Telah dilakukan penelitian pada bulan November - Januari 2018 dikawasan Hutan Lindung Angke Kapuk (HLAK), Jakarta. Luas hutan Mangrove di kawasan HLAK mencapai luasan 44,76 Ha. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Biodiversitas Gastropoda sebagai Bioindikator kualitas perairan di kawasan mangrove Hutan Lindung Angke Kapuk (HLAK), Jakarta. Pengambilan sampel ditentukan secara Random Sampling, dimana lokasi terdiri dari 3 stasiun pengamatan. Pengamatan tiap stasiun dilakukan dengan menggunakan metode transek dengan ukuran 10 x 10 m. Analisis data yang dilakukan meliputi keanekaragaman dan Bioindikator kualitas air berdasarkan indeks keanekaragaman. Hasil penelitian pada 3 Stasiun ditemukan 4 jenis Mollusca yang mewakili 2 famili dari kelas Gastropoda, yakni Cassidula aurisfelis, Ellobium aurismidae, Pythia Sp, dan Littoraria Scabra. Keanekaragaman Gastropoda dihitung dengan menggunakan indeks Shannon-Weiner (H’). Keanekaragaman Gastropoda dihitung dengan menggunakan indeks Shannon-Weiner dengan hasil berkisar antara 0,37 – 0,54 masuk dalam kategori rendah. Kualitas perairan dengan menggunakan indeks keanekaragaman menunjukan bahwa kawasan mangrove Hutan Lindung Angke Kapuk (HLAK) memiliki kualitas air sangat tercemar yang mana sumber pengaruhnya berasal dari limbah sampah.
1. i
LAPORAN PENELITIAN EKOLOGI PERAIRAN
BIODIVERSITAS GASTROPODA SEBAGAI BIOINDIKATOR KUALITAS
PERAIRAN DI KAWASAN HUTAN LINDUNG ANGKE KAPUK, JAKARTA
Dosen Pengampu : Marlenny Sirait, S.Si, M.Si.
Oleh :
Galih Adi Nugroho
021601503125008
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS SATYA NEGARA INDONESIA
JAKARTA
2018
2. ii
KATA PENGANTAR
Puji Syukursaya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat,
rahmat, dan anugerahnya saya dapat menyelesaikan tugas laporan penelitian yang
berjudul “Biodiversitas Gastropoda Sebagai Bioindikator Kualitas Perairan Di
Kawasan Hutan Lindung Angke Kapuk, Jakarta” tepat pada waktunya. Penyusunan
makalah ini bertujuan untuk menyelesaikan tugas akhir mata kuliah Ekologi Perairan.
Laporan ini berisi tentang uraian hasil praktikum mengenai pengaruh besarnya Indeks
Keanekaragaman Gastropoda sebagai Bioindikator terhadap kualitas perairan Mangrove
di Kapuk Muara, Jakarta.
Dalam penyusunan laporan ini, penulis menyadari bahwa hasil laporan
penelitian ini masih jauh dari kata sempurna. Sehingga saya selaku penulis sangat
mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca sekalian.
Akhir kata semoga laporan penelitian ini dapat memberikan manfaat untuk para
pembaca pada umumnya.
Jakarta, Januari 2018
Penyusun
3. iii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ii
DAFTAR ISI iii
DAFTAR GAMBAR v
DAFTAR TABEL vi
DAFTAR LAMPIRAN vii
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Tujuan Penelitian 2
1.3 Manfaat Penelitian 2
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Mangrove 3
2.1.2 Fungsi dan Manfaat Mangrove 4
2.2 Mollusca 4
2.2.1 Struktur Tubuh Mollusca 5
2.2.2 Sistem Organ Mollusca 5
2.2.3 KlasifikasiKelas Mollusca 6
2.2.3.1 Ampineura 6
2.2.3.2 Chepalophoda 7
2.2.3.3 Gastropoda 8
2.2.3.4 Schapoda 9
2.2.3.5 Bivalvia 10
2.3 Bioindikator Perairan. 11
2.3.1 Makrozoobentos Sebagai Bioindikator Perairan 14
III. KEGIATAN PELAKSANAAN
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian 17
4. iv
3.2 Alat dan Bahan 17
3.3 Metodologi Penelitian. 18
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Keanekaragaman dan Parameter Lingkungan Mollusca 20
4.2 Kualitas Air di Perairan HLAK Berdasarkan Indeks Keanekaragaman 25
V.PENUTUP
5.1 Kesimpulan 27
5.2 Saran 27
DAFTAR PUSTAKA 34
LAMPIRAN 28
5. v
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.Chiton Sp 7
Gambar 2.Cephalopoda Sp 8
Gambar 3.Gastropoda, Subclass Prosobranchia.. 9
Gambar 4.Class Schapoda, Dentalium Octangulatum 9
Gambar 5. Bivalvia, Genus : Chlamys 10
Gambar 6. Lokasi penelitian dan Titik stasiun 17
Gambar 7. Transek 18
6. vi
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Klasifikasi Tingkat Pencemaran ( Lee,1978 dalam Melati 2007 ) 16
Tabel 2. Alat dan Bahan 17
Tabel 3. Spesies Gastropoda Yang Ditemukan di Setiap Stasiun Penelitian 20
Tabel 4. H’, Kriteria, dan Bioindikator perairan berdasarkan H’ 21
Tabel 5. Kandungan Fisika-Kimia Perairan 22
Tabel 6. Tingkat kesuburan perairan. 24
7. vii
LAMPIRAN
1. Jumlah Gastropoda Yang Ditemukan Pada Tiap Stasiun 29
2. Jumlah Dan Spesies Dari Random Sample 29
3. Penentuan Jumlah Spesies Tiap Stasiun 29
4. Perhitungan Indeks Keanekaragaman Gastropoda Tiap Stasiun 30
5. Kondisi Mangrove Pada Stasiun 3 32
6. Tumpukan Sampah Pada Lokasi Penelitian 32
7. Pemasangan Transek 33
8. Tanggul Penahan Sampah 33
9. Sampah yang Tertahan Saat Air surut 34
8. 1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Hutan mangrove atau sering juga disebut hutan bakau atau hutan payau
mempunyai sifat yang khas serta mempunyai fungsi dan manfaat yang beranekaragam
bagi Indonesia dan makhluk hidup lainnya. Potensi hutan mangrove dapat ditinjau dari
dua aspek yaitu aspek ekologis dan aspek ekonomis. Aspek ekologis lebih ditekankan
kepada kemampuan hutan mangrove dalam mendukung ekosistem lingkungan, sebagai
hutan air asin, penahan angin, penyaring bahan- bahan pencemar, penahan ombak,
pengendali banjir, habitat berbagai jenis biotalaut seperti udang, ikan, dan sebagainya.
Sedangkan aspek ekonomis adalah berupa produk bernilai komersial, antara lain kayu
untuk bahan bangunan, energy, dan bahan pembuat kertas (Melani, 1996). Sebagai salah
satu ekosistem pesisir, hutan mangrove merupakan ekosistem yang unik dan rawan.
Wilayah ini kaya dan memiliki beragam sumber daya alam yang telah dimanfaatkan
sebagai sumber bahan makanan utama, khususnya protein hewani.Selain memiliki
potensi yang besar, beragamnya aktifitas manusia di wilayah pesisir menyebabkan
daerah ini merupakan wilayah yang paling mudah terkena dampak kegiatan manusia.
Akibat lebih jauh adalah terjadinya penurunan kualitas perairan pesisir, karena adanya
masukan limbah yang terus bertambah (Rachmawaty, 2011).
Keberadaan ekosistem mangrove di DKI Jakarta berada di kawasan Hutan
Lindung Angke Kapuk (HLAK), Kel. Kamal Muara, Kec. Penjaringan, Kota Jakarta
Utara. Dimana Hutan Lindung Angke Kapuk (HLAK) itu sendiri adalah hutan
mangrove seluas 44.76 hektar yang dimiliki Pemerintah Provinsi DKI Jakarta
(Pemprov), yang terletak pada 6°06'16.2"S 106°45'04.9"E dan 6°06'16.7"S
106°45'44.0"E.
Mengutip pendapat Asisten Deputi Ekosistem Pesisir Laut KLH, disebutkan
bahwa sekitar 1500 m3 sampah Jakarta per hari masuk ke Teluk Jakarta melalui sungai.
