Sosialisasi PPDB SulSel tahun 2024 di Sulawesi Selatan
Too Late.docx
1. Too Late
Cerpen Karangan: Novita Rumi
Ia masih diam tanpa banyak bicara. Aku juga masih dengan bisuku sendiri. Ini kesekian kalinya
kami bertemu namun pertama kalinya sejak satu minggu yang lalu. Sejak ia salama hampir tujuh
hari tidak memberi kabar sama sekali.
Aku diam bukan karena aku ingin. Aku diam lebih karena aku menahan amarahku. Gadis mana
yang tidak emosi dianggurkan kekasihnya dengan rasa cemas selama beberapa hari? Gadis mana
yang tahan menahan rindu tak tersampaikan? Mungkin bisa saja kalau aku rindu pada kekasih
orang lain, aku akan bisa menahannya karena memang tidak seharusnya aku memiliki rasa itu.
Tapi, dia adalah kekasihku. Dia yang sekarang entah mengapa hanya diam tertunduk di depanku
adalah kekasihku.
Sudah satu jam sejak aku datang ke tempat ini, dia datang lebih dulu. Tapi, tidak banyak yang
kami bicarakan. Hanya basa-basi yang basi, itu pun lebih banyak hening yang ada di antara kami.
Tapi, setidaknya aku bersyukur masih bisa melihatnya dengan keadaan baik-baik saja. Aku bisa
membuktikan kalau pikiran negatifku selama satu minggu ini adalah salah. Dia baik-baik saja.
“Jadi, satu minggu ini kamu bahagia?” tanyaku yang entah untuk keberapa kalinya dalam satu jam
terakhir. Jujur aku masih belum percaya ia bisa dengan enaknya hidup tanpa memberiku kabar.
Maksudku ayolah, aku pikir semua orang tahu kalau setiap hubungan, yang paling penting adalah
komunikasi. Mengingat jarak beda kota yang terbentang di antara kami, mengapa komunikasi
mendadak tidak ada artinya bagi laki-laki di depanku saat ini?
Reno mengangkat kepalanya, terlihat jelas kalau ia tengah memberanikan diri menatapku. Terlihat
jelas pula kalau ia tengah menyembunyikan keberaniannya. Berusaha menyembunyikannya. Aku
mendengarnya menghela napas panjang sebelum akhirnya ia mulai angkat bicara, “Tidak juga.”
“Kenapa?”
“Maafkan aku.” Reno kembali menundukkan kepalanya. Aku tidak tahu apa maksudnya, apakah ia
menyesal ataukah hanya ingin menghindari tatapanku yang selalu mengarah ke matanya.
“Untuk apa?”
“Aku tidak bisa melanjutkan hubungan ini.” Kalimatnya terdengar tersendat oleh telingaku, atau
entah memang seperti itu kalimatnya keluar.
2. Seketika, kalimat itu membuat jantungku berdegup kencang secara tiba-tiba. Suara di sekitar
terasa menghilang begitu saja. Semuanya terasa tiba-tiba. Aku bahkan tidak percaya kalau semua
ini nyata. Aku benar-benar tidak percaya.
“Sudah satu minggu ini aku memikirkan tentang apa yang baru saja aku katakan. Aku sudah
memikirkannya. Itu alasanku tidak memberimu kabar, karena aku butuh waktu untuk berpikir.”
Aku masih merasa sesak napas ketika secara tidak sadar aku mengeluarkan suara lirih, “Kenapa?”
“Maafkan aku. Aku tidak bisa mengatakannya padamu. Tidak saat ini.”
“Aku rela kalau kamu harus meninggalkanku. Aku rela kalau semua ini harus berakhir secepat ini.
Demi Tuhan aku rela, tapi kumohon katakan kenapa kau mengakhiri semua ini? Apa salahku? Apa
yang harus aku perbaiki?” Aku tidak kuasa menahan genangan air mata yang sudah
membendung. Rasa marahku bertambah, tapi kali ini aku tidak tahu mengapa aku marah, dan
kepada siapa aku harus marah? Aku bahkan tidak tahu apa alasannya mengakhiri semua ini. Aku
tidak mengerti.
Reno diam, aku masih dengan air mata yang entah mengapa tidak mau berhenti. Perasaanku
campur aduk, tapi tidak ada adonan kebahagiaan sedikitpun yang tercampur di dalamnya.
