Dokumen tersebut membahas tentang pengertian moral, perkembangan moral menurut Piaget dan Kohlberg, serta pengaruh teori perkembangan moral tersebut dalam dunia pendidikan. Piaget membagi perkembangan moral menjadi tahap pra-operasional, konkret, dan formal. Sedangkan Kohlberg membaginya menjadi tingkat prekonvensional, konvensional, dan postkonvensional. Kedua teori tersebut berpengaruh dalam pendidikan dengan menekankan pengemb
Pendidikan holistik merupakan suatu filsafat pendidikan yang berangkat dari pemikiran bahwa pada dasarnya seorang individu dapat menemukan identitas, makna dan tujuan hidup melalui hubungannya dengan masyarakat, lingkungan alam, dan nilai-nilai spiritual. Secara historis, pendidikan holistik sebetulnya bukan hal yang baru.
Tujuan pendidikan holistik adalah membantu mengembangkan potensi individu dalam suasana pembelajaran yang lebih menyenangkan dan menggairahkan, demoktaris dan humanis melalui pengalaman dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Melalui pendidikan holistik, peserta didik diharapkan dapat menjadi dirinya sendiri (learning to be). Dalam arti dapat memperoleh kebebasan psikologis, mengambil keputusan yang baik, belajar melalui cara yang sesuai dengan dirinya, memperoleh kecakapan sosial, serta dapat mengembangkan karakter dan emosionalnya (Basil Bernstein).
Pendidikan holistik memperhatikan kebutuhan dan potensi yang dimiliki peserta didik, baik dalam aspek intelektual, emosional, emosional, fisik, artistik, kreatif, dan spritual. Proses pembelajaran menjadi tanggung jawab personal sekaligus juga menjadi tanggung jawab kolektif, oleh karena itu strategi pembelajaran lebih diarahkan pada bagaimana mengajar dan bagaimana orang belajar. Beberapa hal yang harus dipertimbangkan dalam mengembangkan strategi pembelajaran holistik, diantaranya: (1) menggunakan pendekatan pembelajaran transformatif; (2) prosedur pembelajaran yang fleksibel; (3) pemecahan masalah melalui lintas disiplin ilmu, (4) pembelajaran yang bermakna, dan (5) pembelajaran melibatkan komunitas di mana individu berada.
Dalam pendidikan holistik, peran dan otoritas dosen untuk memimpin dan mengontrol kegiatan pembelajaran hanya sedikit dan dosen lebih banyak berperan sebagai sahabat, mentor, dan fasilitator. Peran dosen seperti seorang teman dalam perjalanan yang telah berpengalaman dan menyenangkan.
Kampus sebagaimana Sekolah hendaknya menjadi tempat peserta didik dan dosen bekerja guna mencapai tujuan yang saling menguntungkan. Komunikasi yang terbuka dan jujur sangat penting, perbedaan individu dihargai dan kerjasama (kolaborasi) lebih utama dari pada kompetisi.
Pendidikan holistik merupakan suatu filsafat pendidikan yang berangkat dari pemikiran bahwa pada dasarnya seorang individu dapat menemukan identitas, makna dan tujuan hidup melalui hubungannya dengan masyarakat, lingkungan alam, dan nilai-nilai spiritual. Secara historis, pendidikan holistik sebetulnya bukan hal yang baru.
Tujuan pendidikan holistik adalah membantu mengembangkan potensi individu dalam suasana pembelajaran yang lebih menyenangkan dan menggairahkan, demoktaris dan humanis melalui pengalaman dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Melalui pendidikan holistik, peserta didik diharapkan dapat menjadi dirinya sendiri (learning to be). Dalam arti dapat memperoleh kebebasan psikologis, mengambil keputusan yang baik, belajar melalui cara yang sesuai dengan dirinya, memperoleh kecakapan sosial, serta dapat mengembangkan karakter dan emosionalnya (Basil Bernstein).
Pendidikan holistik memperhatikan kebutuhan dan potensi yang dimiliki peserta didik, baik dalam aspek intelektual, emosional, emosional, fisik, artistik, kreatif, dan spritual. Proses pembelajaran menjadi tanggung jawab personal sekaligus juga menjadi tanggung jawab kolektif, oleh karena itu strategi pembelajaran lebih diarahkan pada bagaimana mengajar dan bagaimana orang belajar. Beberapa hal yang harus dipertimbangkan dalam mengembangkan strategi pembelajaran holistik, diantaranya: (1) menggunakan pendekatan pembelajaran transformatif; (2) prosedur pembelajaran yang fleksibel; (3) pemecahan masalah melalui lintas disiplin ilmu, (4) pembelajaran yang bermakna, dan (5) pembelajaran melibatkan komunitas di mana individu berada.
