Aplikasi Penginderaan Jauh untuk Pengelolaan Hutan Mangrove Sebagai Salah Satu Sumberdaya Wilayah Pesisir (Studi Kasus di Delta Sungai Wulan Kabupaten Demak)
Saya menawarkan bimbingan privat belajar penginderaan jauh dan GIS. Silabus ini untuk materi penginderaan jauh. Syarat dan ketentuan silahkan dibaca di file penawaran
Presentasi yang disampaikan Kuntoro mengenai hasil pemantauan satu tahun moratorium. Silakan digunakan untuk mendorong lebih jauh dan lebih dalam perbaikan governansi untuk sumber daya alam.
ANALISIS PARAMETER FISIKA-KIMIA UNTUK KEPENTINGAN REHABILITASI EKOSISTEM MANG...Asramid Yasin
Jurnal Green Growth dan Manajemen Lingkungan
http://journal.unj.ac.id/unj/index.php/jgg/article/view/9048
Abstrak: Di beberapa tempat telah dilakukan rehabilitasi terhadap kawasan mangrove yang telah rusak namun pada kenyataannya tidak semua kegiatan rehabilitasi mangrove berhasil dilakukan. Penelitian ini bertujuan mengetahui kondisi parameter lingkungan perairan pantai Bungkutoko Kecamatan Abeli sesuai untuk kegiatan rehabilitasi ekosistem mangrove dan menentukan strategi rehabilitasi yang tepat untuk diterapkan di perairan pantai Bungkutoko Kecamatan Abeli. Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Juni-Juli 2009 bertempat di pesisir pulau Bungkutoko Kecamatan Abeli Kabupaten Kendari Sulawesi Tenggara. Data yang diperoleh dalam penelitian ini dianalisis secara deskriptif. Dari hasil pengukuran beberapa parameter fisika-kimia di pesisir pulau Bungkutoko Kecamatan Abeli Kota Kendari yang diperoleh sesuai untuk dilakukan kegiatan rehabilitasi ekosistem mangrove dengan memperhatikan waktu penanaman yang tepat yaitu ketika musim berbuah mangrove dan musim teduh dan menggunakan teknik penanaman secara langsung menggunakan propagul dan penanaman menggunakan anakan (bibit dalam polybag).
Saya menawarkan bimbingan privat belajar penginderaan jauh dan GIS. Silabus ini untuk materi penginderaan jauh. Syarat dan ketentuan silahkan dibaca di file penawaran
Presentasi yang disampaikan Kuntoro mengenai hasil pemantauan satu tahun moratorium. Silakan digunakan untuk mendorong lebih jauh dan lebih dalam perbaikan governansi untuk sumber daya alam.
Similar to Aplikasi Penginderaan Jauh untuk Pengelolaan Hutan Mangrove Sebagai Salah Satu Sumberdaya Wilayah Pesisir (Studi Kasus di Delta Sungai Wulan Kabupaten Demak)
ANALISIS PARAMETER FISIKA-KIMIA UNTUK KEPENTINGAN REHABILITASI EKOSISTEM MANG...Asramid Yasin
Jurnal Green Growth dan Manajemen Lingkungan
http://journal.unj.ac.id/unj/index.php/jgg/article/view/9048
Abstrak: Di beberapa tempat telah dilakukan rehabilitasi terhadap kawasan mangrove yang telah rusak namun pada kenyataannya tidak semua kegiatan rehabilitasi mangrove berhasil dilakukan. Penelitian ini bertujuan mengetahui kondisi parameter lingkungan perairan pantai Bungkutoko Kecamatan Abeli sesuai untuk kegiatan rehabilitasi ekosistem mangrove dan menentukan strategi rehabilitasi yang tepat untuk diterapkan di perairan pantai Bungkutoko Kecamatan Abeli. Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Juni-Juli 2009 bertempat di pesisir pulau Bungkutoko Kecamatan Abeli Kabupaten Kendari Sulawesi Tenggara. Data yang diperoleh dalam penelitian ini dianalisis secara deskriptif. Dari hasil pengukuran beberapa parameter fisika-kimia di pesisir pulau Bungkutoko Kecamatan Abeli Kota Kendari yang diperoleh sesuai untuk dilakukan kegiatan rehabilitasi ekosistem mangrove dengan memperhatikan waktu penanaman yang tepat yaitu ketika musim berbuah mangrove dan musim teduh dan menggunakan teknik penanaman secara langsung menggunakan propagul dan penanaman menggunakan anakan (bibit dalam polybag).
Pemodelan Sebaran Habitat Dugong Dugon Kawasan Pesisir Pulau Bintan Kepulauan...Luhur Moekti Prayogo
Berdasarkan hasil kajian, wilayah yang berpotensi untuk sebaran habitat dugong di beberapa perairan Pulau Bintan yaitu Desa Berakit, Gunung Kijang, Kawal, dan Malang Temu. Parameter yang paling berpengaruh dalam pemodelan sebaran potensi habitat dugoong ini adalah padang lamun, jarak dari sungai, dan kedalaman laut. Habitat yang sangat mendukung kehidupan duyung ini didominasi oleh vegetasi tutupan rumput laut yang merupakan sumber makanan utama duyung.
