SlideShare a Scribd company logo
1 of 31
Download to read offline
PERSFEKTIF ISLAM TERHADAP PERNIKAHAN
DALAM MEMBANGUN KELUARGA SAKINAH,
MAWADDAH, DAN WARAHMAH
MAKALAH
disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Pendidikan Agama Islam
Oleh
Tito Riyanto NIM. 151611030
Putri Sintia Sari NIM. 151611021
JURUSAN TEKNIK REFRIGERASI DAN TATA UDARA
POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
KABUPATEN BANDUNG BARAT
2017
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur sudah sepantasnya kita panjatkan kepada Allah Swt. yang
telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis bisa menyelesaikan
makalah yang berjudul “Persfektif Islam terhadap Pernikahan dalam
Membangun Keluarga Sakinah, Mawaddah, Dan Warahmah”. Makalah ini
dibuat untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Pendidikan Agama Islam.
Selain ucapan terima kasih kepada orangtua, penulis juga mengucapkan
terima kasih kepada yang terhormat Hikmah Maulani, M.Pd. sebagai dosen mata
kuliah Pendidikan Agama Islam Politeknik Negeri Bandung dan teman-teman kelas
2A D-3 Teknik Pendingin dan Tata Udara yang telah memberikan dukungan kepada
penulis.
Penulis menyadari bahwa makalah ini belum sempurna. Penulis sangat
terbuka serta mengharapkan kritik dan saran yang membangun terhadap penulisan
makalah ini. Akhir kata, semoga makalah ini bermanfaat bagi pengembangan ilmu
pengetahuan Agama Islam terutama dalam masalah Pernikahan yang sesuai syariat
Islam.
Bandung, Juni 2017
Penulis
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ........................................................................................ ii
DAFTAR ISI ....................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah ............................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah ....................................................................................... 1
1.3 Tujuan Penulisan ........................................................................................ 2
1.4 Cara Memperoleh Data ............................................................................... 2
1.5 Sistematika Penulisan ................................................................................. 2
BAB II LANDASAN TEORI
2.1 Pengertian Nikah ........................................................................................ 3
2.2 Tujuan Nikah .............................................................................................. 4
2.3 Hukum Nikah .............................................................................................. 5
2.4 Syarat dan Rukun Nikah ............................................................................. 5
2.5 Etika dan Sunah Nikah ............................................................................... 7
2.6 Khiyar (Hak Pilih) dalam Nikah ................................................................. 8
2.7 Persiapan Khitbah/Nikah ............................................................................ 8
2.8 Perempuan yang Haram di nikahi ............................................................... 9
2.9 Pelaksanaan Pernikahan .............................................................................. 10
2.10 Hak-hak Suami Istri .................................................................................... 11
2.11 Pernikahan yang Rusak ............................................................................... 12
2.12 Talak ........................................................................................................... 12
2.13 Khulu’ ......................................................................................................... 14
2.14 Ila’ ............................................................................................................... 14
2.15 Zhihar .......................................................................................................... 15
2.16 Li’an ............................................................................................................ 15
2.17 Iddah ........................................................................................................... 16
2.18 Hikmah Nikah ............................................................................................. 17
2.19 Hukum Perkawinan Negara Muslim .......................................................... 18
BAB III ANALISIS
3.1 Cara islam memandang pernikahan yang sesuai Al-quran dan Hadist ....... 24
3.2 Mewujudkan keluarga yang sakinah, mawaddah, dan warahmah .............. 25
3.3 Menjaga kelanggengan pernikahan di negara hukum seperti Indonesia .... 26
BAB IVSIMPULAN DAN SARAN
4.1 Simpulan ..................................................................................................... 27
4.2 Saran ........................................................................................................... 27
DAFTAR PUSTAKA
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG MASALAH
Manusia mengalami pertumbuhan yang dimulai dari bayi, anak-anak, remaja,
hingga dewasa. Kedewasaan seseorang bukan hanya terukur pada semakin
berkembangnya fisik, melainkan keluasan wawasan, pemaknaan hidup dan
pembuatan keputusan yang lebih bijaksana. Semakin bertambah dewasa maka beban-
beban hidup yang tebebankan pada pundak-pundak yang lemah ini semakin berat.
