Teori teori perkembangan moral (piaget & kohlberg)Rima Trianingsih
I. Perkembangan Moral Menurut Jean Piaget
Perkembangan moral dapat pula dipahami melalui pendekatan kognitif. Piaget (dalam Slavin, 2006:51) bahkan mempercayai bahwa struktur kognitif dan kemampuan kognitif anak adalah dasar dari pengembangan moralnya. Kemampuan kognitif itulah yang kemudian akan membantu anak untuk mengembangkan penalaran yang berkaitan dengan masalah sosial. Untuk mempelajari penalaran moral anak-anak, Piaget menghabiskan waktu yang panjang untuk mengamati anak-anak yang sedang bermain kelereng dan menanyakan kepada mereka tentang aturan permainan yang digunakan. Dalam permainan kelereng tersebut Piaget menemukan beberapa hal yaitu anak di bawah usia 6 tahun pada kenyataannya belum mengenal aturan permainan, sedangkan anak mulai usia 6 tahun sudah mengenal adanya aturan dalam permainan, meskipun mereka belum menerapkannya dengan baik dalam permainan. Anak usia 10-12 tahun , anak-anak sudah mampu mengikuti aturan permainan yang berlaku dan mereka sadar bahwa aturan tersebut dibuat untuk menghindari pertikaian antar pemain.
Piaget kemudian membagi tahap perkembangan moral anak menjadi dua tahapan, yaitu tahap heteronomous dan tahap autonomous.
II. Perkembangan Moral Menurut Lawrence Kohlberg
Mengembangkan teori dari Piaget, Lawrence Kohlberg membagi perkembangan moral menjadi tiga tingkatan, yaitu tingkat prekonvensional, tingkat konvensional, dan tingkat postkonvensional (Slavin, 2006:54). Menurut pandangan Kohlberg dari tiga tingkatan tersebut, anak harus melewati enam tahap dalam dirinya. Setiap tahap memberikan jalan untuk menuju ke tahap selanjutnya ketika anak mampu menemukan ‘aturan’ pada tahap itu, kemudian anak harus meninggalkan penalaran moral dari tahap awal menuju ke tahap berikutnya. Dengan cara tersebut, penalaran moral anak berkembang melalui tiga tingkat yang berbeda meskipun tidak semua anak mampu menguasainya (Manning, 1977:108).
Tahapan-tahapan perkembangan moral yang dikemukakan Kohlberg jauh lebih kompleks dibanding dengan tahapan-tahapan perkembangan moral dalam teori Piaget.
PEMBELAJARAN
PEMBELAJARAN AKTIF
(APA, MENGAPA DAN BAGAIMANA)
Disajikan dalam Kegiatan MGMP IPS Wilayah Kuningan Timur
http://akhmadsudrajat.wordpress.com/
Lebakwangi, 6 Oktober 2011
Teori teori perkembangan moral (piaget & kohlberg)Rima Trianingsih
I. Perkembangan Moral Menurut Jean Piaget
Perkembangan moral dapat pula dipahami melalui pendekatan kognitif. Piaget (dalam Slavin, 2006:51) bahkan mempercayai bahwa struktur kognitif dan kemampuan kognitif anak adalah dasar dari pengembangan moralnya. Kemampuan kognitif itulah yang kemudian akan membantu anak untuk mengembangkan penalaran yang berkaitan dengan masalah sosial. Untuk mempelajari penalaran moral anak-anak, Piaget menghabiskan waktu yang panjang untuk mengamati anak-anak yang sedang bermain kelereng dan menanyakan kepada mereka tentang aturan permainan yang digunakan. Dalam permainan kelereng tersebut Piaget menemukan beberapa hal yaitu anak di bawah usia 6 tahun pada kenyataannya belum mengenal aturan permainan, sedangkan anak mulai usia 6 tahun sudah mengenal adanya aturan dalam permainan, meskipun mereka belum menerapkannya dengan baik dalam permainan. Anak usia 10-12 tahun , anak-anak sudah mampu mengikuti aturan permainan yang berlaku dan mereka sadar bahwa aturan tersebut dibuat untuk menghindari pertikaian antar pemain.
Piaget kemudian membagi tahap perkembangan moral anak menjadi dua tahapan, yaitu tahap heteronomous dan tahap autonomous.
