1. Nama : Abid Nurhuda Dosen : Suroto Rosyid Styanto, M. Hum
Nim : 183111122 Matakuliah : Pendidikan Multikultural
Sejarah Munculnya Paham
Pendidikan Multikultural
PENDAHULUAN
Pendidikan merupakan bidang dari sekian banyak bidang yang begitu menentukan dalam
tolak ukur majunya sebuah Negara. Indonesia ialah salah satunya yang memiliki banyak sekali
macam agama, bahasa, ras, suku, adat dan lain-lain. Keanekaragaman seperti inilah yang
menjadikannya sebagai Negara yang plural. lewat jalur pendidikan, semua perbedaan tadi bisa
digabungkan dan disatukan supaya tidak ada yang namanya diskriminasi lalu menyudutkan pihak
satu kepada pihak lainnya sehingga pembangunan Indonesiapun jadi terhambat. Pada dasarnya,
pendidikan multikultural adalah pendidikan yang sangat menghargai adanya keberagaman dan
perbedaan. Pendidikan ini selalu menciptakan proses yang tersetruktur dimana tiap-tiap
kebudayaan bisa mengeluarkan ekspresinya. Namun untuk mendesain hal ini secara praktik, itu
tidaklah mudah. Setidaknya kita berusaha mencoba mengambil ijtihad untuk memolakan sesuai
dengan dasar dan prinsip-prinsip di dalamnya. Gagasan pemolaan sekaligus pengembangan
pendidikan multikultural ini sendiri sebenarnya sudah ada sejak dahulu di kawasan Eropa,
Amerika dan negara-negara maju lainnya. Dan seiring berjalannya waktu, pendidikan ini
menjadi sebuah studi tersendiri dan khusus tentang keberagaman yang pada mulanya bertujuan
supaya populasi mayoritas dapat bersikap toleran dan tenggang rasa terhadap para imigran
baru. Pengalaman pendidikan multikultural dari eropa tersebut akhirnya juga sampai di Indonesia
yang saat itu masih bernuansa kerajaan-kerajaan, bahkan berlangsung hingga saat ini. Berikut
sekelumit perjalanan sejarah dari pendidikan multikultural.
2. PEMBAHASAN
Munculnya Pendidikan Multikultural
Pendidikan multicultural adalah tema yang sangat baru dalam dunia pendidikan. Sebelum
peristiwa Perang Dunia ke II, bisa dikatakan pendidikan tersebut belum banyak diketahui orang.
Bahkan pendidikan ini digunakan sebagai alat politik untuk memberlangsungkan kekuasaan yang
tengah memonopoli sistem pendidikan untuk kelompok tertentu karena selalu menyangkut
HAM, kemerdekaan dari penjajahan, diskriminasi rasial dan lain-lain. Jadi bisa dikatakan
pendidikan multikultural ialah gejala yang sangat baru dalam pergaulan umat manusia ketika
meraka mendambakan persamaan hak, salah satunya adalah hak untuk memperoleh pendidikan
yang sama bagi semua orang.
Menurut koentjaraningrat, pendidikan multicultural merupakan sebuah ilmu pengetahuan
sehingga mengalami metamorfosa tahapan yang berkembang dan terdiri dari empat fase, yaitu :
1. Sebelum tahun 1800-an yakni Sekitar abad ke 15-16, banyak sekali bangsa eropa yang
mulai berlomba untuk menjelajahi luasnya dunia. Mulai dari benua australi, asia, amerika,
hingga afrika. Dalam perjalananya yang jauh tersebut, mereka banyak mendapati dan
menemukan hal-hal yang baru. Mereka juga banyak sekali menjumpai para suku yang
begitu asing bagi mereka. Kisah-kisah petualangan, penjelajahan dan penemuan mereka
di catat sekaligus ditulis ke dalam buku harian ataupun jurnal kehidupan. Merekapun
mencatat ciri-ciri kebudayaan, fisik, bahasa, dan susunan masyarakat dari suku tersebut
yang biasa disebut dengan bahan etnopografi karena Pada abad ke 19 ketertarikan
bangsa eropa dengan etnografi sangat banyak dan meningkat.
