1. Teks membahas interaksi antara tradisi lokal Nusantara dengan Hindu-Buddha dan Islam di berbagai bidang seperti aksara, bahasa, sistem kepercayaan, kesusastraan, pemerintahan, kesenian, kalender.
2. Proses akulturasi dan asimilasi antara kebudayaan lokal dengan Hindu-Buddha menghasilkan percampuran unsur-unsur budaya.
3. Masuknya Islam juga berinteraksi dengan budaya setempat dan Hindu-Budd
MODUL AJAR BAHASA INGGRIS KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA.pdf
Ppt sejarah bab 5 sma x wajib
1. A. Akulturasi dan Asimilasi Kebudayaan
Sebelum agama Hindu, Buddha, dan Islam masuk, masyarakat Nusantara telah memiliki
agama dan kebudayaannya sendiri. Dalam hal kepercayaan, misalnya, masyarakat purba
Nusantara telah mengenal bentuk kepercayaan animisme dan dinamisme. Kepercayaan
animisme memercayai bahwa setiap benda di bumi ini mempunyai jiwa atau roh yang harus
dihormati agar roh-roh tersebut tidak mengganggu manusia dan bahkan bisa memberikan
bantuan atau pertolongan dalam kehidupan manusia. Penghormatan kepada roh nenek
moyang itu diwujudkan dalam berbagai upacara seperti pemberian sesaji atau sesajen. Dalam
sistem kepercayaan dinamisme, semua benda yang besar, seperti pohon besar, batu besar,
atau gunung dipercaya mempunyai kekuatan gaib, dan karena itu perlu dihormati dan dijaga.
Menurut Dr. Brandles, selain mengenal sistem kepercayaan animisme dan dinamisme,
menjelang akhir masa prasejarah nenek moyang Indonesia telah menguasai beberapa
kemampuan, yaitu sebagai berikut.
Kemampuan bercocok tanam.
Kemampuan berlayar dengan perahu bercadik.
2. Kemampuan mengenal arah dengan menggunakan petunjuk rasi bintang.
Mengenal kesenian wayang sebagai media untuk melakukan hubungan dengan arwah
nenek moyang.
Memiliki kemampuan membuat peralatan dari batu, tanah liat, dan teknik membuat barang
dari logam.
Kemampuan membangun tempat pemujaan, seperti menhir dan punden berundak-undak.
Mengenal sistem pemerintahan dan cara pemilihan kepala suku, yang disebut primus
interpares.
Mengenal seni gamelan.
Semua hasil cipta, karya, dan karsa masyarakat terus berkembang hingga masuknya
agama dan kebudayaan Hindu-Buddha serta Islam ke Indonesia. Terjadilah proses asimilasi dan
akulturasi antara kebudayaan lokal Nusantara dan kebudayaan Hindu-Buddha. Masyarakat
menerima unsur-unsur baru dari kebudayaan Hindu-Buddha sambil tetap mempertahankan
kebudayaan aslinya, maka proses ini disebut akulturasi. Sementara jika terjadi percampuran
antara kebudayaan lokal Nusantara dan kebudayaan Hindu-Buddha yang menghasilkan
kebudayaan baru, maka proses ini disebut asimilasi.
Kebudayaan Hindu-Buddha yang masuk ke Indonesia tidak diterima begitu saja. Hal ini
disebabkan oleh faktor-faktor berikut.
Masyarakat Indonesia telah memiliki dasar-dasar kebudayaan yang cukup tinggi sehingga
masuknya kebudayaan asing akan menambah perbendaharaan kebudayaan Indonesia.
3. Kecakapan istimewa. Bangsa Indonesia memiliki apa yang disebut dengan istilah
kecakapan istimewa atau local genius, yaitu kecakapan suatu bangsa untuk menerima
unsur-unsur kebudayaan asing dan mengolah unsur-unsur tersebut sesuai dengan
kepribadian bangsa Indonesia.
