SlideShare a Scribd company logo
1 of 21
KEMENTERIAN PENDIDIKAN KEBUDAYAAN RISET DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS HASANUDDIN
FAKULTAS TEKNIK
PROGRAM STUDI TEKNIK GEOLOGI
MATAKULIAH MANAJEMEN PENGELOLAAN KARST
TUGAS
OLEH :
ALLIKA FADIA HAYA SUKUR
D061171306
GOWA
2021
RINGKASAN NILAI ILMIAH KAWASAN KARST DARI BUKU “NILAI
STRATEGIS KAWASAN KARST DI INDONESIA” OLEH HANANG
SAMUDRA (2001)
Pemahaman kars sebagai suatu kawasan tidak akan lengkap jika hanya
didekati dari salah satu aspek ilmu pengetahuan saja. Kawasan kars mempunyai
sifat multidisiplin, karena hampir semua cabang ilmu pengetahuan dapat
diaplikasikan secara tepat di sini. Oleh karena itu, di dalam program
pengelolaannya dibutuhkan kerjasama yang sifatnya proaktif di antara sektor-sektor
yang terkait (lintas-sektor), dengan melibatkan semua disiplin ilmu yang ada
(multidiplin). Termasuk dalam bagian rencana tersebut adalah pemberian peran-
serta dan pemberdayaan masyarakat setempat, sehingga diperoleh kesatuan gerak
yang bersifat holistik. Pengelolaan sumberdaya alam, termasuk kawasan kars, harus
dilakukan dengan pendekatan bio- dan georegion yang memadukan ekosistem
darat, pesisir, dan laut.
Kawasan kars menyimpan nilai-nilai ilmiah yang saling kait-mengkait,
sehingga masalahnya hanya dapat dipecahkan secara inter- dan multi-disiplin.
Beragam jenis pengetahuan seperti geologi, hidrologi, speleologi, ekologi, biologi,
arkeologi, pariwisata, pertanian, peternakan, kesehatan, kependudukan dan
kerekayasaan terintegrasi menjadi satu kesatuan ilmu dasar tentang kars.
Jika semua aspek ilmiah kawasan kars sudah terinventarisasi dan
teridentifikasi dengan baik, berbagai benturan kepentingan yang timbul ketika
program pengelolaan dijalankan dapat dihindari sedini mungkin. Pemanfaatan
aspek ekonomi kawasan kars secara besar-besaran dan cenderung merusak⎯misal
oleh industri pertambangan skala besar⎯dapat diselaraskan dan diseimbangkan
dengan fungsi nilai ilmiah atau nilai kemanusiaan yang ada, termasuk pengikut-
sertaan peran masyarakat setempat. Perangkat hukum berupa undang-undang,
keputusan presiden, keputusan menteri dan sebagainya harus segera
disosialisasikan setelah petunjuk teknis dan petunjuk pelaksanaannya selesai
disusun. Tujuannya dari semua usaha itu adalah melindungi kawasan tersebut dari
penurunan nilai-nilai srategis akibat kegiatan eksploitasi yang berlebihan, yang
melampaui batas daya dukung kawasan itu sendiri.
1. Aspek Geologi
Sebagai ilmu pengetahuan dasar tentang kebumian, geologi mempelajari
sejarah pembentukan bumi dan makhluk hidup yang mendiami planet kecil
tetapi unik ini. Dalam konteks ilmu kebumian kars menjadi penting, karena
kawasan tersebut merupakan salah satu unsur yang memperkaya sifat
keanekaragaman bumi (geodiversity).
1.1 Geologi batuan karbonat
Di dalam pengetahuan geologi, yang dimaksud dengan batuan karbonat
adalah batugamping dan dolomit. Batuan sedimen itu masing-masing mempunyai
rumus kimia CaCO3 dan Ca(MgCO3)2. Meskipun pada dasarnya semua batuan
terdiri dari garam karbonat, tetapi unsur karbonat di dalam batugamping dan
dolomit sangat tinggi. Mineral karbonat disusun oleh kation Ca, gabungan Ca-Mg,
dan anion CO3. Batuan karbonat terbentuk secara kimiawi, berupa larutan. Tidak
ada batuan karbonat yang dibentuk oleh butiran (detritus) asal-daratan. Selain itu,
pengaruh organisme dalam pembentukan batuan karbonat sangatlah besar.
Pengendapan sekunder yang membentuk batugamping klastik prosesnya memang
mirip dengan pengendapan batuan-batuan sedimen lainnya, yang dibentuk oleh
detritus.
1.2 Lingkungan Pembentukan Batuan Karbonat
Suatu cekungan pengendapan dapat bertindak sebagai lingkungan
pengendapan batuan karbonat jika
 Lingkungannya bebas butiran sedimen asal-darat, sehingga keadaan
tektoniknya harus stabil (tidak ada pengangkatan) dan daratan di
sekitarnya bermorfologi hampir-rata. Di Indonesia, lingkungan yang
demikian berkembang baik pada Zaman Kapur (140-65 juta tahun lalu)
dan antara Oligosen dan Miosen (35-5 juta tahun lalu);
 Merupakan daerah paparan laut dangkal, karena pengendapan karbonat
membutuhkan keadaan kelewat-jenuh (super-saturated), sehingga hanya
dapat dicapai melalui proses penguapan di daerah yang relatif dangkal
(0-200 m). Pada laut yang kedalamannya melebihi garis CCD
(carbonate compensation depth) tekanan parsial CO2 yang terlalu tinggi
di bagian itu akan melarutan-kembali batugamping menjadi
Ca(HCO3)2. Di kawasan Pasifik Barat, fenomena seperti itu kira-kira
terjadi pada kedalaman kurang dari 3.000 m;
 Beriklim tropis atau semi-tropis, sehingga banyak penguapan;
 Keadaan lautnya harus jernih;
 Lingkungan di sekitarnya menjamin kebutuhan nutrisi yang cukup bagi
organisme untuk tumbuh dan berkembang.
Luasnya sebaran batuan karbonat di dunia, dengan umurnya yang beragam
mulai pra-Kambrium hingga Resen, termasuk jenisnya yang ratusan, menarik
perhatian para ahli untuk mengkajinya lebih dalam. Muncul dalam benak mereka,
mungkinkah batuan itu dikelompokkan secara rinci sehingga dapat dibedakan
dengan batuan sedimen lainnya.
Batuan karbonat, utamanya batugamping, yang tersingkap di banyak tempat
mempunyai umur dan lingkungan pengendapan yang semuanya dapat diurut-ulang
melalui kandungan fosil, ciri fisik batuan, dan himpunannya di lapangan. Pencirian
lingkungan pengendapan batuan karbonat dapat didekati dan dianalisis melalui
beberapa cara. Metoda yang biasa dipakai dan berlaku umum di antaranya:
 Menggunakan fosil foraminifera bentos, karena organisme ini hidupnya
sangat peka dengan lingkungan di sekitarnya (metoda Tipsword, Setzer &
Smith, 1966).
 Mengamati tekstur batuan karbonat di bawah mikroskop, sehingga akan
diketahui jenis, berdasarkan klasifikasi Dunham (1969) atau Folk (1962);
dan derajat agitasi air laut pada saat pengendapan, berdasarkan nilai Indeks
Energi (Plumley, 1962).
 Menggunakan nilai perbandingan (ratio) antara jumlah foraminifera
plangton dan bentos (metoda Grimsdale & Markhoven, 1955).
 Menggunakan metoda fasies-mikro (Plugel, 1982).
 Memperhatikan jenis dan ragam batuan penyusun satuan.
Sebagai gambaran, batugamping Miosen Tengah-Pliosen (12-4 juta tahun lalu)
yang menyusun bagian atas Pegunungan Selatan Jawa, secara stratigrafi dapat
dikelompokkan menjadi 3 satuan batuan setingkat formasi. Runtunan batuan bagian
bawah dinamakan Formasi Oyo, yang bagian atasnya menjemari atau berubah
fasies menjadi Formasi Wonosari. Satuan termuda yang menyusun bagian paling
atas runtunan batugamping Neogen di Gunung Sewu adalah Formasi Kepek.
1.3 Karstifikasi
Pelarutan tidak hanya terjadi di permukaan batuan, tetapi juga di bawah
permukaan. Kedua gejala kars tersebut, baik kars-luar (exokarst) maupun kars-
dalam (endokarst), bersifat dinamis dan berinteraksi sangat kuat satu sama
lainnya. Kegiatan pelarutan yang melibatkan sejumlah faktor fisik, biofisik, dan
kimiawi dikenal dengan proses karstifikasi.
Selanjutnya, supaya batugamping dapat membentuk morfologi kars,
faktor-faktor yang harus dipenuhi antara lain (Ko & Samodra, 2000):
 Mempunyai ketebalan yang cukup;
 Wilayahnya merupakan daerah yang memiliki curah hujan tingg;.
 Batuannya terkekarkan, atau banyak mengandung celah dan rongga.
 Letaknya lebih tinggi dibanding daerah sekitarnya dan mempunyai sungai
permukaan yang berfungsi sebagai muka-dasar air setempat;
 Ditutupi oleh vegetasi yang rapat.
Ke lima faktor di atas bekerja saling kait-mengkait, sebelum akhirnya proses
pelarutan mengubah bagian permukaan dan bawah-permukaan batugamping
menjadi bentangalam kars. Lapisan batugamping yang mempunyai ketebalan
cukup, yang berdasarkan pengamatan di lapangan lebih dari 100 m (Samodra,
2000a), berkemampuan besar berkembang menjadi kawasan kars. Jenis litologi dan
keadaan fisik batugamping, seperti mempunyai ukuran butir yang relatif kasar dan
berporositas primer tinggi, sedikit banyak akan mempengaruhi proses karstifikasi.
Batugamping yang terkekarkan karena proses tektonik selama perkembangan
geologinya akan lebih mudah membentuk bentangalam kars dibanding
batugamping yang tidak terkekarkan. Celah-celah kekar atau retakan memiliki
fungsi sebagai pemercepat proses karstifikasi, karena air akan jauh lebih mudah
bergerak pada batugamping yang mempunyai sistem percelah-retakan. Letak
batugamping yang lebih tinggi dibanding daerah sekitarnya mempunyai
keuntungan dalam kecepatan karstifikasi, terutama pelarutan yang terjadi di bawah-
permukaan, yang membentuk gejala endokars. Pembesaran sistem percelah-retakan
dan lorong-lorong bawahtanah oleh proses pelarutan dikendalikan oleh air yang
bergerak di atas muka-dasar air setempat.
Secara umum, muka-air setempat ini dibentuk oleh permukaan sungai yang
mengalir di atas lapisan batugamping. Batugamping yang ditutupi oleh vegetasi
yang rapat, berkaitan dengan proses karstifikasi, akan memiliki derajat pelarutan
yang lebih tinggi karena vegetasi tersebut bertindak sebagai pengatur (regulator)
air. Faktor lain yang tidak boleh dilupakan adalah satuan waktu yang tersedia bagi
proses pelarutan dan karstifikasi. Waktu ini bersifat relatif, karena di dalam
pengetahuan geologi waktu identik dengan proses panjang yang berkisar dari
ratusan ribu tahun hingga puluhan juta tahun
Proses penting di dalam karstifikasi, yang akan mengubah permukaan dan
bagian kedalaman batugamping menjadi bentangalam kars, adalah pelarutan. Kuat
dan tidaknya proses pelarutan oleh air (hujan) salah satunya dipengaruhi oleh
jumlah atau kadar CaO di dalam batugamping. Unsur pembentuk batuan ini
mempunyai pengaruh besar dalam membangun bentukan-bentukan ekso- dan
endokars. Batugamping berkadar CaO rata-rata 42,56% cenderung membentuk
bukit-bukit berbangun kerucut; sedang yang kadar CaO-nya lebih kecil, sekitar
33,38%, akan membentuk pebukitan plato (Sutikno, 1996). Kadar CaO yang tinggi