Juga disebutkan bahwa 80% pencemaran laut bersumber dari limbah domestik, hanya
9. 2
20% yang bersumber dari industri. Sementara itu hasil penelitian BPLHD (biro
lingkungan hidup daerah) Jakarta juga menunjukkan bahwa kualitas air Teluk Jakarta
sangat dipengaruhi oleh 13 sungai yang bermuara di pesisir Teluk Jakarta.
Pengkajian kualitas perairan dapat dilakukan dengan berbagai cara, seperti dengan
analisis fisika dan kimia air serta analisis biologi. Untuk perairan yang dinamis, analisa
fisika dan kimia air kurang memberikan gambaran sesungguhnya kualitas perairan, dan
dapat memberikan penyimpangan-penyimpangan yang kurang menguntungkan, karena
kisaran nilai-nilai peubahnya sangat dipengaruhi keadaaan sesaat. Bourdeau dan
Tresshow (1978) dalam Butler (1978) menyatakan bahwa dalam lingkungan yang
dinamis, analisis biologi khususnya analisis struktur komunitas hewan bentos, dapat
memberikan gambaran yang jelas tentang kualitas perairan. Gastropoda sebagai
organisme yang hidup di perairan sangat peka terhadap perubahan kualitas air tempat
hidupnya. Perubahan lingkungan perairan berpengaruh terhadap komposisi dan
keragaman populasi kelas tersebut (Odum, 1993).
Berdasarkan uraian diatas maka tertarik untuk melakukan penelitian untuk melihat
Biodiversitas Gastropoda sebagai Bioindikator kualitas perairan mangrove HLAK.
1.2 Tujuan Penelitian
Adapaun Tujuan diadakannya penelitian ini adalah ;
• Mengetahui Indeks Keanekaragaman (H’) Gastropoda pada kawasan mangrove
Hutan Lindung Angke Kapuk (HLAK), Jakarta.
• Mengetahui kualitas Perairan berdasarkan Indeks Keanekaragaman Gastropoda
sebagai Bioindikatornya.
1.3 Manfaat Penelitian
Manfaat kegiatan penelitian ini adalah dapat mengetahui secara langsung kondisi
umum perairan ekosistem mangrove dengan Keanekaragaman Gastropoda sebagai
Bioindikatornya dan sebagai referensi untuk penelitian-penelitian selanjutnya
10. 3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Mangrove
Kawasan pesisir dan laut merupakan sebuah ekosistem yang terpadu dan saling
berkolerasi secara timbal balik. Ekosistem mangrove banyak dijumpai pada sepanjang
pantai tropis dan subtropis dan menjadi bagian ekosistem yang penting dan komplek
karena mendukung ekosistem lain di sekitarnya. Hutan mangrove merupakan suatu
varietas komunitas yang didominasi oleh beberapa spesies pohon yang khas atau semak
yang mempunyai kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin. Hutan mangrove
meliputi 8 famili, dan terdiri atas 12 genera tumbuhan berbunga : Avicennia,
Sonneratia, Rhyzophora, Bruguiera, Ceriops, Xylocarpus, Lummitzera, Laguncularia,
Aegiceras, Aegiatilis, Snaeda, dan Conocarpus (Tomlinson,1994; Bengen, 2000;
Hogarth, 2007).
Di Indonesia mangrove tumbuh di atas tanah lumpur aluvial di daerah pantai
atau muara sungai yang dipengaruhi pasang surut air laut. Jenis-jenis mangrove yang
tumbuh di Indonesia antara lain Avicennia, Sonneratia, Rhizophora, Bruguiera,
Ceriops, Lumnitzera, Excoecaria, Xylocarpus, Aegiceras, Scyphyphora dan Nypa.
Adapun ciri-ciri dari hutan mangrove, terlepas dari habitatnya yang unik, adalah :
memiliki jenis pohon yang relatif sedikit; memiliki akar yang unik misalnya seperti
jangkar melengkung dan menjulang pada bakau Rhizophora spp., serta akar yang
mencuat vertikal seperti pensil pada pidada Sonneratia spp. dan pada api-api Avicennia
spp.; memiliki biji (propagul) yang bersifat vivipar atau dapat berkecambah di
pohonnya, khususnya pada Rhizophora; memiliki banyak lentisel pada bagian kulit
pohon. Sedangkan tempat hidup hutan mangrove merupakan habitat yang unik dan
memiliki ciri-ciri khusus, diantaranya adalah : tanahnya tergenang air laut secara
berkala, baik setiap hari atau hanya tergenang pada saat pasang; tempat tersebut
menerima pasokan air tawar yang cukup dari darat; daerahnya terlindung dari
gelombang besar dan arus pasang surut yang kuat; airnya berkadar garam (bersalinitas)
11. 4
payau (2-22 ‰). Karakteristik dari ekosistem mangrove dipengaruhi oleh keadaan
tanah, salinitas, penggenangan, pasang surut, dan kandungan oksigen. Adapun adaptasi
dari tumbuhan mangrove terhadap habitat tersebut tampak pada morfologi dan
komposisi struktur tumbuhan mangrove (Rismunandar, 2000).
2.1.2 Fungsi dan Manfaat Mangrove
Secara biologi fungsi dari hutan mangrove antara lain sebagai daerah asuhan
(nursery ground) bagi biota yang hidup pada ekosistem mengrove, fungsi yang lain
sebagai daerah mencari makan (feeding ground) karena mangrove merupakan produsen
primer yang mampu menghasilkan sejumlah besar detritus dari daun dan dahan pohon
mangrove dimana dari sana tersedia banyak makanan bagi biota-biota yang mencari
makan pada ekosistem mangrove tersebut, dan fungsi yang ketiga adalah sebagai daerah
pemijahan (spawning ground) bagi ikan-ikan tertentu agar terlindungi dari ikan
predator, sekaligus mencari lingkungan yang optimal untuk memisah dan membesarkan
anaknya. Selain itupun merupakan pemasok larva udang, ikan dan biota lainnya
(Tomlinson, 1994; Hogarth, 2007).
Mangrove memproduksi nutrien yang dapat menyuburkan perairan laut,
mangrove membantu dalam siklus nutrien seperti karbon, nitrogen dan sulfur, serta
perairan mengrove kaya akan nutrien baik nutrien organik maupun anorganik. Dengan
rata-rata produksi primer yang tinggi mangrove dapat menjaga keberlangsungan
populasi ikan, krustasea, kerang dan lainnya. Mangrove menyediakan tempat
perkembangbiakan dan pembesaran bagi beberapa spesies hewan laut bernilai ekonomi
tinggi (Hogarth, 2007). Mangrove juga banyak memberikan fungsi ekologis diantaranya
sebagai pelindung garis pantai, mencegah intrusi air laut,sebagai habitat (tempat tinggal)
berbagai organisme laut dan juga terrestrial.
2.2 Mollusca
Secara bahasa Mollusca berasal dari bahasa yunani yang artinya lunak. Jadi
Mollusca merupakan kelompok hewan invertebrata yang bertubuh lunak dan
multiseluler. Anggota dalam filum mollusca ini mencapai 100.000 spesies dan ilmu
yang mempelajarinya disebut malakologi. Ukuran Tubuh dari Molusca sangat
12. 5
bervariasi, bahkan ada cumi – cumi raksasa yang tergolong ke dalam kelompok
mollusca ini yang panjangnya dapat mencapai 18 m. Mollusca ini mudah ditemukan di
berbagai tempat, baik darat mapun di air. Pada Filum ini dapat dibedakan individu
jantan dan betina, namun beberapa jenis merupakan hermafrodit yaitu memiliki 2
kelamin (jantan dan betina) dalam satu tubuh.
2.2.1 Struktur Tubuh Mollusca
Mollusca biasanya memiliki bentuk tubuh simetri bilateral ( bila ditarik garis
memotong yang membagi tubuhnya dari depan ke belakang akan didapatkan dua
sisi yang sama), tubuhnya relatif bulat dan pendek. Tubuh lunak dari mollusca ini
dilindungi oleh cangkang, namun beberapa adapula yang tidak bercangkang.
Tubuh Mollusca memiliki 3 struktur utama, yaitu :
• Kaki, merupakan penjuluran bagian tubuh yang terdiri atas otot – otot.
Kaki ini berfungsi untuk bergerak, merayap, atau menggali. Pada beberapa
jenis mollusca kaki digantikan dengan tentakel yang berfungsi untuk
menangkap mangsa.
