Ringkasan dokumen tersebut adalah:
1. Kawasan kars memiliki nilai-nilai ilmiah yang saling terkait sehingga masalahnya hanya dapat dipecahkan secara interdisipliner dan multidispliner.
2. Jika semua aspek ilmiah kawasan kars sudah terinventarisasi dan teridentifikasi, berbagai benturan kepentingan yang timbul ketika program pengelolaan dapat dihindari sedini mungkin.
3. Pengelolaan sumber daya alam termasuk
1. KEMENTERIAN PENDIDIKAN KEBUDAYAAN RISET DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS HASANUDDIN
FAKULTAS TEKNIK
PROGRAM STUDI TEKNIK GEOLOGI
MATAKULIAH MANAJEMEN PENGELOLAAN KARST
TUGAS
OLEH :
ALLIKA FADIA HAYA SUKUR
D061171306
GOWA
2021
2. RINGKASAN NILAI ILMIAH KAWASAN KARST DARI BUKU “NILAI
STRATEGIS KAWASAN KARST DI INDONESIA” OLEH HANANG
SAMUDRA (2001)
Pemahaman kars sebagai suatu kawasan tidak akan lengkap jika hanya
didekati dari salah satu aspek ilmu pengetahuan saja. Kawasan kars mempunyai
sifat multidisiplin, karena hampir semua cabang ilmu pengetahuan dapat
diaplikasikan secara tepat di sini. Oleh karena itu, di dalam program
pengelolaannya dibutuhkan kerjasama yang sifatnya proaktif di antara sektor-sektor
yang terkait (lintas-sektor), dengan melibatkan semua disiplin ilmu yang ada
(multidiplin). Termasuk dalam bagian rencana tersebut adalah pemberian peran-
serta dan pemberdayaan masyarakat setempat, sehingga diperoleh kesatuan gerak
yang bersifat holistik. Pengelolaan sumberdaya alam, termasuk kawasan kars, harus
dilakukan dengan pendekatan bio- dan georegion yang memadukan ekosistem
darat, pesisir, dan laut.
Kawasan kars menyimpan nilai-nilai ilmiah yang saling kait-mengkait,
sehingga masalahnya hanya dapat dipecahkan secara inter- dan multi-disiplin.
Beragam jenis pengetahuan seperti geologi, hidrologi, speleologi, ekologi, biologi,
arkeologi, pariwisata, pertanian, peternakan, kesehatan, kependudukan dan
kerekayasaan terintegrasi menjadi satu kesatuan ilmu dasar tentang kars.
Jika semua aspek ilmiah kawasan kars sudah terinventarisasi dan
teridentifikasi dengan baik, berbagai benturan kepentingan yang timbul ketika
program pengelolaan dijalankan dapat dihindari sedini mungkin. Pemanfaatan
aspek ekonomi kawasan kars secara besar-besaran dan cenderung merusak⎯misal
oleh industri pertambangan skala besar⎯dapat diselaraskan dan diseimbangkan
3. dengan fungsi nilai ilmiah atau nilai kemanusiaan yang ada, termasuk pengikut-
sertaan peran masyarakat setempat. Perangkat hukum berupa undang-undang,
keputusan presiden, keputusan menteri dan sebagainya harus segera
disosialisasikan setelah petunjuk teknis dan petunjuk pelaksanaannya selesai
disusun. Tujuannya dari semua usaha itu adalah melindungi kawasan tersebut dari
penurunan nilai-nilai srategis akibat kegiatan eksploitasi yang berlebihan, yang
melampaui batas daya dukung kawasan itu sendiri.
1. Aspek Geologi
Sebagai ilmu pengetahuan dasar tentang kebumian, geologi mempelajari
sejarah pembentukan bumi dan makhluk hidup yang mendiami planet kecil
tetapi unik ini. Dalam konteks ilmu kebumian kars menjadi penting, karena
kawasan tersebut merupakan salah satu unsur yang memperkaya sifat
keanekaragaman bumi (geodiversity).
1.1 Geologi batuan karbonat
Di dalam pengetahuan geologi, yang dimaksud dengan batuan karbonat
adalah batugamping dan dolomit. Batuan sedimen itu masing-masing mempunyai
rumus kimia CaCO3 dan Ca(MgCO3)2. Meskipun pada dasarnya semua batuan
terdiri dari garam karbonat, tetapi unsur karbonat di dalam batugamping dan
dolomit sangat tinggi. Mineral karbonat disusun oleh kation Ca, gabungan Ca-Mg,
dan anion CO3. Batuan karbonat terbentuk secara kimiawi, berupa larutan. Tidak
ada batuan karbonat yang dibentuk oleh butiran (detritus) asal-daratan. Selain itu,
pengaruh organisme dalam pembentukan batuan karbonat sangatlah besar.