menyebabkan batugamping lebih mudah larut dalam air. Proses pelarutan pada
batugamping umumnya berjalan lambat. Setelah terjadi pelarutan, sifat fisik
batugamping berubah, terutama nilai porositas dan permeabilitasnya. Batugamping
pejal yang mempunyai permeabilitas rendah (sekitar 5 x 10-3 cm) sesudah
mengalami pelarutan kemampuannya meluluskan air bertambah besar menjadi 104
hingga 105 kali lipat. Untuk membentuk dolina bergaris tengah 2 m dibutuhkan
waktu sekitar 10 ribu tahun, di mana kecepatan pelebarannya hanya 2 x 10-2
cm/tahun
Batugamping yang terlarut di dalam air menyebabkan air kars sering bersifat
jenuh. Pada suatu saat larutan jenuh CaCO3 tersebut mengalami penghabluran-
ulang, membentuk aneka bangun kalsit di permukaan dan di dalam rongga-rongga
bawahtanah. Di dalam gua terbentuk beragam jenis dan ukuran speleotem (hiasan
di dalam gua). Pertumbuhan stalakmit di daerah beriklim kering rata-rata adalah 0,7
mm/tahun⎯umumnya berkisar antara 0,65-0,71 mm/tahun (White, 1988). Di Gua
Simbar (Gombong Selatan), suatu stalaktit yang terpotong ditumbuhi oleh stalaktit
baru dengan kecepatan pembentukan sekitar 1 mm/tahun (Samodra, 1999g). Angka
pertumbuhan yang relatif lebih tinggi ini disebabkan karena speleotem terbentuk di
suatu kawasan kars yang mempunyai curah hujan besar, dan batugampingnya
mempunyai kadar CaO yang tinggi sehingga mudah sekali larut.
Unsur-unsur bentangalam eksokars yang berhubungan dengan tenaga
eksogen⎯khususnya air⎯menghasilkan bentuk-bentuk pelarutan di permukaan
batugamping yang dikenal dengan karren, lapies atau schratten. Bentukan kars-
mikro ini mulajadinya berkaitan dengan:
 Sifat fisik dan kimia batugamping;
 Jumlah, sifat dan sebaran air hujan yang akan mempengaruhi proses
pelarutan melalu serangkaian reaksi kimia;
 Ada tidaknya lapisan tanah, tumbuhan atau humus yang menutupi
permukaan batuan;
 Kemiringan lapisan batugamping.
Dalam waktu yang cukup lama proses pelapukan dan pengikisan menghasilkan
unsur-unsur eksokars yang tampak dari kejauhan. Pelarutan dan pengikisan yang
menerus selanjutnya akan memperbesar ukuran lubang atau memperdalam lembah
yang dulunya merupakan alur-alur kecil di permukaan batugamping. Bukit-
bukit⎯baik tunggal maupun berkelompok⎯mulai terbentuk di sekeliling lembah
atau lekuk topografi yang ada. Jika kawasan batugamping itu tersesarkan, bolehjadi
akan terbentuk deretan pematang bukit yang memanjang lurus ke arah tertentu.
Selanjutnya, kelompok bentangalam bukit batugampingpun dapat membentuk
bangun-bangun khusus seperti kerucut, atau bagian atasnya mempunyai permukaan
yang datar sehingga bangunnya seperti plato, atau menara dan sebagainya. Bangun-
bangun bukit batugamping seperti ini banyak dijumpai di banyak kawasan kars di
Indonesia. Salah satu kawasan kars di Pulau Jawa yang diciri dengan bentuk-bentuk
bukitnya yang khas adalah Kars Gunung Sewu. Kawasan itu membentang arah
barat-timur sepanjang lebih dari 100 km dan lebar maksimum 60 km, mulai
Parangtritis di selatan Yogyakarta hingga Pacitan. Nama Gunung Sewu diambil dari
kenampakan morfologinya, yang disusun oleh ribuan kerucut batugamping
1.4 Kawasan Karst Di Indonesia
A. Kars Gunung Sewu
Kawasan ini mempunyai bentangalam yang sangat khas, berupa puluhan
ribu bukit batugamping berketinggian antara 20-50 m yang dikuasai oleh
bangun kerucut. Puncak kerucut bisa membulat (sinusoida) atau lancip
(karst conical), tergantung keadaan stratigrafinya. Lekuk-lekuk di antara
pebukitan batugamping membentuk dolina, baik terbuka maupun tertutup.
Sungai yang mengalir di permukaan kawasan kars sangat jarang. Begitu
menemukan sebuah lubang-lari atau gua, sungai permukaan segera berubah
menjadi sungai bawahtanah. Di kedalaman bumi air mengalir di sepanjang
lorong gua, membentuk jaringan sistem tata air yang rumit. Pada suatu saat
atap lorong bawahtanah runtuh karena lapisan batuan yang relatif tipis tidak
kuat menahan beban berat seluruh lapisan batuan. Keberadaan sungai
bawahtanah dapat diciri melalui lubang-lubang peruntuhan (luweng, istilah
di daerah Gunung Sewu) yang ada. Gejala ekso- dan endokars seperti itu
teramati baik di Kawasan Kars Gunung Sewu, yang membentang dari
Yogyakarta hingga Pacitan
B. Kars Pacitan
Batugamping berbentangalam kars di daerah Pacitan (Jawa Timur)
merupakan ujung paling timur dari kepanjangan sistem kars Gunung Sewu
di Yogyakarta dan Wonogiri (Jawa Tengah). Dibatasi oleh Teluk Pacitan
yang berbangun melingkar, bentangalamnya dapat dibedakan menjadi
segmen kars Pacitan Barat dan segmen Pacitan Timur. Segmen kars Pacitan
Barat merupakan bagian dari sistem kars Gunung Sewu yang disebutkan
sebelumnya, sementara kars di Pacitan Timur sudah bukan bagian dari
sistem kars yang luas tersebut. Jika batugamping kars di Pacitan Barat masih
memiliki ciri kars Gunung Sewu yang khas (bukit kerucut dan morfologi
sisa-plato), maka sifat khas tersebut sudah jarang dijumpai di Pacitan Timur.
Keadaan itu dipengaruhi oleh tataan geologi setempat
C. Kars Gombong Selatan
Di daerah Gombong Selatan, bukit-bukit kerucut batugamping tersusun
sedemikian rupa, membentuk lekuk bersegi lima (star-shape doline).
Kawasan kars di daerah ini merupakan contoh yang baik untuk kegelkarst
(kawasan berbukit kerucut dengan lerengnya yang terjal dan lekuk-lekuk
tertutup di antaranya), dengan gua-guanya yang panjang dan indah.
Sebagian guanya berair, sebagian lagi kering (fosil). Beberapa mata air kars
muncul di kaki bukit atau dataran rendah di sekitarnya. Sumber
Banyumudal yang sudah didayagunakan sejak Zaman Belanda masih tetap
berair hingga sekarang.
D. Kars Maros
Singkapan batugamping yang luas di daerah Sulawesi Selatan, antara
Pangkajene dan Maros, membentuk tipe kars tersendiri (Samodra, 1995).
Bukit-bukit berlereng terjal⎯yang sebagian besar genesanya dipengaruhi
oleh struktur geologi, sebelum diperlebar dan diperluas oleh proses
pelarutan atau karstifikasi⎯membentuk bangun menara yang sangat khas
(karst tower). Di antara bukit-bukit tersebut membentang dataran, dengan
permukaannya yang rata. Oleh penduduk setempat, dataran kars tersebut
didayagunakan menjadi lahan pertanian dan perkebunan. Bukit-bukit
menara tersebut sejenis dengan yang ada di Cina Selatan dan Vietnam.
Gua-gua di kawasan ini, terutama yang fosil, mempunyai nilai arkeologi
yang tinggi. Di dalamnya banyak dijumpai lukisan gua manusia prasejarah,
yang dapat menguak kehidupan manusia prasejarah dan budayanya di
daerah Sulawesi Selatan dan sekitarnya. Kawasan ini sedang mengalami
tekanan yang cukup berat, karena usaha pertambangan batugamping untuk
semen dan industri lainnya. Peningkatan produksi pabrik semen
memerlukan bahan baku batugamping yang lebih banyak, sehingga terjadi
perluasan area pertambangan. Sayangnya pertumbuhan daerah quarry
batugamping sudah mulai menyentuh gua-gua yang memiliki nilai
arkeologi tinggi. Lukisan-lukisan gua, artefak, aneka jenis fosil yang belum
dikenali yang terawetkan pada lapisan sedimen gua, dan tulang-belulang
manusia yang dikuburkan di dalam gua sesuai dengan adat tradisi
masyarakat setempat banyak dijumpai di gua-gua arkeologi Sulawesi
Selatan.
1.5 Pentingnya batuan-dasar dan batuan-penutup kars
Keberadaan lapisan-penutup, baik berupa tanah (soil) maupun runtunan
batuan, dengan demikian akan mempengaruhi proses pelarutan atau
karstifikasi yang melibatkan air. Di dalam proses tersebut, lapisan-penutup
batugamping yang terdiri dari tanah akan memberikan hasil yang berbeda
jika lapisan-penutup itu berupa lapisan batuan. Ketebalan, kemampuan
meluluskan air, banyak sedikitnya retakan di permukaan, dan ada tidaknya
vegetasi di permukaan merupakan faktor yang mempengaruhi proses
pelarutan yang disebabkan oleh air. Tanah yang bersifat lempungan,
meskipun hanya tipis, akan mempersulit penyerapan sehingga sebagian
besar air hujan mengalir di permukaan sebagai air larian. Tetapi tanah yang
bersifat sarang dan tidak padat akan memberi hasil yang sebaliknya. Begitu
juga jika lapisan-penutup batugampingnya adalah batuan. Tergantung dari
jenis batuannya, tutupan yang berupa batuan sedimen, batuan beku, dan
batuan malihan akan memberi pengaruh sendiri-sendiri yang berbeda.
Keadaan yang sama juga berlaku pada jenis batuan-dasar yang
mengalasi batugamping. Sifat fisik batuan-dasar dan ketangguhannya
terhadap proses pengikisan akan mempengaruhi dimensi dari sistem
perguaan yang berkembang di bawah permukaan tanah. Batas lapisan antara
batugamping dan batuan bukan-gamping di bawahnya biasanya merupakan
bidang dasar sistem perguaan, dalam arti lorong gua tidak mungkin
berkembang lebih dalam lagi. Sangat dimungkinkan sistem perguaan
mendatar akan berkembang di sepanjang batas satuan batuan, mengikuti
permukaannya yang mungkin tidak rata.
Kawasan batugamping yang tersingkap di daerah Wonosari dan Pacitan,
sebagai bagian dari Kars Gunung Sewu yang luas, secara stratigrafi dikenal
sebagai satuan litostratigrafi termuda yang tersingkap di Pegunungan
Selatan Jawa Tengah-Jawa Timur. Di beberapa tempat di kedua daerah
tersebut dijumpai endapan klastik dan endapan piroklastik halus. Endapan
yang ditafsirkan berumur Kuarter itu menindih takselaras satuan
batugamping dan satuan bukan-batugamping, dengan sebarannya yang
relatif sempit. Runtunan endapan Kuarter yang berupa lempung hitam dan
tuf-jatuhan (air fall deposits) tersebut mempunyai tebal maksimum 20 m.
Keduanya mempunyai sifat tidak meluluskan air, sehingga perembasan air
hujan di sekitar singkapannya menjadi sangat kecil. Butiran sedimen yang
berukuran halus juga menyumbat sistem percelah-retakan batugamping,
sehingga di dasar runtunan endapan lempung hitam sering dijumpai mata
air, terutama pada musim hujan. Keadaan yang sama juga terjadi di sekitar
endapan tuf, di mana di salah singkapannya terbentuk sebuah telaga. Telaga
