SlideShare a Scribd company logo
1 of 22
EKOSISTEM KARST
PENDAHULUAN
Karst adalah suatu kawasan yang memiliki karakteristik relief dan drainase yang
khas, terutama disebabkan oleh derajat pelarutan batu-batuannya yang intensif. Batu
Gamping dan dolomit merupakan batuan yang sering menimbulkan terjadinya karst
(Adji, T.N., dan Nurjani, 1999 dalam Suryatmojo, H. (2006)
Indonesia merupakan negara kepulauan yang mempunyai kawasan karst yang
tersebar di hampir semua pulau‐pulau besar dari Sumatra sampai Papua. Namun sampai
saat ini keberadaan kawasan karst di Indonesia masih terpinggirkan terutama untuk
kawasan konservasi, yang menonjol hanyalah potensi dari sisi ekonomi seperti
penambangan batu kapur. Perhatian terhadap potensi kawasan karst dan guanya dari sisi
non ekonomi mulai meningkat beberapa tahun terakhir, namun kemauan untuk
perlindungan yang menyeluruh belum juga terwujud (Rahmadi, C. 2007)
Ekosistem karst sampai saat ini belum banyak tersentuh, ekosistem ini
menyimpan potensi keanekaragaman hayati yang sangat tinggi baik terestrial maupun
akuatik baik di permukaan maupun di dalam gua. Beberapa penelitian di kawasan karst
menunjukkan temuan yang cukup menarik dan mencengangkan dengan banyak
ditemukannya jenis baru maupun catatan baru. Sampai saat ini gua‐gua di Indonesia
menduduki kekayaan keanekaragaman hayati yang tinggi di daerah tropis (Deharveng
and Bedos 2000).Sementara data dari Jawa masih belum terdokumentasi dengan baik.
Hal ini menjadi sebuah tantangan tersendiri mengingat laju kerusakan dan kehancuran
ekosistem karst di Jawa menghadang terutama dengan aktivitas penambangan dan
penurunan kualitas lingkungan baik di karst maupun di luar kawasan karst
(Rahmadi, C. 2007)
LINGKUNGAN GUA
Lingkungan gua merupakan sebuah lingkungan yang unik dan khas dengan
kondisi gelap total sepanjang masa. Lingkungan gua lazim dibagi menjadi 4 zona yaitu
mulut gua, zona peralihan (Zona remang‐remang), zona gelap dan zona gelap abadi.
Masing‐zona mempunyai karakteristik lingkungan (abiotik) yang berbeda‐beda begitu
juga kehi dupan 1 Disampaikan dalam Pelatihan Kader Lingkungan diselenggarakan
oleh KAPEDAL Gunung Kidul, Wonosari, 21 November 2007 Gua merupakan
lingkungan yang sangat rentan, perubahan sedikit saja pada lingkungan gua maupun
luar gua dapat mengganggu kehidupan di dalamnya dan memusnahkan berbagai jenis
biota yang unik dan khas cave softly faunanya (biotik) (Howarth 1983, Howarth and
Stone 1990, Howarth 1991). Mulut gua merupakan daerah yang menghubungkan luar
gua dengan lingkungan gua dan masih mendapatkan cahaya matahari dan kondisi
lingkungannya masih sangat dipengaruhi oleh perubahan Lingkungan luar gua.
Temperatur dan kelembaban berfluktuasi tergantung kondisi luar gua. Mulut gua
mempunyai komposisi fauna yang mirip dengan komposisi fauna di luar gua. Kondisi
iklim mikro di mulut gua masih sangat dipengaruhi oleh perubahan kondisi di luar gua.
Zona berikutnya adalah zona peralihan atau zona remang-remang yang dicirikan
dengan kondisi yang sudah gelap namun masih dapat terlihat berkas cahaya yang
memantul dinding gua yang tergantung tipe gua. Di zona peralihan kondisi lingkungan
masih dipengaruhi oleh luar gua yaitu masih ditemukan aliran udara. Temperatur dan
kelembaban masih dipengaruhi lingkungan luar gua. Komposisi fauna mulai berbeda
baik jumlah jenis maupun individu. Kemelimpahan jenis dan individu lebih sedikit
dibandingkan di daerah mulut gua. Zona gelap adalah daerah yang gelap total
sepanjang masa, kondisi temperatur dan kelembaban mempunyai fluktuasi yang sangat
kecil sekali. Jenis fauna yang ditemukan sudah sangat khas dan telah teradaptasi pada
kondisi gelap total. Fauna yang ditemukan biasanya mempunyai jumlah individu yang
kecil namun mempunyai jumlah jenis yang besar (Deharveng and Bedos 2000). Zona
yang terakhir adalah zona gelap total dimana sama sekali tidak terdapat aliran udara
kondisi temperatur dan kelembaban mempunyai fluktuasi yang sangat kecil. Biasanya
mempunyai kandungan karbondioksida yang sangat tinggi. Zona ini biasanya terdapat
pada sebuah ruangan yang lorongnya sempit dan berkelok‐kelok.Gambar 1. Profil gua
menunjukkan pembagian berbagai tipe zona gua (Modifikasi dari Howarth 1980).
Berdasarkan keberadaan aliran sungai di dalam gua terdapat beberapa istilah gua fosil
dan gua aktif. Gua fosil adalah gua yang sudah tidak mempunyai aliran sungai di dalam
gua sehingga sepanjang lorong gua sama sekali tidak ditemukan aliran sungai yang
berasal dari permukaan gua. Air di dalam gua biasanya berasal dari air perkolasi yang
berasal dari permukaan tanah yang mengalir ke dalam gua melalui sistem celah rekahan
dalam batu gamping. Air ini menetes dan membentuk ornamen gua seperti stalagtit dan
3 stalagmit serta kolam‐kolam air kecil yang sangat menarik. Sedangkan gua aktif
adalah gua yang terdapat aliran sungai di dalam gua yang berasal dari luar gua baik
besar maupun kecil. Gua tipe ini sangat dipengaruhi kondisi luar gua seperti terjadinya
banjir pada saat musim hujan.Gua tidak hanya merupakan satu lorong tunggal saja
namun juga dapat terdiri dari berbagai macam lorong yang bercabang‐cabang dan
berkelok‐kelok yang ditentukan oleh proses speleogenesisnya. Lorong gua yang
bercabang‐cabang, berkelok‐kelok dan bahkan bertingkat sehingga membentuk satu
sistem biasanya disebuk dengan sistem gua. Dalam sistem gua ini biasanya terdapat
lorong aktif, lorong vadose dan lorong fosil yang ditentukan berdasarkan keberadaan
aliran air. Lorong aktif sama dengan gua aktif dimana ditemukan aliran air dan
pembentukan ornamen gua masih berjalan. Lorong vadose adalah lorong gua yang
seluruh lorongnya dipenuhi oleh air dan untuk melewatinya memerlukan teknik khusus.
Sedangkan lorong fosil adalah lorong yang biasanya berada bagian atas lorong aktif dan
lorong vadose. Lorong ini sudah tidak mempunyai aliran air karena turunnya
permukaan air. Kondisi lorong yang berbedabeda sangat menentukan kekayaan fauna di
dalam gua karena variasi habitat berkorelasi positif dengan keanekaragaman fauna gua
(Poulson and Culver 1967) dalam Rahmadi, C. (2007)
KAWASAN KARST GUNUNG KIDUL
Secara garis besar, wilayah Kabupaten Gunung kidul dikelompokkan menjadi 3
zona kawasan berdasarkan karakteristik tisik wilayahnya. Zona Utara, sering
disebut Kawasan Batur Agung merupakan wilayah pegunungan dengan kelerengan
yang relatif tajam dengan iklim yang reiatif kering, dengan solum tanah di beberapa
tempat relatif masih agak tebai. Kawasan Batur Agung ini meliputi Kecamatan Patuk,
Gedangsari, Nglipar, Ngawen, Semin dan sebagian Ponjong bagian utara. Zona Tengah,
atau yang disebut kawasan Ledok Wonosari merupakan lembah datar yang masih
dijumpai sungai-sungai kecii dengan solum tanah yang pada umumnya masih dalam.
Ledok Wonosari ini meliputi Kecamatan Playen, Wonosari, Karangmojo, Ponjong
bagian tengah dan Semanu bagian Utara. zona Setatan atau yang disebut dengan
Pegunungan Seribu yang berupa perbukitan kapur yang sudah sangat sat dijumpai
tanah (sering disebut daerah batu bertanah) kecuali pada daerah doline atau cekungan
diantara perbukitan. Di zone ini tidak dijumpai sungai diatas permukaan tanah dan sering
ditandai dengan langkanya air tanah, dan dibeberapa tempat terdeteksi atau dijumpai
Miran sungai dibawah tanah. Kawasan ini meiiputi Kecamatan Panggang, Paliyan,
Saptosari, Tepus, Rongkop, Semanu bagian selatan dan Ponjong bagian selatan
(Anonim,2001). Dengan karakteristik wilayah tersebut, jelas membutuhkan adanya
strategi khusus dalam pengelotaan ekosistem karst di Kabupaten Gunung Kidul untuk
menata kekayaan sumberdaya alam di dalamnya dengan meningkatkan nilai manfaat
dan strategi pengelolaan ekosistem karst (Rahmadi, C. 2007).
Potensi sumberdaya alam Kabupaten Gunung Kidul yang sebagian besar
wilayahnya mewpakan kawasan karst sebenamya memiliki potensi yang besar terhadap
semua sumberdaya yang ada di datamnya. Terlebih dengan adanya Undang-Undang
nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang didalamnya memuat konsep
otonomi daerah, menuntut optimalisasi potensi daerah dengan memanfaatkan segala
sumberdaya yang ada (Rahmadi, C. 2007).
kawasan karst sebenamya tidak hanya pada sumberdaya mineral atau tambang
saja, akan tetapi masih sumberdaya lain yang sangat potensial untuk
dikembangkan, yaitu sumberdaya air, sumberdaya lahan, sumberdaya hayati, dan
potensi landscape baik dibawah permukaan sebagai goa dan sungai atau
danau bawah tanah, serta permukaan berupa lembah kering dolin, bukit-bukit karst,
dan pantai berdinding terjal. Daerah karst Gunung Sewu merupakan contoh obyek
lingkungan karst di daerah tropik basah yang tak ada bandingannya, sehingga sangat
terkenal terlebih di luar negeri sebagai salah sate lokasi yang spesifik untuk
mempelajari iimu tentang karst di dunia. Sementara itu berbagai masalah yang masih
sering muncul di masyarakat yang tinggal di daerah karst akibat kurangnya optimalisasi
pemanfaatan kawasan karst diantaranya masalah kekeringan, kekurangan air, pertanian
yang gaga!, kurangnya hijauan makanan ternak, lahan kritis yang luas, kualitas
sumberdaya air, rendahnya pendapatan, kemiskinan dll (Nursaya, 1995).
PERMASALAHAN DI EKOSISTEM KARST
Karakteristik wilayah di ekosistem karst yang sangat spesifik menimbulkan
berbagai permasalahan terutama menyangkut tungsi dan Jaya dukung ekosistem
karst terhadap aktivitas kehidupan manusia yang berada di dalamnya. Berbagai
permasalahan yang muncul dapat diklasifikasi dalam permasalahan lingkup abiotik,
biotik dan sosial (Suryatmojo, H. 2006)
Dalam lingkup abiotik, berbagai permasalahan yang muncui sebagian besar berhubungan
dengan Iingkungan fisik ekosistem karst yang sangat spesifik tersebut. Beberapa
permasalahan lingkup abiotik yang dapat diidentifikasikan adalah
 Kondisi iklim yang relatif kering dengan curah hujan tahunan yang rendah
terutama di ekosistem karst bagian selatan menyebabkan produktivitas lahan
rendah dan terjadi kekeringan.
 Karakteristik fisik formasi karst memberikan sistem drainase yang unik dan
didominasi oleh aliran bawah permukaan. Dengan kondisi tersebut pada musim
penghujan, air hulan yang jatuh ke daerah karst tidak dapat tertahan di permukaan
tanah tetapi akan langsung masuk ke jatingan sungai bawah tanah meialui
ponoriluweng. Sumber air permukaan di kawasan karst hanya diperoleh meialui
telaga dan sumber air dari sungai bawah tanah yang keluar. Akibatnya pada musim
kemarau sering teriadi kekeringan yang parah dan kekurangan pasokan air untuk
memenuhi kebutuhan masyarakat.
 Kawasan karst yang didominasi batuan carbonat (batu bertanah) dengan
solum yang sangat tipis membentuk suatu kawasan lahan kritis yang Was.
 Ekosistem karst yang berbukit-bukit dengan kelerengan yang cukup tinggi
memberikan potensi terhadap terjadinya erosi dan longsor yang cukup besar. Proses
erosi dan longsor yang tak terkendali akan maim mengurangi solum tanah sehingga
makin menurunkan produktivitas dan kualitas lahan.
 Banyaknya ponor- ponor di kawasan karst menjadi saiuran iangsung
yang menghubungkan perrnukaan karst dengan sungai bawah tanah. Akan air
di permukaan dan air hujan akan langsung masuk melalui ponor dan terkumpul di
air bawah tanah tanpa adanya proses penyaringan oleh lapisan
tanahibatuannya. Hai ini menimbulkan kerawanan terhadap pencemaran air
bawah tanah, teriebih bila di bagian atas terdapat usaha pertanian intensif dengan
memanfaatkan pupuk maupun pestisida kimiawi yang berlebihan sehingga
sisanya Mak termantaatkan dan justru akan masuk ke Miran bawah tanah dan
menurunkan kualitas air bawah tanah (Suryatmojo, H. 2006).
Potensi permasalahan dad lingkup boa yang Bering terjadi adatah :
 Makin bertambahnya jumlah penduduk yang tinggal di kawasan karst
menuntut tersedianya sumberdaya alam yang mencukupi untuk kebutuhan
hidupnya. Akibatnya tekanan penduduk terhadap lahan makin tinggi dan
menyebabkan kerusakan dan hilangnya keanekaragaman hayati, misalnya scat
ini cukup sulit untuk menemukan tanaman jenis bambu (Bambusa sp), dan
pulai (Aistonia scholaris) karena tingginya kebutuhan untuk kerajinan bambu
dan topeng kayo tanpa upaya reboisasi kembali.
 Kebutuhan ekonomi masyarakat yang tinggi menyebabkan terjadinya konversi
Bari hutan aiam menjadi hutan tanaman dengan jents-jents Komerstal yang ben-
Mat ekonoms tinggi saja, diantaranya Jati (Tectona grandis), mahoni (Swietenia
macrophyila), akasia (Acacia auriculitormis), sengon taut (Paraserianthes
talcataria), Sonokeling (Dalbergeria latitolia), gamal (Giiricidea sepium),
kapuk randu (Seiba petandra), lamtoro (leucaena leucocephala),
nyamplung (Callophylum inophylum), kelapa (Cocos nucifera), turi
(Sesbania grandiflora) dan johar (Cassia seamea). Kondisi ini akan
menghilangkan keanekaragaman hayati Bari jenis-jenis tumbuhan yang tidak
bemilai ekonomi tinggi.
 Perburuan yang tidak terkendali dan kerusakan habitat satwa menyebabkan
punahnya beberapa jenis satwa. Salah satu jenis satwa liar yang dilindungi dan
diindikasikan punah yaitu harimau jaws (Panthera Tigris sondaicus).
 Satwa liar endemik ekosistem karst yaitu walet merupakan satwa yang memiliki
niiai ekonomi tinggi dari hasil sarang burungnya. Hat ini menyebabkan terjadi
perburuan yang tidak terkendall dan mengganggu kestabilan ekosistem gua tempat
walet bersarang (Suryatmojo, H. 2006).
Permasalahan sosial yang muncui di ekosistem karst diantaranya adaiah
 Kondisi kawasan karst yang kritis dan marginal menyebabkan masyarakat tidak
