Dokumen tersebut membahas tentang al-adab al-Arabi (sastra Arab) yang terbagi menjadi al-adab al-insya'i (karya sastra) dan al-adab al-washfi (studi sastra). Modul ini akan membahas al-amru dan al-nahyu dalam bahasa Arab, yang merupakan bagian dari ilmu ma'ani (makna). Pembahasan meliputi empat cara membentuk kalimat perintah (al-amr) dalam bahasa Arab, termasuk men
Pembahasan mengenai kuliyyat khamsah pada dasarnya merupakan pengantar dalam mengenali beragai macam tarif (definisi), dimana definisi merupakan salah satu pembahsan terpenting dalam mantiq. Kuliyyat khomsah merupakan unusr-unsur yang digunakan dalma merangkai sebuah tarif yang sering disebut juga dengan qaul syarih
Pembahasan mengenai kuliyyat khamsah pada dasarnya merupakan pengantar dalam mengenali beragai macam tarif (definisi), dimana definisi merupakan salah satu pembahsan terpenting dalam mantiq. Kuliyyat khomsah merupakan unusr-unsur yang digunakan dalma merangkai sebuah tarif yang sering disebut juga dengan qaul syarih
Ilmu balagoh sebagai cabang ilmu bhs arab
Ilmu balagoh sebagai cabang ilmu bhs arab
Ilmu balagoh sebagai cabang ilmu bhs arab
Ilmu balagoh sebagai cabang ilmu bhs arab
Ilmu balagoh sebagai cabang ilmu bhs arab
Modul Pembelajaran Bahasa Arab kelas 9 MTs (semester genap)EmmaRakasiwi
D92218058 Emma Rakasiwi - PBA Semester 4 UIN Sunan Ampel Sunan Ampel Surabaya
Modul Pembelajaran ini ditujukan untuk peserta didik MTs/Sederajat kelas 9 semester genap, sekaligus untuk menenuhi tugas Akhir Semester mata kuliah Mawad Ta'lim Lughoh al-Arobiyah yang dibimbing oleh Ibu Muflihah S, Ag., M.A.
Mohon maaf apabila terdapat kesalahan dalam modul tersebut, dan semoga bermanfaat. Terimakasih.
Apakah program Sekolah Alkitab Liburan ada di gereja Anda? Perlukah diprogramkan? Jika sudah ada, apa-apa saja yang perlu dipertimbangkan lagi? Pak Igrea Siswanto dari organisasi Life Kids Indonesia membagikannya untuk kita semua.
Informasi lebih lanjut: 0821-3313-3315 (MLC)
#SABDAYLSA #SABDAEvent #ylsa #yayasanlembagasabda #SABDAAlkitab #Alkitab #SABDAMLC #ministrylearningcenter #digital #sekolahAlkitabliburan #gereja #SAL
Sebuah buku foto yang berjudul Lensa Kampung Ondel-Ondelferrydmn1999
Indonesia, negara kepulauan yang kaya akan keragaman budaya, suku, dan tradisi, memiliki Jakarta sebagai pusat kebudayaan yang dinamis dan unik. Salah satu kesenian tradisional yang ikonik dan identik dengan Jakarta adalah ondel-ondel, boneka raksasa yang biasanya tampil berpasangan, terdiri dari laki-laki dan perempuan. Ondel-ondel awalnya dianggap sebagai simbol budaya sakral dan memainkan peran penting dalam ritual budaya masyarakat Betawi untuk menolak bala atau nasib buruk. Namun, seiring dengan bergulirnya waktu dan perubahan zaman, makna sakral ondel-ondel perlahan memudar dan berubah menjadi sesuatu yang kurang bernilai. Kini, ondel-ondel lebih sering digunakan sebagai hiasan atau sebagai sarana untuk mencari penghasilan. Buku foto Lensa Kampung Ondel-Ondel berfokus pada Keluarga Mulyadi, yang menghadapi tantangan untuk menjaga tradisi pembuatan ondel-ondel warisan leluhur di tengah keterbatasan ekonomi yang ada. Melalui foto cerita, foto feature dan foto jurnalistik buku ini menggambarkan usaha Keluarga Mulyadi untuk menjaga tradisi pembuatan ondel-ondel sambil menghadapi dilema dalam mempertahankan makna budaya di tengah perubahan makna dan keterbatasan ekonomi keluarganya. Buku foto ini dapat menggambarkan tentang bagaimana keluarga tersebut berjuang untuk menjaga warisan budaya mereka di tengah arus modernisasi.
1. 1
A. PENDAHULUAN
Sebelum mulai pembahasan, mari kita bahas pengertian mengenai al-adab
al-arabi agar maksud dari judul pada modul ini bisa difahami. Secara leksikal al-
adab al-Arabi bisa diterjemahkan dengan Sastra Arab. Dalam khazanah keilmuan
Sastra Arab, al-adab secara umum dibagi menjadi dua bagian besar, yaitu al-adab
al-insya’i dan al-adab al-washfi. Al-adab al-insya’i, terkait dengan karya gubahan
para sastrawan. Sedangkan al-adab al-washfi adalah studi sastra yang fokusnya
mendeskripsikan karya sastra. Dengan kata lain, al-adab al-insya’i adalah obyek
dari al-adab al-washfi. Dalam literatur modern, hasil dari proses al-adab al-
insya’i mengejawantah dalam an-nushush al-adabiah sedangkan aktifitas studi
sastra (al-adab al-washfi) banyak terkait dengan kajian dalam ilmu balaghah.
Dalam modul ini, kita akan membahas sastra Arab pada dua tataran al-
adab al-insya’i dan al-adab al-washfi. Kajian al-adab al-insya’i dalam bentuk an-
nushush al-adabiah tampak pada contoh-contoh yang ditampilkan dalam setiap
pembahasan. Sedangkan al-adab al-washfi terdapat pada kajian teoritis yang
menjadi fokus pembahasan. Karena begitu luasnya kajian sastra Arab, modul ini
hanya akan fokus pada satu tema besar ilmu ma’ani yaitu al-amru dan an-nahyu
yang dalam bahasa indonesia bisa diekuivalensikan—meskipun tidak sama
persis—dengan gaya bahasa imperatif. Ilmu ma’ani, adalah salah satu cabang dari
tiga ilmu balagah (ilmu ma’ani, ilmu bayan, dan ilmu badi’).
2. 2
PETA KONSEP
Untuk memudahkan konsep nalar berfikir, modul ini akan mengacu pada
konsep anatomi ilmu balagah. Pijakan teoritisnya mengacu kepada skema
keilmuan sastra Arab (baca: ilmu ma’ani), istilah-istilah linguistik umum (baca:
Linguistik Barat) hanya menjadi penjelas jika konsep lingusitik yang dibahas
berekuivalensi dengan konsep linguistik Arab. Setiap bahasa memiliki
karakteristik yang tidak sama dengan bahasa lain. Ilmu bahasa yang paling tepat
untuk menganalisis bahasa tertentu adalah ilmu bahasa yang lahir dari bahasa itu
sendiri. Balagah adalah ilmu bahasa dan sastra Arab yang lahir dari tradisi
linguistik Arab. Penyusunan modul berdasarkan anatomi ilmu balagah ini
diharapkan memudahkan peserta PPG dalam memahami materi yang disajikan.