Semuanya terasa menyakitkan.
Kami masih diam. Entah apa yang ia pikirkan. Air mataku sudah berhenti mengalir. Bukan berarti
aku sudah tidak merasakan sakit, justru rasa sakit itu semakin bertambah parah. Aku hanya lelah
menangis. Aku pun sadar kalau tangisanku tidak akan mengubah apapun yang telah terlontar dari
mulutnya. Aku yakin itu.
Dua minggu telah berlalu sejak pertemuan terakhirku dengan Reno. Aku masih sangat
mencintainya meskipun apa yang telah ia lakukan sungguh sangat menyakitkan. Ia mengakhiri
begitu saja apa yang telah aku jaga. Aku masih sangat meridukannya, bahkan meskipun aku tahu
kalau ia tidak menginginkan rinduku. Aku tahu. Tapi, apa aku salah kalau aku masih
mencintainya? Tidak ada larangan untuk mencintai seseorang, bukan?
Selama dua minggu terakhir aku masih rajin mencari kabarnya. Meskipun ia tidak pernah peduli
dengan kabarku. Dua minggu terakhir aku masih sangat merindukannya. Aku tidak tahu mengapa
dan sampai kapan rindu ini akan terus melekat. Aku tidak ingin perasaan ini hilang. Aku yakin,
suatu saat Reno pasti akan kembali ke pelukanku. Aku yakin dengan apa yang aku pikirkan. Kami
pasti akan menjadi ‘Kita’ lagi.
Sejak dua minggu terakhir aku harus puas dengan hanya menanyakan kabar. Reno entah dengan
alasan apa mengajakku bertemu di tempat yang sama dengan tempat ia mengakhiri hubungan
kami. Pukul tujuh malam aku sudah ada di tempat, menunggunya.
Dari pintu masuk, aku melihatnya berjalan ke arahku. Wajahnya tetap menjadi wajah yang selalu
aku kagumi. Wajah yang selalu aku rindukan. Meski aku sudah tidak berhak mengatakan aku
3. merindukannya seperti dulu. Aku merindukannya ketika ia masih milikku. Aku masih sangat
merindukannya.
Aku ingin bercerita banyak hal padanya. Apa yang selama ini aku lakukan. Apa yang selama ini
aku alami. Apa yang biasanya aku ceritakan padanya selama kami masih menjadi sepasang. Aku
sangat ingin menceritakan banyak hal tentangku kepadanya. Tapi, kuurungkan niat itu.
Bagaimanapun, aku harus sadar kalau semuanya sudah berakhir. Semuanya tentang kami tidak
ada lagi. Meskipun aku mengharapkan semuanya akan kembali. Aku berharap semua akan sama
seperti dulu. Semua akan baik-baik saja.
Reno duduk di depanku. Aku menggenggam gelas kopi pesananku. Entah mengapa aku sangat
gugup. Aku sangat senang bisa melihatnya lagi setelah dua minggu tidak menatap wajahnya. Aku
sangat senang.
“Hai, sudah lama?”
“Hmm, not yet.” Aku berusaha seramah mungkin. Menatapnya dengan senyum termanis yang aku
miliki. Aku tidak begitu yakin tingkahku kali ini terlihat normal. Aku sedikit merasa terlihat
‘menjijikkan’.
Pertemuan ini. Aku sangat berharap ia akan mengatakan hal yang aku sangat harapkan. Aku
berharap ia menyesali perkataannya dua minggu lalu dan ia akan kembali memerbaiki semua
kesalahan yang telah terjadi. Aku sangat berharap, ia akan kembali ke dalam pelukanku. Semoga
saja.
Kami masih diam. Aku gugup. Aku sibuk mengatur emosiku dan dia? Entah apa yang ia pikirkan.
Ia terlihat seolah menyiapkan diri untuk mengatakan sesuatu. Aku masih mengharapkan kalau apa
yang akan ia katakan adalah hal yang sejak tadi aku inginkan.
“Well,” Reno menghela napas panjang, “aku sebenarnya hanya ingin menceritakan sesuatu.”
Aku diam, tidak menjawab. Bukan tidak ingin, tapi aku tidak tahu harus menjawab apa? Aku
masih belum begitu mengerti dengan kalimatnya. Tapi, kalimat itu memberitahuku tentang
sesuatu. Sesuatu bahwa apa yang sejak tadi aku harapkan kemungkinan besar hanyalah
harapanku. Tidak akan menjadi nyata. Atau, tidak saat ini.