Pengendapan sekunder yang membentuk batugamping klastik prosesnya memang
4. mirip dengan pengendapan batuan-batuan sedimen lainnya, yang dibentuk oleh
detritus.
1.2 Lingkungan Pembentukan Batuan Karbonat
Suatu cekungan pengendapan dapat bertindak sebagai lingkungan
pengendapan batuan karbonat jika
Lingkungannya bebas butiran sedimen asal-darat, sehingga keadaan
tektoniknya harus stabil (tidak ada pengangkatan) dan daratan di
sekitarnya bermorfologi hampir-rata. Di Indonesia, lingkungan yang
demikian berkembang baik pada Zaman Kapur (140-65 juta tahun lalu)
dan antara Oligosen dan Miosen (35-5 juta tahun lalu);
Merupakan daerah paparan laut dangkal, karena pengendapan karbonat
membutuhkan keadaan kelewat-jenuh (super-saturated), sehingga hanya
dapat dicapai melalui proses penguapan di daerah yang relatif dangkal
(0-200 m). Pada laut yang kedalamannya melebihi garis CCD
(carbonate compensation depth) tekanan parsial CO2 yang terlalu tinggi
di bagian itu akan melarutan-kembali batugamping menjadi
Ca(HCO3)2. Di kawasan Pasifik Barat, fenomena seperti itu kira-kira
terjadi pada kedalaman kurang dari 3.000 m;
Beriklim tropis atau semi-tropis, sehingga banyak penguapan;
Keadaan lautnya harus jernih;
Lingkungan di sekitarnya menjamin kebutuhan nutrisi yang cukup bagi
organisme untuk tumbuh dan berkembang.
5. Luasnya sebaran batuan karbonat di dunia, dengan umurnya yang beragam
mulai pra-Kambrium hingga Resen, termasuk jenisnya yang ratusan, menarik
perhatian para ahli untuk mengkajinya lebih dalam. Muncul dalam benak mereka,
mungkinkah batuan itu dikelompokkan secara rinci sehingga dapat dibedakan
dengan batuan sedimen lainnya.
Batuan karbonat, utamanya batugamping, yang tersingkap di banyak tempat
mempunyai umur dan lingkungan pengendapan yang semuanya dapat diurut-ulang
melalui kandungan fosil, ciri fisik batuan, dan himpunannya di lapangan. Pencirian
lingkungan pengendapan batuan karbonat dapat didekati dan dianalisis melalui
beberapa cara. Metoda yang biasa dipakai dan berlaku umum di antaranya:
Menggunakan fosil foraminifera bentos, karena organisme ini hidupnya
sangat peka dengan lingkungan di sekitarnya (metoda Tipsword, Setzer &
Smith, 1966).
Mengamati tekstur batuan karbonat di bawah mikroskop, sehingga akan
diketahui jenis, berdasarkan klasifikasi Dunham (1969) atau Folk (1962);
dan derajat agitasi air laut pada saat pengendapan, berdasarkan nilai Indeks
Energi (Plumley, 1962).
Menggunakan nilai perbandingan (ratio) antara jumlah foraminifera
plangton dan bentos (metoda Grimsdale & Markhoven, 1955).
Menggunakan metoda fasies-mikro (Plugel, 1982).
Memperhatikan jenis dan ragam batuan penyusun satuan.
Sebagai gambaran, batugamping Miosen Tengah-Pliosen (12-4 juta tahun lalu)
yang menyusun bagian atas Pegunungan Selatan Jawa, secara stratigrafi dapat
6. dikelompokkan menjadi 3 satuan batuan setingkat formasi. Runtunan batuan bagian
bawah dinamakan Formasi Oyo, yang bagian atasnya menjemari atau berubah
fasies menjadi Formasi Wonosari. Satuan termuda yang menyusun bagian paling
atas runtunan batugamping Neogen di Gunung Sewu adalah Formasi Kepek.
1.3 Karstifikasi
Pelarutan tidak hanya terjadi di permukaan batuan, tetapi juga di bawah
permukaan. Kedua gejala kars tersebut, baik kars-luar (exokarst) maupun kars-
dalam (endokarst), bersifat dinamis dan berinteraksi sangat kuat satu sama
lainnya. Kegiatan pelarutan yang melibatkan sejumlah faktor fisik, biofisik, dan
kimiawi dikenal dengan proses karstifikasi.
