SlideShare a Scribd company logo
1 of 5
Malin Kundang (Bukan) Anak Durhaka
Cerpen Karangan: William Andri
Di jalan raya. Malin Kundang memacu kencang mobil sport, keluaran terbaru pabrikan
asal Italia miliknya. Tak dihiraukannya, kiri kanan kendaraan yang lalu lalang
mendekati kendaraannya. Matanya hanya fokus ke depan. Bahkan, traffic light pun
diabaikannya. Akibatnya, polisi pun tak sungkan mengejarnya. Namun, kendaraan
polisi, yang tergolong mobil butut, keluaran Jepang, jelas kalah kelas dengan mobil yang
dikendarai Malin. Alhasil. Apa yang dilakukan polisi hanya sia-sia belaka. Dan justru
merugikan, karena banyak pelanggar lalu lintas yang terlewatkan.
Malin tetap melaju kencang. Tak dihiraukannya speedometer yang menari-nari di angka
100 lebih. Begitu pula kepada beberapa pejalan kaki di pinggir jalan yang memakinya.
Pikirannya melayang, tatapannya setengah kosong. Wajah sang ibu terus menghantui
pikirannya. Rasa bersalah terus bergentayangan di hatinya.
Tak disangkanya, ibunya pergi menemuinya di perusahaan IT terbesar di negeri ini,
yang dipimpinnya. Lalu pergi begitu saja. Tanpa usaha untuk menemuianya, “Tidak.
Tidak. Tidak. Ini gara-gara Resepsionis bodoh itu.”
Pagi itu. Bahkan, pagi-pagi sekali. Seusai azan Subuh menyongsong. Ibu Malin sudah
berpakaian rapi. Ia bergegas untuk pergi menemui Malin Kundang yang telah lama tak
pulang. Hampir 5 tahun. Ya, lima tahun tak pernah ditatapnya lagi wajah anak satu-
satunya, dan kesayangannya itu. Anak satu-satunya yang dicintainya. Dan harta paling
berharga. Lebih berharga dari emas 24 karat sekalipun.
Hanya secarik amplop, berisi surat dan uang kiriman yang mampu menghubungkannya
dengan sang anak. Amplop yang setiap sebulan sekali diterimanya. Senyuman selalu
tersungging di wajahnya, saat menerima amplop itu. Bukan karena uang. Tapi karena
itu menjadi pertanda bahwa Malin Kundang baik-baik saja. Bahkan, uang kiriman itu,
sebisa mungkin tidak digunakannya. Terlebih hasil kerja membantu mengurus sawah,
dari salah satu orang kaya di desa, sudah cukup untuk memenuhi kebutuhannya sendiri,
yang hanya perlu makan nasi dua kali sehari, yakni siang dan malam hari. Toh, pada
saat siang pun, Majikan, pemilik sawah, hampir selalu menyempatkan diri
mengantarkan makanan untuknya.
Majikan selalu memperlakukannya dengan sangat baik. Begitu pun kepada Malin.
Sewaktu masih hidup bersamanya, Malin pun diberikan pekerjaan untuk membantu
bersih-bersih pekarangan rumah Majikan. Seperti dirinya. Malin pun diperlakukan
dengan amat sangat baik. Diberikan gaji setiap bulan. Tak pernah menunggak. Tak
pernah telah sehari pun. Nasibnya dan Malin tak semiris nasib buruh-buruh yang rutin
berdemo, saat tanggal 1 Mei. Menuntut pembayaran dan kenaikan gaji. Orang-orang
kerap menyebutnya May Day. Lebih dari itu, seperti dirinya, makan siang pun selalu
disiapkan buat Malin, seusai bekerja.
Ia dan Malin pun merasa sangat-sangat bersyukur dengan kondisi ini. Terlebih sejak
kepergian Sang Ayah, yang pergi entah ke mana. Tak ada kabar, tak ada surat, apalagi
kiriman uang, seperti yang Malin lakukan. “Lelaki sialan,” kata-kata itu selalu keluar
dari mulutnya, setiap mengingat wajah lelaki yang pernah dicintainya itu. Jadilah rasa
bersyukur tak terkira, terlebih melihat sang anak baik-baik saja, dan sukses pula.
Kini. Ia tak tahan lagi. Ia ingin melihat wajah sang anak. Sepucuk surat tak mampu
memuaskan dahaga kerinduannya. Ia ingin pergi ke ibu kota, tempat Malin berada. Izin
untuk tidak bekerja telah diterimanya dari Majikan. Bahkan, lebih dari itu. Sang
Majikan meminta salah seorang sopir pribadinya untuk mengantar Ibu Malin sampai ke
tujuan yang diinginkannya.
Jadilah sang ibu pergi ke ibu kota untuk menemui sang anak. “Malin. Tunggu ibu, Nak.
Ibu ingin bertemu kamu,” gumamnya dalam hati.
Senyum manis tersungging di wajahnya. Di sepanjang jalan untuk menemui Malin
Kundang. Sang anak tercinta.
“Sepertinya senang banget Bu, mau ketemu Malin.”
Ucapan sang sopir sedikit membuyarkan lamunan Ibu Malin, yang terus membayangkan
wajah sang anak. “Heehehe. Iya Pak. Sudah lama tidak bertemu kan,” jawabnya singkat.
Sepanjang perjalanan. Ibu Malin menggenggam erat secarik surat, kiriman terakhir
yang diterimanya dari sang anak. Ia ingin menunjukkan bahwa kiriman yang diberikan
Malin, selalu diterimannya dengan rasa bahagia.
“Sudah sampai, Bu.”
Lagi-lagi, sang sopir membuyarkan lamunannya. Tapi, “Waahhhh. Ini perusahaan
Malin?”
“Iya Bu. Sesuai dengan alamat,”
Mata Ibu Malin terbelalak. Dilihatnya gedung pencakar langit menjulang tinggi.
Wajahnya mendongak ke atas. Berusaha menatap bagian paling atas dari gedung.
Namun, gumpalan awan sedikit menutupi wujud paling atas gedung tersebut.
“Kami sudah sukses anakku,” kata-kata itu mendadak meluncur dari mulut Ibu Malin.
Matanya berkaca-kaca. Ia tidak menyangka, kesuksesan luar biasa dari sang anak.
Perusahaan yang dipimpinya, ternyata bukan perusahaan biasa-biasa saja. Ini tercermin
dari gedung yang tengah ditatapnya.
“Mari ibu, kita masuk ke dalam. Kita temui Malin,” ujar sang sopir.
Ibu Malin berjalan ke arah bagian depan dari gedung ini. Di sana tampak Resepsionis
tengah menanti. Namun, matanya tetap mendongak ke atas.
“Selamat pagi. Ada yang bisa dibantu,” ujar Resepsionis.
“Kami ingin bertemu Malin,” jawab sang sopir.
“Saya ibunya,” ungkap Ibu Malin dengan senyum penuh harap.
“Maaf, apa sudah ada janji sebelumnya,” kata Resepsionis.