B. Interaksi antara Tradisi Lokal Nusantara dan Kebudayaan Hindu-Buddha
1. Aksara dan Bahasa
Sebelum pengaruh Hindu masuk ke Indonesia, bangsa Indonesia belum mengenal
aksara atau tulisan. Orang-orang India yang masuk ke Indonesia membawa-serta budaya
tulis, dengan huruf Pallawa dan bahasa Sanskerta. Huruf Pallawa dan bahasa Sanskerta
menjadi huruf dan bahasa Sanskerta menjadi huruf dan bahasa utama dalam banyak prasasti
di Indonesia. Bahasa Sanskerta kemudian banyak memengaruhi bahasa Kawi (bahasa Jawa
Kuno) dan bahasa Melayu Kuno. Bahasa Kawi banyak menyerap kosakata dari bahasa
Sanskerta namun tidak meniru tata bahasanya.
Menurut Prof. Dr. P. J. Zoetmulder, bahasa Jawa Kuno merupakan bahasa umum yang
digunakan selama periode Hindu Jawa sampai runtuhnya Majapahit. Sejak kedatangan
agama dan kebudayaan Islam, bahasa Jawa Kuno berkembang menjadi dua, yaitu bahasa
Jawa Tengahan dan bahasa Jawa modern. Bahasa Jawa Tengahan memiliki ciri yang erat
antara budaya Hindu-Jawa Bali dimana pengaruh Hindu masih terasa. Sedangkan bahasa
Jawa modern ditandai dengan banyaknya penggunaan bahasa Arab.
4. Bahasa lainnya yaitu bahasa Melayu Kuno, anggota rumpun bahasa Austronesia yang
dianggap sebagai salah satu bentuk awal bahasa Melayu. Bahasa Melayu Kuno pernah
dipakai pada sekitar abad ke-7 hingga abad ke-13, yaitu pada zaman Dinasti Syailendra dan
di Kerajaan Sriwijaya.
2. Sistem Kepercayaan
Sejak zaman prasejarah, bangsa Indonesia telah memiliki kepercayaan animisme dan
dinamisme. Masuknya kebudayaan Hindu-Buddha ke Indonesia, menyebabkan terjadinya
akulturasi. Contohnya, dalam upacara keagamaan terhadap para dewa-dewi di candi, terlihat
adanya unsur pemujaan terhadap roh nenek moyang. Hal ini ditunjukkan dengan adanya
pripih, yaitu tempat benda-benda lambang jasmaniah raja yang membangun candi tersebut
disimpan. Dengan demikian candi dianggap sebagai makam atau tempat berdiamnya roh raja
yang telah meninggal tersebut. Upacara keagamaan atau pemujaan terhadap dewa yang ada
di candi pada hakikatnya merupakan pemujaan terhadap roh nenek moyang, inilah bentuk
akulturasi antara sistem kepercayaan masa prasejarah dan kebudayaan Hindu-Buddha.
3. Kesusastraan
Karya sastra terkenal berbentuk epos yang berasal dari India, seperti Kitab Mahabharata
dan Ramayana telah memicu para pujangga Nusantara untuk menghasilkan karya-karya
sastra baru. Pembuatan kitab pertama kali dirintis pada masa Dinasti Isyana, yaitu pada
masa pemerintahan Dharmawangsa Teguh. Sesuai tahapan perkembangannya, naskah-
naskah kuno mulai ditulis sejak zaman Kerajaan Mataram Kuno, zaman Kerajaan Kediri,
5. dan zaman Kerajaan Majapahit. Beberapa karya sastra tersebut adalah sebagai berikut.
o Masa Mataram Kuno, ditulis Ramayana oleh Mpu Walmiki, dan Mahabharata oleh Mpu
Wiyasa.
o Pada masa pemerintahan Mpu Sindok, ditulis Kitab Sang Hyang Kamahayanikan.
o Masa Kediri, ditulis Arjunawiwaha oleh Mpu Kanwa, Kresnayana oleh Mpu Triguna,
Smaradahana oleh Mpu Dharmaja, Barathayuda oleh Mpu Sedah dan Panuluh, dan
Gatotkacasraya oleh Mpu Panuluh.
o Masa Majapahit, Nagarakertagama ditulis oleh Mpu Prapanca, Sutasoma dan
Arjunawijaya oleh Mpu Tantular.