Selanjutnya, supaya batugamping dapat membentuk morfologi kars,
faktor-faktor yang harus dipenuhi antara lain (Ko & Samodra, 2000):
Mempunyai ketebalan yang cukup;
Wilayahnya merupakan daerah yang memiliki curah hujan tingg;.
Batuannya terkekarkan, atau banyak mengandung celah dan rongga.
Letaknya lebih tinggi dibanding daerah sekitarnya dan mempunyai sungai
permukaan yang berfungsi sebagai muka-dasar air setempat;
Ditutupi oleh vegetasi yang rapat.
Ke lima faktor di atas bekerja saling kait-mengkait, sebelum akhirnya proses
pelarutan mengubah bagian permukaan dan bawah-permukaan batugamping
menjadi bentangalam kars. Lapisan batugamping yang mempunyai ketebalan
cukup, yang berdasarkan pengamatan di lapangan lebih dari 100 m (Samodra,
2000a), berkemampuan besar berkembang menjadi kawasan kars. Jenis litologi dan
7. keadaan fisik batugamping, seperti mempunyai ukuran butir yang relatif kasar dan
berporositas primer tinggi, sedikit banyak akan mempengaruhi proses karstifikasi.
Batugamping yang terkekarkan karena proses tektonik selama perkembangan
geologinya akan lebih mudah membentuk bentangalam kars dibanding
batugamping yang tidak terkekarkan. Celah-celah kekar atau retakan memiliki
fungsi sebagai pemercepat proses karstifikasi, karena air akan jauh lebih mudah
bergerak pada batugamping yang mempunyai sistem percelah-retakan. Letak
batugamping yang lebih tinggi dibanding daerah sekitarnya mempunyai
keuntungan dalam kecepatan karstifikasi, terutama pelarutan yang terjadi di bawah-
permukaan, yang membentuk gejala endokars. Pembesaran sistem percelah-retakan
dan lorong-lorong bawahtanah oleh proses pelarutan dikendalikan oleh air yang
bergerak di atas muka-dasar air setempat.
Secara umum, muka-air setempat ini dibentuk oleh permukaan sungai yang
mengalir di atas lapisan batugamping. Batugamping yang ditutupi oleh vegetasi
yang rapat, berkaitan dengan proses karstifikasi, akan memiliki derajat pelarutan
yang lebih tinggi karena vegetasi tersebut bertindak sebagai pengatur (regulator)
air. Faktor lain yang tidak boleh dilupakan adalah satuan waktu yang tersedia bagi
proses pelarutan dan karstifikasi. Waktu ini bersifat relatif, karena di dalam
pengetahuan geologi waktu identik dengan proses panjang yang berkisar dari
ratusan ribu tahun hingga puluhan juta tahun
Proses penting di dalam karstifikasi, yang akan mengubah permukaan dan
bagian kedalaman batugamping menjadi bentangalam kars, adalah pelarutan. Kuat
dan tidaknya proses pelarutan oleh air (hujan) salah satunya dipengaruhi oleh
8. jumlah atau kadar CaO di dalam batugamping. Unsur pembentuk batuan ini
mempunyai pengaruh besar dalam membangun bentukan-bentukan ekso- dan
endokars. Batugamping berkadar CaO rata-rata 42,56% cenderung membentuk
bukit-bukit berbangun kerucut; sedang yang kadar CaO-nya lebih kecil, sekitar
33,38%, akan membentuk pebukitan plato (Sutikno, 1996). Kadar CaO yang tinggi
menyebabkan batugamping lebih mudah larut dalam air. Proses pelarutan pada
batugamping umumnya berjalan lambat. Setelah terjadi pelarutan, sifat fisik
batugamping berubah, terutama nilai porositas dan permeabilitasnya. Batugamping
pejal yang mempunyai permeabilitas rendah (sekitar 5 x 10-3 cm) sesudah
mengalami pelarutan kemampuannya meluluskan air bertambah besar menjadi 104
hingga 105 kali lipat. Untuk membentuk dolina bergaris tengah 2 m dibutuhkan
waktu sekitar 10 ribu tahun, di mana kecepatan pelebarannya hanya 2 x 10-2
cm/tahun
Batugamping yang terlarut di dalam air menyebabkan air kars sering bersifat
jenuh. Pada suatu saat larutan jenuh CaCO3 tersebut mengalami penghabluran-
ulang, membentuk aneka bangun kalsit di permukaan dan di dalam rongga-rongga
bawahtanah. Di dalam gua terbentuk beragam jenis dan ukuran speleotem (hiasan
di dalam gua). Pertumbuhan stalakmit di daerah beriklim kering rata-rata adalah 0,7
mm/tahun⎯umumnya berkisar antara 0,65-0,71 mm/tahun (White, 1988). Di Gua
Simbar (Gombong Selatan), suatu stalaktit yang terpotong ditumbuhi oleh stalaktit
baru dengan kecepatan pembentukan sekitar 1 mm/tahun (Samodra, 1999g). Angka
pertumbuhan yang relatif lebih tinggi ini disebabkan karena speleotem terbentuk di
9. suatu kawasan kars yang mempunyai curah hujan besar, dan batugampingnya
mempunyai kadar CaO yang tinggi sehingga mudah sekali larut.