Silahkan anda baca modul ini dengan seksama, jika ada hal yang perlu
Al-adab Al-Arabii
Sastra Arab
Al-adab Al-
insya’i
Al-adab Al-
washfi
Ilmu Ma’ani
Al-amru
Fi’il Amr
Fi’il Mudhari' Majzum
Bi Lam Amr
Isim Fi’il Amr
Masdar Yang
Mengganti Fi’il Amar
An-nahyu
Ilmu Bayan Ilmu Badi’
3. 3
didiskusikan silahkan membahasnya dalam forum diskusi yang telah tersedia.
Selamat membaca, semoga kita semua menjadi guru profesional karena Allah
subhanahu wa ta’ala menyukai seseorang yang profesional dalam menjalankan
sesuatu.
B. CAPAIAN PEMBELAJARAN
Membedakan ungkapan terkait perintah (al-amr) dan melarang (al-
nahyu) melakukan suatu tindakan/kegiatan, dengan memperhatikan unsur
kebahasaan dari teks lisan dan tulis, sesuai dengan konteks penggunaannya.
C. SUB CAPAIAN PEMBELAJARAN
Setelah pembelajaran modul ini, peserta PPG diharapkan dapat:
1. Memahami konsep al-amru wa al- nahyu
2. menyebutkan contoh-contoh al-amru wa al- nahyu
3. membuat pola-pola ungkapan yang semisal dengan contoh al-amru wa al-
nahyu
4. menerapkan pola-pola al-amru wa al- nahyu yang telah disusun dalam
praktek menulis dan berbicara bahasa Arab
5. mengajarkan al-amru wa al- nahyu dengan baik sesuai dengan teori aplikasi
pedagogik
D. URAIAN MATERI
Ilmu Bahasa dan Ilmu sastra hakikatnya adalah pengetahuan tentang tata
cara penggunaan bahasa sebagai alat komunikasi. Seseorang dikatakan sukses
berkomunikasi jika gagasan yang disampaikan bisa difahami oleh lawan
bicaranya. Bahasa memiliki dua aspek penting yang menjadi pijakan dalam
berkomunikasi, yaitu simbol bahasa dan makna. Simbol bahasa bisa berupa ujaran
maupun tulisan. Agar bisa memaknai simbol bahasa dengan benar, diperlukan
ilmu bahasa dan ilmu sastra.
Pada modul ini, kita akan membahas salah satu ragam pembahasan Sastra
Arab yaitu al-amru dan al-nahyu. Dari perspektif bentuk kalimatnya al-amru dan
al-nahyu merupakan bagian dari ilmu nahwu (sintaksis bahasa Arab), namun jika
4. 4
dilihat dari bagaimana uslub al-amru dan al-nahyu digunakan ini merupakan
kajian ilmu balagah, lebih spesifiknya merupakan bagian dari pembahasan ilmu
ma’ani. Secara bertahap, modul ini akan membahas al-amru dan al-nahyu dari
bagaimana membentuk kalimatnya, bagaimana penggunaannya dalam berbagai
konteks, dan menganalisis makna kalimat berdasarkan konteks yang
melingkupinya. Secara garis besar sub kajian pertama pada modul sastra ini akan
dibagi menjadi dua pembahasan besar, yaitu; (1) al-Amru (kalimat perintah dalam
bahasa Arab dan (2) al-Nahyu (kalimat larangan dalam bahasa Arab).
Dalam linguistik modern al-amru dan al nahyu masuk dalam kategori
imperatif sentence. Secara harfiyyah imperatif sentence bermakna kalimat
perintah. Kalimat perintah atau imperatif menurut Kridalaksana (2008: 9) adalah
bentuk kalimat atau verba untuk mengungkapkan perintah atau keharusan atau
larangan melaksanaan perbuatan. Jika dilihat dari definisi ini maka antara amr dan
nahy dalam bahasa Indonesia tidak dibedakan, keduanya sama-sama disebut
perintah. Perbedaannya hanya pada lanjutan istilah perintah, amr definisinya
perintah untuk melaksanakan aktifitas dan nahy adalah perintah untuk menjahui
sebuah aktifitas.
1. Al-Amru (Kata Perintah dalam Bahasa Arab)
Kata al-amru merupakan bentuk mashdar dari derivasi kata amara,
ya’muru, amran. Secara bahasa bisa berarti menyuruh atau memerintahkan.
Sedangkan secara istilah, dalam bahasa arab pengertian al-amru adalah:
َطَلَبََالَفَعَلََعَلَىَوَهجََالَسَتَعَلَءََ(عباسَ،2000َ:153َ)َ
Kalimat perintah adalah kalimat yang meminta dikerjakannya sebuah perintah
dengan superioritas orang yang meminta (dari pihak yang lebih tinggi kepada
pihak yang lebih rendah).
Dengan kalimat perintah seorang penutur meminta lawan tutur
melakuakan sesuatu sesuai dengan isi perintah yang disampaikan. Dengan kata
lain al-amru adalah meminta direalisasikannya sesuatu, baik permintaan itu
berupa perbuatan fisik maupun psikis. Misalnya, ketika seseorang menyuruh
duduk temannya dengan kata “ijlis”, permintaannya ini berupa aktifitas fisik,
sedangkan ketika meyuruh temannya berfikir dengan kata “tafakkar” ini adalah
5. 5
permintaan psikis. Secara praktis, praktek penggunaan gaya bahasa al-amru
pastinya sudah sering dipraktikkan oleh siapapun, namun setiap bahasa memiliki
aturan yag berbeda dalam membuat kalimat perintah (al-amru).
Dalam bahasa Arab ada empat cara dalam membentuk kalimat perintah,
yaitu:
a. Fi’il Amr (Kata Kerja Perintah).
Fi’il amr adalah salah satu bagian dari tiga macam kata kerja (fi’il) dalam
bahasa Arab, setelah fi’il madhi (kata kerja bentuk lampau) dan fi’il mudhari’
(kata kerja untuk waku sekarang dan yang akan datang). Fi’il Amr adalah kata
kerja yang menunjukkan perintah. Ketika proses komunikasi menggunakan
fi’il amr ini diucapkan, permintaan aktifitas yang diminta oleh penutur
(mutakaliim) belum dilakukan oleh mitra tutur (mukhatab).
Kata kerja perintah adalah karakter asli yang dimiliki oleh bahasa Arab dan
tidak semua bahasa memiliki model perubahan kata ini seperti ini. Meskipun
hanya satu kata, ketika fi’il amr diucapkan sudah menyaran pada kalimat
perintah. Misalnya seorang ayah yang berkata kepada anaknya dengan satu
kata: Ta’allam, dalam bahasa Arab satu kata ini diungkapkan dengan intonasi
seperti apapun tetap bermakna perintah yang jika diterjemahkan dalam bahasa
Indonesia berarti, “belajarlah kamu”. Jika dibandingkan dengan bahasa
Indonesia, pembentukan kalimat perintah dalam bahasa Indonesia bisa
dengan menggunakan imbuhan lah dan kan, bisa juga dengan membalik
susunannya dengan bentuk predikat di awal dan subyeknya diakhirkan. Selain
itu, dalam bahasa Indonesia kalimat perintah juga bisa dibentuk dengan
menggunakan tanda seru yang merupakan petanda adanya perubahan intonasi
dalam bahasa lisan.
Pembentukan kalimat perintah dengan fi’il amr merupakan bentuk dasar dan
paling banyak digunakan dalam bahasa Arab. Secara tekstual, setiap kalimat
yang ada fi’il amr-nya pasti merupakan kalimat perintah, meskipun secara
kontekstual kalimat perintah tidak selalu fungsinya memerintah. Ada
beberapa kalimat perintah yang keluar dari makna dasarnya dan digunakan
6. 6
untuk tujuan-tertentu misalnya mengancam, menasehati, atau bahkan
menyadarkan seseorang akan kelemahannnya.