ANALYSIS OF PHYSICAL-CHEMICAL PARAMETERS FOR MANGROVE ECOSYSTEM REHABILITATIO...Asramid Yasin
Jurnal Presipitasi: Media Komunikasi dan Pengembangan Teknik Lingkungan
https://ejournal.undip.ac.id/index.php/presipitasi/article/view/24994
Abstract: In Southeast Sulawesi rehabilitation of mangrove areas that have been damaged but in reality not all mangrove rehabilitation activities were successful, this was allegedly caused by a mismatch in the type of mangrove and incompatibility of rehabilitation techniques used with environmental conditions or parameters of the local coastal environment. This study is aimed to analyze the condition of coastal environmental parameters in Bungkutoko island, district of Abeli in rehabilitation proposed of mangrove ecosystem and to find a proper rehabilitation strategy for it can be applied in that area. This study was carried on June to July 2009 in the coastal of Bungkutoko island, Abeli district, Kendari Town. Data in this study is analyzed as descriptively for giving common view of that area. The measurement results of several physical-chemical parameters on the coast of Bungkutoko island at stations I, II and III are suitable for mangrove ecosystem rehabilitation activities, which have a slope of the base: flat and sloping, particle size: small substrate, binding capacity of substrate particles: moderate to loose, confinement coastline: protected and semi protected and open, wave: relatively small, sea level deviation: moderate, tidal type: mixture tends to double daily, current speed: weak, sediment suspension: normal and salinity: 25-35 ppt. Also pay attention to the right planting time on the condition of mangrove tree is in having fruits and calm water condition of sea. And for planting technic is propaguls directly planted to the ground and using seeds on the polybags.
ANALISIS VEGETASI HUTAN MANGROVE KAWASAN MANDEH, PESISIR SELATANDevi Ningsih
Ekosistem Hutan Mangrove atau lebih dikenal juga dengan sebutan Hutan Bakau atau mangal merupakan salah satu ekosistem penting yang membangun dan menyokong keberadaan wilayah pesisir.
Monitoring Sebaran dan Tutupan Komponen Dasar Terumbu Karang Serta Identifikasi Batas Wilayah pada DPL (Daerah Perlindungan Laut) Desa Patikarya di Wilayah Kerja COREMAP II
Kabupaten Selayar
ARAHAN MITIGASI BENCANA PASCA ERUPSI GUNUNG GAMALAMA DI KOTA TERNATEDede Saputra
Perkembangan suatu wilayah harus disesuaikan dengan kondisi, potensi, dan permasalahan wilayah bersangkutan karena sosial ekonomi, budaya dan geoggrafis antara suatu wilayah dengan wilayah lainnya sangat berbeda. Dilain sisi, perkembangan suatu wilayah akan meningkatkan kebutuhan lahan sebagai tempat tinggal dan beraktivitas. Hal ini mengakibatkan penduduk terpaksa menempati lokasi yang tidak layak huni seperti di daerah perbukitan dan lereng pegunungan. Aktivitas masyarakat tersebut menyebabkan tingkat kerawanan bencana menjadi semakin meningkat, manakala lahan dieksploitasi secara berlebihan tanpa memperhatikan daya dukung lahan. Di Kawasan Rawan Bencana III Gunung Gamalama terdapat Kawasan Lindung yang dicantumkan dalam RTRW. Berdasarkan RTRW Kota Ternate telah ditetapkan kawasan lindung yang sesuai fungsinya harus dipertahankan karena sangat penting untuk dijadikan kawasan tangkapan hujan dan area konservasi untuk menahan laju longsor dan mempertahankan kondisi air tanah. Suatu ekosistem dapat mengalami keruskan yang disebabkan oleh letusan gunung berapi perubahan pada ekosistem baik sebagian maupun keseluruhannya yang diikuti perubahan vegetasi pada daerah tersebut. Terjadinya erupsi pada tanggal 14 desember 2011, sebagian besar materialnya telah mengisi sungai yang ada di sekitar gunung gamalama dan beberapa lahan pada daerah-daerah di sekitaran gunung mengalami kerusakan.
Kata Kunci : Kawasan Rawan Bencana, NDVI, Mitigasi.
Similar to Aplikasi Penginderaan Jauh untuk Pengelolaan Hutan Mangrove Sebagai Salah Satu Sumberdaya Wilayah Pesisir (Studi Kasus di Delta Sungai Wulan Kabupaten Demak) (20)
FGD Sosialisasi Analisis HCV - Landcover Mapping, WWF Indonesia Kalimantan Utarabramantiyo marjuki
Sosialisasi hasil kegiatan pemetaan penutup lahan dan penilaian kawasan bernilai konservasi tinggi, Provinsi Kalimantan Utara, WWF Indonesia, Tanjung Selor, Juli 2017
Wonogiri Strategic Economy Development Acceleration Plan (Final Report of Regional Development Class Planning Studio at Master Program of Regional and Urban Development, Diponegoro University, 2017)
KERUSAKAN LAHAN GAMBUT ANALISIS EMISI KARBON DARI DEGRADASI LAHAN GAMBUT DI A...d1051231072
Lahan gambut adalah salah satu ekosistem penting di dunia yang berfungsi sebagai penyimpan karbon yang sangat efisien. Di Asia Tenggara, lahan gambut memainkan peran krusial dalam menjaga keseimbangan ekologi dan ekonomi. Namun, seiring dengan meningkatnya tekanan terhadap lahan untuk aktivitas pertanian, perkebunan, dan pembangunan infrastruktur, degradasi lahan gambut telah menjadi masalah lingkungan yang signifikan. Degradasi lahan gambut terjadi ketika lahan tersebut mengalami penurunan kualitas, baik secara fisik, kimia, maupun biologis, yang pada akhirnya mengakibatkan pelepasan karbon dalam jumlah besar ke atmosfer.