4. Sistem Pemerintahan
Dalam sistem pemerintahan, kebudayaan Hindu-Buddha mengenalkan sistem kerajaan
dengan konsep dewa raja. Konsep ini memosisikan raja sebagai titisan para dewa. Para ahli
menganggap konsep ini sebagai hasil proses akulturasi, yaitu perpaduan antara Hinduisme
dan pemujaan nenek moyang yang sudah lama dianut penduduk Nusantara. Dalam bahasa
Sanskerta, istilah dewa raja dapat bermakna “raja para dewa” atau “raja yang juga titisan
dewa”. Dalam masyarakat Hindu, jabatan dewa tertinggi biasanya disandang oleh Siwa,
terkadang Wisnu atau Brahma. Konsep ini memandang raja memiliki sifat ilahiah, yaitu
sebagai dewa yang hidup di atas bumi atau sebagai titisan dewa tertinggi.
6. 5. Kesenian
Sebelum masuknya pengaruh Hindu-Buddha, bangsa Indonesia telah mengenal seni
bangunan dalam bentuk bangunan-bangunan besar dari masa Megalithikum, yaitu
bangunan yang terkait erat dengan kegiatan pemujaan dan penghormatan kepada nenek
moyang. Pada masa Hindu, kita dikenalkan dengan konsep candi. Jika pada masa sebelum
Hindu-Buddha bangunan-bangunan besar seperti dolmen dan menhir terkait erat dengan
penghormatan terhadap roh nenek moyang, maka pada masa Hindu-Buddha bangunan
candi dimaksudkan untuk menghormati raja yang sudah meninggal. Mirip dengan dolmen
dan menhir, candi adalah monumen tempat pen-dharma-an bagi raja yang sudah
meninggal. Di bawah patung raja yang di-dharma-kan biasanya juga disimpan benda-benda
berharga milik raja yang disebut pripih. Benda-benda itu dianggap sebagai lambang
jasmani raja.
Agama Buddha juga mendirikan bangunan candi, dengan fungsi yang mirip. Stupa
pada candi-candi bercorak Buddha awalnya juga berfungsi seperti pripih, dan tempat
menyimpan abu jenazah Buddha Gautama atau barang-barang berharga milik raja yang
telah meninggal. Dalam perkembangannya, digunakan sebagai tempat menyimpan abu
jenazah dari para arhat (orang suci) yang berjasa menyebarkan ajaran Buddha. Dari segi
struktur bangunannya, salah satu candi bercorak Buddha yaitu Candi Borobudur bahkan
sangat mirip dengan punden berundak-undak, tempat pemujaan zaman Megalithikum.
7. Candi biasanya lebih rumit namun artistik. Di bagian luarnya terdapat relung-relung candi
yang diisi dengan patung perwujudan dari Dewa Siwa, Durga, Wisnu, Brahma, dan Ganesha.
Bagian atap candi Hindu biasanya bertingkat tiga, dan di bagian puncaknya seperti genta,
yaitu lonceng dengan posisi telungkup. Pada bangunan candi Buddha, banyak dipenuhi stupa
yang bentuknya mirip mangkuk yang terbalik.
6. Sistem Bangunan Tata Kota
Pada zaman sebelum Hindu-Buddha, masyarakat Indonesia belum mengenal bangunan
dan tata kota yang kompleks, tertata, dan bernilai seni tinggi. Sejak zaman Hindu-Buddha kita
mengenal sistem bangunan yang lebih kompleks, tertata rapi, dan bernilai seni tinggi.
Bangunan itu adalah keraton. Tempat tinggal raja ini biasanya terletak di pusat kota dan
dikelilingi tembok yang tinggi. Di sebelah selatan istana biasanya terdapat alun-alun, di
bagian barat terdapat bangunan tempat peribadatan.