II. Perkembangan Moral Menurut Lawrence Kohlberg
Mengembangkan teori dari Piaget, Lawrence Kohlberg membagi perkembangan moral menjadi tiga tingkatan, yaitu tingkat prekonvensional, tingkat konvensional, dan tingkat postkonvensional (Slavin, 2006:54). Menurut pandangan Kohlberg dari tiga tingkatan tersebut, anak harus melewati enam tahap dalam dirinya. Setiap tahap memberikan jalan untuk menuju ke tahap selanjutnya ketika anak mampu menemukan ‘aturan’ pada tahap itu, kemudian anak harus meninggalkan penalaran moral dari tahap awal menuju ke tahap berikutnya. Dengan cara tersebut, penalaran moral anak berkembang melalui tiga tingkat yang berbeda meskipun tidak semua anak mampu menguasainya (Manning, 1977:108).
Tahapan-tahapan perkembangan moral yang dikemukakan Kohlberg jauh lebih kompleks dibanding dengan tahapan-tahapan perkembangan moral dalam teori Piaget.
PEMBELAJARAN
PEMBELAJARAN AKTIF
(APA, MENGAPA DAN BAGAIMANA)
Disajikan dalam Kegiatan MGMP IPS Wilayah Kuningan Timur
http://akhmadsudrajat.wordpress.com/
Lebakwangi, 6 Oktober 2011
Pendidikan holistik merupakan suatu filsafat pendidikan yang berangkat dari pemikiran bahwa pada dasarnya seorang individu dapat menemukan identitas, makna dan tujuan hidup melalui hubungannya dengan masyarakat, lingkungan alam, dan nilai-nilai spiritual. Secara historis, pendidikan holistik sebetulnya bukan hal yang baru.
Tujuan pendidikan holistik adalah membantu mengembangkan potensi individu dalam suasana pembelajaran yang lebih menyenangkan dan menggairahkan, demoktaris dan humanis melalui pengalaman dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Melalui pendidikan holistik, peserta didik diharapkan dapat menjadi dirinya sendiri (learning to be). Dalam arti dapat memperoleh kebebasan psikologis, mengambil keputusan yang baik, belajar melalui cara yang sesuai dengan dirinya, memperoleh kecakapan sosial, serta dapat mengembangkan karakter dan emosionalnya (Basil Bernstein).
Pendidikan holistik memperhatikan kebutuhan dan potensi yang dimiliki peserta didik, baik dalam aspek intelektual, emosional, emosional, fisik, artistik, kreatif, dan spritual. Proses pembelajaran menjadi tanggung jawab personal sekaligus juga menjadi tanggung jawab kolektif, oleh karena itu strategi pembelajaran lebih diarahkan pada bagaimana mengajar dan bagaimana orang belajar. Beberapa hal yang harus dipertimbangkan dalam mengembangkan strategi pembelajaran holistik, diantaranya: (1) menggunakan pendekatan pembelajaran transformatif; (2) prosedur pembelajaran yang fleksibel; (3) pemecahan masalah melalui lintas disiplin ilmu, (4) pembelajaran yang bermakna, dan (5) pembelajaran melibatkan komunitas di mana individu berada.
Dalam pendidikan holistik, peran dan otoritas dosen untuk memimpin dan mengontrol kegiatan pembelajaran hanya sedikit dan dosen lebih banyak berperan sebagai sahabat, mentor, dan fasilitator. Peran dosen seperti seorang teman dalam perjalanan yang telah berpengalaman dan menyenangkan.
Kampus sebagaimana Sekolah hendaknya menjadi tempat peserta didik dan dosen bekerja guna mencapai tujuan yang saling menguntungkan. Komunikasi yang terbuka dan jujur sangat penting, perbedaan individu dihargai dan kerjasama (kolaborasi) lebih utama dari pada kompetisi.
Pendidikan holistik merupakan suatu filsafat pendidikan yang berangkat dari pemikiran bahwa pada dasarnya seorang individu dapat menemukan identitas, makna dan tujuan hidup melalui hubungannya dengan masyarakat, lingkungan alam, dan nilai-nilai spiritual. Secara historis, pendidikan holistik sebetulnya bukan hal yang baru.