• Massa Viseral, merupakan bagian tubuh yang lunak tempat terdapatnya
organ-organ tubuh. Massa ini diselubungi jaringan tebal yang disebut
mantel.
• Mantel merupakan bagian yang menyelubungi dan melindungi massa
viseral. Pada mantel terdapat rongga cairan yang merupakan tempat
lubang insang, anus dan cairan hasil eksresi. Mantel ini juga dapat
mensekresikan komponen yang akan membentuk cangkang.
2.2.2 Sistem Organ Mollusca
• Sistem Peredaran Darah Mollusca merupakan sistem peredaran darah
terbuka, kecuali pada kelas cephalopoda. Artinya darah mengalir dari
rongga terbuka pada tubuh dan tidak ada arteri atau vena utama yang dapat
meningkatkan tekanan darah, sehingga tekanan darahnya lambat dan juga
13. 6
organ tergenang oleh darah. Sistem Peredaran darahnya terdiri atas jantung
dan pembuluh darah, jantung terdiri atas satu atau dua atrium dan satu
ventrikel.
• Sistem Pencernaan Mollusca terdiri dari Mulut, esofagus, lambung, usus
dan anus. Pada Jenis Mollusca tertentu, dibagian mulutnya terdapat organ
seperti rahang dan lidah yang bergerigi yang dapat bergerak ke depan dan
ke belakang.
• Sistem Saraf dari Mollusca terdiri dari cincin saraf yang mengelilingi
esofagus dan serabut saraf lainnya yang menyebar dari cicin tersebut untuk
mempersarafi berbagai organ.
• Sistem Eksresi dari Mollusca terdiri dari Nefridia yang berperan seperti
ginjal, Nefridia ini juga mengeluarkan sisa metabolisme dalam bentuk
cairan.
• Sistem Respirasi Mollusca apabila hewan hidup di air maka yang berperan
adalah insang, sedangkan yang hidup di darat melalui paru-paru namun
juga dapat terjadi melalui pertukaran udara pada pembuluh darah yang
terdapat di mantel, sistem ini fungsinya seperti paru – paru.
2.2.3 KlasifikasiKelas Mollusca
Mollusca diklasifikasikan menjadi lima jenis lagi yaitu
2.2.3.1 Amphineura
Amphineura adalah kelompok yang memiliki 8 cangkang tersusun seperti atap
rumah pada tubuhnya. Cangkang tersebut terbuat dari zat kapur. Hewan ini memiliki
tubuh simetri bilateral, tubuhnya bulat seperti telur dan pipih. Hewan ini hanya terdapat
di laut dan biasnya menempel pada bebatuan, karena hidup di laut maka ia bernapas
dengan insang. Sistem pencernaan berawal dari mulut dan berakhir dengan anus. Ia
memiliki kaki berbentuk pipih, dan memiliki struktur lidah parut (Ranula) yang
melengkapi struktur mulut di bagian kepala. Ia tidak memiliki tentakel dan tidak
mempunyai mata. Anggotannya sekitar 700 spesies dan Setiap larva hasil pembuahan
secara seksual disebut trafoko.
14. 7
Gambar 1, Chiton Sp (from shutter stock)
2.2.3.2 Cephalopoda
Cephalopoda adalah kelompok yang memiliki kaki pada bagian kepalanya.
Tubuhnya terbagi menjadi bagian kepala, leher , dan badan. Bagian kepalanya relatif
besar dan memiliki 2 buah mata. Hewan ini tidak memiliki cangkang. Pada kepalanya
terdapat 10 bagian memanjang, 8 diantaranya berfungsi sebagai lengan berukuran
panjang yang disebut tentakel. Hewan ini memiliki rongga mantel yang ditutupi oleh
mantel khas yang ada padanya. Habitatnya di laut. Hewan ini bernapas dengan insang,
memiliki sistem pencernaan yang lengkap, sistem peredaran darah tertutup, dan
fertilisasinya terjadi di air laut. Cephalopoda dapat berubah warna dengan cepat karena
memiliki otot khusus dan zat kromatofora yang akan melakukan kombinasi perubahan
warna tubuhnya. Umumnya ia melarikan diri dari mangsanya dengan menghasilkan
sejenis cairan seperti tinta.
15. 8
Gambar 2, Cephalopoda sp.( fromAlamy stock Photo )
2.2.3.3 Gastropoda
Gastropoda adalah kelompok yang menggunakan perutnya sebagai kaki untuk
bergerak. Kata Gastropoda berasal dari 2 kata, yaitu Gaster yang artinya perut dan
Podos yang artinya kaki. Perut hewan ini dapat menghasilkan lendir yang berfungsi
untuk melindungi dan mempermudahnya dalam bergerak. Gastropoda memiliki
cangkang dan tubuhnya simetri bilateral. Pada bagian kepala terdapat 2 buah tentakel
yang berfungsi sebagai indra penglihatan dan penciuman. Hewan ini merupakan
hermafrodit (memiliki dua buah alat kelamin dalam 1 tubuh), alat kelaminnya disebut
Ovotestis yang dapat menghasilkan sperma dan ovum. Sistem pernapasannya dengan
menggunakan paru – paru atau insang yang terdapat di dalam rongga mantel.
Gastropoda memiliki mulut dengan alat bergerigi seperti penuh gigi yang disebut
radula. Ia biasa memakan tumbuhan, namun adapula yang memangsa hewan lainnya.
Sistem pencernaannya lengkap dan eksresinya melalui nefridia yang bekerja seperti
ginjal. Contoh Hewan ini adalah siput.
16. 9
Gambar 4, Class Schapoda, Dentalium Octangulatum (From Shutterstock)
2.2.3.4 Schaphopoda
Scaphopoda adalah kelompok yang memiliki cangkang berbentuk tajam seperti
taring atau terompet. Habitatnya pada daerah yang berlumpur atau berpasir, dan hidup
dengan menanamkan diri pada daerah tersebut. Mampu hidup dilaut hingga kedalaman
5000 m. Pada ujung cangkangnya terdapat lubang yang berfungsi untuk menyesuaikan
diri dengan habitatnya. Scaphopoda memiliki kaki kecil yang berfungsi untuk bergerak,
pada kepalanya terdapat beberapa tentakel dan tidak mempunyai insang.
Gambar 3, Gastropoda, Subclass Prosobranchia ( from Shutterstock)
17. 10
2.2.3.5 Bivalvia
Kelas ini adalah kelompok mollusca yang memiliki kaki pipih dan cangkang
terdiri atas 3 lapisan. Lapisan – lapisan cangkangnya adalah :
Periostrakum, yaitu lapisan paling luar yang terdiri dari zat kitin, berfungsi untuk
pelindung tubuh.
Prismatic, yaitu lapisan tengah yang terdiri atas kristal CaCo3
Nakreas, yaitu lapisan paling akhir yang terdiri atas CaCo3 halus, berfungsi
menghasilkan sekret lapisan mutiara.
Kaki dari hewan ini berbentuk seperti kapak yang pipih, dan ia bernapas dengan
insang yang berlapis-lapis. Pelecypoda memiliki alat keseimbangan yang disebut
statocis yang terletak dekat ganglion pedal. Reproduksi berlangsung secara seksual.
dan membentuk larva yang disebut glosidium. Sistem peredaran darahnya
merupakan sistem peredaran darah tertutup. Anggotanya sekitar 300 spesies.
Gambar 5, Bivalvia, Genus : Chlamys ( from Shutterstock)
18. 11
2.3 Bioindikator Perairan
Bioindikator adalah organisme yang memiliki sensitifitas terhadap perubahan
lingkungan sehingga dapat digunakan sebagai tanda terjadinya perubahan tersebu.
Menurut Harman (1974), organisme yang dijadikan sebagai indikator biologi harus
memiliki sifat sebagai berikut :
1.Mudah dikenal oleh peneliti yang bukan spesialis.
2.Mempunyai sebaran yang luas di dalam lingkungan perairan.
3.Memperlihatkan daya toleransi yang hampir sama pada kondisi lingkungan
perairan yang sama.
4.Jangka waktu hidupnya relatif lama.
5.Tidak cepat berpindah tempat bila lingkungannya dimasuki bahan pencemar.
Hewan bentos hidup relatif menetap, sehingga baik digunakan sebagai petunjuk
kualitas lingkungan, karena selalu kontak dengan limbah yang masuk ke habitatnya.