tersebut bersifat tetap, di mana akumulasi air tidak dapat masuk ke dalam
lapisan batugamping yang lebih dalam karena tertutupnya celah, retakan,
dan lubang batuan oleh lapisan tuf yang bersifat kedap air.
Aspek lain yang menarik dari kehadiran satuan lempung hitam yang
bertindak sebagai batuan-penutup batugamping adalah terendapkannya
kembali hablur CaCO3 yang terlarut dalam air pada lapisan lempung. Di
runtunan bagian atas endapan lempung hitam, yang litologinya berupa
lempung pasiran, sering dijumpai keratan batugamping yang bangunnya
bercabang-cabang seperti jahe (penduduk setempat menamakannya
watujahe). Menurut genesanya, batuan tersebut dibentuk oleh penguapan air
jenuh-karbonat yang mengalir di permukaan tanah, atau meresap sebagian
ke dalam lapisan lempung pasiran dan terjebak di dalam retakan. Larutan
yang menguap secara cepat karena panas matahari menghasilkan hablur
kalsium karbonat yang bangunnya tidak beraturan dan mempunyai
pinggiran yang tajam (Samodra, 1999d). Bentukan itu mirip dengan caliche,
yaitu istilah di Chili, Peru, Meksiko, dan Amerika Baratdaya untuk endapan
kalsium karbonat, garam nitrat, dan garam lainnya di permukaan soil atau
tanah di daerah beriklim kering dan semi-kering
2. Aspek Hidrologi
Air merupakan faktor utama dalam pembentukan gejala ekso- dan endokars.
Perilaku air di kawasan kars membentuk sistem hidrologi yang rumit, sekaligus
khas. Lingkungan geologi (litologi, stratigrafi, ketebalan, derajat karstifikasi)
kawasan kars yang berbeda-beda menyebabkan sistem hidrologi dan
hidrodinamikanya tidak bisa disama-ratakan. Kedudukan ilmu speleologi
menjadi penting, karena pengetahuan itu akan mengungkapkan keadaan
hidrodinamika masa lalu dan masa sekarang. Tataan hidrogeologi kawasan kars
yang dinamis di masa lalu dapat dipelajari melalui kajian fenomena endokars
seperti scallops, flutes, potholes, ceilling dents dan sebagainya, yang terawetkan
di lorong-lorong sistem perguaan.
3. Aspek Paleontologi dan Paleoantropologi
Sepanjang ruang dan waktu geologi yang pendek, tumbuhan dan hewan
yang hidup di kawasan kars mungkin akan berevolusi secara cepat, atau
malahan punah akibat perubahan lingkungan. Gua di kawasan kars, sesuai
dengan keadaan lingkungan fisiknya yang khas, berkemampuan besar
melestarikan jejak atau kehidupan masa lalu yang sudah membatu (fosil).
Dengan demikian keberadaan unsur endokars ini berperan penting dalam usaha
manusia mempelajari aspek paleontologi dan paleoantropologi kawasan kars
untuk pengembangan ilmu pengetahuan.
4. Aspek Arkeologi
Kawasan kars⎯termasuk gua dan ceruk⎯dikenal sebagai tempat tinggal
manusia-purba dan manusia-prasejarah yang hidup ratusan ribu hingga ribuan
tahun lalu. Pithecanthropus pekinensis yang tinggal di Lembah Choukoutien
(Cina Selatan) dianggap sebagai manusia-purba yang paling awal menghuni gua
di Daratan Asia. Di dalam gua di kawasan tersebut, selain tulang juga dijumpai
sisa-sisa pembakaran yang mungkin diperlukan untuk menghangatkan tubuh
pada musim dingin. Di Eropa, Homo sapiens neanderthalensis yang hidup
sekitar 100 ribu tahun lalu merupakan manusia-purba penghuni gua yang
tergolong lebih cerdas dibanding nenek-moyang sebelumnya. Iklim yang dingin
memaksa mereka untuk tinggal dan menetap di dalam gua. Mereka sudah mahir
membuat peralatan dari batu, kayu, tulang, gading dan tanduk; bahkan membuat
api untuk menghangatkan tubuh
5. Aspek Speleologi
Speleologi adalah ilmu pengetahuan yang secara khusus mempelajari gua
dari berbagai sudut ilmiah. Pengetahuan speleologi mencakup masalah speleo-
genesa (mulajadi gua), speleokronologi (urutan kejadian dari pembentukan
hingga perkembangan gua), speleomorfologi (bentukan di dalam gua),
biospeleologi (biota-gua), sedimentologi dan mineralogi gua serta iklim-mikro
gua. Selanjutnya, informasi speleologi tidak hanya bermanfaat sebagai data
dasar pengembangan gua untuk keperluan pariwisata, tetapi juga penting untuk
kajian-lanjut arkeologi, paleontologi, sifat radioaktif gua dan hal-hal lain yang
berkaitan dengan nilai ekonomi (penambangan fosfat guano) dan nilai
kemanusiaan atau sosio-budaya (legenda, agama, kepercayaan dan mistik).
Sebagai bentukan dan gejala endokars, gua mempunyai kaitan proses yang
bersifat dinamis dengan gejala eksokars yang berkembang di permukaan. Oleh
karenanya mempelajari speleologi harus disertai dengan pengetahuan yang
cukup mengenai aneka proses yang bekerja di permukaan kawasan kars.
6. Aspek Biologi
Menurut Suhardi (1999), tumbuhan yang dapat hidup di kawasan kars di
antaranya adalah jati, tusam, mahoni, akor, sonokeling, sonobrit, kayu putih,
sengon, ploso, pulai, trengguli, johar, bungur, klampis, akvil, secang, gamal,
kemlanding, pilang, wuni dan duwet. Usaha menanam tumbuhan bukan-
endemis (polikultur) seperti kayu cendana yang dilakukan di Hutan Wanagama
(Wonosari, Yogyakarta) meskipun berhasil dibutuhkan waktu yang sangat
lama. Kajian palinologi pada sedimen gua dan sedimen yang ada di beberapa
luweng di Kawasan Kars Gunung Sewu menunjukkan kalau jati (Tectona
grandis) adalah tumbuhan endemi daerah tersebut. Di Kawasan Kars Maros
(Sulawesi Selatan) tumbuh sekitar 30 jenis ara atau beringin (Ficus spp.); selain
dan kayuhitam (Diospyros celebica) dan pangi (Pangium edule), yang buahnya
dimanfaatkan menjadi rempah bahan makanan dan kue atau menjadi makanan
utama anoa.
7. Aspek kehutanan, pertanian, perkebunan, dan perikanan
Secara umum, hutan diartikan sebagai bentangan vegetasi yang dikuasai
oleh pohon yang sebarannya rapat dan luas, sehingga tercipta iklim-mikro di
dalam tegakan yang berbeda dengan iklim di luar hutan (Hani’in dkk., 2002).
Dengan demikian himpunan vegetasi baru dapat disebut sebagai hutan jika
jumlah pohon atau pokok (batang) lebih banyak dibanding tumbuhan lainnya.
Sebagai bagian dari sumberdaya alam, hutan merupakan salah satu jenis
sumberdaya hayati. Selain sebagai sumberdaya alam yang dapat dimanfaatkan,
hutan juga memiliki fungsi sebagai sumber plasma nutfah atau sumberdaya
genetik flora dan fauna, pengatur air, bahan pangan, memberikan udara segar,
keindahan, dan dalam beberapa hal sebagai sumber tanaman obat.
8. Aspek Ekosistem
Ekosistem atau sistem ekologi merupakan ujud dari suatu proses dan
kegiatan yang sifatnya dinamis dan saling pengaruh mempengaruhi, antara
mahkluk hidup (binatang, tumbuhan, manusia) dan lingkungan (alam) di
sekitarnya. Kehadiran aneka jenis organisme yang hidup dan berkembang di
kawasan kars merupakan unsur pembentuk keanekaragaman hayati kawasan
tersebut. Kondisi fisik kawasan yang mempengaruhi keberadaan, perkembang-
biakan, dan kelangsungan hidup organisme tersebut mencakup keadaan iklim,
cuaca, air, tanah, sinar matahari, dan sebagainya. Karena keadaan fisik kawasan
kars berbeda-beda di setiap daerah, maka keanekaragaman hayati yang dimiliki
oleh masing-masing kawasanpun tidak selalu sama. Hubungan yang saling kait
mengkait dan pengaruh mempengaruhi tidak hanya terjadi pada lingkungan
hayati (biotik) saja, tetapi juga pada lingkungan nirhayati (abiotik). Hubungan
timbal-balik yang sinergi pada lingkungan nirhayati kawasan kars, salah
satunya ditunjukkan oleh proses dinamis yang membentuk gejala ekso- dan
endokars.
9. Aspek Kerekayasaan
Bangunan sipil seperti bendungan, jembatan, jalan, lapangan terbang, tiang
listrik tegangan tinggi dan sebagainya sering dijumpai di kawasan kars. Sifat
fisik batugamping yang berongga-rongga atau mempunyai sistem perguaan
yang letaknya di dekat permukaan merupakan masalah utama bagi kestajikan
bangunan sipil yang dibangun di atasnya. Rongga-rongga bawah-permukaan itu
akan memperkecil daya tahan batuan terhadap tekanan yang disebabkan oleh
beban bangunan yang ada di permukaan tanah. Fondasi bangunan sering
ambles, yang mungkin diikuti dengan runtuhnya sebagian bangunan.
Keberadaan retakan atau kekar yang memiliki kerapatan tinggi di sekitar tubuh
bendungan akan menyebabkan bocornya bangunan, sehingga fungsinya
menjadi berkurang. Hal yang paling buruk, jika struktur fisik lapisan batuan
tidak mendukung, adalah bobolnya bendungan yang menyebabkan banjir
bandang serta kerugian moril dan materiil yang besar.
Bangunan sipil di kawasan kars sebaiknya menghindari daerah yang
mempunyai sifat fisik seperti disebutkan di atas. Jika letak bangunan tidak dapat
dipindahkan, harus dilakukan kajian geologi untuk merinci dan memetakan
sebaran kekar, rongga-rongga bawahtanah atau gua yang ada di permukaan
yang diduga menerus ke arah kedalaman. Untuk memastikan sebaran struktur
rongga, gua dan kekar yang tersebar di bawah permukaan dilakukan pendugaan
geofisika (metoda kegempaan, gayaberat, tahanan jenis dan sebagainya). Usaha
penyemenan dengan bahan khusus (grouting) akan efektif jika tingkat kerapatan
kekar dan rongga relatif kecil. Untuk daerah yang luas dengan sistem percelah-
guaan yang rapat, metoda tersebut tidak akan mencapai sasaran.
Dalam rangka pembukaan daerah terisolir di kawasan kars, pemerintah telah
banyak membangun prasarana jalan, yang menghubungkan daerah tersebut
dengan kawasan lain di sekitarnya. Tujuannya utamanya adalah meningkatkan
kegiatan ekonomi lokal penduduk setempat. Jalan raya yang memotong bukit-
bukit batugamping dibuat dengan memotong dinding bukit, sehingga sebagian
lereng yang curam kehilangan daya dukungnya. Pelongsoran sering terjadi di
beberapa ruas jalan⎯misal di segmen jalan antara Wanggameti-Waingapu di
Sumba (Hadi, 1996). Badan jalan yang ditutupi aspal tidak lagi dapat
meresapkan air hujan, sehingga jika selokan yang ada di sepanjang kiri dan
kanan bahu jalan tidak dipelihara, proses erosi merupakan bentuk ancaman lain
di musim hujan. Erosi berlebihan yang disebabkan oleh aliran air hujan di
permukaan disebabkan karena sebagian lahan yang dipakai untuk jalan
kehilangan vegetasi penutup, yang berfungsi meresapkan air hujan.