Tujuan pendidikan holistik adalah membantu mengembangkan potensi individu dalam suasana pembelajaran yang lebih menyenangkan dan menggairahkan, demoktaris dan humanis melalui pengalaman dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Melalui pendidikan holistik, peserta didik diharapkan dapat menjadi dirinya sendiri (learning to be). Dalam arti dapat memperoleh kebebasan psikologis, mengambil keputusan yang baik, belajar melalui cara yang sesuai dengan dirinya, memperoleh kecakapan sosial, serta dapat mengembangkan karakter dan emosionalnya (Basil Bernstein).
Pendidikan holistik memperhatikan kebutuhan dan potensi yang dimiliki peserta didik, baik dalam aspek intelektual, emosional, emosional, fisik, artistik, kreatif, dan spritual. Proses pembelajaran menjadi tanggung jawab personal sekaligus juga menjadi tanggung jawab kolektif, oleh karena itu strategi pembelajaran lebih diarahkan pada bagaimana mengajar dan bagaimana orang belajar. Beberapa hal yang harus dipertimbangkan dalam mengembangkan strategi pembelajaran holistik, diantaranya: (1) menggunakan pendekatan pembelajaran transformatif; (2) prosedur pembelajaran yang fleksibel; (3) pemecahan masalah melalui lintas disiplin ilmu, (4) pembelajaran yang bermakna, dan (5) pembelajaran melibatkan komunitas di mana individu berada.
Dalam pendidikan holistik, peran dan otoritas dosen untuk memimpin dan mengontrol kegiatan pembelajaran hanya sedikit dan dosen lebih banyak berperan sebagai sahabat, mentor, dan fasilitator. Peran dosen seperti seorang teman dalam perjalanan yang telah berpengalaman dan menyenangkan.
Kampus sebagaimana Sekolah hendaknya menjadi tempat peserta didik dan dosen bekerja guna mencapai tujuan yang saling menguntungkan. Komunikasi yang terbuka dan jujur sangat penting, perbedaan individu dihargai dan kerjasama (kolaborasi) lebih utama dari pada kompetisi.
Ceramah Subuh Motivasi Menciptakan Amal UnggulanAmir Fauzi
Sebagai manusia yang hidup dan kemudian akan mati, perlu mempersiapkan diri dengan amal unggulan sebagai tanggungjawab kita sebagai khalifah dimuka bumi.
Video for Question 1 & 2 :
1. Remake your Class - Part 1 : https://www.youtube.com/watch?v=4y2IaAC5vj4
2. Remake your Class - Part 2 : https://www.youtube.com/watch?v=lxHVX7gbk6s
3. Remake your Class - Part 3 : https://www.youtube.com/watch?v=Ml17ynz8FG4
For question 3 - 5 :
1. Pembelajaran Alam Pembelajaran
https://www.youtube.com/watch?v=0Cdu0XPEKyw
For question 9 & 10
1. Singapore 21st century Teaching Strategies : https://www.youtube.com/watch?v=M_pIK7ghGw4
Tuntutan masa sekarang ini adalah guru dituntut melakukan pengelolaan kelas dalam kaitannya dengan penggunaan multimedia (penggunaan banya metode). Metode ceramah akan jauh lebi berbeda dengan metode diskusi atau metode eksperimen
UNTUK DOSEN Materi Sosialisasi Pengelolaan Kinerja Akademik DosenAdrianAgoes9
sosialisasi untuk dosen dalam mengisi dan memadankan sister akunnya, sehingga bisa memutakhirkan data di dalam sister tersebut. ini adalah untuk kepentingan jabatan akademik dan jabatan fungsional dosen. penting untuk karir dan jabatan dosen juga untuk kepentingan akademik perguruan tinggi terkait.
2. Pengertian Pengelolan Kelas
pengelolaan kelas adalah berbagai
jenis kegiatan yang dengan
sengaja dilakukan oleh guru
dengan tujuan menciptakan
kondisi optimal bagi terjadinya
proses belajar mengajar di kelas.
Pengelolaan kelas sangat
berkaitan dengan upaya-upaya
untuk menciptakan dan
mempertahankan kondisi yang
optimal bagi terjadinya proses
belajar.
4. Masalah Manajemen Kelas
Carol Weinstein dan
Andrew Mignano
3. Peristiwa
Tidak terduga
1. Kegiatan
terjadi secara
bersamaan 2. Hal yang
terjadi secara
cepat
5. 5. Tidak mampu untuk
beradaptasi
4. Kelas mentoleransi
kekeliruan teman.