Kelompok hewan tersebut dapat lebih mencerminkan adanya perubahan faktor-faktor
lingkungan dari waktu kewaktu. karena hewan bentos terus menerus terdedah oleh air
yang kualitasnya berubah-ubah (Oey, et al1.,1978). Diantara hewan bentos yang relatif
mudah diidentifikasi dan peka terhadap perubahan lingkungan perairan adalah jenis-
jenis yang termasuk dalam kelompok invetebrata makro. Kelompok ini lebih dikenal
dengan makrozoobentos (Rosenberg dan Resh, 1993).Bentos dibagi menjadii tiga
golongan yaitu, Makrozoobentos, Mikrozoobentos, dan Fitobentos. Pada penelitian ini
akan terfokus pada makrozoobentos sebagai indikator perairan pesisir (Mangrove).
Hewan makrozoobentos invertebrata merupakan hewan yang tidak bertulang belakang
yang dapat dilihat oleh mata biasa dengan ukuran lebih besar dari 200µm – 500µm
(Slack et al., 1973; Weber, 1973; Wiederholm, 1980; Suess, 1982 dalam Rosenberg dan
Resh, 1993). Hewan ini hidup pada dasar substrat untuk seluruh atau sebagian tahapan
hidupnya. Mereka dapat hidup pada batuan, ataupun bergerak bebas pada ruang antar
batuan, pada runtuhan bahan organik (Feminella dan Flynn, 1999).
Makrozoobentos memiliki peranan yang sangat penting dalam siklusnutrien di
dasar perairan. Montagna et all. (1989) Menyatakan bahwa dalam ekosistem perairan,
Makrozoobenthos berperan sebagai salah satu mata rantai penghubung dalam aliran
energi dan siklus dari alga planktonik sampai konsumen tingkat tinggi.
19. 12
Pada kehidupannya makrozoobentos tentu akan dipengaruhi oleh faktor-faktor
lingkungan. Hal ini sangat berpengaruh pada siklus hidup atau kelimpahan
keanekaragaman jenis makrozoobentos itu 12 sendiri. Menurut Hawkes (1979), faktor
yang mempengaruhi kualitas air secara fisik dan kimia adalah sebagai berikut :
• Oksigen terlarut (DO) dalam air dapat mencapai kejenuhan tergantung pada
suhu air, semakin tinggi suhu air maka semakin berkurang tingkat kejenuhan
oksiget terlarut di dalamnya. Kisaran kelarutan oksigen di dalam air biasanya
mencapai 7-14 ppm. Kelarutan O2 di daerah tropik, di dalam air udara terbuka
biasanya mencapai 7-8 ppm, sedangkan untuk menghindari kematian organisme
air, biasanya diperlukan kadar oksigen terlarut di dalam air maksimum adalah 4-
6 ppm (Sugiharto, 1987).
• Kandungan CO2 bebas di perairan dipengaruhi oleh organisme yang ada di
perairan yang melakukan respirasi. Karbondioksida ini sangat penting sebagai
komponen yang digunakan untuk fotosintesis tumbuhan air dan fitoplankton.
Kadar total CO2 di perairan dapat bertambah banyak karena penambahan ion
karbonat dan bikarbonat. Karbondioksida dalam air yang berada dalam bentuk
ion bikarbonat disebut CO2 terikat. Karbondioksida terikat, dalam kondisi asam
berubah jadi CO2 bebas (Darsono, 1992).
• Derajat keasaman (pH) digunakan sebagai ukuran kebasaan atau keasaman suatu
larutan. Konsentrasi pH pada kehidupan air yang normal biasanya berkisar
antara 6,5 – 7,5 (Sugiharto, 1987). Bagi organisme-organisme yang merombak
bahan organic biasanya mempunyai kisaran pH yang sempit, berkisar antara 6,5
– 8,5 (Darsono, 1992). Menurut Liedy (1980), pH kurang dari 5 dan lebih dari
10 masih dapat ditoleransi tetapi membutuhkan waktu yang relative lama dan
hanya spesies yang resisten saja yang mampu melakukannya.
• Suhu akan berpengaruh terhadap kadar oksigen terlarut didalam air dan proses
pertukaran zat makhluk hidup. Suhu yang makin tinggi menyebabkan kelarutan
oksigen di dalam air semakin berkurang (Wardoyo, 1978 dalam Rini, 2008).
Suhu di daerah tropic yang mendekati 30oC tidak hanya menyebabkan terjadinya
penurunan jumlah O2 terlarut tetapi juga menyebabkan terjadinya penurunan
oksigen bagi mikroorganisme dan sebaliknya akan terjadi penambahan jumlah
20. 13
karbondioksida yang dikeluarkan oleh mikroorganisme itu snediri (Riyadi,
1984).
• Kekeruhan (TDS) Kekeruhan adalah ukuran yang menggunakan efek cahaya
sebagai dasar untuk mengukur keadaan sungai (Sugiharto, 1987). Terjadinya
kekeruhan pada dasarnya disebabkan oleh adanya partikel-partikel kecil dan zat-
zat koloid (zat yang terapung serta terurai secara halus), yang berukuran 10 nm –
10 m. partikel-partikel kecil dan koloid ini tidak lain adalah tanah liat dan sisa
tanaman (Alaerts dan Santika, 1987).Kekeruhan menyebabkan berkurangnya
penetrasi cahaya karena seringkali cahaya akan dihalangi oleh zat-zat tersebut
sehingga zona fotosintesis terbatas pada tingkat tertentu saja. Bila kekeruhan ini
oleh organisme, ukuran kekeruhan ini akan menjadikan suatu indikasi bagi
produktifitas.
• Kecepatan Arus Air Menurut Ward (1992), distribusi organisme di dalam air
sangat dipengaruhi oleh kecepatan arus air, karena kecepatan arus air akan terus
memodifikasi habitat sungai. Sastrawijaya (1991), membagi kecepatan arus
menjadi beberapa kriteria dan menunjukan bahwa kecepatan arus dapat
mempengaruhi sifat dasar sungai.
• Substrat dasar perairan secara langsung dan tidak langsung dapat di pengaruhi
oleh kecepatan arus, selanjutnya keadaan susbstrat dasar merupakan faktor yang
sangat menentukan pola distribusi atau penyebaran serangga dalam suatu
perairan (Hawks, 1979).
21. 14
2.3.1 Makrozoobentos Sebagai Bioindikator Perairan
Makrozoobentos secara terus menerus terkena substansi yang diangkut oleh aliran
arus setempat sehingga memiliki kisaran toleransi yang berbeda-beda terhadap
perubahan kondisi lingkungan. Hal ini menyebabkan makrozoobentos sesuai untuk
dijadikan indikator ekologi dari suatu perairan. Makrozoobentos tersebut dapat
dikuantifikasi dengan menentukan kekayaan spesies (jumlah jenis hewan yang tercuplik
dalam sampel), kelimpahan (jumlah total individu dalam sampel), kelimpahan rata-rata
(jumlah rata-rata satu jenis hewan terhadap jenis yang lainnya), dan keanekaragaman
spesies (distribusi total individu setiap jenis pada sampel). Mudahnya kuantifikasi
makrozoobentos tersebut menunjukkan bahwa makrozoobentos memenuhi syarat
sebagai bioindikator selain terpenuhinya syarat-syarat yang lainnya (variasi genetis
yang sedikit, mobilitas terbatas, dan mudah pengindentifikasian masing-masing jenis)
(Rosenberg dan Resh, 1993).
Menurut Hawkes (1979), beberapa keuntungan penggunaan makrozoobentos
adalah:
1. Merupakan hewan kosmopolitan sehingga dapat dipengaruhi oleh perubahan
kondisi lingkungan pada berbagai tipe perairan.
2. Jenis dari makrozoobentos sangat banyak sehingga memungkinkan spektrum
luas dalam pengamatan terhadap respons stres di lingkungan.
3. Hewan-hewan ini pergerakannya cenderung sedikit sehingga dapat dilakukan
analisis spasial yang efektif terhadap efek dari polutan.
4. Siklus hidup yang panjang memungkinkan diuraikannya perubahan yang
bersifat sementara akibat gangguan yang terjadi.