Sehingga tidak jarang manusia mengambil jalan kematian. Masa-masa dewasa yang
berat dan penuh tantangan ini tentunya harus berfikir kedepan seperti membangun
keluarga yang islami. Ketika berkeluarga beban-beban hidup akan semakin ringan.
Mengapa semakin ringan? Bukankah berkeluarga itu menjadi lebih banyak pikiran
dan beban hidup bertambah? Justru ini yang dinamakan “Keluarga Islami” melalui
suatu “Pernikahan Islam”. Bersama pasangan hidup yang terikrarkan dalam janji suci
membangun tekad setia dan komitmen untuk saling menguatkan satu sama lain
sehingga beban-beban hidup tidak hidup hanya pada pundak salah seorang saja.
Tak terlepas dalam ajaran Islam, pernikahan (perkawinan) tersebut sangat
penting sehingga dalam Alquran terdapat sejumlah ayat baik secara langsung
maupun tidak langsung berbicara mengenai masalah pernikahan yang dimaksud ( al
– Baqi, 1987: 332-333 dan 718).
Nikah artinya menghimpun atau mengumpulkan. Salah satu upaya untuk
menyalurkan naluri seksual suami istri dalam rumah tangga sekaligus sarana untuk
menghasilkan keturunan yang dapat menjamin kelangsungan eksistensi manusia di
atas bumi. Keberadaan nikah itu sejalan dengan lahirnya manusia di atas bumi dan
merupakan fitrah manusia yang diberikan Allah SWT terhadap hamba -Nya. Oleh
karena itu, dalam makalah singkat berikut yang berjudul “Persfektif Islam terhadap
Pernikahan dalam Membangun Keluarga Sakinah, Mawaddah, dan
Warahmah” akan dijelaskan secara global tentang (1) konsep pernikahan dalam Al-
quran dan (2) bagaimana kaum muslimin mengembangkan konsep untuk menjaga
dan melanggengkan pernikahan tersebut yang tertuang dalam perundang-undangan
mereka dewasa ini. Sehingga terwujud keluarga yang sakinah mawaddah dan
warahmah.
1.2 RUMUSAN MASALAH
1.2.1 Bagaimana Persfektif islam terhadap pernikahan yang sesuai dengan Al-
quran dan Hadist?
1.2.2 Bagaimana cara mewujudkan keluarga yang sakinah, mawaddah, dan
warahmah?
1
1.2.3 Bagaimana cara menjaga dan melanggengkan pernikahan sesuai konsepsi
islam di negara hukum seperti Indonesia.
1.3 TUJUAN PENULISAN
1.3.1 Memahami persfektif islam terhadap pernikahan yang sesuai dengan Al-
quran dan Hadist.
1.3.2 Memahami cara dalam mewujudkan keluarga yang sakinah, mawaddah,
dan warahmah.
1.3.3 Memahami cara dalam menjaga dan melanggengkan pernikahan sesuai
konsepsi islam di negara hukum seperti Indonesia.
1.4 CARA MEMPEROLEH DATA
Untuk menyusun makalah ini, penulis menggunakan metode pustaka. Penulis
mendapat dan menggunakan referensi-referensi dari literatur yang berasal dari
internet atau buku sumber seperti.
Jabir Al jazairy, Syaikh Abu Bakar. 2014. Minhajul Muslim Pedoman Hidup
Harian Seorang Muslim. Jakarta : Ummul Qura. Bab Muamalah Pasal ke-6
tentang Nikah, Talak, Ruju’, Khulu’, Li’an, Zhihar, Iddah, Nafkah, dan
Hadhanah Halaman 802.
1.5 SISTEMATIKA PENULISAN
Makalah ini terdiri dari empat bab. Bab kesatu pendahuluan mencangkup latar
belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penulisan, dan sistematika penulisan.
