan yang
dimilikinya untuk memeriksa dan memutus perkara sesuai dengan hukum dan
keadilan. 6
Pada tahun 2012, pemerintah dan parlemen mengesahkan Undang-undang
Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA). Ada
beberapa pasal yaitu pasal 96, pasal 100, dan pasal 101 Undang-undang Sistem
Peradilan Pidana Anak (SPPA) yang dianggap menganggu independensi
peradilan. Sehingga Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) melakukan Judicial Review
ke Mahkamah Konstitusi dengan Nomor perkara : 110/PUU-X/2012. Akhirnya
pada tanggal 28 Maret 2013 putusan Mahkamah Konstitusi mengabulkan
permohonan IKAHI secara keseluruhan. Hal ini merupakan salah satu upaya
menganggu kemandirian lembaga peradilan oleh lembaga eksekutif dan lembaga
yudikatif.
Menurut teori pemisahan kekuasaan Montesquieu, bahwa semua lembaga
diatur dalam konstitusi dapat dikualifikasikan dalam 3 kelompok yaitu kekuasaan
legislatif, yudikatif dan eksekutif. Namun di Indonesia, pengertian lembaga
negara sangat beragam tidak hanya dibatasi pada lembaga eksekutif, legislatif,
5 Basuki Rekso Wibowo, “Pembaruan hukum yang berwajah keadilan”, Varia Peradilan Tahun XXVII,
No. 313 Tahun 2011 Hal. 11
6 Ibid
5. yudikatif. Dalam UUD 1945 lembaga-lembaga yang dimaksud dapat dibedakan
5
dalam 4 tingkatan lembaga :7
a. Lembaga yang dibentuk berdasarkan UUD yang diatur dan ditentukan
lebih lanjut dalam atau dengan Undang-undang (UU), Peraturan
Pemerintah (PP), Peraturan Presiden, dan Keputusan Presiden
b. Lembaga yang dibentuk berdasarkan Undang-undang (UU) yang diatur
atau ditentukan lebih lanjut dalam atau dengan Peraturan Pemerintah
(PP), Peraturan Presiden dan Keputusan Presiden.
c. Lembaga yang dibentuk berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) atau
Peraturan Presiden yang ditentukan lebih lanjut dengan Keputusan
Presiden
d. Lembaga yang dibentuk berdasarkan Peraturan Menteri yang ditentukan
lebih lanjut dengan Keputusan Menteri atau Keputusan Pejabat di bawah
menteri.
Perubahan dan perkembangan struktur kelembagaan negara dan
demokrasi di Indonesia merupakan bentuk pergeseran paradigm hukum, politik
dan demokrasi.
Proses legislasi seharusnya memperhatikan perkembangan hukum, politik
dan demokrasi di Indonesia. Produk perundang-undangan dalam
penyelenggaraan peradilan harus dilakukan pembaharuan, agar dalam
prakteknya tidak ketinggalan oleh zaman. Misalnya : Kitab Undang-undang
Hukum Pidana (KUHP) dan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP) adalah salah satu produk hukum yang mesti dilakukan pembaharuan
dan saat ini telah dibahas oleh DPR dan Pemerintah. Hal ini sejalan dengan teori
7 Abdul Latif, “Jaminan Negara Hukum Dalam Proses Hukum Yang Adil”, Varia Peradilan Tahun XXVI
No. 310 Tahun 2011, Hal. 16-18
6. Roscoe Pound (Bapak Ilmu Hukum Sosiologis) yang menyatakan bagaimana
hukum menjadi faktor penggerak ke arah perubahan masyarakat (law is a tool of
6
social engineering) 8
Kontrol hukum terhadap produk hukum yang merupakan kewenangan
pemerintah dan legislatif penting dilakukan, agar perbuatan hukum publik yang
dilakukan oleh birokrasi tetap berdasarkan hukum (rechtmatigheid) dan peraturan
perundang-undangan (wetmatigheid) serta asas-asas pemerintahan yang baik
(algemeine beginselen van behoorlijk bestuur).9
Pada zaman orde lama dan orde baru terjadi dualisme kekuasaan
kehakiman yaitu berada di bawah eksekutif dan legislatif. Menurut Benny K
Harman dan Muhammad Asrun yang menyimpulkan bahwa dengan adanya
