4. Tax Treaty
Kebijakan dua negara yang
berbentuk perjanjian dimana isinya
mengatur tentang pembagian
alokasi pajak dari penghasilan yang
timbul dari transaksi di dua negara
tersebut.
5. Tujuan Tax Treaty
Menciptakan Kedudukan
yang Setara dalam Hal
Perpajakan
1.
Mencegah Pemajakan
Berganda
2.
Mendatangkan Modal Dari
Luar Negeri
3.
Meningkatkan Kualitas
Sumber Daya Manusia
4.
Mencegah Pengelakan Pajak
5.
6. Prosedur Penerapan
Tax Treaty
Memastikan apakah subjek pajak dan objek pajak termasuk dalam ketentuan
pemberlakukan P3B yang dibahas dengan negara mitra.
1.
Memastikan pasal substantif yang berlaku untuk menentukan negara yang akan
menerima hak pemajakan.
2.
Dalam rangka menghindari pajak berganda, ada ketentuan negara domisili untuk
memberikan keringanan pajak melalui metode pembebasan (exemption method)
atau metode kredit (credit method) yang diatur dalam ketentuan domestiknya.
3.
Jika masih terdapat perbedaan atau belum terbentuknya kesepakatan antar
negara, penyelesaian masalah pajak berganda dapat ditempuh melalui Mutual
Agreement Procedure (MAP).
4.
7. Tax Treaty Model
OECD
Model
UN
Model
Model OECD dalam tax treaty
ini bertujuan untuk
meningkatkan perdagangan
antara negara-negara yang
menandatangani P3B dengan
cara menghilangan pajak
berganda secara Internasional
US
Model
Model UN memiliki tujuan tax
treaty yang lebih luas, yaitu
meningkatkan investasi asing,
serta sebagai alat untuk
pertumbuhan ekonomi dan
sosial dari negara-negara
berkembang.
Sebagai negara adidaya, AS
membuat draft tax treaty sendiri
untuk kepentingan negaranya.
Pada dasarnya, US model mengacu
pada OECD Model. Namun,
terdapat perbedaan pada
tujuannya yaitu untuk melindungi
kepentingan negaranya.
8. Indonesia P3B Model
Sesuai dengan aturan SURAT EDARAN DIREKTUR
JENDERAL PAJAK NOMOR SE - 52/PJ/2021,
Indonesia sendiri menggunakan P3B Indonesia pada
umumnya mengacu kepada dua model P3B utama,
yaitu Model Organization for Economic Co-Operation
and Development (OECD Model Tax Convention) dan
Model United Nations (UN Model Double Convention
between Developed and Developing Countries).
11. Pajak Berganda
Pajak berganda adalah pengenaan jenis pajak yang sama oleh dua negara
(atau lebih) terhadap subjek pajak dan atas objek pajak yang sama, serta
dalam periode yang identik. Dapat pula diartikan sebagai pengenaan jenis
pajak yang sama oleh dua negara (atau lebih) terhadap subjek pajak yang
berlainan atas objek pajak yang sama. Jenis pajak ganda menurut
pengertian yang pertama merupakan pajak ganda internasional yuridis
(juridical international double taxation), sementara jenis pajak ganda
menurut pengertian yang kedua merupakan pajak ganda internasional
ekonomis (economic international double taxation).
12. Persetujuan Penghindaran
Pajak Berganda
Persetujuan penghindaran pajak berganda adalah
perjanjian pajak antara dua negara secara bilateral
yang mengatur mengenai pembagian hak
pemajakan yang diterima atau diperoleh penduduk
dari salah satu atau kedua negara pada pihak
persetujuan.
13. Asas Pengenaan Pajak
Asas pengenaan Pajak :
Asas Sumber ( Source Juridiction)
1.
Asas Kewarganegaraan ( Residen Juridiction )
2.
Juridical Double Taxation
Source dan Residence Approach bekerja sangat baik untuk wajib pajak
yang tidak terlibat dalam transaksi lintas batas negara atau hanya
menerima penghasilan domestik saja. permasalahan timbul orang yang
sama dikenakan pajak dilebih dari suatu negara yang diakibatkan oleh
benturan asas pengenaan pajak.