Alun-alun Utara merupakan tempat berkumpul masyarakat dan bersifat dinamis,
sedangkan Alun-alun Selatan diangap sebagai penyeimbang karena dimaksudkan sebagai
tempat palereman (istirahat) para dewa dan karena itu juga suasananya dibangun untuk dapat
menenteramkan hati banyak orang. Tata letak bangunan yang lazim disebut sistem macapat
ini masih banyak dapat kita jumpai di kota-kota di Jawa.
8. 7. Bidang Seni Rupa
Pada masa Hindu-Buddha masyarakat diperkenalkan dengan relief, yaitu seni pahat berupa
ukiran (seni ukir) yang biasanya dibuat pada dinding candi, kuil, monumen, atau tempat
bersejarah. Relief ini tersusun sedemikian rupa sehingga menjadi rangkaian cerita yang
biasanya diambil dari sejumlah karya sastra pada masa itu. Terdapat perbedaan yang cukup
menonjol antara relief-relief candi di Jawa Tengah dan relief-relief candi di Jawa Timur. Relief
candi Jawa Tengah bersifat naturalis, artinya sesuai dengan keadaan yang sebenarnya.
Sebaliknya, relief candi di Jawa Timur lebih bersifat simbolis.
Seni rupa lainnya adalah dalam bentuk patung atau arca. Sebelum masa Hindu-Buddha,
telah dikenal patung atau arca binatang yang dianggap suci, atau disebut kepercayaan
totemisme. Pada masa Hindu, kita mengenal patung-patung yang menunjukkan dewa utama
seperti Brahma, Wisnu, dan Siwa. Bentuk seni rupa lainnya yang mendapat pengaruh Hindu
adalah ragam hias. Pada masa praaksara, bangsa Indonesia sudah mengenal ragam hias seperti
yang terdapat pada nekara, gerabah, dan alat-alat upacara lainnya. Kemampuan membuat ragam
hias berkembang pesat pada masa Hindu. Pada masa Hindu-Buddha dikenal hiasan kepala
orang yang biasa dipahat di bagian atas gapura atau dikenal dengan nama kalamakara. Selain
itu, berkembang pula ragam hias gambar binatang yang dianggap keramat, misalnya kendaraan
para dewa. Terakhir, ada ragam hias tumbuh-tumbuhan yang digunakan sebagai lambang
penghargaan tertinggi terhadap upaya pelestarian lingkungan hidup yakni kalpataru.
9. 8. Sistem Kalender
Sistem penanggalan atau kalender Hindu-Buddha turut berpengaruh terhadap kebudayaan
Indonesia, yaitu digunakannya kalender dari India yang bernama kalender Saka. Tahun Saka
dimulai pada tahun 78 M. Perhitungan tahun Saka sampai saat ini masih digunakan oleh
masyarakat Bali yang beragama Hindu, untuk menentukan hari dari sejumlah kegiatan upacara
keagamaan yang mereka anut.
C. Interaksi antara Tradisi Lokal , Hindu-Buddha, dan Islam di Indonesia
1. Aksara
Akulturasi kebudayaan Indonesia dan Islam dalam bidang aksara diwujudkan dengan
berkembangnya tulisan Arab Melayu di Indoensia, yaitu tulisan Arab yang digunakan untuk
menulis dalam bahasa Melayu. Tulisan Arab Melayu disebut juga dengan istilah Arab gundul.
2. Bidang Sosial
Masyarakat pada masa Hindu-Buddha mengenal sistem kasta. Akan tetapi, saat agama
dan kebudayaan Islam masuk sistem kasta tersebut perlahan-lahan menghilang.
3. Bidang Pemerintahan
Pada masa pengaruh Islam, gelar raja diganti dengan sultan. Konsep dewa raja yang
memandang raja sebagai titisan dewa diganti dengan konsep sultan sebagai khalifah, yang
10. berarti pemimpin umat. Penasihat raja berasal dari tokoh-tokoh agama yang disebut kiai. Meski
demikian, sistem pemerintahan tidak mengalami perubahan secara menyeluruh. Sebutan atau
gelar bagi pembantu raja tetap menggunakan istilah lama seperti “patih panglima”, hulubalang,
mahamenteri, dan lain-lain.