“Belum,” jawab ibu Malin. “Tapi… Tapi… Dia anak kandung saya, Mbak.”
“Maaf ibu. Tidak bisa kalau tidak ada janji sebelumnya. Lagi pula Pak Malin lagi sibuk,
saat ini.”
“Saya mohon. Saya hanya ingin bertemu anak saya. Sebentar saja. Tidak lama.”
Ibu Malin memaksa masuk. Batin dan tubuhnya memberontak. Sang sopir mencoba
menghalangi. Meski hatinya tak kuasa untuk menghalangi langkah seorang ibu yang
ingin menemui anaknya tercinta. “Ibu. Sudah ibu. Maling sedang tidak bisa menemui
ibu.”
“Pak Satpam. Pak Satpam. Tolong usir ibu ini. Dia sudah membuat keributan,”
Resepsionis memerintahkan Satpam untuk menyeret Ibu Malin Kundang ke luar.
Mata orang-orang tertuju ke Ibu Malin. Sang Sopir terus berusaha mengajak Ibu Malin
untuk ke luar. Satpam berusaha menyeret Ibu Malin keluar. “Jangan tarik-tarik, Pak,”
teriak Sang Sopir.
“Mallliinnnn. Keluar Nak. Ini ibumu datang,” ungkap Ibu Malin dengan iba. “Keluar
anakku. Ini ibu, Nak.”
“Apa Bapak tidak dengar. Ini ibunya Malin, Pak,” Sang Sopir berusaha meyakinkan, Pak
Satpam. “Dia jauh-jauh dari kampung, hanya untuk menemui anaknya. Coba bayangkan,
kalau Bapak di posisi ibu ini.”
Pak Satpam hanya terdiam. Dia terus berusaha menyeret Ibu Malin dan Sang Sopir
keluar gedung.
Malin terus memacu kencang mobilnya. Yang ada di pikirannya, hanyalah ibunya.
Kenangan masa lalu, saat masih di kampung terbayang. Semasa belum sesukses
sekarang, ia selalu menyempatkan diri untuk membantu ibunya. Dari pagi hingga siang
hari ia bekerja di rumah Majikan. Setelah itu. Dia pulang membantu menyiapkan segala
keperluan untuk makan malam. Untuk disantap bersama dengan ibunya.
Meski jauh dari kemapaman. Malin. Sama seperti ibunya, ia tetap merasa hidup dalam
kebahagiaan. Malin memandang ibunya adalah sosok yang sempurna. Ibu yang baik
hati. Pekerja keras. Tak pantang menyerah, meski telah ditinggalkan oleh lelaki yang
pernah dicintainya. Ayahnya sendiri.
Meskipun ibunya sudah tua, Malin memandang senyum ibunya tetaplah sempurna.
Dibanding wanita manapun di bumi ini. Bahkan, senyum anak Majikan, yang dianggap
kembang desa, tetap saja tidak mampu meluluhkan hatinya.
Suatu ketika Majikan berusaha menjodohkannya dengan sang anak. Malin pun menolak.
Menolak dengan halus tentunya. Ia tentu tidak ingin melukai hati Majikan yang sudah
sangat baik dengannya. Majikan pun menerima penolakan Malin, dan menghargai
keputusannya untuk memprioritaskan kebahagiaan ibunya, sebelum membahagiakan
wanita lain di dunia ini.
“Kalau begitu lebih baik kamu pergi merantau. Jauh dari desa ini. Mungkin akan ada
kesuksesan yang akan membanggakan ibumu, dan membahagiakannya, di luar sana.”
Malin hanya terdiam mendengar nasihat Majikannya. Semalaman ia berpikir keras.
Pergi merantau sama saja dengan pergi dari kampung halaman. Sama saja pergi
meninggalkan ibunya. Wanita yang dicintainya. Wanita yang sudah dengan tulus
merawat, menjaga, dan membesarkannya. Dengan merantau, sama saja dengan
menelantarkan ibunya, “Tapi Majikan bilang dia dan keluarganya akan memastikan ibu
baik-baik saja,” tukas Malin.
Ia bukan tidak percaya dengan Majikan. Tapi dia tidak percaya, dan takut tidak bisa
meraih kesuksesan di luar sana. Namun, akhirnya diputuskannya. Meski dihantui rasa
takut. Keinginan untuk membahagiakan ibunya lebih kuat, ketimbang rasa takut itu.
Uang pemberian Majikan lebih dari cukup untuk memulai perjalanan baru dalam
hidupnya. Sebuah perjalanan demi membahagiakan kehidupan ibunya.
“Aku pasti sukses di luar sana,” ucapnya dengan tekad membara. “Ini demi ibu.”
Sepanjang jalan, pikiran Malin terus mengawang. Kalau bukan karena tekad untuk
membahagiakan ibunya, Malin tidak akan sukses seperti saat ini. Kalau bukan karena
ibunya yang rajin bekerja di tempat Majikan, ia tidak akan pula dipercaya oleh Majikan.
Dan karena itu pula, Malin punya kesempatan untuk hijrah ke ibu kota.
“Ini salah Resepsionis sialan itu.”
“Tidak. Tidak. Ini salahku.”
“Aku sudah durhaka kepada ibuku.”
Air mata Malin menetes. Laju kendaraannya tak terkendali. Speedometer hampir
menunjukkan ke angkat 200-an. Tiba-tiba sebuah mobil melintas di hadapannya. Malin
membanting setir ke arah kanan untuk menghindari mobil yang melaju dari arah
sebaliknya.
Bbbraaakkkkk…
Mobil Malin terpental. Jatuh. Lalu terbalik. Kantung udara sedikit menyelamatkan
tubuhnya. Namun, kepala Malin mengeluarkan darah yang bercucur deras. Malin
berusaha keluar dari mobil. Beberapa orang di pinggir jalan berusaha membantunya.
Sebagian lagi hanya terdiam. Terpaku melihat puing-puing mobil mewah yang
berserakan di jalanan.
Dua orang keluar dari dalam mobil yang nyaris Malin tabrak. “Malin… Malin… Kamu
tidak kenapa-kenapa.”
Mata Malin terasa berkunang-kunang. Tatapannya samar-samar. Namun, dia tahu pasti
suara yang menyapanya itu.
“Malin. Bangun Malin.”
Iya. Malin tahu pasti itu suara siapa. Suara indah yang selalu mewarnai kehidupannya.
Suara dari orang yang sangat dicintainya. Dan satu-satunya. “Ibu… Malin bukan anak
durhaka ibu. Maafkan Malin ibu. Maaf. Maaf. Maaf.” Iya, itu suara ibunya.
“Iya, anakku. Ibu tahu. Ibu tahu itu. Karena kamu tidak seperti ayahmu yang melupakan
dan meninggalkan ibu,” jawab Ibu Malin. “Kamu selalu ingat dengan ibu, Malin.”
“Ibu sayang kamu Malin. Kamu satu-satunya orang yang berharga bagi ibu,” kata Ibu
Malin, sambil memeluk tubuh anaknya dan menahan luka yang bercucuran di kepalanya.
“Ibu sayang Malin.”
“Terima kasih, Ibu,”
“Malin juga sayang ibu.”