2. Pada tahun 1800-an Bahan etnografi tadi sudah di susun menjadi karya sekaligus
karangan bedasarkan cara berfikir evoluasi masyarakat pada masa itu. Masyarakat dan
kebudayaan pun secara perlahan-lahan berevolusi dalam jangka waktu yang sangat lama.
3. Di awal abad ke 20 Eropa mulai berkembang dengan membangun kerja sama koloni di
amerika, afrika dan asia. Dalam rangka hal tersebut eropa jadi mau mempelajari bahan-
bahan etnografi yang berisi tentang kebiasaan, kebudayaan dari sukubangsa lainya demi
kepentingan pemerintah kolonial.
3. 4. Setelah tahun 1930-an, Ilmu multikulturalpun jadi berkembang sangat cepat, sehingga
membuat seolah-olah sukubangsa asli hilang dari penerapan budaya bumi eropa.
Sementara itu, H. A. R. Tilaar menyebutkan setidaknya ada beberapa elemen kekuasaan di dunia
ini yang telah melahirkan pendidikan multikultural, diantaranya :
1. Proses Demokratisasi dalam Masyarakat
Sekalipun paham demokrasi sudah seumuran dengan kehidupan manusia di dunia
ini, tapi implementasinya masih suka terhambat, dan juga tidak merata ke dalam kehidupan
manusia. Kehidupan manusia di dalamnya itu terdapat kelompok yang menganggap
dirinya memiliki hak lebih istimewa termasuk hak untuk mendapatkan pendidikan berbeda
yang tidak bisa di nikmati kelompok lainnya. Sehingga dengan demikian akan ada
kelompok dalam masyarakat yang tersisihkan dalam pendidikannya.
Perjuangan untuk mendapatkan hak pendidikannya dari kelompok yang tersisihkan
adalah usaha yang besar dalam melawan opresi penjajahan. Operasi tersebut terjadi di
negara demokrasi maupun totaliter yang mana di dalamnya terdapat perbedaan perlakuan
kepada kelompok masyarakat tertentu. Hal itu disebabkan adanya perbedaan ideologi, ras,
suku, etnik, dan yang lainnya. Contohnya peristiwa yang dulu terjadi di Afrika Selatan
yang mengasingkan antara kelompok berkulit putih dari kulit hitam dengan hak-hak
istimewanya diantaranya pendidikan sehingga kelompok tersebut pun selalu disepelekan.
Oleh karena itulah, pendidikan multikulturalisme berjalan bebarengan dan selalu
bergandengan dengan proses demokratisasi yang ada dalam kehidupan masyarakat.
Proses tersebut tersebut dijadikan pemantik untuk memperoleh pengakuan hak asasi
manusia lalu tidak membedakan bedakannya baik atas, agama, gender, dan warna kulitnya.
Semua manusia diciptakan oleh Tuhan dengan kedudukan, martabat, dan posisi yang sama
tanpa membandingkan dan mempertimbngkan itu semua.
2. Pembangunan Kembali Sesudah Perang Dunia II
Setelah Perang Dunia ke II, perubahan yang besarpun terjadi di dalam tata kelola
kehidupan antar bangsa.yang mendambakan akan pembangunan kembali puing-puing
sudah hancur berkeping-keping di Eropa. Secara bersamaan dengan adanya pembangunan
kembali di Eropa itulah yang pada akhirnya menjadi tanda bahwa kolonialisme itu telah
tiada, maka lahirlah negara-negara baru, terkhusus yang paling banyak di Afrika.
4. Sedangkan penduduk eks koloni malah masuk ke negara Perancis dan Inggris dan menjadi
pegawai-pegawai perusahaan yang dibutuhkan di sana. Migrasi penduduk inilah, dan
khususnya migrasi pekerja, seiring berjalan nya waktu meminta perlakuan yang adil lagi
berimbang untuk generasi mudanya dan menuntut pendidikan yang baik untuk mereka
semua. Migrasi penduduk negara negara besar dunia bisa lebih cepat dan mudah
disebabkan oleh kemajuan teknologi, dan transportasi udara, laut maupun darat.