Cara membentuk fi’il amr adalah dengan mengubah fi’il mudhari’
dengan membuang huruf mudhara’ah berupa alif, nun, ya’, ta’ (anaitu) yang
berada di awal fi’il mudhari’ dan men-jazm-kan huruf akhirnya (al-Ghalayaini
I: 157). Untuk lebih jelasnya lihatlah contoh di bawah ini.
)ٌم ْوُزْجَم( ٍرْمَأ ُلْعِف ِةَعَارَضُمال ُفُرْحَأ ُفَذْحُت ُلللللللللللللللللللللللللْعِف
ِع ِارَضُمال
النمر
ة
َرصنا ََ)ززززرزصَن ززززلزْززززوصَالنز(هم
َرصنا
َرصني 1َ
َمركأ ََمرك)َأمرَك َ(هموصَالقطع َمركي 2َ
َمجرت ََمجرت َمجرتي 3َ
َتَعَلَم َتَعَلَم َيَتَعَلَم 4َ
َرفغتساَ َ)رفغززززتَس (همززززوصَالنْززززل
َرفغتساَ
َرفغتسيَ 5َ
Pada contoh di atas, perhatikan kolom kedua setelah dibuang huruf
mudhara’ahnya. Ada yang ditambah hamzah diwalnya, ada juga yang tidak
ditambah. Kata yang ditambah hamzah adalah kata yang setelah dibuang huruf
mudhara’ahnya harakatnya sukun. Karena huruf yang berharakat sukun di awal
kata tidak bisa dibaca, maka ditambahkanlah huruf hamzah supaya bisa dibaca.
Kata “…nshur” misalnya, dia tidak bisa dibaca karena diawali dengan huruf nun
berharakat sukun, untuk bisa dibaca maka ditambahkan huruf hamzah di depannya
dengan harakat yang menyesuaikan harakat dari huruf ketiganya berdasarkan
wazan fi’ilnya, jadilah unshur.
Semua hamzah di awal fi’il amr adalah hamzatu washl kecuali hamzah
amr dari fi’il ruba’i (bentuk fi’il madhinya terdiri dari empat huruf). Hamzah amr
dari fi’il ruba’i hamzahnya hamzatu qath’i seperti kata “akrama”َ di atas yang
fi’il amr-nya “akrim”. Hamzah washl adalah hamzah yang ketika berada di awal
kalimat dibaca namun ketika berada di tengah kalimat harakatnya dilesapkan.
Contohnya adalah fi’il amr unshur di atas, ketika di awal kalimat hamzahnya
dibaca unshur, namum ketika di tengah kalimat hamzahnya dilesapkan seperti
7. 7
kata wanshur yang asalnya wa dan unshur. Akan tetapi, jika hamzahnya adalah
hamzah qath’i, maka dimanapun tempatnya akan tetap dibaca, contohnya kata
akrim, jika didahului oleh wawu misalnya, tetap di baca wa akrim.
Hamzah washal terletak di fi’il begitu juda di isim. Contoh praktik
bacaannya sebagai berikut:
(1)َبتكاَ----ََ (وَبتكاَ)َ=َوَبتاك
(2)َرفغتسا----ََهبننذَلملسَالمرفغتاس)َ=َورفغتسَا (و
(3)ٌَمسا-----ََ َا(م؟كمااس)=َمكمساَ
َ
Contoh pertama adalahَ hamzah washl pada fi’il amr, contoh kedua adalah
hamzah washl pada fi’il madhi, dan contoh ketika adalah hamzah washl pada isim.
Ketika di awal kalimat (menjadi kata pertama), huruf hamzah dibaca dengan
harakat sesuai harakat yang dimilikinya. Sedangkan ketika didahului oleh kata
lain, maka harakat huruf hamzah washl dilesapkan, kata uktub ketika didahului
oleh wa, maka dibaca waktub bukan wa uktub. Begitu juga dengan contoh contoh
yang ada di bawahnya.
Untuk mendalami bentukan kalimat perintah dengan fi’il amr,
perhatikanlah beberapa contoh sebagai ilustrasi penggunaan fi’il amr dalam
kalimat. Pertama marilah kita amati ayat al-qur’an yang turun pertama kali,
diwahyukan kepada Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam ketika Beliau
bertahannuts di gua hira’. Ketika itu Malaikat Jibril menyampaikan wahyu
pertama yang berbentuk kalimat perintah:
ْأَرْقاََماسبََكبرَيذالََقلخ،ََقلخََانسناْلََنمََقلعَ(العلقَ1-2)َ
Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang telah menciptakan,
menciptakan manusia dari segumpal darah (‘alaq) (QS. al-‘Alaq (96):
ayat 1-2)
Kata iqra’ dalam ayat di atas merupakan kalimat perintah yang berasal dari
bentukan fi’il madhi qara’a (telah membaca), yaqra’u (sedang membaca),
dan iqra’ (bacalah). Ketika Rasulullah sedang bertahannuts di gua Hira’,
malaikat Jibril datang membaca wahyu yang pertama dan memerintahkan
Rasulullah Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam untuk membaca dengan
8. 8
kalimat iqra’, bacalah..!, lafadz itu diulang-ulang sempai beberapa kali.
Kemudian Nabi Muhammad menjawab, “saya tidak bisa membaca”. Perintah
itu diulang-ulang sampai Rasulullah mengikuti Jibril membaca wahyu yang
pertama diturunkan. Cerita turunnya ayat yang pertama ini sekaligus menjadi
penjelas bagi kita bahwa wahyu yang pertama turun adalah perintah, perintah
yang menggunakan fi’il amr iqra’, bacalah!.
Setelah mengetahui konteks yang melingkupi turunnya ayat ini, kita bisa
melihat bahwa tujuan dari amr ini adalah al-ijab wa al-ilzam. Malaikat Jibril
diperintah Allah subhanahu wa ta’ala untuk menyampaikan wahyu kepada
Nabi Muhammad shalalallahu ‘alaihi wa sallam dengan perintah iqra’,
bacalah. Al-ijab wa al-ilzam artinya memerintah dengan tujuan mengharuskan
seseorang yang diperintah untuk melakukan isi perintah yang disampaikan.
Di dalam al-qur’an terdapat banyak sekali ayat yang menggunakan fi’il amr.
Selain itu ada beberapa syair yang di dalamnya terdapat fi’il amr sebagaimana
syair berikut ini:
قالَاْلمامَالشافعي:َ
ََسَافَرََتَجَدََعَنَنَتَعمًاضَفَارَقَه#َصانوَبصيَالنَفشيعَاليذذَلإنَفب
Pergilah (berkelanalah mencari ilmu) maka engkau akan mendapati
ganti dari apa yang engkau tinggalkan
Dan sibukkanlah dirimu, sesungguhnya nikmatnya hidup di kala kita
memiliki kesibukan
Syair Imam Syafi’i di atas berisi perintah kepada manusia untuk pergi
berkelana mencari ilmu. Tidak usah risau akan apa-apa yang kita tinggalkan,
karena di tempat yang baru akan didapati apa-apa yang telah ditinggalkan.