More Related Content

Similar to Malin Kundang.docx

Dongeng Nusantara Malin Kundang.docx
Dongeng Nusantara Malin Kundang.docxDongeng Nusantara Malin Kundang.docx
Dongeng Nusantara Malin Kundang.docx
GheaTutkey1
 
Ibu jangan pergi lagi
Ibu jangan pergi lagiIbu jangan pergi lagi
Ibu jangan pergi lagi
Rania Mondey
 
Rembulan di Mata Ibu
Rembulan di Mata IbuRembulan di Mata Ibu
Rembulan di Mata Ibu
jefkenzie
 

Similar to Malin Kundang.docx (18)

Perjalanan terindah
Perjalanan terindahPerjalanan terindah
Perjalanan terindah
 
Cerpen
CerpenCerpen
Cerpen
 
Dongeng Nusantara Malin Kundang.docx
Dongeng Nusantara Malin Kundang.docxDongeng Nusantara Malin Kundang.docx
Dongeng Nusantara Malin Kundang.docx
 
cerpen rekomendasi analisis penuh unsur yang bisa di eksplorasi
cerpen rekomendasi analisis penuh unsur yang bisa di eksplorasicerpen rekomendasi analisis penuh unsur yang bisa di eksplorasi
cerpen rekomendasi analisis penuh unsur yang bisa di eksplorasi
 
Ibu jangan pergi lagi
Ibu jangan pergi lagiIbu jangan pergi lagi
Ibu jangan pergi lagi
 
Ibu jangan pergi lagi
Ibu jangan pergi lagiIbu jangan pergi lagi
Ibu jangan pergi lagi
 
Ibu meninggal (hudan hidayat)
Ibu meninggal (hudan hidayat)Ibu meninggal (hudan hidayat)
Ibu meninggal (hudan hidayat)
 
Ibu meninggal (hudan hidayat)
Ibu meninggal (hudan hidayat)Ibu meninggal (hudan hidayat)
Ibu meninggal (hudan hidayat)
 