3. Lahirnya Paham Nasionalisme Kultural
Munculnya berbagai grup serta kelompok dari bangsa yang satu untuk berpindah
dan bermukim di negara-negara lain yang maju lagi pesat, sehingga lama kelamaan mampu
membentuk sesuatu kekuasaaan dan kekuatan tersendiri untuk menuntut hak-haknya
selaku “warga negara” yang baru. Dari sinilah, kemudian lahir kelompok-kelompok
sekaligus etnis baru yang mana mereka memiliki kebudayaannya masing-masing, sehingga
bisa memberikan warna baru dalam kebudayaan tuan rumah yang sebelumnya lebih banyak
bersifat homogen.
Pendidikan multicultural mulanya merupakan perkembangan dari kesadaran dan gagasan
tentang “inter-kulturalisme” seusai Perang Dunia II. Hal ini sebagai konsep akan pemikiran
yang tidak muncul hanya karena ada ruang kosong, tapi karena ada interestpolitik, ekonomi, sosial,
dan intelektual yang mengarahkan kemunculannya. Bahkan selain itu juga menyangkut berbagai
kepentingan lain seperti HAM, merdeka dari kebebasan, dan sebagainya disebabkan bertambah
tinggi angka pluralitas di negara-negara Barat. Mempertimbangkan begitu banyaknya
perkembangan ini, maka pada tahun sekitar 1940-an dan 1950-an di Amerika Serikat
berkembanglah pendidikan ini. pendidikan intercultural ini hakekatnya merupakan pendidikan
lompatan budaya yang bertujuan memperkaya dan mengembangkan nilai-nilai universal agar
dapat diterima di berbagai kelompok masyarakat yang berbeda .Maka UNESCOpun membuat
beberapa pesan anjuran pada bulan Oktober 1994 di Jenewa, di antaranya yaitu :
1. Pendidikan seharusnya mengembangkan potensi untuk mengakui dan menerima nilai-nilai
yang ada didalam keanekaragaman baik jenis kelamin, ras, agama, masyarakat dan
budaya serta menambah dan memperkaya kemampuan untuk berkomunikasi, berbagi
dan bekerja sama dengan yang lain.
5. 2. Pendidikan semestinya memperkuat, mempertegar dan meneguhkan jati diri serta
mendorong konvergensi gagasan dan penyelesaian-penyelesaian suatau masalah agar
memperkokoh persaudaraan, solidaritas dan perdamaian antara individu dan masyarakat.
3. Pendidikan hendaknya terus meningkatkan kemampuan dan kemauannya dalam
menyelesaikan permasalahan dan konflik secara alami, damai dan tanpa kekerasan
sehingga hal tersebut dapat menambah kedamaian dalam diri, pikiran para peserta didik.
Dan dengan hal itulah, mereka bisa membangun dengan lebih kokoh kualitas toleransi,
kesabaran, dan keinginan untuk berbagi serta memelihara
Sementara itu seiring dengan berkembangnya paham toleransi, HAM dan demokrasi diatas
kelompok dan grup dari etnis baru mulai melebur ke dalam etnismainstream. Dengan begitu
muncul dan bangkitlah paham nasionalisme baru yang tidak lagi hanya berkonotasi kepada etnis
tapi lebih kepada pengertian kultural. Sehingga nasionalisme kultural menggantikan nasionalisme
etnis, dan pendidikanpun jadi ikut terbuka untuk kebutuhan kelompok-kelompok yang baru,
sekaligus mempersiapkan sudut pandang dan paradigma baru bagi grup dan kelompok mayoritas
dengan kebudayaan mainstreamnya.
Pendidikan Multikultural di Negara-Negara Luar
Dari banyaknya gelombang perubahan tersebutlah hingga bisa melahirkan pendidikan
multikultural di berbagai negara dengan berbagai coraknya masing-masing :
1. Seperti di Amerika Serikat, perkembangan pendidikan multikultural yang bermula dari
penghapusan satu generasi masyarakat dari warga negara Amerika yang statusnya berasal
dari Afrika (American Afrika) sehingga ditolak dengan sangat keras oleh Gerakan Civil
Rights yang dipelopori oleh Dr. Martin Luther King. Gerakan Civil Rights ini menjadi
stimulus bagi lahirnya pendidikan multikultural lainnya selama dekade 70-an hingga abad
ke-20.