mampu memanfaatkan potensi sumberdaya alam yang ada sehingga sebagian besar
tingkat kesejahteraan masyarakat di kawasan karst berada di bawah garis
kemiskinan.
 Mobilitas penduduk dan urbanisasi penduduk usia kerja menyebabkan
teriadinya kelangkaan tenaga kerja produktif di pedesaan,
 Kondisi alam yang berbukit-bukit menyebabkan makin sulitnya akses penduduk ke
luar daerahnya, sehingga menghambat perkembangan perekonomian masyarakat.
 Rendahnya kualitas sumberdaya manusia yang dicinkan dengan rendahnya
rata-rata tingkat pendidikan masyarakat.
 Tingkat produktivitas tenaga kerja yang rendah terutama pada sektor pertanian
yang merupakan bidang pekerjaan terbesar bagi masyarakat di kawasan
karst, hal ini dikarenakan kurangnya ketrampilan khusus terutama di bidang
pertanian mulai Bari produksi hingga pasca panen (Suryatmojo, H. 2006).
POTENSI EKOSISTEM KARST
Potensi-potensi di kawasan ekosistem karst yang memiliki peluang untuk dapat
dikembangkan meliputi potensi abiotik, biotik dan sosial. Potensi abiotik yang dapat
dikembangkan adalah
 Potensi sumberdaya air di bawah permukaan berupa sungai-sungai bawah tanah
memiliki potensi yang sangat besar untuk dikembangkan. Pemantaatan potensi
air bawah tanah secara proporsional dan terkendati akan mampu mengatasi
kekurangan ketersediaan air perrnukaan.
 Fisiografi yang berbukit-bukit yang tettentuk Bari batu gamping memberikan
potensi pertambangan yang bemilai tinggi bila dilakukan secara terkendali pada
zona yang ditetapkan sebagai zona pertambangan.
 Kawasan karst dengan landscape dan batuan yang khas dan fislografi yang unik
dengan keberadaan gua dan sungai bawah tanah berpotensi sebagai obyek wisata
minat khusus yang memiliki nilai ekonomi tinggi dan dapat memacu pertumbuhan
ekonomi masyarakat.
 Banyak ditemukannya fosil-fosii binatang purba menunjukkan adanya kehiclupan
yang kompleks pada jaman dahulu dapat dijadikan sebagai pusat studi arkeologi
dan studi tentang karst.
 Kawasan lembah Bolin yang merupakan pengendapan hasil erosi di perbukitan
karst memiliki potensi luasan yang besar sangat ideal untuk dikembangkan
sebagai areal produktif meialui pettanian dan perkebunan (Suryatmojo, H. 2006).
Potensi biotik yang dapat diidentifikasi untuk dikembangkan adalah
 Potensi gua sebagai habitat walet memiliki potensi nilai ekonomi yang besar untuk
dikembangkan, Sebaran utama goa-goa yang difluni den walet adalah di
kecamatan Panggang dan Rongkop (Chasanatun, 1998). Goa-goa sarang burung
walet ini dikelola oleh Dinas Pendapatan Daerah Pemerintah Kabupaten
Gunungkidui. Tercatat ada 11 goa yang dihuni walet di kecamatan Panggang, yang
tersebar di desa Girikarto, Giripurwo, dan Giricahyo. Sementara kecamatan
Rongkop memiliki 8 goa yang jugs tersebar di 3 desa yaitu Pucung, Songbanyu dan
Jepitu.
 Keberadaan kelelawar yang bersarang di dalam gua-gua karst juga berpotensi
sebagai penghasil pupuk guano yang memiliki kandungan hara sangat tinggi untuk
meningkatan produktivitas lahan.
 Luasnya kawasan karst memberikan potensi untuk pengembangan kegiatan bidang
kehutanan, perkebunan dan pertanian. Luas hutan produksi yang dapat
dioptimalkan di setiap BDH, yang terinci dalam tiap-tiap RPH dan kecamatan di
Kabupaten Gunung Kidul (Suryatmojo, H. 2006).
Potensi dari lingkup social di kawasan karst diantaranya adalah
 Jumlah penduduk yang banyak dengan jumlah usia produktif yang tinggi dapat
menjadi somber potensi tenaga kerja, meskipun kendala tingkat urbanisasi juga
tinggi.
 Kawasan karst Kabupaten Gunung Kidul masih rnerupakan daerah agraris dengan
mayoritas penduduk bergerak di sektor pertanian, hal ini menjadi potensi Iapangan
kerja yang ideal bila diikuti dengan peningkatan kualitas SDM dan dukungan
sarana dan prasarana fisik Iainnya.
 Potensi sumberdaya alam mampu mendukung diversifikasi perekonomian
masyarakat melalui berbagai sektor pembangunan seperti industri kecil, pariwisata
dan diversifikasi pertanian dengan peternakan dan perikanan (Suryatmojo, H.
2006).
STRATEGI PENGELOLAAN EKOSISTEM KARST
Berdasarkan kondisi lingkungan ekosistem karst berikut potensi dan
permasalahan ekosistem karst yang dapat diidentifikasi, maka dapat dilakukan strategi
atau langkah-langkah pengelolaan kawasan yang holistik dan berwawasan lingkungan.
Pengelolaan ekosistem karst pada aspek abiotik dilakukan dengan langkah-Iangkah
sebagai berikut
 Penataan kawasan berdasarkan karakteristik ekosistemnya dan penetapan
zonasizonasinya, balk untuk kawasan budidaya, kawasan lindung, kawasan
industri, kawasan pertambangan dan fungsi-fungsi yang lain terutama untuk
menjamin berjalannya fungsi hidrologis kawasan karst yang spesifik.
 Membagi kawasan Iindung dalam 3 kelompok yaitu
Kawasan Lindung Suaka Alam
a. Ekosistem Karst.
Yang perlu dikonservasi Bari kawasan ini adalah kenampakan diatas
permukaan yang berupa kubah-kubah karst dengan goa-goa horisontai,
telaga karst serta kenampakan bawah permukaan seperti goa-goa
vertikai dan sungai-sungai dibawah tanah.
b. Suaka Margasatwa Sarang Burung Walet.
Kawasan Lindung Setempat
a. Kawasan Lindung Telaga
b. Kawasan Lindung Goa.
c. Kawasan Lindung sempadan luwengiponor.
d. Kawasan Serapan Air.
e. Kawasan Lindung Sempadan Sungai Oyo
f. Kawasan Sempadan Pantai
Kawasan Rawan Bencana Longsor Lahan
Kawasan ini dijumpai di Zona Batur Agung terutama di Gedangsari,
Ngawen, dan Nglipar yaitu:
 Memanfaatkan potensi air bawah tanah atau sungai bawahtanah untuk kegiatan
produksi pertanian, perkebunan, sarana air bersih dengan mengeksploitasi secara
tepat dan mempertahankan kelestarian kuantitas dan kualitas airnya.
 Mengoptimalkan kawasan budidaya dengan menerapkan teknologi tepat guna balk
di bidang pertanian, petemakan, kehutanan, dan perikanan untuk meningkatkan kualitas
dan kuantitas hasil budidaya.
 Mengembangkan potensi landscape karst yang unik sebagai potensi wisata minat
khusus (ecotourism), penelitian tentang karst, studi arkeologi dii.
 Memberikan perlakuan khusus terhadap pengelolaan dan pemanfaatan kawasan
pertambangan sesuai dengan kaidah-kaidah ekologi sehingga mampu
meningkatkan kualitas kelestarian lingkungan khususnya keseimbangan hidrologis
serta mengurangi dampak negatif akibat eksploitasi kawasan pertambangan
(Suryatmojo, H. 2006).
Pengelolaan ekosistem karst dari aspek biotik dapat ditempuh dengan langkah-langkah
berikut
 Mengoptimalkan fungsi kawasan budidaya untuk pengembangan potensi pertanian,
perikanan, kehutanan, perkebunan sehingga dapat meningkatkan kualitas dan
kuantitas hasii produksi.
 Menerapkan kegiatan budidaya pertanian yang ramah lingkungan dengan
mengurangi pemakaian pupuk dan pestisida kimiawi untuk menghindari
pencemaran air bawah permukaan.
 Meningkatkan usaha-usaha reboisasi lahan dan penerapan teknik konservasi tanah
untuk mengurangi lugs lahan kritis dengan menanami lereng bukit dengan jenis
tanaman yang sesuai.
 Meningkatkan dan mengembangkan sistem irigasi teknis maupun tadah hujan
untuk peningkatan produktivitas lahan dan perbaikan ekosistem.
 Meningkatkan intensifikasi dan diversifikasi budidaya pertanian. Mengembangkan
unit-unit lahan percontohan kegiatan pertanian yang optimal.
 Perniiihan jenis tanaman yang produktif dan memiliki nilai ekonomis guns
peningkatan motivasi efisiensi dan optimasi pemanfaatan sumberdaya alarm misal
industri kayu tanpa limbah.
 Mengembangkan budidaya sarang burung wallet pada habitat aslinya
dengan mempertahankan dan melestarikan iingkungan disekitar habitat
(Suryatmojo, H. 2006).
Pengelotaan ekosistem karst dad aspek sosial dapat ditempuh dengan langkah-
langkah berikut
 Meningkatkan kualitas sumberdaya manusia melatui kegiatan penyuluhan,
peningkatan ketrampilan disertai dengan penyediaan prasarana pendidikan
yang lebih balk dan memadai.
 Mengurangi pengangguran usia kerja dengan peningkatan pengelolaan industri kecil
dan pembinaan sektor pertanian semusim untuk mendukung sektor wisata meialui
agrowisata.
 Peningkatan pelayanan kesehatan masyarakat dan Iingkungan dengan
penyediaan prasarana dan tenaga medis yang proporsional.
 Menyediakan dan meningkatkan jangkauan pelayanan fasilitas-fasifitas pelayanan
publik seperti air bersih, listrik dan telepon untuk meningkatkan kesejahteraan,
komunikasi dan kualitas hidup yang lebih baik.
 Melestarikan dan memanfaatkan nilai-nitai budaya lokal dan tradisi daerah
sebagai sumber Jaya tank wisata budaya di daerah.
 Memacu tingkat pertumbuhan ekonomi daerah dengan pengembangan usaha dan
industri yang menyerap tenaga kerja (padat karya) untuk mengurangi Iaju
urbanisasi yang akan menurunkan jurniah usia kerja yang produktif dalam
pembangunan daerah.
 Mengembangkan dan membina industri kecil dan kerajinan rakyat berbasis
sumberdaya tokal untuk mendukung Jaya tarik sebagai obyek wisata dan
meningkatkan pendapatan masyarakat (Suryatmojo, H. 2006).
ADAPTASI FAUNA GUA
Gua sebagai lingkungan yang gelap dapat berperan sebagai perangkap fauna dari
luar gua. Sehingga gua dapat memicu terjadinya proses evolusi fauna dari luar gua
untuk dapat beradaptasi dan bertahan hidup di dalam gua. Bentuk adaptasi di dalam gua
bermacam‐macam baik secara morfologi, perilaku maupun fisiologi, sehingga fauna gua
mempunyai bentuk bahkan perilaku yang berbeda dengan kerabatnya yang ada di luar
gua. Adaptasi yang paling utama adalah mereduksinya organ penglihatan karena
kondisi lingkungan gua yang gelap total. Karena tidak berfungsinya indra penglihatan
menyebabkan perkembangan indra lain untuk menggantikan indra penglihatan. Di
dalam kelompok Arthropoda, khususnya serangga indra penglihatan digantikan oleh
indra peraba yaitu antena. Antena serangga gua dapat mencapai 10 kali panjang
tubuhnya seperti pada jangkrik gua. Sedangkan kelompok Arthropoda yang tidak
mempunyai antena seperti kelompok Arachnida (Laba‐laba) mengalami adaptasi
dengan berubah fungsinya kaki yang paling depan menjadi indra peraba yang berfungsi
seperti antena contohnya pada kala cemeti (Amblypygi) (Suryatmojo, H. 2006)..
Kondisi lingkungan gua yang terkadang minim bahan organik menyebabkan
fauna gua mempunyai laju metabolisme yang lebih lambat. Lingkungan gua
mempunyai kondisi mikroklimat yang relatif stabil baik temperatur, kelembaban,
kandungan karbondioksida dan oksigen. Hal ini disebabkan kondisi lingkungan yang
relatif stagnant karena minimnya aliran udara dalam gua. Kondisi ini mempengaruhi
adaptasi fauna gua pada lingkungan yang relatif stabil sehingga mempunyai kisaran
toleransi yang sempit. Sedikit perubahan dalam lingkungan gua akan berpengaruh
sekali pada kehidupan fauna gua. Sehingga fauna yang telah teradaptasi pada
lingkungan gua sangat rentan terhadap gangguan (Suryatmojo, H. 2006)..
Perubahan lingkungan yang drastis seperti tercemarnya perairan gua akan
berpengaruh pada kehidupan fauna aquatik maupun terrestrial.Berdasarkan tingkat
adaptasi di dalam gua, fauna gua dibedakan menjadi 3 kelompok yaitu trogloxenes,
troglophiles dan troglobionts (Howarth 1983, Culver 1986, Tercaf 2000, Ferreira &
Horta 2001).
Kelompok trogloxenes merupakan kelompok dari fauna gua yang menggunakan
gua sebagai tempat tinggal namun hidupnya secara periodik masih tergantung pada
lingkungan luar gua terutama untuk mencari pakan. Contoh fauna dalam kelompok ini
adalah kelelawar, walet, sriti dan mamalia lain yang tinggal di sekitar mulut gua.
Kelompok troglophiles merupakan kelompok fauna yang seluruh daur hidupnya
terdapat di dalam gua namun kelompok ini juga dapat hidup di luar gua. Kelompok
troglobionts atau troglobites adalah kelompok fauna yang seluruh daur hidupnya di
dalam gua dan sangat tergantung sekali dengan lingkungan dalam gua.Kelompok ini
hanya mampu hidup di alam gua (Suryatmojo, H. 2006).
SUMBER ENERGI DI GUA
Gua merupakan sebuah ekosistem yang khas. Ada yang menganggap bahwa gua
merupakan sebuah ekosistem yang tertutup namun hal ini tidak sebenarnya terjadi
dalam ekosistem gua. Ekosistem gua merupakan sebuah ekosistem yang terbuka
dimana semua komponen saling berkaitan baik dalam lingkungan gua maupun
lingkungan luar gua. Kondisi gelap total tidak memungkinkan produsen utama seperti di
lingkungan luar gua dapat hidup. Hal ini menyebabkan tumbuhan hijau sebagai sumber
utama energi di ekosistem lain di luar gua tidak ditemukan di dalam gua. Sehingga
energi dalam gua merupakan sumber energi yang allochtonous dan sangat bergantung
pada produktivitas mikroorganisme yang ada dalam gua maupun sumber‐sumber lain
yang berasal dari luar gua. Sumber energi gua masuk ke dalam lingkungan gua melalui
beberapa cara, menurut Culver (1986) sumber pakan yang penting untuk habitat
terestrial di dalam gua di daerah empat musim yaitu guano kelelawar, telur dan guano
jangkrik gua, mikroorganisme, kotoran mamalia dan bangkai hewan dan terakhir adalah
serasah tanaman yang terbawa banjir. Semua sumber pakan ini juga penting di gua‐gua
daerah tropis namun guano jangkrik tetap merupakan hasil dari adanya guano kelelawar
karena jangkrik tidak pernah meninggalkan gua untuk mencari pakan (Deharveng and
Bedos 2000).
Umumnya di tropis terutama di Indonesia, jangkrik gua ditemukan sangat
melimpah di lorong yang melimpah guanonya seperti di Gua Lawa (Nusakambangan).
Sumber pakan yang penting berasal dari akar‐akar yang menerobos melalui celah
rekahan dan menggantung di langit‐langit gua (Suryatmojo, H. 2006)..
Berdasarkan kemelimpahan dan jenis sumber pakan dibedakan 5 tipe gua yaitu
oligotrophic yaitu gua yang mempunyai jumlah ketersediaan bahan organik yang