Cerita rakyat
Cerita rakyatCerita rakyat
Cerita rakyat
 
Cerpen
CerpenCerpen
Cerpen
 
Rembulan di Mata Ibu
Rembulan di Mata IbuRembulan di Mata Ibu
Rembulan di Mata Ibu
 
Cerpen "Namaku farida"
 Cerpen "Namaku farida" Cerpen "Namaku farida"
Cerpen "Namaku farida"
 
Paman Don.docx
Paman Don.docxPaman Don.docx
Paman Don.docx
 
Yurita (po)
Yurita (po)Yurita (po)
Yurita (po)
 
Struktur Cerpen Perjalanan Terindah By Zulfa Fadila
Struktur Cerpen Perjalanan Terindah By Zulfa FadilaStruktur Cerpen Perjalanan Terindah By Zulfa Fadila
Struktur Cerpen Perjalanan Terindah By Zulfa Fadila
 
Cerpen kasih salina
Cerpen  kasih salinaCerpen  kasih salina
Cerpen kasih salina
 
Tugas simdig ebook_imelda_susanti_xkul2
Tugas simdig ebook_imelda_susanti_xkul2Tugas simdig ebook_imelda_susanti_xkul2
Tugas simdig ebook_imelda_susanti_xkul2
 
Chikmah (cerpen)
Chikmah (cerpen)Chikmah (cerpen)
Chikmah (cerpen)
 

More from Sarif Hidayat (20)

ejaan.ppt
ejaan.pptejaan.ppt
ejaan.ppt
 
EJAAN BAHASA INDONESIA.doc
EJAAN BAHASA INDONESIA.docEJAAN BAHASA INDONESIA.doc
EJAAN BAHASA INDONESIA.doc
 
Daftar kata baku.doc
Daftar kata baku.docDaftar kata baku.doc
Daftar kata baku.doc
 
contoh penerapan EYD.ppt
contoh penerapan EYD.pptcontoh penerapan EYD.ppt
contoh penerapan EYD.ppt
 
Buku Praktis Bahasa Indonesia 2.docx
Buku Praktis Bahasa Indonesia 2.docxBuku Praktis Bahasa Indonesia 2.docx
Buku Praktis Bahasa Indonesia 2.docx
 
bahasa baku.pdf
bahasa baku.pdfbahasa baku.pdf
bahasa baku.pdf
 
Vegetus Libertas.docx
Vegetus Libertas.docxVegetus Libertas.docx
Vegetus Libertas.docx
 
Too Late.docx
Too Late.docxToo Late.docx
Too Late.docx
 
Sinkronisitas.docx
Sinkronisitas.docxSinkronisitas.docx
Sinkronisitas.docx
 
Seorang Gadis di Dalam Senja.docx
Seorang Gadis di Dalam Senja.docxSeorang Gadis di Dalam Senja.docx
Seorang Gadis di Dalam Senja.docx
 
Semangkok Acar untuk Tuhan dan Cinta.docx
Semangkok Acar untuk Tuhan dan Cinta.docxSemangkok Acar untuk Tuhan dan Cinta.docx
Semangkok Acar untuk Tuhan dan Cinta.docx
 
Satu Orang Satu Pohon.docx
Satu Orang Satu Pohon.docxSatu Orang Satu Pohon.docx
Satu Orang Satu Pohon.docx
 
Samsara.docx
Samsara.docxSamsara.docx
Samsara.docx
 
Pelangi yang Jatuh di Sidareja.docx
Pelangi yang Jatuh di Sidareja.docxPelangi yang Jatuh di Sidareja.docx
Pelangi yang Jatuh di Sidareja.docx
 
PACARKU ADA LIMA.docx
PACARKU ADA LIMA.docxPACARKU ADA LIMA.docx
PACARKU ADA LIMA.docx
 
Mirror.docx
Mirror.docxMirror.docx
Mirror.docx
 
Menyibak Aku Melalui Kamu.docx
Menyibak Aku Melalui Kamu.docxMenyibak Aku Melalui Kamu.docx
Menyibak Aku Melalui Kamu.docx
 
Mengenang Sendok dan Sedotan.docx
Mengenang Sendok dan Sedotan.docxMengenang Sendok dan Sedotan.docx
Mengenang Sendok dan Sedotan.docx
 
Menembus Tingkap Kaca.docx
Menembus Tingkap Kaca.docxMenembus Tingkap Kaca.docx
Menembus Tingkap Kaca.docx
 
Kiamat Memang Sudah Dekat.docx
Kiamat Memang Sudah Dekat.docxKiamat Memang Sudah Dekat.docx
Kiamat Memang Sudah Dekat.docx
 

Recently uploaded

Bab 7 - Perilaku Ekonomi dan Kesejahteraan Sosial.pptx
Bab 7 - Perilaku Ekonomi dan Kesejahteraan Sosial.pptxBab 7 - Perilaku Ekonomi dan Kesejahteraan Sosial.pptx
Bab 7 - Perilaku Ekonomi dan Kesejahteraan Sosial.pptx
ssuser35630b
 
SEJARAH PERKEMBANGAN KEPERAWATAN JIWA dan Trend Issue.ppt
SEJARAH PERKEMBANGAN KEPERAWATAN JIWA dan Trend Issue.pptSEJARAH PERKEMBANGAN KEPERAWATAN JIWA dan Trend Issue.ppt
SEJARAH PERKEMBANGAN KEPERAWATAN JIWA dan Trend Issue.ppt
AlfandoWibowo2
 