Bab kedua landasan teori yang mencangkup pengertian nikah, tujuan nikah, hukum
nikah, syarat dan rukun nikah, etika dan sunah nikah, khiyar (hak pilih) dalam nikah,
persiapan khitbah/nikah, perempuan yang haram dinikahi, pelaksanaan pernikahan,
hak-hak suami istri, pernikahan yang rusak, talak, khulu’, ila’, zhihar, li’an, iddah,
hikmah nikah, dan hukum perkawinan negara muslim. Bab ketiga analisis
mencangkup cara islam memandang pernikahan yang sesuai Al-quran dan Hadist,
Mewujudkan keluarga yang sakinah, mawaddah, dan warahmah, dan menjaga
kelanggengan pernikahan di negara hukum seperti Indonesia. Bab keempat
mencangkup simpulan dan saran.
2
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 PENGERTIAN NIKAH
Dalam Al-Quran ada dua kata kunci yang menunjukkan konsep pernikahan,
yaitu zawwaja dan kata derivasinya berjumlah lebih kurang dalam 20 ayat dan
nakaha dan kata derivasinya sebanyak lebih kurang dalam 17 ayat (Al-Baqi 1987:
332-333 dan 718).Yang dimaksud dengan nikah dalam konteks pembicaraan ini
adalah ikatan (aqad )perkawinan ( al – Asfihani, Tanpa Tahun : 220 dan 526).
Perlu pula dikemukakan bahwa Ibnu Jini pernah bertanya kepada Ali mengenai
arti ucapan mereka nakaha al-mar ah, Dia menjawab : “orang-orang Arab
menggunakan kata nakaha dalam konteks yang berbeda, sehingga maknanya dapat
dipisahkan secara halus, agar tidak menyebabkan kesimpangsiuran. Kalau mereka
mengatakan nakaha fulan fulanah, yang dimaksud adalah ia menjalin ikatan
perkawinan dengan seorang wanita. Akan tetapi apabila mereka mengatakan nakaha
imraatahu, yang mereka maksudkan tidak lain adalah persetubuhan (Razi, Juz VI :
59). Lebih jauh lagi al – Karkhi berkata bahwa yang dimaksud dengan nikah adalah
ikatan perkawinan, bukan persetubuhan. Dengan demikian bahwa sama sekali tidak
pernah disebutkan dalam Al-Quran kata nikah dengan arti wati’, karena Al – Quran
menggunakan kinayah. Penggunaan kinayah tersebut termasuk gaya bahasa yang
halus ( al-Sabuni, Tanpa Tahun, I : 285).
Ada beberapa definisi nikah yang dikemukakan ulama fiqh, tetapi seluruh
definisi tersebut mengandung esensi yang sama meskipun redaksionalnya berbeda.
Ulama Mazhab Syafi’i mendefinisikannya dengan “akad yang mengandung
kebolehan melakukan hubungan suami istri dengan lafal nikah/kawin atau yang
semakna dengan itu”. Sedangkan ulama Mazhab Hanafi mendefinisikannya dengan
“akad yang mempaedahkan halalnya melakukan hubungan suami istri antara seorang
lelaki dan seorang wanita selama tidak ada halangan syara’.
Definisi jumhur ulama menekankan pentingnya menyebutkan lafal yang
dipergunakan dalam akad nikah tersebut, yaitu harus lafal nikah, kawin atau yang
semakna dengan itu. Dalam definisi ulama Mazhab Hanafi, hal ini tidak diungkapkan
secara jelas, sehingga segala lafal yang mengandung makna halalnya seorang laki-
laki dan seorang wanita melakukan hubungan seksual boleh dipergunakan, seperti
lafal hibah. Yang dapat perhatian khusus bagi ulama Mazhab Hanafi, disamping
masalah kehalalan hubungan seksual, adalah tidak adanya halangan syara’ untuk
menikahi wanita tersebut. Misalnya. Wanita itu bukan mahram (mahram atau
muhrim) dan bukan pula penyembah berhala. Menurut jumhur ulama, hal-hal seperti
itu tidak dikemukakan dalam definisi mereka karena hal tersebut cukup dibicarakan
dalam persyaratan nikah.
3
Imam Muhammad Abu Zahrah (w. 1394 H/1974 M), ahli hukum Islam dari
Universitas al-Azhar, berpendapat bahwa perbedaan kedua definisi di atas tidaklah
bersifat prinsip. Yang menjadi prinsip dalam definisi tersebut adalah nikah itu
membuat seorang lelaki dan seorang wanita halal melakukan hubungan seksual.