Perintah kedua adalah perintah untuk menyibukkan diri dengan segala sesuatu
yang bermanfaat, karena nikmatnya hidup ada ketika kita memiliki
kesibukan. Ada dua fi’il amr dalam syair di atas, yaitu kata saafir dan kata
inshab.
Ada struktur yang menarik dari kalimat di atas, karena di setiap selesai
memerintah ada alasan yang disampaikan oleh Imam Syafi’i. Seolah-olah jika
digambarkan dalam komunikasi antara penutur dan mitra tutur, struktur
kalimat di atas bisa dijabarkan sebagai berikut, “Pergilah berkelana..!”.
9. 9
Kalimat perintah ini menyisakan pertanyaan bagi orang yang diperintah,
“kenapa aku harus pergi berkelana?”, “Bagaimana dengan mereka yang aku
tinggalkan?”, “Bagaimana nanti di perantauan?”. Kemudian yang memerintah
seolah sudah tau dengan apa yang difikirkan oleh orang yang disuruh dan
melanjutkan kalimat dengan jawaban dari pertanyaan tersebut, “Engkau akan
mendapat ganti dari semua yang engkau tinggalkan”. Dalam ilmu balaghah
kondisi tidak memberi wawu washl diantara kata “safir” dan “tajid…”
disebut dengan fashl, yaitu tidak menghubungkan dua kalimat dengan huruf
wawu. Model hubungan penyampaian gagasan ini secara makna disebut
dengan syibhu kamalil ittishal, yaitu jika ada dua kalimat yang digabung dan
diantara keduanya tidak diberi wawu washl, secara makna kalimat kedua
merupakan jawaban dari pertanyaan yang muncul setelah memahami kalimat
pertama. Model bersandingnya dua kalimat tanpa ditengahi oleh wawu, juga
tampak dalam syair berikut ini:
َأَحَبَبََحَبَيَبَكََهَنًَنَاَمَاَعَسَىَأَنََيَكَنَنََبَغَيَضَكََيَنًَمَاَم،ا
ََوَابَغَضََبَغَيَضَكََهَنًَنَاَمَاَعَسَىَأَنََيَكَنَنََحَبَيَبَكََيَنًَمَاَماَ
Cintailah kekasihmu sedang-sedang saja, siapa tahu pada suatu saat
nanti akan berubah menjadi orang yang engkau benci; dan bencilah
orang yang kau benci itu sedang-sedang saja, siapa tahu pada suatu saat
nanti akan berubah menjadi kekasihmu.
Dalam contoh di atas terdapat dua kalimat yang bersanding tanpa huruf
wawu. Pada bait pertama, kalimat pertama adalah kalimat ََزكَبَيَبََحزبَبَحأ
َهَنزًنزاَما sedangkan kalimat kedua adalah َعزسَىَأَنََيزكَنَنََبَغَيزضَكََيَنزًمَا
،زاز.م Sedangkan pada bait kedua kalimat pertama adalah ََزضزَغَابو
َبَغَيزضَكََهَنزًنززاَمَا , sedangkan kalimat kedua adalah َعزسَىَأَنََيززكَنَنَ
َحَبَيزبَكََيَنزًمزاَما . Secara analisis makna, kalimat pertama pada dua bait
syair diatas jika dipahami dengan seksama akan menimbulkan
pertanyaan. Dan pertanyaan itu dijawab oleh kalimat yang kedua.
Perhatikanlah contoh syair Abu Nawas di bawah ini, dan amatilah kata apa
saja yang merupakan kata kerja perintah (fi’il amr).
10. 10
لإَهَميحَالجارَالنلىىَعنقَألَ#َوًلهَأسودرفلَلتسيَلَ
ْبَهَفًََةبنَتليْرِفْغا َوََافَغكنإَ#َفبيننذَميظَالعبنَالذر
Wahai Tuhanku ! Aku bukanlah ahli surga (firdaus), tapi aku tidak kuat
masuk dalam neraka jahannam
Maka berilah aku kekuatan untuk bertaubat dan ampunilah dosaku,
sesungguhnya engkau Maha Pengampun dosa yang besar.
Pada bait syair di atas, terdapat kata hab pada frase fa hab dan ighfir pada
frasa waghfir. Kata hab merupakan fi’il amr dari fi’il madhi wahaba yahibu –
hibatan, artinya menganugerahkan atau melimpahkan. Ketika bentukan fi’il
madhi tersebut berubah menjadi fi’il amr maka secara otomatis maknanya
langsung berubah menjadi bentuk perintah, anugerahkan atau limpahkan.
Sedangkan kata ighfir merupakan fi’il amr dari fi’il ghafara-yaghfiru, artinya
adalah mengampuni, ketika bentuk madhi ini berubah menjadi fi’il amr maka
artinya berubah menjadi ampunilah.
Syair Abu Nawas di atas merupakan syair yang berisi pengakuan (al-
i’tiraf) atas banyaknya dosa yang dimiliki Abu Nawas. Secara kajian ilmu
ma’ani sya’ir di atas dimulai dengan kalam khabar (kalimat berita) pada bait
pertama. Paparan Abu Nawas akan kondisi dirinya yang berlumuran dosa
maka denngan penuh kesadaran dia tahu bahwa dia bukanlah ahli surga.
Selain dia sadar bahwa dia banyak dosa, Abu Nawas juga sadar betul bahwa
dirinya tidak sanggup untuk hidup di neraka. Dilihat dari aspek tujuan kalimat
berita, kalimat ini dimaksudkan untuk meminta belas kasihan (istirham).
Setelah mengakui dan mengabarkan kekurangan dan kelemahannya, Abu
Nawas kemudia memohon untuk diberi anugerah berupa kekuatan menuju
pertaubatan dan setelah itu dosa-dosanya diampuni.
Kata perintah jika khithab atau mitra tuturnya adalah Tuhan, maka artinya
bukan memerintah Tuhan. Namun dalam analisis ilmu balagah, tujuannya
adalah berdo’a, artinya memohon kepada Allah subhanahu wa ta’ala.
Meskipun bentuk kalimatnya adalah kalimat perintah, namun tidak bisa
diartikan mengharuskan (al-ijab dan al-ilzam) kepada mitra tutur.
b. Fi’il Mudhari' Majzum bi Lam Amr
11. 11
Fi’il Mudhari' Majzum bi Lam Amr artinya adalah fi’il mudhari’ yang
berharakat jazm karena didahului oleh lam amr (huruf lam yang berfungsi
membentuk perintah). Fi’il mudhari’ adalah kata kerja yang menunjukkan
peristiwa sekarang dan yang akan datang. Fi’il mudhari’ dapat dilihat dari
karakteristiknya, yaitu diawali oleh salah satu dari empat huruf yaitu hamzah,
nun, ya`, dan ta` (disingkat anaita). Keempat huruf di awal fi’il mudhari’
menunjuk kepada pelaku dari aktifitas yang ditunjuk oleh fi’il tersebut. Huruf
hamzah menunjuk pada penutur tunggal seperti ata’allamu (saya belajar).
Huruf nun menunjuk pada penutur jamak atau penutur tunggal dengan
menunjuk kebesaran dirinya, seperti nata’allam dan inna nahnu nazzalna ad
dzikra wa inna lahu lahafidzun. Huruf ya’ menunjuk pada orang ketiga laki-
laki (tunggal, mutsanna, dan jama’) dan untuk orang ketiga perempuan jama’.
