1. Paman Don
“Ada Paman Don, Kak!” kata adikku, Dian, saat kepalanya muncul dari celah pintu kamar.
Raut mukanya menunjukkan kesinisan seperti biasa setiap kali Paman Don datang ke
rumah. Aku meletakkan majalah yang sedang kubaca, lalu ikut menunjukkan wajah tidak
suka.
“Ada apa lagi, sih, ke sini terus?” tanyaku pada Dian yang sudah melangkah untuk duduk di
tempat tidurku.
“Sepertinya Mama mau konsultasi lagi deh, Kak,” kata Dian, memberiku jawaban yang
sebenarnya telah kami ketahui. Selama ini, hanya itu satu-satunya alasan Paman Don
datang ke rumah.
“Konsultasi apa lagi?” seingatku, akhir-akhir ini Mama tidak terlibat masalah apa pun.
“Mama sepertinya tadi nelepon dia, aku sempat dengar kalau ini soal jabatan baru Mama.
Mama pusing karena banyak yang membuat gosip tidak enak di kantor dan sore ini Paman
Don langsung datang ke rumah,” jawab Dian rinci.
“Memangnya Paman Don itu siapa, sih? Semua dikonsultasikan Mama ke dia. Kalau
ngobrol saja sih nggak apa-apa, lah ini bantuannya selalu aneh-aneh.” Suara bernada
amarah terpaksa kutahan agar keluar pelan-pelan, mengingat kamarku yang letaknya tidak
terlalu jauh dari ruang keluarga tempat Mama dan Paman Don berdiskusi atau entah apa
namanya.
***
Namanya Doni. Kakak mamaku yang paling tua. Namun kami, para keponakannya,
diajarkan sedari kecil untuk memanggilnya Paman Don. Pekerjaannya pegawai swasta,
selain itu dia juga melayani konsultasi tentang masalah-masalah yang tidak biasa. Alias
“orang pintar”. Menurut Mama, Paman Don sering kali berkeliling Indonesia untuk menemui
pasiennya yang berasal dari beragam latar belakang, seperti pejabat, artis, polisi, guru, dan
masih banyak lagi. Seharusnya uangnya banyak, tapi yang sering kudengar Paman Don
berkali-kali hidup dalam pelarian karena dikejar-kejar utang. Kata Mama, gaya hidup Paman
Don-lah yang membuatnya selalu terlilit utang.
2. “Dia selalu mau makan enak,” kata Mama pada suatu waktu. “Uang yang didapat langsung
habis untuk makan enak,” lanjut Mama lagi.
Tapi aku heran, kenapa Paman Don masih tetap kurus.
Ingatanku akan Paman Don dari dulu tidak pernah berubah baik. Aku ingat saat aku kecil
dulu, Paman Don yang sedang bertamu dan mengobrol dengan Mama tiba-tiba menunjukku
dari kejauhan karena aku berada di ruangan yang berbeda.
“Maya, itu tidak boleh begitu!” tegurnya keras sambil agak melotot.
Aku yang masih berusia sembilan atau sepuluh tahun hanya bengong dan mencoba
mencerna maksudnya.
“Itu duduknya. Perempuan apa yang duduknya begitu!” hardiknya lagi.
Sampai saat ini, kejadian itu meninggalkan memori buruk di pikiranku. Aku tidak suka
Paman Don, dia pernah mempermalukanku di depan Mama dan keluarga lainnya dengan
suaranya yang lantang dan kasar. Sejak saat itu, tidak pernah sekali pun aku berbicara
panjang dengannya. Hanya sekadar basa-basi belaka.
***
“Kecanduan” Mama akan berkonsultasi dengan Paman Don menimbulkan kekhawatiran
tersendiri di dalam keluarga kami. Aku, Papa, dan Dian mulai merasa terganggu dengan hal
ini. Setiap kali Mama selesai berkonsultasi, Paman Don selalu memberikan air atau minyak
yang telah dijampi-jampinya untuk membantu persoalan Mama. Entah itu diminum,
dioleskan ke wajah, atau ditaburkan ke suatu tempat yang menjadi sumber masalah. Minyak
itu dijualnya dengan harga yang mahal, tapi Mama selalu membelinya.