“Aku ingin menceritakan apa yang menjadi alasan aku mengakhiri semuanya. Apa yang menjadi
pertanyaanmu dua minggu yang lalu. Aku sudah berpikir kalau kamu memang seharusnya tahu
apa salahku.”
Kalimatnya berhenti. Napasku pun mendadak berhenti. Aku ingat kapan terakhir kali bersikap
seperti ini. Dua minggu yang lalu dengan orang yang sama. Jantungku berdegup lebih kencang.
Napasku sesak, tapi aku berusaha menguatkan diri. Aku harus tetap tegar.
Reno mulai angkat bicara, ia mengatakan semuanya. Aku dengan perasaan perih mendengarkan
4. apa yang telah ia ucapkan. Aku tahu apa alasannya. Kini aku tahu kalau aku benar-benar sudah
tidak memiliki harapan lagi untuk dapat kembali bersamanya.
Reno mencintai orang lain. Gadis lain yang lebih dewasa. Gadis yang sudah mahasiswa seperti
dirinya. Aku hanyalah gadis SMA yang masih terbawa dengan sifat kekanak-kanakanku. Aku masih
dengan sifat manja dan egoisku. Aku masih dengan sifat yang jauh dari dewasa. Tapi, setidaknya
aku setia. Aku tahu bagaimana rasanya dikhianati. Reno, kamu bukan orang pertama yang
mematahkan kepercayaanku. Kamu bukan orang pertama yang mengkhianatiku. Tapi, aku harap
kamu adalah yang terakhir. Aku harap kamu akan menyesali apa yang telah kamu lakukan
terhadapku. Aku berjanji kamu akan menyesali perbuatanmu.
Aku melihat Reno meminta maaf dengan tulus. Aku memaafkannya. Setidaknya ia tahu kalau aku
memaafkannya. Ia bilang kalau gadis yang ia cintai sudah memiliki kekasih dan ia sudah tahu
sejak awal kalau ia mencintai gadis yang pula sudah memiliki kekasih.
“Dia mencintaimu?” tanyaku. Aku berusaha menjadi pendengar yang tidak memiliki rasa sakit.
Meskipun aku harus menahan betapa sakitnya perasaanku. Hampir saja air mataku meluncur ke
luar. Hampir saja.
“Aku pikir, iya. Teman-temanku bilang, ya.”
Teman-temannya. Ia bilang teman-temannya bilang kalau gadis itu pula mencintainya. Dia sendiri
tidak yakin dengan apa yang telah ia rasakan. Bagaimana bisa ia yakin mengakhiri hubungan kami
bisa memerbaiki segalanya.
“Apa dia mau meninggalkan kekasihnya demi kamu? Seperti apa yang kamu lakukan?”
“Tidak! Sepertinya mereka tidak akan berpisah.”
“Jadi, kamu mengorbankan kita demi hal yang tidak bisa kamu raih?” Aku muak dengan keadaan
ini. Apa yang ia pikirkan? Kenapa ia sebodoh itu? Mengapa aku mencintai orang sebodoh ini?
“Aku minta maaf, tapi aku harus memilih…”
“Dan kamu memilih dia yang sudah jelas-jelas memiliki kekasih. Parahnya kamu juga tahu kalau
mereka tidak akan berpisah? Apa yang kamu harapkan dari semua ini, Reno? Apa yang kamu
harapkan, kak Reno?” Aku sudah tidak bisa menahan air mataku. Ini terlalu lucu untuk benar-
benar terjadi dalam hidup. Ini benar-benar lucu. “Aku yakin dia lebih cantik. Aku yakin dia lebih
dewasa. Aku paham kenapa kamu lebih memilih mencintainya daripada memertahankan kita.”
“Maafkan aku. Bukan…” belum sempat ia menyelesaikan kalimatnya, aku berdiri dan pergi
meninggalkannya.
“Jangan sampai ada Ifa-Ifa yang lain.” Aku tidak peduli pandangan orang-orang yang menatapku
aneh. Aku terlalu kecewa untuk peduli dengan orang lain.