3. Reaksi Negatif
terhadap anggota
Kelompok
2. Tidak ada
standart
perilaku dalam
kerja kelompok
1. Kurang
kesatuan
Made Pidarta
7. Pengaturan ruang kelas atau belajar
hendaknya memungkinkan peserta didik
untuk duduk secara berkelompok agar
memudahkan pendidik atau guru untuk
bergerak secara leluasa untuk mengamati
proses pembelajaran
8. Gaya Posisi Tempat
Duduk
1. Gaya Auditorium merupakan
gaya penataan kelas saat para
siswa duduk mengahadap guru
2. Gaya tatap muka
merupakan Gaya penataan
kelas saat siswa duduk saling
berhadapan
3. Gaya Offset merupakan
Gaya penataan kelas dengan
sejumlah kecil siswa(biasanya
3 atau 4)
4. Gaya Seminar, merupakan
Gaya penataan kelas saat
siswa dalam jumlah besar (10
orang atau lebih) duduk
dalam lingkaran
5. Gaya Klaster merupakan
Gaya penataan kelas saat
kecil siswa (biasanya 4 atau
8) bekerja dalam kelompok
kecil berkumpul rapat
9. Menciptakan Lingkungan Kelas Yang Menarik
Suasana belajar adalah
faktor penentu keberhasilan
mencapai sasaran belajar.
1. Desainlah ruang kelas yang
dengan hal-hal yang membuat
suasana hati ceria
2. Ciptakan suasana kelas yang
menarik dengan beberapa hiasan
pada dinding
3. Siapkan musik pengiring ketika
presentasi atau ketika siswa
mengerjakan tugas-tugas yang
sebelumnya telah direncanakan
4. Ciptakan kondisi kelas benar-
benar bersahabat, tidak ada
tekanan, apalagi ancaman
11. Hal yang perlu dilakukan oleh
guru dalam menciptakan
pembelajaran yang efektif
diantaranya
1.Mengakui
kesalahan yang
pernah
dilakukan
2. Pujian untuk
meningkatkan
motivasi belajar
3. Memberi
kesempatan
berfikir kreatif
4.Mau menghargai
orang lain
12. Korelasi Dengan Al-qur’an
عِللا ُل ْوُس َر َلاَق َلاَق َة َْري َرُه ْيِبَا ْن َََّلَس َو ِهْيَلَع للا ىَّلَصَم
َو َانَأ ِه ِْريَغِل ْوَأ ُهَل ِْميِتَيال ُلِفاَكَشَأ َوِةَّنَجال يِف ِْنيَتاَهَك َوُهٌ ِلاََ َار
ىَطْس ُالو َوِةَبَّابَّسالِب(الزهد في َسلم اخرجهوالرقائق
Artinya: ”Dari Abu Hurairah berkata, Rasulullah
SAW bersabda : ” Aku akan bersama orang-orang
yang menyantuni anak yatim di surga akan seperti ini
(Rasulullah menunjukkan dua jari, jari telunjuk dan
tengah yang saling menempel)”.(HR. Muslim bin al-
Hijaj Abu al-Husain al-Qusyairi al-Naisaburi)
13. Hadits ini memang tidak secara eksplisit menerangkan tentang
penggunaan alat peraga dalam metode pengajaran akan tetapi secara
implisit Nabi Muhammad SAW memberikan contoh tentang penggunaan
alat peraga dalam memberikan penjelasan dengan cara menunjukkan
kedua jari Beliau sebagai perumpamaan. Dari hadits ini kita mendapati
bahwa dalam memahami konsep yang abstrak, kita membutuhkan suatu
media yang kongkrit agar pengetahuan menjadi mudah dipahami.
Alat peraga merupakan salah satu komponen penentu efektivitas
belajar. Alat peraga mengubah materi ajar yang abstrak menjadi kongkrit
dan realistik. Penyediaan alat peraga merupakan bagian dari pemenuhan
kebutuhan belajar sesuai dengan tipe belajar siswa. Pembelajaran
menggunakan alat peraga berarti mengoptimalkan fungsi seluruh panca
indera siswa untuk meningkatkan efektivitas belajar siswa dengan cara
mendengar, melihat, meraba dan menggunakan pikirannya secara logis
dan realistis.