BAB 5 KERJASAMA DALAM BERBAGAI BIDANG KEHIDUPAN.pptx
BAB 5 KERJASAMA DALAM BERBAGAI BIDANG KEHIDUPAN.pptxBAB 5 KERJASAMA DALAM BERBAGAI BIDANG KEHIDUPAN.pptx
BAB 5 KERJASAMA DALAM BERBAGAI BIDANG KEHIDUPAN.pptx
JuliBriana2
 
Modul 2 - Bagaimana membangun lingkungan belajar yang mendukung transisi PAUD...
Modul 2 - Bagaimana membangun lingkungan belajar yang mendukung transisi PAUD...Modul 2 - Bagaimana membangun lingkungan belajar yang mendukung transisi PAUD...
Modul 2 - Bagaimana membangun lingkungan belajar yang mendukung transisi PAUD...
pipinafindraputri1
 

Recently uploaded (20)

Kanvas BAGJA prakarsa perubahan Ahyar.pdf
Kanvas BAGJA prakarsa perubahan Ahyar.pdfKanvas BAGJA prakarsa perubahan Ahyar.pdf
Kanvas BAGJA prakarsa perubahan Ahyar.pdf
 
PPT Mean Median Modus data tunggal .pptx
PPT Mean Median Modus data tunggal .pptxPPT Mean Median Modus data tunggal .pptx
PPT Mean Median Modus data tunggal .pptx
 
KELAS 10 PERUBAHAN LINGKUNGAN SMA KURIKULUM MERDEKA
KELAS 10 PERUBAHAN LINGKUNGAN SMA KURIKULUM MERDEKAKELAS 10 PERUBAHAN LINGKUNGAN SMA KURIKULUM MERDEKA
KELAS 10 PERUBAHAN LINGKUNGAN SMA KURIKULUM MERDEKA
 
Prakarsa Perubahan ATAP (Awal - Tantangan - Aksi - Perubahan)
Prakarsa Perubahan ATAP (Awal - Tantangan - Aksi - Perubahan)Prakarsa Perubahan ATAP (Awal - Tantangan - Aksi - Perubahan)
Prakarsa Perubahan ATAP (Awal - Tantangan - Aksi - Perubahan)
 
Bab 7 - Perilaku Ekonomi dan Kesejahteraan Sosial.pptx
Bab 7 - Perilaku Ekonomi dan Kesejahteraan Sosial.pptxBab 7 - Perilaku Ekonomi dan Kesejahteraan Sosial.pptx
Bab 7 - Perilaku Ekonomi dan Kesejahteraan Sosial.pptx
 
power point bahasa indonesia "Karya Ilmiah"
power point bahasa indonesia "Karya Ilmiah"power point bahasa indonesia "Karya Ilmiah"
power point bahasa indonesia "Karya Ilmiah"
 
Tim Yang Lolos Pendanaan Hibah Kepedulian pada Masyarakat UI 2024
Tim Yang Lolos Pendanaan Hibah Kepedulian pada Masyarakat  UI 2024Tim Yang Lolos Pendanaan Hibah Kepedulian pada Masyarakat  UI 2024
Tim Yang Lolos Pendanaan Hibah Kepedulian pada Masyarakat UI 2024
 
Integrasi nasional dalam bingkai bhinneka tunggal ika
Integrasi nasional dalam bingkai bhinneka tunggal ikaIntegrasi nasional dalam bingkai bhinneka tunggal ika
Integrasi nasional dalam bingkai bhinneka tunggal ika
 
Modul Ajar Bahasa Inggris - HOME SWEET HOME (Chapter 3) - Fase D.pdf
Modul Ajar Bahasa Inggris - HOME SWEET HOME (Chapter 3) - Fase D.pdfModul Ajar Bahasa Inggris - HOME SWEET HOME (Chapter 3) - Fase D.pdf
Modul Ajar Bahasa Inggris - HOME SWEET HOME (Chapter 3) - Fase D.pdf
 
PPT AKSI NYATA KOMUNITAS BELAJAR .ppt di SD
PPT AKSI NYATA KOMUNITAS BELAJAR .ppt di SDPPT AKSI NYATA KOMUNITAS BELAJAR .ppt di SD
PPT AKSI NYATA KOMUNITAS BELAJAR .ppt di SD
 
SEJARAH PERKEMBANGAN KEPERAWATAN JIWA dan Trend Issue.ppt
SEJARAH PERKEMBANGAN KEPERAWATAN JIWA dan Trend Issue.pptSEJARAH PERKEMBANGAN KEPERAWATAN JIWA dan Trend Issue.ppt
SEJARAH PERKEMBANGAN KEPERAWATAN JIWA dan Trend Issue.ppt
 
BAB 5 KERJASAMA DALAM BERBAGAI BIDANG KEHIDUPAN.pptx
BAB 5 KERJASAMA DALAM BERBAGAI BIDANG KEHIDUPAN.pptxBAB 5 KERJASAMA DALAM BERBAGAI BIDANG KEHIDUPAN.pptx
BAB 5 KERJASAMA DALAM BERBAGAI BIDANG KEHIDUPAN.pptx
 
Sosialisasi PPDB SulSel tahun 2024 di Sulawesi Selatan
Sosialisasi PPDB SulSel tahun 2024 di Sulawesi SelatanSosialisasi PPDB SulSel tahun 2024 di Sulawesi Selatan
Sosialisasi PPDB SulSel tahun 2024 di Sulawesi Selatan
 
Modul 2 - Bagaimana membangun lingkungan belajar yang mendukung transisi PAUD...
Modul 2 - Bagaimana membangun lingkungan belajar yang mendukung transisi PAUD...Modul 2 - Bagaimana membangun lingkungan belajar yang mendukung transisi PAUD...
Modul 2 - Bagaimana membangun lingkungan belajar yang mendukung transisi PAUD...
 