Semuanya berjalan seperti biasanya sejak kejadian itu. Aku tetap merindukannya. Aku tetap
menanyakan kabarnya. Aku tahu apa yang aku lakukan percuma. Tapi, aku tidak bisa menahan
5. perasaan khawatir. Aku masih sangat menginginkannya. Meskipun aku pun tahu bahwa apa yang
aku lakukan adalah hal yang percuma.
Sudah satu tahun dan selama satu tahun itu, kami baik-baik saja. Kami berteman karena
kedewasaan. Ia pernah bertanya padaku mengapa aku masih bersikap baik, padahal ia jelas-jelas
sudah menyakitiku. Aku hanya kembali bertanya: “Jadi, apa yang kamu inginkan? Aku harus
marah dan memusuhimu? Yang benar saja, aku terlalu menyayangimu untuk melakukan semua
itu.” Aku jujur dengan apa yang aku katakan. Aku merasa, memusuhi dan membencinya tidak
akan memerbaiki keadaan. Disamping aku masih sangat mengharapkannya kembali meskipun
kecil kemungkinan yang akan terjadi.
Kini, aku bukan lagi seorang siswa SMA, aku adalah mahasiswi di salah satu Universitas Negeri di
Yogyakarta. Setengah tahun aku mengenyam pendidikan disini, membuatku memiliki teman baru
dan orang baru untuk aku kagumi. Ya, sepertinya aku menyukai laki-laki lain. Terkadang, aku
masih bertahan dengan harapan-harapanku bahwa aku dan Reno akan kembali menjadi ‘kita’.
Tapi, perasaan ini pun tidak bisa aku kendalikan. Ia datang tanpa kuminta, dan aku tidak tahu
bagaimana caranya mengusir perasaan tiba-tiba ini.
Namanya Arnold. Dia tidak setampan teman-teman yang lain. Maksudku, dia tidak masuk dalam
daftar orang tampan menurutku. Tapi, ia menawan. Sangat memesona. Tabiatnya yang baik
membuatku benar-benar mengaguminya. Entah apa yang aku rasakan, tapi sehari saja aku tidak
melihat wajahnya, aku bisa saja kelimpungan kesana kemari mencarinya. Tidak ada yang tahu
kalau aku mencintainya sampai akhirnya aku tidak tahan dan aku mengatakannya. Aku
mengatakan kalau aku menyayanginya. Tepat di hari ulang tahunnya yang ke-19.
Sejak saat itu, kami dekat. Kami memang tidak memiliki ikatan apapun, tapi kedekatan kami
sudah lebih dari cukup untuk membuatku merasa sangat senang. Aku sangat bahagia. Reno? Aku
masih berteman dengannya, dia tahu tentang kedekatanku dengan Arnold. Aku pun tahu kalau ia
masih dekat dengan gadis yang masih memiliki kekasih itu.
Tahun kedua sejak berakhirnya hubunganku dengan Reno. Suatu malam, ia bercerita bahwa gadis
itu sebenarnya sudah lama tidak memiliki kekasih, tapi tetap mereka tidak menjadi kekasih.
Mereka hanya berteman dengan komitmen, tanpa kejelasan. Hanya saja, akhir-akhir ini mereka
akhirnya merenggang. Reno menanyakan kabarku, atau lebih tepatnya kabar hubunganku dengan
Arnold.
“Kami baik. Kami masih berteman, tapi aku sangat menyayanginya. Aku yakin dia juga
menyayangiku.”
“Apakah aku masih memiliki harapan? Bisakah kita memulai semuanya sejak awal? Aku baru
sadar kalau kamu yang terbaik.” Aku tidak tahu apa yang harus aku katakan. Aku memang sangat
6. menginginkannya. Aku menginginkan semuanya kembali seperti dulu. Aku memang sangat
menginginkan ‘kita’ kembali. Tapi, itu dulu. Sebelum akhirnya aku mencintai orang lain. Sebelum
akhirnya aku sadar kalau Reno bukanlah yang terbaik. Sebelum aku sadar kalau caranya
meninggalkanku bukanlah cara seorang laki-laki sejati.
Kalau dia memang benar-benar menyayangiku, mengapa ia tidak pernah mempertahankanku.
Kalau ia memang benar-benar mencintaiku, mengapa ia baru menyadarinya ketika gadis yang ia
pertahankan ternyata tidak sesuai dengan apa yang ia harapkan? Semua membuktikan kalau ia
tidak benar-benar menyayangiku. Jadi, apa yang sebenarnya ia rasakan?