2. Gerakan demokratisasi pendidikan lainnya yang diimplementasikan dalam pendidikan
multicultural Amerika akhirnya juga berimbas di negara sebelahnya yakni Kanada.
pendidikan multikultural di negara Kanada mempunyai postur dan wajah yang berbeda
karena sejak awal sebagian dari Kanada sudah mengenal budaya yang belainan, yaitu
budaya dari Prancis di negara bagian Quebec sehingga dengan hal tersebut pendidikan
disini lebih progresif ketimbang negara sebelah sekaligus tetangganya.
6. 3. Pendidikan multikultural di Negara Jerman dan Inggris muncul disebabkan adanya migrasi
penduduk yang berbondong-bondong akibat pembangunan kembali Jerman setelah
runtuhnya. Dari sinilah kebutuhan terhadap paradigma baru akan lahirnya pendidikan
multicultural terhadap kelompok-kelompok etnis baru.
4. Lalu ada juga pendidikan multikultural di Australia yang memperoleh momentum tepatnya
dengan perubahan politik luar negri. Seperti diketahui bahwa Australia merupakan suatu
negara yang relatif sangat tertutup bagi kelompok dan grup kulit berwarna lain. Pemerintah
Australia-lah yang menyebabkan migrasi dari kelompok-kelompok suku dan etnis lain
yang bukan hanya Eropa namun juga dari Asia seperti China, Vietnam, India, dan juga dari
Indonesia.
Pendidikan Multikultural di Indonesia
Dari berbagai pengalaman negara yang ada di atas telah menerapkan praktik pendidikan
multicultural, maka kita dapat mengambil dan memperoleh manfaatnya sebagai modal asas
sekaligus dasar implementasi pendidikan multikultural di Indonesia. meski sudah kita sadari
bahwa penerapan pendidikan multicultural pada negara-negara tersebut sifatnya akan lain bila
dibandingkan dengan negara Indonesia. Implementasi pendidikan multikultural di negara luar
sebagaimana yang tersebut diatas sangat bertentangan dengan budaya homogen, tetapi di
Indonesia pendidikan multikultural bisa diterapkan dalam perspektif luas bangsa Indonesia yang
pluralitas. Pandangan multikulturalisme dalam masyarakat Indonesia sendiri dalam praktik
berbangsa dan bernegara belum dijalankan secara maksimal. Lambang Bhinheka Tunggal Ika,
yang mempunyai makna keanekaragamaan dalam persatuan yang nyata ternyata hanya ditekankan
pada kesatuan nya saja dan mengabaikan adanya keaneka ragaman budaya dan masyarakat yang
ada. Pada masa Orde Baru terlihat bagaiman hubungan masyarakat terhadap praktek hidup
kenegaraan tersebut. Hasilnya masyarakat berkeinginan menampilkan identitasnya sebagai
masyarakat berbhineka yang selama Orde Baru telah dipaksa dan ditindas dengan berbagai cara
hanya untuk menggerogoti persatuan bangsa. Disamping itu praktik pendidikan sejak
kemerdekaan sampai era Orde Baru sudah menyepelekan dan mengabaikan kekayaan
kebhinhekaan budaya Indonesia yang hakekatnya merupakan kekuatan dan tenaga dalam suatu
kehidupan demokrasi.
7. Ketika presiden Suharto jatuh dari kekuasaannya, lalu diiringi dengan masa yang disebut
era Reformasi, Indonesia telah mengalami krisis, moneter, ekonomi, politik, agama, disintregasi
yang mengakibatkan terjadinya krisis kultural sangat dalam pada kehidupan bangsa dan negara.