Unsur-unsur bentangalam eksokars yang berhubungan dengan tenaga
eksogen⎯khususnya air⎯menghasilkan bentuk-bentuk pelarutan di permukaan
batugamping yang dikenal dengan karren, lapies atau schratten. Bentukan kars-
mikro ini mulajadinya berkaitan dengan:
Sifat fisik dan kimia batugamping;
Jumlah, sifat dan sebaran air hujan yang akan mempengaruhi proses
pelarutan melalu serangkaian reaksi kimia;
Ada tidaknya lapisan tanah, tumbuhan atau humus yang menutupi
permukaan batuan;
Kemiringan lapisan batugamping.
Dalam waktu yang cukup lama proses pelapukan dan pengikisan menghasilkan
unsur-unsur eksokars yang tampak dari kejauhan. Pelarutan dan pengikisan yang
menerus selanjutnya akan memperbesar ukuran lubang atau memperdalam lembah
yang dulunya merupakan alur-alur kecil di permukaan batugamping. Bukit-
bukit⎯baik tunggal maupun berkelompok⎯mulai terbentuk di sekeliling lembah
atau lekuk topografi yang ada. Jika kawasan batugamping itu tersesarkan, bolehjadi
akan terbentuk deretan pematang bukit yang memanjang lurus ke arah tertentu.
Selanjutnya, kelompok bentangalam bukit batugampingpun dapat membentuk
bangun-bangun khusus seperti kerucut, atau bagian atasnya mempunyai permukaan
yang datar sehingga bangunnya seperti plato, atau menara dan sebagainya. Bangun-
bangun bukit batugamping seperti ini banyak dijumpai di banyak kawasan kars di
10. Indonesia. Salah satu kawasan kars di Pulau Jawa yang diciri dengan bentuk-bentuk
bukitnya yang khas adalah Kars Gunung Sewu. Kawasan itu membentang arah
barat-timur sepanjang lebih dari 100 km dan lebar maksimum 60 km, mulai
Parangtritis di selatan Yogyakarta hingga Pacitan. Nama Gunung Sewu diambil dari
kenampakan morfologinya, yang disusun oleh ribuan kerucut batugamping
1.4 Kawasan Karst Di Indonesia
A. Kars Gunung Sewu
Kawasan ini mempunyai bentangalam yang sangat khas, berupa puluhan
ribu bukit batugamping berketinggian antara 20-50 m yang dikuasai oleh
bangun kerucut. Puncak kerucut bisa membulat (sinusoida) atau lancip
(karst conical), tergantung keadaan stratigrafinya. Lekuk-lekuk di antara
pebukitan batugamping membentuk dolina, baik terbuka maupun tertutup.
Sungai yang mengalir di permukaan kawasan kars sangat jarang. Begitu
menemukan sebuah lubang-lari atau gua, sungai permukaan segera berubah
menjadi sungai bawahtanah. Di kedalaman bumi air mengalir di sepanjang
lorong gua, membentuk jaringan sistem tata air yang rumit. Pada suatu saat
atap lorong bawahtanah runtuh karena lapisan batuan yang relatif tipis tidak
kuat menahan beban berat seluruh lapisan batuan. Keberadaan sungai
bawahtanah dapat diciri melalui lubang-lubang peruntuhan (luweng, istilah
di daerah Gunung Sewu) yang ada. Gejala ekso- dan endokars seperti itu
teramati baik di Kawasan Kars Gunung Sewu, yang membentang dari
Yogyakarta hingga Pacitan
11. B. Kars Pacitan
Batugamping berbentangalam kars di daerah Pacitan (Jawa Timur)
merupakan ujung paling timur dari kepanjangan sistem kars Gunung Sewu
di Yogyakarta dan Wonogiri (Jawa Tengah). Dibatasi oleh Teluk Pacitan
yang berbangun melingkar, bentangalamnya dapat dibedakan menjadi
segmen kars Pacitan Barat dan segmen Pacitan Timur. Segmen kars Pacitan
Barat merupakan bagian dari sistem kars Gunung Sewu yang disebutkan
sebelumnya, sementara kars di Pacitan Timur sudah bukan bagian dari
sistem kars yang luas tersebut. Jika batugamping kars di Pacitan Barat masih
memiliki ciri kars Gunung Sewu yang khas (bukit kerucut dan morfologi
sisa-plato), maka sifat khas tersebut sudah jarang dijumpai di Pacitan Timur.