Lahan gambut di Asia Tenggara, khususnya di negara-negara seperti Indonesia dan Malaysia, menyimpan cadangan karbon yang sangat besar. Diperkirakan bahwa lahan gambut di wilayah ini menyimpan sekitar 68,5 miliar ton karbon, yang jika terlepas, akan memberikan kontribusi yang signifikan terhadap emisi gas rumah kaca global.
Hasil dari #INC4 #TraktatPlastik, #plastictreaty masih saja banyak reaksi ketidak puasan, tetapi seluruh negara anggota PBB bertekad melanjutkan putaran negosiasi
berikutnya: #INC5 di bulan November 2024 di Busan Korea Selatan
Cerita sukses desa-desa di Pasuruan kelola sampah dan hasilkan PAD ratusan juta adalah info inspiratif bagi khalayak yang berdiam di perdesaan
.
#PartisipasiASN dalam #bebersihsampah nyata biarpun tidak banyak informasinya
PAPER KIMIA LINGKUNGAN MENINGKATNYA GAS RUMAH KACA IMPLIKASI DAN SOLUSI BAGI ...muhammadnoorhasby04
Gas rumah kaca memainkan peran penting dalam mempengaruhi iklim Bumi melalui mekanisme efek rumah kaca. Fenomena ini alami dan esensial untuk menjaga suhu Bumi tetap hangat dan layak huni. Namun, peningkatan konsentrasi gas rumah kaca akibat aktivitas manusia, seperti pembakaran bahan bakar fosil, deforestasi, dan praktik pertanian intensif, telah memperkuat efek ini, menyebabkan pemanasan global dan perubahan iklim yang signifikan.Pemanasan global membawa dampak luas pada berbagai aspek lingkungan, termasuk suhu rata-rata global, pola cuaca, kenaikan permukaan laut, serta frekuensi dan intensitas fenomena cuaca ekstrem seperti badai dan kekeringan. Dampak ini juga meluas ke ekosistem alami, menyebabkan gangguan pada habitat, distribusi spesies, dan interaksi ekologi, yang berdampak pada keanekaragaman hayati.
Untuk mengatasi tantangan yang ditimbulkan oleh peningkatan gas rumah kaca dan perubahan iklim, upaya mitigasi dan adaptasi menjadi sangat penting. Langkah-langkah mitigasi meliputi transisi ke sumber energi terbarukan, peningkatan efisiensi energi, dan pengelolaan lahan yang berkelanjutan. Di sisi lain, langkah-langkah adaptasi mencakup pembangunan infrastruktur yang tahan terhadap cuaca ekstrem, pengelolaan sumber daya air yang lebih baik, dan perlindungan terhadap wilayah pesisir.Selain itu, mengurangi konsumsi daging, memanfaatkan metode kompos, dan pembangunan infrastruktur yang tahan terhadap perubahan iklim adalah beberapa tindakan konkret yang dapat diambil untuk mengurangi dampak gas rumah kaca.Dengan pemahaman yang lebih baik tentang mekanisme dan dampak dari efek rumah kaca, serta melalui kolaborasi global yang kuat dan langkah-langkah konkret yang efektif, kita dapat melindungi planet kita dan memastikan kesejahteraan bagi generasi mendatang.
Analisis Konten Pendekatan Fear Appeal dalam Kampanye #TogetherPossible WWF.pdfBrigittaBelva
Berada dalam kerangka Mata Kuliah Riset Periklanan, tim peneliti menganalisis penggunaan pendekatan "fear appeal" atau memicu rasa takut dalam kampanye #TogetherPossible yang dilakukan oleh World Wide Fund (WWF) untuk mengedukasi masyarakat tentang isu lingkungan.
Analisis dilakukan dengan metode kualitatif, meliputi analisis konten media sosial WWF, observasi, dan analisis naratif. Tidak hanya itu, penelitian ini juga memberikan strategi nyata untuk meningkatkan keterlibatan dan dampak kampanye serupa di masa depan.
Studi Kasus : Oksidasi Pirit dan Pengaruhnya Terhadap Ekosistemd1051231041
Pirit merupakan zat di dalam tanah yang terbawa karena adanya arus pasang surut. Zat ini dapat membahayakan ekosistem sekitar apabila mengalami reaksi oksidasi dan penyebab utama mengapa tanah menjadi masam, karena mengandung senyawa besi dan belerang. Studi kasus ini bertujuan untuk menganalisis pembentukan, dampak, peran, pengaruh, hingga upaya pengelolaan lingkungan yang dapat dilakukan guna mengatasi masalah ekosistem yang terjadi.