Pada era inilah pendidikan digunakan sebagai alat politik untuk memberlangsungkan kekuasaan
yang memonopoli sistem pendidikan untuk kelompok tertentu. Namun saat itu pendidikan
multikultural dirasa masih belum terlalu penting walaupun realitas agama dan kultur yang sangat
bermacam-macam. Era reformasi berhembus sehingga angin demokrasipun mampu
menghidupkan Kembali semangat wacana pendidikan multikultural sebagai tenaga dan kekuatan
dari bangsa Indonesia. Dalam era ini, pastinya banyak sekali hal yang harus ditinjau kembali. Salah
satunya yang penting dan mesti ditinjau ialah kurikulum dari semua tingkat dan jenis di sekolah,
apakah sudah standar untuk mencapai sarana pengembangan multikultural. Selain problem
tersebut, yang mesti juga ditinjau adalah tentang otonomisasi pendidikan yang diberikan secara
khusus kepada daerah agar pendidikan bisa menjadi tempat bagi perkembangan keberagaman
budaya Indonesia.
Ketika itu pendidikan multikultural bagi negara Indonesia memang sesuatu hal yang baru
dimulai, dan masih belum memiliki pengalaman. Sementara itu otonomi daerahnya juga baru
disampaikan. Sehingga diperlukanlah persiapan dan waktu yang cukup lama untuk mendapatkan
suatu bentuk yang sesuai dan pendekatan yang pas bagi pendidikan multikultural di Indonesia.
Bentuk dan sistem yang pas dan sesuai untuk Indonesia bukan hanya memerlukan pemikiran
intelektual akademik dan analisis budaya atas masyarakat Indonesia yang beragam dan pluralis,
tetapi juga diperlukan adanya kerja keras dan tahan banting untuk melaksanakannya.
Untuk mewujudkan hal penting tersebut, pendidikan multikultural di Indonesia perlu memakai
kombinasi dan kolaborasi model yang ada, sebagaimana yang diajukan Gorski yang mencakup
tiga hal yaitu :
1. transformasi diri
Pada kegiatan ini, pendidikan multicultural mestinya dapat mengarahkan peserta
didik untuk mengubah pikiran dan mindset mereka terhadap pandangan etnosentrisme
yang begitu sempit menjadi pandangan multikultralisme sebagai sebuah keniscayaan
yang menjadi anugerah dan kasih sayang dari Tuhan Yang Maha Esa
2. transformasi sekolah dan proses belajar mengajar,
8. Pada kegiatan ini, pendidikan multicultural seharusnya menjadi prioritas utama
dalam membangun sekaligus mengokohkan kebersamaan diantara berbagai macam
perbedaan. Guru sebagai fasilitator dituntut untuk dapat mengarahkan lalu mendidik
peserta didik kedalam bentuk pembelajaran yang memungkinkan terjadinya hubungan
dialogis yang harmonis dalam mensikapi adanya perbedaan agama, budaya dan kultur.
3. transformasi masyarakat.
Pada kegiatan ini, seharusnya mampu menciptakan tatanan Kelola masyarakat yang
mengutamakan sebuah interaksi yang lurus lagi selaras dan seimbang dalam mensikapi
adanya perbedaan. Masyarakat haruslah ikut mencair dan melebur ke dalam sebuah
masyarakat kosmopolitan yang tidak terlalu memandang akan sikap antipati ketika
berinteraksi dengan kelompok lain, saling menghargai akan adanya keanekaragaman
dalam stuktur sosial masyarakat dan dominansi suatu kelompok terhadap kelompok
lainnya.
9. KESIMPULAN
Pendidikan multicultural adalah tema yang sangat baru dalam dunia pendidikan. Sebelum
peristiwa Perang Dunia ke II, bisa dikatakan pendidikan tersebut belum banyak diketahui orang.
Menurut koentjaraningrat, ada empat tahapan yang membuatnya menjadi ilmu pengetahuan, yaitu
1. Sekitar abad ke 15-16, bangsa eropa melakukan perjalanan dan menemukan berbagai
macam suku dan kebudayaan lain sehinggan menuliskannya pada catatan untuk bahan.