rendah yang berasal dari hewan aatu tumbuhan. Eutrophic adalah gua yang mempunyai
ketersediaan bahan organik yang sangat tinggi, umumnya berasal dari hewan khususnya
guano kelelawar. Distrophic adalah gua yang ketersediaan bahan organik berasal dari
5 tumbuhan yang terbawa banjir. Mesotrophic adalah gua yang berada pada tingkat
menengah antara tiga tipe tersebut dan dicirikan dengan ketersediaan bahan organik
dari hewan dan tumbuhan dalam jumlah yang sedang. Poecilotrophic adalah gua yang
merupakan pemanjangan bagian gua dengan suplai energi yang berbeda dengan
rentang bagian oligotrophic sampai eutrophic (Gnaspini and Trajano 2000) dalam
Suryatmojo, H. (2006).
Gua merupakan sebuah habitat yang tidak terpisahkan dari lingkungan di luar
gua. Perubahan yang terjadi di luar gua akan sangat berpengaruh pada lingkungan gua.
Perubahan lingkungan luar gua akan mempengaruhi ketersediaan sumber pakan di
dalam gua. Terjadinya perubahan lahan seperti penebangan liar atau penggundulan
hutan sangat berpengaruh terhadap ketersediaan guano yang dihasilkan kelelawar.
Gundulnya hutan di luar gua akan berpengaruh juga pada ketersediaan air di
dalam gua yang melalui sistem percelah rekahan sehingga menyebabkan perubahan
kondisi mikroklimat dalam gua yang berpengaruh pada proses dekomposisi dan
perkembangan mikroorganimse yang penting sebagai sumber energi utama dalam gua.
Semua komponen sumber makan yang telah disebutkan di atas merupakan satu
kesatuan yang utuh yang tidak terpisahkan dan membentuk satu jaring‐jaring makanan
yang pentingdalam gua. Hilangnya salah satu rantai makanan akan berpengaruh pada
keseluruhan eksosistem dalam gua maupun luar gua (Suryatmojo, H. 2006).
FLORA FAUNA KARST
Kawasan karst menyimpan kekayaan flora fauna yang sangat menarik dan unik.
Karenakondisi lingkungan karst yang kering, beberapa jenis flora harus mampu
beradaptasipada kondisi kekeringan yang tinggi pada musim kemarau selain itu,
kandungan kalsiumyang tinggi juga mengharuskan semua jenis flora dan fauna mampu
beradaptasi padalingkungan karst . (Suryatmojo, H. 2006).
Flora. Flora di kawasan karst mempunyai keunikan di segala hal.
Keanekaragaman dan komposisi jenisnya sangat berbeda dibandingkan dengan tipe
vegetasi lainnya. Flora di kawasan karst mempunyai tingkat keendemikan yang sangat
tinggi dengan potensi ekonomi yang sangat tinggi. Beberpa jenis flora seperti anggrek,
paku‐pakuan, palem dan pandang merupakan jenis yang terkadang hidup di
tebing‐tebing karst. Beberpa jenis mempunyai habitat yang sangat spesifik seperti
anggrek yang ditemukan di Borneo. Beberapa adaptasi flora terhadap kondisi
lingkungan karst adalah kemampuan hidup di puncak bukit dengan sistem perakaran
yang sangat panjang mampu menembus celah rekahan batu karst dan mencapai batas
sumber air, contoh pohon beringin (Ficus spp.). Beberapa jenis mampu beradaptasi
pada lingkungan yang sangat minim lapisan tanahnya. Adaptasi tersebut dengan cara
meningkatkan kemampuan bertahan hidup tanpa kesulitan dengan cara sistem perakaran
di udara bebas, contoh anggrek yang mampu memanfaatkan celah‐celah batuan untuk
tumbuh. Flora karst juga mempunyai tingkat endemisitas yang sangat tinggi terkadang,
satu bukit karst mempunyai satu jenisyang tidak ditemukan di bukit yang lain di
sekelilingnya (Vermaullen and Whitten 1999).
Fauna. Fauna permukaan karst belum banyak yang meneliti, namun diyakini
tebing‐tebing karst merupakan habitat bagi berbagai jenis burung yang khas seperti
gelatik Jawa yang ditemukan di tebing‐tebing di sekitar pantai selatan di Gunung Kidul.
Tebing‐tebing karst juga menjadi habitat berbagai jenis elang yang membuat sarang di
dahan‐dahan yang tumbuh di tebing karst.Berbagai jenis mamalia juga sering dijumpai
seperti macan kumbang, macan tutul maupun jenis‐jenis karnivora lainnya. Fauna yang
menarik adalah fauna yang hidup di kegelapan gua (Vermaullen and Whitten 1999).
Karena kondisi gua yang gelap sepanjang masa, berbagai jenis fauna
mempunyai morfologi yang unik seperti pemanjangan antena, pemanjangan kaki,warna
putih pucat dan bermata kecil atau bahkan tidak bermata. Contoh‐contoh fauna khas gua
yang ditemukan di Gunung sewu antara lain: kepiting gua (Sesarmoides jacobsoni) dan
udang gua (Macrobrachium poeti). Jenis‐jenis khas lainnya seperti Isopoda terestrial
yang sangat kecil yang ditemukan di Gua semuluh dan Gua Bribin yaitu Javanoscia
elongate dan Tenebrioscia antennuata. Jenis‐jenis udang lainnya juga mempunyai
kekhasan tersendiri namun sampai sekarang belum diteliti lebih lanjut seperti udang
kecil yang ditemukan di Gua Jomblang Bedoyo. Ikan‐ikan gua juga sangat menarik
karena biasanya mempunyai mata yang sangat kecil. Gunung sewu merupakan tempat
temuan jenis ikan khas gua yang sudah terancam punah yaitu Puntius microps yang
ditemukan di perairan bawah tanah. Berbagai jenis fauna bertulang belakang lainnya
juga sering ditemukan hidup di dalam gua. Fauna yang paling sering ditemui adalah
kelelawar. Berbagai jenis kelelawar menghuni lorong‐lorong gua di Gunung Sewu, baik
jenis‐jenis pemakan serangga maupun pemakan buah. Jenis‐jenis pemakan serangga
lebih banyak hidup di loronglorong yang sempit dan jauh di dalam gua sedangkan
pemakan buah banyak menghuni lorong gua yang tidak jauh dari mulut gua. Fauna lain
seperti walet, sangat banyak ditemukan di gua‐gua di pesisir selatan Gunung Kidul dan
memberikan fungsi ekonomi dan ekologi tersendiri (Suryatmojo, H. 2006).
POTENSI KEANEKARAGAMAN HAYATI KARST
Keanekaragaman hati karst mempunyai potensi yang sangat tinggi antara lain
potensiekologi, potensi ilmiah dan potensi ekonomi. Keanekaragaman yang berpotensi
ekologiantara lain jenis‐jenis kelelawar baik kelelawar pemakan serangga maupun
pemakan buah. Kelelawar pemakan serangga mempunyai peran untuk mengendalikan
serangga hama yang berpotensi merugikan pertanian. Sedangkan kelelawar pemakan
buah mempunyai peran penyebaran biji maupun membantu penyerbukan berbagai jenis
Kelelawar di Gunung Sewu yang mempunyai kemelimpahan populasi sangat tinggi
ditemukan di Gua Ngeleng di daerah Paliyan. Namun kemelimpahannya sangat
ditentukan oleh musim. Potensi ilmiah keanekaragaman hayati karst dan gua adalah
tempat dimana berbagai jenis fauna yang mempunyai nilai ilmiah tinggi ditemukan.
Nilai ilmiah fauna gua dapat ditinjau dari keunikan dan kekhasannya karena adaptasi
terhadap lingkungan gua yang gelap (Suryatmojo, H. 2006).
Bentuk adaptasi morfologi ini menjadikan bentuk‐bentuk fauna gua menjadi
unik dan khas. Beberapa jenis sangat tergantung pada satu habitat dan bahkan hanya
ditemukan di satu gua atau kawasannya saja. Selain itu fauna gua atau karst juga
mempunyai biogeografi yang menarik untuk dipelajari dan memerlukan kajian lebih
mendalam. Jenis‐jenis yang ditemukan pun kebanyakan merupakan jenis baru bagi ilmu
pengetahuan. Potensi ekonomi merupakan potensi yang dapat dirasakan langsung oleh
masyarakat seperti manfaat sarang walet yang mempunyai nilai jual tinggi. Namun dua
potensi lainnya juga dapat memberikan kontribusi pada ekonomi meskipun perannya
tidak secara langsung (Suryatmojo, H. 2006).
ANCAMAN
Seiring laju pembangunan, kawasan karst menghadapi satu ancaman yang
sangat besar terutama meningkatnya aktivitas manusia di kawasan karst dan gua.
Beberapa ancaman yang nyata di adalah meningkatnya intensitas penambangan batu
kapur yang terjadi di daerah Bedoyo (Ponjong). Penambangan fosfat dan guano
merupakan ancaman tersendiri untuk kelestarian ekosistem gua. Karena dengan
hilangnya guano akan menghilangkan sumber bahan organik utama bagi ekosistem gua
yang akan mempengaruhi keseluruhan kehidupan fauna di dalam gua. Seperti yang
bertahun‐tahun terjadi penambangan fosfat di Gua Lawa (Ponjong) yang telah
menghancurkan lorong‐lorong gua. Penangkapan kelelawar juga suatu ancaman serius
bagi keanekargaman hayati karst. Di daerah Gunung Sewu aktivitas penangkapan
kelelawar terjadi di Luweng Ngeleng yang dijual untuk obat. Aktivitas penangkapan
kelelawar hampir terjadi di hampir semua kawasan karst yang mempunyai gua‐gua,
namun di beberapa daerah terdapat kepercayaan yang melarang untuk menangkap
kelelawar seperti di Sulawesi dan Tuban, Jawa Timur (Suryatmojo, H. 2006).
Pembuatan dam untuk keperluan untuk konsumsi air minum seperti di Gua
Bribin dan Seropan, Gunung Sewu juga memberikan perubahan yang nyata terhadap
lingkungan gua. Pembuatan dam akan merubah sistem hidrologi dalam gua, seperti
perubahan aliran air. Lorong‐lorong yang tadinya lembab karena dialiri air dapat
menjadi kering karena sudah tidak ada lagi aliran air, begitu juga sebaliknya lorong
yang kering dapatmenjadi terisi oleh air dan mengancam punahnya fauna terestrial di
dalam gua (Suryatmojo, H. 2006).
KONSERVASI
Gua sebagai lingkungan yang khas dan unik memerlukan perlindungan dan
pengelolaan yang semestinya mengingat potensinya cukup besar di Indonesia. Beberapa
pertimbangan perlunya perlindungan gua dan karst adalah:
1. merupakan lingkungan yang sangat rentan sekali terhadap perubahan lingkungan,
2. menyimpan kekayaan keanekaragaman hayati yang unik
3. fauna yang hidup di dalamnya sangat rentan terhadap kepunahan karena biasanya
mempunyai populasi yang sangat kecil dan tingkat toleransi terhadap perubahan
lingkungan sangat sempit,
4. merupakan sebuah laboratorium alam untuk mempelajari biologi dan evolusi
makhluk hidup serta sejarah iklim masa lampau,
5. tempat tinggal beberapa fauna yang penting untuk keseimbangan ekologi (kelelawar)
dan juga fauna bernilai ekonomi tinggi (walet),
6. mempunyai peninggalan sejarah budaya yang penting
7. sebagai sumber perokonomian yang penting terutama sebagai penampung sumber air
bawah tanah,
8. sebagai tempat untuk wisata yang bernilai ekonomi tinggai jika dikelola secara benar
Beberapa pertimbangan lainpun masih banyak yang belum diungkapkan namun
pertimbangan di atas sudah cukup untuk menjadikan dasar perlindungan terhadap
ekosistem gua karst. Di Indonesia sendiri belum banyak gua yang dilindungi oleh
undang‐undang, namun ada beberpa yang dilindungi seperti perlindungan terhadap
Luweng Jaran yang sangat terkenal dengan keindahan dekorasi guanya. Sementara laju
kerusakan ekosistem gua sangat cepat dengan cepatanya laju penurunan kualitas
lingkungan di sekitar kawasan karst maupun dalam karst karena aktivitas manusia yang
tidak terkendali. Perlindungan terhadap kawasan karst biasanya berbenturan dengan
kepentingan ekonomi sesaat yang kadang tidak mempertimbangkan kepentingan
ekonomi jangka panjang (Suryatmojo, H. 2006).
Untuk mewujudkan kelestarian gua‐gua karst diperlukan beberapa tindakan
nyata yang dapat mencegah atau setidaknya mengurangi laju kerusakan ekosistem gua.
Hal yang mendasar untuk perlindungan ekosistem gua dan karstnya adalah
menumbuhkan kesadaran pentinganya karst dan gua bagi umat manusia di setiap
lapisan masyarakat, mempertahankan tradisi maupun kepercayaan masyarakat lokal
yang dapat mendukung pelestarian gua dan karst namun juga dapat dimanfaatkan secara
bijaksana sebagai sumber pendapatan, melakukan survei potensi biotik dan abiotik
sebagai landasan untuk pengelolaan gua terutama pemantauan terus‐menerus untuk
memahami dinamika yang terjadi dalam gua dan sekaligus sebagai acauan peringatan
dini terhadap perubahan lingkungan, pengelolaan wisata gua secara bijaksana
berlandaskan kaidah kaidah yang sesuai untuk mendukung kelangsungan ekosistem
gua, pembuatan sistem zonasi kawasan karst sebagai dasar pemanfaatan kawasan karst
(Suryatmojo, H. 2006).
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2001. Penyusunan Rencana Detail Tata Ruang Kawasan Karst Kabupaten
Gunung Kidul, Fakultas Geografi UGM. Yogyakarta.
Chasanatun, F.N. 1998. Studi Habitat Walet dan Keterkaitan antara Populasi dengan
produksi sarang di daerah Panggang dan Rongkop Kabupaten Gunung Kidul.
Yogyakarta. Tidak diterbitkan
Culver, D. 1986. Cave Faunas. In. M.E. Soule (ed). Conservation: the Science of
Scarcityand Diversity. Sinaver Ascociates Inc. Publ. Sunderland Massachuset.
Deharveng, L. and Bedos, A. 2000. The Cave Fauna of Southeast Asia:Origin,
evolutionand Ecology in. Wilkens, H., Culver, D.C, and Humpreys, W.F. (eds),
Ecosystem of The World, Vol. 30: Subterranean Ecosystem: Elsevier, Amsterdam.
Ferreira, R.L. and Horta, L.C.S..2001. Natural and Human Impacts on Invertebrate
Communities in Brazilian Caves. Rev. Brasil. Biol., 61(1):717pp
Howarth, F.G. 1980. The Zoogeography of Spcialized Cave Animals: A Bioclimatic
Models. Evolution 34(2): 394‐406
Howarth, F.G. 1983. Ecology of Cave Arthropods. Ann. Rev. Entomol. 28: 365‐389
Nursaya, H., 1995. Perencanaan Tata Ruang Kawasan Pertambangan dalam Konsep
Pengembangan Wilayah. Bandung. Tidak diterbitkan
Poulson, T.L., and Culver 1972. Bat Guano Ecosystem. Bull. Natl. Speleol. Soc. 34:
55‐59
Rahmadi, Cahyo, Y. R. Suhardjono dan Jusup Subagja. 2002. Komunitas Collembola di
Guano Kelelawar di Gua Lawa Nusakambangan, Jawa Tengah. Biologi 2 (14):
861‐875
Suryatmojo, H. 2006. Strategi Pengelolaanan Ekosistem Kars di Kabupaten Gunung
Kidul. Fakultas Kehutanan, Uiversitas Gadjah Mada
Ramadi, C.2007. Ekosistem Karst dan Gua. Pusat penelitian LIPI. Cibinong
Vermaullen, J. and Whitten, T. 1999. Biodiversity and Cultural Property in the
Management of Limestones Resources. The World Bank. Washington.
BIOLOGI KONSERVASI
EKOSISTEM KARST
NAMA : M. FU’AD FIQRI
NIM : 07/261356/PBI/805
FAKULTAS BIOLOGI
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2008