Keadaan itu dipengaruhi oleh tataan geologi setempat
C. Kars Gombong Selatan
Di daerah Gombong Selatan, bukit-bukit kerucut batugamping tersusun
sedemikian rupa, membentuk lekuk bersegi lima (star-shape doline).
Kawasan kars di daerah ini merupakan contoh yang baik untuk kegelkarst
(kawasan berbukit kerucut dengan lerengnya yang terjal dan lekuk-lekuk
tertutup di antaranya), dengan gua-guanya yang panjang dan indah.
Sebagian guanya berair, sebagian lagi kering (fosil). Beberapa mata air kars
muncul di kaki bukit atau dataran rendah di sekitarnya. Sumber
Banyumudal yang sudah didayagunakan sejak Zaman Belanda masih tetap
berair hingga sekarang.
12. D. Kars Maros
Singkapan batugamping yang luas di daerah Sulawesi Selatan, antara
Pangkajene dan Maros, membentuk tipe kars tersendiri (Samodra, 1995).
Bukit-bukit berlereng terjal⎯yang sebagian besar genesanya dipengaruhi
oleh struktur geologi, sebelum diperlebar dan diperluas oleh proses
pelarutan atau karstifikasi⎯membentuk bangun menara yang sangat khas
(karst tower). Di antara bukit-bukit tersebut membentang dataran, dengan
permukaannya yang rata. Oleh penduduk setempat, dataran kars tersebut
didayagunakan menjadi lahan pertanian dan perkebunan. Bukit-bukit
menara tersebut sejenis dengan yang ada di Cina Selatan dan Vietnam.
Gua-gua di kawasan ini, terutama yang fosil, mempunyai nilai arkeologi
yang tinggi. Di dalamnya banyak dijumpai lukisan gua manusia prasejarah,
yang dapat menguak kehidupan manusia prasejarah dan budayanya di
daerah Sulawesi Selatan dan sekitarnya. Kawasan ini sedang mengalami
tekanan yang cukup berat, karena usaha pertambangan batugamping untuk
semen dan industri lainnya. Peningkatan produksi pabrik semen
memerlukan bahan baku batugamping yang lebih banyak, sehingga terjadi
perluasan area pertambangan. Sayangnya pertumbuhan daerah quarry
batugamping sudah mulai menyentuh gua-gua yang memiliki nilai
arkeologi tinggi. Lukisan-lukisan gua, artefak, aneka jenis fosil yang belum
dikenali yang terawetkan pada lapisan sedimen gua, dan tulang-belulang
manusia yang dikuburkan di dalam gua sesuai dengan adat tradisi
13. masyarakat setempat banyak dijumpai di gua-gua arkeologi Sulawesi
Selatan.
1.5 Pentingnya batuan-dasar dan batuan-penutup kars
Keberadaan lapisan-penutup, baik berupa tanah (soil) maupun runtunan
batuan, dengan demikian akan mempengaruhi proses pelarutan atau
karstifikasi yang melibatkan air. Di dalam proses tersebut, lapisan-penutup
batugamping yang terdiri dari tanah akan memberikan hasil yang berbeda
jika lapisan-penutup itu berupa lapisan batuan. Ketebalan, kemampuan
meluluskan air, banyak sedikitnya retakan di permukaan, dan ada tidaknya
vegetasi di permukaan merupakan faktor yang mempengaruhi proses
pelarutan yang disebabkan oleh air. Tanah yang bersifat lempungan,
meskipun hanya tipis, akan mempersulit penyerapan sehingga sebagian
besar air hujan mengalir di permukaan sebagai air larian. Tetapi tanah yang
bersifat sarang dan tidak padat akan memberi hasil yang sebaliknya. Begitu
juga jika lapisan-penutup batugampingnya adalah batuan. Tergantung dari
jenis batuannya, tutupan yang berupa batuan sedimen, batuan beku, dan
batuan malihan akan memberi pengaruh sendiri-sendiri yang berbeda.