Studi Kasus : Oksidasi Pirit dan Pengaruhnya Terhadap Ekosistem
Aplikasi Penginderaan Jauh untuk Pengelolaan Hutan Mangrove Sebagai Salah Satu Sumberdaya Wilayah Pesisir (Studi Kasus di Delta Sungai Wulan Kabupaten Demak)
1. Aplikasi Penginderaan Jauh untuk Pengelolaan Hutan Mangrove
Sebagai Salah Satu Sumberdaya Wilayah Pesisir
(Studi Kasus di Delta Sungai Wulan Kabupaten Demak)
Septiana Fathurrohmah
1
Karina Bunga Hati
2
dan Bramantiyo Marjuki
3
1,2
Penerima Program Beasiswa Unggulan 2011 BPKLN, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Republik Indonesia pada Program Magister Perencanaan Pengelolaan Pesisir dan Daerah Aliran
Sungai, Fakultas Geografi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
Telp. 0817258193, 081808725565
email : septianafath@gmail.com, karinabungahati@yahoo.co.id
3
SeksiTeknis dan Pengembangan Data Spasial, Balai PemetaanTematik Prasarana Dasar, Pusat
Pengolahan Data, Kementerian Pekerjaan Umum, Jakarta.
Telp. 081286891086
email : b_marjuki@pu.go.id
Abstrak
Indonesia memiliki wilayah pesisir cukup luas dengan garis pantai terpanjang keempat di dunia, yaitu
mencapai 95.181 km (Rompas 2009, dalam Mukhtar 2009). Wilayah pesisir tersebut menyimpan
potensi sumberdaya yang melimpah. Salah satu sumberdaya yang dimiliki oleh sebagian wilayah
pesisir Indonesia adalah hutan mangrove. Hutan mangrove memiliki fungsi ekologis, fungsi sosial dan
ekonomi, serta fungsi fisik. Oleh karenananya, diperlukan pengelolaan yang optimal terhadap hutan
mangrove. Pengelolaan hutan mangrove dapat dipermudah dengan memanfaatkan aplikasi
penginderaan jauh dan Sistem Informasi Geografis (SIG). Aplikasi pengelolaan hutan mangrove dapat
dilakukan melalui interpretasi visual citra penginderaan jauh untuk mengetahui persebaran komunitas
vegetasi mangrove di suatu wilayah. Apabila data penginderaan jauh yang digunakan bersifat
multitemporal, maka dapat diaplikasikan untuk kegiatan monitoring, seperti monitoring perubahan
luasan, monitoring perubahan distribusi tutupan lahan, dan lain sebagainya. Seiring dengan
perkembangannya, saat ini, teknik penginderaan jauh yang diintegrasikan dengan teknik Sistem
Informasi Geografis semakin membantu dalam penyediaan basis data spasial mangrove melalui
berbagai aplikasi. Sebagai contoh aplikasi tersebut, dalam penelitian ini dilakukan kegiatan monitoring
perubahan luas dan distribusi tutupan lahan mangrove di area Delta Sungai Wulan Kabupaten Demak
melalui interpretasi visual data penginderaan jauh. Data penginderaan jauh yang digunakan adalah
Citra Landsat TM tahun 1994, Citra Landsat ETM tahun 2002, dan Citra ALOS tahun 2010.
Selanjutnya, dilakukan pula pemetaan tingkat kerapatan mangrove menggunakan teknik Normalized
Difference Vegetation Index (NDVI) pada Citra ALOS tahun 2010.
Kata kunci : pengelolaan, mangrove, penginderaan jauh
I. PENDAHULUAN
Indonesia memiliki wilayah pesisir yang cukup luas dengan panjang garis pantai mencapai
95.181 km (Rompas 2009, dalam Mukhtar 2009). Angka tersebut menjadikan Indonesia sebagai
negara dengan garis pantai terpanjang ke empat di dunia. Selaras dengan wilayah pesisirnya yang
luas, Indonesia menyimpan potensi sumberdaya alam pesisir yang luar biasa dengan
keanekaragaman ekosistem. Berbagai ekosistem seperti hutan mangrove, terumbu karang, padang
lamun, dan estuaria dapat ditemui di berbagai wilayah pesisir Indonesia.
Sebagai salah satu ekosistem wilayah pesisir, hutan mangrove memiliki fungsi ekologis,fungsi
sosial dan ekonomis, serta fungsi fisik. Hutan mangrove merupakan daerah tempat hidup dan mencari
makan (feeding ground) bagi berbagai organisme seperti udang, kepiting, ikan, burung, dan mamalia.
Selai itu, secara ekologis hutan mangrove juga menyediakan tempat yang sangat baik dan ideal bagi
proses pemijahan (spawning ground) biota laut yang ada di dalamnnya. Dari segi sosial ekonomi,
2. produk hutan mangrove dapat dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai bahan kontruksi, kayu bakar,
bahan baku kertas, bahan makanan, pariwisata, dan sebagainya sehingga memberikan kontribusi
dalam peningkatan kondisi ekonomi dan sosial masyarakat di sekitar hutan. Secara fisik, hutan
mangrove memberikan perlindungan kepada pantai dari gelombang besar, angin kencang, dan badai
dari arah laut sehingga dapat meminimalisir kerusakan yang dapat mumcul. Berbagai fungsi hutan
mangrove tersebut memberikan andil bagi proses pembangunan terutama di wilayah pesisir. Hutan
mangrove dengan berbagai hasilnya merupakan sumberdaya alam sebagai salah satu modal
pembangunan. Sementara itu, fungsi fisik dan ekologisnya memberikan kontribusi bagi kelestarian
lingkungan.
