1. Dokumen ini membahas hasil penelitian tentang potensi, kondisi, dan status pemanfaatan terumbu karang di Provinsi Gorontalo.
2. Penelitian ini menganalisis kondisi terumbu karang melalui citra satelit dan survei lapangan untuk mengetahui tingkat penutupan karang, keanekaragaman biota, dan tingkat pemanfaatan sumber daya.
3. Hasilnya berupa peta potensi dan kondisi terumbu karang yang menggambarkan sebar
Struktur komunitas polychaeta pada ekosistem padang lamun pulau parang karimu...Mujiyanto -
Taman Nasional Karimunjawa tersusun atas 3 komponen ekosistem utama, yaitu; ekosistem terumbu karang, lamun dan mangrove. Ketiganya merupakan habitat bagi berbagai jenis organisme, sebagai tempat untuk mencari makan (feeding ground), tempat pembesaran (nursery ground), ataupun tempat memijah (spawning ground). Di antara ketiga ekosistem tersebut, padang lamun merupakan ekosistem yang memiliki peranan penting bagi keberlangsungan hidup biota-biota laut. Cacing laut (kelas Polychaeta) merupakan salah satu biota yang berasosiasi dengan padang lamun. Polychaeta berperan penting sebagai makanan hewan perairan dasar seperti ikan dan udang, pemakan hasil dekomposisi serasah lamun, pemakan bangkai, atau sebagai pemakan bahan organik partikulat, dan sangat baik sebagai indikator perairan karena memiliki jenis dan cara hidup yang sangat beragam. Penelitian ini dilakukan mulai bulan Desember 2012 hingga Juni 2013 pada 3 lokasi di Pulau Parang (P. Kembar, Batu Merah, dan P. Kumbang). Metode yang digunakan dalam pengamatan lamun adalah metode visual menggunakan transek kuadran 1x1 m, sedangkan pengambilan sampel Polychaeta dilakukan menggunakan PVC corer (d = 6 cm, t = 50 cm). Sampel yang diperoleh disaring menggunakan saringan berukuran 0,5 mm kemudian dimasukkan ke dalam botol sampel dan diberi formalin (10%) yang dicampur dengan Rose Bengal (1 gram/20 liter) untuk memberikan warna pada sitoplasma sehingga memudahkan pemilahan di laboratorium. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat 30 jenis Polychaeta dari 15 famili dan 967 individu. Indeks Keanekaragaman (H') termasuk dalam kategori sedang dengan kisaran 2.22 – 2.86. Indeks Keseragaman (E) berkisar antara 0.69 – 0.88,yang termasuk kategori sedang dan tinggi. Sedangkan Indeks Dominansi (C) berkisar antara 0.08 – 0.15 yang menunjukkan bahwa komunitas Polychaeta pada ekosistem padang lamun Pulau Parang cenderung stabil, dan tidak ada jenis yang mendominasi.
Kajian komunitas larva ikan pada ekosistem padang lamun di kawasan pulau para...Mujiyanto -
Kawasan Pulau Parang adalah gugusan pulau di Kepulauan Karimunjawa yang memiliki ekosistem laut yang dinilai masih baik, salah satunya adalah ekosistem lamun yang memiliki fungsi sebagai daerah memijah, daerah asuhan dan daerah mencari makan bagi ikan-ikan di laut. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji komposisi, struktur komunitas juga keterkaitan antara faktor lingkungan dengan keberadaan larva ikan di ekosistem lamun di Kawasan Pulau Parang. Penelitian dilakukan di 5 lokasi di Kawasan Pulau Parang, yakni Legon Boyo, Watu Merah, Pulau Kumbang, Pulau Nyamuk dan Pulau Kembar. Sampling dilakukan pada bulan Juni 2012, September 2012 dan Desember 2012 sebagai perwakilan 3 musim laut, yaitu musim timur, musim peralihan dan musim barat. Sampling larva ikan menggunakan alat modifikasi dari bongonet dengan ukuran mata jaring 500 µm yang ditarik sejauh 50 m sejajar pantai. Larva ikan yang tertangkap selama penelitian sebanyak 375 individu, yang terdiri dari 14 famili dengan dominasi famili Gerreidae (68%), Gobiidae (10,13%), Labridae (8,27%), Blennidae (5,6%) dan Atherinidae (3,47%). Hasil analisa indeks biologi secara temporal, keanekaragaman (H’) larva ikan tertinggi ada di musim peralihan (1,742), nilai keseragaman (E) rendah (0,312) dan nilai dominansi 0,498. Secara spasial, keanekaragaman (H’) tertinggi terdapat di Legonboyo (1,294), Pulau Nyamuk (1,231) dan Pulau Kembar (0,947). Selama kegiatan penelitian berlangsung kualitas perairan suhu 28,5 o C - 31,14 o C; salinitas 29,5 o / oo - 34 o / ; pH 7,5 – 8; DO 3,37 ppt – 12,92 ppt; amonium 0,016 – 0,959 mg/L; Nitrat 0.003 – 0,877 mg/L; Nitrit 0,003 – 0,036 mg/L; Orthofosfat 0,000 – 0,089 mg/L; dan BOT air 0,088 – 244,932. Hasil analisa PCA (Principal Component Analysis) terhadap stasiun menunjukkan bahwa ditiap musimnya, ke 5 stasiun dikelompokkan menjadi 4 kelompok dengan ciri parameternya masing-masing. Parameter perairan nitrit hampir diseluruh lokasi penelitian dimusim barat menunjukkan korelasi negatif terhadap kelimpahan larva ikan.
ANALYSIS OF PHYSICAL-CHEMICAL PARAMETERS FOR MANGROVE ECOSYSTEM REHABILITATIO...Asramid Yasin
Jurnal Presipitasi: Media Komunikasi dan Pengembangan Teknik Lingkungan
https://ejournal.undip.ac.id/index.php/presipitasi/article/view/24994
Abstract: In Southeast Sulawesi rehabilitation of mangrove areas that have been damaged but in reality not all mangrove rehabilitation activities were successful, this was allegedly caused by a mismatch in the type of mangrove and incompatibility of rehabilitation techniques used with environmental conditions or parameters of the local coastal environment. This study is aimed to analyze the condition of coastal environmental parameters in Bungkutoko island, district of Abeli in rehabilitation proposed of mangrove ecosystem and to find a proper rehabilitation strategy for it can be applied in that area. This study was carried on June to July 2009 in the coastal of Bungkutoko island, Abeli district, Kendari Town. Data in this study is analyzed as descriptively for giving common view of that area. The measurement results of several physical-chemical parameters on the coast of Bungkutoko island at stations I, II and III are suitable for mangrove ecosystem rehabilitation activities, which have a slope of the base: flat and sloping, particle size: small substrate, binding capacity of substrate particles: moderate to loose, confinement coastline: protected and semi protected and open, wave: relatively small, sea level deviation: moderate, tidal type: mixture tends to double daily, current speed: weak, sediment suspension: normal and salinity: 25-35 ppt. Also pay attention to the right planting time on the condition of mangrove tree is in having fruits and calm water condition of sea. And for planting technic is propaguls directly planted to the ground and using seeds on the polybags.
Struktur komunitas gastropoda pada ekosistem mangrove di kawasan desa parang,...Mujiyanto -
Gastropoda adalah salah satu kelas moluska yang sangat mudah ditemukan di ekosistem mangrove. Di ekosistem ini, gastropoda berperan dalam membantu proses dekomposisi serasah. Informasi tentang struktur komunitas gastropoda pada ekosistem mangrove di Kawasan Desa Parang belum ada, sehingga perlu adanya kajian tentang struktur komunitas gastropoda di kawasan tersebut sebagai acuan untuk pengelolaan. Pada bulan Juni-Desember 2012 telah dilakukan penelitian tentang struktur komunitas gastropoda di Kawasan Desa Parang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa di ekosistem mangrove Kawasan Desa Parang ditemukan 29 jenis dari 16 famili gastropoda. Kelimpahan rata-rata gastropoda berkisar antara 2,10–18,85 ind/m 2 . Indeks keanekaragaman berkisar antara 0,35–1,45 yang termasuk dalam kategori rendah sampai sedang. Nilai Indeks Keseragaman masuk dalam kategori rendah sampai tinggi dengan nilai berkisar antara 0,12–0,62 dan kisaran Indeks Dominasi antara 0,50–0,84 masuk dalam kategori terdapat spesies yang mendominasi. Littoraria scabra adalah jenis gastropoda yang mendominasi di ekosistem mangrove Kawasan Desa Parang.
Struktur komunitas polychaeta pada ekosistem padang lamun pulau parang karimu...Mujiyanto -
Taman Nasional Karimunjawa tersusun atas 3 komponen ekosistem utama, yaitu; ekosistem terumbu karang, lamun dan mangrove. Ketiganya merupakan habitat bagi berbagai jenis organisme, sebagai tempat untuk mencari makan (feeding ground), tempat pembesaran (nursery ground), ataupun tempat memijah (spawning ground). Di antara ketiga ekosistem tersebut, padang lamun merupakan ekosistem yang memiliki peranan penting bagi keberlangsungan hidup biota-biota laut. Cacing laut (kelas Polychaeta) merupakan salah satu biota yang berasosiasi dengan padang lamun. Polychaeta berperan penting sebagai makanan hewan perairan dasar seperti ikan dan udang, pemakan hasil dekomposisi serasah lamun, pemakan bangkai, atau sebagai pemakan bahan organik partikulat, dan sangat baik sebagai indikator perairan karena memiliki jenis dan cara hidup yang sangat beragam. Penelitian ini dilakukan mulai bulan Desember 2012 hingga Juni 2013 pada 3 lokasi di Pulau Parang (P. Kembar, Batu Merah, dan P. Kumbang). Metode yang digunakan dalam pengamatan lamun adalah metode visual menggunakan transek kuadran 1x1 m, sedangkan pengambilan sampel Polychaeta dilakukan menggunakan PVC corer (d = 6 cm, t = 50 cm). Sampel yang diperoleh disaring menggunakan saringan berukuran 0,5 mm kemudian dimasukkan ke dalam botol sampel dan diberi formalin (10%) yang dicampur dengan Rose Bengal (1 gram/20 liter) untuk memberikan warna pada sitoplasma sehingga memudahkan pemilahan di laboratorium. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat 30 jenis Polychaeta dari 15 famili dan 967 individu. Indeks Keanekaragaman (H') termasuk dalam kategori sedang dengan kisaran 2.22 – 2.86. Indeks Keseragaman (E) berkisar antara 0.69 – 0.88,yang termasuk kategori sedang dan tinggi. Sedangkan Indeks Dominansi (C) berkisar antara 0.08 – 0.15 yang menunjukkan bahwa komunitas Polychaeta pada ekosistem padang lamun Pulau Parang cenderung stabil, dan tidak ada jenis yang mendominasi.
Kajian komunitas larva ikan pada ekosistem padang lamun di kawasan pulau para...Mujiyanto -
Kawasan Pulau Parang adalah gugusan pulau di Kepulauan Karimunjawa yang memiliki ekosistem laut yang dinilai masih baik, salah satunya adalah ekosistem lamun yang memiliki fungsi sebagai daerah memijah, daerah asuhan dan daerah mencari makan bagi ikan-ikan di laut. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji komposisi, struktur komunitas juga keterkaitan antara faktor lingkungan dengan keberadaan larva ikan di ekosistem lamun di Kawasan Pulau Parang. Penelitian dilakukan di 5 lokasi di Kawasan Pulau Parang, yakni Legon Boyo, Watu Merah, Pulau Kumbang, Pulau Nyamuk dan Pulau Kembar. Sampling dilakukan pada bulan Juni 2012, September 2012 dan Desember 2012 sebagai perwakilan 3 musim laut, yaitu musim timur, musim peralihan dan musim barat. Sampling larva ikan menggunakan alat modifikasi dari bongonet dengan ukuran mata jaring 500 µm yang ditarik sejauh 50 m sejajar pantai. Larva ikan yang tertangkap selama penelitian sebanyak 375 individu, yang terdiri dari 14 famili dengan dominasi famili Gerreidae (68%), Gobiidae (10,13%), Labridae (8,27%), Blennidae (5,6%) dan Atherinidae (3,47%). Hasil analisa indeks biologi secara temporal, keanekaragaman (H’) larva ikan tertinggi ada di musim peralihan (1,742), nilai keseragaman (E) rendah (0,312) dan nilai dominansi 0,498. Secara spasial, keanekaragaman (H’) tertinggi terdapat di Legonboyo (1,294), Pulau Nyamuk (1,231) dan Pulau Kembar (0,947). Selama kegiatan penelitian berlangsung kualitas perairan suhu 28,5 o C - 31,14 o C; salinitas 29,5 o / oo - 34 o / ; pH 7,5 – 8; DO 3,37 ppt – 12,92 ppt; amonium 0,016 – 0,959 mg/L; Nitrat 0.003 – 0,877 mg/L; Nitrit 0,003 – 0,036 mg/L; Orthofosfat 0,000 – 0,089 mg/L; dan BOT air 0,088 – 244,932. Hasil analisa PCA (Principal Component Analysis) terhadap stasiun menunjukkan bahwa ditiap musimnya, ke 5 stasiun dikelompokkan menjadi 4 kelompok dengan ciri parameternya masing-masing. Parameter perairan nitrit hampir diseluruh lokasi penelitian dimusim barat menunjukkan korelasi negatif terhadap kelimpahan larva ikan.
ANALYSIS OF PHYSICAL-CHEMICAL PARAMETERS FOR MANGROVE ECOSYSTEM REHABILITATIO...Asramid Yasin
Jurnal Presipitasi: Media Komunikasi dan Pengembangan Teknik Lingkungan
https://ejournal.undip.ac.id/index.php/presipitasi/article/view/24994
Abstract: In Southeast Sulawesi rehabilitation of mangrove areas that have been damaged but in reality not all mangrove rehabilitation activities were successful, this was allegedly caused by a mismatch in the type of mangrove and incompatibility of rehabilitation techniques used with environmental conditions or parameters of the local coastal environment. This study is aimed to analyze the condition of coastal environmental parameters in Bungkutoko island, district of Abeli in rehabilitation proposed of mangrove ecosystem and to find a proper rehabilitation strategy for it can be applied in that area. This study was carried on June to July 2009 in the coastal of Bungkutoko island, Abeli district, Kendari Town. Data in this study is analyzed as descriptively for giving common view of that area. The measurement results of several physical-chemical parameters on the coast of Bungkutoko island at stations I, II and III are suitable for mangrove ecosystem rehabilitation activities, which have a slope of the base: flat and sloping, particle size: small substrate, binding capacity of substrate particles: moderate to loose, confinement coastline: protected and semi protected and open, wave: relatively small, sea level deviation: moderate, tidal type: mixture tends to double daily, current speed: weak, sediment suspension: normal and salinity: 25-35 ppt. Also pay attention to the right planting time on the condition of mangrove tree is in having fruits and calm water condition of sea. And for planting technic is propaguls directly planted to the ground and using seeds on the polybags.
Struktur komunitas gastropoda pada ekosistem mangrove di kawasan desa parang,...Mujiyanto -
Gastropoda adalah salah satu kelas moluska yang sangat mudah ditemukan di ekosistem mangrove. Di ekosistem ini, gastropoda berperan dalam membantu proses dekomposisi serasah. Informasi tentang struktur komunitas gastropoda pada ekosistem mangrove di Kawasan Desa Parang belum ada, sehingga perlu adanya kajian tentang struktur komunitas gastropoda di kawasan tersebut sebagai acuan untuk pengelolaan. Pada bulan Juni-Desember 2012 telah dilakukan penelitian tentang struktur komunitas gastropoda di Kawasan Desa Parang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa di ekosistem mangrove Kawasan Desa Parang ditemukan 29 jenis dari 16 famili gastropoda. Kelimpahan rata-rata gastropoda berkisar antara 2,10–18,85 ind/m 2 . Indeks keanekaragaman berkisar antara 0,35–1,45 yang termasuk dalam kategori rendah sampai sedang. Nilai Indeks Keseragaman masuk dalam kategori rendah sampai tinggi dengan nilai berkisar antara 0,12–0,62 dan kisaran Indeks Dominasi antara 0,50–0,84 masuk dalam kategori terdapat spesies yang mendominasi. Littoraria scabra adalah jenis gastropoda yang mendominasi di ekosistem mangrove Kawasan Desa Parang.