Keadaan yang sama juga berlaku pada jenis batuan-dasar yang
mengalasi batugamping. Sifat fisik batuan-dasar dan ketangguhannya
terhadap proses pengikisan akan mempengaruhi dimensi dari sistem
perguaan yang berkembang di bawah permukaan tanah. Batas lapisan antara
batugamping dan batuan bukan-gamping di bawahnya biasanya merupakan
bidang dasar sistem perguaan, dalam arti lorong gua tidak mungkin
14. berkembang lebih dalam lagi. Sangat dimungkinkan sistem perguaan
mendatar akan berkembang di sepanjang batas satuan batuan, mengikuti
permukaannya yang mungkin tidak rata.
Kawasan batugamping yang tersingkap di daerah Wonosari dan Pacitan,
sebagai bagian dari Kars Gunung Sewu yang luas, secara stratigrafi dikenal
sebagai satuan litostratigrafi termuda yang tersingkap di Pegunungan
Selatan Jawa Tengah-Jawa Timur. Di beberapa tempat di kedua daerah
tersebut dijumpai endapan klastik dan endapan piroklastik halus. Endapan
yang ditafsirkan berumur Kuarter itu menindih takselaras satuan
batugamping dan satuan bukan-batugamping, dengan sebarannya yang
relatif sempit. Runtunan endapan Kuarter yang berupa lempung hitam dan
tuf-jatuhan (air fall deposits) tersebut mempunyai tebal maksimum 20 m.
Keduanya mempunyai sifat tidak meluluskan air, sehingga perembasan air
hujan di sekitar singkapannya menjadi sangat kecil. Butiran sedimen yang
berukuran halus juga menyumbat sistem percelah-retakan batugamping,
sehingga di dasar runtunan endapan lempung hitam sering dijumpai mata
air, terutama pada musim hujan. Keadaan yang sama juga terjadi di sekitar
endapan tuf, di mana di salah singkapannya terbentuk sebuah telaga. Telaga
tersebut bersifat tetap, di mana akumulasi air tidak dapat masuk ke dalam
lapisan batugamping yang lebih dalam karena tertutupnya celah, retakan,
dan lubang batuan oleh lapisan tuf yang bersifat kedap air.
Aspek lain yang menarik dari kehadiran satuan lempung hitam yang
bertindak sebagai batuan-penutup batugamping adalah terendapkannya
15. kembali hablur CaCO3 yang terlarut dalam air pada lapisan lempung. Di
runtunan bagian atas endapan lempung hitam, yang litologinya berupa
lempung pasiran, sering dijumpai keratan batugamping yang bangunnya
bercabang-cabang seperti jahe (penduduk setempat menamakannya
watujahe). Menurut genesanya, batuan tersebut dibentuk oleh penguapan air
jenuh-karbonat yang mengalir di permukaan tanah, atau meresap sebagian
ke dalam lapisan lempung pasiran dan terjebak di dalam retakan. Larutan
yang menguap secara cepat karena panas matahari menghasilkan hablur
kalsium karbonat yang bangunnya tidak beraturan dan mempunyai
pinggiran yang tajam (Samodra, 1999d). Bentukan itu mirip dengan caliche,
yaitu istilah di Chili, Peru, Meksiko, dan Amerika Baratdaya untuk endapan
kalsium karbonat, garam nitrat, dan garam lainnya di permukaan soil atau
tanah di daerah beriklim kering dan semi-kering
2. Aspek Hidrologi
Air merupakan faktor utama dalam pembentukan gejala ekso- dan endokars.
Perilaku air di kawasan kars membentuk sistem hidrologi yang rumit, sekaligus
khas. Lingkungan geologi (litologi, stratigrafi, ketebalan, derajat karstifikasi)
kawasan kars yang berbeda-beda menyebabkan sistem hidrologi dan
hidrodinamikanya tidak bisa disama-ratakan. Kedudukan ilmu speleologi
menjadi penting, karena pengetahuan itu akan mengungkapkan keadaan
hidrodinamika masa lalu dan masa sekarang. Tataan hidrogeologi kawasan kars
yang dinamis di masa lalu dapat dipelajari melalui kajian fenomena endokars
16. seperti scallops, flutes, potholes, ceilling dents dan sebagainya, yang terawetkan
di lorong-lorong sistem perguaan.
3. Aspek Paleontologi dan Paleoantropologi
Sepanjang ruang dan waktu geologi yang pendek, tumbuhan dan hewan
yang hidup di kawasan kars mungkin akan berevolusi secara cepat, atau
malahan punah akibat perubahan lingkungan. Gua di kawasan kars, sesuai
dengan keadaan lingkungan fisiknya yang khas, berkemampuan besar
melestarikan jejak atau kehidupan masa lalu yang sudah membatu (fosil).