More Related Content

What's hot

Batuan Pembentuk Muka Bumi
Batuan Pembentuk Muka BumiBatuan Pembentuk Muka Bumi
Batuan Pembentuk Muka Bumidieart
 
Klasifikasi struktur batuan beku
Klasifikasi struktur batuan bekuKlasifikasi struktur batuan beku
Klasifikasi struktur batuan bekuArdi Alam
 
Batuan & Tektonisme Geografi Kelas X
Batuan & Tektonisme Geografi Kelas XBatuan & Tektonisme Geografi Kelas X
Batuan & Tektonisme Geografi Kelas XFiddiena
 
Mektan bab 1 proses pembentukan tanah
Mektan bab 1 proses pembentukan tanahMektan bab 1 proses pembentukan tanah
Mektan bab 1 proses pembentukan tanahShaleh Afif Hasibuan
 
Geografi indhprmtillhi
Geografi indhprmtillhiGeografi indhprmtillhi
Geografi indhprmtillhiIndah Illai II
 
1. mekanika tanah 1
1. mekanika tanah 11. mekanika tanah 1
1. mekanika tanah 1fahmi09
 
Laporan Bentuk Asal Marine Daerah Bengkulu
Laporan Bentuk Asal Marine Daerah BengkuluLaporan Bentuk Asal Marine Daerah Bengkulu
Laporan Bentuk Asal Marine Daerah Bengkulu'Oke Aflatun'
 
Macam Batuan dan Pemanfaatannya
Macam Batuan dan PemanfaatannyaMacam Batuan dan Pemanfaatannya
Macam Batuan dan Pemanfaatannyasangdamar
 
Sedimentasi dan batuan sedimen
Sedimentasi dan batuan sedimenSedimentasi dan batuan sedimen
Sedimentasi dan batuan sedimenAmelia Devi Rizqi
 
Pembentukan batuan sedimen
Pembentukan batuan sedimenPembentukan batuan sedimen
Pembentukan batuan sedimenTomy Santoso
 

What's hot (20)

Batuan sediment
Batuan sedimentBatuan sediment
Batuan sediment
 
Batuan sedimen
Batuan sedimenBatuan sedimen
Batuan sedimen
 
Batuan Pembentuk Muka Bumi
Batuan Pembentuk Muka BumiBatuan Pembentuk Muka Bumi
Batuan Pembentuk Muka Bumi
 
Klasifikasi struktur batuan beku
Klasifikasi struktur batuan bekuKlasifikasi struktur batuan beku
Klasifikasi struktur batuan beku
 
Batuan penyusun kerak bumi
Batuan penyusun kerak bumiBatuan penyusun kerak bumi
Batuan penyusun kerak bumi
 
2 litosfer
2   litosfer2   litosfer
2 litosfer
 
Batuan & Tektonisme Geografi Kelas X
Batuan & Tektonisme Geografi Kelas XBatuan & Tektonisme Geografi Kelas X
Batuan & Tektonisme Geografi Kelas X
 
Mektan bab 1 proses pembentukan tanah
Mektan bab 1 proses pembentukan tanahMektan bab 1 proses pembentukan tanah
Mektan bab 1 proses pembentukan tanah
 
Geografi indhprmtillhi
Geografi indhprmtillhiGeografi indhprmtillhi
Geografi indhprmtillhi
 
1. mekanika tanah 1
1. mekanika tanah 11. mekanika tanah 1
1. mekanika tanah 1
 
Ilmu tanah 1_09
Ilmu tanah 1_09Ilmu tanah 1_09
Ilmu tanah 1_09
 
LITHOSFER
LITHOSFERLITHOSFER
LITHOSFER
 
lithosfer
lithosferlithosfer
lithosfer
 
Litosfer 1
Litosfer 1Litosfer 1
Litosfer 1
 
Laporan Bentuk Asal Marine Daerah Bengkulu
Laporan Bentuk Asal Marine Daerah BengkuluLaporan Bentuk Asal Marine Daerah Bengkulu
Laporan Bentuk Asal Marine Daerah Bengkulu
 
Geodas (alfian)(cia2 11002)
Geodas (alfian)(cia2 11002)Geodas (alfian)(cia2 11002)
Geodas (alfian)(cia2 11002)
 
Macam Batuan dan Pemanfaatannya
Macam Batuan dan PemanfaatannyaMacam Batuan dan Pemanfaatannya
Macam Batuan dan Pemanfaatannya
 
Sedimentasi dan batuan sedimen
Sedimentasi dan batuan sedimenSedimentasi dan batuan sedimen
Sedimentasi dan batuan sedimen
 
Pembentukan batuan sedimen
Pembentukan batuan sedimenPembentukan batuan sedimen
Pembentukan batuan sedimen
 
batuan metamorf
batuan metamorfbatuan metamorf
batuan metamorf
 

Similar to Tugas manajemen karst 1

Media Infografis IPAS Mari Berkenalan Dengan Bumi Kita
Media Infografis IPAS Mari Berkenalan Dengan Bumi KitaMedia Infografis IPAS Mari Berkenalan Dengan Bumi Kita
Media Infografis IPAS Mari Berkenalan Dengan Bumi KitaHYwg
 
Pelestarian sumber-daya-alam
Pelestarian sumber-daya-alamPelestarian sumber-daya-alam
Pelestarian sumber-daya-alamgio_simamora
 
Pelestarian sumber-daya-alam
Pelestarian sumber-daya-alamPelestarian sumber-daya-alam
Pelestarian sumber-daya-alamgio_simamora
 
Pelestarian sumber-daya-alam
Pelestarian sumber-daya-alamPelestarian sumber-daya-alam
Pelestarian sumber-daya-alamgio_simamora
 
Ekosistem karst 07 05-2008
Ekosistem karst 07 05-2008Ekosistem karst 07 05-2008
Ekosistem karst 07 05-2008fiqri2
 
Rahmy slide geotek plano1
Rahmy slide geotek plano1Rahmy slide geotek plano1
Rahmy slide geotek plano1Rahmi Yunianti
 
Makalah lingkungan pengendapan
Makalah lingkungan pengendapanMakalah lingkungan pengendapan
Makalah lingkungan pengendapanNikolasKalayukin
 
DOC-20161010-WA000.ppt
DOC-20161010-WA000.pptDOC-20161010-WA000.ppt
DOC-20161010-WA000.pptHitamKaktus
 
DOC-20161009-WA000.ppt
DOC-20161009-WA000.pptDOC-20161009-WA000.ppt
DOC-20161009-WA000.pptHitamKaktus
 
Pengertian ilmu geologi lingkungan beserta sejarahnya
Pengertian ilmu geologi lingkungan beserta sejarahnyaPengertian ilmu geologi lingkungan beserta sejarahnya
Pengertian ilmu geologi lingkungan beserta sejarahnyaFauzan Barnanda
 
4. Bumi Atmosfer sbg Sistem Lingkungan kebumian_Atmosfer_Lithosfer.pdf
4. Bumi  Atmosfer sbg Sistem Lingkungan kebumian_Atmosfer_Lithosfer.pdf4. Bumi  Atmosfer sbg Sistem Lingkungan kebumian_Atmosfer_Lithosfer.pdf
4. Bumi Atmosfer sbg Sistem Lingkungan kebumian_Atmosfer_Lithosfer.pdfMuhammadRidhoPutraNu
 