Struktur komunitas juvenil ikan pada ekosistem padang lamun di kawasan perair...Mujiyanto -
Ekosistem lamun sangat berperan dalam kelangsungan hidup juvenil ikan, dimana padang lamun sebagai daerah asuhan (nursery ground) merupakan tempat yang tepat bagi biota-biota laut yang masih muda atau masih dalam tahap juvenil untuk bertahan hidup. Kelimpahan dan struktur komunitas juvenile ikan pada ekosistem lamun dapat berubah-ubah menurut waktu, dan dipengaruhi juga oleh beberapa faktor lingkungan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui struktur komunitas juvenil ikan di padang lamun pada kawasan perairan Pulau Parang, Kepulauan Karimunjawa. Penelitian dilakukan pada bulan Juni, September dan Desember 2012 (Musim Timur, Peralihan dan Barat). Pengambilan sampel juvenil ikan diambil dengan small beam trawl di lima stasiun penelitian dengan menggunakan metode purposive sampling method. Selanjutnya pengambilan sampel lamun menggunakan metode transek kuadran 1x1 meter. Hasil penelitian menunjukan bahwa juvenil ikan di padang lamun dalam 3 kali sampling berhasil didapat 683 individu, terdiri dari 16 famili dengan 42 spesiesi. Indeks keanekaragaman berkisar antara 0,25-4,74 dimana indeks keanekaragaman tertinggi pada stasiun Pulau Kembar sbesar 4,74 dengan 15 spesies. Hal ini juga didukung oleh persentase penutupan lamun tertinggi di stasiun Pulau Kembar sebesar 99,80 %.
Telah dilakukan penelitian pada bulan November - Januari 2018 dikawasan Hutan Lindung Angke Kapuk (HLAK), Jakarta. Luas hutan Mangrove di kawasan HLAK mencapai luasan 44,76 Ha. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Biodiversitas Gastropoda sebagai Bioindikator kualitas perairan di kawasan mangrove Hutan Lindung Angke Kapuk (HLAK), Jakarta. Pengambilan sampel ditentukan secara Random Sampling, dimana lokasi terdiri dari 3 stasiun pengamatan. Pengamatan tiap stasiun dilakukan dengan menggunakan metode transek dengan ukuran 10 x 10 m. Analisis data yang dilakukan meliputi keanekaragaman dan Bioindikator kualitas air berdasarkan indeks keanekaragaman. Hasil penelitian pada 3 Stasiun ditemukan 4 jenis Mollusca yang mewakili 2 famili dari kelas Gastropoda, yakni Cassidula aurisfelis, Ellobium aurismidae, Pythia Sp, dan Littoraria Scabra. Keanekaragaman Gastropoda dihitung dengan menggunakan indeks Shannon-Weiner (H’). Keanekaragaman Gastropoda dihitung dengan menggunakan indeks Shannon-Weiner dengan hasil berkisar antara 0,37 – 0,54 masuk dalam kategori rendah. Kualitas perairan dengan menggunakan indeks keanekaragaman menunjukan bahwa kawasan mangrove Hutan Lindung Angke Kapuk (HLAK) memiliki kualitas air sangat tercemar yang mana sumber pengaruhnya berasal dari limbah sampah.
Laporan hasil magang muhammad halim 120254241031 tekn ik transplantasi lamunmuhammad halim
Padang lamun merupakan salah satu ekosistem pesisir yang sangat produktif dan bersifat dinamik. Faktor-faktor lingkungan yaitu faktor fisik, kimia, dan biologi secara langsung berpengaruh terhadap ekosistem padang lamun. Padang lamun menyediakan habitat bagi banyak hewan laut dan bertindak sebagai penyeimbang substrat, (McKenzie, 2008; Wulandari, dkk, 2013).
McKenzie, 2008; Wulandari, 2013, hampir 54 % padang lamun di seluruh dunia telah hilang. Hilangnya padang lamun secara global terjadi sejak tahun 1980, atau bisa dikatakan setiap jamnya lamun seluas 2 lapangan bola hilang.
Padang lamun di Indonesia yang diperkirakan seluas sekitar 30.000 km2 (Nontji, Trismades). Namun di Indonesia ekosistem lamun sudah banyak terancam baik oleh aktivitas alami maupun oleh aktivitas manusia. Penyebab utama hilangnya padang lamun adalah kegiatan manusia termasuk kerusakan secara mekanis (pengerukan dan jangkar), pengendapan, dan pengaruh pembangunan konstruksi daerah pesisir. Hilangnya padang lamun diduga akan terus bertambah akibat tekanan pertumbuhan penduduk di daerah pesisir (Koswara, 2009; Wulandari, dkk, 2013).
Melihat kerusakan yang terus terjadi pada padang lamun baik karena aktivitas alami maupun karena aktvitas manusia, maka perlu dilakukan usaha rehabilitasi untuk mengembalikan kondisi padang lamun menjadi lebih baik. Salah satu usaha rehabilitasi padang lamun adalah kegiatan transplantasi lamun. Transplantasi lamun belum banyak berkembang di Indonesia, namun telah berkembang di luar negeri dengan metode dan jenis yang berbeda.
STATUS PEMANFAATAN DAN STRATEGI PENGELOLAAN IKAN HIAS ANGEL NAPOLEON Pomacanthus xanthometopon
DI SULAWESI SELATAN
Hasil penelitian ini menunujukkan bahwa kondisi tutupan karang di tiga lokasi menunjukkan kategori sedang sampai baik. Penelitian ini menunjukkan kelimpahan ikan injel napoleon tidak berkorelasi positif dengan tutupan karang hidup dengan tutupan karang hidup tetapi keberadaannya dipengaruhi oleh bentuk pertumbuhan karang yaitu di antara celah karang bercabang, submasive dan masive. Struktur ukuran ikan injel napoleon yang tertangkap masih muda, gonadnya belum berkembang. Hubungan panjang berat bersifat allometrik, kecepatan pertumbuhan lambat dengan panjang maksimum 41,7 cm pada umur 13 tahun. Status pemanfaatan ikan injel napoleon diduga telah melampaui hasil tangkapan lestari (MSY). Kurva penawaran injel napoleon melengkung membalik (backward bending supply curve) menunjukkan bahwa supplai semakin menurun walaupun harga ikan meningkat karena diduga stok semakin berkurang.
Indonesia memiliki kawasan karst terluas di Asia Tenggara yakni 142.000 km2 dan sekitar 15%-nya masuk dalam kawasan lindung (Clements et al 2006). Luasan karst tersebut belum banyak diungkap kekayaannya. Eksplorasi dan penelitian kawasan karst di Indonesia umumnya dilakukan oleh negara lain (Perancis, Inggris, Australia, Italia, dan lain-lain).
Study of Tidal Characteristics in The South and North Coastal of Sumenep Rege...Luhur Moekti Prayogo
Sumenep is one of Madura's regencies, which has many islands with a wealth and diversity of natural resources, especially in its marine and coastal areas. With many islands owned, sea transportation in Sumenep is of great importance in the regency. One of the crucial aspects that must be considered related to this transportation is tidal information. This study aims to determine the tidal characteristics in the South and North Coast of Sumenep Regency using the Least Square method. The tide data used in February and September 2020 were obtained from the Geospatial Information Agency (BIG) with an observation interval of one hour. This time was chosen because it represents monsoons' occurrence in Indonesia in the annual season, namely the dry and rainy seasons. The results of this study indicate that the southern coastal area (Giligenting District) has a mixed tidal type, tends to be semi-diurnal with Formzahl numbers of 0.86 and 1.29 (0.25 <F £ 1.5). In comparison, the North coast (Dasuk District) has a Diurnal tidal type with Formzahl numbers of 3.64 and 4.30 (F > 3.0). The different tides are due to the sampling's location representing different geographical conditions, namely open waters (North Coast) and closed waters (Pesisir Selatan). The elevation parameters obtained still need supporting data such as waves, currents, and bathymetry used by policymakers for safety in using sea transportation.
Struktur komunitas juvenil ikan pada ekosistem padang lamun di kawasan perair...Mujiyanto -
Ekosistem lamun sangat berperan dalam kelangsungan hidup juvenil ikan, dimana padang lamun sebagai daerah asuhan (nursery ground) merupakan tempat yang tepat bagi biota-biota laut yang masih muda atau masih dalam tahap juvenil untuk bertahan hidup. Kelimpahan dan struktur komunitas juvenile ikan pada ekosistem lamun dapat berubah-ubah menurut waktu, dan dipengaruhi juga oleh beberapa faktor lingkungan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui struktur komunitas juvenil ikan di padang lamun pada kawasan perairan Pulau Parang, Kepulauan Karimunjawa. Penelitian dilakukan pada bulan Juni, September dan Desember 2012 (Musim Timur, Peralihan dan Barat). Pengambilan sampel juvenil ikan diambil dengan small beam trawl di lima stasiun penelitian dengan menggunakan metode purposive sampling method. Selanjutnya pengambilan sampel lamun menggunakan metode transek kuadran 1x1 meter. Hasil penelitian menunjukan bahwa juvenil ikan di padang lamun dalam 3 kali sampling berhasil didapat 683 individu, terdiri dari 16 famili dengan 42 spesiesi. Indeks keanekaragaman berkisar antara 0,25-4,74 dimana indeks keanekaragaman tertinggi pada stasiun Pulau Kembar sbesar 4,74 dengan 15 spesies. Hal ini juga didukung oleh persentase penutupan lamun tertinggi di stasiun Pulau Kembar sebesar 99,80 %.
Telah dilakukan penelitian pada bulan November - Januari 2018 dikawasan Hutan Lindung Angke Kapuk (HLAK), Jakarta. Luas hutan Mangrove di kawasan HLAK mencapai luasan 44,76 Ha. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Biodiversitas Gastropoda sebagai Bioindikator kualitas perairan di kawasan mangrove Hutan Lindung Angke Kapuk (HLAK), Jakarta. Pengambilan sampel ditentukan secara Random Sampling, dimana lokasi terdiri dari 3 stasiun pengamatan. Pengamatan tiap stasiun dilakukan dengan menggunakan metode transek dengan ukuran 10 x 10 m. Analisis data yang dilakukan meliputi keanekaragaman dan Bioindikator kualitas air berdasarkan indeks keanekaragaman. Hasil penelitian pada 3 Stasiun ditemukan 4 jenis Mollusca yang mewakili 2 famili dari kelas Gastropoda, yakni Cassidula aurisfelis, Ellobium aurismidae, Pythia Sp, dan Littoraria Scabra. Keanekaragaman Gastropoda dihitung dengan menggunakan indeks Shannon-Weiner (H’). Keanekaragaman Gastropoda dihitung dengan menggunakan indeks Shannon-Weiner dengan hasil berkisar antara 0,37 – 0,54 masuk dalam kategori rendah. Kualitas perairan dengan menggunakan indeks keanekaragaman menunjukan bahwa kawasan mangrove Hutan Lindung Angke Kapuk (HLAK) memiliki kualitas air sangat tercemar yang mana sumber pengaruhnya berasal dari limbah sampah.
Laporan hasil magang muhammad halim 120254241031 tekn ik transplantasi lamunmuhammad halim
Padang lamun merupakan salah satu ekosistem pesisir yang sangat produktif dan bersifat dinamik. Faktor-faktor lingkungan yaitu faktor fisik, kimia, dan biologi secara langsung berpengaruh terhadap ekosistem padang lamun. Padang lamun menyediakan habitat bagi banyak hewan laut dan bertindak sebagai penyeimbang substrat, (McKenzie, 2008; Wulandari, dkk, 2013).
McKenzie, 2008; Wulandari, 2013, hampir 54 % padang lamun di seluruh dunia telah hilang. Hilangnya padang lamun secara global terjadi sejak tahun 1980, atau bisa dikatakan setiap jamnya lamun seluas 2 lapangan bola hilang.
Padang lamun di Indonesia yang diperkirakan seluas sekitar 30.000 km2 (Nontji, Trismades). Namun di Indonesia ekosistem lamun sudah banyak terancam baik oleh aktivitas alami maupun oleh aktivitas manusia. Penyebab utama hilangnya padang lamun adalah kegiatan manusia termasuk kerusakan secara mekanis (pengerukan dan jangkar), pengendapan, dan pengaruh pembangunan konstruksi daerah pesisir. Hilangnya padang lamun diduga akan terus bertambah akibat tekanan pertumbuhan penduduk di daerah pesisir (Koswara, 2009; Wulandari, dkk, 2013).
Melihat kerusakan yang terus terjadi pada padang lamun baik karena aktivitas alami maupun karena aktvitas manusia, maka perlu dilakukan usaha rehabilitasi untuk mengembalikan kondisi padang lamun menjadi lebih baik. Salah satu usaha rehabilitasi padang lamun adalah kegiatan transplantasi lamun. Transplantasi lamun belum banyak berkembang di Indonesia, namun telah berkembang di luar negeri dengan metode dan jenis yang berbeda.
STATUS PEMANFAATAN DAN STRATEGI PENGELOLAAN IKAN HIAS ANGEL NAPOLEON Pomacanthus xanthometopon
DI SULAWESI SELATAN
Hasil penelitian ini menunujukkan bahwa kondisi tutupan karang di tiga lokasi menunjukkan kategori sedang sampai baik. Penelitian ini menunjukkan kelimpahan ikan injel napoleon tidak berkorelasi positif dengan tutupan karang hidup dengan tutupan karang hidup tetapi keberadaannya dipengaruhi oleh bentuk pertumbuhan karang yaitu di antara celah karang bercabang, submasive dan masive. Struktur ukuran ikan injel napoleon yang tertangkap masih muda, gonadnya belum berkembang. Hubungan panjang berat bersifat allometrik, kecepatan pertumbuhan lambat dengan panjang maksimum 41,7 cm pada umur 13 tahun. Status pemanfaatan ikan injel napoleon diduga telah melampaui hasil tangkapan lestari (MSY). Kurva penawaran injel napoleon melengkung membalik (backward bending supply curve) menunjukkan bahwa supplai semakin menurun walaupun harga ikan meningkat karena diduga stok semakin berkurang.
Indonesia memiliki kawasan karst terluas di Asia Tenggara yakni 142.000 km2 dan sekitar 15%-nya masuk dalam kawasan lindung (Clements et al 2006). Luasan karst tersebut belum banyak diungkap kekayaannya. Eksplorasi dan penelitian kawasan karst di Indonesia umumnya dilakukan oleh negara lain (Perancis, Inggris, Australia, Italia, dan lain-lain).
Study of Tidal Characteristics in The South and North Coastal of Sumenep Rege...Luhur Moekti Prayogo
Sumenep is one of Madura's regencies, which has many islands with a wealth and diversity of natural resources, especially in its marine and coastal areas. With many islands owned, sea transportation in Sumenep is of great importance in the regency. One of the crucial aspects that must be considered related to this transportation is tidal information. This study aims to determine the tidal characteristics in the South and North Coast of Sumenep Regency using the Least Square method. The tide data used in February and September 2020 were obtained from the Geospatial Information Agency (BIG) with an observation interval of one hour. This time was chosen because it represents monsoons' occurrence in Indonesia in the annual season, namely the dry and rainy seasons. The results of this study indicate that the southern coastal area (Giligenting District) has a mixed tidal type, tends to be semi-diurnal with Formzahl numbers of 0.86 and 1.29 (0.25 <F £ 1.5). In comparison, the North coast (Dasuk District) has a Diurnal tidal type with Formzahl numbers of 3.64 and 4.30 (F > 3.0). The different tides are due to the sampling's location representing different geographical conditions, namely open waters (North Coast) and closed waters (Pesisir Selatan). The elevation parameters obtained still need supporting data such as waves, currents, and bathymetry used by policymakers for safety in using sea transportation.
Ini merupakan contoh kertas kerja untuk membuat program di universiti..
TIPS utk lulus kertas kerja program:
-Penggunaan VOT berdasarkan pekeliling yg lengkap.
-Mempunyai Kemahiran Insaniah (KI)
-Tentatif prgram yg lengkap
Monitoring Sebaran dan Tutupan Komponen Dasar Terumbu Karang Serta Identifikasi Batas Wilayah pada DPL (Daerah Perlindungan Laut) Desa Patikarya di Wilayah Kerja COREMAP II
Kabupaten Selayar
Paper Vertion: Kondisi Ekosistem Terumbu Karang Serta Strategi Pengelolaannya...Mujiyanto -
Penelitian dilakukan di perairan Pulau Rakit dan Pulau Ganteng di perairan Teluk Saleh Nusa Tenggara Barat pada tahun 2005 dengan waktu pelaksanaan pada bulan Mei dan Oktber 2005. Berdasarkan informasi dari nelayan, terumbu karang di perairan Teluk Saleh, Nusa Tenggara Barat (NTB) sudah mengalami banyak kerusakan, terutama pada perairan yang dangkal yaitu pada kedalaman kurang dari 15 meter. Pengamatan dan perhitungan persentase penutupan karang dilakukan dengan menggunakan metode Line Intercef Transect (LIT). Kerusakan terumbu karang tersebut akibat dari kegiatan penangkapan ikan dengan cara-cara penangkapan yang tidak ramah lingkungan. Kondisi terumbu karang hidup pada kategori sedang, penutupan karang dalam kategori karang rusak. Adapun Strategi pengelolaan terumbu karang berdasarkan permasalah yang ditemukan di lokasi, secara garis besarnya adalah dengan memberdayakan masyarakat pesisir yang secara langsung bergantung pada pengelolaan terumbu karang, mengurangi laju degradasi kondisi terumbu karang yang ada pada saat ini serta mengelola terumbu karang berdasarkan karakteristik ekosistem, potensi, pemanfaatan dan status hukumnya.