dualisme tersebut menyebabkan rentannya peradilan terhadap intervensi politik
dan korupsi. Oleh karena itulah pada zaman reformasi, agenda utama reformasi
hukum lahirnya amanat Ketetapan MPR No. X/1998 yang isinya mengandung
pemisahan tugas fungsi yudikatif dari eksekutif. 10
Pada kebanyakan negara berkembang, termasuk Indonesia pendekatan
dalam sistem politik menggunakan sistem “distribution of power” yang
menghendaki adanya kooperasi dan konsultasi kelembagaan diantara badan
eksekutif dan legislatif. Hal seperti ini sangat potensial terjadinya “judgment of
political interference”. Untuk mengantisipasi problematik eksternal, maka secara
politik dalam sistem politik harus dilakukan pemisahan yang tegas antara
lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif. Tetapi tidak berarti bahwa kekuasaan
kehakiman akan bebas sebebasnya, mekanisme check and balances, check and
8 Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum, Bogor : Ghalia Indonesia, 2011, Hal. 156
9 Ibid, Hal. 27
10 Lihat http://forumduniahukumblogku.wordpress.com/2012/12/24/eksistensi -pengadilan-pajak-dalam-
kekuasaan-kehakiman-di-indonesia/
7. control harus didorong dan diciptakan untuk menghindari adanya power block11.
Menurut teori “power block” yaitu birokrasi merupakan alat penghalang (block)
7
rakyat dalam melaksanakan kekuasaan.12
Kekuasaan badan peradilan harus independen dan terpisah dari kekuasaan
negara lainnya. Independen itu meliputi kemandirian personal (personal judicial
indepence), kemandirian substantial (subtantif judicial independence) dan
kemandirian kelembagaan (institusional judicial independence). Kemandirian
personal adalah kemandirian dalam mengurus rekan sejawat, pimpinan dan
institusi peradilan. Kemandirian subtantif adalah kemandirian dalam memeriksa
dan memutuskan suatu perkara, semata-mata untuk menegakkan kebenaran
dan keadilan sesuai dengan prinsip-prinsip hukum. Kemandirian kelembagaan
adalah kemandirian dari intervensi beragai lembaga kenegaraan dan
pemerintahan lainnya di dalam memutus suatu perkara.13
Menurut Andi Hamzah, harus dibedakan antara mandiri dan independen.
Misalnya pada zaman orde lama, kejaksaan dan peradilan tidak mandiri karena
berada di bawah kementerian (departemen) kehakiman, namun independen
karena Jaksa Agung pada Mahkamah Agung bukan anggota kabinet dan dapat
menangkap Menteri Kehakiman yang secara administrative adalah atasannya.14
Menurut Prof. Dr. Paulus E Lotolung bahwa kekuasaan kehakiman
merdeka atau independen itu sudah bersifat universal. Ketentuan universal yang
terpenting adalah “The universal Declaration of Human Rights”. Pada pasal 10
“The universal Declaration of Human Rights” dinyatakan bahwa “ Everyone is
11Lihathttp://www.reformasihukum.org/ID/file/kajian/Reformasi%20Kebebasan%20Kekuasaan%20Ke
hakiman.pdf
12 Lihat http://www.scribd.com/doc/38409735/Pengantar -Ilmu-Administrasi-Negara
13 Ibid
14 Lihat http://www.lfip.org/english/pdf/bali -seminar/Kemandirian%20Hakim%20-
%20A%20hamzah.pdf
8. entitled in full equality to a fair and public hearing by an independent and
impartial tribunal in the determination of his rights and obligation of any criminal
charge agains him” artinya setiap orang berhak dalam persamaan sepenuhnya
didengarkan suaranya di muka umum dan secara adil oleh Pengadilan yang
merdeka dan tidak memihak, dalam hal menetapkan hak-hak dan kewajiban-kewajiban
8
dan dalam setiap tuntutan pidana yang diajukan kepadanya.