Paper Vertion: Kondisi Ekosistem Terumbu Karang Serta Strategi Pengelolaannya...
Paper Vertion: Kondisi Ekosistem Terumbu Karang Serta Strategi Pengelolaannya...Paper Vertion: Kondisi Ekosistem Terumbu Karang Serta Strategi Pengelolaannya...
Paper Vertion: Kondisi Ekosistem Terumbu Karang Serta Strategi Pengelolaannya...Mujiyanto -
 
BENTUKAN LAHAN OLEH VULKANISME.ppt
BENTUKAN LAHAN OLEH VULKANISME.pptBENTUKAN LAHAN OLEH VULKANISME.ppt
BENTUKAN LAHAN OLEH VULKANISME.pptichsan41
 

Similar to Tugas manajemen karst 1 (20)

resume geoling
resume geolingresume geoling
resume geoling
 
3. present. wwk. 2009
3. present. wwk. 20093. present. wwk. 2009
3. present. wwk. 2009
 
Media Infografis IPAS Mari Berkenalan Dengan Bumi Kita
Media Infografis IPAS Mari Berkenalan Dengan Bumi KitaMedia Infografis IPAS Mari Berkenalan Dengan Bumi Kita
Media Infografis IPAS Mari Berkenalan Dengan Bumi Kita
 
Pelestarian sumber-daya-alam
Pelestarian sumber-daya-alamPelestarian sumber-daya-alam
Pelestarian sumber-daya-alam
 
Pelestarian sumber-daya-alam
Pelestarian sumber-daya-alamPelestarian sumber-daya-alam
Pelestarian sumber-daya-alam
 
Pelestarian sumber-daya-alam
Pelestarian sumber-daya-alamPelestarian sumber-daya-alam
Pelestarian sumber-daya-alam
 
Ekosistem karst 07 05-2008
Ekosistem karst 07 05-2008Ekosistem karst 07 05-2008
Ekosistem karst 07 05-2008
 
Bab i geomorfo
Bab i geomorfoBab i geomorfo
Bab i geomorfo
 
Rahmy slide geotek plano1
Rahmy slide geotek plano1Rahmy slide geotek plano1
Rahmy slide geotek plano1
 
Makalah lingkungan pengendapan
Makalah lingkungan pengendapanMakalah lingkungan pengendapan
Makalah lingkungan pengendapan
 
Bentuk asal fluvial
Bentuk asal fluvialBentuk asal fluvial
Bentuk asal fluvial
 
Tugas Geologi dan Ilmu Tanah
Tugas Geologi dan Ilmu TanahTugas Geologi dan Ilmu Tanah
Tugas Geologi dan Ilmu Tanah
 
DOC-20161010-WA000.ppt
DOC-20161010-WA000.pptDOC-20161010-WA000.ppt
DOC-20161010-WA000.ppt
 
Laporan Pengindraan Jauh
Laporan Pengindraan JauhLaporan Pengindraan Jauh
Laporan Pengindraan Jauh
 
DOC-20161009-WA000.ppt
DOC-20161009-WA000.pptDOC-20161009-WA000.ppt
DOC-20161009-WA000.ppt
 
Pengertian ilmu geologi lingkungan beserta sejarahnya
Pengertian ilmu geologi lingkungan beserta sejarahnyaPengertian ilmu geologi lingkungan beserta sejarahnya
Pengertian ilmu geologi lingkungan beserta sejarahnya
 
Susunan muka bumi
Susunan muka bumiSusunan muka bumi
Susunan muka bumi
 
4. Bumi Atmosfer sbg Sistem Lingkungan kebumian_Atmosfer_Lithosfer.pdf
4. Bumi  Atmosfer sbg Sistem Lingkungan kebumian_Atmosfer_Lithosfer.pdf4. Bumi  Atmosfer sbg Sistem Lingkungan kebumian_Atmosfer_Lithosfer.pdf
4. Bumi Atmosfer sbg Sistem Lingkungan kebumian_Atmosfer_Lithosfer.pdf
 
Paper Vertion: Kondisi Ekosistem Terumbu Karang Serta Strategi Pengelolaannya...
Paper Vertion: Kondisi Ekosistem Terumbu Karang Serta Strategi Pengelolaannya...Paper Vertion: Kondisi Ekosistem Terumbu Karang Serta Strategi Pengelolaannya...
Paper Vertion: Kondisi Ekosistem Terumbu Karang Serta Strategi Pengelolaannya...
 
BENTUKAN LAHAN OLEH VULKANISME.ppt
BENTUKAN LAHAN OLEH VULKANISME.pptBENTUKAN LAHAN OLEH VULKANISME.ppt
BENTUKAN LAHAN OLEH VULKANISME.ppt
 

Recently uploaded

Strategi Pengembangan Agribisnis di Indonesia
Strategi Pengembangan Agribisnis di IndonesiaStrategi Pengembangan Agribisnis di Indonesia
Strategi Pengembangan Agribisnis di IndonesiaRenaYunita2
 
Slide Transformasi dan Load Data Menggunakan Talend Open Studio
Slide Transformasi dan Load Data Menggunakan Talend Open StudioSlide Transformasi dan Load Data Menggunakan Talend Open Studio
Slide Transformasi dan Load Data Menggunakan Talend Open Studiossuser52d6bf
 
001. Ringkasan Lampiran Juknis DAK 2024_PAUD.pptx
001. Ringkasan Lampiran Juknis DAK 2024_PAUD.pptx001. Ringkasan Lampiran Juknis DAK 2024_PAUD.pptx
001. Ringkasan Lampiran Juknis DAK 2024_PAUD.pptxMuhararAhmad
 
Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir Kelompok 1.pptx
Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir Kelompok 1.pptxPembangkit Listrik Tenaga Nuklir Kelompok 1.pptx
Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir Kelompok 1.pptxmuhammadrizky331164
 
MAteri:Penggunaan fungsi pada pemrograman c++
MAteri:Penggunaan fungsi pada pemrograman c++MAteri:Penggunaan fungsi pada pemrograman c++
MAteri:Penggunaan fungsi pada pemrograman c++FujiAdam
 
05 Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional.ppt
05 Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional.ppt05 Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional.ppt
05 Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional.pptSonyGobang1
 

Recently uploaded (6)

Strategi Pengembangan Agribisnis di Indonesia
Strategi Pengembangan Agribisnis di IndonesiaStrategi Pengembangan Agribisnis di Indonesia
Strategi Pengembangan Agribisnis di Indonesia
 
Slide Transformasi dan Load Data Menggunakan Talend Open Studio
Slide Transformasi dan Load Data Menggunakan Talend Open StudioSlide Transformasi dan Load Data Menggunakan Talend Open Studio
Slide Transformasi dan Load Data Menggunakan Talend Open Studio
 
001. Ringkasan Lampiran Juknis DAK 2024_PAUD.pptx
001. Ringkasan Lampiran Juknis DAK 2024_PAUD.pptx001. Ringkasan Lampiran Juknis DAK 2024_PAUD.pptx
001. Ringkasan Lampiran Juknis DAK 2024_PAUD.pptx
 
Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir Kelompok 1.pptx
Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir Kelompok 1.pptxPembangkit Listrik Tenaga Nuklir Kelompok 1.pptx
Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir Kelompok 1.pptx
 
MAteri:Penggunaan fungsi pada pemrograman c++
MAteri:Penggunaan fungsi pada pemrograman c++MAteri:Penggunaan fungsi pada pemrograman c++
MAteri:Penggunaan fungsi pada pemrograman c++
 
05 Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional.ppt
05 Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional.ppt05 Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional.ppt
05 Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional.ppt
 