Sedangkan huruf ta’ digunakan untuk semua mitra tutur laki-laki maupun
perempuan dan juga untuk orang ketiga perempuan mufrad dan jama’. Untuk
lebih jelasnya lihatlah table berikut ini:
No
Fi’il
mudhari’
Huruf
Mudhara’ah
Arti
1 َأَملعتَ أ (saya) belajar
2 َنَملعت ن (kita) belajar
3 َيَملعت ي (dia laki-laki) belajar
4 َتَملعتَ ت (kamu laki-laki/ dia perempuan)
belajar
Selain dengan melihat inisial empat huruf di awal setiap fi’il mudhari’,
tanda dari fi’il mudhari’ juga bisa dilihat dengan masuknya huruf berikut ini:
(1) Huruf قدََ qad yang berarti taqlil (sedikit, kadang-kadang).
(2) Huruf س sin yang berfungsi sebagai tanfis (akan dengan waktu yang
sebentar)
(3) Huruf ََسزن saufa yang berfungsi sebagai taswif (akan dengan waktu yang
lama)
(4) Hurufَلم َlam yang berfungsi jazm (belum)
12. 12
(5) Huruf لَ َlam amar yang berfungsi perintah/amar (seyogyanya)
(6) Huruf ََلن lan yang berfungsi nashab, (tidak akan)
(7) Nun taukid tsaqilah dan khafifahََ ن (sungguh)
(8) Ya` mu`annatsah mukhathabah yang digunakan untuk mu`annats dengan
dhamir anti (“kamu” untuk perempuan)
(Al-Ghalayaini, 2007, juz I: 33).
Pembentukan kalimat perintah dengan menggunakan “lam amr”
adalah dengan cara menambahkan lam yang berharakat kasrah sebelum fi’il
mudhari’. Misalnya kata yadzhabu (pergi) ditambah dengan kata huruf li
menjadi liyadzhab (pergilah). Tidak semua huruf lam yang ditambahkan pada
kata berfungsi untuk membentuk perintah. Ada banyak ragam fungsi lam
selain pembentuk kalimat perintah seperti lam jar, lam ibtida’, lam jawab,
lam ta’lil, lam setelah qasam, lam taukid, dan lam juhud.
Lam amr sering agak sulit dibedakan dengan lam ta’lil, lam juhud,
dan lam taukid, karena ketiganya sama-sama bersambung dengan fi’il
mudhari’. Untuk membedakan lam amr dan ketiga lam ini marilah kita
perhatikan karakter masing-masing dan contohnya sebagaiaman dibedakan
oleh Ni’mah ( tt:156):
1) Lam amr berharakat kasrah jika berada di awal kalimat, namun jika tidak
berada di awal kalimat dan didahului oleh huruf seperti wawuَ atau fa’,
maka harakatnya sukun. Fi’il mudhari’ yang didahului oleh lam amr
harakat akhirnya jazm. Contoh:
َهتعَسنَمةعوَسَذقفنيلََ(الطلق7)َ
َرظنيلفََانسناْلََممََقلخَ،ََقلخََنمََاءمََقافدَ(َ:الطارق5-6)
Maka hendaklah manusia memperhatikan dari apakah dia diciptakan?
Dia diciptakan dari air yang terpancar, (QS. 86:5-6)
2) Lam ta’lil berharakat kasroh. Perbedaan lam ta’lil dan lam amr yang
paling jelas terlihat dari maknanya. Jika lam amr membentuk arti
perintah, lam ta’lil membentuk arti kay (supaya). Ketika lam ta’lil masuk
13. 13
ke dalam fi’il mudhari’ maka harakat terakhirnya berubah nashab.
Contoh:
ََاربتخيَالَفحجنَِلدهتجًأَ
3) Lam juhud berharakat kasroh. Perbedaan lam juhud, dan lam ta’lil adalah
lam juhud selalu diawali jumlah manfiah. Kedua lam ini hanya dibedakan
dari kalimat yang mendahuluinya. Contoh:
َمَاَكَانََالَعَاقَلََلَيَصَدَقََالَخَرَافَاتَ
Pada contoh di atas frase “ma kaana” merupakan indikasi bagi huruf lam
disebut sebagai lam juhud. Ketika lam juhud masuk ke dalam fi’il
mudhari’ maka harakat terakhirnya berubah nashab.
4) Lam taukid berbeda dari ketiga lam diatas yang berharakat kasrah, lam
taukid berharakat fathah. Lam tukid tidak merubah harakat akhir lafadz
ketika masuk ke dalam fi’il mudhari’ (fi’il mudhari’ tetap marfu’).
Contoh:
َنإوََكبرََمكحيلََمهنيبََمنيََةاميقالَايمفَناانكََيهفََننفلتخيَ(َ:النحل124)
Setiap uslub dalam bahasa tertentu merupakan pilihan ungkapan
yang disertai dengan kesan makna. Ketika ada kalimat perintah yang berisi
permintaan masuk ruang acara, akan berbeda redaksinya jika yang diminta
masuk itu kepala sekolah atau seorang siswa. Misalnya, redaksi perintah
untuk seorang siswa lebih lugas, “Amir.. masuklah ke aula, acaranya sudah
dimulai”. Namun ketika yang diminta masuk adalah guru, bahasa yang
digunakan kemungkinan tidak akan sama, misalnya “Dimohon bapak untuk
masuk ke aula, acaranya sudah mulai” atau bahkan bisa saja kata perintahnya
dilesapakan hingga yang disampaikan hanya kalimat beritanya,misalnya
“Maaf Pak., acaranya sudah dimulai”. Begitu juga penggunaan fi’il amr dan
fi’il mudhari’ dalam membentuk kata perintah. Secara kesan bentukan makna
perintah dengan menggunakan fi’il amr dan lamul amr bisa dibedakan
sebagai berikut:
1. Kesan yang ditimbulkan dari penggunaan fi’il amr lebih tegas, sedangkan
penggunaan lam amr lebih santun. Kesan ini bisa dilihat dari contoh yang
14. 14
ada dalam ilustrasi kalimat berbahasa Indonesia di atas. Dalam bahasa
arab, misalnya bisa kita lihat contoh berikut ini:
َاَسردَالمرضَحدق،َللصاَالفنلخدَ
ََليدخلَمشاركنَالمؤتمرَفيَالقاعةَبعدَالستراحةَ
2. Fi’il amr selalu menyaran kepada mitra tutur orang kedua (mukhatab),
sedangkan lam amr digunakan untuk orang ketiga dengan semua bentukan
mufrad, mutsanna, dan jama’ misalnya:
ايَاُّهيأََينذالَنانمآَاذإََمتنايزدتََنيزدبَزىلإََزلجأَىىمزسمََنبتزاكفََزبتكيلوََمكزنيبَ
ٌَباتكََلدعالبَ:(البقرص282)َ
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara
tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan
hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar.
Dalam ayat ini sudah ada dua contoh kalimat perintah dengan fi’il amr
pada lafadz faktubuuhu (maka tulislah / menulislah kamu) dan fi’il
mudhari majzum bi lam amr pada lafadz walyaktub (dan hendaklah
seorang penulis menulis/menulislah dia).
c. Isim Fi’il Amr
Isim fi’il amar adalah isim (kata benda) yang bermakna fi’il amr (kata
perintah). Namun secara karakter, isim fi’il amar tidak menerima tanda-
tanda fi’il (Al-Ghalayaini, 2007, juz I: 155). Contohnya seperti kata
hadzari pada syair berikut ini:
َهَيََُّدالَنَيَاَتَقَنَلََبَمَلَءََفَيَهَاََ*َََحَذَارََحَذَارََمَنََبَطَشَيَوَفَتَكيَ
Dialah dunia yang berkata kepada segala sesuatu yang tinggal di
dalamnya, berhati-hatilah.. berhati-hatilah dengan sergapan dan
seranganku..