Keuntungan-keuntungan ini menyebabkan makrozoobentos bertindak sebagai
pengawas secara terus-menerus terhadap kualitas air tempat hidupnya. Namun
disamping berbagai keuntungan yang bisa didapatkan dari bioindikator
makrozoobentos, terdapat pula kerugian dari penggunaan makrozoobentos tersebut.
Selain itu, makrozoobentos juga sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor fisik air,
seperti kecepatan arus air. Kemudian pada tahap analisis masih banyak jenis jenis
makrozoobentos yang sulit untuk diidentifikasi (Rosenberg dan Resh, 1993).
22. 15
Makrozoobentos merupakan salah satu organisme akuatik yang menetap di dasar
perairan, yang memiliki pergerakan relatif lambat serta dapat hidup relatif lama
sehingga memiliki kemampuan untuk merespon kondisi kualitas perairan sungai
(Zulkifli dan Setiawan, 2011). Penggunaan makrozoobentossebagai indikator kualitas
perairan dinyatakan dalam bentuk indeks biologi. Cara ini telah dikenal sejak abad ke-
19 dengan pemikiran bahwa terdapat kelompok organisme tertentu yang hidup di
perairan tercemar. Jenis-jenis organisme ini berbeda dengan jenis-jenis organisme yang
hidup di perairan tidak tercemar. Kemudian oleh para ahli biologi perairan, pengetahuan
ini dikembangkan, sehingga perubahan struktur dan komposisi organisme perairan
karena berubahnya kondisi habitat dapat dijadikan indikator kualitas perairan (Abel,
1989; Rosenberg and Resh, 1993).
Berdasarkan nilai indeks keragaman jenis makrozoobentos, yang dihitung
berdasarkan formulasi Shannon-Wiener, dapat ditentukan beberapa kualitas air.
Menurut Staub et al. dalam Wilhm (1975), menyatakan bahwa berdasarkan indeks
keragaman zoobentos, kualitas air dapat dikelompok kan atas tercemar berat (0<H'<1),
setengah tercemar (1<H’<2), tercemar ringan (2<H’<3), dan tercemar sangat ringan
(3<H’<4,5). Kisaran nilai H' tersebut merupakan bagian dari penilaian kualitas air yang
dilakukan secara terpadu dengan faktor fisika kimia air. (Lee et al, 1978 dalam Melati,
2007), menyatakan bahwa nilai indeks keragaman (H) pada perairan tercemar berat,
lebih kecil dari satu (H < 1), tercemar sedang (1,0 - 1,5), tercemar ringan (1,6 – 2,0),
dan tidak tercemar H besar dari dua (H>2,0), kategori kualitas perairan dan tingkat
pencemaran berdasarkan indeks keanekaragaman makrozoobentos Shannon-Weiners
dibagi menjadi empat kelompok, dapat dilihat pada tabel berikut ;
23. 16
Gastropoda merupakan hewan yang relatif menetap di dasar perairan dan sering
digunakan sebagai petunjuk biologis (indikator) terhadap kualitas perairan (Kawuri,
Suparjo, dan Suryanti, 2012: 2). Suatu lingkungan perairan yang tercemar akan
mempengaruhi kehidupan organisme yang ada didalam perairan tersebut. Penyebaran
Gastropoda erat sekali hubungannya dengan kondisi perairan dimana organisme ini
ditemukan. Beberapa diantaranya adalah faktor fisika, kimia, dan biologi seperti tekstur
sedimen, temperatur, salinitas, pH, kandungan bahan organik dan oksigen (Ruswahyuni,
2008: 33).
Lind, 1979; dalam Wijayanti, 2007 menyatakan bahwa organisme gastropoda
memainkan peran penting dalam komunitas dasar, karena fungsinya dalam proses
mineralisasi dan pendaur ulang bahan organik yang terperangkap di dalam lingkungan
perairan. Selain itu gastropoda di suatu lingkungan juga dapat dipakai untuk menduga
terjadi pencemaran perairan.
Tabel 1. Klasifikasi Tingkat Pencemaran (Lee, 1978 dalam Melati, 2007).
24. 17
Stasiun 3
Stasiun 1
Stasiun 2
BAB III
KEGIATAN PELAKSANAAN
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilaksanakan pada bulan November 2017 – Januari 2018, pukul 08:00
AM – 03:00 PM di kawasan Hutan Lindung AngkeKapuk (HLAK), Kel. Kapuk Muara,
Kec. Penjaringan, Jakarta Utara, DKI Jakarta. Penelitian ini dilakukan di 3 stasiun
dengan titik koordinat sebagai berikut ;
• 6°06'13.5"S 106°45'43.3"E, (-6.103750, 106.762028).
• 6°06'14.8"S 106°45'35.3"E, (-6.104111, 106.759806).
• 6°06'10.9"S 106°45'06.0"E, (-6.103028, 106.751667).
Stasiun 1
Gambar 6. Lokasi penelitian dan Titik Stasiun.
3.2 Alat dan Bahan
Alat Bahan
Meteran Ember Kecil NH4 Test Alkohol 70 %
Tali Rafia Plastik Ziplock NH3 Test
Gastropoda yang ditemukan
Serokan DO meter JBL Easy Test
Kamera pH meter
GPS Thermometer
Tabel 2. Alat dan Bahan
Tabel 2. Alat dan Bahan
25. 18
3.3 Metodologi Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan metode survei dimana sampel dari penelitian ini
diperoleh dengan cara meletakan 1 buah Transek10 x 10 meter pada masing-masing
stasiun. (Gambar 6). Yang tersaji pada (Gambar 7).
Pengumpulan specimen dilakukan ada pagi hari pada saat air surut. Pengambilan
Specimen dengan Metode Simple Random Sampling. Menurut Kerlinger, 2006, Simple
Random Sampling adalah metode penarikan dari sebuah populasi atau semesta dengan
cara tertentu sehingga setiap anggota populasi atau semesta tadi memilki peluang yang
sama untuk terpilih atau terambil. Specimen yang terdapat pada kuadran tersebut
diambil kemudian diindentifikasi dan dianalisis berdasarkan buku petunjuk antara lain
Dharma (1988, 2005). Jika tidak terlalu jelas teridentifikasi, ambil specimen dan letakan
ke dalam plastic zipplock yang diberi label dan Alkohol 70% untuk di Identifikasi di
Laboratorium Biologi USNI.Analisis data yang digunakan untuk menghitung
keanekaragaman spesies adalah rumus dari indeks Diversitas Shannon-Wiener 1963
(Brower dan Zar, 1977) , yaitu ;
Gambar 7. Transek
III II I
904 m 257 m
Lautan
Daratan
10 m
10 m 10 m
10 m 10 m
10 m
26. 19
• IndeksKeanekaragaman (H’)
Pi = ni/Nt
H’ = - (Pi ln Pi)
Keterangan :
H’ = Indeks Keanekaragaman
ni = jumlah individu dari spesies ke-i
Nt= jumlah total individu darisemua spesies yang tercatat.
Pi = kelimpahan relative dari spesieske-i
Kriteriauntukindeks Shannon – Weiner :
• H’ < 1 : Diversitas rendah, Jumlah individu tidak seragam, terdapat individu yang
dominan,
• 1 < H’ < 3 : Diversitas Sedang, jumlah individu hamper seragam, terdapat
beberapa spesies yang dominan,
• H’ >3 :Diversitas Tinggi, Jumlah individu seragam, tidak terdapat spesies yang
dominan.
Untuk Menentukan kualitas perairan berdasarkan indikator indeks
keanekaragaman jenis Mollusca mengikuti kriteria Shannon – Weiner, ( Lee, 1978
dalam Melati, 2007 ) sebagai berikut ;
• H’ < 1 : Kualitas air sangat Buruk dengan kategori pencemaran “Berat”.
• 1 < H’ < 2 : Kualitas air Buruk dengan kategori pencemaran “Cukup Berat”.
• 2 < H’ < 3 : Kualitas air Sedang dengan kategori pencemaran “Ringan”.
• 3 < H’ < 4,5 : Kualitas air Baik dengan kategori pencemaran “Sangat Ringan”.
• H’ > 4,5 : Kualitas air Sangat Baik dengan kategori pencemaran “Tidak
Tercemar”.
27. 20
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Keanekaragaman dan Parameter Lingkungan Gastropoda
Hasil penelitian pada tiga stasiun pengamatan dikawasan perairan Mangrove
Hutan Lindung Angke Kapuk (HLAK), ditemukan 4 spesies Mollusca yang hanya
mewakili 1 kelas yaitu kelas Gastropoda.