Aku juga ingat, satu hari setelah pernikahanku, Mama mendatangiku ke kamar saat suamiku
sedang pergi keluar.
“Nih, simpen, ya. Udah didoain Paman Don. Kasih ke suami kamu biar dia nurut, karena
kelihatannya dia agak keras orangnya,” ujar Mama sambil meletakkan sebungkus gula dan
sebungkus kopi di atas kasurku.
3. “Kalau yang ini, kamu oles ke kedua alismu sambil menghadap matahari terbit. Dipakainya
nanti saat kamu mau menghadap bosmu atau orang penting. Nanti, insya Allah orang yang
melihat kamu jadi seneng sama kamu dan kamu bisa cepat naik jabatan.” Kali ini Mama
bicara sambil menyodorkan botol sangat kecil berisi cairan bening yang akhirnya dia
letakkan juga di atas kasur.
“Maya nggak suka yang gitu-gitu, Ma.” Akhirnya aku mengeluarkan pendapatku tentang
perlakuan Mama.
“Halaaah…, kamu ini, itu semua didoain sama Paman Don. Paman Don itu shalat
semalaman untuk doain kamu. Dia itu ibadahnya lebih bagus dari kamu. Shalatnya nggak
pernah tinggal, kalau malam kerjanya hanya shalat dan dzikir semalaman. Harusnya kamu
berterima kasih sama Paman Don,” Mama mengoceh panjang lebar membela kakak
tercintanya.
Malas berdebat dengan Mama, aku akhirnya diam saja sampai Mama meninggalkan kamar.
Gula, kopi, dan botol kecil yang berisi entah apa itu akhirnya berakhir di kotak sampah
tetangga.
***
Beberapa bulan yang lalu, saat adikku Dian akan menikah, dia sempat dibuat marah besar
oleh kelakuan Mama dan Paman Don. Malam itu, sehari sebelum acara akad nikah, Paman
Don datang ke rumah. Mama asyik berbincang dengannya di ruang tamu, lalu lima menit
kemudian Paman Don keluar dan mulai menaburkan garam di sekitar rumah kami.
Melemparnya juga ke atas genting rumah kami. Dian masuk ke rumah dan mendatangiku
dengan menahan tangis. Calon pengantin itu begitu terluka karena acara sakralnya besok
harus dikotori dengan ritual semacam itu. Hanya kepada Papa dia berani meluapkan
kemarahannya.
“Pa, tolong bilang sama Mama. Aku nggak suka kayak gitu. Dosa. Ini acara aku. Mas Adi
dan keluarganya itu orang alim, Pa. Aku malu kalau sampai mereka tahu keluarga
kitakayak gini!” Dian mengeluarkan semua emosinya kepada Papa hingga air matanya
tumpah.
Papa hanya diam mendengarkan. Papa tahu kalau dia tidak mampu mencegah Mama.
Kalau ia sampai melarang Mama melakukan itu semua, pasti akan terjadi keributan besar
dan Papa adalah tipe orang yang memilih diam untuk menghindari pertengkaran.
4. Malam itu, setelah melampiaskan semua kesedihan dan kekecewaannya, aku melihat Dian
masuk ke kamar dan membentangkan sajadah.
“Shalat yuk, Kak,” ajaknya kepadaku.
“Kita doain Mama cepet sadar. Aku nggak mau Mama masuk neraka, Kak. Mama orang
baik,” katanya sambil menahan air mata yang hampir tumpah lagi.
Besoknya pernikahan Dian berjalan lancar. Kata Mama, ini semua berkat Paman Don.
***
Semakin hari, keberhasilan-keberhasilan Paman Don dalam membantu pasien-pasiennya
semakin sering terdengar di rumah. Tidak hanya Mama, Papa yang awalnya antipati
terhadap Paman Don kini perlahan mengakui “kelebihan” yang dimiliki oleh pamanku itu.
“Kamu tahu nggak, dulu, Nenek (sebutanku untuk orang tua Mama) saat lagi di pasar
bersama Paman Don yang masih kecil, didatangi oleh seorang kakek tua,” Mama memulai
ceritanya kepadaku dan adik-adikku yang selalu diulang-ulang di setiap kesempatan
berkumpul bersama keluarga besarnya. “Kakek-kakek yang sepertinya peramal itu ngomong
kalau Paman Don itu anak yang berbeda, dia punya kelebihan,” lanjut Mama dengan
bangga.