Untuk mengkompromikan kedua definisi, Abu Zahrah mengemukakan definisi
nikah, yaitu “akad yang menjadikan halalnya hubungan seksual antara seorang lelaki
dan seorang wanita, saling tolong menolong di antara keduanya serta menimbulkan
hak dan kewajiban di antara keduanya”. Hak dan kewajiban yang dimaksudkan Abu
Zahrah adalah hak dan kewajiban yang datangnya dari asy-Syar’I-Allah SWT dan
Rasul-Nya ( Tim,1996, 4: 1329).
2.2 TUJUAN NIKAH
Salah satu ayat yang biasanya dikutip dan dijadikan sebagai dasar untuk
menjelaskan tujuan pernikahan dalam Al -Quran adalah (artinya ) “Dan di antara
tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu
sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya
di antaramu rasa kasih sayang …” (Q.S.30:21 ).
Berdasarkan ayat di atas jelas bahwa Islam menginginkan pasangan suami istri
yang telah membina suatu rumah tangga melalui akad nikah tersebut bersifat
langgeng. Terjalin keharmonisan di antara suami istri yang saling mengasihi dan
menyayangi itu sehingga masing-masing pihak merasa damai dalam rumah
tangganya.
Rumah tangga seperti inilah yang diinginkan Islam, yakni rumah tangga
sakinah, sebagaimana disyaratkan Allah SWT dalam surat ar-Rum (30) ayat 21 di
atas. Ada tiga kata kunci yang disampaikan oleh Allah dala ayat tersebut, dikaitkan
dengan kehidupan rumah tangga yang ideal menurut Islam , yaitu sakinah (as-
sakinah), mawadah (al-mawaddah), dan rahmat (ar-rahmah). Ulama tafsir
menyatakan bahwa as-sakinah adalah suasana damai yang melingkupi rumah tangga
yang bersangkutan; masing-masing pihak menjalankan perintah Allah SWT dengan
tekun, saling menghormati, dan saling toleransi.
Dari suasana as-sakinah tersebut akan muncul rasa saling mengasihi dan
menyayangi (al -mawadah), sehingga rasa tanggung jawab kedua belah pihak
semakin tinggi. Selanjutnya, para mufasir mengatakan bahwa dari as-sakinah dan al-
mawadah inilah nanti muncul ar-rahmah, yaitu keturunan yang sehat dan penuh
berkat dari Allah SWT, sekaligus sebagai pencurahan rasa cinta dan kasih suami istri
dan anak -anak mereka ( Al-Qurtubi,1387, XIV: 16-17 dan Al-Qasimi, Tanpa Tahun,
XIII : 171-172).
4
2.3 HUKUM NIKAH
Hukum menikah dalam islam adalah sunah muakad, tetapi bisa berubah sesuai
dengan kondisi dan niat seseorang. Jika seseorang menikah dengan diniatkan sebagai
usaha untuk menjauhi dari perzinahan, hukumnya sunah. Akan tetapi, jika diniatkan
untuk sesuatu yang buruk, hukumnya menjadi makruh, bahkan haram.
Salah satu ayal alquran yang berisi perintah menikah yaitu sebagai berikut
yang artinya : "Dan diantara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan
pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa
tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan di antaramu rasa kasih dan sayang.
Sungguh, pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum
yang berpikir". (Q.S. Ar-Rum, 30:21).
2.4 SYARAT DAN RUKUN NIKAH
Syarat syarat nikah yaitu sebagai berikut.
1. Calon suami telah balig dan berakal.
2. Calon istri yang halal dinikahi.
3. Lafal ijab dan kabul harus bersifat selamanya.
Ijab artinya mengemukakan atau menyatakan suatu perkataan. Kabul artinya
menerima. Jadi, ijab kabul artinya seseorang menyatakan sesuatu kepada lawan
bicaranya, kemudian lawan bicaranya menyatakan menerima.