Status usaha perikanan tangkap di calon zona rehabilitasi terumbu karang di t...Mujiyanto -
Kawasan konservasi laut merupakan areal laut yamg sangat luas yang dikelola dengan sistem zonasi, adapun zonasi tersebut antara lain zona pemanfaatan tradisional sumberdaya alam hayati secara lestari, zona pemanfaatan komersial terbatas, zona perlindungan ketat habitat dan zona pengembangan kepariwisataan. Tujuan dari makalah ini adalah mengidentifikasi status usaha perikanan tangkap di calon zona rehabilitasi habitat terumbu karang yang merupakan bagian dari zona pemanfaatan zona pemanfaatan tradisional sumberdaya alam hayati secara lestari di Pulau Rakit dan Pulau Ganteng, Teluk Saleh Kabupaten Subawa Besar. Dengan menggunakan pendekatan survei sosial. Rensponden diambil dari secara purposive sampling dengan jumlah 10 % n+1 dari data total populasi. Alat analisis yang digunakan meliputi alat analisis keuntungan, perimbangan manfaat dan biaya (revenue cost ratio), dan produktifitas kerja. Nilai CPUE masing-masing alat tangkap dominan adalah pancing (650 kg/unit/trip), bubu (1,24 kg/unit/trip), jaring tarik (75 kg/unit/trip), bagan perahu (650 kg/unit/trip), dan rawai (10 kg/unit/trip). Hasil analisis usaha menunjukkan bahwa usaha penangkapan ikan di lokasi penelitian cukup menguntungkan, dimana alat tangkap rawai dasar memiliki tingkat keuntungan yang paling tinggi. Sedangkan alat tangkap bagan perahu merupakan alat tangkap yang memiliki produktifitas kerja paling tinggi.
ANALISIS PARAMETER FISIKA-KIMIA UNTUK KEPENTINGAN REHABILITASI EKOSISTEM MANG...Asramid Yasin
Jurnal Green Growth dan Manajemen Lingkungan
http://journal.unj.ac.id/unj/index.php/jgg/article/view/9048
Abstrak: Di beberapa tempat telah dilakukan rehabilitasi terhadap kawasan mangrove yang telah rusak namun pada kenyataannya tidak semua kegiatan rehabilitasi mangrove berhasil dilakukan. Penelitian ini bertujuan mengetahui kondisi parameter lingkungan perairan pantai Bungkutoko Kecamatan Abeli sesuai untuk kegiatan rehabilitasi ekosistem mangrove dan menentukan strategi rehabilitasi yang tepat untuk diterapkan di perairan pantai Bungkutoko Kecamatan Abeli. Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Juni-Juli 2009 bertempat di pesisir pulau Bungkutoko Kecamatan Abeli Kabupaten Kendari Sulawesi Tenggara. Data yang diperoleh dalam penelitian ini dianalisis secara deskriptif. Dari hasil pengukuran beberapa parameter fisika-kimia di pesisir pulau Bungkutoko Kecamatan Abeli Kota Kendari yang diperoleh sesuai untuk dilakukan kegiatan rehabilitasi ekosistem mangrove dengan memperhatikan waktu penanaman yang tepat yaitu ketika musim berbuah mangrove dan musim teduh dan menggunakan teknik penanaman secara langsung menggunakan propagul dan penanaman menggunakan anakan (bibit dalam polybag).
Status Pemanfaatan Berdasarkan ukuran ikan hias injel napoleon (Pomacanthus ...Dr. Mauli Kasmi
Pemanfaatan jenis ikan Injel Napoleon sudah melampaui produksi lestari karena merupakan hewan target oleh nelayan sehingga semua ukuran dimanfaatkan untuk kebutuhan akuraium laut
KOMPOSISI DAN DISTRIBUSI PLANKTON DI PERAIRAN TELUK SEMARANGMustain Adinugroho
Abstrak: Teluk Semarang merupakan teluk yang terbentang dari Kabupaten Kendal, hingga Kabupaten Demak . Teluk Semarang merupakan teluk terbesar di pantai utara Jawa Tengah dan tercatat terdapat 29 aliran sungai bermuara ke teluk ini. Banyak aktifitas manusia seperti industri, pemukiman dan pelabuhan bermuara di teluk ini yag berpotensi menjadi tekanan ingkungan bagi organisme yang hidup di teluk ini. Plankton merupakan organisme yang hidup di perairan dan sangat bergantung pada kondisi lingkungan dan merupakan sumber makanan alami bagi ikan dan organisme laut lainnya. Mengkaji kelimpahan dan indeks diversitas plankton menjadi tujuan dari penelitian ini. Penelitian dilakukan pada bulan SeptemberOktober 2014 pada 15 stasiun. Pengambilan sampel dilakukan sebanyak 4 kali, dengan interval waktu 2 minggu. Hasil menunjukkan bahwa jenis fitoplankton terdiri dari 6 kelas dan 37 genera sedangkan zooplankton yang ditemukan terdiri dari 6 kelas dan 32 genera. Kelimpahan fitoplankton lebih banyak daripada zooplankton dan memiliki kecederungan hubungan yang berbanding terbalik. Indeks diversitas fitoplankton menunjukkan tingkat keragaman, kesetabilan komunitas dan tekanan lingkungan berada pada tingkat rendah hingga sedang, tingkat keseragaman jumlah tiap jenis tidak sama dan terdapat kecenderungan dominasi jenis tertentu. Indeks diversitas zooplankton menunjukkan tingkat keragaman, kesetabilan komunitas dan tekanan lingkungan berada pada tingkat sedang, tingkat keseragaman jumlah tiap jenis sama dan tidak terdapat kecenderungan dominasi jenis tertentu
Kata Kunci: plankton, distribusi dan komposisi, teluk Semarang
s e b u a h m a t e r i t e n t a n g s i s t e m zo n a asi ka wasan konservasi di sebuah wilayah perairan s e b u a h m a t e r i t e n t a n g s i s t e m zo n a asi ka wasan konservasi di sebuah wilayah perairan s e b u a h m a t e r i t e n t a n g s i s t e m zo n a asi ka wasan konservasi di sebuah wilayah perairan s e b u a h m a t e r i t e n t a n g s i s t e m zo n a asi ka wasan konservasi di sebuah wilayah perairan s e b u a h m a t e r i t e n t a n g s i s t e m zo n a asi ka wasan konservasi di sebuah wilayah perairan s e b u a h m a t e r i t e n t a n g s i s t e m zo n a asi ka wasan konservasi di sebuah wilayah perairan s e b u a h m a t e r i t e n t a n g s i s t e m zo n a asi ka wasan konservasi di sebuah wilayah perairan s e b u a h m a t e r i t e n t a n g s i s t e m zo n a asi ka wasan konservasi di sebuah wilayah perairan s e b u a h m a t e r i t e n t a n g s i s t e m zo n a asi ka wasan konservasi di sebuah wilayah perairan s e b u a h m a t e r i t e n t a n g s i s t e m zo n a asi ka wasan konservasi di sebuah wilayah perairan s e b u a h m a t e r i t e n t a n g s i s t e m zo n a asi ka wasan konservasi di sebuah wilayah perairan s e b u a h m a t e r i t e n t a n g s i s t e m zo n a asi ka wasan konservasi di sebuah wilayah perairan s e b u a h m a t e r i t e n t a n g s i s t e m zo n a asi ka wasan konservasi di sebuah wilayah perairan s e b u a h m a t e r i t e n t a n g s i s t e m zo n a asi ka wasan konservasi di sebuah wilayah perairan s e b u a h m a t e r i t e n t a n g s i s t e m zo n a asi ka wasan konservasi di sebuah wilayah perairan s e b u a h m a t e r i t e n t a n g s i s t e m zo n a asi ka wasan konservasi di sebuah wilayah perairan s e b u a h m a t e r i t e n t a n g s i s t e m zo n a asi ka wasan konservasi di sebuah wilayah perairan s e b u a h m a t e r i t e n t a n g s i s t e m zo n a asi ka wasan konservasi di sebuah wilayah perairan s e b u a h m a t e r i t e n t a n g s i s t e m zo n a asi ka wasan konservasi di sebuah wilayah perairan s e b u a h m a t e r i t e n t a n g s i s t e m zo n a asi ka wasan konservasi di sebuah wilayah perairan s e b u a h m a t e r i t e n t a n g s i s t e m zo n a asi ka wasan konservasi di sebuah wilayah perairan s e b u a h m a t e r i t e n t a n g s i s t e m zo n a asi ka wasan konservasi di sebuah wilayah perairan s e b u a h m a t e r i t e n t a n g s i s t e m zo n a asi ka wasan konservasi di sebuah wilayah perairan s e b u a h m a t e r i t e n t a n g s i s t e m zo n a asi ka wasan konservasi di sebuah wilayah perairan s e b u a h m a t e r i t e n t a n g s i s t e m zo n a asi ka wasan konservasi di sebuah wilayah perairan s e b u a h m a t e r i t e n t a n g s i s t e m zo n a asi ka wasan konservasi di sebuah wilayah perairan s e b u a h m a t e r i t e n t a n g s i s t e m zo n a asi ka wasan konservasi di sebuah wilayah perairans e b u a h m a t e r i t e n t a n g s i s t e m zo n a asi ka wasan konservasi di s
1. Ringkasan Eksekutif : Kajian Tentang Potensi, Kondisi, dan Status Pemanfaatan Terumbu Karang
KATA PENGANTAR
Penelitian ini menyangkut “Kajian Tentang Potensi, Kondisi, dan Status
Pemanfaatan Terumbu Karang” yang dilakukan di Provinsi Gorontalo, baik di pantai utara
(Laut Sulawesi) maupun yang ada di pantai selatan (Teluk Tomini). Untuk
menyelamatkan dan lebih memberdayakan potensi sumberdaya terumbu karang yang
demikian besar secara optimal dan berkesinambungan, dibutuhkan data aktual tentang
potensi dan kondisi sumberdaya ekosistem tersebut. Data tentang potensi dan kondisi
ekosistem terumbu karang dapat diperoleh melalui pengukuran langsung di lapangan dan
didukung oleh data penginderaan jauh berupa citra satelit. Masih banyaknya daerah di
Indonesia, termasuk Gorontalo, yang belum mengetahui secara lebih detail tentang
kondisi dan potensi ekosistem terumbu karangnya terutama disebabkan oleh lemahnya
SDM yang dapat melakukan penelitian bawah laut yang relatif sulit ini.
Hasil penelitian ini merupakan upaya maksimal yang dilakukan atas kerjasama
Divisi Kelautan Universitas Hasanuddin dengan Badan Penelitian, Pengembangan, dan
Pengendalian Dampak Lingkungan (BALITBANGPEDALDA) Provinsi Gorontalo. Kami
berharap hasil penelitian ini dapat bermanfaat, terutama bagi pihak-pihak terkait yang
berkompeten agar sumberdaya yang sangat berharga ini dapat dimanfaatkan secara
optimal untuk kesejahteraan masyarakat secara umum.
Akhirnya kami mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada semua
pihak yang telah banyak membantu, terutama Ibu Kepala Balitbangpedalda Provinsi
Gorontalo yang telah memberi kesempatan kepada kami untuk melakukan penelitian ini.
Ucapan yang sama kami ucapkan kepada segenap karyawan Balitbangpedalda dan
semua pihak yang telah berperan serta dalam mensukseskan kegiatan penelitian ini.
Gorontalo, Oktober 2004
Dr. Ir. Jamaluddin Jompa, M.Sc.
Ketua Peneliti
Divisi Kelautan, Pusat Kegiatan Penelitian Unhas - 1-
2. Ringkasan Eksekutif : Kajian Tentang Potensi, Kondisi, dan Status Pemanfaatan Terumbu Karang
Ucapan Terimakasih
Provinsi Gorontalo yang memiliki program Etalase Perikanan dan Kelautan, mutlak
membutuhkan informasi yang lebih detail dan komprehensif tentang kondisi dan potensi
ekosistem terumbu karangnya, terutama dalam menyusun program yang lebih strategis
dalam pemanfaatan secara optimal dan berkelanjutan potensi sumberdaya terumbu
karang di daerah ini. Oleh karena itu, Badan Penelitian, Pengembangan, dan
Pengendalian Dampak Lingkungan (Balitbangpedalda) Provinsi Gorontalo menggalang
kerjasama dengan Divisi Kelautan Universitas Hasanuddin untuk melakukan penelitian
menyangkut “Kajian Tentang Potensi, Kondisi, dan Status Pemanfaatan Terumbu Karang”
yang dilakukan di Provinsi Gorontalo, baik di pantai utara (Laut Sulawesi) maupun yang
ada di pantai selatan (Teluk Tomini).
Kami mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu
kesuksesan kegiatan ini. Semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi kita semua, terutama
bagi pihak-pihak yang terkait dengan masalah pengelolaan ekosistem terumbu karang,
baik instansi pemerintah maupun pihak-pihak lainnya seperti LSM, pengusaaha, dan lain-
lain.
Gorontalo, Oktober 2004
Prof. Dr. Ir. Hj. Winarni Monoarfa, MS
Kepala Balitbangpedalda Gorontalo
Divisi Kelautan, Pusat Kegiatan Penelitian Unhas - 2-
3. Ringkasan Eksekutif : Kajian Tentang Potensi, Kondisi, dan Status Pemanfaatan Terumbu Karang
1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Provinsi Gorontalo dengan luas wilayah 12.215,44 km2 merupakan provinsi baru
yang merupakan hasil pemekaran dari Provinsi Sulawesi Utara. Konsekuensi dan
sekaligus tantangan dari kebijakan ini terutama di era otonomi daerah adalah bagaimana
memanfaatkan segala potensi yang dimiliki untuk kesejahteraan masyarakat. Untuk itu,
pemerintah daerah Provinsi Gorontalo menetapkan tiga program unggulan yakni
pengembangan SDM, pengembangan Agropolitan dan program Etalase Perikanan dan
Kelautan.
Berdasarkan Laporan PKSPL-IPB (2000), dan sumber-sumber lain (unpub.), serta
Jompa (2003), Perairan Provinsi Gorontalo, baik yang berbatasan dengan Laut Sulawesi
maupun di Teluk Tomini kemungkinan mempunyai potensi keragaman jenis biota laut
yang tinggi terutama pada ekosistem terumbu karang. Walaupun penelitian secara detail
tentang ekosistem terumbu karang belum tersedia di Provinsi Gorontalo, perlu disadari
bahwa terumbu karang pada umumnya merupakan ekosistem yang kompleks yang
memiliki keanekaragaman biologis yang tinggi yang terdapat di daerah perairan dangkal
seluruh perairan tropis dimana ekosistem ini mendukung perikanan produktif dan
menyediakan sumber protein penting (English, et al., 1997).
Tekanan terhadap ekosistem terumbu karang bukan hanya bersumber dari
semakin maraknya penangkapan yang tidak ramah lingkungan seperti pengeboman dan
penggunaan bius, melainkan juga seiring dengan meningkatnya aktivitas pembangunan di
wilayah pesisir sebagai daerah industri, pemukiman, pelabuhan, pertanian dan akuakultur
yang menyebabkan tekanan ekologis terhadap ekosistem terumbu karang semakin
meningkat.
Untuk menyelamatkan dan lebih memberdayakan potensi sumberdaya terumbu
karang yang demikian besar secara optimal dan berkesinambungan, dibutuhkan data
aktual tentang potensi dan kondisi sumberdaya ekosistem tersebut. Data tentang potensi
dan kondisi ekosistem terumbu karang dapat diperoleh melalui pengukuran langsung di
lapangan dan didukung oleh data penginderaan jauh berupa citra satelit. Masih banyaknya
daerah di Indonesia, termasuk Gorontalo, yang belum mengetahui secara lebih detail
tentang kondisi dan potensi ekosistem terumbu karangnya terutama disebabkan oleh
lemahnya SDM yang dapat melakukan penelitian bawah laut yang relatif sulit ini.