2. Pada tahun 1800-an Bahan setnografi sudah jadi karya tapi masih butuh waktu untuk
mempelajarinya
3. Di awal abad ke 20 Eropa terpaksa belajar demi pemerintahan koloni
4. Setelah tahun 1930-an, Jadi berkembang sangat cepat dan melebur
Sementara itu, H. A. R. Tilaar menyebutkan munculnya pendidikan tersebut karena tiga
proses yaitu : Proses Demokratisasi dalam Masyarakat, Pembangunan Kembali Sesudah Perang
Dunia II, dan Lahirnya Paham Nasionalisme Kultural. Proses-proses tadi berkaitan dengan
interestpolitik, ekonomi, sosial, dan intelektual. Bahkan selain itu juga menyangkut HAM,
merdeka dari kebebasan, dan kepentingan lain-nya.
Maka dari situlah UNESCO membuat beberapa anjuran di jenawa pada tahun 1944 yaitu :
Pendidikan mestinya menerima nilai-nilai keanekaragaman, Pendidikan harusnya meneguhkan
jati diri serta mendorong konvergensi gagasan, dan Pendidikan harus mampu menyelesaikan
konflik dengan damai. Seiring berjalanya pesan tersebut semakin meluaslah pendidikan
multicultural di berbagai negara dianataranya, Amerika, Kanada, Inggris, Jerman, Australia dan
tak terkecuali Asia. Pada saat yang sama Indonesia pun terkena dampaknya pada masa awal
kemerdekaan sampai dengan masa kekuasaan pak soeharto dengan masuknya berbagai migrasi
dari luar meski semboyan nya Bhineka tunggal ika, keanekaragamaan dalam persatuan yang nyata
ternyata hanya ditekankan pada kesatuan nya saja dan mengabaikan adanya keaneka ragaman
budaya dan masyarakat yang ada sehinggan pembangunan bangsa Indonesia pun terhambat.
Saat orde baru mulai runtuh dan kekuasaan bisa diambil maka Era reformasi berhembus
sehingga angin demokrasipun mampu menghidupkan Kembali semangat wacana pendidikan
multikultural sebagai tenaga dan kekuatan dari bangsa Indonesia sekalipun hal ini adalah sesuatu
yang baru dimulai, dan masih belum memiliki pengalaman sehingga harus persiapan dan waktu
10. yang cukup lama untuk mendapatkan suatu bentuk dalam mengimplementasikan pendidikan
multikultural yang sesuai dan pendekatan yang pas bagi bangsa dan negara Indonesia Itu sendiri
karena multikultural tiap negara tidaklah sama sehingga di berbagai negara memiliki coraknya
masing-masing. Namun setidaknya Indonesia perlu memakai kombinasi dan kolaborasi model dari
Gorski tentang transformasi diri, sekolah sekaligus proses belajar mengajar dan transformasi
masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Amrin, Tatang M. 2012. Implementasi Pendekatan Pendidikan Kontekstual berbasis Kearifan
Lokal. Jurnal Pembangunan Pendidikan: Fondasi dan Aplikasi. 1 (1). 1-16
Ibrahim, Ruslan. 2008. Pendidikan Multikultural : Upaya Meminimalisir Konflik dalam Era
Pluralitas Agama. El-tarbawi : Jurnal Pendidikan Islam. 1 (1). 115-127
Khairuddin, Ahmad. 2018. Epistemologi Pendidikan Multikultural Di Indonesia. Ijtimaiyah. 2 (1).
1-19
Nurcahyono, Okta Hadi. 2018. Pendidikan Multikultural Di Indonesia: Analisis Sinkronis Dan
Diakronis. Habitus: Jurnal Pendidikan, Sosiologi dan AntropologiVol. 2 (1). 105-115
Rosyada, Dede. 2014. Pendidikan Multikultural Di Indonesiasebuah Pandangan Konsepsional.
Sosio Didaktika. 1 (1 ). 1-12
Sutarno. 2007. Pendidikan Multikultural. Jakarta : DepDikNas
Yaqin, M.Ainul. 2005. Pendidikan Multikultural; Cross-Cultural Understanding untuk Demokrasi
dan Keadilan. Yogyakarta: Pilar Media