Dilihat dari waktunya, isim fi’il dibagi menjadi tiga sebagaimana
pembagian fi’il, ada isim fi’il madhi, isim fi’il mudhari’, dan isim fi’il amr.
Sebagaimana namanya, isim fi’il madhi menunjuk pada kejadian yang
telah lampau seperti kata haihaata (ba’uda: jauh sekali). Isim fi’il
15. 15
muddhari’ menunjuk pada kejadian di waktu sekarang, seperti kata aah
(atawajja’u: saya merasa sakit). Isim fi’il amr menunjuk pada sebuah
perintah yang aktifitasnya belum terjadi ketika perintah itu dilafalkan,
misalnya kata shah (uskut: diamlah).
Pada modul ini kita akan fokus membahas isim fi’il amr, sesuai dengan
sub judulya yaitu bagaimana cara membuat kalimat perintah dalam bahasa
Arab yang salah satu caranya adalah dengan isim fi’il amr. Beberapa kata
yang merupakan isim fi’il amr adalah:
No Isim fi’il Amar Makna Arti
1. آمين َاَسَتَجَب Kabulkanlah
2. ََْهٌَهَْ/ََ َاَسَكَت Diamlah
3. َمَهَ َاَنَكَفَف Berhentilah
4. َبَلَهَ َدَعَََوَاتَرَكَ Tinggalkanlah
5. َعَلَيَكَ َاَلَوَمَ Peliharalah
6. َإَلَيَكَ َخَذَ Ambillah
7. َهيَ/َإهيإَ َدزَوثدحَ Bicaralah lagi
8. َهَياَ َأَسَرَعَ Cepatlah
9. َحَيَ َتَعَالََمَسَرًَعاَ Kesinilah cepat
10. َحَذَارَ َاَحَذَرَ Hati-hatilah
Selain sepuluh kata di atas, masih ada beberapa kata isim fi’il amr yang
lain, baik itu murtajal, manqul, dan ma’dul (qiyasi).
d. Masdar yang mengganti fi’il amar
Mashdar adalah ujaran yang menyaran kepada sebuah kejadian yang tidak
dibarengi dengan keterangan waktu (al-Ghalayaini,2007: Juz 1, 123). Pada
dasarnya mashdar adalah kata benda yang tidak menyaran kepada
perintah. Mashdar bisa bermakna perintah ketika posisinya ditempatkan
pada posisi mengganti fi’il amr yang dilesapkan. Jika ditampakkan maka
sebenarnya sebelum isim mashdar yang dibaca rafa’ terdapat fi’il amr
yang disamarkan, contoh:
16. 16
َسَعًَيَاَفَىَسَبَيَلََالَخَيَرَسََ(اَعَسَعًَيَاَفَىَسَبَيَلََالَخَيَر)َ
Berusahalah dengan sungguh-sungguh (berjuanglah) di jalan kebaikan.
Pada contoh di atas terlihat bahwa isim mashdar berupa kata sa’yan
menggantikan posisi fi’il amr yang dilesapkan berupa kata perintah is’a
(berusahalah) atau jika disebut keduanya akan muncul kata is’a sa’yan.
Dalam memaknai perintah yang menggunakan mashdar pengganti fi’il
amr, ada kesan makna penguat (ta’kid) karena sebelum dibuang isim
masdar menjadi penguat dalam posisi maf’ul muthlaq. Contoh yang
lainnya adalah syair berikut ini:
َفَصَبًَرَاَفَيَمَجَالََالَمَنَتَََْبًَرَاََ*ََفَمَاَنَيَلََالَخَلَنَدََبَمَسَتَطَاع
Maka bersabarlah sesabar sabarnya dalam urusan kematian, karena
untuk meraih keabadian merupakan hal yang tidak mungkin
Dari keempat cara membuat kalimat perintah di atas, nampak jelas
bahwa bahasa Arab memiliki struktur yang berbeda dalam membentuk
kalimat perintah dibandingkan bahasa lain, khususnya bahasa Indonesia.
2. al-Nahyu (Kalimat Larangan dalam Bahasa Arab)
Al-Nahyu secara bahasa bermakna larangan, berasal dari bahasa Arab
naha, yanha, nahyan artinya melarang. Setiap bahasa pasti punya kalimat yang
bermakna larangan, siapapun itu pasti membutuhkan kata larangan dalam
berkomunikasi. Namun dalam menyusun kalimat larangan, setiap bahasa
memiliki aturan tersendiri. Ahmad al-Hasyimi menjelaskan bahwa yang
dimaksud dengan uslub al nahyu adalah:
الَنَيهَ:َطَلَبََءيَالشنَعفكالَعَلَىَوَجَهََالَسَتَعَلَءََمَعََاَْلَلَوَامَ
ََ،(الهاشمي2000َ:69)
Kalimat larangan adalah permintaan untuk menghentikan sebuah aktifitas
dengan superioritas orang yang meminta. Artinya, secara makna dasar kalimat
tersebut berisi pengharusan kepada mitra tutur untuk menghentikan aktifitas
tertentu. Redaksi kalimat larangan dalam bahasa Arab adalah dengan
17. 17
menyambungkan fi’il mudhari' dan la nahiyah. Bentuk ini merupakan bentukan
dasar dari kalimat larangan (al nahyu), namun dimungkinkan juga secara makna
al nahyu dibentuk dengan bentuk lain, misalnya isim fi’il amr yang artinya
larangan seperti shah/shahun (diam/jangan ngomong), atau bisa juga dengan
menggunakan fi’il amr yang tujuannya melarang, misalnya da’ (biarkanlah/jangan
melakukan apapun) ijtanib (jahuilah/jangan mendekat), utruk (tinggalkanlah/
jangan disini).
Diantara beberapa cara membentuk uslub nahy yang paling banyak
digunakan adalah dengan menjazemkan fi’il mudhari’ dengan la an-nahiyah.
Huruf la diletakkan di depan fi’il mudhari’, setelah ada la an nahiyah maka
kalimat setelahnya akan dibaca jazm. Ada dua laa yang secara tulisan sama persis
dan sama-sama masuk dalam fi’il mudhari’ namun secara fungsi berbeda, yaitu la
an nahiyah dan la annafiyah. Perbedaan antara la an nahiyah dan la annafiyah
selain ditinjau dari maknanya, secara kasat juga bisa dilihat pada harakat akhir
pada fi’il mudhari’ setelah kemasukan huruf la. Fi’il mudhari’ setelah kemasukan
huruf la an nahiyah dibaca jazm, namun la annafiyah tidak menyebabkan
perubahan harakat pada fi’il mudhari’. Contohnya nampak dalam paparan kalimat
berikut ini:
َوَلََتَفَسَدَواََفَىَاَِلَرَضََبَعَدََاََْلَحَها
Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi setelah Tuhan
memperbaikinya (QS. Al-A'raf: 85).