Provinsi Gorontalo yang memiliki program Etalase Perikanan dan Kelautan, mutlak
membutuhkan informasi yang lebih detail dan komprehensif tentang kondisi dan potensi
ekosistem terumbu karangnya, terutama dalam menyusun program yang lebih strategis
dalam pemanfaatan secara optimal dan berkelanjutan potensi sumberdaya terumbu
karang di daerah ini.
1.2 Perumusan Masalah
Adapun yang menjadi masalah utama yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut :
1. Bagaimana gambaran kondisi ekosistem terumbu karang di Provinsi Gorontalo,
terutama tingkat penutupan jenis karang keras yang masih hidup (live cover)?
Divisi Kelautan, Pusat Kegiatan Penelitian Unhas - 3-
4. Ringkasan Eksekutif : Kajian Tentang Potensi, Kondisi, dan Status Pemanfaatan Terumbu Karang
2. Bagaimana tingkat biodiversity dan kelimpahan organisme ekonomis penting
seperti ikan, moluska, dan krustasea pada ekosistem terumbu karang di
Gorontalo?
3. Bagaimana gambaran distribusi spasial (thematik) berbagai kelompok organisme
bentik pada ekosistem terumbu karang (terutama karang, alga makro, ikan,
moluska, dll)?
4. Dari ketersediaan data tersebut, sejauh mana tingkat eksploitasi ekosistem
terumbu karang yang ada di perairan Provinsi Gorontalo?
1.3 Tujuan Penelitian
1. Menganalisa kondisi dan potensi ekosistem terumbu karang melalui analisis
citra satelit dan penelitian di lapangan. Hal ini mencakup tingkat penutupan
karang hidup/mati, keanekaragaman karang Scleractinia, makro alga, ikan-ikan
karang, serta biota asosiasi yang bernilai ekonomis penting.
2. Menghasilkan peta potensi dan kondisi ekosistem terumbu karang yang
menggambarkan kondisi ekologis terumbu karang secara spatial dengan
menggunakan SIG.
3. Menganalisa tingkat pemanfaatan sumberdaya hayati terumbu karang secara
umum di perairan Provinsi Gorontalo
1.4 Manfaat Penelitian
Manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah :
1. Tersedianya informasi mengenai kondisi dan potensi ekosistem terumbu karang
yang sangat diperlukan dalam menentukan strategi kebijakan pengelolaan
ekosistem tersebut, misalnya dasar pembuatan perda pengelolaan terumbu karang
baik bagi provinsi, maupun tingkat kabupaten/kota
2. Tersedianya peta sebaran ekologis pada ekosistem terumbu karang tersebut secara
lebih komprehensif, yang memuat berbagai aspek penting tentang kondisi, potensi
dan dinamika ekosistem terumbu karang.
3. Informasi tentang potensi ekosistem ini juga dapat dijadikan sebagai bahan acuan
dan promosi bagi para investor yang akan menanamkan modalnya dalam
pemanfaatan sumberdaya terumbu karang, baik untuk sektor perikanan maupun
untuk sektor lainnya seperti pariwisata, dll.
4. Sebagai acuan dalam merencanakan dan merumuskan kebijakan pengelolaan
wilayah pesisir dan laut secara terpadu dan berkelanjutan agar sumberdaya dapat
dimanfaatkan secara optimal dan lestari.
2 METODE PENELITIAN
2.1 Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian difokuskan pada wilayah dimana ekosistem terumbu karang
berkembang, terutama di sekitar pulau-pulau kecil. Hal ini ditentukan berdasarkan hasil
analisa awal dengan menggunakan data Citra Satelit dan data sekunder yang ada.
Divisi Kelautan, Pusat Kegiatan Penelitian Unhas - 4-
5. Ringkasan Eksekutif : Kajian Tentang Potensi, Kondisi, dan Status Pemanfaatan Terumbu Karang
Penetapan lokasi penelitian dilakukan secara purposif berdasarkan rona awal dan
peruntukannya (mis. untuk perlindungan, pariwisata, atau perikanan demersal)
2.2 Jangka Waktu dan Jenis Kegiatan
Keseluruhan rangkaian kegiatan ini dilaksanakan dalam kurun waktu sekitar 4
bulan, dari bulan Mei hingga Agustus 2004, dengan tahapan kegiatan dimulai dengan
persiapan, survei awal, pengumpulan dan analisa data, diskusi-diskusi, pemetaan,
lokakarya dan pembuatan laporan akhir.
Sumber data terdiri dari data sekunder dan data primer. Data sekunder
dikumpulkan melalui studi pustaka tentang penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya
di Gorontalo, dan penggunaan analisa dari image Landsat-TM. Data primer dikumpulkan
melalui metode survei seperti teknik Landsat image (Claseen dan Pirazzoli, 1988), RRA
(COREMAP-AMSAT, 2001) dan transek garis (Gomez dan Yap, 1988; English et al.,
1997), serta inventarisasi bebas (free sampling). Foto bawah air juga digunakan untuk
mempermudah dan mengkonfirmasi identifikasi spesies.
Jenis-jenis data yang dikoleksi dan dianalisa meliputi:
(1) Tipe umum dan kondisi habitat di terumbu karang (RRA);
(2) Persen penutupan komunitas bentik terumbu karang (transek garis);
(3) Spesies dan kelimpahan ikan karang (sensus visual);
(4) Sebaran dan luasan terumbu karang (analisa citra).
2.3 Jumlah Titik Sampling
Dari 19 pulau yang dijadikan sebagai lokasi pengamatan, terdapat sejumlah 57 titik
sampling untuk pengamatan dengan menggunakan metode RRA, 20 titik GCP untuk
analisa data citra, serta 22 titik sampel untuk permanen transek dengan menggunakan
metode LIT, sehingga total keseluruhan titik sampel dalam penelitian ini adalah 139 titik.
Rangkuman dari jenis dan jumlah titik sampling adalah sebagai berikut:
Tabel 1.Jenis dan Jumlah Titik Sampling
No. Sampling Jumlah stasiun Keterangan
1. RRA 57 19 pulau
2. GCP 20 10 pulau
3. LIT 22 11 pulau
Total 99
Divisi Kelautan, Pusat Kegiatan Penelitian Unhas - 5-
6. Ringkasan Eksekutif : Kajian Tentang Potensi, Kondisi, dan Status Pemanfaatan Terumbu Karang
2.4 Prosedur Penelitian
2.4.1 Analisis Citra Satelit Landsat ETM
Analisis citra satelit Landsat ETM dilakukan secara digital dengan melalui tahapan-
tahapan sebagaimana diagram alir berikut :
Data Digital Landsat ETM
Peta Rupabumi
Koreksi Radiometrik
Data Digital Landsat ETM Terkoreksi Orientasi
Lapangan
Perentangan Kontras
Citra Komposit Warna Semu
Klasifikasi Spektral Pemilihan
Maximum Likelihood Lokasi Sampel
Perbaikan Klasifikasi Kerja Lapangan
Peta Potensi dan
Kondisi Ekosistem
Sistem peta untuk pemetaan daerah terumbu karang pada pulau-pulau ini adalah
geodetik, dengan datum referensi yang digunakan adalah World Geodetic System 1984
(disingkat WGS 84) dan sistem proyeksi Transverse Mercator. WGS ‟84 adalah sistem
referensi untuk koordinat satelit GPS, merupakan sistem koordinat kartesian terikat bumi
dengan karakteristik sebagai berikut:
i. pusatnya berimpit dengan pusat massa bumi;
ii. sumbu Z berimpit dengan sumbu putar bumi yang melalui CTP (conventional
terrestrial pole);
iii. sumbu X terletak pada bidang bidang meridian nol (GreenWich);
iv. sumbu Y tegak lurus sumbu X dan Z, dan membentuk sistem tangan kanan
Divisi Kelautan, Pusat Kegiatan Penelitian Unhas - 6-
7. Ringkasan Eksekutif : Kajian Tentang Potensi, Kondisi, dan Status Pemanfaatan Terumbu Karang
Sistem ini digunakan oleh GPS sejak tahun 1987, dan ellipsoid yang digunakan
adalah Geodetic Reference System (GRS) 1980. Datum WGS 1984 pada dasarnya
berbeda dengan datum pemetaan yang digunakan di sebagian besar peta rupa-bumi
Indonesia saat ini yaitu, Indonesian Datum 1974 (ID 74). Tabel 2. memperlihatkan
perbedaan utama untuk kedua parameter datum yaitu nilai besaran sumbu mayor dan
kegepengan ellipsoid.
Tabel 2. Parameter Ellipsoid Datum
Nama Datum
Parameter
ID 74 WGS 84
Semimayor (a ) 6378 160 m 6378 137 m
Flattening ( f ) 1/298.247 1/298.257223563
Prosedur utama untuk keseragaman referensi posisi pada seluruh kegiatan
pemetaan adalah dengan menetapkan satu datum tunggal yaitu WGS 84. Oleh karena
itu, pada pemetaan kepulauan di Gorontalo telah ditetapkan hal-hal sebagai berikut;
1. Citra satelit Landsat 7 ETM+ harus memiliki referensi posisi dalam WGS 84,
2. Setiap pengambilan data lapangan dengan GPS navigasi harus menggunakan sistem
datum WGS 84.
2.4.1.1 Akuisisi Data untuk Pemetaan
Ada dua jenis data yang digunakan pada kegiatan pemetaan ini, yaitu:
1. Data raster dari citra Landsat 7 ETM+, dan
2. Data vektor yang diperoleh dari pengukuran lapangan. Data vektor pada akhirnya
nanti juga akan didapatkan dari proses lanjutan data raster melalui proses vektorisasi
citra terklasifikasi.
Citra Landsat ETM+ dibeli pada level 1R, menurut dokumen pengiriman telah
mengalami proses rektifikasi ke sistem referensi geodetik dengan datum WGS 84. Oleh
karena itu, semua data posisi lapangan dan pekerjaan digitasi pada akhirnya telah
diikatkan ke sistem referensi tersebut.
Data vektor yang digunakan terdiri dari dua macam:
1. Data vektor hasil digitasi Peta Rupa Bumi Indonesia, yaitu:
- poligon garis pantai pulau utama (daratan Gorontalo)
- poligon rataan terumbu setiap pulau yang menjadi daerah studi
- poligon daratan pulau
2. Data vektor dari lapangan berupa titik-titik stasiun sampling masing-masing untuk
stasiun RRA, LIT dan titik ikat.
2.4.1.2 Citra Satelit
Analisis citra satelit dilakukan dengan menggunakan software yang memiliki
kemampuan Image Analysis. Analisis awal terhadap data citra dilakukan sebelum ke
lapangan dengan melakukan pembatasan wilayah studi (konversi dan pemotongan citra).
Divisi Kelautan, Pusat Kegiatan Penelitian Unhas - 7-
8. Ringkasan Eksekutif : Kajian Tentang Potensi, Kondisi, dan Status Pemanfaatan Terumbu Karang
Untuk memudahkan pengambilan sampel pada citra, penajaman warna dilakukan
dengan membuat citra komposit menggunakan kombinasi band 542, untuk menganalisis
penutupan vegetasi kepulauan, dan band 321, untuk habitat perairan dangkal. Pada
setiap hasil komposit kemudian dibuat sejumlah daerah kajian (training sample) sebagai
sampel untuk penentuan kelas penutupan lahan dan kelas habitat pada perairan dangkal
(rataan terumbu). Dari sejumlah sampel tersebut kemudian diperoleh karakteristik
spektral masing-masing objek sehingga dapat ditentukan jenis penutupan lahan dan
habitat perairan dangkalnya.
2.4.1.3 Sistem Informasi Geografis
Sistem Informasi Geografis (SIG) tersusun dari komponen-komponen; data
(spasial dan tekstual), perangkat keras, perangkat lunak, brainware (sumberdaya manusia
pengelola) dan organoware (link organisasi pengelola dan penyedia data). Inti dari suatu
SIG adalah basis data. Oleh karena itu, basis data yang dibentuk harus mengacu pada
operasional harian suatu aktifitas yang dispasialkan. Pada pekerjaan ini, operasional
hariannya akan meliputi sejumlah entiti seperti yang ditampilkan pada Tabel 3.
Tabel 3. Entiti Penyusun Basis Data SIG
Entiti
No
Tekstual Spasial
1. Daratan Poligon
2. Reef flat Poligon
3. Stasiun RRA Reef Edge Point
4. Titik Ikat Point
5. Penutupan Dasar di Reef Edge Point
6. Komposisi Alga Reef Edge Point
7. Kelimpahan lainnya Reef Edge Point
8. Tutupan Lahan Poligon
9. Habitat di Rataan Terumbu Poligon
2.4.2 Penelitian Ekosistem Terumbu Karang
2.4.2.1 Peralatan yang digunakan
Peralatan yang digunakan dalam survei terumbu karang adalah GPS, perahu, alat
selam, pensil, sabak, roll meter (100 m) dan kantong sampel.
2.4.2.2 Teknik RRA
Teknik RRA (Rapid Reef Resource Assessment) digunakan untuk mengetahui
luasan jenis dan bentuk habitat (habitat karang, pasir, pecahan karang/rubble) secara
umum dan beberapa jenis biota penting termasuk ikan, kima, bulu babi, dll., di reef edge.
Mengingat kawasan gugusan pulau-pulau yang sangat luas, maka metode ini dinilai cukup
baik untuk dapat mengestimasi persentase penutupan masing-masing jenis habitat
tersebut dalam waktu yang relatif tidak terlalu lama. Teknik ini juga digunakan dalam
menentukan titik transek serta penentuan lokasi studi detail (menggunakan GPS).
Divisi Kelautan, Pusat Kegiatan Penelitian Unhas - 8-
9. Ringkasan Eksekutif : Kajian Tentang Potensi, Kondisi, dan Status Pemanfaatan Terumbu Karang
Teknik ini melibatkan peneliti yang dilengkapi dengan alat tulis bawah air dan form
yang telah dicetak pada kertas anti air. Form ini dimaksudkan untuk memudahkan
pengisian informasi yang dibutuhkan (contoh form dapat dilihat pada Lampiran 1 dan 2).
Setelah tiba di sekitar tujuan, posisi diambil dengan menggunakan GPS sebagai titik
pertama. Kemudian tim peneliti, terdiri dari 6 orang (tiap orang dengan spesialisasi
masing-masing seperti; komposisi benthos, ikan, dan organisme penting), melakukan
pengamatan (dengan snorkeling) di titik tersebut sekitar 10-15 menit. Setelah pengamatan
pertama selesai, tim peneliti kembali naik ke kapal untuk segera menuju ke titik berikutnya
yang ditentukan berdasarkan perkiraan jarak yang ditempuh dengan kecepatan 5-10
km/jam selama 2 menit.
2.4.2.3 Transek Garis (Line Intercept Transect)
Metode Line Intercept Transect, digunakan untuk mengestimasi penutupan karang
dan penutupan komunitas bentos yang hidup bersama karang, dan dilakukan setelah
survei RRA. Posisi transek ditentukan dengan menggunakan Global Positioning System
(GPS). Garis transek dibuat dengan cara membentangkan tali atau rol meter sepanjang 30
m sejajar garis pantai. Genera atau spesies dari komunitas bentos utama (seperti karang
dan alga makro) serta kategori-kategori lifeform kemudian dicatat pada data sheet, oleh
penyelam yang bergerak sepanjang garis yang dibentangkan secara paralel dengan reef
crest, pada kedalaman 3 dan 10 m di setiap lokasi pengamatan. Kegiatan tesebut di atas
diulang sebanyak dua kali untuk mewakili daerah terumbu karang yang masih baik dan
kondisi sedang (berdasarkan hasil survei RRA). Semua bentuk pertumbuhan karang dan
biota yang terletak di bawah transek dicatat. Besar persentase tutupan karang mati,
karang hidup, rumput laut, dan jenis lifeform lainnya dihitung dengan rumus (English et
al., 1997):
a
C x 100%
A
dimana:
C = besar penutupan (%)
a = panjang tipe lifeform (cm)
A = panjang total transek (cm)
LIT tersebut juga didata dengan menggunakan video bawah air (Video transect)
agar dapat dilakukan pengecekan lebih lanjut dan lebih detail di studio multimedia.
2.4.2.4 Inventarisasi Bebas (Free Sampling)
Free sampling atau inventarisasi bebas dilakukan untuk mengestimasi tingkat
biodiversity maximum daerah yang diamati. Hal ini dilakukan dengan mencatat semua
jenis/genera karang, ikan, dan alga makro yang dapat ditemukan di daerah tersebut pada
setiap penyelaman/pengamatan. Untuk mencapai tingkat ketelitian hingga spesies, tim
peneliti mengambil sampel karang dan spesies alga makro yang tidak diketahui atau
meragukan untuk diverifikasi di laboratorium. Beberapa genera hanya ditulis dalam bentuk
„spp‟ jika pengambilan sampel sulit dilakukan atau sulit ditentukan spesiesnya.