Kenyataanya, kondisi hutan mangrove di Indonesia masih memprihatinkan. Berdasarkan data
dari FAO (2007), luas hutan mangrove di Indonesia dari tahun 1980 hingga 2005 terus mengalami
penurunan, yaitu dari 4.200.000 Ha menjadi 2.900.000 Ha. Dalam kurun waktu antara tahun 2000-
2005, luas hutan mangrove di Indonesia mengalami penurunan sebesar 50.000 Ha atau sekitar 1,6
%. Mengingat akan fungsi pentingnya, maka diperlukan pengelolaan hutan mangrove yang optimal
agar kerusakan dan berkurangnya luas hutan mangrove dapat diminimalisir.
Di dalam kegiatan pengelolaan, sangat diperlukan adanya basis data yang memadai. Basis
data ini dapat dijadikan sebagai dasar perencanaan dan pengambilan keputusan, termasuk dalam
pengelolaan hutan mangrove. Pengelolaan hutan mangrove dapat dipermudah dengan
memanfaatkan aplikasi penginderaan jauh dan Sistem Informasi Geografis (SIG). Seiring dengan
perkembangannya, saat ini, integrasi antara teknik penginderaan jauh dengan teknik Sistem Informasi
Geografis semakin membantu dalam penyediaan basis data spasial mangrove melalui berbagai
aplikasi. Berkaitan dengan hal tersebut, penelitian ini dimaksudkan untuk menerapkan beberapa
aplikasi teknik penginderaan jauh yang diintegrasikan dengan SIG dalam penyediaan basis data untuk
pengelolaan hutan mangrove. Sebagai contoh studi adalah hutan mangrove di area Delta Sungai
Wulan Kabupaten Demak.
II. METODOLOGI
Penelitian ini meliputi dua kegiatan, yaitu penerapan aplikasi penginderaan jauh dan SIG
untuk memonitoring perubahan tutupan lahan mangrove dan aplikasi penginderaan jauh dan SIG
untuk mengetahui kerapatan tajuk hutan mangrove. Monitoring perubahan tutupan lahan mangrove
dilakukan melalui interpretasi visual data penginderaan jauh multitemporal, yaitu Citra Landsat TM
tahun 1994, Citra Landsat ETM tahun 2002, dan Citra ALOS tahun 2010. Perubahan tutupan lahan
mangrove dianalisis baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Pada analisis kualitatif, perubahan
tutupan lahan mangrove disajikan secara spasial berupa peta distribusi tutupan lahan mangrove.
Dengan disajikan secara bersamaan, maka peta distribusi tutupan lahan mangrove pada tahun
pengamatan yang berbeda akan memberikan informasi lokasi-lokasi di mana terjadi perubahan
tutupan lahan mangrove, baik berupa penambahan maupun pengurangan mangrove. Secara
kuantitatif, monitoring perubahan tutupan lahan mangrove diidentifikasi melalui perubahan luas pada
masing-masing tahun pengamatan. Perhitungan luas tutupan lahan mangrove tersebut dilakukan
menggunakan fasilitas calculate geometry pada Software ArcGis 9.3.
Analisis kerapatan tajuk dilakukan menggunakan metode Normalized Difference Vegetation
Index (NDVI). NDVI merupakan pengukuran keseimbangan antara energi yang diterima dengan
energi yang dipancarkan oleh obyek di bumi. Ketika diterapkan pada komunitas tumbuhan, indeks
tersebut menetapkan nilai untuk mengetahui seberapa hijau suatu area yang dapat mengekspresikan
jumlah keberadaan vegetasi dan tingkat kesehatan atau kekuatan pertumbuhannya (Meneses-Tovar,
2011). Dalam penelitian ini, analasis NDVI dilakukan menggunakan software ENVI 4.7 dengan Citra
ALOS tahun 2010 sebagai sumber data. Untuk penilaian tingkat kerapatan tajuk hutan mangrove,
digunakan kriteria yang dikeluarkan oleh Departemen Kehutanan DIrektorat Jenderal Rehabilitasi
Lahan dan Perhutanan Sosial (2005) dalam Pedoman Inventarisasi dan Identifikasi Lahan Kritis
Mangrove. Kriteria tersebut disajikan dalam Tabel 1 berikut.