Dalam pernikahan, yang dimaksud dengan ijab kabul adalah seorang wali atau
wakil dari mempelai perempuan mengemukakan kepada calon suami anak
perempuannya/perempuan yang dibawah perwaliannya, untuk menikahkannya
dengan lelaki yang mengambil perempuan tersebut sebagai istrinya. Lalu lelaki yang
bersangkutan menyatakan menerima pernikahannya itu.
Diriwayatkan dalam sebuah hadis bahwa: Sahl bin Said berkata, seorang
perempuan datang kepada Nabi saw. untuk menyerahkan dirinya, dia berkata, "Saya
serahkan diriku kepadamu." Lalu ia berdiri lama sekali (untuk menanti). Kemudian
seorang laki-laki berdiri dan berkata, "Wahai Rasulullah kawinkanlah saya
dengannya jika engkau tidak berhajat kepadanya." Lalu Rasulullah saw. bersabda
"Aku kawinkan engkau kepadanya dengan mahar yang ada padamu." (H.R. Bukhari
dan Muslim).
Hadis Sahl tersebut menerangkan bahwa Rasulullah saw. telah mengijabkan
seorang perempuan kepada Sahl dengan mahar atau maskawinnya ayat alquran dan
Sahl menerimanya.
4. Dua orang saksi.
5
Menurut jumhur ulama, akad nikah minimal dihadiri oleh dua orang saksi.
Saksi dalam akad nikah harus memenuhi syarat-syarat berikut.
- Cakap bertindak secara hukum (balig dan berakal).
- Minimal dua orang.
- Laki-laki.
- Merdeka.
- Orang yang adil.
- Muslim.
- Dapat melihat (menurut ulama mazhab Syafii).
5. Adanya wali.
Dari Abu Musa r.a., Nabi saw. bersabda, "Tidaklah salahsatu pernikahan tanpa
wali." (H.R. Abu Dawud dan disahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam sahih Sunan
Abu Dawud no. 1.836). Wali yang mendapat prioritas pertama di antara sekalain
wali-wali yang ada adalah ayah dari pengantin wanita. Kalau tidak ada barulah
kakeknya (ayahnya ayah), kemudian saudara lelaki seayah seibu atau seayah,
kemudian anak saudara lelaki. Sesudah itu barulah kerabat-kerabat terdekat yang
lainnya atau hakim.
Wali nikah harus memiliki syarat-syarat tertentu. Syarat wali nikah tersebut
adalah antara lain sebagai berikut.
- Laki-laki.
- Balig dan berakal sehat.
- Beragama islam.
- Merdeka.
- Memiliki hak perwalian.
- Tidak ada halangan untuk menjadi wali.
- Adil
6. Mahar
Mahar ialah sesuatu yang diberikan calon suami kepada calon istri untuk
menghalalkan menikmatinya, dan hukum mahar adalah wajib berdasarkan dalil-dalil
berikut. “Dan berikanlah mahar kepada wanita (yang kalian nikahi) sebagai
pemberian dengan penuh kerelaan” (Q.S. An-Nisa : 4). “Carilah mahar kendati cuma
cincin dari besi” (Muttafaq Alaih).
Ketentuan Mahar :
1) Mahar disunahkan ringan. “Wanita yang paling besar berkahnya ialah
wanita yang paling mudah (murah) maharnya” (HR. Ahmad dan Al-
Hakim).
6
2) Disunahkan agar mahar disebutkan pada saat akad.
3) Mahar boleh dengan sesuatu yang mubah yang harganya lebih dari
seperempat dinar.
4) Mahar boleh dibayar kontan pada saat akad nikah, atau ditunda, atau
sebagiannya saja yang ditunda.
5) Mahar menjadi tanggungan suami pada saat akad dan menjadi wajib ketika
suami menggauli istrinya.
6) Jika suami meninggal dunia sebelum menggauli istrinya dan setelah akad,
maka istri berhak mewarisinya dan mendapatkan maharnya secara utuh,
karena Rasulullah memutuskan demikian. Hal ini berlaku jika maharnya
telah ditentukan. Jika maharnya belum ditentukan, maka istri mendapatkan
mahar mistl (mahar sebesar mahar wanita yang sekufu dengannya) dan ia
harus menjalani masa iddah sepeninggalan suaminya.