2.4.3 Survei Ikan Karang dan Biota Asosiasi Lainnya
Penentuan populasi ikan karang yang hidup di ekosistem terumbu karang, selain
dilakukan pada saat RRA juga didekati dengan metode sensus visual dengan transek
Divisi Kelautan, Pusat Kegiatan Penelitian Unhas - 9-
10. Ringkasan Eksekutif : Kajian Tentang Potensi, Kondisi, dan Status Pemanfaatan Terumbu Karang
garis (Hutomo, 1993; English et al., 1997). Sensus ikan karang digunakan untuk mendata
ikan-ikan target, indikator dan mayor dengan menghitung kelimpahan dan
keanekaragamannya.
Kelimpahan jenis ikan indikator dan major diestimasi atau dihitung dalam batasan
jarak 2,5 m ke bagian kiri dan 2,5 m ke bagian kanan sepanjang transek
(2x50 m). Penentuan kelimpahan jenis ikan karang ditentukan dalam satuan unit
individu/m2. Kategori kelimpahan jenis ini dapat dijadikan data base untuk zonasi,
manajemen dan monitoring terumbu karang (English et al., 1997). Sedangkan untuk
penentuan populasi jenis ikan target, daerah perhitungan populasinya lebih luas lagi, yaitu
dengan menggabungkan penghitungan transek pada setiap kedalaman (secara vertikal),
sehingga jarak setiap transek antar kedua kedalaman diketahui, namun tetap dengan unit
kelimpahan yang sama yaitu dalam satuan individu/m2.
Survei ikan karang pada ekosistem terumbu karang dilakukan dengan tahapan
sebagai berikut:
Pemilihan lokasi dengan kelimpahan ikan yang dianggap mewakili daerah tersebut,
ditentukan dari hasil RRA;
Pemasangan transek sepanjang 30 m dilakukan di daerah slope pada dua
kedalaman, 3 dan 10 m (transek ini juga merupakan transek yang digunakan untuk
metode LIT);
Setelah transek terpasang didiamkan dahulu selama 5 – 15 menit agar ikan-ikan
kembali di daerah semula;
Sensus di sepanjang transek dilakukan pada siang hari (terang) dengan menggunakan
SCUBA dengan akses pengamatan berjarak 2,5 meter ke kiri dan ke kanan dari garis
transek. Pendataan dilakukan pada lembar (sheets) yang sudah disediakan;
Spesies yang didata adalah yang secara nyata terlihat dan dikelompokkan ke dalam 3
kelompok ikan: spesies target, major dan indikator. Pengamatan tidak dilakukan pada
spesies migratori dan spesies kriptik (Gunderson, 1993);
Pendugaan kuantitatif kepadatan dilakukan untuk ketiga kelompok ikan;
Identifikasi jenis ikan karang mengacu kepada Matsuda (1984), Kuiter (1992)
dan Lieske, dan Myers (1994). Khusus untuk ikan kerapu (grouper) digunakan acuan
dari Randall and Heemstra (1991) dan FAO Species Catalogue Heemstra dan Randall
(1993).
Untuk pengamatan biota laut lainnya dilakukan setelah pengamatan ikan karang,
sekaligus mengikuti daerah transek dari ikan karang. Yang diamati terutama adalah biota
non-ikan yang: (1) hampir punah; (2) mempunyai tekanan penangkapan yang tinggi; (3)
long life cycle; dan (4) dimanfaatkan untuk obat-obatan.
Adapun jenis biota yang diamati adalah: Porifera (spons), Octocoral (tali arus/akar
bahar, bunga karang), Moluska (kima, lola, kerang-kerangan lainnya, dan cumi-cumi),
Crustacea (lobster), Echinodermata (teripang, bulu babi terutama Tripneusteus sp. dan
Diadema setosum), penyu dan hewan/mamalia laut seperti dugong dan lumba-lumba.
2.5 Analisa Data
Hasil penelitian ini terutama yang berupa kondisi dan potensi ekosistem akan
dianalisa dengan menggunakan teknik deskriptif analitik, termasuk menggunakan
diagram-diagram.
Divisi Kelautan, Pusat Kegiatan Penelitian Unhas - 10-
11. Ringkasan Eksekutif : Kajian Tentang Potensi, Kondisi, dan Status Pemanfaatan Terumbu Karang
Deskripsi kondisi ekosistem terumbu karang pada setiap lokasi penelitian juga
dilakukan secara komprehensif dengan menyajikan data-data dari setiap stasiun dalam
bentuk Sistem Informasi Geografis (SIG).
3 HASIL PENELITIAN
3.1 PULAU LIMBA
Kondisi Terumbu Karang
Penutupan Dasar Pulau Limba Kelimpahan Ikan Karang Pulau Limba
Others Seagrass
Algae Sand
6% 1% Rubble 20
8% 6%
6%
Soft Coral
7% 15
14
Hard Coral Dead Coral
26% Algae
40%
ma jo r indik a to r ta rge t
Gambar 1. Komposisi Penutupan Dasar dan Ikan Karang Pulau Limba
Penutupan karang hidup di pulau Limba hanya sebesar 26%, sementara karang
mati yang telah ditumbuhi algae (DCA) lebih mendominasi yakni sekitar 40%. Kondisi ini
kemungkinan dipengaruhi oleh kondisi perairan yang keruh akibat tingginya tingkat
sedimentasi dari massa daratan. Pulau ini dikelilingi oleh mangrove yang tumbuh cukup
lebat. Algae 8%, umumnya dari genera Turbinaria dan Halimeda. Soft coral atau karang
lunak 7%, merupakan tanda suksesi suatu terumbu karang yang rusak.
Pengamatan dilakukan pada 5 stasiun pengamatan, dimana ditemukan ikan
karang rata-rata sekitar 50 ekor/stasiun. Spesies yang dominan pada masing-masing
kelompok antara lain; indikator diwakili ikan kakatua (Scarus sp.), major diwakili ikan kuli
pasir (Acanthurus sp.) dan target diwakili ikan baronang dan belawas (Siganus sp.).
Berdasarkan Gambar menunjukkan bahwa ikan indikator lebih banyak jumlahnya
dibandingkan kelompok major dan target, hal ini menandakan bahwa kondisi terumbu
karang di Pulau Limba termasuk masih bagus karena masih banyak dijumpai ikan
indikator seperti spesies Chaetodon sp., Scarus sp. dan Zanclus cornutus.
Kondisi avertebrata baik dari jumlah maupun jenis relatif masih bagus. Spesies
Linkia laevigata hampir pada semua stasiun pengamatan dapat dijumpai, kecuali stasiun
yang berdekatan daerah mangrove yang ada di daerah pesisir pulau dan muara sungai.
Akan tetapi di stasiun tersebut ditemukan Diadema setosum dari kelas Echinodermata
yang tidak didapatkan dari stasiun lainnya.
Jenis kima yaitu Tridacna crassa dan Tridacna squamosa dari kelas Bivalvia juga
dapat dijumpai di pulau ini. Selain itu, ada enam jenis sponge ditemukan baik dengan
menggunakan metode RRA ataupun dengan melakukan free sampling yaitu;
Carteriospongia folianses, Fhillospongia lamellosa, Stella aurantum, Xextospongia
testudinaria, dan beberapa dari genera Haliclona dan Geliodes.
Divisi Kelautan, Pusat Kegiatan Penelitian Unhas - 11-
12. Ringkasan Eksekutif : Kajian Tentang Potensi, Kondisi, dan Status Pemanfaatan Terumbu Karang
3.2 PULAU DULUPI
Kondisi Terumbu Karang
Penutupan Dasar Pulau Dulupi Kelimpahan Ikan Karang Pulau Dulupi
Sand
Others
Algae 5% Rubble
10% 22
5% 10% 20
Soft Coral
5% 16
Dead Coral
Algae
Hard Coral 25%
40%
majo r indikato r target
Gambar 2. Komposisi Penutupan Dasar dan Ikan Karang Pulau Dulupi
Pulau ini letaknya bersebelahan dengan Pulau Limba, sehingga karakteristik pulau
ini hampir sama. Berdasarkan persen penutupan yang ditampilkan, kondisi terumbu
karang di pulau ini termasuk kategori sedang dengan penutupan karang hidup sebesar
40%, DCA 25%, penutupan pasir dan rubble masing-masing 10%, dan kategori lainnya
5%.
Hasil transek garis di kedalaman 3m dan 10m menunjukkan bahwa persentase
DCA mendominasi penutupan dasar perairan. Karang lunak (SC) di kedalaman 10m
mencapai 26%, sedangkan untuk karang keras Acropora bentuk cabang (ACB) mendapat
nilai tertinggi (16,17%). Penutupan karang keras di kedalaman 3m lebih tinggi daripada di
kedalaman 10m yang didominasi oleh karang Acropora bercabang 15,33% dan karang api
(CME) sebesar 8,33%. Pecahan karang (R) juga tinggi di kedalaman 3m (27,33%),
kemungkinan bekas pengeboman yang dilakukan untuk menangkap ikan. Karang jamur
(CMR) banyak ditemukan di semua kedalaman, terutama pada kedalaman 3m.
Berdasarkan potensi ikan karang yang teramati secara visual, ditemukan ikan
indikator antara lain : Zanclus cornutus, Chaetodon sp., Forcipiger sp., dan Heniochus
varius; ikan target tidak dijumpai dalam ukuran besar; dan ikan major umumnya
didominasi ikan-ikan Chromis (famili Pomacentridae).
Hasil pengamatan avertebrata di sisi Utara Pulau Dulupi diketahui bahwa
Didemnum molle dan Polycarpa aurata merupakan jenis ascidian yang dominan
ditemukan. Jenis sponge yang ditemukan di kedalaman 3m adalah Liscoclinum platella
dan Diplosoma smilis, sedangkan Xestospongia testudinaria dan Phillospongia lamellosa
dan beberapa jenis lain ditemukan pada kedalaman 10m.
Jenis pemangsa karang dari kelas Asteroidea Achantaster planci ditemukan pada
dua titik pengamatan. Untuk jenis lilia laut tidak berbeda dengan yang ditemukan pada
Pulau Limba yaitu Oxycomanthus benneti dan Oxycomanthus serra, sedangkan genera
Agalaophenia dan Gymnagium (Hidroid) ditemukan pula pada pulau ini.
Divisi Kelautan, Pusat Kegiatan Penelitian Unhas - 12-
13. Ringkasan Eksekutif : Kajian Tentang Potensi, Kondisi, dan Status Pemanfaatan Terumbu Karang
3.3 GUSUNG MOLOPINGGULO
Kondisi Terumbu Karang
Penutupan Dasar Gusung Molopinggulo Kelimpahan Ikan Karang Gusung M olopinggulo
Others Sand
Algae 19 19
8% 10%
Soft Coral 4% Rubble
4% 10%
Dead Coral
Hard Coral Algae
54% 10%
18
majo r indikato r target
Gambar 3. Komposisi Penutupan Dasar dan Ikan Karang Gusung Molopinggulo
Gusung ini merupakan hamparan pasir putih yang sangat indah, dengan
penutupan dasar yang termasuk dalam kategori bagus. Karang mendominasi daerah tubir
sampai kedalaman ± 12 meter, lebih dalam dari itu pasir lebih mendominasi. Persentase
pasir, pecahan karang dan DCA msing-masing 10%. Penutupan hewan avertebrata lain
mencapai 7,5%, menunjukkan bahwa terumbu karang di gusung ini merupakan habitat
yang cukup bagus.
Gusung Molopinggulo memiliki topografi terumbu karang agak landai dan kondisi
perairan tergolong jernih. Spesies umum yang mudah ditemui antara lain Famili Mullidae
(Parupeneus sp.) yang ukurannya cukup besar dan ikan-ikan chromis (famili
Pomacentridae).
Avertebrata yang dominan ditemukan setelah ascidian adalah sponge. Ada tujuh
genera yang ditemukan. Untuk jenis ascidian yang mendominasi ditemukan lima spesies.
Liscoclinum platela, berdasarkan pengamatan banyak ditemukan pada daerah yang
mempunyai perairan yang jernih dan dimana kondisi terumbu karangnya masih baik.
Tridacna crocea dan Tridacna squamosa banyak ditemukan diperairan sekitar Gusung
Mulopinggulo, meskipun besar rata-rata dari jenis kima (Giant Clam) dibawah 10 cm, ini
berarti eksploitasi jenis ini kurang dilakukan oleh penduduk yang bermukim disekitar
gusung ini. Beberapa cangkang giant clam dengan besar 15 cm mengindikasikan
kematian akibat pemangsaan oleh organisme lain.
3.4 GUSUNG TIDEHUWOO
Kondisi Terumbu Karang
Letak Gusung ini berdekatan dengan Gusung Molopinggulo. Tingkat penutupan
dasar gusung ini lebih bagus dengan persentase karang keras yang mencapai 63,75%.
Karang yang mendominasi di daerah tubir adalah karang dari genera Acropora yang
berbentuk meja. Karang ini membentuk hamparan yang diameternya bisa mencapai 2
meter atau lebih dan berundak-undak, sehingga merupakan suatu pemandangan yang
Divisi Kelautan, Pusat Kegiatan Penelitian Unhas - 13-
14. Ringkasan Eksekutif : Kajian Tentang Potensi, Kondisi, dan Status Pemanfaatan Terumbu Karang
sangat menakjubkan yang dapat terlihat pada saat snorkling. Penutupan DCA yang 10%
merupakan penutupan tertinggi kedua.
Penutupan Dasar Gusung Tidehuwoo Kelimpahan Ikan Karang Gusung Tidehuwoo
Algae Others Sand 19
Soft Coral 5% 8% Rubble
4% 17
5% 5%
15
Dead Coral
Algae
10%
Hard Coral
63%
majo r indikato r target
Gambar 4. Komposisi Penutupan Dasar dan Ikan Karang Gusung Tidehuwoo
Persentase komposisi hasil transek garis/LIT tertinggi ditemukan pada Coral
Branching (CB), baik di kedalaman 10m ataupun 3m. Di kedalaman 10 m, DCA lebih
tinggi. Pasir juga memiliki persentase yang tinggi di kedalaman 10m. Karang hidup dari
genera Acropora yang berbentuk cabang (ACB) paling sering ditemukan dibanding
dengan bentuk lainnya. Sedangkan di kedalaman 3m Acropora bentuk meja (ACT) dan
karang masif (CM), juga cukup mendominasi. Karang lunak (SC) lebih banyak ditemukan
di kedalaman 3m, sedangkan karang api (CME) hanya ditemukan di kedalaman 3m.
Topografi dasar perairan umumnya berbentuk slope, dimana kedalaman kurang
dari 10 meter masih ditumbuhi karang dan lebih 10 meter substrat berpasir. Kelompok
ikan target yang ditemukan antara lain Plectorhinchus sp. (6 ekor berukuran besar),
Kyphosus sp. (schooling sekitar 30 ekor), kelompok ikan indikator didominasi ikan
kakatua (Scarus sp.) dan ikan bendera (Zanclus cornutus), dan kelompok major
didominasi ikan kuli pasir dan ikan keling (Acanthurus sp.dan Halichoeres sp.). Ikan hias
yang unik ditemui adalah Ikan Triger kembang (Balistoides conspiculum). Berdasarkan
Gambar, kelimpahan tertinggi yaitu kelompok major (19 ekor/stasiun) dominan terdiri atas
ikan kuli pasir (Acanthuridae) dan ikan keling (Labridae); kemudian indikator (17
ekor/stasiun) dominan terdiri dari ikan kakatua (Scaridae) dan ikan kepe-
kepe(Chaetodonthidae); dan target (15 ekor/stasiun) dominan terdiri dari ikan baronang
(Siganus guttatus) dan ikan kakap (Lutjanus vitta).
Gusung Tidehuwoo didominasi oleh sponge dari berbagai jenis, Ada delapan jenis
yang ditemukan yaitu; Callispongia mauricina, Callispongia sp, Carteriospongia sp,
Carteriospongia folioscens, Clathria sp, Gelliodes sp, Haliclona sp, placortis nigra dan
xestospongia sp. Pada titik penyelaman sebagian besar jenis sponge ditemukan pada
kedalaman 10 meter dengan kondisi substratnya adalah karang mati. Selain itu, crinoids
dari jenis Comanthia nobila dan Oxycomantus serra terdapat dalam jumlah banyak.