More Related Content

What's hot

Erosi tanah dan dampaknya terhadap kehidupan
Erosi tanah dan dampaknya terhadap kehidupanErosi tanah dan dampaknya terhadap kehidupan
Erosi tanah dan dampaknya terhadap kehidupanNidya Milano
 
Geografi Kelas 10 - Litosfer, Pedosfer, Atmosfer
Geografi Kelas 10 - Litosfer, Pedosfer, AtmosferGeografi Kelas 10 - Litosfer, Pedosfer, Atmosfer
Geografi Kelas 10 - Litosfer, Pedosfer, AtmosferYudistira Ydstr
 
Kondisi geologi regional daerah salem
Kondisi geologi regional daerah salemKondisi geologi regional daerah salem
Kondisi geologi regional daerah salemHiskia Annisa
 
Litosfer, Atmosfer dan Hisrosfer
Litosfer, Atmosfer dan HisrosferLitosfer, Atmosfer dan Hisrosfer
Litosfer, Atmosfer dan HisrosferRosmalia Eva
 
bentuklahan karst
bentuklahan karstbentuklahan karst
bentuklahan karstnur wulan
 
Sistem kerja alam tempat tinggal kita
Sistem kerja alam tempat tinggal kitaSistem kerja alam tempat tinggal kita
Sistem kerja alam tempat tinggal kitaAhmad Fauzi
 
Geografi STPM-Bahagian A-Tema Sistem Geomorfologi
Geografi STPM-Bahagian A-Tema Sistem GeomorfologiGeografi STPM-Bahagian A-Tema Sistem Geomorfologi
Geografi STPM-Bahagian A-Tema Sistem GeomorfologiAsmawi Abdullah
 
Dinamika Litosfer ( Geografi Kelas X)
Dinamika Litosfer ( Geografi Kelas X)Dinamika Litosfer ( Geografi Kelas X)
Dinamika Litosfer ( Geografi Kelas X)Verani Nurizki
 
Laporan denudasional
Laporan denudasional Laporan denudasional
Laporan denudasional 'Oke Aflatun'
 
Jurnal geologi potensi hidrokarbon
Jurnal geologi potensi hidrokarbonJurnal geologi potensi hidrokarbon
Jurnal geologi potensi hidrokarbonAulia Nofrianti
 
Dinamika Litosfer dan Pedosfer
Dinamika Litosfer dan PedosferDinamika Litosfer dan Pedosfer
Dinamika Litosfer dan PedosferSanti Sumardi
 
Paket 2 Litosfer Kelas X
Paket 2 Litosfer Kelas XPaket 2 Litosfer Kelas X
Paket 2 Litosfer Kelas Xmervin27
 
Presentasi Litosfer
Presentasi LitosferPresentasi Litosfer
Presentasi LitosferFauzan Arief
 
Dinamika litosfer dan pedesfer
Dinamika litosfer dan pedesferDinamika litosfer dan pedesfer
Dinamika litosfer dan pedesfermaparah
 

What's hot (20)

Erosi tanah dan dampaknya terhadap kehidupan
Erosi tanah dan dampaknya terhadap kehidupanErosi tanah dan dampaknya terhadap kehidupan
Erosi tanah dan dampaknya terhadap kehidupan
 
Geografi Kelas 10 - Litosfer, Pedosfer, Atmosfer
Geografi Kelas 10 - Litosfer, Pedosfer, AtmosferGeografi Kelas 10 - Litosfer, Pedosfer, Atmosfer
Geografi Kelas 10 - Litosfer, Pedosfer, Atmosfer
 
Kondisi geologi regional daerah salem
Kondisi geologi regional daerah salemKondisi geologi regional daerah salem
Kondisi geologi regional daerah salem
 
Litosfer, Atmosfer dan Hisrosfer
Litosfer, Atmosfer dan HisrosferLitosfer, Atmosfer dan Hisrosfer
Litosfer, Atmosfer dan Hisrosfer
 
bentuklahan karst
bentuklahan karstbentuklahan karst
bentuklahan karst
 
Geografi physical
Geografi physicalGeografi physical
Geografi physical
 
Sistem kerja alam tempat tinggal kita
Sistem kerja alam tempat tinggal kitaSistem kerja alam tempat tinggal kita
Sistem kerja alam tempat tinggal kita
 
Geografi STPM-Bahagian A-Tema Sistem Geomorfologi
Geografi STPM-Bahagian A-Tema Sistem GeomorfologiGeografi STPM-Bahagian A-Tema Sistem Geomorfologi
Geografi STPM-Bahagian A-Tema Sistem Geomorfologi
 
Dinamika Litosfer ( Geografi Kelas X)
Dinamika Litosfer ( Geografi Kelas X)Dinamika Litosfer ( Geografi Kelas X)
Dinamika Litosfer ( Geografi Kelas X)
 
Studi Kesesuaian Lahan di Wilayah Studi
Studi Kesesuaian Lahan di Wilayah StudiStudi Kesesuaian Lahan di Wilayah Studi
Studi Kesesuaian Lahan di Wilayah Studi
 
Laporan denudasional
Laporan denudasional Laporan denudasional
Laporan denudasional
 
Jurnal geologi potensi hidrokarbon
Jurnal geologi potensi hidrokarbonJurnal geologi potensi hidrokarbon
Jurnal geologi potensi hidrokarbon
 
Dinamika Litosfer dan Pedosfer
Dinamika Litosfer dan PedosferDinamika Litosfer dan Pedosfer
Dinamika Litosfer dan Pedosfer
 
Paket 2 Litosfer Kelas X
Paket 2 Litosfer Kelas XPaket 2 Litosfer Kelas X
Paket 2 Litosfer Kelas X
 
Lithosfer 2
Lithosfer 2Lithosfer 2
Lithosfer 2
 
Presentasi Litosfer
Presentasi LitosferPresentasi Litosfer
Presentasi Litosfer
 
Dinamika litosfer dan pedesfer
Dinamika litosfer dan pedesferDinamika litosfer dan pedesfer
Dinamika litosfer dan pedesfer
 
Sekilas Tentang Pedosfer
Sekilas Tentang PedosferSekilas Tentang Pedosfer
Sekilas Tentang Pedosfer
 
Geografi "LITOSFER"
Geografi "LITOSFER"Geografi "LITOSFER"
Geografi "LITOSFER"
 