Dalam pendidikan holistik, peran dan otoritas dosen untuk memimpin dan mengontrol kegiatan pembelajaran hanya sedikit dan dosen lebih banyak berperan sebagai sahabat, mentor, dan fasilitator. Peran dosen seperti seorang teman dalam perjalanan yang telah berpengalaman dan menyenangkan.
Kampus sebagaimana Sekolah hendaknya menjadi tempat peserta didik dan dosen bekerja guna mencapai tujuan yang saling menguntungkan. Komunikasi yang terbuka dan jujur sangat penting, perbedaan individu dihargai dan kerjasama (kolaborasi) lebih utama dari pada kompetisi.
Teori perkembangan Kognitif Vygotsky
Teori konstruktivisme vygotsky
kelebihan dan kekurangan teori vygotsky
implikasi teori vygotsky dalam pembelajaran matematika
PPT ini mencakup pembahasan tentang arti kognisi, aspek kognisi, pentingnya pengembangan kognitif, faktor yang mempengaruhi perkembangan kognitif, klasifikasi pengembangan kognitif, dan teori pengembangan kognitif Piaget & Vygotsky
Teori perkembangan Kognitif Vygotsky
Teori konstruktivisme vygotsky
kelebihan dan kekurangan teori vygotsky
implikasi teori vygotsky dalam pembelajaran matematika
PPT ini mencakup pembahasan tentang arti kognisi, aspek kognisi, pentingnya pengembangan kognitif, faktor yang mempengaruhi perkembangan kognitif, klasifikasi pengembangan kognitif, dan teori pengembangan kognitif Piaget & Vygotsky
Teori teori perkembangan moral (piaget & kohlberg)
1. Oleh:
Firman Lubis 132103818597
Rima Trianingsih 132103818610
UNIVERSITAS NEGERI MALANG
PROGRAM PASCASARJANA
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DASAR
SEPTEMBER 2013
2. Pengertian Moral
Perkembangan Moral Menurut Piaget
Perkembangan Moral Menurut Kohlberg
Pengaruh-pengaruh Teori Perkembangan Moral
(Piaget & Kohlberg) Dalam Dunia Pendidikan
3. PENGERTIAN MORAL
SECARA
ETIMOLOGIS
MENURUT KBBI
SECARA
TERMINOLOGIS
Moral berasal dari kata ‘mos’ dalam bahasa
latin, yang bentuk jamaknya ‘mores’, yang
artinya adalah tata cara atau adat istiadat
(http//:staff.uny.ac.id)
Kamus Besar Bahasa Indonesia (1989:592),
“moral diartikan sebagai aklak, budi pekerti,
atau susila”.
Widjaja
Al-Ghazali
Wila Huky
(http//:staff.uny.ac.id)
5. Beberapa hal yang perlu dikaji terkait pengamatan
Piaget yaitu:
Pengembangan aturan permainan
Intensi dan konsekuensi
Hukuman-hukuman ekspiatoris dan
resiprositas
Antara Equality dan Equity
6. Berikut ini hasil pengamatan Piaget (dalam Cahyono dan
Suparyo, 1985:28), diketahui bahwa:
• Cenderung menerima aturan tanpa proses
pertimbangan terlebih dahulu
Anak-anak disekitar
usia 3 tahun
• Cenderung memperhatikan aturan dari orang yang
lebih dewasa, meskipun mereka sering melanggar
Anak-anak usia 3-5
tahun
• Cenderung sudah mulai menyeragamkan aturan,
meskipun aturan umumnya belum jelas
Anak-anak usia 7-8
tahun
• Cenderung menentukan dan membuat kesepakatan
bersama tentang aturan permainan
Anak-anak usia 11-
12 tahun
7. Anak usia lebih muda
(<11-12 tahun)
Anak-anak dengan usia lebih
muda cenderung menilai suatu
perbuatan berdasarkan
konsekuensi yang hanya bersifat
material
Anak-anak yang lebih muda
usianya memberi makna bahwa
bohong sesuatu yang jelek dan
tidak seorangpun sanggup
mengatakannya
Anak usia lebih tua
(≥11-12 tahun)
Anak-anak dengan usia yang
lebih tua berpikir sebaliknya,
mereka sudah mampu
memperhatikan intensi kesalahan
yang muncul dari suatu perbuatan
Anak-anak yang usianya lebih tua
memberi makna bohong adalah
sesuatu yang tidak dapat
dipercaya dan tidak baik untuk
diucapkan.