Avertebrata yang juga dominan ditemukan adalah ascidian dengan 5 spesies
Divisi Kelautan, Pusat Kegiatan Penelitian Unhas - 14-
15. Ringkasan Eksekutif : Kajian Tentang Potensi, Kondisi, dan Status Pemanfaatan Terumbu Karang
3.5 PULAU MOHUPOMBADAA
Kondisi Terumbu Karang
Penutupan Dasar Pulau Mohupombadaa Kelimpahan Ikan Karang Pulau M ohupombadaa
Others Sand 17
Algae 8% Rubble
5%
Soft Coral 5% 5%
3%
Dead Coral
Hard Coral Algae
38% 36%
15 15
majo r indikato r target
Gambar 5. Komposisi Penutupan Dasar dan Ikan Karang Pulau Mohupombadaa
Persentase penutupan karang hidup dengan karang mati di Pulau Mohupombadaa
ini hampir sama, yaitu 38,75% untuk karang hidup dan 36,25% untuk karang mati.
Topografi terumbu karang pada daerah reef edge membentuk dinding (wall) yang tegak.
Walaupun kondisi karang agak rusak, tetapi mulai tampak koloni-koloni kecil karang yang
baru tumbuh terutama yang berbentuk meja. Pada spot-spot tertentu masih dapat dijumpai
penutupan karang yang masih relatif bagus, hal ini menandakan bahwa sebelumnya
kondisi karang di pulau ini bagus, namun telah hancur karena oleh cara penangkapan ikan
yang kurang ramah lingkungan. Hal ini dapat terlihat dari hancuran karang mati yang ada
disekitar pulau ini akibat penggunaan bom.
Kondisi perairan cukup jernih, substrat dasar perairan umumnya berbatu dan
topografi landai. Spesies yang umum dijumpai antara lain Chaetodon kleinii, ikan keling
(famili Labridae), ikan pakol (Balistapus undulatus), ikan badut (Amphiprion sp.), ikan
platax janggut (Platax teira), dan ikan leter enam (Paracanthurus hepatus). Kelimpahan
iikan karang kelompok target tergolong tinggi dengan jumlah individu sekitar 17
ekor/stasiun, kemudian disusul kelompok indikator dan major dengan jumlah individu
masing-masing 15 ekor/stasiun.
Asteroidea ditemukan pada daerah pengamatan bagian selatan pulau yang
memiliki terumbu karang. Achantaster planci diketahui sebagai salah satu organisme
pemangsa karang, namun jumlahnya pada daerah ini tidak banyak ditemukan. Jenis
Linkia laevigata dan Protoreaster nodosus ditemukan pada kedalaman 3-4 meter dengan
substrat rubble, pasir maupun karang mati.
3.6 PULAU MOHUMPOMBAKIKI
Kondisi Terumbu Karang
Pulau ini bersebelahan dengan P. Mohupombadaa, berukuran lebih kecil dengan
kondisi karang yang tidak jauh berbeda. Kondisi penutupan dasar di daerah tubir lebih
didominasi oleh pasir, pecahan karang dan DCA dengan masing-masing persentase 15%,
12.5% dan 23.75%. Tingginya persentase pecahan karang disebabkan bom yang
Divisi Kelautan, Pusat Kegiatan Penelitian Unhas - 15-
16. Ringkasan Eksekutif : Kajian Tentang Potensi, Kondisi, dan Status Pemanfaatan Terumbu Karang
dilakukan sudah agak lama, karena bekas pecahan mulai ditumbuhi algae. Kondisi karang
hidup hanya 31.25% dan avertebrata lain 8.75%, sedangkan untuk karang lunak dan
algae 5% dan 3.75%.
Penutupan Dasar Pulau Mohupombakiki Kelimpahan Ikan Karang Pulau M ohupombakiki
Others Sand
Algae 9%
17 17
15%
Soft Coral 4%
Rubble
5%
13%
Hard Coral 16
Dead Coral
30%
Algae
24%
m ajo r indikat o r t arget
Gambar 6. Komposisi Penutupan Dasar dan Ikan Karang Pulau Mohupombakiki
Pulau ini jaraknya berdekatan dengan Pulau Mohupombadaa sehingga spesies
yang dijumpai mirip dengan pulau tersebut. Pada saat penyelaman di kedalaman 10 meter
terlihat ikan Napoleon (Cheillinus undulatus) yang termasuk spesies langka. Spesies
target yang ditemukan yaitu ikan selar (Caranx sp.) dan ikan bibir (Plectorhynchus
orientalis ). Kelompok major dan indikator lebih banyak jumlahnya dibandingkan dengan
pulau Mohupombadaa yaitu masing-masing sekitar 16 dan 17 ekor/stasiun, sedangkan
kelompok target lebih sedikit yaitu sekitar 17 ekor/stasiun.
Avertebrata didominasi oleh sea urchins dari jenis Diadema setosum, Echinometra
mathei dan Echinothrix calamaris. Kondisi substrat dari ketiga spesies ini adalah pasir dan
karang mati. Tube worm banyak terdapat di pulau ini, dari jenis Spaghetti worm dan
Spirobranchus giganteus, dimana habitat dari organisme ini adalah karang masif yang
telah mati. Untuk organisme yang memiliki nilai ekonomis jenis kima Tridacna derasa dan
Tridacna squamosa masih banyak ditemukan pada pulau ini, meskipun diameternya
dibawah 15 cm, namun jumlah yang ditemukan masih lebih banyak dibanding dengan
gusung yang berada agak jauh dari daratan utama dan pemukiman penduduk.
3.7 PULAU LAHENGO
Kondisi Terumbu Karang
Pulau Lahengo cukup bagus untuk dijadikan tempat berlibur karena jaraknya
cukup dekat dari daratan dan kondisi pantai dan perairannya masih baik. Penduduknya
belum ada, biasanya nelayan hanya menjadikan tempat peristirahatan sementara.
Aktifitas penangkapan disekitar pulau masih sering dilakukan, karena pulau ini merupakan
pulau terdekat dari perkampungan nelayan.
Persentase penutupan karang keras di pulau ini 36.67% dan karang mati 26.67%.
Penutupan abiotik lain seperti pasir dan pecahan karang adalah 10% dan 6.67%. Karang
lunak dan algae masing-masing 5% dan avertebrata lainnya 10%.
Divisi Kelautan, Pusat Kegiatan Penelitian Unhas - 16-
17. Ringkasan Eksekutif : Kajian Tentang Potensi, Kondisi, dan Status Pemanfaatan Terumbu Karang
Penutupan Dasar Pulau Lahengo Kelimpahan Ikan Karang Pulau Lahengo
Others Sand
Algae 10% 10% Rubble 19
Soft Coral 5% 7%
15
5%
Dead Coral
Hard Coral Algae 9
36% 27%
majo r indikato r target
Gambar 7. Komposisi Penutupan Dasar dan Ikan Karang Pulau Lahengo
Kelimpahan ikan tidak banyak dimana kelimpahan tertinggi didominasi oleh
spesies major (chromis sp.) dan ikan Labridae. Untuk ikan konsumsi atau target sangat
jarang, ada beberapa yang dijumpai tapi masih berukuran kecil atau juvenil. Ikan indikator
masih ada walaupun jumlahnya tidak terlalu besar, didominasi ikan kepe-kepe
(Chaetodonthidae) dan ikan kakatua (Scaridae).
Organisme yang mendominasi pada pulau ini adalah sponge. yang ditemukan
delapan jenis yaitu Callyspongia sp, Carteriospongia foliascens, Clathria sp, Cribohalina
sp, Geliodes sp, Haliclona sp, Stella aurantum dan Xestospongia sp. Beberapa diantara
organisme ini ditemukan pada kedalaman 7-10 meter, dengan substrat karang mati.
Organisme lain yang cukup banyak ditemukan adalah Diadema setosum, Echinometra
mathai, Echinothrix calamaris, dan Echinometrix diadema. Diperairan Pulau Lahengo,
empat jenis bivalvia ditemukan, yaitu Tridacna crocea, Tridacna derasa, Tridacna gigas,
dan Tridacna squamosa.
3.8 PULAU BITILA
Kondisi Terumbu Karang
Penutupan Dasar Pulau Bitila Kelimpahan Ikan Karang Pulau Bitila
Others Sand 23
Algae Rubble
9% 4%
13%
22
Soft Coral 3%
4%
Dead Coral
Algae
Hard Coral 16% 20
51%
m ajo r indikat o r t arget
Gambar 8. Komposisi Penutupan Dasar dan Ikan Karang Pulau Bitila
Pulau ini merupakan salah satu pulau tujuan wisata Provinsi Gorontalo.
Pemandangan bawah laut yang dimiliki pulau ini bagus, dangan penutupan karang keras
50.83%. Di pulau ini kita dapat melihat daerah yang didominasi karang cabang dari genera
Divisi Kelautan, Pusat Kegiatan Penelitian Unhas - 17-
18. Ringkasan Eksekutif : Kajian Tentang Potensi, Kondisi, dan Status Pemanfaatan Terumbu Karang
Porites dan ada pula daerah yang didominasi oleh hamparan luas karang keras dari
genera Acropora dengan berbagai macam bentuk pertumbuhan, baik yang bercabang,
meja, sub masif maupun yang menjari. Karang mati dan pecahan karang menutupi
15.83% dan 12.5% dasar perairan pulau ini.
Berdasarkan metode RRA yang dilakukan untuk melihat penutupan dasar dengan
cara snorkling mendapatkan hasil yang cukup bagus. Hasil transek garis di kedalaman 3m
dan 10m dengan cara menyelam dan mendata dengan lebih detail, mendapatkan bahwa
penutupan karang mati di kedalaman 3m 45.83% dan 10m 28.83%. Di kedalaman 10m
kategori lain yang dominan adalah sponge (SP) dan hewan avertebrata lain (OT), yaitu
29% dan 21%, sedangkan untuk karang keras hanya sekitar 12%. Penutupan karang
keras dikedalaman 3m sekitar 32%, sedangkan untuk kategori lain, karang lunak 10.5%
dan pecahan karang 11%.
Kondisi alam bawah laut tergolong indah pada beberapa lokasi dengan arus cukup
kuat, topografi drop off dan kondisi perairan tergolong jernih. Spesies ikan yang umum
ditemukan antara lain : ikan baronang, kakap, trigger, kuli pasir, dan lethrinus sp. Ikan
target pada daerah ini sebenarnya banyak tapi masih dalam ukuran kecil (juvenil)
sehingga sulit untuk dihitung jumlahnya. Pada saat penyelaman, keanekaragaman ikan
karang pada kedalaman 3 meter masih lebih bagus dibandingkan dengan kedalaman 10
meter, terutama ikan major dan indikator karena nelayan jarang melakukan penangkapan
ikan pada perairan dangkal. Ikan yang unik ditemui saat penyelaman adalah ikan
trigger/pakol (Balistidae) dan ikan kuli pasir (Acanthurus thompsoni), uniknya ikan ini
adalah mereka sering bergerombol dan mempunyai pergerakan yang sangat lincah dan
cepat dari perairan dangkal ke perairan yang lebih dalam.
Avertebrata yang mendominasi di pulau ini adalah ascidian, diwakili oleh famili
Didemnidae, dan Diazonidae. Habitat dari ascidian yang hidup soliter dan berkoloni ini
adalah lebih banyak ditemukan pada rubble dan karang mati, pada kedalaman 3-6 meter.
Linckia laevigata dari kelas asteroidea paling banyak ditemukan pada kedalaman 1 hingga
3 meter, dengan substrat rubble, karang mati dan pasir. Crinoid sebagai organisme yang
berasosiasi dengan terumbu karang banyak ditemukan pada pulau ini, spesies yang
mendominasi adalah Petasometra clarae, Oxycomantus serra dan Oxycomantus benneti.
Untuk jenis sponge ditemukan tujuh spesies, yaitu Callyspongidae, Niphatidae,
Microcionidae, dan Petrosiidae, dengan spesies Callyspongia sp, Carterisiospongia
foiascens, Clathria sp, Geliodes sp, Haliclona sp, Phillospongia lamellosa, dan
Xestospongia sp. Tiga spesies kima (Giant Clam) yang dijumpai, yaitu Tridacna crocea,
Tridacna derasa, dan Tridacna maxima yang beberapa diantaranya ditemukan pada
karang masif dan lainnya di subrat pasir.
3.9 PULAU MONTULI
Kondisi Terumbu Karang
Kondisi terumbu karang pulau ini masih cukup bagus, sampai kedalaman sekitar 7
meter pertumbuhan karang masih baik dengan penutupan karang keras 46.67%.
Penutupan unsur abiotik seperti karang mati 26.67%, pasir dan pecahan karang sama-
sama 5%. Karang lunak 5%, algae 1.67% dan hewan avertebrata lainnya 10%.
Divisi Kelautan, Pusat Kegiatan Penelitian Unhas - 18-
19. Ringkasan Eksekutif : Kajian Tentang Potensi, Kondisi, dan Status Pemanfaatan Terumbu Karang
Penutupan Dasar Pulau Montuli Kelimpahan Ikan Karang Pulau M ontuli
Others Sand
Algae 5%
Rubble 28
10%
5% 27
Soft Coral 2%
5% 22
Dead Coral
Algae
27%
Hard Coral
46%
m ajo r indikat o r t arget
Gambar 9. Komposisi Penutupan Dasar dan Ikan Karang Pulau Montuli
Berdasarkan hasil transek garis, dikedalaman 10m pasir merupakan penutupan
terbesar, kemudian DCA dan karang lunak dengan penutupan sekitar 20%. Karang mati
dikedalaman 3m 21.17%, sedangkan untuk karang keras didominasi oleh Acropora bentuk
cabang (ACB) dengan 30.83%, Acropora bentuk meja (ACT) 19% dan karang cabang
11.5%.
Pulau Montuli mempunyai pantai berpasir putih yang indah dan bervegetasi
mangrove. Pada saat naik ke pantai hanya ditemui pondok-pondok yang hanya menjadi
tempat peristirahatan sementara oleh nelayan. Kondisi perairan sangat jernih dan sedikit
berarus. Ikan Indikator yang ditemukan antara lain ikan bendera (Zanclus cornutus)
berukuran besar, ikan major didominasi ikan keling (Labridae) dan Pomacentridae
(Chromis sp.), sedangkan ikan target yaitu ikan kakap dan kerapu (juvenile).
Avertebrata yang banyak ditemukan pada semua stasiun pengamatan di pulau ini
adalah lilia laut dari kelas Crinoidea pada kedalaman 3-10 meter, biasanya lilia laut ini
melekat pada karang. Beberapa jenis yang ditemukan yaitu Petasometra clarae,
Oxycomantus benneti dan Oxycomantus serra. Tridacna maxima dan Tridacna squamosa
ditemukan di sejumlah titik pengamatan dengan substrat pasir maupun karang masif pada
kedalaman 3 hingga 6 meter, beberapa diantara kima ini berukuran diatas 15 cm.
Anemon ditemukan pula disejumlah titik pengamatan, dengan kedalaman 3 hingga 5
meter, dengan lima spesies yaitu Entacmaea quadricolor, Heteractis magnifica, Heteractis
malu, Tube anemon dan Stichodactyla gigantea. Beberapa gastropoda yang ditemukan di
pulau ini adalah Clipeaster osimensis, Conus textile, Conus triatus, Cyprea tigris, Lambis
scorpius, dan Ovula ovum, beberapa diantaranya sudah merupakan cangkangnya saja.
3.10 PULAU SARONDE
Kondisi Terumbu Karang
Pulau Saronde terletak di Pantai Utara Gorontalo dekat dengan pelabuhan lama
Kwandang. Penutupan karang keras 35%, DCA 22.5%, pasir 17.5% dan avertebrata lain
10%, merupakan persentase terbesar penutupan dasar di pulau ini. Persentase kategori
lain semua dibawah 10%.
Divisi Kelautan, Pusat Kegiatan Penelitian Unhas - 19-
20. Ringkasan Eksekutif : Kajian Tentang Potensi, Kondisi, dan Status Pemanfaatan Terumbu Karang
Penutupan Dasar Pulau Saronde Kelimpahan Ikan Karang Pulau Saronde
Others 10
10% Sand 9
Algae
18%
Soft Coral 5%
3% 7
Rubble
8%
Hard Coral Dead Coral
34% Algae
22%
majo r indikato r target
Gambar 10. Komposisi Penutupan Dasar dan Ikan Karang Pulau Saronde
Warna tubuh ikan-ikan yang ada di pulau Saronde umumnya bercorak gelap atau
hitam. Spesies yang masih ditemukan antara lain :
Indikator : ikan kakatua (Scarus sp.) dan ikan bendera (Zanclidae)
Target : ikan baronang (Siganus sp.) dan ikan kakap (Lutjanidae)
Major : ikan kuli pasir (Acanthuridae) dan ikan giru (Chromidae)
Habitat terumbu karang tergolong rusak berat, banyak pecahan karang dan
kondisi perairan kurang begitu jernih, topografi landai kemudian slope dan substrat
berpasir. Rusaknya habitat disebabkan nelayan menangkap ikan dengan menggunakan
bom dan bius.