3. Tabel 1. Kriteria Tingkat Kerapatan Tajuk Hutan Mangrove Berdasarkan Nilai NDVI
Nilai NDVI Tingkat Kerapatan Tajuk
0,43 ≤ NDVI ≤ 1,00 Kerapatan tajuk lebat
0,33 ≤ NDVI ≤ 0,42 Kerapatan tajuk sedang
-1,0 ≤ NDVI ≤ 0,32 Kerapatan tajuk jarang
Sumber : Departemen Kehutanan (2005)
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1. Deskrispsi Daerah Penelitian
Daerah penelitian merupakan area Delta Sungai Wulan. Area ini terletak di bagian utara
wilayah pesisir Kabupaten Demak. Secara administrasi, Delta Sungai Wulan terletak di Kecamatan
Wedung, meliputi sebagian Desa Berahan Wetan dan Desa Berahan Kulon. Oleh karena delta
bersifat dinamis, maka penentuan area delta yang digunakan dalam penelitian ini didasarkan pada
batas terluar area delta pada tiap-tiap tahun pengamatan. Dengan demikian, semua lahan mangrove
di area delta pada semua tahun pengamatan dapat tercakup dalam batasan area penelitian. Secara
geografis, area Delta Sungai Wulan yang telah dibatasi terletak di antara 448913-454249 mT dan
9251320-9257328 mU. Area tersebut mencakup luasan 1731, 73 Hektar.
3.2. Analisis Perubahan Tutupan Lahan Mangrove
Analisis perubahan tutupan lahan mangrove pada penelitian ini dilakukan pada tiga tahun
pengamatan, yaitu tahun 1994, 2002, dan 2010. Berdasarkan interpretasi visual terhadap data
penginderaan jauh, didapatkan informasi luas tutupan lahan mangrove pada tiap-tiap tahun
pengamatan. Pada tahun 1994, luas tutupan lahan mangrove di area Delta Sungai Wulan adalah
785,03 Hektar. Sementara itu, luas tutupan lahan mangrove pada tahun 2002 adalah 472,65 Hektar.
Dari tahun 1994, luasan tersebut mengalami penurunan sebesar 39,79%. Dibandingkan tahun 2002,,
tutupan lahan mangrove pada tahun 2010 mengalami peningkatan, yaitu menjadi 553,71 Hektar.
Meski demikian, bertambahnya luasan tersebut tidak cukup banyak (17%) sehingga belum mencapai
luasan yang sama dengan tahun 1994. Informasi luas dan perubahan luas tutupan lahan mangrove
tersebut dapat dilihat pada Tabel 2 berikut.
Tabel 2. Kriteria Tingkat Kerapatan Tajuk Hutan Mangrove Berdasarkan Nilai NDVI
Tahun Luas Tutupan Lahan Mangrove
(Ha)
Persen
Perubahan
(%)
Keterangan
1994 785,03 - -
2002 472,65 39,79 Berkurang
2010 553,71 17,15 Bertambah
Sumber : Analisis
Secara visual, tutupan lahan mangrove disajikan ke dalam peta sehingga dapat diketahui
distribusinya. Berdasarkan polanya, tutupan lahan mangrove di area Delta Sungai Wulan pada tahun
1994 cenderung membentuk poligon-poligon yang relatif luas dengan bentuk kurang teratur. Paling
luas, poligon tutupan lahan mangrove ditemui di ujung percabangan delta bagian utara. Pola tersebut
mengindikasikan bahwa hutan mangrove cenderung masih alami meskipun tidak merata. Kondisi
yang berbeda ditemukan pada tahun 2002. Pada tahun ini, poligon-poligon tutupan lahan mangrove
cenderung memiliki bentuk yang memanjang dengan lebar yang relatif sempit. Kondisi ini
mengindikasikan adanya eksploitasi ataupun kerusakan hutan mangrove. Tutupan lahan mangrove
4. yang luas di mana pada tahun 1994 dapat ditemukan di ujung delta bagian utara, pada periode ini
tidak lagi ditemukan. Sebaliknya, pada tahun 2002, tutupan lahan mangrove di ujung selatan delta
mengalami pertambahan seiring terjadinya perluasan area delta di lokasi tersebut.
Pada tahun 2010, tutupan lahan mangrove membentuk pola yang berbeda dari kedua tahun
pengamatan sebelumnya. Pada tahun ini, tutupan lahan mangrove membentuk poligon-poligon
dengan sudut yang lebih tegas. Pola ini mengindikasikan adanya pengelolaan hutan mangrove dalam
bentuk sylvofishery atau wanamina, yaitu model pengembangan tambak ramah lingkungan yang
memadukan hutan/pohon (sylvo), dalam hal ini mangrove, dengan budidaya perikanan (fishery).
Pengelolaan hutan mangrove model ini dimaksudkan untuk memadukan antara kepentingan ekonomi
dengan kepentingan ekologis atau kelestarian lingkungan. Dibandingkan area pada percabangan
delta bagian utara ( wilayah Desa Berahan Wetan ), poligon-poligon tutupan lahan mangrove di area
pada percabangan delta bagian selatan (wilayah Desa Berahan Kulon) relatif lebih luas.
Perubahan distribusi tutupan lahan mangrove dapat diketahui dengan menyajikan peta
distribusi tutupan lahan mangrove pada tahun pengamatan yang berbeda secara bersamaan. Sebagai
hasil dari penelitian ini, peta perubahan distribusi mangrove dibedakan menjadi dua periode
pengamatan, yaitu periode antara tahun 1994 hingga 2002 dan periode antara tahun 2002 hingga
2010. Gambar 1 memberikan informasi mengenai perubahan tutupan lahan mangrove antara tahun
1994 hingga 2002 secara spasial. Pada peta tersebut, perubahan tutupan lahan mangrove antara
tahun 1994 hingga 2002 dideskripsikan menjadi tujuh lokasi. Dari ketujuh lokasi tersebut, lima di
antaranya merupakan lokasi di mana pengurangan lahan mangrove terjadi, sedangkan dua
diantaranya merupakan lokasi di mana penambahan tutupan lahan mangrove terjadi.
