3. Secara umum, terdapat tiga model tata kelola migas yang dipraktikkan di berbagai negara pada saat
ini, yakni:
1. Model pemisahan wewenang (separation of powers model), di mana sebuah lembaga teknokratis
independen memiliki kekuatan regulasi
2. Model dominasi kementerian (ministry-dominated model), di mana kementerian migas atau badan
eksekutif yang setara diberikan kewenangan regulasi dan pengawasan
3. Model dominasi NOC (NOC-dominated model), di mana perusahaan minyak nasional (national oil
company) memiliki tanggung jawab de jure atau de facto untuk regulasi, kadang-kadang termasuk
kekuasaan untuk memberikan izin eksplorasi/produksi.
Ketiga model ini menunjukkan perbedaan industri migas di berbagai negara dalam hal pengaturan
peran dan tanggung jawab pada tiga fungsi, yakni kebijakan, regulasi dan bisnis.
4. Beberapa negara memisahkan secara tegas ketiga fungsi tersebut seperti Norwegia dan Brasil. Di Norwegia, fungsi
kebijakan ditangani oleh Ministry of Petroleum and Energy (MPE), fungsi regulasi dilaksanakan oleh Norwegian
Petroleum Directorate (NPD) sebuah direktorat perminyakan di bawah MPE (executive branch agencies) dan fungsi
bisnis dilakukan oleh Statoil sebagai National Oil Company (NOC) bersama dengan International Oil Company (IOC) atau
perusahaan swasta.
Demikian pula di Brasil, ketiga fungsi tersebut dipisahkan secara tegas. Fungsi kebijakan ditangani oleh Conselho
Nacional de Politica Energética (CNPE), fungsi regulasi dilaksanakan oleh Agência Nacional do Petróleo, Gás Natural e
Biocombustíveis (ANP) sebuah badan independen (independent regulatory agencies) dan fungsi komersial diberikan
kepada Petrobras sebagai NOC bersama dengan IOC atau perusahaan swasta.
Di beberapa negara lain, ketiga fungsi tersebut tidak dipisahkan secara tegas, biasanya salah satu merangkap fungsi
yang lain, seperti di Saudi Arabia, Malaysia dan Angola. Di Saudi Arabia, fungsi kebijakan dilaksanakan oleh Ministry of
Petroleum and Mineral Resources, sementara fungsi regulasi dan komersial dilakukan oleh Saudi Aramco (NOC). Di
Malaysia, fungsi kebijakan berada di bawah kewenangan Perdana Menteri, sementara fungsi regulasi dan bisnis
dlaksanakan oleh Petronas (NOC). Di Angola, fungsi kebijakan ditangani oleh Ministry of Petroleum, sementara fungsi
regulasi dan bisnis dilaksanakan oleh Sonangol (NOC). Di ketiga negara tersebut, NOC berperan sangat dominan; selain
menjalankan fungsi bisnis bekerja sama dengan IOC atau perusahaan swasta, NOC juga menyelenggarakan fungsi
regulasi.
6. Aljazair – Windfall Profits Tax
Aljazair termasuk salah satu negara anggota OPEC, model kontrak
migas seperti: PSC, RSC, dan kemitraan tersedia disana. Tahun
2005, UU Hidrokarbon baru dikeluarkan menggantuikan UU lama
tahun 1986. Tujuan UU ini adalah memisahkan peran Sonatrach
sebagai regulator dengan maksud agar perusahaan tersebut lebih
berfokus pada peran komersialnya. UU 2005 juga memandatkan
pembentukan dua badan, yaitu Hidrocarbons Regulatory Authority
(ARH) dan National Agency for the Valorization of Hidrocarbons
Resources (ALNAFT). Disamping itu, UU 2005 mengeluarkan aturan
tentang windfall profit tax bagi kontrak dengan mitra asing
berdasarkan UU sebelumnya (UU 1986).
Laju Produksi (bph) Pajak (%)
< 20,000 5
20,001 - 40,000 15
40,001 - 60,000 25
60,001 - 80,000 35
80,001 - 100,000 45
> 100,000 50
7. Irak – Service Contract atau PSC?
Ada dua jenis pilihan yang tersedia ketika membahas model kontrak yang cocok untuk Irak, yaitu service
contract dan PSC.
Permasalahan di Irak relatif lebih kompleks karena adanya wilayah otonomi Kurdistan yang juga mempunyai
cadangan minyak besar. Mereka mempunyai UU migas sendiri yang belum tentu sejalan degan kepentingan
pemerintah pusat di Baghdad. Walaupun ditentang oleh Baghdad, Pemerintah Region Kurdistan/KRG tetap
berjalan sendiri dengan UU migas mereka yang menggunakan pola PSC dalam rangka mengundang
investor kesana. Pemerintah pusat lebih memilih model service contract untuk proyek rehabilitasi fasilitas
produksi dan sumur-sumur dari lapangan besar.
8. Iran – Buyback Contract
Salah satu contoh model kontrak jasa yang cukup dikenal adalah Iran buyback contract.