Tabel 3. Spesies GastropodaYang Ditemukan di Setiap Stasiun Penelitian.
No. Family Spesies
Stasiun
1 2 3
1
Ellobiidae
Cassidula aurisfelis 241 40 7
2 Ellobium aurismidae 33 6 1
3 Pythia Sp. 0 0 6
4 Littorinidae Littoraria Scabra 0 2 0
Jumlah Total 274 48 14
Sumber: Data diolah 2018
Indeks Keanekaragaman (H’)
Berdasarkan Tabel 3. Indeks keanekaragaman (H’) pada kawasan mangrove
Hutan Lindung Angke Kapuk (HLAK) berkisar antara 0,37 – 0,54, hal ini menunjukan
bahwa kualitas air di HLAK masuk kategori sangat jelek (Lee, 1978 dalam Melati,
2007). Menurut Brower & Zar, 1977 dalam melati, 2007 menyatakan bahwa indeks
keanekaragaman berkisar (H’) < 1 mengindikasikan bahwa penyebaran jumlah individu
pada setiap spesies dan ketidakstabilan komunitas tergolong rendah (Brower & Zar,
1977). Kondisi ini disebabkan spesies yang ditemukan tidak beragam dan ada spesies
yang dominan. Selengkapnya disajikan pada Tabel 4.
28. 21
Sumber : Data Diolah 2018
Nilai keanekaragaman Gastropoda terendah ditemukan pada stasiun I yaitu 0,37,
dan tertinggi pada stasiun III yaitu 0,54. Kecilnya nilai keanekaragaman pada stasiun I
dikarenakan dipengaruhi oleh faktor fisika kimia perairan seperti suhu, pH, Amoniak,
Nitrat, dan DO. Menurut Irma (2004: 53), tidak meratanya jumlah individu untuk setiap
spesies berhubungan dengan pola adaptasi masing-masing spesies, seperti tersedianya
berbagai tipe subtrat, makanan dan kondisi lingkungan.
Indeks Keanekaragaman tertinggi berada pada stasiun III, yaitu sebesar 0,54.
Suatu komunitas dikatakan memiliki keanekaragaman yang tinggi jika komunitas itu
disusun oleh banyaknya spesies. Sebaliknya suatu komunitas dikatakan memiliki
keanekaragaman rendah jika komu-nitas itu disusun oleh sedikit spesies dan ada spesies
yang dominan (Odum, 1998). Suatu komunitas memiliki keanekaragaman tinggi jika
dan hanya jika semua jenis memiliki nilai kelimpahan yang relatif sama atau selisihnya
sedikit serta tidak ditemukannya dominansi yang besar (Galih, 2018).
Keterangan
Stasiun
I II III
H' ( Keanekaragaman ) 0,37 0,41 0,54
Kriteria rendah rendah rendah
Bioindikator kualitas perairan
berdasarkan H'
tercemar
berat
tercemar
berat
tercemar
berat
Tabel 4. H’, Kriteria, dan Bioindikator perairan berdasarkan H’
29. 22
Parameter
Stasiun
Rata-rata
I II III
Suhu (ºC) 27,2 29,2 29,5 28,63
pH 8 8,6 9,2 8,6
DO (mg/l) 1,34 0,35 0,07 0,59
NH3
- (mg/l) 1 2 2 1,67
NO3 (mg/l) 0 0 10 3,33
Suhu
Suhu pada stasiun I, II, dan III sebesar 27,2oC, 29,2oC, dan 29,5oC (Tabel 4).Suhu
pada ketiga stasiun masih dalam kisaran normal untuk pertumbuhan dan aktivitas
Gastropoda, karena menurut Dahuri dkk (1996) menyatakan bahwa secara umum
organisme Gastropoda mampu beradaptasi terhadap suhu yang bervariasi, yakni dari 0
ºC sampai 48,6 ºC dan aktif pada kisaran suhu 5 ºC – 38 ºC.
pH
Nilai pH pada Stasiun I, II, dan IIIyaitu sebesar 8.0, 8.6, dan 9.2 (Tabel 4).Nilai
pH pada stasiun 1 tersebut masih cukup optimal dalam mendukung kelangsungan hidup
Mollusca, namun berbanding terbalik pada stasiun II dan III. Hal tersebut diperkuat
dengan pernyataan Samson (1999) yang menyatakan bahwa sebagian besar Gastropoda
menyukai nilai pH sekitar 7,0 – 8,5.Namun, Menurut Gundo (2010), Untuk ukuran pH
yang bagus bagi kelangsungan hidup Gastropoda berkisar antara 6,8- 8,5. Jadi bisa
dikatakan bahwa nilai pH pada stasiun II dan III kurang baik untuk kelangsungan hidup
Gastropoda.
Tabel 5. Kandungan Fisika-Kimia Lingkungan.
30. 23
DO
Hasil pengukuran oksigen terlarut (DO) pada setiap stasiun diperoleh yaitu pada
stasiun I, II, dan III berturut-turut adalah 1,34 mg/l, 0,35 mg/l, dan 0,07 mg/l (Tabel 4).
Oksigen merupakan gas yang amat penting bagi hewan. Perubahan kandungan oksigen
sangat berpengaruh terhadap kelangsungan hidup bagi biota air. Semakin tinggi kadar
oksigen di perairan maka semakin banyak organisme yang bisa bertahan hidup. Nilai
oksigen yang dibutuhkan oleh organisme Gastropoda berkisar antara 1,00-3,00 mg/L.
Semakin besar kandungan oksigen di dalamnya maka semakin baik untuk kelangsungan
hidup organisme yang mendiaminya (Syamsurial, 2011). Dapat disimpulkan bahwa
hanya stasiun I yang memiliki lingkungan yang baik untuk kelangsungan hidup
organisme dengan kadar DO sebesar 1,34 mg/l. Sedangkan kadar DO terendah pada
stasiun 3, dimana stasiun tersebut memiliki letak yang tidak terjangkau pasang surut.
Sehingga tidak ada proses pengadukan massa air yang mana menjadi salah satu faktor
bertambahnya oksigen terlarut dalam perairan.
Amoniak (NH3
-)
Amoniak adalah senyawa kimia dengan rumus NH3. Biasanya senyawa ini
didapati berupa gas dengan bau tajam yang khas (disebut bau amonia). Hasil
pengukuran kandungan Amoniak pada setiap stasiun I, II, dan III yaitu 1 mg/l, 2 mg/l,
dan 2mg/l (Tabel 4). Menurut Welch, 1952 dalam Setiawan, 2006. Toksisitas amoniak
dipengaruhi oleh pH, yang ditunjukkan dengan kondisi pH. Perairan yang memiliki
tingkat toksisitas tinggi dapat dikatakan jika pH rendah & Amoniak banyak serta pH
tinggi & Amoniak sedikit. Selain itu, pada saat kandungan oksigen terlarut tinggi,
amonia yang ada dalam jumlah yang relatif kecil sehingga amonia bertambah seiring
dengan bertambahnya kedalaman.(Welch, 1952).
Kadar amonia yang tinggi dapat merupakan indikasi adanya pencemaran bahan
organik yang berasal dari limbah domestik, industri, dan limpasan (run-off) pupuk
pertanian. Kadar amonia yang tinggi juga dapat ditemukan pada dasar danau yang
mengalami kondisi tanpa oksigen atau anoxic (Effendi, 2003).
Pescod (1973) menyarankan agar kandungan amonia dalam suatu perairan tidak
lebih dari 1 mg/l, yaitu agar kehidupan ikan menjadi normal. Amoniak (NH3 ) bersifat
31. 24
toksik pada hewan perairan payau jika batas toksik amoniak dalam jangka waktu
singkat 2,0 - 6,0 mg/l dan amoniak menjadi lebih toksik apabila konsentrasi oksigen
terlarut rendah (BOYD,1990). Maka dapat disimpulkan bahwa tingakt toksik amoniak
tertinggi berada pada stasiun III, dimana letaknya yang berdekatan dengan muara sungai
menurut Devi (2013) Sumber nitrogen (organik) berasal dari limbah kegiatan di darat
(landbased pollution) terutama dari aktivitas rumah tangga dan pertanianyang
sebagian besar mengandung bahan organik. Hasil penguraian bahan organik tersebut
akan menghasilkan unsur hara.