Membaca dengan Metode Fonik - Membuat Rancangan Pembelajaran dengan Metode Fo...
Membaca dengan Metode Fonik - Membuat Rancangan Pembelajaran dengan Metode Fo...Membaca dengan Metode Fonik - Membuat Rancangan Pembelajaran dengan Metode Fo...
Membaca dengan Metode Fonik - Membuat Rancangan Pembelajaran dengan Metode Fo...
 
algoritma dan pemrograman komputer, tugas kelas 10
algoritma dan pemrograman komputer, tugas kelas 10algoritma dan pemrograman komputer, tugas kelas 10
algoritma dan pemrograman komputer, tugas kelas 10
 
Refleksi Mandiri Modul 1.3 - KANVAS BAGJA.pptx.pptx
Refleksi Mandiri Modul 1.3 - KANVAS BAGJA.pptx.pptxRefleksi Mandiri Modul 1.3 - KANVAS BAGJA.pptx.pptx
Refleksi Mandiri Modul 1.3 - KANVAS BAGJA.pptx.pptx
 
MODUL AJAR BAHASA INDONESIA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA.pdf
MODUL AJAR BAHASA INDONESIA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA.pdfMODUL AJAR BAHASA INDONESIA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA.pdf
MODUL AJAR BAHASA INDONESIA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA.pdf
 
7.PPT TENTANG TUGAS Keseimbangan-AD-AS .pptx
7.PPT TENTANG TUGAS Keseimbangan-AD-AS .pptx7.PPT TENTANG TUGAS Keseimbangan-AD-AS .pptx
7.PPT TENTANG TUGAS Keseimbangan-AD-AS .pptx
 
Modul Projek - Batik Ecoprint - Fase B.pdf
Modul Projek  - Batik Ecoprint - Fase B.pdfModul Projek  - Batik Ecoprint - Fase B.pdf
Modul Projek - Batik Ecoprint - Fase B.pdf
 