Mekanisme Model Buyback
Buyback sebenarnya tidak lain adalah mekanisme cost-plus, dimana biaya aktual ditambah dengan fee akan
dibayarkan ke kontraktor dari produksi yang dihasilkan. Model buyback awalnya hanya untuk proyek pada
tahap pengembangan (development phase) karena tahap eksplorasi teleh dilakukan oleh NIOC (perusahaan
minyak nasional di Iran). Oleh karena itu, secara teoritis, risiko tidak ditemukan minyak (dry-hole) relatif sangat
kecil. Dalam perjalanannya, diperkenalkan juga model buyback yang dimulai dari tahap eksplorasi. Untuk model
yang dimuai dari tahap eksplorasi apabila terjadi temuan akumulasi migas secara komersial, maka kontraktor
harus bernegosiasi terlebih dahulu dengan NIOC mengenai ketentuan dan persyaratan fiskal untuk tahap
pengembangan.
9. Perbandingan PSC dengan Buyback
1. Dari periode produksi, pola PSC rata-rata mencapai 20 tahun (biasanya ada opsi perpanjangan
sebelum kontrak berakhir), sementara model Iran buyback pengembalian cost recovery dan fee
dibatasi selama 5-7 tahun.
2. Dari sisi risiko bagi kontraktor, model buyback standar jelas lebih kecil risikonya, karena sudah ada
temuan akumulasi migas yang komersial.
3. Dari sisi pembukuan cadangan (booking reserves) PSC sebagimana model kontrak jasa lainnya,
maka kontraktor tidak dapat membukukan cadangan.
10. Venezuela – Migrasi Kontrak
Industri hulu migas di Venezuela, mulai masuknya kontraktor asing dalam bentuk Kontrak Jasa dan
Asosiasi sekitar tahun 1990. Perusahaan minyak nasional mereka (PDVSA) maupun kontraktor migas
asing diuntungkan, sebaliknya negara mengalami kerugian.
Setelah tahun 1999, kebijakan kembali ketangan pemerintah di bawah koordinasi Ministry of the People’s
Power for Energy adan Petroleum (MENPET). Di era MENPET, kebijakan industri hulu migas dikembalikan
ke jalur yang semestinya, royalti dan pajak dibayar sesuai undang-undang.
UU migas yang terbaru di Venezuela adalah UU Hidrokarbon tahun 2002. Inti dari UU adalah bahwa semua
kegiatan eksplorasi, eksploitasi, pengumpulan (gathering), transportasi dan tangki penimbunan (storage)
hanya boleh dilakukan oleh perusahaan negara atau dalam bentuk mixed company dimana partisipasi
negara besarnya minimal 50%. Di samping itu, perusahaan dikenakan pajak penghasilan sebesar 50%
(sebelumnya 34%).
11. Bolvia – Darimana Angka 82%?
Bolvia melalui UU migas yang baru (UU hidrokarbon, 2005) menetapkan bahwa royalti naik menjadi 18% dan
Direct Tax on Hydrocarbon (DTH) sebesar 32%, dengan demikian totalnya menjadi 50% dari total produksi.
Khusus untuk lapangan yang besar, ditambah dengan partisipasi pemerintah sebesar 32% sehingga totalnya
menjadi 82%.
Model 82% yang dicetus Evo Morales ini berlaku untuk lapangan besar yang sedang berproduksi, dengan
demikian sudah tidak ada risiko eksplorasi. Apabila Morales menawarkan konsep ini untuk blok baru yang
belum pernah di eksplorasi, tentu tidak ada investor yang berminat.
12. Brazil – Dari Konsensi ke PSC?
Suksesnya penemuan cadangan minyak yang termasuk raksasa di Lapangan Tupi pada
tahun 2007, memulai era baru migas di Brazil. Setelah itu ditemukan juga beberapa
lapangan di Subsalt basin (Lapangan Lara, Jupiter, Carioca, Bem-Te-Vi dan Guara).
Suksesnya temuan cadangan raksasa di Subsalt basin, membawa angin baru bagi kebijakan
tender untuk blok baru di wilayah tersebut. Pada bulan Desember 2007, pemerintah
membatalkan rencana lelang 41 blok, hanya dua minggu sebelum acara lelang dimulai.
Alasan utama pembatalan adalah bahwa pemerintah akan membuat peraturan baru dalam
rangka menjamin agar negara memperoleh bagian yang lebih proporsional.
Terkait pengaturan kerjasama dengan investor dalam rangka aktivitas eksplorasi dan
eksploitasi di Brazil, UU Migas (1997), hanya menyebut sistem konsesi. Bulan Juli 2009,
pihak berwenang mengumumkan bahwa pemerintah akan pindah ke sistem PSC dengan
membentuk perusahaan nasional baru yang secara khusus dibentuk untuk pengembangan
Subsalt Basin.
13. Norwegia – Sistem Fiskal Migas yang
Sederhana
Norwegia termasuk negara produsen besar diluar negara-negara OPEC. Norwegia hanya mengenal
model konsesi. Untuk memperoleh porsi pemerintah dari industri migas, Norwegia memang hanya
mengandalkan sistem perpajakan mereka yang secara administrasi sudah canggih, penggunaan PSC
dianggap tidak diperlukan.