Tugas manajemen karst 1

  • 1. KEMENTERIAN PENDIDIKAN KEBUDAYAAN RISET DAN TEKNOLOGI UNIVERSITAS HASANUDDIN FAKULTAS TEKNIK PROGRAM STUDI TEKNIK GEOLOGI MATAKULIAH MANAJEMEN PENGELOLAAN KARST TUGAS OLEH : ALLIKA FADIA HAYA SUKUR D061171306 GOWA 2021
  • 2. RINGKASAN NILAI ILMIAH KAWASAN KARST DARI BUKU “NILAI STRATEGIS KAWASAN KARST DI INDONESIA” OLEH HANANG SAMUDRA (2001) Pemahaman kars sebagai suatu kawasan tidak akan lengkap jika hanya didekati dari salah satu aspek ilmu pengetahuan saja. Kawasan kars mempunyai sifat multidisiplin, karena hampir semua cabang ilmu pengetahuan dapat diaplikasikan secara tepat di sini. Oleh karena itu, di dalam program pengelolaannya dibutuhkan kerjasama yang sifatnya proaktif di antara sektor-sektor yang terkait (lintas-sektor), dengan melibatkan semua disiplin ilmu yang ada (multidiplin). Termasuk dalam bagian rencana tersebut adalah pemberian peran- serta dan pemberdayaan masyarakat setempat, sehingga diperoleh kesatuan gerak yang bersifat holistik. Pengelolaan sumberdaya alam, termasuk kawasan kars, harus dilakukan dengan pendekatan bio- dan georegion yang memadukan ekosistem darat, pesisir, dan laut. Kawasan kars menyimpan nilai-nilai ilmiah yang saling kait-mengkait, sehingga masalahnya hanya dapat dipecahkan secara inter- dan multi-disiplin. Beragam jenis pengetahuan seperti geologi, hidrologi, speleologi, ekologi, biologi, arkeologi, pariwisata, pertanian, peternakan, kesehatan, kependudukan dan kerekayasaan terintegrasi menjadi satu kesatuan ilmu dasar tentang kars. Jika semua aspek ilmiah kawasan kars sudah terinventarisasi dan teridentifikasi dengan baik, berbagai benturan kepentingan yang timbul ketika program pengelolaan dijalankan dapat dihindari sedini mungkin. Pemanfaatan aspek ekonomi kawasan kars secara besar-besaran dan cenderung merusak⎯misal oleh industri pertambangan skala besar⎯dapat diselaraskan dan diseimbangkan
  • 3. dengan fungsi nilai ilmiah atau nilai kemanusiaan yang ada, termasuk pengikut- sertaan peran masyarakat setempat. Perangkat hukum berupa undang-undang, keputusan presiden, keputusan menteri dan sebagainya harus segera disosialisasikan setelah petunjuk teknis dan petunjuk pelaksanaannya selesai disusun. Tujuannya dari semua usaha itu adalah melindungi kawasan tersebut dari penurunan nilai-nilai srategis akibat kegiatan eksploitasi yang berlebihan, yang melampaui batas daya dukung kawasan itu sendiri. 1. Aspek Geologi Sebagai ilmu pengetahuan dasar tentang kebumian, geologi mempelajari sejarah pembentukan bumi dan makhluk hidup yang mendiami planet kecil tetapi unik ini. Dalam konteks ilmu kebumian kars menjadi penting, karena kawasan tersebut merupakan salah satu unsur yang memperkaya sifat keanekaragaman bumi (geodiversity). 1.1 Geologi batuan karbonat Di dalam pengetahuan geologi, yang dimaksud dengan batuan karbonat adalah batugamping dan dolomit. Batuan sedimen itu masing-masing mempunyai rumus kimia CaCO3 dan Ca(MgCO3)2. Meskipun pada dasarnya semua batuan terdiri dari garam karbonat, tetapi unsur karbonat di dalam batugamping dan dolomit sangat tinggi. Mineral karbonat disusun oleh kation Ca, gabungan Ca-Mg, dan anion CO3. Batuan karbonat terbentuk secara kimiawi, berupa larutan. Tidak ada batuan karbonat yang dibentuk oleh butiran (detritus) asal-daratan. Selain itu, pengaruh organisme dalam pembentukan batuan karbonat sangatlah besar. Pengendapan sekunder yang membentuk batugamping klastik prosesnya memang
  • 4. mirip dengan pengendapan batuan-batuan sedimen lainnya, yang dibentuk oleh detritus. 1.2 Lingkungan Pembentukan Batuan Karbonat Suatu cekungan pengendapan dapat bertindak sebagai lingkungan pengendapan batuan karbonat jika  Lingkungannya bebas butiran sedimen asal-darat, sehingga keadaan tektoniknya harus stabil (tidak ada pengangkatan) dan daratan di sekitarnya bermorfologi hampir-rata. Di Indonesia, lingkungan yang demikian berkembang baik pada Zaman Kapur (140-65 juta tahun lalu) dan antara Oligosen dan Miosen (35-5 juta tahun lalu);  Merupakan daerah paparan laut dangkal, karena pengendapan karbonat membutuhkan keadaan kelewat-jenuh (super-saturated), sehingga hanya dapat dicapai melalui proses penguapan di daerah yang relatif dangkal (0-200 m). Pada laut yang kedalamannya melebihi garis CCD (carbonate compensation depth) tekanan parsial CO2 yang terlalu tinggi di bagian itu akan melarutan-kembali batugamping menjadi Ca(HCO3)2. Di kawasan Pasifik Barat, fenomena seperti itu kira-kira terjadi pada kedalaman kurang dari 3.000 m;  Beriklim tropis atau semi-tropis, sehingga banyak penguapan;  Keadaan lautnya harus jernih;  Lingkungan di sekitarnya menjamin kebutuhan nutrisi yang cukup bagi organisme untuk tumbuh dan berkembang.
  • 5. Luasnya sebaran batuan karbonat di dunia, dengan umurnya yang beragam mulai pra-Kambrium hingga Resen, termasuk jenisnya yang ratusan, menarik perhatian para ahli untuk mengkajinya lebih dalam. Muncul dalam benak mereka, mungkinkah batuan itu dikelompokkan secara rinci sehingga dapat dibedakan dengan batuan sedimen lainnya. Batuan karbonat, utamanya batugamping, yang tersingkap di banyak tempat mempunyai umur dan lingkungan pengendapan yang semuanya dapat diurut-ulang melalui kandungan fosil, ciri fisik batuan, dan himpunannya di lapangan. Pencirian lingkungan pengendapan batuan karbonat dapat didekati dan dianalisis melalui beberapa cara. Metoda yang biasa dipakai dan berlaku umum di antaranya:  Menggunakan fosil foraminifera bentos, karena organisme ini hidupnya sangat peka dengan lingkungan di sekitarnya (metoda Tipsword, Setzer & Smith, 1966).  Mengamati tekstur batuan karbonat di bawah mikroskop, sehingga akan diketahui jenis, berdasarkan klasifikasi Dunham (1969) atau Folk (1962); dan derajat agitasi air laut pada saat pengendapan, berdasarkan nilai Indeks Energi (Plumley, 1962).  Menggunakan nilai perbandingan (ratio) antara jumlah foraminifera plangton dan bentos (metoda Grimsdale & Markhoven, 1955).  Menggunakan metoda fasies-mikro (Plugel, 1982).  Memperhatikan jenis dan ragam batuan penyusun satuan. Sebagai gambaran, batugamping Miosen Tengah-Pliosen (12-4 juta tahun lalu) yang menyusun bagian atas Pegunungan Selatan Jawa, secara stratigrafi dapat
  • 6. dikelompokkan menjadi 3 satuan batuan setingkat formasi. Runtunan batuan bagian bawah dinamakan Formasi Oyo, yang bagian atasnya menjemari atau berubah fasies menjadi Formasi Wonosari. Satuan termuda yang menyusun bagian paling atas runtunan batugamping Neogen di Gunung Sewu adalah Formasi Kepek. 1.3 Karstifikasi Pelarutan tidak hanya terjadi di permukaan batuan, tetapi juga di bawah permukaan. Kedua gejala kars tersebut, baik kars-luar (exokarst) maupun kars- dalam (endokarst), bersifat dinamis dan berinteraksi sangat kuat satu sama lainnya. Kegiatan pelarutan yang melibatkan sejumlah faktor fisik, biofisik, dan kimiawi dikenal dengan proses karstifikasi. Selanjutnya, supaya batugamping dapat membentuk morfologi kars, faktor-faktor yang harus dipenuhi antara lain (Ko & Samodra, 2000):  Mempunyai ketebalan yang cukup;  Wilayahnya merupakan daerah yang memiliki curah hujan tingg;.  Batuannya terkekarkan, atau banyak mengandung celah dan rongga.  Letaknya lebih tinggi dibanding daerah sekitarnya dan mempunyai sungai permukaan yang berfungsi sebagai muka-dasar air setempat;  Ditutupi oleh vegetasi yang rapat. Ke lima faktor di atas bekerja saling kait-mengkait, sebelum akhirnya proses pelarutan mengubah bagian permukaan dan bawah-permukaan batugamping menjadi bentangalam kars. Lapisan batugamping yang mempunyai ketebalan cukup, yang berdasarkan pengamatan di lapangan lebih dari 100 m (Samodra, 2000a), berkemampuan besar berkembang menjadi kawasan kars. Jenis litologi dan
  • 7. keadaan fisik batugamping, seperti mempunyai ukuran butir yang relatif kasar dan berporositas primer tinggi, sedikit banyak akan mempengaruhi proses karstifikasi. Batugamping yang terkekarkan karena proses tektonik selama perkembangan geologinya akan lebih mudah membentuk bentangalam kars dibanding batugamping yang tidak terkekarkan. Celah-celah kekar atau retakan memiliki fungsi sebagai pemercepat proses karstifikasi, karena air akan jauh lebih mudah bergerak pada batugamping yang mempunyai sistem percelah-retakan. Letak batugamping yang lebih tinggi dibanding daerah sekitarnya mempunyai keuntungan dalam kecepatan karstifikasi, terutama pelarutan yang terjadi di bawah- permukaan, yang membentuk gejala endokars. Pembesaran sistem percelah-retakan dan lorong-lorong bawahtanah oleh proses pelarutan dikendalikan oleh air yang bergerak di atas muka-dasar air setempat. Secara umum, muka-air setempat ini dibentuk oleh permukaan sungai yang mengalir di atas lapisan batugamping. Batugamping yang ditutupi oleh vegetasi yang rapat, berkaitan dengan proses karstifikasi, akan memiliki derajat pelarutan yang lebih tinggi karena vegetasi tersebut bertindak sebagai pengatur (regulator) air. Faktor lain yang tidak boleh dilupakan adalah satuan waktu yang tersedia bagi proses pelarutan dan karstifikasi. Waktu ini bersifat relatif, karena di dalam pengetahuan geologi waktu identik dengan proses panjang yang berkisar dari ratusan ribu tahun hingga puluhan juta tahun Proses penting di dalam karstifikasi, yang akan mengubah permukaan dan bagian kedalaman batugamping menjadi bentangalam kars, adalah pelarutan. Kuat dan tidaknya proses pelarutan oleh air (hujan) salah satunya dipengaruhi oleh