Dengan demikian keberadaan unsur endokars ini berperan penting dalam usaha
manusia mempelajari aspek paleontologi dan paleoantropologi kawasan kars
untuk pengembangan ilmu pengetahuan.
4. Aspek Arkeologi
Kawasan kars⎯termasuk gua dan ceruk⎯dikenal sebagai tempat tinggal
manusia-purba dan manusia-prasejarah yang hidup ratusan ribu hingga ribuan
tahun lalu. Pithecanthropus pekinensis yang tinggal di Lembah Choukoutien
(Cina Selatan) dianggap sebagai manusia-purba yang paling awal menghuni gua
di Daratan Asia. Di dalam gua di kawasan tersebut, selain tulang juga dijumpai
sisa-sisa pembakaran yang mungkin diperlukan untuk menghangatkan tubuh
pada musim dingin. Di Eropa, Homo sapiens neanderthalensis yang hidup
sekitar 100 ribu tahun lalu merupakan manusia-purba penghuni gua yang
tergolong lebih cerdas dibanding nenek-moyang sebelumnya. Iklim yang dingin
memaksa mereka untuk tinggal dan menetap di dalam gua. Mereka sudah mahir
17. membuat peralatan dari batu, kayu, tulang, gading dan tanduk; bahkan membuat
api untuk menghangatkan tubuh
5. Aspek Speleologi
Speleologi adalah ilmu pengetahuan yang secara khusus mempelajari gua
dari berbagai sudut ilmiah. Pengetahuan speleologi mencakup masalah speleo-
genesa (mulajadi gua), speleokronologi (urutan kejadian dari pembentukan
hingga perkembangan gua), speleomorfologi (bentukan di dalam gua),
biospeleologi (biota-gua), sedimentologi dan mineralogi gua serta iklim-mikro
gua. Selanjutnya, informasi speleologi tidak hanya bermanfaat sebagai data
dasar pengembangan gua untuk keperluan pariwisata, tetapi juga penting untuk
kajian-lanjut arkeologi, paleontologi, sifat radioaktif gua dan hal-hal lain yang
berkaitan dengan nilai ekonomi (penambangan fosfat guano) dan nilai
kemanusiaan atau sosio-budaya (legenda, agama, kepercayaan dan mistik).
Sebagai bentukan dan gejala endokars, gua mempunyai kaitan proses yang
bersifat dinamis dengan gejala eksokars yang berkembang di permukaan. Oleh
karenanya mempelajari speleologi harus disertai dengan pengetahuan yang
cukup mengenai aneka proses yang bekerja di permukaan kawasan kars.
6. Aspek Biologi
Menurut Suhardi (1999), tumbuhan yang dapat hidup di kawasan kars di
antaranya adalah jati, tusam, mahoni, akor, sonokeling, sonobrit, kayu putih,
sengon, ploso, pulai, trengguli, johar, bungur, klampis, akvil, secang, gamal,
kemlanding, pilang, wuni dan duwet. Usaha menanam tumbuhan bukan-
18. endemis (polikultur) seperti kayu cendana yang dilakukan di Hutan Wanagama
(Wonosari, Yogyakarta) meskipun berhasil dibutuhkan waktu yang sangat
lama. Kajian palinologi pada sedimen gua dan sedimen yang ada di beberapa
luweng di Kawasan Kars Gunung Sewu menunjukkan kalau jati (Tectona
grandis) adalah tumbuhan endemi daerah tersebut. Di Kawasan Kars Maros
(Sulawesi Selatan) tumbuh sekitar 30 jenis ara atau beringin (Ficus spp.); selain
dan kayuhitam (Diospyros celebica) dan pangi (Pangium edule), yang buahnya
dimanfaatkan menjadi rempah bahan makanan dan kue atau menjadi makanan
utama anoa.
7. Aspek kehutanan, pertanian, perkebunan, dan perikanan
Secara umum, hutan diartikan sebagai bentangan vegetasi yang dikuasai
oleh pohon yang sebarannya rapat dan luas, sehingga tercipta iklim-mikro di
dalam tegakan yang berbeda dengan iklim di luar hutan (Hani’in dkk., 2002).
Dengan demikian himpunan vegetasi baru dapat disebut sebagai hutan jika
jumlah pohon atau pokok (batang) lebih banyak dibanding tumbuhan lainnya.
Sebagai bagian dari sumberdaya alam, hutan merupakan salah satu jenis
sumberdaya hayati. Selain sebagai sumberdaya alam yang dapat dimanfaatkan,
hutan juga memiliki fungsi sebagai sumber plasma nutfah atau sumberdaya
genetik flora dan fauna, pengatur air, bahan pangan, memberikan udara segar,
keindahan, dan dalam beberapa hal sebagai sumber tanaman obat.