2.5 ETIKA DAN SUNAH NIKAH
1. Khotbah
Rasulullah Saw. Pernah bersabda “Jika salah seorang dari kalian ingin
berkhotbah untuk salah satu keperluan pernihkahan, atau keperluan lainya,
hendaklah ia berkata segala puji bagi Allah dst” (HR. At Tirmidzi).
2. Walimah
Hal ini didasarkan pada sabda Rasulullah Saw. kepada Abdurrahman bin Auf
setelah menikah. “Adakanlah walimah kendati dengan satu kambing” (HR. Al-
Bukhari).
3. Pengumuman Nikah
Yang diumumkannya pernikahan dengan rebana, atau nyanyian yang
diperbolehkan, karena Rasulullah Saw. bersabda “Pembeda antara yang halal
dan yang haram ialah rebana dan suara” (HR. At-Tirmidzi).
4. Do’a
Yaitu doa untuk kedua mempelai, karena Abu Hurairah berkata, Rasulullah
adalah manusia yang paling lembut. Jika ada orang yang menikah, beliau
berkata “Semoga Allah memberi keberkahan kepadamu, baik pada waktu suka
dan duka, dan mengumpulkan kalian berdua dalam kebaikan” (HR. At-
Tirmidzi).
5. Menggauli istri untuk pertama kali pada bulan syawal
6. Memegang ubun-ubun istri
7. Berdoa sebelum berhubungan badan
8. Tidak boleh menceritakan perihal hubungan seksual
7
2.6 KHIYAR (HAK PILIH) DALAM NIKAH
Masing-masing suami istri mempunyai khiyar (hak pilih) untuk tetap menjaga
keutuhan pernikahan, atau membatalkannya karena beberapa sebab :
1. Istri mempunyai kekurangan, misalnya gila, atau menderita sakit kusta, atau
sakit di kemaluan yang menghilangkan kenikmatan berhubungan badan
dengannya, atau suami telah mengebiri dirinya, atau gila, atau menderita
impotensi sehingga dia tidak bisa menggauli atau memuaskan istrinya.
2. Terdapat ketidakjelasan, misalnya seorang muslim menikahi wanita muslimah
kemudian terbukti bahwa wanita tersebut adalah wanita Ahlul Kitab, atau
seorang muslim menikahi wanita merdeka kemudian terbukti ternyata ia budak,
atau seorang muslim menikahi wanita sehat tapi kemudian tersebut terbukti
bahwa ia sakit; buta sebelah atau pincang.
3. Suami tidak mampu menyerahkan mahar secara kontan.
4. Suami tidak bisa memberikan nafkah.
5. Jika suami pergi, tidak diketahui domisilinya, tidak meninggalkan nafkah
untuk istrinya, tidak mewariskan seseorang untuk menafkahi istrinya, tidak ada
orang lain yang menafkahi istrinya, dan istri tersebut tidak mempunyai sesuatu
apapun untuk menafkahi dirinya atau mencari suaminya, maka ia berhak
membatalkan pernikahan melalui hakim agama.
6. Merdeka setelah menjadi budak.
2.7 PERSIAPAN KHITBAH/NIKAH
Usaha untuk menciptakan keluarga sakinah dilakukan mulai dari pencarian dan
penetapan calon pasangan dengan pertimbangan-pertimbangan yang sesuai anjuran
Rasulullah.
Kriteria mencari calon pasangan yang dianjurkan Rasulullah, diungkapkan
dalam hadits berikut :
“Perempuan dinikah karena empat hal: Karena cantiknya, hartanya,
keturunannya, dan agamanya. Pilihlah karena agamanya, niscaya engkau mendapat
keuntungan. (HR. Bukhari dan Muslim)
Faktor agama sangat penting dan menentukan tercapainya keluarga sakinah, karena :
1. Suami-istri yang beragama akan sama-sama memiliki aturan dan rujukan yang
sama. Jika terjadi perselisihan mereka akan merujuk kepada nilai-nilai yang
dipegang bersama.
2. Perkawinan akan langgeng dan tentram jika terdapat kesesuaian pandangan
hidup antara suami dengan istri.