Menurut Wirjono Prodjodikoro perbedaan pengadilan dengan instansi lain
yaitu :
“…tetapi saya tekankan lagi, bahwa perbedaan antara pengadilan dan
instansi-instansi lain adalah bahwa pengadilan dalam melakukan tugasnya
sehari-hari selalu positif dan aktif memperhatikan dan melaksanakan macam-macam
peraturan hukum yang berlaku dalam suatu negara” 15
Di dalam pasal 24 ayat 2 Undang-undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 dijelaskan bahwa Kekuasaan Mahkamah Konstitusi dan
Mahkamah Agung juga disejajarkan. Artinya antara Mahkamah Konstitusi dan
Mahkamah Agung sama-sama merupakan kekuasaan kehakiman. Begitu juga
kalau kita lihat di Thailand Mahkamah Konstitusi berada disamping atau sejajar
dengan Mahkamah Agung (Supreme Court) bukan berada di bawahnya.16
Masalah kebebasan hakim perlu dihubungkan dengan masalah bagaimana
hakim mengikuti yurisprudensi. Kebebasan hakim dalam menemukan hukum
tidaklah berarti ia menciptakan hukum. Wirjono Prodjodikoro menolak pendapat
orang yang mengatakan hakim menciptakan hukum. Menurut beliau hakim hanya
merumuskan hukum. Pekerjaan hakim menurut Wirjono Prodjodikoro, mendekati
pembuatan undang-undang, tetapi tidak sama. Beliau berpendapat, meskipun
Ter Haar menyatakan isi hukum adat baru tercipta secara resmi dan dianggap
15 Ibid
16 Ibid
9. ada, apabila ada beberapa putusan dari penguasa terutama hakim, ucapan Ter
Haar itu pun tidak dapat dianggap bahwa dengan putusan hakim terciptalah
hukum adat, tetapi hanya merumuskan hukum adat. Di negara Belanda, hakim
tidak terikat kepada putusan hakim-hakim lain dan juga tidak kepada hakim yang
lebih tinggi. Terbentuknya yurisprudensi tetap adalah berdasarkan kebiasaan,
9
bukan berdasarkan keputusan hakim.
Pada zaman Umar r.a, beliau pernah mengirim surat kepada Abu Musa al
Ash’ari r.a tentang pentingnya lembaga hukum (lembaga peradilan) yaitu:
”Menyelesaikan perkara adalah suatu kewajiban dari Allah SWT dan suatu
sunnah yang harus diikuti”. Kalimat tersebut berarti formasi pengaturan
kekuasaan kehakiman pemerintahan Islam adalah suatu kewajiban umat Islam.
Oleh karena itu, setiap daerah Islam harus mempunyai formasi kehakiman. Jika
tidak ada orang yang mengatur hukum, maka kehidupan masyarakat akan
menjadi kacau balau dan pemerintahan tidak bisa ditegakkan. Oleh karena itu
kehormatan pada kepentingan dan kebutuhan pengadilan sangat diperlukan
untuk menjaga ketertiban perdamaian, maka mewujudkan pengadilan
merupakan fardhu kifayah. Sehubungan dengan hal ini, Imam Ahmad bin Hanbal
mengatakan “Harus ada hakim di antara masyarakat, jika tidak ada, haruskah
hak-hak rakyat dihancurkan?”. Pernyataan Imam Ahmad bin Hambal
menunjukkan bahwa lembaga peradilan sangat dibutuhkan dalam suatu negara.17
Sebagai bentuk diakuinya lembaga peradilan dan kekuasaan kehakiman,
maka diaturlah dalam bentuk peraturan perundang-undangan. Yaitu diatur dalam
Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman, Undang-undang
Nomor 49 tahun 2009 tentang peradilan umum, Undang-undang Nomor
17 Abdul Manan, Etika Hakim dalam Penyelenggaraan Peradilan Suatu Kajian dalam Sistem Peradilan
Islam, Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2010, Hal. 95-96
10. 50 Tahun 2009 tentang peradilan agama, Undang-undang Nomor 31 Tahun 1997
10
tentang Peradilan Militer.