Ascidian hanya ditemukan dua spesies yaitu Didemnunm molle dan Poliycarpa
aurata meskipun organisme ini yang mendominasi daerah ini. Sedangkan untuk sponge
sebanyak tiga spesies yaitu Callyspongia sp, Clathria sp, dan Geliodes sp pada
kedalaman 1 hingga 5 meter dengan substrat karang mati, tetapi untuk kelas
Echinodermata ditemukan lima spesies, Diadema setosum, Echinometra mathaei,
Echinotrix calamaris, Eucidaris metularia dan Hetrocentrotus mammilatus yang hanya
ditemukan pada Pulau Saronde. Kelas Echonodermata ini hidup pada habitat terumbu
karang dengan substrat pasir maupun karang mati. Jumlah kima ditemukan ada tiga jenis
yaitu Tridacna crocea, Tridacna derasa, dan Tridacna squamosa, pada kedalaman 3
hingga 7 meter dengan substrat karang mati dan pasir.
3.11 PULAU HULAPA
Kondisi Terumbu Karang
Pulau ini memiliki pantai berpasir yang cukup cantik di salah satu sisinya, dimana
menjadi tempat bermukim penduduk yang jumlahnya tidak terlalu banyak. Di sisi
sebelahnya juga memiliki pantai berpasir yang cukup menarik, tetapi apabila kapal ingin
merapat terhalang oleh karang-karang.
Cantiknya pantai tidak didukung oleh keindahan terumbu karang, karena
penutupan karang keras hanya 25%, lebih sedikit dibanding DCA yang 26.67% dan
pecahan karang 15%. Pecahan karang tersebut menunjukkan pernah terjadi
pengeboman disekitar pulau ini.
Divisi Kelautan, Pusat Kegiatan Penelitian Unhas - 20-
21. Ringkasan Eksekutif : Kajian Tentang Potensi, Kondisi, dan Status Pemanfaatan Terumbu Karang
Penutupan Dasar Pulau Hulapa Kelimpahan Ikan Karang Pulau Hulapa
Others Sand
8%
19
Algae 10%
Rubble
5% 15%
Soft Coral
10%
10
Hard Coral Dead Coral 8
25% Algae
27%
majo r indikato r target
Gambar 11. Komposisi Penutupan Dasar dan Ikan Karang Pulau Hulapa
Penutupan tertinggi diperoleh DCA, di 3m mencapi 35.33% dan 10m 38.5%.
Persentase tertinggi karang keras di kedalaman 10m diperoleh dari karang biru (CHL)
13.5% dan Acropora bercabang 10.83%. Dikedalaman 3m, karang keras yang
penutupannya terbesar adalah CB 15.83%, CHL 9.33% dan karang bentuk masif (CM)
9%.
Kondisi perairan kurang bagus, substrat berbatu dan kondisi pulau mirip pulau
Saronde. Spesies unik yang ditemukan adalah ikan kakatua kepala benjol (Bolbometopon
muricatum) sekitar 20 ekor berukuran besar. Pada daerah dangkal masih banyak ikan
indikator dan major serta beberapa ikan target yang menjadikan daerah tersebut sebagai
tempat berlindung dan mencari makan.
Spirobranchus giganteus dan Spaghetti worm merupakan avertebrata yang
mendominasi pulau ini. Hampir pada semua titik pengatan dapat ditemukan Spirobranchus
giganteus yang tumbuh pada karang masif sebagai substratnya. Didemnum molle paling
banyak ditemukan pada substrat karang mati di pulau Hulapa sedangkan Polycarpa
aurata biasanya ditemukan pada substrat karang masif dengan kedalaman 1 hinggga 6
meter. Sama dengan Pulau Saronde jenis sponge yang ditemukan pada pulau ini hanya
berjumlah tiga spesies yaitu Callyspongia sp, Clathria sp, dan Geliodes sp, pada
kedalaman 1 hingga 6 meter dengan substrat karang mati dan karang masif.
3.12 PULAU MOHINGGITO
Kondisi Terumbu Karang
Penutupan Dasar Pulau Mohinggito Kelimpahan Ikan Karang Pulau M ohinggito
Algae Others Sand
5% 5% 19
Soft Coral 10%
Rubble
5% 15%
13
12
Hard Coral
37% Dead Coral
Algae
23%
m a jo r indik a t o r t a rge t
Gambar 12. Komposisi Penutupan Dasar dan Ikan Karang Pulau Mohinggito
Divisi Kelautan, Pusat Kegiatan Penelitian Unhas - 21-
22. Ringkasan Eksekutif : Kajian Tentang Potensi, Kondisi, dan Status Pemanfaatan Terumbu Karang
Kondisi terumbu karang di pulau inipun tidak jauh berbeda dengan P. Saronde dan
P. Hulapa. Persentase penutupan karang keras 37.5%, pasir 10%, rubble 15% dan DCA
22.5%. Selebihnya masing-masing 5% untuk karang lunak, algae dan avertebrata lain.
Hasil LIT memperlihatkan bahwa dikedalaman 10 dan 3 meter DCA tetap
mendominasi dengan sangat mencolok. Sedangkan penutupan karang keras di kedua
kedalaman tersebut menunjukkan bahwa Acropora bercabang yang paling menonjol
pertumbuhannya, dengan nilai 14.77% di kedalaman 10m dan 39.17% di 3m. Algae yang
dijumpai dari kelompok algae hijau adalah genera Halimeda, merupakan algae yang
cukup banyak ditemukan di sekitar pulau-pulau di provinsi Gorontalo ini.
Keanekaragaman ikan cukup tinggi pada daerah reef top dibandingkan reef edge
dimana pada saat itu kondisi perairan agak keruh. Spesies unik yang ditemukan antara
lain, ikan letter six (Paracanthurus hepatus) dan ikan badut (amphiprion ocellaris).
Organisme yang mendominasi adalah ascidian yaitu Didemnum mole dan
Polycarpa aurata dengan substrat rubble, karang mati dan karang masif, beberapa
ditemukan pada kedalaman 1 hingga 10 meter. Untuk kelas Echinodermata ditemukan
empat spesies pada kedalaman 3 hingga 7 meter, beberapa diantara organisme tersebut
nampak biota lain yang berasosiasi dengan Echinodermata, misalnya kepiting dan
crustacea lainnya. Sponge hanya ditemukan tiga jenis pada kedalaman 1 hingga 7 meter.
Untuk kima ditemukan hanya dua jenis yaitu Tridacna crocea dan Tridacna squamosa
dengan diameter dibawah 15 cm, pada kedalaman 3 hingga 6 meter dengan substrat
karang masif. Dari kelas Asteroidea ditemukan enam spesies.
3.13 PULAU RAJA
Kondisi Terumbu Karang
Penutupan Dasar Pulau Raja Kelimpahan Ikan Karang Pulau Raja
Others Seagrass
Algae Sand 15
Soft Coral 5% 1% Rubble
2% 8%
5% 16% 13
10
Hard Coral
Dead Coral
43%
Algae
20%
majo r indikato r target
Gambar 13. Komposisi Penutupan Dasar dan Ikan Karang Pulau Raja
Pulau ini juga dikenal dengan nama Pulau Motuo, merupakan salah satu pulau
yang ditetapkan sebagai daerah pariwisata. Pada salah satu sisi pulau dengan pantai
berbatunya, terumbu membentuk celah-celah dimana disekitarnya tumbuh koloni karang-
karang muda berbentuk meja. Secara keseluruhan rata-rata penutupan dasar di pulau ini
untuk karang keras adalah 43%, DCA 20% dan pasir 16%.
Divisi Kelautan, Pusat Kegiatan Penelitian Unhas - 22-
23. Ringkasan Eksekutif : Kajian Tentang Potensi, Kondisi, dan Status Pemanfaatan Terumbu Karang
Hasil diatas sangat jauh berbeda dengan hasil LIT di salah satu sisi dari pulau ini
yang pada saat pengamatan lebih tenang dibanding pantai berbatu. Pada kedalaman 10m
ditarik transek sepanjang 30m, hasilnya 90% DCA dan 10% lebihnya adalah karang keras,
karang lunak dan avertabrata lain. Hal yang sama dilakukan di kedalaman 3m dan
hasilnya sangat buruk, yaitu 100% adalah rubble atau pecahan karang. Pulau ini pernah
mengalami proses pemboman yang sangat intensif, terlihat dari hancuran karang yang
tersisa. Banyaknya pecahan karang dan karang-karang mati yang telah ditutupi algae
dengan berbagai macam bentuk, mulai dari bentuk masif yang besar bahkan kita dapat
menjumpai karang bentuk meja yang cukup besar dengan posisi terbalik.
Keanekaragaman ikan karang tergolong sedikit dimana kondisi terumbu karang
kurang bagus dan banyak patahan karang akibat penggunaan bahan peledak.
Kelimpahan ikan tidak banyak dimana kelimpahan tertinggi ditemukan pada kelompok
indikator yaitu ikan kepe-kepe dan ikan bendera. Untuk ikan konsumsi atau target sangat
jarang, ada beberapa yang dijumpai tapi masih berukuran kecil atau juvenil.
Polycarpa aurata, Didemnum molle, Diplosoma smilis, dan Rhopalaea crassa
merupakan avertebrata yang mendominasi Pulau Raja rata-rata ditemukan pada
kedalaman 3 hingga 10 meter dengan substrat karang masif dan karang mati. Selain itu
sponge ditemukan tiga jenis masing-masing Carteriospongia sp, Clathria sp dan Haliclona
sp, pada substrat karang mati di kedalaman 3 hingga 10 meter. Diantara karang hidup
banyak ditemukan lilia laut meskipun hanya dua spesies yaitu Oxycomantus serra dan
Oxycomanthus benneti. Jenis Hidroid yang terdapat pada pulau ini adalah Agalaophenia
cuprisina dan Gymnagium sp. Bivalvia terdapat dua jenis hanya pada satu stasiun
pengamatan yang diwakili oleh Tridacna crocea dan Tridacna squamosa. Organisme ini
ditemukan pada substrat karang masif dan pasir
3.14 PULAU PAPAYA
Kondisi Terumbu Karang
Penutupan Dasar Pulau Papaya Kelimpahan Ikan Karang Pulau Papaya
Others
Sand
17 17
Algae 8%
13%
Soft Coral 5% Rubble
5%
14
12%
Hard Coral
Dead Coral
34%
Algae
23%
majo r indikato r target
Gambar 14. Komposisi Penutupan Dasar dan Ikan Karang Pulau Papaya
Pulau Papaya terletak berhadapan dengan P. Motuo. Pulau ini memiliki pantai
berpasir yang cukup menarik, sehingga pulau inipun termasuk dalam pulau tujuan wisata.
Setelah dilakukan RRA disekeliling pulau ini, maka didapat rata-rata penutupan dasar
perairan P. Papaya ini adalah, karang keras 33.33%, DCA 23.33%, rubble 11.67%,
sedangkan pasir 13.33%.
Divisi Kelautan, Pusat Kegiatan Penelitian Unhas - 23-
24. Ringkasan Eksekutif : Kajian Tentang Potensi, Kondisi, dan Status Pemanfaatan Terumbu Karang
Keanekaragaman di daerah reef top lebih bagus dibandingkan reef edge dimana
kondisi pulau dan perairan masih lebih bagus dibandingkan dengan Pulau Raja. Spesies
umum yang ditemukan antara lain yaitu : ikan baronang (Siganidae), ikan janggut
(Parupeneus sp), ikan kerapu (Epinephelus sp.)
Organisme yang mendominasi pulau ini diwakili oleh genera Tridacna yang
ditemukan tiga spesies yaitu Tirdacna crocea, Tridacna derasa, dan Tridacna squamosa,
sebagian besar ditemukan pada kedalaman 3 hingga 7 meter dengan substrat karang
masif dan pasir. Jumlah Tridacna ini melimpah pada satu titik pengamatan. Kelompok
ascidian ditemukan tiga jenis yaitu Didemnum molle, Polycarpa aurata dan Rophlaea
crassa, pada substrat karang mati maupun karang masif dengan kedalaman 1 hingga 6
meter. Sponge ditemukan hanya tiga spesies yaitu, Clathria sp, Depmasapmma sp, dan
Plakortis nigra, pada kedalaman 3 hingga 7 meter dengan substrat karang mati ataupun
karang masif. Heteractis dan Macrodactyla merupakan dua genera anemon yang
ditemukan pada Pulau Papaya. Kelompok Nudibranch ditemukan satu genera yaitu
Phillidia serta Achantaster planci yang merupakan salah satu jenis Asteroidea pemakan
polp karang.
3.15 PULAU MOHA
Kondisi Terumbu Karang
Penutupan Dasar Pulau Moha Kelimpahan Ikan Karang Pulau M oha
Others Sand 25
Algae 10% 5% Rubble
5% 10%
Soft Coral
10%
Dead Coral
Algae
Hard Coral 20% 10 10
40%
majo r indikato r target
Gambar 15. Komposisi Penutupan Dasar dan Ikan Karang Pulau Moha
Penutupan karang keras di pulau ini adalah 40%, DCA 20%. 10% masing-masing
untuk rubble, karang lunak dan avertebrata lain. Sedangkan untuk pasir dan algae
penutupannya sama-sama 5%. Lebih dari 50% penutupan dasar di kedalaman 3 dan10
meter adalah DCA. Rubble di 10m 29% dan 3m 13.17%. Sedangkan penutupan karang
keras lebih tinggi di kedalaman 3m daripada 10m.
Spesies umum yang dijumpai : ikan labridae (Thallasoma sp.) jumlahnya sekitar
10 ekor, ikan ekor kuning (Caesio kuning) jumlahnya sekitar 20 ekor. Terumbu karang
sekitar Pulau Moha banyak yang rusak, menyebabkan keanekaragaman ikan karang
tidak tinggi. Ikan indikator banyak ditemukan di daerah dangkal (reef top) karena pada
daerah tersebut kondisi terumbu karang masih ada yang baik.
Dua genera yang dominan ditemukan dari kelompok ascidian yaitu Didemnum dan
Polycarpa pada kedalaman 1 hingga 6 meter dengan substrat rubble, karang mati dan
karang masif. Selanjutnya genera yang cukup banyak ditemukan diwakili oleh Diadema
Divisi Kelautan, Pusat Kegiatan Penelitian Unhas - 24-
25. Ringkasan Eksekutif : Kajian Tentang Potensi, Kondisi, dan Status Pemanfaatan Terumbu Karang
pada kedalaman 1 hingga 6 meter dengan substrat pasir dan karang mati. Kondisi
lingkungan yang banyak terdapat alga dan detritus disekitar pecahan karang dan
merupakan makanan Diadema sangat memungkinkan organisme ini melimpah.
Spirobranchus banyak ditemukan hidup soliter pada karang masif, pada kedalaman 3
meter. Salah satu jenis Anemon yang tidak bersimbion dengan Amphiprion ditemukan
pada pulau ini yaitu Acthinostephanus haeckeli .
3.16 PULAU LAMPU
Kondisi Terumbu Karang
Penutupan Dasar Pulau Lampu Kelimpahan Ikan Karang Pulau Lampu
Others Sand
Algae 5% 10% 11
15%
Rubble
Soft Coral 25%
5% 7
Hard Coral 6
13% Dead Coral
Algae
27%
m ajo r indikato r target
Gambar 16. Komposisi Penutupan Dasar dan Ikan Karang Pulau Lampu
Pulau ini tidak berpenghuni, kecuali beberapa orang penjaga lampu mercusuar
untuk Pelabuhan Kwandang yang lama. Pulau ini menunjukkan tanda-tanda bekas
pengeboman di waktu lampau yang sangat parah. Hasil RRA untuk penutupan dasar di
pulau ini memperlihatkan kondisi yang cukup parah. Penutupan karang keras hanya
12.5%, DCA 27.50%, rubble 25%, pasir 10%, Algae 15% dan untuk karang lunak serta
avertebrata lain, masing-masing 5%. Hasil LIT di kedalaman 3 dan 10 meter
memperlihatkan bahwa dari transek sepanjang 30 meter, 99.33% adalah rubble dan
0.67% karang masif (CM) pada kedalaman 10m. Sedangkan di kedalaman 3m, 100%
rubble. Sungguh keadaan yang memprihatinkan untuk sebuah pulau. Pada saat
penyelaman di kedalaman 3 dan 10 meter hanya ditemukan pecahan karang yang sudah
ditumbuhi alga dalam areal yang sangat luas.