Makalah ruliana
Makalah rulianaMakalah ruliana
Makalah ruliana
 

Similar to EKOSISSTEM KARST

Tugas manajemen karst 1
Tugas manajemen karst 1Tugas manajemen karst 1
Tugas manajemen karst 1AllikaFadia
 
PENGELOLAAN_RAWA_LEBAK_DAN_PASANG_SURUT.pptx
PENGELOLAAN_RAWA_LEBAK_DAN_PASANG_SURUT.pptxPENGELOLAAN_RAWA_LEBAK_DAN_PASANG_SURUT.pptx
PENGELOLAAN_RAWA_LEBAK_DAN_PASANG_SURUT.pptxResthuArthaNugraha
 
Pelestarian sumber-daya-alam
Pelestarian sumber-daya-alamPelestarian sumber-daya-alam
Pelestarian sumber-daya-alamgio_simamora
 
Pelestarian sumber-daya-alam
Pelestarian sumber-daya-alamPelestarian sumber-daya-alam
Pelestarian sumber-daya-alamgio_simamora
 
Pelestarian sumber-daya-alam
Pelestarian sumber-daya-alamPelestarian sumber-daya-alam
Pelestarian sumber-daya-alamgio_simamora
 
Persebaran Flora dan Fauna , New Sept 2022.pdf
Persebaran Flora dan Fauna , New Sept 2022.pdfPersebaran Flora dan Fauna , New Sept 2022.pdf
Persebaran Flora dan Fauna , New Sept 2022.pdfMukarobinspdMukarobi
 
Geografi - Flora dan Fauna di Indonesia dan Dunia
Geografi - Flora dan Fauna di Indonesia dan DuniaGeografi - Flora dan Fauna di Indonesia dan Dunia
Geografi - Flora dan Fauna di Indonesia dan DuniaSyifa Sahaliya
 
Lingkungan fisik wilayah nusantara dan hubungan dengan manusia
Lingkungan fisik wilayah nusantara dan hubungan dengan manusiaLingkungan fisik wilayah nusantara dan hubungan dengan manusia
Lingkungan fisik wilayah nusantara dan hubungan dengan manusiaalfantishindikasari
 
Makalah parangtritis uas b. indonesia editan
Makalah parangtritis uas b. indonesia editanMakalah parangtritis uas b. indonesia editan
Makalah parangtritis uas b. indonesia editanarif878
 
Pantai berbatu habitat supratidal
Pantai berbatu habitat supratidal Pantai berbatu habitat supratidal
Pantai berbatu habitat supratidal Register Undip
 
Paper Vertion: Kondisi Ekosistem Terumbu Karang Serta Strategi Pengelolaannya...
Paper Vertion: Kondisi Ekosistem Terumbu Karang Serta Strategi Pengelolaannya...Paper Vertion: Kondisi Ekosistem Terumbu Karang Serta Strategi Pengelolaannya...
Paper Vertion: Kondisi Ekosistem Terumbu Karang Serta Strategi Pengelolaannya...Mujiyanto -
 
Profil Geologi, Lingkungan dan Geografi Indonesia
Profil Geologi, Lingkungan dan Geografi IndonesiaProfil Geologi, Lingkungan dan Geografi Indonesia
Profil Geologi, Lingkungan dan Geografi IndonesiaLestari Moerdijat
 
Ekosistem laut Power Point
Ekosistem laut Power PointEkosistem laut Power Point
Ekosistem laut Power Pointiswant mas
 

Similar to EKOSISSTEM KARST (20)

EKOLABA KELOMPOK 1 (1).pptx
EKOLABA KELOMPOK 1 (1).pptxEKOLABA KELOMPOK 1 (1).pptx
EKOLABA KELOMPOK 1 (1).pptx
 
Tugas manajemen karst 1
Tugas manajemen karst 1Tugas manajemen karst 1
Tugas manajemen karst 1
 
Lingkungan alam dan buatan
Lingkungan alam dan buatanLingkungan alam dan buatan
Lingkungan alam dan buatan
 
Ekosistem perairan
Ekosistem perairanEkosistem perairan
Ekosistem perairan
 
ppt evolusi 1.pptx
ppt evolusi 1.pptxppt evolusi 1.pptx
ppt evolusi 1.pptx
 
PENGELOLAAN_RAWA_LEBAK_DAN_PASANG_SURUT.pptx
PENGELOLAAN_RAWA_LEBAK_DAN_PASANG_SURUT.pptxPENGELOLAAN_RAWA_LEBAK_DAN_PASANG_SURUT.pptx
PENGELOLAAN_RAWA_LEBAK_DAN_PASANG_SURUT.pptx
 
Pelestarian sumber-daya-alam
Pelestarian sumber-daya-alamPelestarian sumber-daya-alam
Pelestarian sumber-daya-alam
 
Pelestarian sumber-daya-alam
Pelestarian sumber-daya-alamPelestarian sumber-daya-alam
Pelestarian sumber-daya-alam
 
Pelestarian sumber-daya-alam
Pelestarian sumber-daya-alamPelestarian sumber-daya-alam
Pelestarian sumber-daya-alam
 
EKOLOGI LAUT
EKOLOGI LAUTEKOLOGI LAUT
EKOLOGI LAUT
 
Persebaran Flora dan Fauna , New Sept 2022.pdf
Persebaran Flora dan Fauna , New Sept 2022.pdfPersebaran Flora dan Fauna , New Sept 2022.pdf
Persebaran Flora dan Fauna , New Sept 2022.pdf
 
Geografi - Flora dan Fauna di Indonesia dan Dunia
Geografi - Flora dan Fauna di Indonesia dan DuniaGeografi - Flora dan Fauna di Indonesia dan Dunia
Geografi - Flora dan Fauna di Indonesia dan Dunia
 
Usle
UsleUsle
Usle
 
Lingkungan fisik wilayah nusantara dan hubungan dengan manusia
Lingkungan fisik wilayah nusantara dan hubungan dengan manusiaLingkungan fisik wilayah nusantara dan hubungan dengan manusia
Lingkungan fisik wilayah nusantara dan hubungan dengan manusia
 
Makalah parangtritis uas b. indonesia editan
Makalah parangtritis uas b. indonesia editanMakalah parangtritis uas b. indonesia editan
Makalah parangtritis uas b. indonesia editan
 
Pantai berbatu habitat supratidal
Pantai berbatu habitat supratidal Pantai berbatu habitat supratidal
Pantai berbatu habitat supratidal
 
Paper Vertion: Kondisi Ekosistem Terumbu Karang Serta Strategi Pengelolaannya...
Paper Vertion: Kondisi Ekosistem Terumbu Karang Serta Strategi Pengelolaannya...Paper Vertion: Kondisi Ekosistem Terumbu Karang Serta Strategi Pengelolaannya...
Paper Vertion: Kondisi Ekosistem Terumbu Karang Serta Strategi Pengelolaannya...
 
MAteri SIG
MAteri SIGMAteri SIG
MAteri SIG
 
Profil Geologi, Lingkungan dan Geografi Indonesia
Profil Geologi, Lingkungan dan Geografi IndonesiaProfil Geologi, Lingkungan dan Geografi Indonesia
Profil Geologi, Lingkungan dan Geografi Indonesia
 
Ekosistem laut Power Point
Ekosistem laut Power PointEkosistem laut Power Point
Ekosistem laut Power Point
 