14. Permasalahan yang muncul :
Source- Source Conflicts
Residence- Residence Conflicts
Source Residence Conflicts
Asas Pengenaan Pajak
15. Excemption Method
penghasilan dari luar negeri dibebaskan dari pengenaan pajak
sehingga metode ini menekankan pada pengenaan pajak atas
penghasilan domestik saja.
Full Excemption
Excemption with Progrestion
Participation Excemption
Metode Untuk Mengurangi/
Menghindari Double Tax
16. Tax Credit Method
metode ini mengenakan pajak atas penghasilan dalam negeri dan luar
negeri, hanya saja metode ini memperbolehkan untuk mengurani
pajak terutang dengan pajak yang dibayarkan diluar negeri (kredit
pajak) .
Full Credit
Ordinary Credit
Metode Untuk Mengurangi/
Menghindari Double Tax
17. Deduction Method
metode ini mengijinkan wajib pajak untuk menjadikan wajib pajak
yang dikenakan di luar negeri sebagai pengurang total penghasilan
(beban). Namun metode ini tidak menghilangkan pengenaan pajak
berganda sehingga wajib pajak tetap harus menanggung beban atas
pajak yang telah dibayar di luar negeri.
Metode Untuk Mengurangi/
Menghindari Double Tax
19. OECD Model
Text dari OECD Model sebagai sebuah model P3B
terdiri atas 7 Bab dan 31 Pasal seperti yang terdapat
dalam OECD Model 2014 sebagaimana disajikan
dalam Tabel 2.2 berikut ini:
24. OECD Model
Commentaries merupakan alat bantu untuk
melakukan interpretasi. Terkait dengan hal ini,
otoritas pajak UK berpendapat bahwa Commentaries
dapat disebut sebagai alat bantu untuk
menginterpretasikan ketentuan tertentu yang
ditandatangani dengan basis OECD Model. Lebih
lanjut, hakim pengadilan pajak juga mengacu kepada
Commentaries sebagai alat bantu interpretasi seperti
yang terjadi di Austria, Australia, Belgia, Kanada,
Denmark, Jerman, Jepang, Malaysia, Belanda,
Spanyol, Swedia, dan Amerika Serikat
25. OECD Model
Dalam OECD Model, apabila terdapat negara yang mempunyai pandangan yang
berbeda atas suatu pasal tertentu atau terhadap suatu penjelasan (commentaries)
yang diberikan atas suatu pasal tertentu maka perbedaan pandangan tersebut
akan tercantum dalam OECD Model. Istilah yang sering digunakan dalam
menyampaikan pandangan tersebut, yaitu sebagai berikut.
a. Reservation
Dalam reservation ini, memuat perbedaan pandangan suatu negara atas
ketentuan yang diatur dalam suatu pasal (article) tertentu.
b. Observation
Dalam observation ini, memuat perbedaan pandangan suatu negara atas suatu
penjelasan (commentaries) dalam suatu pasal tertentu.
Reservation dan Observation
26. OECD Model
Non-OECD Economies’ Positions on the OECD Model Tax Convention
atau posisi dari negara-negara yang bukan anggota OECD terhadap
pasal atau penjelasan yang terdapat dalam OECD Model.
27. OECD Model
UN Model
Struktur dari UN Model sebagian besar sama dengan struktur dari OECD Model.
Berikut adalah struktur dari UN Model.
31. UN Model
Commentaries
Sama halnya dengan OECD Model, Commentaries dalam UN Model juga berfungsi
sebagai alat bantu untuk melakukan interpretasi.
32. US Model
US Model
US Model memiliki struktur yang hampir serupa dengan OECD Model dan UN
Model terkait dengan ruang lingkup perjanjian, definisi, pasal-pasal substantif,
ketentuan khusus, dan ketentuan umum. Namun, dalam US Model tidak terdapat
rumusan Pasal 22 mengenai pemajakan atas modal sebagaimana tercantum
dalam OECD Model dan UN Model. Pasal 22 US Model memuat ketentuan
tentang ‘limitation on benefits’ yang digunakan dalam melakukan negosiasi
dengan negara mitra P3B dari Amerika Serikat yang ditujukan untuk mencegah
penyalahgunaan P3B melalui ‘treaty shopping’.