َنإََينذالَوارفكٌََءانسََمهيلعََمهترذنأأََمأََملََمهرذنتََلََنننمؤيَ(َ:البقرص6)َ
Sesungguhnya orang-orang kafir, sama saja bagi mereka, kamu beri
peringatan atau tidak kamu beri peringatan, mereka tidak juga akan
beriman. (QS. 2:6)
Kata la pada surat al-A’raf ayat 25 adalah la yang fungsinya untuk
melarang (la annahiyah), setelah di dahului oleh la annahiyah, fi’il mudhari’
yang ada setelahnya dibaca jazm. Kata ”tufsiduuna”, ketika didahului oleh la
menjadi “la tufsiduu” huruf nun di akhir kalimat dihilangkan sebagai tanda dia
jazm. Sedangan pada contoh yang kedua, huruf la adalah huruf la an-nafiyah yang
berarti “tidak”, mereka tidak beriman. Fi’il mudhari’ “yu’minuuna” tetap seperti
18. 18
semula ketika didahului la an-anfiyah, menjadi “la yu’minuuna” tanpa
perubahan di akhir kata “yu’minuuna”.
Contoh pada paragraf di atas adalah fi’il mudhari’ yang jama’. Sedangkan
fi’il mudhari’ yang fa’ilnya mufrad dan berakhir dengan huruf shahih, ketika
kemasukan la annahiyah maka huruf akhirnya dijazmkan dengan sukun. Namun
ketika yang mendahuluinya adalah la an-nafiyah maka harakatnya tetap dhammah
sebagaimana harakat asli fi’il mudhari’. Sebagaimana yang terjadi pada dua
contoh berikut ini:
َلََتَطَلَبََمَنََالَجَوَاءََإَلََبَقَدَرََمََْاَنَعَتَ
Janganlah kamu menuntut balasan kecuali senilai dengan apa yang kamu
kerjakan
يفََةنجََةيالعَََلََعمستَايهفًََةيغلَ(َ:الغاشية10-11)َ
dalam surga yang tinggi, tidak kamu dengar di dalamnya perkataan yang
tidak berguna (QS. Al –Ghasyiyah :10-11(
Uslub nahyi kebanyakan menyaran kepada orang kedua (mukhatab),
namun sebenarnya dia juga bisa menyaran kepada orang ketiga (ghaib).
Pengguanan la annahiyah mayoritas juga begitu, digunakan untuk orang
kedua(mukhatab), namun bisa juga diperuntukkan untuk orang ketiga (ghaib).
Contoh di dalam al-Qur’an uslub nahyi yang menyaran kepada orang ketiga
(ghaib) adalah:
ايَاُّهيأََينذالَنانمآََلََرخسيٌََمنقََنمََمنقَىسعََنأَناننكيَا ًريخََمهنمََلوٌََءزاسنََزنمَ
َاءسنَىسعََنأََنكيَا ًريخََنهنمََلوَواوملتََمكسفنأََلوَواوابنتََابقلاِلبََسئبََمسالَ
َنقسفالََدعبََانيماْلََنموََملََبتيََكئولأفََمهََننمالالظَ(َالحجرات11)
Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olokkan
kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olokkan) lebih
baik dari mereka (yang mengolok-olokkan)dan jangan pula wanita-wanita
(mengolok-olokkan) wanita lain (karena) boleh jadi wanita-wanita (yang
diperolok-olokkan) lebih baik dari wanita (yang mengolok-olokkan) dan
janganlah kamu mencela dirimu sendiri dan janganlah kamu panggil
memanggil dengan gelar-gelar yang buruk.Seburuk-buruk panggilan ialah
19. 19
(panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak
bertaubat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim. (QS. 49:11)
Pada ayat di atas dijelaskan bahwa sekelompok kaum dilarang mengolok-
olok kaum yang lain, karena bisa jadi yang diolok-olok lebih baik dari mereka
yang mengolok-olok. Obyek yang dituju oleh kalimat larangan ini adalah orang
ketiga, yaitu dia (kaum). Dhamir orang ketiga (huwa) pada kata yaskhar nampak
pada huruf mudhara’ah ya’ yang berada di awal kata. Huruf ya’ tersebut merujuk
pada kata qaum, sebuah kaum. Keterangan ini menunjukkan bahwa yang dituju
oleh kata larangan la yaskhar adalah orang ketiga (ghaib). Selain ayat ini masih
banyak lagi ayat lain yang berisi larangan kepada orang ketiga (ghaib).
Selain menggunakan uslub nahyi, secara makna terkadang larangan juga
menggunakan uslub nafyi yang tujuannya adalah nahyi (melarang). Dalam kajian
ilmu ma’ani ada kajian tentang makna dasar (al-ma’na al-wadh’iy/ al-ashliy) dan
makna kontekstual (al-ma’na as-siyaqi / muqtadha ahwal). Seperti contoh huruf
la yang masuk kepada fi’il mudhari’. Kajiannya bisa dilihat dari beberapa aspek,
misalnya secara ma’na wadh’iy artinya ada dua, yaitu “jangan” dan “tidak”
tergantung dimana dia ditempatkan. Kata “la” dalam uslub nahyi bermakna
“jangan”, sedangkan pada uslub nafyi bermakna tidak. Namun secara ma’na as-
siyaqi (berdasarkan konteks tuturan) dengan melihat kondisi mitra tutur
(muqtadha ahwal al-mukhathabiin) bisa saja tujuan kalimat berbeda dengan kata
dasarnya.
Uslub nahyi merupakan bagian dari kalam insya’ (kalimat non berita)
yang secara wadh’iy bertujuan untuk memerintah, namun uslub nafyi masuk
kategori kalam khabar (kalimat berita) yang secara wadh’iy bertujuan memberi
tahu (kalimat berita). Apabila kalimat itu sudah digunakan, maka akan terdapat
perbedaan tujuan yang keluar dari makna dasarnya. Yang awalnya kalimat berita
bisa saja bermakna non berita begitu juga sebaliknya.
E. RANGKUMAN
Selamat, saudara telah menyelesaikan modul tentang al-amru dan al-nayu
(Gaya Imperatif dalam Sastra Arab). Dengan demikian saudara telah
menguasai kompetensi profesional tentang uslub amr dan nahyi (gaya
20. 20
imperatif dalam Sastra Arab) mulai dari pemahaman konsep, menyebutkan
contoh-contoh, membuat uslub amr dan nahyi dan secara pedagogis mampu
mengajarkan materi tersebut dalam pembelajaran di kelas. Hal-hal penting
yang telah saudara pelajari adalah sebagai berikut.
1. Kata al-amru merupakan bentuk mashdar dari derivasi kata amara, ya’muru,
amran. Secara bahasa bisa berarti menyuruh atau memerintahkan.secara
istilah al-amru adalah meminta direalisasikannya sesuatu, baik permintaan itu
berupa perbuatan fisik maupun psikis.
2. Kalimat perintah atau imperatif adalah bentuk kalimat atau verba untuk
mengungkapkan perintah atau keharusan atau larangan melaksanaan
perbuatan. Jika dilihat dari definisi ini maka antara amr dan nahy dalam
bahasa Indonesia tidak dibedakan, keduanya sama-sama disebut perintah.
Perbedaannya hanya pada lanjutan istilah perintah, amr definisinya adalah
perintah untuk melaksanakan aktifitas dan nahy adalah perintah untuk
menjahui sebuah aktifitas.
3. Dalam bahasa Arab ada empat cara dalam membentuk kalimat perintah, yaitu
dengan (1) Fi’il Amr (Kata Kerja Perintah), (2) Fi’il Mudhari' Majzum bi Lam
Amr, (3) Isim Fi’il Amr, (4) Masdar yang mengganti fi’il amar.