Bagi investor, walaupun bagian penerimaan pemerintah cukup tinggi, namun sistem konsesi Norwegia ini
dianggap tidak menarik karena elemen penerimaan bagian pemerintah diperoleh dari pajak. Tidak seperti
royalti yang dikenakan terhadap pendapatan bruto.
Alasan sistem fiskal yang begitu sederhana dapat berjalan dengan baik karena Farouk Al-Kasim, mantan
penasehat menteri industri dan mantan direktur di direktorat perminyakan Norwegia menyatakan dalam
bukunya bahwa kesederhanaan kerangka fiskal untuk industri migas di Norwegia dapat berjlan dengan
baik, tidak terlepas dari realitas bahwa sistem tata kelola negara yang sudah maju. Farouk juga
menambahkan, tiga faktor yang mendukung adalah tradisi lama di sana, seperti keterbukaan, integritas,
dan transparansi.
14. PSA Russia – Kegagalan PSC?
Unik dan kompleks merupakan hal yang menggambarkan perkembangan model kontrak migas di
Russia. Production Sharing Agreement (PSA) adalah istilah yang lebih populer di Russia dibandingkan
istilah PSC. UU tentang PSC mulai efektif berlaku tahun 1996, setelah memalui panjang di level
eksekutif dan legislatif sejak tahun 1992.
PSC kurang berhasil di Russia karena terjadi tumpang tindih peraturan PSC dengan peraturan lain baik
ditingkat pusat maupun daerah, UU ini terus mengalami perubahan.
• UU PSC (1999) ada pembatasan lapangan yang boleh dikembangkan, yaitu sebesar 30% dari total
deposit.
• UU PSC (2001) mulai diperkenalkan dengan istilah direct sharing method.
• UU PSC (2003) memuat mekanisme untuk memperoleh akses PSC menjadi semakin sulit karena
banyaknya urusan administrasi dan birokrasi.
16. Kondisi Industri Hulu Migas Saat Ini
Kondisi hulu migas saat ini :
1. Infrastruktur jaringan gas bumi yang belum merata
2. Fasilitas operasi produksi yang sudah menua
3. Cadangan migas yang semakin menipis
4. Penurunan produksi migas
5. Migas masih mendominasi penggunaan energi primer
6. Reserves Replacement Rasio ~50%
7. Sukses ratio eksplorasi yang mengecil
8. Proses penemuan migas yang semakin lama
17. Pengendalian Cost Recovery Kegiatan Usaha Hulu Migas
Pre Control Current Control Post Control
1. Evaluasi dan Persetujuan
Rencana Jangka Panjang
2. Evaluasi dan Persetujuan
Rencana Kerja dan
Anggaran Tahunan
3. Evaluasi dan Persetujuan
Otorisasi Pengeluaran
Biaya per Proyek
Kegiatan
1. Pemantauan Proses
Pengadaan Barang dan
Jasa
2. Pemantauan
Penyelesaian Pekerjaan
3. Pemantauan
Penggunaan Asset
melalui Persetujuan
Placed Into Service
1. Analisa dan Evaluasi
Laporan Perhitungan
Bagi Hasil
2. Pemeriksaan dalam
rangka Persetujuan
Pengakhiran AFE
3. Pemeriksaan Khusus
4. Pemeriksaan
Penghitungan Bagian
Negara
5. Penangguhan
Pembebanan Biaya
Operasi
18. Penerapan Kode Etik dan Kepatuhan di Industri
Hulu Migas
Penerapan di Internal SKK Migas :
Pedoman Etika (diberlakukan sejak Des 2010) : acuan yang menjadi pedoman perilaku Manajemen dan
Pekerja SKK Migas dalam berinteraksi dengan para pemangku kepentingan baik internal maupun
eksternal
Pedoman Pengendalian Gratifikasi (diberlakukan sejak Des 2011) : menjadi acuan dan rujukan
Manajemen dan Pekerja SKK Migas terkait Gratifikasi
Whistle Blowing System (diberlakukan sejak Sept 2013) : Sarana pelaporan indikasi pelanggaran yang
dilakukan oleh Manajemen dan Pekerja SKK Migas
LHKPN (sejak 2012) : kewajiban menyampaikan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara
(LHKPN) bagi Manajemen dan Pekerja di SKK Migas
Asesmen risiko di proses bisnis SKK Migas
19. Penerapan Kode Etik dan Kepatuhan di Industri Hulu Migas
Tujuan penerapan Kode Etik dan Kepatuhan dalam Tata Kelola Kegiatan Hulu Migas:
1. Meningkatkan kepercayaan public
2. Mewujudkan tata Kelola hulu migas yang :
Bersih
Efektif dan efisien
Kompetitif dan transparan
Adil dan bertanggung jawab
Mendukung dan menumbuhkembangkan kapasitas nasional
Berwawasan lingkungan