EKOSISSTEM KARST

  • 1. EKOSISTEM KARST PENDAHULUAN Karst adalah suatu kawasan yang memiliki karakteristik relief dan drainase yang khas, terutama disebabkan oleh derajat pelarutan batu-batuannya yang intensif. Batu Gamping dan dolomit merupakan batuan yang sering menimbulkan terjadinya karst (Adji, T.N., dan Nurjani, 1999 dalam Suryatmojo, H. (2006) Indonesia merupakan negara kepulauan yang mempunyai kawasan karst yang tersebar di hampir semua pulau‐pulau besar dari Sumatra sampai Papua. Namun sampai saat ini keberadaan kawasan karst di Indonesia masih terpinggirkan terutama untuk kawasan konservasi, yang menonjol hanyalah potensi dari sisi ekonomi seperti penambangan batu kapur. Perhatian terhadap potensi kawasan karst dan guanya dari sisi non ekonomi mulai meningkat beberapa tahun terakhir, namun kemauan untuk perlindungan yang menyeluruh belum juga terwujud (Rahmadi, C. 2007) Ekosistem karst sampai saat ini belum banyak tersentuh, ekosistem ini menyimpan potensi keanekaragaman hayati yang sangat tinggi baik terestrial maupun akuatik baik di permukaan maupun di dalam gua. Beberapa penelitian di kawasan karst menunjukkan temuan yang cukup menarik dan mencengangkan dengan banyak ditemukannya jenis baru maupun catatan baru. Sampai saat ini gua‐gua di Indonesia menduduki kekayaan keanekaragaman hayati yang tinggi di daerah tropis (Deharveng and Bedos 2000).Sementara data dari Jawa masih belum terdokumentasi dengan baik. Hal ini menjadi sebuah tantangan tersendiri mengingat laju kerusakan dan kehancuran ekosistem karst di Jawa menghadang terutama dengan aktivitas penambangan dan penurunan kualitas lingkungan baik di karst maupun di luar kawasan karst (Rahmadi, C. 2007)
  • 2. LINGKUNGAN GUA Lingkungan gua merupakan sebuah lingkungan yang unik dan khas dengan kondisi gelap total sepanjang masa. Lingkungan gua lazim dibagi menjadi 4 zona yaitu mulut gua, zona peralihan (Zona remang‐remang), zona gelap dan zona gelap abadi. Masing‐zona mempunyai karakteristik lingkungan (abiotik) yang berbeda‐beda begitu juga kehi dupan 1 Disampaikan dalam Pelatihan Kader Lingkungan diselenggarakan oleh KAPEDAL Gunung Kidul, Wonosari, 21 November 2007 Gua merupakan lingkungan yang sangat rentan, perubahan sedikit saja pada lingkungan gua maupun luar gua dapat mengganggu kehidupan di dalamnya dan memusnahkan berbagai jenis biota yang unik dan khas cave softly faunanya (biotik) (Howarth 1983, Howarth and Stone 1990, Howarth 1991). Mulut gua merupakan daerah yang menghubungkan luar gua dengan lingkungan gua dan masih mendapatkan cahaya matahari dan kondisi lingkungannya masih sangat dipengaruhi oleh perubahan Lingkungan luar gua. Temperatur dan kelembaban berfluktuasi tergantung kondisi luar gua. Mulut gua mempunyai komposisi fauna yang mirip dengan komposisi fauna di luar gua. Kondisi iklim mikro di mulut gua masih sangat dipengaruhi oleh perubahan kondisi di luar gua. Zona berikutnya adalah zona peralihan atau zona remang-remang yang dicirikan dengan kondisi yang sudah gelap namun masih dapat terlihat berkas cahaya yang memantul dinding gua yang tergantung tipe gua. Di zona peralihan kondisi lingkungan masih dipengaruhi oleh luar gua yaitu masih ditemukan aliran udara. Temperatur dan kelembaban masih dipengaruhi lingkungan luar gua. Komposisi fauna mulai berbeda baik jumlah jenis maupun individu. Kemelimpahan jenis dan individu lebih sedikit dibandingkan di daerah mulut gua. Zona gelap adalah daerah yang gelap total sepanjang masa, kondisi temperatur dan kelembaban mempunyai fluktuasi yang sangat kecil sekali. Jenis fauna yang ditemukan sudah sangat khas dan telah teradaptasi pada kondisi gelap total. Fauna yang ditemukan biasanya mempunyai jumlah individu yang kecil namun mempunyai jumlah jenis yang besar (Deharveng and Bedos 2000). Zona yang terakhir adalah zona gelap total dimana sama sekali tidak terdapat aliran udara kondisi temperatur dan kelembaban mempunyai fluktuasi yang sangat kecil. Biasanya
  • 3. mempunyai kandungan karbondioksida yang sangat tinggi. Zona ini biasanya terdapat pada sebuah ruangan yang lorongnya sempit dan berkelok‐kelok.Gambar 1. Profil gua menunjukkan pembagian berbagai tipe zona gua (Modifikasi dari Howarth 1980). Berdasarkan keberadaan aliran sungai di dalam gua terdapat beberapa istilah gua fosil dan gua aktif. Gua fosil adalah gua yang sudah tidak mempunyai aliran sungai di dalam gua sehingga sepanjang lorong gua sama sekali tidak ditemukan aliran sungai yang berasal dari permukaan gua. Air di dalam gua biasanya berasal dari air perkolasi yang berasal dari permukaan tanah yang mengalir ke dalam gua melalui sistem celah rekahan dalam batu gamping. Air ini menetes dan membentuk ornamen gua seperti stalagtit dan 3 stalagmit serta kolam‐kolam air kecil yang sangat menarik. Sedangkan gua aktif adalah gua yang terdapat aliran sungai di dalam gua yang berasal dari luar gua baik besar maupun kecil. Gua tipe ini sangat dipengaruhi kondisi luar gua seperti terjadinya banjir pada saat musim hujan.Gua tidak hanya merupakan satu lorong tunggal saja namun juga dapat terdiri dari berbagai macam lorong yang bercabang‐cabang dan berkelok‐kelok yang ditentukan oleh proses speleogenesisnya. Lorong gua yang bercabang‐cabang, berkelok‐kelok dan bahkan bertingkat sehingga membentuk satu sistem biasanya disebuk dengan sistem gua. Dalam sistem gua ini biasanya terdapat lorong aktif, lorong vadose dan lorong fosil yang ditentukan berdasarkan keberadaan aliran air. Lorong aktif sama dengan gua aktif dimana ditemukan aliran air dan pembentukan ornamen gua masih berjalan. Lorong vadose adalah lorong gua yang seluruh lorongnya dipenuhi oleh air dan untuk melewatinya memerlukan teknik khusus. Sedangkan lorong fosil adalah lorong yang biasanya berada bagian atas lorong aktif dan lorong vadose. Lorong ini sudah tidak mempunyai aliran air karena turunnya permukaan air. Kondisi lorong yang berbedabeda sangat menentukan kekayaan fauna di dalam gua karena variasi habitat berkorelasi positif dengan keanekaragaman fauna gua (Poulson and Culver 1967) dalam Rahmadi, C. (2007)
  • 4. KAWASAN KARST GUNUNG KIDUL Secara garis besar, wilayah Kabupaten Gunung kidul dikelompokkan menjadi 3 zona kawasan berdasarkan karakteristik tisik wilayahnya. Zona Utara, sering disebut Kawasan Batur Agung merupakan wilayah pegunungan dengan kelerengan yang relatif tajam dengan iklim yang reiatif kering, dengan solum tanah di beberapa tempat relatif masih agak tebai. Kawasan Batur Agung ini meliputi Kecamatan Patuk, Gedangsari, Nglipar, Ngawen, Semin dan sebagian Ponjong bagian utara. Zona Tengah, atau yang disebut kawasan Ledok Wonosari merupakan lembah datar yang masih dijumpai sungai-sungai kecii dengan solum tanah yang pada umumnya masih dalam. Ledok Wonosari ini meliputi Kecamatan Playen, Wonosari, Karangmojo, Ponjong bagian tengah dan Semanu bagian Utara. zona Setatan atau yang disebut dengan Pegunungan Seribu yang berupa perbukitan kapur yang sudah sangat sat dijumpai tanah (sering disebut daerah batu bertanah) kecuali pada daerah doline atau cekungan diantara perbukitan. Di zone ini tidak dijumpai sungai diatas permukaan tanah dan sering ditandai dengan langkanya air tanah, dan dibeberapa tempat terdeteksi atau dijumpai Miran sungai dibawah tanah. Kawasan ini meiiputi Kecamatan Panggang, Paliyan, Saptosari, Tepus, Rongkop, Semanu bagian selatan dan Ponjong bagian selatan (Anonim,2001). Dengan karakteristik wilayah tersebut, jelas membutuhkan adanya strategi khusus dalam pengelotaan ekosistem karst di Kabupaten Gunung Kidul untuk menata kekayaan sumberdaya alam di dalamnya dengan meningkatkan nilai manfaat dan strategi pengelolaan ekosistem karst (Rahmadi, C. 2007). Potensi sumberdaya alam Kabupaten Gunung Kidul yang sebagian besar wilayahnya mewpakan kawasan karst sebenamya memiliki potensi yang besar terhadap semua sumberdaya yang ada di datamnya. Terlebih dengan adanya Undang-Undang nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang didalamnya memuat konsep otonomi daerah, menuntut optimalisasi potensi daerah dengan memanfaatkan segala sumberdaya yang ada (Rahmadi, C. 2007). kawasan karst sebenamya tidak hanya pada sumberdaya mineral atau tambang saja, akan tetapi masih sumberdaya lain yang sangat potensial untuk
  • 5. dikembangkan, yaitu sumberdaya air, sumberdaya lahan, sumberdaya hayati, dan potensi landscape baik dibawah permukaan sebagai goa dan sungai atau danau bawah tanah, serta permukaan berupa lembah kering dolin, bukit-bukit karst, dan pantai berdinding terjal. Daerah karst Gunung Sewu merupakan contoh obyek lingkungan karst di daerah tropik basah yang tak ada bandingannya, sehingga sangat terkenal terlebih di luar negeri sebagai salah sate lokasi yang spesifik untuk mempelajari iimu tentang karst di dunia. Sementara itu berbagai masalah yang masih sering muncul di masyarakat yang tinggal di daerah karst akibat kurangnya optimalisasi pemanfaatan kawasan karst diantaranya masalah kekeringan, kekurangan air, pertanian yang gaga!, kurangnya hijauan makanan ternak, lahan kritis yang luas, kualitas sumberdaya air, rendahnya pendapatan, kemiskinan dll (Nursaya, 1995). PERMASALAHAN DI EKOSISTEM KARST Karakteristik wilayah di ekosistem karst yang sangat spesifik menimbulkan berbagai permasalahan terutama menyangkut tungsi dan Jaya dukung ekosistem karst terhadap aktivitas kehidupan manusia yang berada di dalamnya. Berbagai permasalahan yang muncul dapat diklasifikasi dalam permasalahan lingkup abiotik, biotik dan sosial (Suryatmojo, H. 2006) Dalam lingkup abiotik, berbagai permasalahan yang muncui sebagian besar berhubungan dengan Iingkungan fisik ekosistem karst yang sangat spesifik tersebut. Beberapa permasalahan lingkup abiotik yang dapat diidentifikasikan adalah  Kondisi iklim yang relatif kering dengan curah hujan tahunan yang rendah terutama di ekosistem karst bagian selatan menyebabkan produktivitas lahan rendah dan terjadi kekeringan.  Karakteristik fisik formasi karst memberikan sistem drainase yang unik dan didominasi oleh aliran bawah permukaan. Dengan kondisi tersebut pada musim penghujan, air hulan yang jatuh ke daerah karst tidak dapat tertahan di permukaan tanah tetapi akan langsung masuk ke jatingan sungai bawah tanah meialui ponoriluweng. Sumber air permukaan di kawasan karst hanya diperoleh meialui
  • 6. telaga dan sumber air dari sungai bawah tanah yang keluar. Akibatnya pada musim kemarau sering teriadi kekeringan yang parah dan kekurangan pasokan air untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.  Kawasan karst yang didominasi batuan carbonat (batu bertanah) dengan solum yang sangat tipis membentuk suatu kawasan lahan kritis yang Was.  Ekosistem karst yang berbukit-bukit dengan kelerengan yang cukup tinggi memberikan potensi terhadap terjadinya erosi dan longsor yang cukup besar. Proses erosi dan longsor yang tak terkendali akan maim mengurangi solum tanah sehingga makin menurunkan produktivitas dan kualitas lahan.  Banyaknya ponor- ponor di kawasan karst menjadi saiuran iangsung yang menghubungkan perrnukaan karst dengan sungai bawah tanah. Akan air di permukaan dan air hujan akan langsung masuk melalui ponor dan terkumpul di air bawah tanah tanpa adanya proses penyaringan oleh lapisan tanahibatuannya. Hai ini menimbulkan kerawanan terhadap pencemaran air bawah tanah, teriebih bila di bagian atas terdapat usaha pertanian intensif dengan memanfaatkan pupuk maupun pestisida kimiawi yang berlebihan sehingga sisanya Mak termantaatkan dan justru akan masuk ke Miran bawah tanah dan menurunkan kualitas air bawah tanah (Suryatmojo, H. 2006). Potensi permasalahan dad lingkup boa yang Bering terjadi adatah :  Makin bertambahnya jumlah penduduk yang tinggal di kawasan karst menuntut tersedianya sumberdaya alam yang mencukupi untuk kebutuhan hidupnya. Akibatnya tekanan penduduk terhadap lahan makin tinggi dan menyebabkan kerusakan dan hilangnya keanekaragaman hayati, misalnya scat ini cukup sulit untuk menemukan tanaman jenis bambu (Bambusa sp), dan pulai (Aistonia scholaris) karena tingginya kebutuhan untuk kerajinan bambu dan topeng kayo tanpa upaya reboisasi kembali.  Kebutuhan ekonomi masyarakat yang tinggi menyebabkan terjadinya konversi Bari hutan aiam menjadi hutan tanaman dengan jents-jents Komerstal yang ben- Mat ekonoms tinggi saja, diantaranya Jati (Tectona grandis), mahoni (Swietenia
  • 7. macrophyila), akasia (Acacia auriculitormis), sengon taut (Paraserianthes talcataria), Sonokeling (Dalbergeria latitolia), gamal (Giiricidea sepium), kapuk randu (Seiba petandra), lamtoro (leucaena leucocephala), nyamplung (Callophylum inophylum), kelapa (Cocos nucifera), turi (Sesbania grandiflora) dan johar (Cassia seamea). Kondisi ini akan menghilangkan keanekaragaman hayati Bari jenis-jenis tumbuhan yang tidak bemilai ekonomi tinggi.  Perburuan yang tidak terkendali dan kerusakan habitat satwa menyebabkan punahnya beberapa jenis satwa. Salah satu jenis satwa liar yang dilindungi dan diindikasikan punah yaitu harimau jaws (Panthera Tigris sondaicus).  Satwa liar endemik ekosistem karst yaitu walet merupakan satwa yang memiliki niiai ekonomi tinggi dari hasil sarang burungnya. Hat ini menyebabkan terjadi perburuan yang tidak terkendall dan mengganggu kestabilan ekosistem gua tempat walet bersarang (Suryatmojo, H. 2006). Permasalahan sosial yang muncui di ekosistem karst diantaranya adaiah  Kondisi kawasan karst yang kritis dan marginal menyebabkan masyarakat tidak mampu memanfaatkan potensi sumberdaya alam yang ada sehingga sebagian besar tingkat kesejahteraan masyarakat di kawasan karst berada di bawah garis kemiskinan.  Mobilitas penduduk dan urbanisasi penduduk usia kerja menyebabkan teriadinya kelangkaan tenaga kerja produktif di pedesaan,  Kondisi alam yang berbukit-bukit menyebabkan makin sulitnya akses penduduk ke luar daerahnya, sehingga menghambat perkembangan perekonomian masyarakat.  Rendahnya kualitas sumberdaya manusia yang dicinkan dengan rendahnya rata-rata tingkat pendidikan masyarakat.  Tingkat produktivitas tenaga kerja yang rendah terutama pada sektor pertanian yang merupakan bidang pekerjaan terbesar bagi masyarakat di kawasan karst, hal ini dikarenakan kurangnya ketrampilan khusus terutama di bidang pertanian mulai Bari produksi hingga pasca panen (Suryatmojo, H. 2006).