4. Bidang Seni Bangunan
Akulturasi tampak jelas pada bangunan pemujaan. Jika pada masa praaksara, pemujaan
terhadap roh nenek moyang diwujudkan dalam bangunan punden berundak-undak, maka pada
masa Hindu-Buddha diwujudkan dalam bentuk candi. Bentuk candi dibuat dengan struktur
bertingkat-tingkat seperti punden berundak-undak. Proses akulturasi juga tampak pada letak
dan bentuk makam. Pada masa Islam, makam lebih sederhana dan tidak besar, makam
dibangun di tempat yang berbukit, mirip dengan konsep punden berundak-undak. Contohnya,
makam Sunan Gunung Jati di perbukitan Gunung Jati, Cirebon.
Pada makam Islam sering dijumpai bangunan kijing atau jirat, yaitu bangunan makam yang
terbuat dari tembok batu bata dan disertai bangunan rumah atau cungkup diatasnya. Wujud
akulturasi lainnya adalah dalam ukiran bangunan makam. Hiasan pada jirat atau batu kubur
berupa susunan bingkai meniru bingkai pada panel relief bangunan candi. Pada bangunan
masjid, terutama di Pulau Jawa, bangunan masjid berbentuk seperti pendapa yaitu balai atau
ruang besar tempat rapat dengan komposisi ruang yang berbentuk persegi dan beratap
tumpang. Atap masjid di Jawa banyak yang berbentuk atap tumpang dengan jumlah susunan
11. bertingkat dua, tiga, dan lima. Hal ini mirip dengan bentuk bangunan pura. Adanya kentongan
atau bedug yang dibunyikan di masjid sebagai pertanda masuknya waktu salat menunjukkan
adanya unsur Indonesia asli. Dalam hal letak bangunan masjid, ajaran Islam tidak mengaturnya
secara khusus. Akan tetapi, di Indonesia penempatan masjid diatur sedemikian rupa sesuai
dengan komposisi macapat. Masjid ditempatkan di sebelah barat alun-alun dan dekat dengan
keraton, sebagai simbol bersatunya rakyat dan raja.
5. Bidang Seni Rupa
Agama dan pengaruh Islam membawa perubahan pada bidang seni rupa, terutama seni
lukis, seni ukir, relief, dan kaligrafi. Seni kaligrafi merupakan bidang yang mengalami
perkembangan paling pesat. Kaligrafi secara harfiah berarti tulisan indah, biasanya dengan
memakai huruf Arab. Seni rupa Islam mengolah kaligrafi menjadi motif hias. Seni hias Islam
selalu menghindari penggambaran makhluk hidup secara realistis, maka untuk
penyamarannya dibuatkan stilisasi, yaitu proses rekayasa ulang yang menyerupai bentuk
aslinya di dunia nyata. Seni rupa abstrak juga berkembang pesat, terutama dalam karya
lukisan, grafis, ataupun hiasan dalam arsitektur bangunan.
6. Bidang Kesusastraan
Karya sastra banyak dipengaruhi oleh sastra Islam yang berasal dari Persia, namun
pengaruh Hindu-Buddha dan Jawa masih terlihat. Berkembang karya sastra yang berbentuk
12. tambo (Sumatra), babad (Jawa), dan lontara (Sulawesi Selatan) yang isi ceritanya bersifat
kepahlawanan atau dikaitkan dengan tokoh sejarah. Jenis lain kesusastraan zaman Islam
yang mendapat pengaruh kuat dari Hindu-Buddha dan tradisi lokal Nusantara yaitu suluk.
Suluk adalah teks sastra yang mengandung ajaran tasawuf, suatu aliran mistik dalam Islam
yang mengungkap tentang jalan spiritual-asketis atau mati-raga menuju kesatuan dengan
Tuhan. Pengaruh Hindu-Buddha dan tradisi lokal Jawa yang paling menonjol terlihat dalam
penyebutan konsepsi “Tuhan”.