2. Faktor-faktor yang berperan dalam penyelenggaraan peradilan
Peranan peradilan tidak sekedar melaksanakan tugas yuridis dengan
mengotak-atik dalam penerapan aturan-aturan hukum formal dalam memutus
perkara yang dihadapinya, melainkan pula harus mengambil peran lain yakni
peran politik, yang berarti bahwa pengadilan harus juga berpolitik dan menjadi
pejuang ideologi. Satjipto Rahardjo mengatakan bahwa “Peran politik meliputi
keterlibatan Mahkamah Agung RI untuk secara sadar membawa perahu negara
ini menuju kepada tujuan seperti tercantum dalam konstitusi”.18
Pengadilan dibuat dengan tugas-tugas tertentu. Tujuannya adalah untuk
melaksanakan dan menetapkan aturan hukum agar keadilan dapat diwujudkan
kepada berbagai pihak.
Lembaga pengadilan yang bertugas menyelenggarakan peradilan tidak
dapat berbuat dan menghasilkan suatu karya tanpa mengaitkan diri pada peran-peran
dari komponen-komponen social dan lingkungan masyarakat yang
membentuknya. Bekerjanya lembaga peradilan yang berpangkal kepada
kepentingan perseorangan dan kepentingan masyarakat menunjukkan bahwa
pengadilan merupakan suatu pranata yang melayani kehidupan social.
Adapun faktor-faktor yang berperan dalam penyelenggaraan peradilan
adalah : 19
a. Faktor perkara yang terjadi
18 Rusli Muhammad, Potret Lembaga Pengadilan Indonesia, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2006,
Hal. 10
19 Ibid, hal. 72-82
11. 11
b. Faktor peraturan-peraturan hukum
c. Faktor penegak hukum
d. Faktor fasilitas dan sarana penunjang
Dari keempat faktor tersebut, maka faktor (b) dan faktor (d) ditentukan oleh
lembaga eksekutif dan lembaga legislatif yaitu faktor peraturan-peraturan hukum
dan faktor fasilitas dan sarana penunjang. Oleh karena itu, saat ini kemandirian
lembaga peradilan tengah diuji dan reformasi hukum pada saat ini masih perlu
dilakukan.
3. Hambatan dan Kendala dalam penyelenggaraan peradilan
Pada dasarnya manusia senantiasa menginginkan ketertiban dan akibatnya
dikehendaki adanya peraturan-peraturan hukum, yang dapat dijadikan
patokan/pedoman dalam kehidupan bersama, sehingga masing-masing anggota
masyarakat akan tahu hak dan kewajibannya. Meskipun manusia mengharapkan
peraturan hukum, tidak selamanya aturan hukum mampu menciptakan
masyarakat yang tertib dan damai, justru bisa terjadi sebaliknya, yang
disebabkan karena aturan itu sendiri dan karena ulah beberapa anggota
masyarakat yang tidak tunduk bahkan menentang peraturan hukum itu.
Dalam pelaksanaan peradilan tentunya terdapat kendala dan hambatan.
Kebanyakan kendala yang terjadi adalah adanya warga peradilan yaitu hakim
dan pegawai yang tidak memahami kode etik. Bagi hakim berlaku kode etik
hakim berdasarkan Peraturan Bersama Mahkamah Agung RI dan Komisi
Yudisial Nomor : 02/PB/MA/IX/2012 dan bagi pegawai Mahkamah Agung berlaku
kode etik PNS yang tertuang dalam Keputusan Sekretaris Mahkamah Agung RI
Nomor : 008A/SEK/SK/I/2012. Dalam pasal 2 Keputusan Sekretaris Mahkamah
Agung RI : 008A/SEK/SK/I/2012 dinyatakan bahwa aturan kode etik bertujuan
12. menjaga citra dan kredibilitas Mahkamah Agung RI dan badan peradilan di
12
bawahnya.