Gambar 1. Peta Perubahan Tutupan Lahan Mangrove Periode Tahun 1994-2002
Berkurangnya tutupan lahan mangrove ditemukan terutama di area delta bagian utara, baik di
sekitar garis pantai yang berbatasan langsung dengan laut maupun di tengah delta. Tutupan lahan
mangrove yang berkurang juga ditemukan di sekitar pangkal antara percabangan delta bagian utara
5. dengan percabangan delta bagian selatan. Hal yang berbeda terjadi pada ujung percabangan delta
bagian selatan. Di sekitar area ini, tutupan lahan mangrove justru terjadi dalam luasan yang cukup
besar. Penambahan ini dapat terjadi terkait dengan adanya sedimentasi di Delta Sungai Wulan.
Dibandingkan dengan kondisi delta pada tahun 1994, pada tahun 2002 terjadi perluasan dataran
delta. Seiring bertambahnya luasan delta tersebut, maka bertambah pula akumulasi substrat sebagai
lingkungan tumbuh komunitas mangrove.
Gambar 2 menujukkan lokasi-lokasi di mana perubahan tutupan lahan mangrove pada
periode antara tahun 2002 hingga 2010 terjadi. Pada periode ini, perubahan terjadi pada lebih banyak
lokasi, akan tetapi luasan perubahan pada tiap-tiap lokasi cenderung lebih sempit. Berbeda dengan
pengamatan periode tahun 1994 hingga 2002, pada periode ini lokasi di mana terjadi pertambahan
luas tutupan lahan mangrove lebih banyak dibandingkan dengan lokasi di mana tutupan lahan
mangrove cenderung berkurang. Berkurangnya tutupan lahan mangrove dideskripsikan menjadi enam
lokasi, sedangkan bertambahnya tutupan lahan mangrove dideskripsikan menjadi delapan belas
lokasi.
Lokasi di mana terjadi pengurangan tutupan lahan mangrove antara lain terdapat di ujung-
ujung percabangan delta. Pengurangan tutupan lahan mangrove yang paling terlihat adalah di ujung
percabangan delta sebelah utara. Ke arah daratan, pengurangan tutupan lahan mangrove terjadi di
sekitar aliran sungai di Desa Berahan Wetan dan sedikit di sekitar aliran sungai di Desa Berahan
Kulon. Sementara itu lokasi terjadinya pertambahan tutupan lahan mangrove diantaranya terdapat di
sekitar percabangan Sungai Wulan saat mulai memasuki area delta. Selain itu, bertambahnya tutupan
lahan mangrove juga terdapat di tepi area delta bagian selatan.
Gambar 2. Peta Perubahan Tutupan Lahan Mangrove Periode Tahun 2002-2010
Berdasarkan interpretasi terhadap perubahan distribusi tutupan lahan mangrove pada kedua
periode (tahun 1994-2002 dan tahun 2002-2010), maka diketahui bahwa lokasi di mana tutupan lahan
mangrove cenderung terus mengalai pengurangan adalah di ujung percabangan delta bagian utara,
sedangkan lokasi di mana tutupan lahan mangrove cenderung terus megalami pertambahan adalah di
6. tepi area delta bagian selatan. Sementara itu, di bagian tengah area delta dan di sekitar percabangan
Sungai Wulan di mana pada periode antara tahun 1994 hingga 2002 mengalami penurunan luas
tutupan lahan mangrove, pada periode antara tahun 2002 hingga 2010 justru mengalami
pertambahan luasan. Meskipun tidak terlalu besar dan hanya terjadi pada area-area yang sempit,
pertambahan tutupan lahan tersebut terjadi cukup merata.
3.3. Analisis Kerapatan Tajuk Hutan Mangrove
Informasi mengenai kerapatan tajuk merupakan salah satu hal yang penting dalam
pengelolaan hutan mangrove. Di dalam Pedoman Inventarisasi dan Identifikasi Lahan Kritis Mangrove
yang dikeluarkan oleh Departemen Kehutanan, kerapatan tajuk merupakan salah satu kriteria yang
digunakan untuk penentuan tingkat kekritisan lahan mangrove selain jenis penggunaan lahan dan
ketahanan tanah terhadap abrasi. Pada penelitian ini, kerapatan tajuk didapat dari analisis Normalized
Difference Vegetation Index (NDVI) terhadap Citra ALOS dengan obyek yang dibatasi oleh peta
persebaran tutupan lahan mangrove hasil analisis sebelumnya.