7. Bidang Seni Pertunjukan
Ketika agama Hindu masuk ke Indonesia, pertunjukkan wayang disesuaikan menjadi
media yang efektif untuk menyebarkan agama Hindu. Melihat wayang begitu digemari
masyarakat, Walisongo kemudian menggunakannya sebagai media penyebaran agama
Islam. Pertunjukan wayang yang menampilkan Tuhan atau dewa dalam wujud manusia
dilarang, dan munculah boneka wayang yang terbuat dari kulit. Pertunjukkan wayang
biasanya diiringi dengan gamelan, yang berfungsi sebagai penghidup cerita, dan wayangnya
dimainkan oleh dalang. Di antara Walisongo yang menggunakan pertunjukkan wayang yaitu
Sunan Kalijaga dan Sunan Bonang.
Contoh akulturasi lain dalam seni pertunjukan adalah seni tari. Seni tari berkembang
menjadi bagian dari ritual masyarakat Hindu. Oleh karena itu, di wilayah-wilayah Indonesia
yang pengaruh Hindunya kuat, gerak tariannya lebih rumit dan penuh dengan simbol
religius. Ketika Islam masuk, kisah cerita dalam tarian disesuaikan dengan cerita Islam.
13. Gaya busana para penari menjadi lebih tertutup sesuai ajaran Islam. Contoh seni tari yang
mendapat pengaruh Islam adalah tari Zapin (Melayu) dan tari Saman (Aceh) yang
menerapkan gaya tari dan musik bernuansa Arab dan Persia yang digabungkan dengan gaya
lokal.
8. Upacara
Akulturasi dalam upacara tampak dalam tiga upacara yaitu pernikahan, kelahiran, dan
kematian. Tata cara pernikahan berakulturasi dengan kebudayaan pra-Islam. Selain
dipanjatkan doa-doa dalam bahasa Arab, acara siraman dan selamatan merupakan
peninggalan zaman Hindu-Buddha. Pada upacara kelahiran sangat jelas pengaruh Hindu-
Buddha. Di Jawa, proses kelahiran dimulai dengan upacara mitoni. Dalam upacara tersebut,
calon ibu melakukan siraman untuk melindungi bayi dan ibunya dari bahaya. Akulturasi
dengan ajaran Islam terlihat dalam doa-doa (dalam bahasa Arab) yang dibacakan dalam
upacara tersebut.
Pada upacara kematian, memasukkan jenazah ke dalam peti merupakan tradisi zaman
Megalithikum. Setelah jenazah di kubur diadakan selamatan. Tradisi ini sesungguhnya
merupakan peninggalan Hindu. Bentuk upacara lain yang populer sebagai hasil akulturasi
adalah larung saji. Upacara khas Jawa ini dilakukan sebagai bagian dari peringatan tahun
baru 1 Muharram/1 Suro. Upacara ini aslinya merupakan tradisi Hindu untuk menyambut
tahun baru Saka.
14. 9. Sistem Kalender
Sebelum budaya Islam masuk ke Indonesia, masyarakat sudah mengenal kalender Saka
(kalender Hindu). Dalam kalender Saka ditemukan nama-nama pasaran hari seperti Legi,
Pahing, Pon, Wage, dan Kliwon. Setelah masuk dan berkembangnya Islam, Sultan Agung dari
Mataram menciptakan kalender Jawa, dengan menggunakan perhitungan peredaran bulan
(komariah) seperti tahun Hijriah (Islam). Pada kalender Jawa, Sultan Agung melakukan
perubahan pada nama-nama bulan, seperti Muharram diganti menjadi Suro, dan Ramadan
diganti menjadi Pasa. Nama-nama hari tetap menggunakan hari-hari sesuai bahasa Arab.
Kalender Sultan Agung dimulai tanggal 1 Suro 1555 Jawa, atau tepatnya 1 Muharram 1053
Hijriah yang bertepatan dengan tanggal 8 Agustus 1633 Masehi.