  • 8. jumlah atau kadar CaO di dalam batugamping. Unsur pembentuk batuan ini mempunyai pengaruh besar dalam membangun bentukan-bentukan ekso- dan endokars. Batugamping berkadar CaO rata-rata 42,56% cenderung membentuk bukit-bukit berbangun kerucut; sedang yang kadar CaO-nya lebih kecil, sekitar 33,38%, akan membentuk pebukitan plato (Sutikno, 1996). Kadar CaO yang tinggi menyebabkan batugamping lebih mudah larut dalam air. Proses pelarutan pada batugamping umumnya berjalan lambat. Setelah terjadi pelarutan, sifat fisik batugamping berubah, terutama nilai porositas dan permeabilitasnya. Batugamping pejal yang mempunyai permeabilitas rendah (sekitar 5 x 10-3 cm) sesudah mengalami pelarutan kemampuannya meluluskan air bertambah besar menjadi 104 hingga 105 kali lipat. Untuk membentuk dolina bergaris tengah 2 m dibutuhkan waktu sekitar 10 ribu tahun, di mana kecepatan pelebarannya hanya 2 x 10-2 cm/tahun Batugamping yang terlarut di dalam air menyebabkan air kars sering bersifat jenuh. Pada suatu saat larutan jenuh CaCO3 tersebut mengalami penghabluran- ulang, membentuk aneka bangun kalsit di permukaan dan di dalam rongga-rongga bawahtanah. Di dalam gua terbentuk beragam jenis dan ukuran speleotem (hiasan di dalam gua). Pertumbuhan stalakmit di daerah beriklim kering rata-rata adalah 0,7 mm/tahun⎯umumnya berkisar antara 0,65-0,71 mm/tahun (White, 1988). Di Gua Simbar (Gombong Selatan), suatu stalaktit yang terpotong ditumbuhi oleh stalaktit baru dengan kecepatan pembentukan sekitar 1 mm/tahun (Samodra, 1999g). Angka pertumbuhan yang relatif lebih tinggi ini disebabkan karena speleotem terbentuk di
  • 9. suatu kawasan kars yang mempunyai curah hujan besar, dan batugampingnya mempunyai kadar CaO yang tinggi sehingga mudah sekali larut. Unsur-unsur bentangalam eksokars yang berhubungan dengan tenaga eksogen⎯khususnya air⎯menghasilkan bentuk-bentuk pelarutan di permukaan batugamping yang dikenal dengan karren, lapies atau schratten. Bentukan kars- mikro ini mulajadinya berkaitan dengan:  Sifat fisik dan kimia batugamping;  Jumlah, sifat dan sebaran air hujan yang akan mempengaruhi proses pelarutan melalu serangkaian reaksi kimia;  Ada tidaknya lapisan tanah, tumbuhan atau humus yang menutupi permukaan batuan;  Kemiringan lapisan batugamping. Dalam waktu yang cukup lama proses pelapukan dan pengikisan menghasilkan unsur-unsur eksokars yang tampak dari kejauhan. Pelarutan dan pengikisan yang menerus selanjutnya akan memperbesar ukuran lubang atau memperdalam lembah yang dulunya merupakan alur-alur kecil di permukaan batugamping. Bukit- bukit⎯baik tunggal maupun berkelompok⎯mulai terbentuk di sekeliling lembah atau lekuk topografi yang ada. Jika kawasan batugamping itu tersesarkan, bolehjadi akan terbentuk deretan pematang bukit yang memanjang lurus ke arah tertentu. Selanjutnya, kelompok bentangalam bukit batugampingpun dapat membentuk bangun-bangun khusus seperti kerucut, atau bagian atasnya mempunyai permukaan yang datar sehingga bangunnya seperti plato, atau menara dan sebagainya. Bangun- bangun bukit batugamping seperti ini banyak dijumpai di banyak kawasan kars di
  • 10. Indonesia. Salah satu kawasan kars di Pulau Jawa yang diciri dengan bentuk-bentuk bukitnya yang khas adalah Kars Gunung Sewu. Kawasan itu membentang arah barat-timur sepanjang lebih dari 100 km dan lebar maksimum 60 km, mulai Parangtritis di selatan Yogyakarta hingga Pacitan. Nama Gunung Sewu diambil dari kenampakan morfologinya, yang disusun oleh ribuan kerucut batugamping 1.4 Kawasan Karst Di Indonesia A. Kars Gunung Sewu Kawasan ini mempunyai bentangalam yang sangat khas, berupa puluhan ribu bukit batugamping berketinggian antara 20-50 m yang dikuasai oleh bangun kerucut. Puncak kerucut bisa membulat (sinusoida) atau lancip (karst conical), tergantung keadaan stratigrafinya. Lekuk-lekuk di antara pebukitan batugamping membentuk dolina, baik terbuka maupun tertutup. Sungai yang mengalir di permukaan kawasan kars sangat jarang. Begitu menemukan sebuah lubang-lari atau gua, sungai permukaan segera berubah menjadi sungai bawahtanah. Di kedalaman bumi air mengalir di sepanjang lorong gua, membentuk jaringan sistem tata air yang rumit. Pada suatu saat atap lorong bawahtanah runtuh karena lapisan batuan yang relatif tipis tidak kuat menahan beban berat seluruh lapisan batuan. Keberadaan sungai bawahtanah dapat diciri melalui lubang-lubang peruntuhan (luweng, istilah di daerah Gunung Sewu) yang ada. Gejala ekso- dan endokars seperti itu teramati baik di Kawasan Kars Gunung Sewu, yang membentang dari Yogyakarta hingga Pacitan
  • 11. B. Kars Pacitan Batugamping berbentangalam kars di daerah Pacitan (Jawa Timur) merupakan ujung paling timur dari kepanjangan sistem kars Gunung Sewu di Yogyakarta dan Wonogiri (Jawa Tengah). Dibatasi oleh Teluk Pacitan yang berbangun melingkar, bentangalamnya dapat dibedakan menjadi segmen kars Pacitan Barat dan segmen Pacitan Timur. Segmen kars Pacitan Barat merupakan bagian dari sistem kars Gunung Sewu yang disebutkan sebelumnya, sementara kars di Pacitan Timur sudah bukan bagian dari sistem kars yang luas tersebut. Jika batugamping kars di Pacitan Barat masih memiliki ciri kars Gunung Sewu yang khas (bukit kerucut dan morfologi sisa-plato), maka sifat khas tersebut sudah jarang dijumpai di Pacitan Timur. Keadaan itu dipengaruhi oleh tataan geologi setempat C. Kars Gombong Selatan Di daerah Gombong Selatan, bukit-bukit kerucut batugamping tersusun sedemikian rupa, membentuk lekuk bersegi lima (star-shape doline). Kawasan kars di daerah ini merupakan contoh yang baik untuk kegelkarst (kawasan berbukit kerucut dengan lerengnya yang terjal dan lekuk-lekuk tertutup di antaranya), dengan gua-guanya yang panjang dan indah. Sebagian guanya berair, sebagian lagi kering (fosil). Beberapa mata air kars muncul di kaki bukit atau dataran rendah di sekitarnya. Sumber Banyumudal yang sudah didayagunakan sejak Zaman Belanda masih tetap berair hingga sekarang.
  • 12. D. Kars Maros Singkapan batugamping yang luas di daerah Sulawesi Selatan, antara Pangkajene dan Maros, membentuk tipe kars tersendiri (Samodra, 1995). Bukit-bukit berlereng terjal⎯yang sebagian besar genesanya dipengaruhi oleh struktur geologi, sebelum diperlebar dan diperluas oleh proses pelarutan atau karstifikasi⎯membentuk bangun menara yang sangat khas (karst tower). Di antara bukit-bukit tersebut membentang dataran, dengan permukaannya yang rata. Oleh penduduk setempat, dataran kars tersebut didayagunakan menjadi lahan pertanian dan perkebunan. Bukit-bukit menara tersebut sejenis dengan yang ada di Cina Selatan dan Vietnam. Gua-gua di kawasan ini, terutama yang fosil, mempunyai nilai arkeologi yang tinggi. Di dalamnya banyak dijumpai lukisan gua manusia prasejarah, yang dapat menguak kehidupan manusia prasejarah dan budayanya di daerah Sulawesi Selatan dan sekitarnya. Kawasan ini sedang mengalami tekanan yang cukup berat, karena usaha pertambangan batugamping untuk semen dan industri lainnya. Peningkatan produksi pabrik semen memerlukan bahan baku batugamping yang lebih banyak, sehingga terjadi perluasan area pertambangan. Sayangnya pertumbuhan daerah quarry batugamping sudah mulai menyentuh gua-gua yang memiliki nilai arkeologi tinggi. Lukisan-lukisan gua, artefak, aneka jenis fosil yang belum dikenali yang terawetkan pada lapisan sedimen gua, dan tulang-belulang manusia yang dikuburkan di dalam gua sesuai dengan adat tradisi
  • 13. masyarakat setempat banyak dijumpai di gua-gua arkeologi Sulawesi Selatan. 1.5 Pentingnya batuan-dasar dan batuan-penutup kars Keberadaan lapisan-penutup, baik berupa tanah (soil) maupun runtunan batuan, dengan demikian akan mempengaruhi proses pelarutan atau karstifikasi yang melibatkan air. Di dalam proses tersebut, lapisan-penutup batugamping yang terdiri dari tanah akan memberikan hasil yang berbeda jika lapisan-penutup itu berupa lapisan batuan. Ketebalan, kemampuan meluluskan air, banyak sedikitnya retakan di permukaan, dan ada tidaknya vegetasi di permukaan merupakan faktor yang mempengaruhi proses pelarutan yang disebabkan oleh air. Tanah yang bersifat lempungan, meskipun hanya tipis, akan mempersulit penyerapan sehingga sebagian besar air hujan mengalir di permukaan sebagai air larian. Tetapi tanah yang bersifat sarang dan tidak padat akan memberi hasil yang sebaliknya. Begitu juga jika lapisan-penutup batugampingnya adalah batuan. Tergantung dari jenis batuannya, tutupan yang berupa batuan sedimen, batuan beku, dan batuan malihan akan memberi pengaruh sendiri-sendiri yang berbeda. Keadaan yang sama juga berlaku pada jenis batuan-dasar yang mengalasi batugamping. Sifat fisik batuan-dasar dan ketangguhannya terhadap proses pengikisan akan mempengaruhi dimensi dari sistem perguaan yang berkembang di bawah permukaan tanah. Batas lapisan antara batugamping dan batuan bukan-gamping di bawahnya biasanya merupakan bidang dasar sistem perguaan, dalam arti lorong gua tidak mungkin
  • 14. berkembang lebih dalam lagi. Sangat dimungkinkan sistem perguaan mendatar akan berkembang di sepanjang batas satuan batuan, mengikuti permukaannya yang mungkin tidak rata. Kawasan batugamping yang tersingkap di daerah Wonosari dan Pacitan, sebagai bagian dari Kars Gunung Sewu yang luas, secara stratigrafi dikenal sebagai satuan litostratigrafi termuda yang tersingkap di Pegunungan Selatan Jawa Tengah-Jawa Timur. Di beberapa tempat di kedua daerah tersebut dijumpai endapan klastik dan endapan piroklastik halus. Endapan yang ditafsirkan berumur Kuarter itu menindih takselaras satuan batugamping dan satuan bukan-batugamping, dengan sebarannya yang relatif sempit. Runtunan endapan Kuarter yang berupa lempung hitam dan tuf-jatuhan (air fall deposits) tersebut mempunyai tebal maksimum 20 m. Keduanya mempunyai sifat tidak meluluskan air, sehingga perembasan air hujan di sekitar singkapannya menjadi sangat kecil. Butiran sedimen yang berukuran halus juga menyumbat sistem percelah-retakan batugamping, sehingga di dasar runtunan endapan lempung hitam sering dijumpai mata air, terutama pada musim hujan. Keadaan yang sama juga terjadi di sekitar endapan tuf, di mana di salah singkapannya terbentuk sebuah telaga. Telaga tersebut bersifat tetap, di mana akumulasi air tidak dapat masuk ke dalam lapisan batugamping yang lebih dalam karena tertutupnya celah, retakan, dan lubang batuan oleh lapisan tuf yang bersifat kedap air. Aspek lain yang menarik dari kehadiran satuan lempung hitam yang bertindak sebagai batuan-penutup batugamping adalah terendapkannya