33. ASEAN Model
ASEAN Model
ASEAN Model digunakan ketika negara-negara anggota ASEAN melakukan
negosiasi P3B, baik P3B dengan sesama negara anggota maupun P3B dengan
negara yang bukan anggota. Substansi dari ASEAN Model tidak mengikat, tetapi
hanya berfungsi sebagai pedoman. Substansi dari ASEAN Model didasarkan pada
OECD Model yang berlaku pada saat itu serta banyak pula mengadopsi bagian-
bagian yang terdapat dalam UN Model. Namun secara umum, dibandingkan
dengan substansi UN Model, pasal-pasal dalam ASEAN Model lebih memihak
kepada negara-negara berkembang. Sebagai contoh, ASEAN Model memasukkan
ketentuan mengenai tax sparing credit yang tidak terdapat dalam UN Model.
Selain itu, berdasarkan ASEAN Model, agen dengan status tidak bebas yang
secara berkesinambungan mengurus pemesanan di negara sumber dapat
dianggap menimbulkan BUT, meskipun agen tersebut tidak memiliki otoritas
untuk menutup kontrak.
34. ASEAN Model
ASEAN Model
Perbedaan signifikan antara OECD Model dan UN Model dengan ASEAN Model
terlihat pada ketentuan pemajakan atas profesi akademisi. Apabila dalam kedua
model P3B tersebut belum terdapat pasal yang khusus membahas mengenai
penghasilan yang diterima oleh akademisi, dalam ASEAN Model sudah terdapat
pasal khusus yang mengatur pemajakan atas profesi akademisi seperti profesor,
dosen tamu, dan peneliti.
Dalam ketentuan mengenai contoh-contoh suatu tempat usaha yang dapat
dikategorikan sebagai BUT yang ada dalam Pasal 5 ayat (2), ASEAN Model
mengkombinasikan contoh-contoh yang terdapat dalam OECD Model dan UN
Model serta menambahkan beberapa contoh seperti “pertanian atau
perkebunan” dan “balok kayu serta hasil hutan lainnya.”
35. Perbedaan antara OECD
Model dan UN Model
Sebagaimana telah dijelaskan di muka, perbedaan mendasar antara OECD Model
dan UN Model terletak pada kepentingan pembagian hak pemajakan. OECD
berkeinginan agar hak pemajakan diberikan sebanyak mungkin kepada negara
domisili. Sebaliknya, UN berkeinginan hak pemajakan diberikan kepada negara
sumber penghasilan.
Dibawah ini akan dijelaskan secara ringkas terkait perbedaan mendasar antara
OECD Model dan UN Model.
36. Perbedaan antara OECD
Model dan UN Model
Perbedaan dalam tataran tujuan diadakannya P3B:
a. dalam OECD Model, tujuan utama dari suatu P3B adalah untuk meningkatkan
perdagangan antara negara-negara yang menandatangani P3B dengan cara
menghilangkan pajak berganda secara internasional;
b. dalam UN Model, tujuan P3B lebih luas, yaitu untuk meningkatkan investasi
asing ke negara-negara berkembang. Selain itu, tujuan lainnya yang hendak
dicapai adalah sebagai alat untuk pertumbuhan ekonomi dan sosial dari negara
negara berkembang.
37. Perbedaan antara OECD
Model dan UN Model
Perbedaan dalam tataran pasal-pasal substantif yang mengatur hak pemajakan.
UN Model sebagai representasi dari negara-negara berkembang tentunya ingin
mendapatkan hak pemajakan yang lebih banyak di negara sumber penghasilan.
Sebaliknya, OECD Model berkeinginan hak pemajakan lebih banyak ada di negara
domisili. Dengan perbedaan kepentingan tersebut, terdapat perbedaan
perumusan dalam pasal-pasal antara OECD Model dan UN Model. Misalnya,
masalah definisi BUT yang lebih luas dalam UN Model dibandingkan dengan
OECD Model yang dapat dilihat pada Tabel 2.4 berikut.