  • 8. POTENSI EKOSISTEM KARST Potensi-potensi di kawasan ekosistem karst yang memiliki peluang untuk dapat dikembangkan meliputi potensi abiotik, biotik dan sosial. Potensi abiotik yang dapat dikembangkan adalah  Potensi sumberdaya air di bawah permukaan berupa sungai-sungai bawah tanah memiliki potensi yang sangat besar untuk dikembangkan. Pemantaatan potensi air bawah tanah secara proporsional dan terkendati akan mampu mengatasi kekurangan ketersediaan air perrnukaan.  Fisiografi yang berbukit-bukit yang tettentuk Bari batu gamping memberikan potensi pertambangan yang bemilai tinggi bila dilakukan secara terkendali pada zona yang ditetapkan sebagai zona pertambangan.  Kawasan karst dengan landscape dan batuan yang khas dan fislografi yang unik dengan keberadaan gua dan sungai bawah tanah berpotensi sebagai obyek wisata minat khusus yang memiliki nilai ekonomi tinggi dan dapat memacu pertumbuhan ekonomi masyarakat.  Banyak ditemukannya fosil-fosii binatang purba menunjukkan adanya kehiclupan yang kompleks pada jaman dahulu dapat dijadikan sebagai pusat studi arkeologi dan studi tentang karst.  Kawasan lembah Bolin yang merupakan pengendapan hasil erosi di perbukitan karst memiliki potensi luasan yang besar sangat ideal untuk dikembangkan sebagai areal produktif meialui pettanian dan perkebunan (Suryatmojo, H. 2006). Potensi biotik yang dapat diidentifikasi untuk dikembangkan adalah  Potensi gua sebagai habitat walet memiliki potensi nilai ekonomi yang besar untuk dikembangkan, Sebaran utama goa-goa yang difluni den walet adalah di kecamatan Panggang dan Rongkop (Chasanatun, 1998). Goa-goa sarang burung walet ini dikelola oleh Dinas Pendapatan Daerah Pemerintah Kabupaten Gunungkidui. Tercatat ada 11 goa yang dihuni walet di kecamatan Panggang, yang tersebar di desa Girikarto, Giripurwo, dan Giricahyo. Sementara kecamatan Rongkop memiliki 8 goa yang jugs tersebar di 3 desa yaitu Pucung, Songbanyu dan
  • 9. Jepitu.  Keberadaan kelelawar yang bersarang di dalam gua-gua karst juga berpotensi sebagai penghasil pupuk guano yang memiliki kandungan hara sangat tinggi untuk meningkatan produktivitas lahan.  Luasnya kawasan karst memberikan potensi untuk pengembangan kegiatan bidang kehutanan, perkebunan dan pertanian. Luas hutan produksi yang dapat dioptimalkan di setiap BDH, yang terinci dalam tiap-tiap RPH dan kecamatan di Kabupaten Gunung Kidul (Suryatmojo, H. 2006). Potensi dari lingkup social di kawasan karst diantaranya adalah  Jumlah penduduk yang banyak dengan jumlah usia produktif yang tinggi dapat menjadi somber potensi tenaga kerja, meskipun kendala tingkat urbanisasi juga tinggi.  Kawasan karst Kabupaten Gunung Kidul masih rnerupakan daerah agraris dengan mayoritas penduduk bergerak di sektor pertanian, hal ini menjadi potensi Iapangan kerja yang ideal bila diikuti dengan peningkatan kualitas SDM dan dukungan sarana dan prasarana fisik Iainnya.  Potensi sumberdaya alam mampu mendukung diversifikasi perekonomian masyarakat melalui berbagai sektor pembangunan seperti industri kecil, pariwisata dan diversifikasi pertanian dengan peternakan dan perikanan (Suryatmojo, H. 2006). STRATEGI PENGELOLAAN EKOSISTEM KARST Berdasarkan kondisi lingkungan ekosistem karst berikut potensi dan permasalahan ekosistem karst yang dapat diidentifikasi, maka dapat dilakukan strategi atau langkah-langkah pengelolaan kawasan yang holistik dan berwawasan lingkungan. Pengelolaan ekosistem karst pada aspek abiotik dilakukan dengan langkah-Iangkah sebagai berikut  Penataan kawasan berdasarkan karakteristik ekosistemnya dan penetapan zonasizonasinya, balk untuk kawasan budidaya, kawasan lindung, kawasan
  • 10. industri, kawasan pertambangan dan fungsi-fungsi yang lain terutama untuk menjamin berjalannya fungsi hidrologis kawasan karst yang spesifik.  Membagi kawasan Iindung dalam 3 kelompok yaitu Kawasan Lindung Suaka Alam a. Ekosistem Karst. Yang perlu dikonservasi Bari kawasan ini adalah kenampakan diatas permukaan yang berupa kubah-kubah karst dengan goa-goa horisontai, telaga karst serta kenampakan bawah permukaan seperti goa-goa vertikai dan sungai-sungai dibawah tanah. b. Suaka Margasatwa Sarang Burung Walet. Kawasan Lindung Setempat a. Kawasan Lindung Telaga b. Kawasan Lindung Goa. c. Kawasan Lindung sempadan luwengiponor. d. Kawasan Serapan Air. e. Kawasan Lindung Sempadan Sungai Oyo f. Kawasan Sempadan Pantai Kawasan Rawan Bencana Longsor Lahan Kawasan ini dijumpai di Zona Batur Agung terutama di Gedangsari, Ngawen, dan Nglipar yaitu:  Memanfaatkan potensi air bawah tanah atau sungai bawahtanah untuk kegiatan produksi pertanian, perkebunan, sarana air bersih dengan mengeksploitasi secara tepat dan mempertahankan kelestarian kuantitas dan kualitas airnya.  Mengoptimalkan kawasan budidaya dengan menerapkan teknologi tepat guna balk di bidang pertanian, petemakan, kehutanan, dan perikanan untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas hasil budidaya.  Mengembangkan potensi landscape karst yang unik sebagai potensi wisata minat khusus (ecotourism), penelitian tentang karst, studi arkeologi dii.  Memberikan perlakuan khusus terhadap pengelolaan dan pemanfaatan kawasan
  • 11. pertambangan sesuai dengan kaidah-kaidah ekologi sehingga mampu meningkatkan kualitas kelestarian lingkungan khususnya keseimbangan hidrologis serta mengurangi dampak negatif akibat eksploitasi kawasan pertambangan (Suryatmojo, H. 2006). Pengelolaan ekosistem karst dari aspek biotik dapat ditempuh dengan langkah-langkah berikut  Mengoptimalkan fungsi kawasan budidaya untuk pengembangan potensi pertanian, perikanan, kehutanan, perkebunan sehingga dapat meningkatkan kualitas dan kuantitas hasii produksi.  Menerapkan kegiatan budidaya pertanian yang ramah lingkungan dengan mengurangi pemakaian pupuk dan pestisida kimiawi untuk menghindari pencemaran air bawah permukaan.  Meningkatkan usaha-usaha reboisasi lahan dan penerapan teknik konservasi tanah untuk mengurangi lugs lahan kritis dengan menanami lereng bukit dengan jenis tanaman yang sesuai.  Meningkatkan dan mengembangkan sistem irigasi teknis maupun tadah hujan untuk peningkatan produktivitas lahan dan perbaikan ekosistem.  Meningkatkan intensifikasi dan diversifikasi budidaya pertanian. Mengembangkan unit-unit lahan percontohan kegiatan pertanian yang optimal.  Perniiihan jenis tanaman yang produktif dan memiliki nilai ekonomis guns peningkatan motivasi efisiensi dan optimasi pemanfaatan sumberdaya alarm misal industri kayu tanpa limbah.  Mengembangkan budidaya sarang burung wallet pada habitat aslinya dengan mempertahankan dan melestarikan iingkungan disekitar habitat (Suryatmojo, H. 2006). Pengelotaan ekosistem karst dad aspek sosial dapat ditempuh dengan langkah- langkah berikut  Meningkatkan kualitas sumberdaya manusia melatui kegiatan penyuluhan, peningkatan ketrampilan disertai dengan penyediaan prasarana pendidikan
  • 12. yang lebih balk dan memadai.  Mengurangi pengangguran usia kerja dengan peningkatan pengelolaan industri kecil dan pembinaan sektor pertanian semusim untuk mendukung sektor wisata meialui agrowisata.  Peningkatan pelayanan kesehatan masyarakat dan Iingkungan dengan penyediaan prasarana dan tenaga medis yang proporsional.  Menyediakan dan meningkatkan jangkauan pelayanan fasilitas-fasifitas pelayanan publik seperti air bersih, listrik dan telepon untuk meningkatkan kesejahteraan, komunikasi dan kualitas hidup yang lebih baik.  Melestarikan dan memanfaatkan nilai-nitai budaya lokal dan tradisi daerah sebagai sumber Jaya tank wisata budaya di daerah.  Memacu tingkat pertumbuhan ekonomi daerah dengan pengembangan usaha dan industri yang menyerap tenaga kerja (padat karya) untuk mengurangi Iaju urbanisasi yang akan menurunkan jurniah usia kerja yang produktif dalam pembangunan daerah.  Mengembangkan dan membina industri kecil dan kerajinan rakyat berbasis sumberdaya tokal untuk mendukung Jaya tarik sebagai obyek wisata dan meningkatkan pendapatan masyarakat (Suryatmojo, H. 2006). ADAPTASI FAUNA GUA Gua sebagai lingkungan yang gelap dapat berperan sebagai perangkap fauna dari luar gua. Sehingga gua dapat memicu terjadinya proses evolusi fauna dari luar gua untuk dapat beradaptasi dan bertahan hidup di dalam gua. Bentuk adaptasi di dalam gua bermacam‐macam baik secara morfologi, perilaku maupun fisiologi, sehingga fauna gua mempunyai bentuk bahkan perilaku yang berbeda dengan kerabatnya yang ada di luar gua. Adaptasi yang paling utama adalah mereduksinya organ penglihatan karena kondisi lingkungan gua yang gelap total. Karena tidak berfungsinya indra penglihatan menyebabkan perkembangan indra lain untuk menggantikan indra penglihatan. Di dalam kelompok Arthropoda, khususnya serangga indra penglihatan digantikan oleh
  • 13. indra peraba yaitu antena. Antena serangga gua dapat mencapai 10 kali panjang tubuhnya seperti pada jangkrik gua. Sedangkan kelompok Arthropoda yang tidak mempunyai antena seperti kelompok Arachnida (Laba‐laba) mengalami adaptasi dengan berubah fungsinya kaki yang paling depan menjadi indra peraba yang berfungsi seperti antena contohnya pada kala cemeti (Amblypygi) (Suryatmojo, H. 2006).. Kondisi lingkungan gua yang terkadang minim bahan organik menyebabkan fauna gua mempunyai laju metabolisme yang lebih lambat. Lingkungan gua mempunyai kondisi mikroklimat yang relatif stabil baik temperatur, kelembaban, kandungan karbondioksida dan oksigen. Hal ini disebabkan kondisi lingkungan yang relatif stagnant karena minimnya aliran udara dalam gua. Kondisi ini mempengaruhi adaptasi fauna gua pada lingkungan yang relatif stabil sehingga mempunyai kisaran toleransi yang sempit. Sedikit perubahan dalam lingkungan gua akan berpengaruh sekali pada kehidupan fauna gua. Sehingga fauna yang telah teradaptasi pada lingkungan gua sangat rentan terhadap gangguan (Suryatmojo, H. 2006).. Perubahan lingkungan yang drastis seperti tercemarnya perairan gua akan berpengaruh pada kehidupan fauna aquatik maupun terrestrial.Berdasarkan tingkat adaptasi di dalam gua, fauna gua dibedakan menjadi 3 kelompok yaitu trogloxenes, troglophiles dan troglobionts (Howarth 1983, Culver 1986, Tercaf 2000, Ferreira & Horta 2001). Kelompok trogloxenes merupakan kelompok dari fauna gua yang menggunakan gua sebagai tempat tinggal namun hidupnya secara periodik masih tergantung pada lingkungan luar gua terutama untuk mencari pakan. Contoh fauna dalam kelompok ini adalah kelelawar, walet, sriti dan mamalia lain yang tinggal di sekitar mulut gua. Kelompok troglophiles merupakan kelompok fauna yang seluruh daur hidupnya terdapat di dalam gua namun kelompok ini juga dapat hidup di luar gua. Kelompok troglobionts atau troglobites adalah kelompok fauna yang seluruh daur hidupnya di dalam gua dan sangat tergantung sekali dengan lingkungan dalam gua.Kelompok ini hanya mampu hidup di alam gua (Suryatmojo, H. 2006).
  • 14. SUMBER ENERGI DI GUA Gua merupakan sebuah ekosistem yang khas. Ada yang menganggap bahwa gua merupakan sebuah ekosistem yang tertutup namun hal ini tidak sebenarnya terjadi dalam ekosistem gua. Ekosistem gua merupakan sebuah ekosistem yang terbuka dimana semua komponen saling berkaitan baik dalam lingkungan gua maupun lingkungan luar gua. Kondisi gelap total tidak memungkinkan produsen utama seperti di lingkungan luar gua dapat hidup. Hal ini menyebabkan tumbuhan hijau sebagai sumber utama energi di ekosistem lain di luar gua tidak ditemukan di dalam gua. Sehingga energi dalam gua merupakan sumber energi yang allochtonous dan sangat bergantung pada produktivitas mikroorganisme yang ada dalam gua maupun sumber‐sumber lain yang berasal dari luar gua. Sumber energi gua masuk ke dalam lingkungan gua melalui beberapa cara, menurut Culver (1986) sumber pakan yang penting untuk habitat terestrial di dalam gua di daerah empat musim yaitu guano kelelawar, telur dan guano jangkrik gua, mikroorganisme, kotoran mamalia dan bangkai hewan dan terakhir adalah serasah tanaman yang terbawa banjir. Semua sumber pakan ini juga penting di gua‐gua daerah tropis namun guano jangkrik tetap merupakan hasil dari adanya guano kelelawar karena jangkrik tidak pernah meninggalkan gua untuk mencari pakan (Deharveng and Bedos 2000). Umumnya di tropis terutama di Indonesia, jangkrik gua ditemukan sangat melimpah di lorong yang melimpah guanonya seperti di Gua Lawa (Nusakambangan). Sumber pakan yang penting berasal dari akar‐akar yang menerobos melalui celah rekahan dan menggantung di langit‐langit gua (Suryatmojo, H. 2006).. Berdasarkan kemelimpahan dan jenis sumber pakan dibedakan 5 tipe gua yaitu oligotrophic yaitu gua yang mempunyai jumlah ketersediaan bahan organik yang rendah yang berasal dari hewan aatu tumbuhan. Eutrophic adalah gua yang mempunyai ketersediaan bahan organik yang sangat tinggi, umumnya berasal dari hewan khususnya guano kelelawar. Distrophic adalah gua yang ketersediaan bahan organik berasal dari 5 tumbuhan yang terbawa banjir. Mesotrophic adalah gua yang berada pada tingkat menengah antara tiga tipe tersebut dan dicirikan dengan ketersediaan bahan organik