“Ternyata, ya ini kelebihannya, kan?! Bisa bantu kita semua,” kata Mama yang dijawab
dengan persetujuan kompak dari seluruh keluarga besar yang memang sangat menghormati
Mama karena bisa dibilang mamalah yang paling sukses di antara mereka.
Akibat informasi tentang kehebatan Paman Don yang setiap saat “dinyanyikan” Mama dan
keluarga yang lain, keraguan mulai tumbuh di hatiku. Apa benar Paman Don sehebat itu?
Lalu, sedetik kemudian aku heran sendiri karena citra Paman Don mulai berangsur membaik
di mataku. Aku tidak menyukai keadaan ini. Aku membencinya kan dari dulu? Dari kecil.
***
Pagi ini seiisi rumah dibuat heboh oleh lengkingan tangis Mama. Cincin berlian Mama hilang
dicuri dari kotak perhiasannya. Mama sendiri tidak tahu kapan pastinya cincin berlian itu
hilang karena dia jarang mengecek simpanan perhiasannya. Suasana pagi itu sungguh
mencekam. Penuh kecurigaan terhadap seluruh penghuni rumah. Semua lebih banyak
5. diam, takut salah berucap. Dinginnya suasana rumah saat ini mirip sekali dengan suasana
rumah yang baru ditinggal anggota keluarganya menghadap Sang Pencipta. Hening. Dingin.
Ditambah dengan isak tangis Mama dan tatapan-tatapan kebingungan.
Aku yang mendampingi Mama sedari tadi hanya sibuk membolak-balik isi lemari pakaian
Mama yang bagaikan terkena gempa. Sementara Mama, masih dengan isak tangisnya
membongkar keluar seluruh isi lemari dengan frustrasi. Lalu tiba-tiba Mama berhenti dari
kegiatannya dan seperti teringat sesuatu, dia segera berjalan tergesa menuju meja rias
untuk mengambil ponselnya dan mengetik pesan singkat.
“Mama tanya Paman Don, Paman Don pasti tahu cincin itu ada di mana dan diambil siapa,”
ucapnya kepadaku seolah aku bertanya.
Aku hanya mengangguk. Ini bukan waktunya untuk berdebat tentang Paman Don.
Tidak lama, ada balasan pesan ke ponsel Mama yang masih belum ia lepas dari tangannya.
Balasan pesan itu, ajaibnya langsung membuat Mama semringah. Dia menghentikan semua
kegiatannya mengubrak-abrik isi lemari.
“Kata Paman Don, cincin itu tidak hilang. Hanya nyelip. Sabar saja, tidak usah dicari nanti
juga ketemu,” katanya membacakan isi pesan singkat balasan dari Paman Don.
Lagi-lagi aku hanya mengangguk, lalu kutinggalkan Mama yang tampaknya sudah tidak
peduli lagi dengan pencarian cincin berliannya. Dia mempercayai sekali kata-kata, “Tidak
usah dicari, nanti juga ketemu,” yang keluar dari mulut Paman Don melalui pesan
singkatnya.
Aku meninggalkan kamar Mama dengan perasaan campur aduk. Lega sekaligus senang.
Aku masuk ke kamar, menutup pintu, dan berbaring di tempat tidur.
Usai sudah huru-hara pagi ini. Paling tidak, dalam waktu dekat Mama tidak akan heboh lagi
dengan kehilangan berliannya. Kuakui, Paman Don sangat berjasa kali ini, dia telah
menghilangkan suasana mencekam dan saling mencurigai di dalam rumah. Tapi aku juga
senang karena dugaanku tepat bahwa Paman Don tidak sehebat itu. Dia hanya orang biasa
yang pintar bicara sehingga banyak orang percaya kepadanya. Buktinya, kali ini ramalannya
salah.
***
6. Aku tersenyum sambil memandangi cincin berlian seharga jutaan yang kuambil dari selipan
kecil di bawah tempat tidurku. Berlian ini lebih dari cukup untuk membiayai gugatan ceraiku
kepada Mas Yoga, pria yang sering kali meninggalkan noda merah dan nyeri di pipiku.