Banyaknya pelanggaran yang terjadi juga disebabkan oleh faktor
rendahnya moral dan pemahaman spiritual (agama) dari warga peradilan
tersebut. Sesuai dengan hukuman disiplin yang dikeluarkan oleh Badan
Pengawasan Mahkamah Agung RI periode Januari s.d Maret 2014 dinyatakan
bahwa pelanggaran dengan total 78 orang dengan rincian pelanggaran oleh
hakim dilakukan sebanyak 45 orang dan pegawai sebanyak 33 orang.
C. KESIMPULAN
1. Kekuasaan badan peradilan harus independen dan terpisah dari kekuasaan
negara lainnya. Independen itu meliputi kemandirian personal (personal judicial
indepence), kemandirian substantial (subtantif judicial independence) dan
kemandirian kelembagaan (institusional judicial independence) dan pada zaman
Umar r.a, beliau pernah mengirim surat kepada Abu Musa al Ash’ari r.a tentang
pentingnya lembaga hukum (lembaga peradilan).
2. Adapun faktor-faktor yang berperan dalam penyelenggaraan peradilan adalah :
Faktor perkara yang terjadi, Faktor peraturan-peraturan hukum, Faktor penegak
hukum dan Faktor fasilitas dan sarana penunjang
3. Dalam pelaksanaan peradilan tentunya terdapat kendala dan hambatan.
Kebanyakan kendala yang terjadi adalah adanya warga peradilan yaitu hakim
dan pegawai yang tidak memahami kode etik
13. 13
DAFTAR PUSTAKA
A. BUKU
Adji, Oemar Seno, Peradilan Bebas Negara Hukum, Penerbit Erlangga, Jakarta,
1985
Ali, Achmad, Menguak Tabir Hukum, Bogor : Ghalia Indonesia, 2011
Manan, Abdul, Etika Hakim dalam Penyelenggaraan Peradilan Suatu Kajian
dalam Sistem Peradilan Islam, Jakarta : Kencana Prenada Media Group,
2010
Muhammad, Rusli, Potret Lembaga Pengadilan Indonesia, Jakarta, PT. Raja
Grafindo Persada, 2006,
Rasjidi,Lili, Dasar-dasar Filsafat dan Teori Hukum, Bandung, PT. Citra Aditya
Bakti, 2007
B. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DAN PUTUSAN
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Ketetapan MPR No. X/1998
Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
Undang-undang Nomor 49 Tahun 2009 tentang Pengadilan Negeri
Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Pengadilan Agama
Undang-undanga Nomor 51 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tata Usaha Negara
Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
Undang-undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer.
14. 14
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor : 110/PUU-X/2012
Peraturan Bersama Mahkamah Agung RI dan Komisi Yudisial Nomor :
02/PB/MA/IX/2012
Keputusan Sekretaris Mahkamah Agung RI Nomor : 008A/SEK/SK/I/2012
C. JURNAL
Latif, Abdul, “Jaminan Negara Hukum Dalam Proses Hukum Yang Adil ”, Varia
Peradilan Tahun XXVI No. 310 Tahun 2011
Soebechi, Imam, “Eksistensi Peradilan Tata Usaha Negara Dalam Dinamika
Hukum Dan Demokrasi”, Varia Peradilan Tahun XXVII No. 329, Tahun
2013
Wibowo, Basuki Rekso, “Pembaruan Hukum Yang Berwajah Keadilan”, Varia
Peradilan Tahun XXVII, No. 313 Tahun 2011
D. INTERNET
http://forumduniahukumblogku.wordpress.com/2012/12/24/eksistensi-pengadilan-
pajak-dalam-kekuasaan-kehakiman-di-indonesia/
http://www.reformasihukum.org/ID/file/kajian/Reformasi%20Kebebasan%20Keku
asaan%20Kehakiman.pdf
http://www.scribd.com/doc/38409735/Pengantar-Ilmu-Administrasi-Negara
http://www.lfip.org/english/pdf/bali-seminar/Kemandirian%20Hakim%20-
%20A%20hamzah.pdf