Nitrat (NO3)
Data yang tersaji pada tabel 4 menunjukan bahwa di perairan mangrove HLAK
mengandung NO3 sebanyak 0-10 mg/l dengan rata-rata 3,33 mg/l. Nilai tertinggi NO3
berada di stasiun III sebesar 10 mg/l.Menurut Jollenweider (1968) dalam Wetzel
(1975)ada beberapa tingkatan kesuburan perairan berdasarkan kandungan NO3, yang
tersaji pada Tabel 6.
Tingkat Kesuburan
0-1 mg/ltr Oligotrofik
1-5 mg/ltr Mesotrofik
5-50 mg/ltr Eutrofik
Dalam Tabel 6 dapat dilihat bahwa hasil pengukuran nitrat (NO3) perairan
mangrove Hutan Lindung Angke Kapuk sebesar 3,33 mg/l menunjukan bahwa tingkat
kesuburan peraian adalah Mesotrofik, yaiut dalam tingkatan sedang.
Menurut Mackentum (1969) dalam Asriyana dan Yuliana (2012) untuk
pertumbuhan optimal fitoplankton memerlukan kandungan nitrat pada kisaran 0,9 –3,5
mg/l. Tingginya populasi fitoplankton di dalam air berakibat rendahnya kadar oksigen
terlarut dalam air.
Dimana perairan yang terdapat vegetasi mangrove menunjang kesuburan perairan
yang melimpah unsur haranya, karena serasah mangrove yang berguguran di perairan
selanjutnya diuraikan oleh dekomposer yaitu bakteri dan jamur menjadi sumber utama
Tabel 6. Tingkat Kesuburan Perairan (Mackentum, 1969 dalam Asriyana dan Yuliana, 2012)
Tingkat Kesuburan
0-1 mg/ltr Oligotrofik
1-5 mg/ltr Mesotrofik
5-50 mg/ltr Eutrofik
Tabel 6. Tingkat Kesuburan Perairan (Mackentum, 1969 dalam Asriyana dan Yuliana, 2012)
32. 25
detritus, Selain itu juga didegradasi oleh organisme dekomposer menjadi unsur hara
seperti pospat, nitrat, sulfur dan unsur-unsur lainnya. (Saru, 2013).
4.2 Kualitas Air di Perairan HLAK Berdasarkan Indeks Keanekaragaman
Mollusca merupakan salah satu biota yang dapat digunakan sebagai parameter
biologi dalam menentukan kondisi suatu perairan (Kristanto, 2004). Mollusca dapat
digunakan sebagai bioindikator kualitas perairan karena Mollusca menghabiskan
seluruh hidupnya di kawasan tersebut sehingga apabila terjadi pecemaran lingkungan
maka tubuh Mollusca akan terpapar oleh bahan pencemar dan terjadi penimbunan /
akumulasi. Maka jika ada bahan tercemar yang masuk di tubuh spesies tersebut, maka
tubuh dari spesies yang tidak toleran tidak dapat bertahan hidup, dengan demikian
keberadaanya dapat digunakan sebagai bioindikator. Mollusca yang banyak terdapat di
area ekosistem pesisir biasanya didominasi oleh kelas Gastropoda dan Bivalvia penggali
di permukaan pantai (Nybakken, 1992).
Pada tabel 3, diperoleh bahwa perairan di kawasan Hutan Lindung Angke Kapuk
(HLAK) masuk kedalam kategori ‘Tercemar Berat’. Hasil tersebut berdasarkannilai
indeks keanekaragaman (H’) Gastropoda yang hanya berkisar antara 0,37 – 0,54,
dengan ketentuan, jika nilai indeks keanekaragaman (H’) < 1 , maka kawasan tersebut
‘Tercemar Berat’ (Lee, 1978 dalam Melati, 2007). Hasil tersebut diperkuat kembali
dengan hasil pengukuran kandungan fisika-kimia perairan yaitu :
Rata-rata kadar pH diperairan tersebut adalah 8,6. Namun, Menurut Gundo
(2010), Untuk ukuran pH yang bagus bagi kelangsungan hidup Gastropoda berkisar
antara 6,8- 8,5.
Rata-rata nilai DO pada perairan HLAK yaitu 0,59 mg/l. Sedangkan menurut
Syamsurial, (2011), Nilai oksigen yang dibutuhkan oleh organisme Gastropoda berkisar
antara 1,00-3,00 mg/L. Semakin besar kandungan oksigen di dalamnya maka semakin
baik untuk kelangsungan hidup organisme yang mendiaminya.
Rata-rata konsentrasi Amoniak pada perairan tersebut dalah sebesar 1,67, dimana
berada pada batas toleransi untuk kehidupan biota perairan payau. Hal tersebut
diperkuat oleh pernyataan Pescod (1973), dimana menyarankan agar kandungan amonia
dalam suatu perairan tidak lebih dari 1 mg/l, yaitu agar kehidupan ikan menjadi normal.
33. 26
Dan juga, amoniak akan menjadi lebih toksik apabila konsentrasi oksigen terlarut
rendah (BOYD,1990).
Rata-rata kandungan NO3 pada perairan tersebut sebesar 3,33 mg/l. Dimana
menurut Mackentum, 1969 dalam Asriyana dan Yuliana, 2012 untuk kandungan nitrat
yang berkisar 1-5 mg/l termasuk kedalam tingkat kesuburan Mesotrofik, serta pada
perairan yang mengandungan nitrat sebesar 0,9 – 3,5 juga dapat menunjang
pertumbuhan fitoplankton secara optimal.
34. 27
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil perhitungan keanekaragaman, diperoleh bahwa
keanekaragaman (H’) Gastropoda pada kawasan mangrove Hutan Lindung Angke
Kapuk antara 0,37 – 0,54. Keanekaragaman terendah ditemukan pada stasiun yaitu 0,37
dan keanekaragaman tertinggi ditemukan pada stasiun 3 yaitu 0,54. Keanekaragaman
Gastropoda pada kawasan mangrove Hutan Lindung Angke Kapuk (HLAK) termasuk
dalam kategori rendah. Menurut Brower & Zar, 1977 dalam melati, 2007 menyatakan
bahwa indeks keanekaragaman berkisar (H’) < 1 mengindikasikan bahwa penyebaran
jumlah individu pada setiap spesies dan ketidakstabilan komunitas tergolong rendah
(Brower & Zar, 1977).
Bioindikator Kualitas Perairan dengan menggunakan indeks keanekaragaman,
kawasan mangrove Hutan Lindung Angke Kapuk termasuk kedalam kategori tercemar
berat karena nilai indeks keanekaragaman Gastropoda di kawasan tersebut berkisar
antara 0,37 – 0,54. Kondisi ini disebabkan spesies yang ditemukan tidak beragam dan
ada spesies yang dominan, dan hasil tersebut di perkuat oleh hasil pengukuran
DO,Amoniak, yang berada dibawah kisaran baku mutu, serta Suhu dan Nitrat yang
masih dalam batas toleransi.
5.2 Saran
Sumberdaya alam pesisir terutama Mangrove merupakan salah satu aset yang
bermanfaat untuk pengembangan pembangunan ekonomi dan peningkatan
kesejahteraan masyarakat, dimana salah satu fungsi mangrove adalah penyedia tempat
perkembangbiakan dan pembesaran bagi beberapa spesies hewan laut bernilai ekonomi
tinggi (Hogarth, 2001). Oleh karena itu, upaya pelestarian (konservasi) kawasan
mangrove ini tetap harus dilakukan guna menjaga kesinambungan kehidupan manusia
serta menjaga kelestarian sumberdaya alam mangrove beserta ekosistemnya secara
berkelanjutan. Serta pemerintah harus mau merubah pola ruang pembangunan disekitar
kawasan Mangrove , yang mana isu tersebut sedang hangat-hangatnya diperbincangkan.