4. Pembentukan kalimat perintah dengan fi’il amr merupakan bentuk dasar dan
paling banyak digunakan dalam bahasa Arab. Secara tekstual, setiap kalimat
yang ada fi’il amr-nya pasti merupakan kalimat perintah, meskipun secara
kontekstual kalimat perintah tidak selalu fungsinya memerintah.
5. Semua hamzah di awal fi’il amr adalah hamzatu washl kecuali hamzah amr
dari fi’il ruba’i (bentuk fi’il madhinya terdiri dari empat huruf).
6. Pembentukan kalimat perintah dengan menggunakan “lam amr” adalah
dengan cara menambahkan lam yang berharakat kasrah sebelum fi’il
mudhari’.
7. Lam amr berharakat kasrah jika berada di awal kalimat, namun jika tidak
berada di awal kalimat dan didahului oleh huruf seperti wawuَ atau fa’, maka
harakatnya sukun. Fi’il mudhari’ yang didahului oleh lam amr harakat
akhirnya jazm.
21. 21
8. Lam ta’lil berharakat kasroh. Perbedaan lam ta’lil dan lam amr yang paling
jelas terlihat dari maknanya. Jika lam amr membentuk arti perintah, lam ta’lil
membentuk arti kay (supaya). Ketika lam ta’lil masuk ke dalam fi’il mudhari’
maka harakat terakhirnya berubah nashab.
9. Lam juhud berharakat kasroh. Perbedaan lam juhud, dan lam ta’lil adalah lam
juhud selalu diawali jumlah manfiah. Kedua lam ini hanya dibedakan dari
kalimat yang mendahuluinya.
10. Lam taukid berbeda dari ketiga lam diatas yang berharakat kasrah, lam taukid
berharakat fathah. Lam tukid tidak merubah harakat akhir lafadz ketika masuk
ke dalam fi’il mudhari’ (fi’il mudhari’ tetap marfu’).
11. Isim fi’il amar adalah isim (kata benda) yang bermakna fi’il amr (kata
perintah). Namun secara karakter, isim fi’il amar tidak menerima tanda-tanda
fi’il
12. Mashdar adalah ujaran yang menyaran kepada sebuah kejadian yang tidak
dibarengi dengan keterangan waktu. Mashdar bisa bermakna perintah ketika
posisinya ditempatkan pada posisi mengganti fi’il amr yang dilesapkan.
13. Kalimat larangan adalah permintaan untuk menghentikan sebuah aktifitas
dengan superioritas orang yang meminta. Artinya, secara makna dasar kalimat
tersebut berisi pengharusan kepada mitra tutur untuk menghentikan aktifitas
tertentu
F. TES FORMATIF 1
Pilihlah salah satu jawaban a,b,c,d,atau e yang saudara anggap paling
benar!
1. Dalam bahasa Arab ada empat cara dalam membentuk kalimat perintah,
diantara beberapa hal berikut ini ada yang bukan merupakan cara
pembentukan amr, yaitu:
a. Fi’il Mudhari' bersambung dengan kata laa
b. Fi’il Amr (Kata Kerja Perintah
22. 22
c. Fi’il Mudhari' Majzum bi Lam Amr
d. Isim Fi’il Amr
e. Masdar yang mengganti fi’il amar.
2. Bentukan dasar dan yang paling banyak digunakan dalam bahasa Arab
adalah: Tindak tutur direktif
a. Fi’il Amr (Kata Kerja Perintah)
b. Fi’il Mudhari' bersambung dengan kata laa
c. Fi’il Mudhari' Majzum bi Lam Amr
d. Isim Fi’il Amr
e. Masdar yang mengganti fi’il amar.
3. Hamzah di awal fi’il amr merupakan hamzatu washl kecuali hamzah amr
pada :
a. fi’il ruba’i
b. fi’il tsulasti
c. fi’iil khumasi
d. fi’il sudasi
e. fi’il mu’tal akhir
4. Huruf laam yang berharakat kasrah jika berada di awal kalimat, namun
jika tidak berada di awal kalimat dan didahului oleh huruf seperti wawuَ
atau fa’, maka harakatnya berubah menjadi sukun dan menyebabakan fi’il
mudhari’menjadi jazm adalah:.
a. Lam amr
b. Kam ta’lil
c. Lam juhud
d. Lam taukid
e. Lam idhafah
5. Huruf laam yang berharakat kasrah dan membentuk arti kay (supaya).
Ketika masuk masuk ke dalam fi’il mudhari’ maka harakat terakhirnya
berubah nashab adalah:
a. Lam ta’lil
b. Lam amr
c. Lam juhud
23. 23
d. Lam taukid
e. Lam idhafah
6. Huruf laam yang berharakat fathah dan tidak merubah harakat akhir
lafadz ketika masuk ke dalam fi’il mudhari’ (fi’il mudhari’ tetap marfu’):
a. Lam taukid
b. Lam ta’lil
c. Lam amr
d. Lam juhud
e. Lam idhafah
7. Permintaan untuk menghentikan sebuah aktifitas dengan superioritas
orang yang meminta, yaitu pengharusan kepada mitra tutur untuk
menghentikan aktifitas tertentu disebuat:
a. Al-Nahyu
b. Al-amru
c. Al-Khabar
d. Al-Insya’
e. Al-istifham
8. Dalam ayat berikut ini kata yang bergaris bawah adalah:
)11-10َ:َ(الغاشيةًَةيغلَايهََفعمسََتَََلةيالََعةنيَجف
a. La nafi bersambung dengan fi’il mudhari’
b. La nahi bersambung dengan fi’il mudhari’
c. Lam Amr bersambung dengan fi’il mudhari’
d. Lam juhud bersambung dengan fi’il mudhari’
e. Lam ta’lil bersambung dengan fi’il mudhari’
9. Dalam syair berikut ini kata yang bergaris bawah adalah:
َفَصَبًَراََفَيَمَجَالََالَمَنَتَََْبًَرَاََ*ََفَمَاَنَيَلََالَخَلَنَدََبَمَسَتَطَاع
a. Masdar yang mengganti fi’il amar.
b. Fi’il Mudhari' bersambung dengan kata laa
c. Fi’il Amr (Kata Kerja Perintah
d. Fi’il Mudhari' Majzum bi Lam Amr
e. Isim Fi’il Amr
24. 24
10. Ketika seseorang ingin menegaskan sebuah isi perintah dengan gamblang
dan jelas, maka yang dipilih adalah:
a. Fi’il Amr (Kata Kerja Perintah
b. Masdar yang mengganti fi’il amar.
c. Fi’il Mudhari' bersambung dengan kata laa
d. Fi’il Mudhari' Majzum bi Lam Amr
e. Isim Fi’il Amr
G. DAFTAR PUSTAKA
Abbas, Fadl Hasan. 2000. Al-Balagah Fununuha wa Afnanuha. Yordania:
Darul Furqan
Al-Ghalayaini, Musthafa. 2007. Jami’u ad-Durusi al-Lughah Al-‘Arabiyyah.
Beirut: Darul Kutub al-Ilmiyyah. Cet. 8.
Al-Hasyimi, Assayyid Ahmad.2000. Jawahirul Balâghah. Libanon: Daru al-
Fikr.
Al-Quran danTerjemahnya. 2008. Departemen Agama RI. Bandung:
Diponegoro.
Kridalaksana, Harimurti. 2008. Kamus Linguistik Umum. Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama.
Ni’mah, Fuad. tt. Mulakhkhash Qawa’id al-Lughah al-Arabiyyah. Damaskus:
Darul Hilmah. cet.7