  • 15. dari hewan dan tumbuhan dalam jumlah yang sedang. Poecilotrophic adalah gua yang merupakan pemanjangan bagian gua dengan suplai energi yang berbeda dengan rentang bagian oligotrophic sampai eutrophic (Gnaspini and Trajano 2000) dalam Suryatmojo, H. (2006). Gua merupakan sebuah habitat yang tidak terpisahkan dari lingkungan di luar gua. Perubahan yang terjadi di luar gua akan sangat berpengaruh pada lingkungan gua. Perubahan lingkungan luar gua akan mempengaruhi ketersediaan sumber pakan di dalam gua. Terjadinya perubahan lahan seperti penebangan liar atau penggundulan hutan sangat berpengaruh terhadap ketersediaan guano yang dihasilkan kelelawar. Gundulnya hutan di luar gua akan berpengaruh juga pada ketersediaan air di dalam gua yang melalui sistem percelah rekahan sehingga menyebabkan perubahan kondisi mikroklimat dalam gua yang berpengaruh pada proses dekomposisi dan perkembangan mikroorganimse yang penting sebagai sumber energi utama dalam gua. Semua komponen sumber makan yang telah disebutkan di atas merupakan satu kesatuan yang utuh yang tidak terpisahkan dan membentuk satu jaring‐jaring makanan yang pentingdalam gua. Hilangnya salah satu rantai makanan akan berpengaruh pada keseluruhan eksosistem dalam gua maupun luar gua (Suryatmojo, H. 2006). FLORA FAUNA KARST Kawasan karst menyimpan kekayaan flora fauna yang sangat menarik dan unik. Karenakondisi lingkungan karst yang kering, beberapa jenis flora harus mampu beradaptasipada kondisi kekeringan yang tinggi pada musim kemarau selain itu, kandungan kalsiumyang tinggi juga mengharuskan semua jenis flora dan fauna mampu beradaptasi padalingkungan karst . (Suryatmojo, H. 2006). Flora. Flora di kawasan karst mempunyai keunikan di segala hal. Keanekaragaman dan komposisi jenisnya sangat berbeda dibandingkan dengan tipe vegetasi lainnya. Flora di kawasan karst mempunyai tingkat keendemikan yang sangat tinggi dengan potensi ekonomi yang sangat tinggi. Beberpa jenis flora seperti anggrek, paku‐pakuan, palem dan pandang merupakan jenis yang terkadang hidup di
  • 16. tebing‐tebing karst. Beberpa jenis mempunyai habitat yang sangat spesifik seperti anggrek yang ditemukan di Borneo. Beberapa adaptasi flora terhadap kondisi lingkungan karst adalah kemampuan hidup di puncak bukit dengan sistem perakaran yang sangat panjang mampu menembus celah rekahan batu karst dan mencapai batas sumber air, contoh pohon beringin (Ficus spp.). Beberapa jenis mampu beradaptasi pada lingkungan yang sangat minim lapisan tanahnya. Adaptasi tersebut dengan cara meningkatkan kemampuan bertahan hidup tanpa kesulitan dengan cara sistem perakaran di udara bebas, contoh anggrek yang mampu memanfaatkan celah‐celah batuan untuk tumbuh. Flora karst juga mempunyai tingkat endemisitas yang sangat tinggi terkadang, satu bukit karst mempunyai satu jenisyang tidak ditemukan di bukit yang lain di sekelilingnya (Vermaullen and Whitten 1999). Fauna. Fauna permukaan karst belum banyak yang meneliti, namun diyakini tebing‐tebing karst merupakan habitat bagi berbagai jenis burung yang khas seperti gelatik Jawa yang ditemukan di tebing‐tebing di sekitar pantai selatan di Gunung Kidul. Tebing‐tebing karst juga menjadi habitat berbagai jenis elang yang membuat sarang di dahan‐dahan yang tumbuh di tebing karst.Berbagai jenis mamalia juga sering dijumpai seperti macan kumbang, macan tutul maupun jenis‐jenis karnivora lainnya. Fauna yang menarik adalah fauna yang hidup di kegelapan gua (Vermaullen and Whitten 1999). Karena kondisi gua yang gelap sepanjang masa, berbagai jenis fauna mempunyai morfologi yang unik seperti pemanjangan antena, pemanjangan kaki,warna putih pucat dan bermata kecil atau bahkan tidak bermata. Contoh‐contoh fauna khas gua yang ditemukan di Gunung sewu antara lain: kepiting gua (Sesarmoides jacobsoni) dan udang gua (Macrobrachium poeti). Jenis‐jenis khas lainnya seperti Isopoda terestrial yang sangat kecil yang ditemukan di Gua semuluh dan Gua Bribin yaitu Javanoscia elongate dan Tenebrioscia antennuata. Jenis‐jenis udang lainnya juga mempunyai kekhasan tersendiri namun sampai sekarang belum diteliti lebih lanjut seperti udang kecil yang ditemukan di Gua Jomblang Bedoyo. Ikan‐ikan gua juga sangat menarik karena biasanya mempunyai mata yang sangat kecil. Gunung sewu merupakan tempat
  • 17. temuan jenis ikan khas gua yang sudah terancam punah yaitu Puntius microps yang ditemukan di perairan bawah tanah. Berbagai jenis fauna bertulang belakang lainnya juga sering ditemukan hidup di dalam gua. Fauna yang paling sering ditemui adalah kelelawar. Berbagai jenis kelelawar menghuni lorong‐lorong gua di Gunung Sewu, baik jenis‐jenis pemakan serangga maupun pemakan buah. Jenis‐jenis pemakan serangga lebih banyak hidup di loronglorong yang sempit dan jauh di dalam gua sedangkan pemakan buah banyak menghuni lorong gua yang tidak jauh dari mulut gua. Fauna lain seperti walet, sangat banyak ditemukan di gua‐gua di pesisir selatan Gunung Kidul dan memberikan fungsi ekonomi dan ekologi tersendiri (Suryatmojo, H. 2006). POTENSI KEANEKARAGAMAN HAYATI KARST Keanekaragaman hati karst mempunyai potensi yang sangat tinggi antara lain potensiekologi, potensi ilmiah dan potensi ekonomi. Keanekaragaman yang berpotensi ekologiantara lain jenis‐jenis kelelawar baik kelelawar pemakan serangga maupun pemakan buah. Kelelawar pemakan serangga mempunyai peran untuk mengendalikan serangga hama yang berpotensi merugikan pertanian. Sedangkan kelelawar pemakan buah mempunyai peran penyebaran biji maupun membantu penyerbukan berbagai jenis Kelelawar di Gunung Sewu yang mempunyai kemelimpahan populasi sangat tinggi ditemukan di Gua Ngeleng di daerah Paliyan. Namun kemelimpahannya sangat ditentukan oleh musim. Potensi ilmiah keanekaragaman hayati karst dan gua adalah tempat dimana berbagai jenis fauna yang mempunyai nilai ilmiah tinggi ditemukan. Nilai ilmiah fauna gua dapat ditinjau dari keunikan dan kekhasannya karena adaptasi terhadap lingkungan gua yang gelap (Suryatmojo, H. 2006). Bentuk adaptasi morfologi ini menjadikan bentuk‐bentuk fauna gua menjadi unik dan khas. Beberapa jenis sangat tergantung pada satu habitat dan bahkan hanya ditemukan di satu gua atau kawasannya saja. Selain itu fauna gua atau karst juga mempunyai biogeografi yang menarik untuk dipelajari dan memerlukan kajian lebih mendalam. Jenis‐jenis yang ditemukan pun kebanyakan merupakan jenis baru bagi ilmu pengetahuan. Potensi ekonomi merupakan potensi yang dapat dirasakan langsung oleh
  • 18. masyarakat seperti manfaat sarang walet yang mempunyai nilai jual tinggi. Namun dua potensi lainnya juga dapat memberikan kontribusi pada ekonomi meskipun perannya tidak secara langsung (Suryatmojo, H. 2006). ANCAMAN Seiring laju pembangunan, kawasan karst menghadapi satu ancaman yang sangat besar terutama meningkatnya aktivitas manusia di kawasan karst dan gua. Beberapa ancaman yang nyata di adalah meningkatnya intensitas penambangan batu kapur yang terjadi di daerah Bedoyo (Ponjong). Penambangan fosfat dan guano merupakan ancaman tersendiri untuk kelestarian ekosistem gua. Karena dengan hilangnya guano akan menghilangkan sumber bahan organik utama bagi ekosistem gua yang akan mempengaruhi keseluruhan kehidupan fauna di dalam gua. Seperti yang bertahun‐tahun terjadi penambangan fosfat di Gua Lawa (Ponjong) yang telah menghancurkan lorong‐lorong gua. Penangkapan kelelawar juga suatu ancaman serius bagi keanekargaman hayati karst. Di daerah Gunung Sewu aktivitas penangkapan kelelawar terjadi di Luweng Ngeleng yang dijual untuk obat. Aktivitas penangkapan kelelawar hampir terjadi di hampir semua kawasan karst yang mempunyai gua‐gua, namun di beberapa daerah terdapat kepercayaan yang melarang untuk menangkap kelelawar seperti di Sulawesi dan Tuban, Jawa Timur (Suryatmojo, H. 2006). Pembuatan dam untuk keperluan untuk konsumsi air minum seperti di Gua Bribin dan Seropan, Gunung Sewu juga memberikan perubahan yang nyata terhadap lingkungan gua. Pembuatan dam akan merubah sistem hidrologi dalam gua, seperti perubahan aliran air. Lorong‐lorong yang tadinya lembab karena dialiri air dapat menjadi kering karena sudah tidak ada lagi aliran air, begitu juga sebaliknya lorong yang kering dapatmenjadi terisi oleh air dan mengancam punahnya fauna terestrial di dalam gua (Suryatmojo, H. 2006).
  • 19. KONSERVASI Gua sebagai lingkungan yang khas dan unik memerlukan perlindungan dan pengelolaan yang semestinya mengingat potensinya cukup besar di Indonesia. Beberapa pertimbangan perlunya perlindungan gua dan karst adalah: 1. merupakan lingkungan yang sangat rentan sekali terhadap perubahan lingkungan, 2. menyimpan kekayaan keanekaragaman hayati yang unik 3. fauna yang hidup di dalamnya sangat rentan terhadap kepunahan karena biasanya mempunyai populasi yang sangat kecil dan tingkat toleransi terhadap perubahan lingkungan sangat sempit, 4. merupakan sebuah laboratorium alam untuk mempelajari biologi dan evolusi makhluk hidup serta sejarah iklim masa lampau, 5. tempat tinggal beberapa fauna yang penting untuk keseimbangan ekologi (kelelawar) dan juga fauna bernilai ekonomi tinggi (walet), 6. mempunyai peninggalan sejarah budaya yang penting 7. sebagai sumber perokonomian yang penting terutama sebagai penampung sumber air bawah tanah, 8. sebagai tempat untuk wisata yang bernilai ekonomi tinggai jika dikelola secara benar Beberapa pertimbangan lainpun masih banyak yang belum diungkapkan namun pertimbangan di atas sudah cukup untuk menjadikan dasar perlindungan terhadap ekosistem gua karst. Di Indonesia sendiri belum banyak gua yang dilindungi oleh undang‐undang, namun ada beberpa yang dilindungi seperti perlindungan terhadap Luweng Jaran yang sangat terkenal dengan keindahan dekorasi guanya. Sementara laju kerusakan ekosistem gua sangat cepat dengan cepatanya laju penurunan kualitas lingkungan di sekitar kawasan karst maupun dalam karst karena aktivitas manusia yang tidak terkendali. Perlindungan terhadap kawasan karst biasanya berbenturan dengan kepentingan ekonomi sesaat yang kadang tidak mempertimbangkan kepentingan ekonomi jangka panjang (Suryatmojo, H. 2006). Untuk mewujudkan kelestarian gua‐gua karst diperlukan beberapa tindakan nyata yang dapat mencegah atau setidaknya mengurangi laju kerusakan ekosistem gua.
  • 20. Hal yang mendasar untuk perlindungan ekosistem gua dan karstnya adalah menumbuhkan kesadaran pentinganya karst dan gua bagi umat manusia di setiap lapisan masyarakat, mempertahankan tradisi maupun kepercayaan masyarakat lokal yang dapat mendukung pelestarian gua dan karst namun juga dapat dimanfaatkan secara bijaksana sebagai sumber pendapatan, melakukan survei potensi biotik dan abiotik sebagai landasan untuk pengelolaan gua terutama pemantauan terus‐menerus untuk memahami dinamika yang terjadi dalam gua dan sekaligus sebagai acauan peringatan dini terhadap perubahan lingkungan, pengelolaan wisata gua secara bijaksana berlandaskan kaidah kaidah yang sesuai untuk mendukung kelangsungan ekosistem gua, pembuatan sistem zonasi kawasan karst sebagai dasar pemanfaatan kawasan karst (Suryatmojo, H. 2006).
  • 21. DAFTAR PUSTAKA Anonim, 2001. Penyusunan Rencana Detail Tata Ruang Kawasan Karst Kabupaten Gunung Kidul, Fakultas Geografi UGM. Yogyakarta. Chasanatun, F.N. 1998. Studi Habitat Walet dan Keterkaitan antara Populasi dengan produksi sarang di daerah Panggang dan Rongkop Kabupaten Gunung Kidul. Yogyakarta. Tidak diterbitkan Culver, D. 1986. Cave Faunas. In. M.E. Soule (ed). Conservation: the Science of Scarcityand Diversity. Sinaver Ascociates Inc. Publ. Sunderland Massachuset. Deharveng, L. and Bedos, A. 2000. The Cave Fauna of Southeast Asia:Origin, evolutionand Ecology in. Wilkens, H., Culver, D.C, and Humpreys, W.F. (eds), Ecosystem of The World, Vol. 30: Subterranean Ecosystem: Elsevier, Amsterdam. Ferreira, R.L. and Horta, L.C.S..2001. Natural and Human Impacts on Invertebrate Communities in Brazilian Caves. Rev. Brasil. Biol., 61(1):717pp Howarth, F.G. 1980. The Zoogeography of Spcialized Cave Animals: A Bioclimatic Models. Evolution 34(2): 394‐406 Howarth, F.G. 1983. Ecology of Cave Arthropods. Ann. Rev. Entomol. 28: 365‐389 Nursaya, H., 1995. Perencanaan Tata Ruang Kawasan Pertambangan dalam Konsep Pengembangan Wilayah. Bandung. Tidak diterbitkan Poulson, T.L., and Culver 1972. Bat Guano Ecosystem. Bull. Natl. Speleol. Soc. 34: 55‐59 Rahmadi, Cahyo, Y. R. Suhardjono dan Jusup Subagja. 2002. Komunitas Collembola di Guano Kelelawar di Gua Lawa Nusakambangan, Jawa Tengah. Biologi 2 (14): 861‐875 Suryatmojo, H. 2006. Strategi Pengelolaanan Ekosistem Kars di Kabupaten Gunung Kidul. Fakultas Kehutanan, Uiversitas Gadjah Mada Ramadi, C.2007. Ekosistem Karst dan Gua. Pusat penelitian LIPI. Cibinong Vermaullen, J. and Whitten, T. 1999. Biodiversity and Cultural Property in the Management of Limestones Resources. The World Bank. Washington.
  • 22. BIOLOGI KONSERVASI EKOSISTEM KARST NAMA : M. FU’AD FIQRI NIM : 07/261356/PBI/805 FAKULTAS BIOLOGI UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA 2008