Ikan-ikan yang ditemukan umumnya famili Labridae dan Acanthuridae, serta
beberapa juvenile ikan damsel/chromis. Kedalaman 3 meter masih lebih bagus
dibandingkan 10 meter. Hal ini disebabkan nelayan hanya menangkap ikan pada
kedalaman sekitar 10 meter atau lebih karena pada kedalaman tersebut banyak ikan
target berukuran besar dan bergerombol. Kelimpahan ikan karang spesies major,
indikator dan target mempunyai rasio perbandingan 7 : 11 : 6, dimana dalam sebuah
komunitas terdapat 7 ekor ikan major, 11 ekor ikan indikator dan 6 ekor ikan target.
Didemnum dan Polucarpa dari kelompok ascidian masih mendominasi averterbata
pada pulau ini. Kondisi habitat dipulau ini memungkinkan untuk ascidian hidup dalam
kondisi yang melimpah, dengan substrat karang mati, rubble maupun karang masif. Pada
semua stasiun pengamatan di pulau ini dapat ditemukan ascidian pada kedalaman 3
hingga 10 meter. Genera Callyspongia, Cribohalina dan Plakortis dari kelompok sponge
Divisi Kelautan, Pusat Kegiatan Penelitian Unhas - 25-
26. Ringkasan Eksekutif : Kajian Tentang Potensi, Kondisi, dan Status Pemanfaatan Terumbu Karang
masih dapat ditemukan meskipun kondisi karang pada daerah ini kurang baik, Spesies ini
berada pada kedalaman 3 hingga 10 meter dengan substrat karang mati. Pada salah satu
titik pengamatan masih ada ditemukan Panulirus versicolor (lobster) di daerah terumbu
yang masih baik dengan ukuran relatif dibawah 10 cm.
3.17 PULAU HUHA
Kondisi Terumbu Karang
Penutupan Dasar Pulau Huha Kelimpahan Ikan Karang Pulau Huha
Others
Algae Sand
5% 12
7% 17%
Soft Coral
10% Rubble
7%
8
Hard Coral 7
Dead Coral
25% Algae
29%
m a jo r indik a to r ta rge t
Gambar 17. Komposisi Penutupan Dasar dan Ikan Karang Pulau Huha
Kondisi P. Huha sedikit lebih baik, dengan penutupan karang keras 25% walaupun
penutupan DCA masih lebih besar (30%). Persentase karang lunak yang mencapai 10%,
memperlihatkan bahwa di pulau ini mulai terjadi suksesi terumbu karang menuju kondisi
yang lebih baik.
Topografi dasar perairan bentuknya landai sekitar 3 – 7 meter, setelah itu banyak
pecahan karang dan pasir. Ada beberapa jenis ikan yang masih dapat bertahan misalnya
dari famili Acanthuridae. Keanekaragaman sedikit, ikan berukuran besar yang sempat
ditemui yaitu famili Kyposidae sebanyak 20 ekor dan ikan platax sebanyak 5 ekor. Tapi
masih ada tempat yang ditemukan mulai berkembang dengan ditemukannya beberapa
juvenile ikan meskipun dalam jumlah relatif kecil.
Ada empat genera yang mendominasi avertebrata dengan dua kelompok yaitu dari
kelompok sponge yang diwakili oleh Clathria dan Haliclona serta kelompok ascidian
Didemnum dan Polycarpa. Hidroid dari genera Agalaophenia serta Oxycomanthus dari
kelompok lilia laut dapat ditemukan pada kedalaman 3 hingga 6 meter pada semua
stasiun pengamatan. Tridacna squamosa merapakan salah satu organisme yang masih
dapat ditemukan.
3.18 PULAU MALU
Kondisi Terumbu Karang
Letaknya hampir mendekati perbatasan antara Provinsi Gorontalo dengan Provinsi
Sulawesi Utara, perjalanan yang ditempuh sekitar 1jam 30 menit dari pelabuhan lama
Kwandang. Kondisi rata-rata penutupan dasar pulau ini adalah karang keras 35%, DCA
Divisi Kelautan, Pusat Kegiatan Penelitian Unhas - 26-
27. Ringkasan Eksekutif : Kajian Tentang Potensi, Kondisi, dan Status Pemanfaatan Terumbu Karang
17.5%, rubble 7.5% dan pasir 12.5%. Penutupan karang lunak juga tinggi (12.5%), gejala
di P. Lampu juga terjadi disini. Algae sebesar 5% dan avertebrata lain 10%.
Penutupan Dasar Pulau Malu Kelimpahan Ikan Karang Pulau M alu
Others Sand 16
Algae 10% 13%
Rubble 13
Soft Coral 5% 12
8%
13%
Dead Coral
Algae
Hard Coral 17%
34%
m ajo r indikat o r t arget
Gambar 18. Komposisi Penutupan Dasar dan Ikan Karang Pulau Malu
Titik penyelaman adalah suatu daerah yang arusnya cukup kencang, dimana
rubble dan DCA sangat mendominasi di kedalaman 10m dengan penutupan 50% dan
38.17%. Untuk 3m penutupan tertinggi adalah DCA dan karang lunak, dengan penutupan
mencapai 38.33% dan 32.5%. Penutupan karang bercabang (CB) dan karang masif di
kedalaman 3 meter lebih tinggi, yaitu 10.17% dan 8.5%.
Pada saat penyelaman di kedalaman 10 meter di temukan ikan kerapu bebek
/tikus (Cromileptes altivelis) sebanyak 2 ekor, dimana ikan ini agak sulit dijumpai pada
saat menyelam karena biasanya bersembunyi di celah-celah karang. Pada kedalaman 3
meter, keanekaragaman cukup tinggi dan dijumpai beberapa jenis kelompok ikan indikator
dengan jumlah lebih banyak. Hal ini menandakan bahwa daerah tersebut masih memiliki
terumbu karang yang baik. Sedangkan pada kedalaman 10 meter, keanekaragaman ikan
sudah berkurang. Hanya ada beberapa spesies yang soliter, yaitu ikan kerapu
(Epinephelus sp.) dan ikan kakap (Lutjanus gibbus).
Organisme yang mendominasi pada pulau ini ditemukan pada semua stasiun
pengamatan yaitu dari kelompok ascidian dengan dua genera Didemnum dan Polycarpa,
pada kedalaman 3 hingga 6 meter dengan substrat rubble dan karang mati. Crinoid dari
genera Oxycomanthus nampak banyak terdapat pada semua stasiun pengamatan,
dengan kedalaman 3 hingga 6 meter. Diadema setosum merupakan kelas Echinodermata
yang dapat dijumpai pada kedalaman 1 hingga 6 meter di semua stasiun pengamatan.
Namun untuk kelompok sponge ditemukan empat genera yaitu Clathria, Haliclona,
Lanthella dan Plakortis pada dua stasiun pengamatan di kedalaman 3 hingga 6 meter.
3.19 TANJUNG KERBAU
Kondisi Terumbu Karang
Untuk melakukan penyelaman yang tenang, mungkin lebih baik dilakukan pada
saat musim barat, karena apabila dilakukan di musim timur, ombak sangat besar, dengan
ketinggian mencapai lebih dari 1 meter. Tetapi keadaan tersebut terlupakan begitu
penyelaman dimulai, karena terumbu karangnya masih bagus, dengan persentase karang
hidup mencapai lebih dari 50%, baik di kedalaman 3m maupun 10m. Karang hidup
Divisi Kelautan, Pusat Kegiatan Penelitian Unhas - 27-
28. Ringkasan Eksekutif : Kajian Tentang Potensi, Kondisi, dan Status Pemanfaatan Terumbu Karang
didominasi oleh karang bentuk bercabang. Pertumbuhan karang pun cukup baik, karena
sampai lebih dari 20 meter masih dapat hidup, walaupun penutupannya tidak terlalu rapat,
karena mulai didominasi oleh pasir. Variasi organisme pun tinggi, selain ikan yang
beragam, ditemukan pula penyu sisik dan sponge dalam ukuran diatas rata-rata.
Penutupan Dasar Tanjung Kerbau Kelimpahan Ikan Karang Tanjung Kerbau
Others Sand
Algae
Rubble 46
10% 5% 5%
Soft Coral 5%
5% Dead Coral 35
Algae
15%
Hard Coral 20
55%
majo r indikato r target
Gambar 19. Komposisi Penutupan Dasar dan Ikan Karang Tanjung Kerbau
Tanjung kerbau atau Olele terletak pada wilayah pantai selatan provinsi Gorontalo,
dimana keanekaragaman biota lautnya sangat tinggi dibandingkan pulau-pulau lain
disekitarnya. Pengaruh gelombang sangat besar dan arus kencang, dimana substrat
dasar perairan umumnya berbatu. Lokasi ini memliliki tebing karang yang sangat indah
dan ada ditemukan gua-gua sehingga memberi keindahan tersendiri.
Ikan-ikan yang dijumpai beraneka ragam dan masih banyak yang bergerombol
dalam jumlah besar. Spesies langka yang ditemukan yaitu ikan Napoleon (Cheillinus
undulatus), ikan enjiel (Pomacanthus imperator),ikan belut (Gymnothorax javanicus) dan
ikan trigger kembang (Balistoides conspicillum). Biasanya ikan ini ditemukan di daerah
bertebing (drop off) dan berlindung di dalam celah-celah sekitar terumbu karang.
Kelimpahan kelompok ikan major merupakan kelompok dengan kelimpahan terbesar yaitu
sekitar 46 ekor/250 m2, kemudian disusul ikan target sebesar 35 ekor/250 m2dan indikator
sekitar 20 ekor/250 m2.
Pada kedalaman 3 hingga 20 meter ditemukan tujuh genera kelompok sponge
yaitu Callyspongia, Carteriospongia, Geliodes, Haliclona, Lanthella, Phillospongia, dan
Xextospongia. Sponge nampak mendominasi pada daerah tanjung kerbau, sedangkan
kelompok hidroid ditemukan tiga genera yaitu Agalaophenia, Gymnagium, dan Plumularia.
Lilia laut dijumpai pada kedalaman 2 hingga 20 meter diwakili oleh tiga genera yaitu
Oxycomanthus, Chomanthia dan Canometra. Biasanya lilia laut berada diatas karang.
Divisi Kelautan, Pusat Kegiatan Penelitian Unhas - 28-
29. Ringkasan Eksekutif : Kajian Tentang Potensi, Kondisi, dan Status Pemanfaatan Terumbu Karang
4 KESIMPULAN
1. Secara umum kondisi terumbu karang di Provinsi Gorontalo bervariasi mulai dari yang
sangat jelek sampai kondisi yang sangat baik. Namun berdasarkan perhitungan rata-
rata, tingkat kerusakan umumnya telah mencapai sekitar 40-60% (kondisi sedang).
Namun pada beberapa titik seperti di Pulau Lampu dapat mencapai sekitar 70%.
2. Daerah yang berdekatan dengan massa daratan utama, kecuali di sekitar Tanjung
Kerbau, terumbu karangnya relatif kurang baik, hal ini pada umumnya akibat
sedimentasi dan penambangan batu karang, disamping dengan akitifitas destructive
fishing lainnya.
3. Beberapa daerah di pulau-pulau dan gusung-gusung kondisi karangnya masih relatif
baik, namun tidak kurang yang telah rusak utamanya akibat aktifitas penggunaan alat
yang merusak seperti bom dan sianida.
4. Penyebab kerusakan terumbu karang lainnya kemungkinan adalah akibat pemutihan
karang (bleaching) oleh pemanasan global, sementara tanda-tanda terjadinya predasi
akibat bintang laut bermahkota atau penyakit serta overgrowth oleh alga makro relatif
sedikit.
5. Beberapa pulau yang selama ini di plot sebagai daerah prospek parawisata seperti
Pulau Lampu justru memiliki karang mati yang sangat tinggi yakni antara 40-70%,
dengan rata-rata karang mati yang telah berbentuk pecahan karang (ruble) dan karang
tertutupi algae lebih dari 50%.
6. Tingkat pemanfaatan organisme asosiasi seperti kerang-kerangan dan organisme
avertebrata lainnya masih relatif baik, dengan tingkat kepadatan dan jumlah jenis yang
masih tinggi.
7. Walaupun populasi ikan-ikan karang yang menjadi target penangkapan masih relatif
baik, namun ada indikasi terjadi penangkapan berlebih, terutama untuk jenis-jenis ikan
kerapu yang saat ini jumlah jenis dan kepadatan serta ukurannya relatif kecil.
8. Harapan terjadinya pemulihan secara alami di beberapa lokasi terutama di daerah
pulau-pulau dan gusung kelihatannya masih besar, hal ini ditandai dengan cukup
banyaknya dijumpai karang baru (recruits).
5 REKOMENDASI / IMPLEMENTASI KEBIJAKAN
1. Mengingat tingginya tingkat kerusakan terumbu karang yang ada di Provinsi
Gorontalo, maka perlu segera menadapat perhatian dari semua pihak terkait untuk
menjalankan tugas pokok dan fungsi masing-masing dalam upaya menyelematkan
terumbu karang yang masih tersisa
2. Agar upaya pengelolaan dan rehabilitasi terumbu karang bisa lebih berjalan secara
efektif, diperlukan adanya peraturan daerah (perda) pengelolaan terumbu karang baik
di tingkat provinsi maupun di tingkat kabupaten untuk secara khusus mengatur
penyelamatan dan perbaikan ekosistem terumbu karang secara komprehensif
3. Program-program yang ada selama ini yang berhubungan dengan pengelolaan dan
rehabilitasi terumbu karang (mis. MCRM dan program DKP Provinsi Gorontalo) perlu
disingkrongkan satu sama lain agar tidak mubassir dan cenderung tidak di follow-up
4. Upaya mendesak yang perlu segera dilakukan adalah menyetop atau mengurangi
sumber-sumber pengrusakan terumbu karang tersebut seperti penggunaan alat
Divisi Kelautan, Pusat Kegiatan Penelitian Unhas - 29-
30. Ringkasan Eksekutif : Kajian Tentang Potensi, Kondisi, dan Status Pemanfaatan Terumbu Karang
merusak , penambangan, dan mengupayakan pengurangan tingkat sedimentasi dari
lahan atas. Upaya rehabilitasi hanya dibutuhkan pada lokasi-lokasi yang memang
secara ekologis tidak dapat lagi atau sangat sulit untuk pulih secara alami.
5. Pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya yang berasosiasi dengan terumbu karang
(ikan dan avertebrata) perlu disusun secara detail dan komprehensif agar
pemanfaatannya dapat lebih optimal dan berkelanjutan
6. Untuk mengoptimalkan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ini (termasuk
pariwisata bahari), maka berdasarkan hasil kajian ini perlu segera disusun zonasi
pengelolaan yang disingkrongkan dengan rencana tata ruang wilayah pesisir dan laut
Provinsi Gorontalo.
REFERENSI
English, S.C.; Wilkinson and Baker, V., 1997. Survey Manual for Tropical Marine
Resources. Asean. ASEAN-Australia Marine Science Project: Living Coastal
Resources. p. 68-80.
Gomez, E.D. and Halen, T.Y., 1988. Monitoring Reef Condition. In: Eds.:
R.A. Kenchington and B.E.T., Hudson. p.187-195. UNESCO. Jakarta.
Gunderson, D. R.,1993. Surveys of Fisheries Resources. John Wiley & Sons Inc., New
York – Singapore. p. 183-214.
Hutomo, M., 1993. Pengantar Studi Ekologi Komunitas Ikan Karang dan Metode
Pengkajiannya. Puslitbang Oseanologi. LIPI. Jakarta. p. 35.
Jompa, J. Thana, D, Sudirman 2003. Bahan Kuliah Wawasan Sosial Budaya Bahari,
Aspek Bio-Ekologis. MKDU, Universitas Hasanuddin Press.
Lieske E. & R. Myers, 1994. Reef Fishes of the World. Periplus Edition, Singapore.
400p.
Mannual – CRITC, 2001. Project Management Office (PMO). COREMAP. Jakarta.
Randall, J.E and Heemstra, P.C., 1991. Indo-Pacific Fishes. Revision of Indo-Pacific
Grouper (Perciformes: Serranidae: Epinepheliae), With Description of Five New
Species.
Divisi Kelautan, Pusat Kegiatan Penelitian Unhas - 30-
31. RINGKASAN EKSEKUTIF
LAPORAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN
KAJIAN TENTANG POTENSI, KONDISI, DAN
STATUS PEMANFAATAN TERUMBU KARANG
KERJASAMA:
DIVISI KELAUTAN, PUSAT KEGIATAN PENELITIAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
DENGAN
BADAN PENELITIAN, PENGEMBANGAN, DAN PENGENDALIAN
DAMPAK LINGKUNGAN DAERAH
(BALITBANGPEDALDA) PROVINSI GORONTALO
GORONTALO
2004