Hasil analisis tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar hutan mangrove di Delta Sungai
Wulan memiliki kerapatan tajuk jarang. Hutan mangrove dengan klasifikasi tersebut seluas 470, 1
Hektar atau mencapai 95,1%. Sementara itu, hutan mangrove yang memiliki kerapatan tajuk sedang
hanya meliputi luas 22,18 Hektar atau sekitar 4,48%. Hutan mangrove yang memiliki kerapatan tajuk
lebat hanya meliputi luas 2,11 Hektar atau sekitar 0,43%. Secara rinci, informasi tingkat kerapatan
tajuk hutan mangrove di daerah penelitian disajikan pada Tabel 3 berikut.
Tabel 3. Luas Mangrove Menurut Tingkat Kerapatan Tajuk Berdasarkan Nilai NDVI
Nilai NDVI Tingkat Kerapatan Tajuk Luas (Ha) Persentase
Luas (%)
0,43 ≤ NDVI ≤ 1,00 Kerapatan tajuk lebat 2,11 0,43
0,33 ≤ NDVI ≤ 0,42 Kerapatan tajuk sedang 22,18 4,48
-1,0 ≤ NDVI ≤ 0,32 Kerapatan tajuk jarang 470,1 95,10
Sumber : Analisis
Berdasarkan distribusinya, hutan mangrove dengan kerapatan tajuk jarang tersebar di seluruh
area delta. Di bagian tengah delta, sebagian besar hutan mangrove memiliki kerapatan tajuk tersebut.
Keberadaan hutan mangrove dengan kerapatan tajuk sedang lebih banyak ditemukan di pinggir area
delta, terutama pada percabangan delta bagian selatan. Hutan mangrove dengan kerapatan tajuk
sedang hanya sedikit ditemukan di tengah area delta, yaitu di sekitar aliran sungai. Sementara itu,
keberadaan hutan mangrove dengan kerapatan tajuk lebat hanya ditemukan di sebagian kecil tepi
delta pada percabangan bagian selatan dan tepi aliran sungai dengan luasan lebih kecil.
Kondisi di atas dapat mengindikasikan bahwa hutan mangrove yang terletak di pinggir delta
dan berbatasan langsung dengan laut cenderung masih dalam kondisi alami, terutama di area
percabangan delta bagian selatan. Meski demikian, pengaruh kekuatan gelombang dan arus dapat
mempengaruhi tingkat kerapatan sehingga hanya memiliki kerapatan tajuk sedang. Sementara itu,
pengaruh kegiatan manusia lebih banyak dilakukan pada mangrove yang terletak lebih ke arah darat
atau di tengah-tengah area delta. Pada area ini, lahan mangrove banyak dikonversi menjadi lahan
tambak. Secara spasial, distribusi hutan mangrove di daerah penelitian berdasarkan tingkat kerapatan
tajuk disajikan pada Gambar 3.
IV. KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan di atas, maka kesimpulan dari hasil penelitian ini adalah sebagai
berikut :
1. Pada periode antara tahun 1994-2002, luas tutupan lahan mangrove di area Delta Sungai Wulan
mengalami penurunan sebesar 39,79%, sedangkan pada periode antara tahun 2002-2010
mengalami kenaikan sebesar 17,15 %.
7. 2. Berdasarkan distribusinya pada kedua periode, lokasi di mana tetap mengalami pengurangan
tutupan lahan mangrove adalah di ujung percabangan delta bagian utara, sedangkan lokasi di
mana tetap mengalami pertambahan adalah di tepi area delta bagian selatan.
3. Berdasarkan analisis NDVI, hutan mangrove di area delta Sungai Wulan sebagian besar memiliki
tingkat kerapatan tajuk jarang (95,10%), hanya sedikit yang memiliki tingkat kerapatan sedang
(4,48%) dan lebat (0,43%).
4. Berbagai aplikasi teknik penginderaan jauh dan SIG dapat mempermudah pembuatan basis data
dalam rangka pengelolaan hutan mangrove sebagai salah satu sumberdaya dan modal
pembangunan.
Gambar 3. Peta Tingkat Kerapatan Tajuk Hutan Mangrove di Area Delta Sungai Wulan
V. DAFTAR PUSTAKA
Departemen Kehutanan. 2005. Pedoman Inventarisasi dan Identifikasi Lahan Kritis Mangrove. Jakarta
: Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial Departemen Kehutanan.
FAO. 2007. The World’s Mangroves 1980-2005, A Thematic Study Prepared in the Framework of the
Global Forest Resources Assessment 2005. Rome : FAO Forestry Paper.
Kustanti, A. 2011. Manajemen Hutan Mangrove. Bogor : IPB Press.
Meneses-Tovar, C.L. 2011. NDVI as Indicator of Degradation.Unasy Iva 238, Vol.62, 2011/2.
Mukhtar. 2009. Garis Pantai Indonesia Terpanjang Keempat di Dunia.
http://www.kkp.go.id/index.php/arsip/c/1048/Garis-Pantai-Indonesia-Terpanjang-Keempat-di-
Dunia/?category_id=. (Diakses Tanggal :28 Mei 2013).
8. Perdana, A.P. 2011. Tutorial Ringkas Identifikasi Ekosistem Mangrove dan Pemetaan Kerapatan
Mangrove dari data Penginderaan Jauh. http://www.scribd.com/doc/62744013/GIS-and-
Remote-Sensing-for-Mangrove-Mapping (Diakses Tanggal : 20 Mei 2013).