41. STUDI KASUS TAX TREATY INDONESIA
DENGAN AMERIKA SERIKAT DALAM
DWIKEWARGANEGARAAN
Untuk mengidentifikasi treaty yang
digunakan oleh Indonesia dan Amerika
Serikat berasaskan source jurisdiction
terdapat salah satunya pada Pasal 7 ayat
(1) yang menyatakan bahwa “Dividen yang
dibayarkan oleh penduduk suatu Negara
Pihak pada Perjanjian dianggap sebagai
penghasilan yang bersumber di Negara
tersebut.”
Beralih kepada siapa yang menjadi subjek
daripada treaty dapat menjadi acuan
berdasarkan Pasal 1 dijelaskan bahwa
yang menjadi cakupan tax treaty ini
adalah “Perjanjian ini berlaku terhadap
orang dan badan yang menjadi penduduk
salah satu atau kedua negara pihak pada
perjanjian.”
42. Pasal 4 ayat (2) huruf a menyatakan
bahwa saat seseorang memiliki tempat
tinggal tetap dan memiliki hubungan erat
dengan salah satu negara nya, sebagai
contoh seorang WNI yang bertempat
tinggal tetap di Amerika Serikat dapat
dikategorisasi sebagai subjek pajak luar
negeri apabila ia melakukan transaksi
dengan syarat bersumber (source
jurisdiction) terhadap Indonesia artinya ia
memiliki “kewajiban” untuk memberikan
pajak kepada Indonesia.
Sehingga secara jelas bahwa sebenarnya
tax treaty ini merupakan salah satu
bentuk pemberian beban kepada warga
negara Indonesia salah satunya untuk
“tetap setia” dengan Indonesia dalam
bentuk memberikan pajak kepadanya.
STUDI KASUS TAX TREATY INDONESIA
DENGAN AMERIKA SERIKAT DALAM
DWIKEWARGANEGARAAN
43. Studi Kasus - 2
Tax Treaty
PT. Paiton Energy
Berdasarkan Putusan
Nomor 1740/B/PK/PJK/2016
47. Hadirnya konsep dwi kewarganegaraan yang terjadi
diberbagai negara, disebabkan karena masing-masing negara
menggunakan asas berbeda satu sama lain atas pemberian
kewarganegaraan terhadap seseorang. Dwi kewarganegaraan
memiliki konsep dimana seseorang adalah warga negara dari
dua negara pada saat yang bersamaan. Oleh karenanya dwi
kewarganegaraan ini merupakan keniscayaan.
Pada hukum internasional terdapat prinsip keadilan. Dengan
penjelasan, siapa pun yang ikut dalam membangun di suatu
negara serta menikmati hasil perekonomian memiliki
kewajiban dalam memikul beban dalam hal ini pajak.
Kemudian akibat hukum terhadap pajak ganda ditinjau dari
prinsip hukum internasional, diberlakukan prinsip
universalitas yang sejalan bersama prinsip pendirian tetap
dalam hukum pajak internasional
STUDI KASUS
TAX TREATY
INDONESIA
DENGAN
AMERIKA
SERIKAT
DALAM
DWIKEWARGA
NEGARAAN
48. Menurut DJP pembayaran bunga sub Loan terutang PPh pasal
26 mengacu kepada SE-17/PJ./2005 (bahwa tata cara pada Pasal
11 P3B Indonesia & Belanda belum jelas).
Sedangkan menurut entitas dan (telah dikukuhkan dengan
Putusan Banding dan PK) bahwa hal tersebut tidak terutang
PPh Pasal 26 sesuai dengan Pasal 11, Tax Treaty Indonesia &
Belanda (yang sebenarnya sudah jelas dan tidak memerlukan
pasal penjelasan).
Yang menarik : bahwa SE-17/PJ./2005 terkesan berbeda
penafsiran dengan Pasal 11-TaxTreaty Indonesia-Belanda yang
sebenarnya sudah jelas dan tidak memerlukan penjelasan.
Sesuai prinsip "lex consumen derogat legi consumte" atau “lex
superior derogat legi inferiori”, bahwa aturan yang lebih
dominan (Tax Treaty) yang akan digunakan sebagai solusi
sengketa tersebut, maka kemudian pengadilan pajak
mengabulkan Banding PT Paiton Tbk. dan menolak Peninjauan
Kembali yang diajukan oleh DJP.
STUDI KASUS
TAX TREATY PT
PAITON
ENERGY TBK