8. Hukuman harus atas
pertimbangan yang
wajar antara bobot
kesalahan dan juga
bobot penderitaan si
pelanggar atas
hukuman yang
ditimpakan
Dipilih oleh anak-
anak yang lebih muda
(<11-12 thn)
Hukuman
Ekspiatoris
Senantiasa membuat
keterkaitan antara
hukuman dengan
tindakan kesalahan
yang dibuat, dengan
harapan pelanggar
sadar akan akibat-
akibat perbuatannya
Dipilih oleh anak-
anak yang lebih tua
(≥11-12 thn)
Hukuman
Resiprositas
9. Piaget menekankan pada dua bentuk keadilan distributif yaitu equality
dan equatity
3 tahap dari respon anak terhadap masalah berdasarkan tingkat
usianya:
Equality yaitu pemikiran bahwa tiap manusia harus diperlakukan
secara sama
Equity yaitu pemikiran yang lebih mempertimbangkan tiap-tiap
individu
Tahap Just
Tahap Equality Orientation
Tahap Equity Dominates
10. TAHAP HETERONOMOUS
(tahap realisme moral)
Anak usia <11-12 tahun
TAHAP AUTONOMOUS
(tahap independensi moral)
Anak usia ≥11-12 tahun
Tahap moralitas kendala Tahap moralitas kerjasama
Aturan dipandang sebagai paksaan dari
orang yang lebih dewasa
Aturan dipandang sebagai hasil
kesepakatan bersama
Menilai perilaku moral berdasarkan
konsekuensinya
Menilai perilaku moral berdasarkan
niat pelakunya
Hukuman dipandang sebagai
konsekuensi otomatis dari pelanggaran
Hukuman dipandang sebagai sesuatu
halyang tidak serta merta, namun
dipengaruhi oleh niat pelakunya
11. Lawrence Kohlberg membagi perkembangan
moral menjadi tiga tingkatan, yaitu tingkat,
tingkat konvensional, dan tingkat
postkonvensional (Slavin, 2006:54)
1
Pre
konvensional
2
Konvensional
3
Post
konvensional
12.
13. • Konsekuensi menentukan baik-
buruknya tindakana. Tahap Punishment
and Obedience
Orientation
• tindakan dikatakan benar apabila
tindakan tersebut mampu memenuhi
kebutuhan untuk diri sendiri maupun
orang lain
b. Tahap Instrumental-
Relativist Orientation
atau Hedonistic
Orientation
14. •tindakan yang menyenangkan,
membantu, atau tindakan yang
diakui dan diterima oleh orang
lain.
a. Interpersonal
Concordance
•pandangan anak selalu mengarah
pada otoritas, pemenuhan
aturan-aturan, dan juga upaya
untuk memelihara tertib sosial.
b. Law and
Order
Orientation
15. • tindakan yang dianggap bermoral
merupakan tindakan-tindakan yang
mampu merefleksikan hak-hak dan
kewajiban masyarakat
a. Social-
Contract, Legalistic
Orientation
• kesadaran manusia dengan dilandasi
prinsip-prinsip etis
• mencakup prinsip-prinsip umum
seperti keadilan, persamaan HAM, dan
sebagainya
b. Orientation of
Universal Ethical
Principles
16. Menurut Piaget
pendidikan sekolah seharusnya menitikberatkan
pada pengembangan kemampuan siswa
mengambil keputusan dan memecahkan
masalah. Pembinaan perkembangan moral
dilakukan dengan cara-cara yang menuntut siswa
untuk mengembangkan aturan yang adil.
Pendidikan nilai menitikberatkan kepada
pengembangan perilaku yang dilandasi oleh
penalaran moral dalam kehidupan masyarakat
17. Menurut Kohlberg
Kohlberg mengajukan pendekatan pendidikan
nilai dengan menggunakan pendekatan
klasifikasi nilai yang bertolak dari asumsi
bahwa tidak ada satu-satunya jawaban yang
benar terhadap suatu persoalan moral, tetapi
di dalamnya ada nilai yang penting sebagai
dasar berpikir dan bertindak