19. 8. Aspek Ekosistem
Ekosistem atau sistem ekologi merupakan ujud dari suatu proses dan
kegiatan yang sifatnya dinamis dan saling pengaruh mempengaruhi, antara
mahkluk hidup (binatang, tumbuhan, manusia) dan lingkungan (alam) di
sekitarnya. Kehadiran aneka jenis organisme yang hidup dan berkembang di
kawasan kars merupakan unsur pembentuk keanekaragaman hayati kawasan
tersebut. Kondisi fisik kawasan yang mempengaruhi keberadaan, perkembang-
biakan, dan kelangsungan hidup organisme tersebut mencakup keadaan iklim,
cuaca, air, tanah, sinar matahari, dan sebagainya. Karena keadaan fisik kawasan
kars berbeda-beda di setiap daerah, maka keanekaragaman hayati yang dimiliki
oleh masing-masing kawasanpun tidak selalu sama. Hubungan yang saling kait
mengkait dan pengaruh mempengaruhi tidak hanya terjadi pada lingkungan
hayati (biotik) saja, tetapi juga pada lingkungan nirhayati (abiotik). Hubungan
timbal-balik yang sinergi pada lingkungan nirhayati kawasan kars, salah
satunya ditunjukkan oleh proses dinamis yang membentuk gejala ekso- dan
endokars.
9. Aspek Kerekayasaan
Bangunan sipil seperti bendungan, jembatan, jalan, lapangan terbang, tiang
listrik tegangan tinggi dan sebagainya sering dijumpai di kawasan kars. Sifat
fisik batugamping yang berongga-rongga atau mempunyai sistem perguaan
yang letaknya di dekat permukaan merupakan masalah utama bagi kestajikan
bangunan sipil yang dibangun di atasnya. Rongga-rongga bawah-permukaan itu
akan memperkecil daya tahan batuan terhadap tekanan yang disebabkan oleh
20. beban bangunan yang ada di permukaan tanah. Fondasi bangunan sering
ambles, yang mungkin diikuti dengan runtuhnya sebagian bangunan.
Keberadaan retakan atau kekar yang memiliki kerapatan tinggi di sekitar tubuh
bendungan akan menyebabkan bocornya bangunan, sehingga fungsinya
menjadi berkurang. Hal yang paling buruk, jika struktur fisik lapisan batuan
tidak mendukung, adalah bobolnya bendungan yang menyebabkan banjir
bandang serta kerugian moril dan materiil yang besar.
Bangunan sipil di kawasan kars sebaiknya menghindari daerah yang
mempunyai sifat fisik seperti disebutkan di atas. Jika letak bangunan tidak dapat
dipindahkan, harus dilakukan kajian geologi untuk merinci dan memetakan
sebaran kekar, rongga-rongga bawahtanah atau gua yang ada di permukaan
yang diduga menerus ke arah kedalaman. Untuk memastikan sebaran struktur
rongga, gua dan kekar yang tersebar di bawah permukaan dilakukan pendugaan
geofisika (metoda kegempaan, gayaberat, tahanan jenis dan sebagainya). Usaha
penyemenan dengan bahan khusus (grouting) akan efektif jika tingkat kerapatan
kekar dan rongga relatif kecil. Untuk daerah yang luas dengan sistem percelah-
guaan yang rapat, metoda tersebut tidak akan mencapai sasaran.
Dalam rangka pembukaan daerah terisolir di kawasan kars, pemerintah telah
banyak membangun prasarana jalan, yang menghubungkan daerah tersebut
dengan kawasan lain di sekitarnya. Tujuannya utamanya adalah meningkatkan
kegiatan ekonomi lokal penduduk setempat. Jalan raya yang memotong bukit-
bukit batugamping dibuat dengan memotong dinding bukit, sehingga sebagian
lereng yang curam kehilangan daya dukungnya. Pelongsoran sering terjadi di
21. beberapa ruas jalan⎯misal di segmen jalan antara Wanggameti-Waingapu di
Sumba (Hadi, 1996). Badan jalan yang ditutupi aspal tidak lagi dapat
meresapkan air hujan, sehingga jika selokan yang ada di sepanjang kiri dan
kanan bahu jalan tidak dipelihara, proses erosi merupakan bentuk ancaman lain
di musim hujan. Erosi berlebihan yang disebabkan oleh aliran air hujan di
permukaan disebabkan karena sebagian lahan yang dipakai untuk jalan
kehilangan vegetasi penutup, yang berfungsi meresapkan air hujan.