Malin Kundang.docx

  • 1. Malin Kundang (Bukan) Anak Durhaka Cerpen Karangan: William Andri Di jalan raya. Malin Kundang memacu kencang mobil sport, keluaran terbaru pabrikan asal Italia miliknya. Tak dihiraukannya, kiri kanan kendaraan yang lalu lalang mendekati kendaraannya. Matanya hanya fokus ke depan. Bahkan, traffic light pun diabaikannya. Akibatnya, polisi pun tak sungkan mengejarnya. Namun, kendaraan polisi, yang tergolong mobil butut, keluaran Jepang, jelas kalah kelas dengan mobil yang dikendarai Malin. Alhasil. Apa yang dilakukan polisi hanya sia-sia belaka. Dan justru merugikan, karena banyak pelanggar lalu lintas yang terlewatkan. Malin tetap melaju kencang. Tak dihiraukannya speedometer yang menari-nari di angka 100 lebih. Begitu pula kepada beberapa pejalan kaki di pinggir jalan yang memakinya. Pikirannya melayang, tatapannya setengah kosong. Wajah sang ibu terus menghantui pikirannya. Rasa bersalah terus bergentayangan di hatinya. Tak disangkanya, ibunya pergi menemuinya di perusahaan IT terbesar di negeri ini, yang dipimpinnya. Lalu pergi begitu saja. Tanpa usaha untuk menemuianya, “Tidak. Tidak. Tidak. Ini gara-gara Resepsionis bodoh itu.” Pagi itu. Bahkan, pagi-pagi sekali. Seusai azan Subuh menyongsong. Ibu Malin sudah berpakaian rapi. Ia bergegas untuk pergi menemui Malin Kundang yang telah lama tak pulang. Hampir 5 tahun. Ya, lima tahun tak pernah ditatapnya lagi wajah anak satu- satunya, dan kesayangannya itu. Anak satu-satunya yang dicintainya. Dan harta paling berharga. Lebih berharga dari emas 24 karat sekalipun. Hanya secarik amplop, berisi surat dan uang kiriman yang mampu menghubungkannya dengan sang anak. Amplop yang setiap sebulan sekali diterimanya. Senyuman selalu tersungging di wajahnya, saat menerima amplop itu. Bukan karena uang. Tapi karena itu menjadi pertanda bahwa Malin Kundang baik-baik saja. Bahkan, uang kiriman itu, sebisa mungkin tidak digunakannya. Terlebih hasil kerja membantu mengurus sawah, dari salah satu orang kaya di desa, sudah cukup untuk memenuhi kebutuhannya sendiri, yang hanya perlu makan nasi dua kali sehari, yakni siang dan malam hari. Toh, pada saat siang pun, Majikan, pemilik sawah, hampir selalu menyempatkan diri mengantarkan makanan untuknya. Majikan selalu memperlakukannya dengan sangat baik. Begitu pun kepada Malin. Sewaktu masih hidup bersamanya, Malin pun diberikan pekerjaan untuk membantu bersih-bersih pekarangan rumah Majikan. Seperti dirinya. Malin pun diperlakukan dengan amat sangat baik. Diberikan gaji setiap bulan. Tak pernah menunggak. Tak pernah telah sehari pun. Nasibnya dan Malin tak semiris nasib buruh-buruh yang rutin berdemo, saat tanggal 1 Mei. Menuntut pembayaran dan kenaikan gaji. Orang-orang kerap menyebutnya May Day. Lebih dari itu, seperti dirinya, makan siang pun selalu disiapkan buat Malin, seusai bekerja. Ia dan Malin pun merasa sangat-sangat bersyukur dengan kondisi ini. Terlebih sejak kepergian Sang Ayah, yang pergi entah ke mana. Tak ada kabar, tak ada surat, apalagi
  • 2. kiriman uang, seperti yang Malin lakukan. “Lelaki sialan,” kata-kata itu selalu keluar dari mulutnya, setiap mengingat wajah lelaki yang pernah dicintainya itu. Jadilah rasa bersyukur tak terkira, terlebih melihat sang anak baik-baik saja, dan sukses pula. Kini. Ia tak tahan lagi. Ia ingin melihat wajah sang anak. Sepucuk surat tak mampu memuaskan dahaga kerinduannya. Ia ingin pergi ke ibu kota, tempat Malin berada. Izin untuk tidak bekerja telah diterimanya dari Majikan. Bahkan, lebih dari itu. Sang Majikan meminta salah seorang sopir pribadinya untuk mengantar Ibu Malin sampai ke tujuan yang diinginkannya. Jadilah sang ibu pergi ke ibu kota untuk menemui sang anak. “Malin. Tunggu ibu, Nak. Ibu ingin bertemu kamu,” gumamnya dalam hati. Senyum manis tersungging di wajahnya. Di sepanjang jalan untuk menemui Malin Kundang. Sang anak tercinta. “Sepertinya senang banget Bu, mau ketemu Malin.” Ucapan sang sopir sedikit membuyarkan lamunan Ibu Malin, yang terus membayangkan wajah sang anak. “Heehehe. Iya Pak. Sudah lama tidak bertemu kan,” jawabnya singkat. Sepanjang perjalanan. Ibu Malin menggenggam erat secarik surat, kiriman terakhir yang diterimanya dari sang anak. Ia ingin menunjukkan bahwa kiriman yang diberikan Malin, selalu diterimannya dengan rasa bahagia. “Sudah sampai, Bu.” Lagi-lagi, sang sopir membuyarkan lamunannya. Tapi, “Waahhhh. Ini perusahaan Malin?” “Iya Bu. Sesuai dengan alamat,” Mata Ibu Malin terbelalak. Dilihatnya gedung pencakar langit menjulang tinggi. Wajahnya mendongak ke atas. Berusaha menatap bagian paling atas dari gedung. Namun, gumpalan awan sedikit menutupi wujud paling atas gedung tersebut. “Kami sudah sukses anakku,” kata-kata itu mendadak meluncur dari mulut Ibu Malin. Matanya berkaca-kaca. Ia tidak menyangka, kesuksesan luar biasa dari sang anak. Perusahaan yang dipimpinya, ternyata bukan perusahaan biasa-biasa saja. Ini tercermin dari gedung yang tengah ditatapnya. “Mari ibu, kita masuk ke dalam. Kita temui Malin,” ujar sang sopir. Ibu Malin berjalan ke arah bagian depan dari gedung ini. Di sana tampak Resepsionis tengah menanti. Namun, matanya tetap mendongak ke atas. “Selamat pagi. Ada yang bisa dibantu,” ujar Resepsionis. “Kami ingin bertemu Malin,” jawab sang sopir. “Saya ibunya,” ungkap Ibu Malin dengan senyum penuh harap. “Maaf, apa sudah ada janji sebelumnya,” kata Resepsionis.