  • 15. kembali hablur CaCO3 yang terlarut dalam air pada lapisan lempung. Di runtunan bagian atas endapan lempung hitam, yang litologinya berupa lempung pasiran, sering dijumpai keratan batugamping yang bangunnya bercabang-cabang seperti jahe (penduduk setempat menamakannya watujahe). Menurut genesanya, batuan tersebut dibentuk oleh penguapan air jenuh-karbonat yang mengalir di permukaan tanah, atau meresap sebagian ke dalam lapisan lempung pasiran dan terjebak di dalam retakan. Larutan yang menguap secara cepat karena panas matahari menghasilkan hablur kalsium karbonat yang bangunnya tidak beraturan dan mempunyai pinggiran yang tajam (Samodra, 1999d). Bentukan itu mirip dengan caliche, yaitu istilah di Chili, Peru, Meksiko, dan Amerika Baratdaya untuk endapan kalsium karbonat, garam nitrat, dan garam lainnya di permukaan soil atau tanah di daerah beriklim kering dan semi-kering 2. Aspek Hidrologi Air merupakan faktor utama dalam pembentukan gejala ekso- dan endokars. Perilaku air di kawasan kars membentuk sistem hidrologi yang rumit, sekaligus khas. Lingkungan geologi (litologi, stratigrafi, ketebalan, derajat karstifikasi) kawasan kars yang berbeda-beda menyebabkan sistem hidrologi dan hidrodinamikanya tidak bisa disama-ratakan. Kedudukan ilmu speleologi menjadi penting, karena pengetahuan itu akan mengungkapkan keadaan hidrodinamika masa lalu dan masa sekarang. Tataan hidrogeologi kawasan kars yang dinamis di masa lalu dapat dipelajari melalui kajian fenomena endokars
  • 16. seperti scallops, flutes, potholes, ceilling dents dan sebagainya, yang terawetkan di lorong-lorong sistem perguaan. 3. Aspek Paleontologi dan Paleoantropologi Sepanjang ruang dan waktu geologi yang pendek, tumbuhan dan hewan yang hidup di kawasan kars mungkin akan berevolusi secara cepat, atau malahan punah akibat perubahan lingkungan. Gua di kawasan kars, sesuai dengan keadaan lingkungan fisiknya yang khas, berkemampuan besar melestarikan jejak atau kehidupan masa lalu yang sudah membatu (fosil). Dengan demikian keberadaan unsur endokars ini berperan penting dalam usaha manusia mempelajari aspek paleontologi dan paleoantropologi kawasan kars untuk pengembangan ilmu pengetahuan. 4. Aspek Arkeologi Kawasan kars⎯termasuk gua dan ceruk⎯dikenal sebagai tempat tinggal manusia-purba dan manusia-prasejarah yang hidup ratusan ribu hingga ribuan tahun lalu. Pithecanthropus pekinensis yang tinggal di Lembah Choukoutien (Cina Selatan) dianggap sebagai manusia-purba yang paling awal menghuni gua di Daratan Asia. Di dalam gua di kawasan tersebut, selain tulang juga dijumpai sisa-sisa pembakaran yang mungkin diperlukan untuk menghangatkan tubuh pada musim dingin. Di Eropa, Homo sapiens neanderthalensis yang hidup sekitar 100 ribu tahun lalu merupakan manusia-purba penghuni gua yang tergolong lebih cerdas dibanding nenek-moyang sebelumnya. Iklim yang dingin memaksa mereka untuk tinggal dan menetap di dalam gua. Mereka sudah mahir
  • 17. membuat peralatan dari batu, kayu, tulang, gading dan tanduk; bahkan membuat api untuk menghangatkan tubuh 5. Aspek Speleologi Speleologi adalah ilmu pengetahuan yang secara khusus mempelajari gua dari berbagai sudut ilmiah. Pengetahuan speleologi mencakup masalah speleo- genesa (mulajadi gua), speleokronologi (urutan kejadian dari pembentukan hingga perkembangan gua), speleomorfologi (bentukan di dalam gua), biospeleologi (biota-gua), sedimentologi dan mineralogi gua serta iklim-mikro gua. Selanjutnya, informasi speleologi tidak hanya bermanfaat sebagai data dasar pengembangan gua untuk keperluan pariwisata, tetapi juga penting untuk kajian-lanjut arkeologi, paleontologi, sifat radioaktif gua dan hal-hal lain yang berkaitan dengan nilai ekonomi (penambangan fosfat guano) dan nilai kemanusiaan atau sosio-budaya (legenda, agama, kepercayaan dan mistik). Sebagai bentukan dan gejala endokars, gua mempunyai kaitan proses yang bersifat dinamis dengan gejala eksokars yang berkembang di permukaan. Oleh karenanya mempelajari speleologi harus disertai dengan pengetahuan yang cukup mengenai aneka proses yang bekerja di permukaan kawasan kars. 6. Aspek Biologi Menurut Suhardi (1999), tumbuhan yang dapat hidup di kawasan kars di antaranya adalah jati, tusam, mahoni, akor, sonokeling, sonobrit, kayu putih, sengon, ploso, pulai, trengguli, johar, bungur, klampis, akvil, secang, gamal, kemlanding, pilang, wuni dan duwet. Usaha menanam tumbuhan bukan-
  • 18. endemis (polikultur) seperti kayu cendana yang dilakukan di Hutan Wanagama (Wonosari, Yogyakarta) meskipun berhasil dibutuhkan waktu yang sangat lama. Kajian palinologi pada sedimen gua dan sedimen yang ada di beberapa luweng di Kawasan Kars Gunung Sewu menunjukkan kalau jati (Tectona grandis) adalah tumbuhan endemi daerah tersebut. Di Kawasan Kars Maros (Sulawesi Selatan) tumbuh sekitar 30 jenis ara atau beringin (Ficus spp.); selain dan kayuhitam (Diospyros celebica) dan pangi (Pangium edule), yang buahnya dimanfaatkan menjadi rempah bahan makanan dan kue atau menjadi makanan utama anoa. 7. Aspek kehutanan, pertanian, perkebunan, dan perikanan Secara umum, hutan diartikan sebagai bentangan vegetasi yang dikuasai oleh pohon yang sebarannya rapat dan luas, sehingga tercipta iklim-mikro di dalam tegakan yang berbeda dengan iklim di luar hutan (Hani’in dkk., 2002). Dengan demikian himpunan vegetasi baru dapat disebut sebagai hutan jika jumlah pohon atau pokok (batang) lebih banyak dibanding tumbuhan lainnya. Sebagai bagian dari sumberdaya alam, hutan merupakan salah satu jenis sumberdaya hayati. Selain sebagai sumberdaya alam yang dapat dimanfaatkan, hutan juga memiliki fungsi sebagai sumber plasma nutfah atau sumberdaya genetik flora dan fauna, pengatur air, bahan pangan, memberikan udara segar, keindahan, dan dalam beberapa hal sebagai sumber tanaman obat.
  • 19. 8. Aspek Ekosistem Ekosistem atau sistem ekologi merupakan ujud dari suatu proses dan kegiatan yang sifatnya dinamis dan saling pengaruh mempengaruhi, antara mahkluk hidup (binatang, tumbuhan, manusia) dan lingkungan (alam) di sekitarnya. Kehadiran aneka jenis organisme yang hidup dan berkembang di kawasan kars merupakan unsur pembentuk keanekaragaman hayati kawasan tersebut. Kondisi fisik kawasan yang mempengaruhi keberadaan, perkembang- biakan, dan kelangsungan hidup organisme tersebut mencakup keadaan iklim, cuaca, air, tanah, sinar matahari, dan sebagainya. Karena keadaan fisik kawasan kars berbeda-beda di setiap daerah, maka keanekaragaman hayati yang dimiliki oleh masing-masing kawasanpun tidak selalu sama. Hubungan yang saling kait mengkait dan pengaruh mempengaruhi tidak hanya terjadi pada lingkungan hayati (biotik) saja, tetapi juga pada lingkungan nirhayati (abiotik). Hubungan timbal-balik yang sinergi pada lingkungan nirhayati kawasan kars, salah satunya ditunjukkan oleh proses dinamis yang membentuk gejala ekso- dan endokars. 9. Aspek Kerekayasaan Bangunan sipil seperti bendungan, jembatan, jalan, lapangan terbang, tiang listrik tegangan tinggi dan sebagainya sering dijumpai di kawasan kars. Sifat fisik batugamping yang berongga-rongga atau mempunyai sistem perguaan yang letaknya di dekat permukaan merupakan masalah utama bagi kestajikan bangunan sipil yang dibangun di atasnya. Rongga-rongga bawah-permukaan itu akan memperkecil daya tahan batuan terhadap tekanan yang disebabkan oleh
  • 20. beban bangunan yang ada di permukaan tanah. Fondasi bangunan sering ambles, yang mungkin diikuti dengan runtuhnya sebagian bangunan. Keberadaan retakan atau kekar yang memiliki kerapatan tinggi di sekitar tubuh bendungan akan menyebabkan bocornya bangunan, sehingga fungsinya menjadi berkurang. Hal yang paling buruk, jika struktur fisik lapisan batuan tidak mendukung, adalah bobolnya bendungan yang menyebabkan banjir bandang serta kerugian moril dan materiil yang besar. Bangunan sipil di kawasan kars sebaiknya menghindari daerah yang mempunyai sifat fisik seperti disebutkan di atas. Jika letak bangunan tidak dapat dipindahkan, harus dilakukan kajian geologi untuk merinci dan memetakan sebaran kekar, rongga-rongga bawahtanah atau gua yang ada di permukaan yang diduga menerus ke arah kedalaman. Untuk memastikan sebaran struktur rongga, gua dan kekar yang tersebar di bawah permukaan dilakukan pendugaan geofisika (metoda kegempaan, gayaberat, tahanan jenis dan sebagainya). Usaha penyemenan dengan bahan khusus (grouting) akan efektif jika tingkat kerapatan kekar dan rongga relatif kecil. Untuk daerah yang luas dengan sistem percelah- guaan yang rapat, metoda tersebut tidak akan mencapai sasaran. Dalam rangka pembukaan daerah terisolir di kawasan kars, pemerintah telah banyak membangun prasarana jalan, yang menghubungkan daerah tersebut dengan kawasan lain di sekitarnya. Tujuannya utamanya adalah meningkatkan kegiatan ekonomi lokal penduduk setempat. Jalan raya yang memotong bukit- bukit batugamping dibuat dengan memotong dinding bukit, sehingga sebagian lereng yang curam kehilangan daya dukungnya. Pelongsoran sering terjadi di
  • 21. beberapa ruas jalan⎯misal di segmen jalan antara Wanggameti-Waingapu di Sumba (Hadi, 1996). Badan jalan yang ditutupi aspal tidak lagi dapat meresapkan air hujan, sehingga jika selokan yang ada di sepanjang kiri dan kanan bahu jalan tidak dipelihara, proses erosi merupakan bentuk ancaman lain di musim hujan. Erosi berlebihan yang disebabkan oleh aliran air hujan di permukaan disebabkan karena sebagian lahan yang dipakai untuk jalan kehilangan vegetasi penutup, yang berfungsi meresapkan air hujan.