35. 28
1. Jumlah Gastropoda Yang Ditemukan Pada Tiap Stasiun
1. Jumlah Gastropoda Yang Ditemukan Pada Tiap Stasiun
2. Jumlah Dan Spesies Dari Random Sample Untuk Diidentifikasi
2. Jumlah Dan Spesies Dari Random Sample Untuk Diidentifikasi
LAMPIRAN
Tempat Jumlah
Stasiun 1 274
Stasiun 2 48
Stasiun 3 14
TOTAL 336
Jumlah Sample yang diambil sebagai contoh
Cassidula aurisfelis 22
Ditemukan pada setiap stasiun 25
Ellobiumaurismidae 3
Littoraria Scabra* 2 * Hanya ditemukan pada stasiun ke-2 2
Pythia Sp.** 6 ** Hanya ditemukan pada stasiun ke-3 6
Spesies Peluang Persentase Lokasi yang didapat
Cassidula aurisfelis 0,88 88% dari setiap stasiun
Ellobiumaurismidae 0,12 12% dari setiap stasiun
Littoraria Scabra* 1 100% dari stasiun ke-2
Pythia Sp.** 1 100% dari stasiun ke-3
3. Penentuan Jumlah Spesies Tiap Stasiun Berdasarkan Data Random Sampling
3. Penentuan Jumlah Spesies Tiap Stasiun Berdasarkan Data Random Sampling
36. 29
4. Perhitungan Indeks Keanekaragaman Gastropoda Berdasarkan Stasiun
No. Spesies
Stasiun
1 2 3
1 Cassidula aurisfelis 241,12 40,48 7,04
2 Ellobium aurismidae 32,88 5,52 0,96
3 Pythia Sp. 0 0 6
4 Littoraria Scabra 0 2 0
Jumlah Total 274
48 14
dikurang * dikurang **
46 8
No. Family Spesies
Stasiun
1 2 3
1
Ellobiidae
Cassidula aurisfelis 241 40 7
2 Ellobium aurismidae 33 6 1
3 Pythia Sp. 0 0 6
4 Littorinidae Littoraria Scabra 0 2 0
Jumlah Total 274 48 14
Stasiun I
No Famili Spesies
Jumla
h
Pi ln Pi Pi ln Pi
1 Ellobiidae
Cassidula
aurisfelis
241
0,87956204
4
-
0,12833117
-
0,112875229
Ellobium
aurismidae
33
0,12043795
6
-
2,11662054
-
0,254921452
Pythia Sp. 0 0 0 0
2 Littorinidae
Littoraria
Scabra
0 0 0 0
Jumlah 4 274 -0,37
37. 30
Stasiun II
No Famili Spesies Jumlah Pi ln Pi Pi ln Pi
1 Ellobiidae
Cassidula
aurisfelis
40 0,833333333 -0,182321557 -0,151934631
Ellobium
aurismidae
6 0,125 -2,079441542 -0,259930193
Pythia Sp. 0 0 0 0
2 Littorinidae
Littoraria
Scabra
2 0,041666667 0 0
Jumlah 4 48 -0,41
Stasiun III
No Famili Spesies Jumlah Pi ln Pi Pi ln Pi
1 Ellobiidae
Cassidula
aurisfelis
7 0,5 -0,693147181 -0,34657359
Ellobium
aurismidae
1 0,071428571 -2,63905733 -0,188504095
Pythia Sp. 6 0,428571429 0 0
2 Littorinidae
Littoraria
Scabra
0 0 0 0
Jumlah 4 14 -0,54
38. 31
6. Tumpukan Sampah Pada Lokasi Penelitian
6. Tumpukan Sampah Pada Lokasi Penelitian
5. Kondisi Mangrove Pada Stasiun 3
5. Kondisi Mangrove Pada Stasiun 3
40. 33
9. Sampah yang tertahan Ketika Surut
9. Sampah yang tertahan Ketika Surut
41. 34
DAFTAR PUSTAKA
Abbot, R.T. 1991. Seashell of South East Asia. Graham Brash. Singapore.
Anggraeni, I. 2002. Kualitas Air Perairan Laut Teluk Jakarta Selama Periode
1996-2002. Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan. Fakultas Perikanan dan
Ilmu Kelautan. IPB.
Brower, J.E. and J. H. Zar.1977. Field and laboratory methods for general ecology.
WM. C. Brown Company Publ. Dubuque. Iowa. xi + 237 hal.
Cox, G.W. 1967. Laboratory Manual of General Ecology.W. M.c. Brown Company
Publisher. USA. 165 hal.
Dahuri, R., H.J. Rais., S.P. Ginting dan M. Sitepu. 1996. Pengelolaan sumber daya
wilayah pesisir dan laut secara terpadu. P.T. Pradnya Paramita, Jakarta: xi + 301 hal.
Devi Dwiyanti S., Setyo S. 2013. Dinamika Nitrogen di Perairan Muara Sungai
Ciliwung. Universitas Indonesia : Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur.
Dharma, B.1988. Siput dan kerang Indonesia I (Indonesian Shells I ). Penerbit PT
Sarana Graha. Jakarta.
Fachrul, M.F. 2007. Metode Sampling Bioekologi. Bumi Aksara, Jakarta.
Gundo, M.T. 2010. Kerapatan, Keanekaragaman dan Pola Penyebaran Gastropoda
Air Tawar di Perairan Danau Poso. Media Litbang Sulteng III(2): 137-143
Hogarth, P.J., 2001. The Biology of Mangroves (Biology of Habitats). Oxford
Univesity Press. Oxford.
Irma, D. 2004. Srtuktur Komunitas Moluska (Gastropoda dan Bivalvia) serta
Asosiasinya pada Ekosistem Manggruve di Kawasan Pantai Ulee – Lheue, Banda Aceh,
NAD. Skripsi. Program Studi Ilmu Kelauatan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Institut Pertanian Bogor. Bogor
Karmana, Oman. 2007. Cerdas Belajar BIOLOGI. Bandung : GRAFINDO Media
Pratama.
Nybakken, J. W. (1992). Biologi Laut: Suatu Pendekatan Ekologis. Gramedia,
Jakarta.
Odum, E.P. 1971. Fundamental of ecology. 3rd Edition WB Saunders Co.
Philadelphia and London. 546 hlm.
42. 35
Purnama S, Sinta. Zakrinal. 2009. Jago BIOLOGI SMA. Jakarta : Media Pusindo.
Rachmawati. 2011. Indeks Keanekaragaman Makrozoobentos Sebagai Bioindikator
Tingkat Pencemaran Di Muara Sungai Jeneberang. Bionature 12 (2): 103 – 109.
Samson, S.A. 1999. Keanekaragaman dan asosiasi Gastropoda pada kawasan
mangrove Wanawisata Payau Tritih, Cilacap, Jawa Tengah. Program Pasca Sarjana.
IPB. Bogor: xii + 87 hlm.
Saru, A. 2013. Kontribusi Ekosistem Mangrove dalam Meningkatkan Potensi
Sumber daya Perikanan Pesisir dan Laut Secara Berkelanjutan dalam Membangun
Sumber Daya Kelautan Indonesia : Gagasan dan Pemikiran Guru Besar Universitas
Hasanuddin. Bogor: IPB Press.
Sasika Novel, Sinta. 2012. Superlengkap BIOLOGI SMA. Jakarta : GagasMedia
Sugiyono, (2008). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung :
Penerbit Alfabeta.
Suryaningsih, D. 1997. Koefisien Respirasi Dan Ekskresi NH3 Benih Ikan Gurame
(Osphronemus gouramy) yang Diberi Pakan Dengan Rasio Energi-Protein 6, 8, Dan 10
Kkal/Gram Protein. Skripsi. Departemen Budidaya Perairan. Fakultas Perikanan dan
Ilmu Kelautan. IPB. Bogor.
Susilowarno, Gunawan, dkk. 2008. BIOLOGI SMA / MA Kelas X. Grasindo.
Syamsurial. 2011. Studi Beberapa Indeks Komunitas Makrozoobentos di Hutan
Mangrove Kelurahan Coppo Kabupaten Baru. Skripsi. Program Studi Perikanan
Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanudin. Makassar.
Waterontheweb.org. (2015). DOSatCalc. Diperoleh 9 januari 2018, dari
http://www.waterontheweb.org/under/waterquality/DOSatCalc.html.
Wetzel, R.G. 1975. Limnology. Philadelphia: W.B. Sounders Company.
Wijayanti, H. M. 2007. Kajian Kualitas Perairan di Kota Bandar Lampung
Berdasarkan Komunitas Hewan Makrobenthos. Program Pasca Sarjana Universitas
Diponegoro. Semarang.
Zulkifli, H dan Setiawan, D. 2011. Struktur dan Fungsi Komunitas
Makrozoobentos di perairan Sungai Musi Kawasan Pulokerto sebagai Instrumen
Biomonitoring. Jurnal Natur Indonesia. 14(1): 95-99.