  • 3. “Belum,” jawab ibu Malin. “Tapi… Tapi… Dia anak kandung saya, Mbak.” “Maaf ibu. Tidak bisa kalau tidak ada janji sebelumnya. Lagi pula Pak Malin lagi sibuk, saat ini.” “Saya mohon. Saya hanya ingin bertemu anak saya. Sebentar saja. Tidak lama.” Ibu Malin memaksa masuk. Batin dan tubuhnya memberontak. Sang sopir mencoba menghalangi. Meski hatinya tak kuasa untuk menghalangi langkah seorang ibu yang ingin menemui anaknya tercinta. “Ibu. Sudah ibu. Maling sedang tidak bisa menemui ibu.” “Pak Satpam. Pak Satpam. Tolong usir ibu ini. Dia sudah membuat keributan,” Resepsionis memerintahkan Satpam untuk menyeret Ibu Malin Kundang ke luar. Mata orang-orang tertuju ke Ibu Malin. Sang Sopir terus berusaha mengajak Ibu Malin untuk ke luar. Satpam berusaha menyeret Ibu Malin keluar. “Jangan tarik-tarik, Pak,” teriak Sang Sopir. “Mallliinnnn. Keluar Nak. Ini ibumu datang,” ungkap Ibu Malin dengan iba. “Keluar anakku. Ini ibu, Nak.” “Apa Bapak tidak dengar. Ini ibunya Malin, Pak,” Sang Sopir berusaha meyakinkan, Pak Satpam. “Dia jauh-jauh dari kampung, hanya untuk menemui anaknya. Coba bayangkan, kalau Bapak di posisi ibu ini.” Pak Satpam hanya terdiam. Dia terus berusaha menyeret Ibu Malin dan Sang Sopir keluar gedung. Malin terus memacu kencang mobilnya. Yang ada di pikirannya, hanyalah ibunya. Kenangan masa lalu, saat masih di kampung terbayang. Semasa belum sesukses sekarang, ia selalu menyempatkan diri untuk membantu ibunya. Dari pagi hingga siang hari ia bekerja di rumah Majikan. Setelah itu. Dia pulang membantu menyiapkan segala keperluan untuk makan malam. Untuk disantap bersama dengan ibunya. Meski jauh dari kemapaman. Malin. Sama seperti ibunya, ia tetap merasa hidup dalam kebahagiaan. Malin memandang ibunya adalah sosok yang sempurna. Ibu yang baik hati. Pekerja keras. Tak pantang menyerah, meski telah ditinggalkan oleh lelaki yang pernah dicintainya. Ayahnya sendiri. Meskipun ibunya sudah tua, Malin memandang senyum ibunya tetaplah sempurna. Dibanding wanita manapun di bumi ini. Bahkan, senyum anak Majikan, yang dianggap kembang desa, tetap saja tidak mampu meluluhkan hatinya. Suatu ketika Majikan berusaha menjodohkannya dengan sang anak. Malin pun menolak. Menolak dengan halus tentunya. Ia tentu tidak ingin melukai hati Majikan yang sudah sangat baik dengannya. Majikan pun menerima penolakan Malin, dan menghargai keputusannya untuk memprioritaskan kebahagiaan ibunya, sebelum membahagiakan wanita lain di dunia ini.
  • 4. “Kalau begitu lebih baik kamu pergi merantau. Jauh dari desa ini. Mungkin akan ada kesuksesan yang akan membanggakan ibumu, dan membahagiakannya, di luar sana.” Malin hanya terdiam mendengar nasihat Majikannya. Semalaman ia berpikir keras. Pergi merantau sama saja dengan pergi dari kampung halaman. Sama saja pergi meninggalkan ibunya. Wanita yang dicintainya. Wanita yang sudah dengan tulus merawat, menjaga, dan membesarkannya. Dengan merantau, sama saja dengan menelantarkan ibunya, “Tapi Majikan bilang dia dan keluarganya akan memastikan ibu baik-baik saja,” tukas Malin. Ia bukan tidak percaya dengan Majikan. Tapi dia tidak percaya, dan takut tidak bisa meraih kesuksesan di luar sana. Namun, akhirnya diputuskannya. Meski dihantui rasa takut. Keinginan untuk membahagiakan ibunya lebih kuat, ketimbang rasa takut itu. Uang pemberian Majikan lebih dari cukup untuk memulai perjalanan baru dalam hidupnya. Sebuah perjalanan demi membahagiakan kehidupan ibunya. “Aku pasti sukses di luar sana,” ucapnya dengan tekad membara. “Ini demi ibu.” Sepanjang jalan, pikiran Malin terus mengawang. Kalau bukan karena tekad untuk membahagiakan ibunya, Malin tidak akan sukses seperti saat ini. Kalau bukan karena ibunya yang rajin bekerja di tempat Majikan, ia tidak akan pula dipercaya oleh Majikan. Dan karena itu pula, Malin punya kesempatan untuk hijrah ke ibu kota. “Ini salah Resepsionis sialan itu.” “Tidak. Tidak. Ini salahku.” “Aku sudah durhaka kepada ibuku.” Air mata Malin menetes. Laju kendaraannya tak terkendali. Speedometer hampir menunjukkan ke angkat 200-an. Tiba-tiba sebuah mobil melintas di hadapannya. Malin membanting setir ke arah kanan untuk menghindari mobil yang melaju dari arah sebaliknya. Bbbraaakkkkk… Mobil Malin terpental. Jatuh. Lalu terbalik. Kantung udara sedikit menyelamatkan tubuhnya. Namun, kepala Malin mengeluarkan darah yang bercucur deras. Malin berusaha keluar dari mobil. Beberapa orang di pinggir jalan berusaha membantunya. Sebagian lagi hanya terdiam. Terpaku melihat puing-puing mobil mewah yang berserakan di jalanan. Dua orang keluar dari dalam mobil yang nyaris Malin tabrak. “Malin… Malin… Kamu tidak kenapa-kenapa.” Mata Malin terasa berkunang-kunang. Tatapannya samar-samar. Namun, dia tahu pasti suara yang menyapanya itu. “Malin. Bangun Malin.”
  • 5. Iya. Malin tahu pasti itu suara siapa. Suara indah yang selalu mewarnai kehidupannya. Suara dari orang yang sangat dicintainya. Dan satu-satunya. “Ibu… Malin bukan anak durhaka ibu. Maafkan Malin ibu. Maaf. Maaf. Maaf.” Iya, itu suara ibunya. “Iya, anakku. Ibu tahu. Ibu tahu itu. Karena kamu tidak seperti ayahmu yang melupakan dan meninggalkan ibu,” jawab Ibu Malin. “Kamu selalu ingat dengan ibu, Malin.” “Ibu sayang kamu Malin. Kamu satu-satunya orang yang berharga bagi ibu,” kata Ibu Malin, sambil memeluk tubuh anaknya dan menahan luka yang bercucuran di kepalanya. “Ibu sayang Malin.” “Terima kasih, Ibu,” “Malin juga sayang ibu.”