8
3. Seorang muslim diharamkan oleh syariat Islam untuk menikah dengan non-
muslim. Al-Quran mengisyaratkan agar remaja tidak terjebak pada kecantikan
atau ketampanan fisik dalam memilih calon pasangan, tetapi utamakan
agamanya, QS. Al-Baqaroh, 2: 221.
Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman.
Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun
dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan
wanita-wanita muslim) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang
mukmin lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka
mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya.
Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia
supaya mereka mengambil pelajaran. (QS. 2 : 221)
Dalam persiapan pernikahan pihak laki-laki melamar kepada pihak perempuan
yang disebut khitbah, yaitu pihak laki-laki menyatakan keinginannya untuk menikahi
seorang perempuan.
Apabila seorang perempuan telah dilamar oleh seorang laki-laki, ia diharamkan
untuk menerima lamaran laki-laki lain, sebagaimana sabda Rasul yang artinya:
“Janganlah salah seorang diantaramu meminang pinangan saudaranya, kecuali
pinangan sebelumnya meninggalkan pinangan itu atau memberikan izin kepadanya
(HR. Bukhari dan Muslim)”.
2.8 PERSIAPAN KHITBAH/NIKAH
Perempuan yang haram dinikah adalah muhrim atau mahram, yang terdiri atas :
1. Diharamkan karena keturunan
a. Ibu dan seterusnya ke atas.
b. Anak perempuan dan seterusnya ke bawah
c. Saudara perempuan sekandung, seayah atau seibu
d. Bibi (saudara ibu, baik sekandung atau perantaraan ayah atau ibu)
e. Bibi (saudara ayah baik sekandung atau dengan perantaraan ayah atau ibu)
f. Anak perempuan dari saudara laki-laki terus ke bawah
g. Anak perempuan dari saudara perempuan terus ke bawah.
2. Diharamkan karena susuan
a. Ibu yang menyusui
b. Saudara perempuan yang mempunyai hubungan susuan
3. Diharamkan karena suatu perkawinan
9
a. Ibu istri (mertua) dan seterusnya ke atas, baik ibu dari keturunan maupun
susuan
b. Anak tiri (anak istri yang dikawin dengan suami lain), jika sudah campur
dengan ibunya.
c. Istri ayah dan seterusnya ke atas
d. Wanita-wanita yang pernah dikawini ayah, kakek sampai ke atas
e. Istri anaknya yang laki-laki (menantu) dan seterusnya.
4. Diharamkan untuk sementara
a. Pertalian nikah, yaitu perempuan yang masih berada dalam ikatan
pernikahan, sampai dicerai dan habis masa idahnya.
b. Talak bain kubra, yaitu perempuan yang ditalak dengan talak tiga, haram
dinikahi oleh bekas suaminya, kecuali telah dinikahi oleh laki-laki lain
serta telah digauli. Apabila perempuan tersebut dicerai dan habis masa
idahnya boleh dinikahi oleh bekas suaminya yang pertama.
c. Menghimpun dua perempuan bersaudara, kecuali salah satu dicerai atau
meninggal.
d. Menghimpun perempuan lebih dari empat.
e. Berlainan agama, kecuali perempuan itu masuk Islam.
2.9 PELAKSANAAN PERNIKAHAN
Pernikahan dinyatakan sah apabila terkumpul rukun-rukunnya, yaitu :
1. Calon pasangan suami-istri, yaitu laki-laki muslim dan perempuan muslimah
yang tidak diharamkan untuk menikah.
2. Wali, yaitu orang yang bertanggung jawab menikahkan pengantin perempuan,
baik wali nasab maupun wali hakim.
Urutan orang yang menjadi wali bagi perempuan adalah sebagai berikut :
a. Ayah kandung
b. Kakek dari ayah
c. Saudara laki-laki seibu seayah
d. Saudara laki-laki seayah
e. Anak laki-laki dari saudara laki-laki seibu seayah
f. Anak laki-laki dari saudara laki-laki seayah
g. Saudara laki-laki seibu seayah dari ayah
h. Saudara laki-laki seayah dari ayah
i. Anak laki-laki dari saudara laki-laki seibu seayah dari ayah.
j. Anak laki-laki dari saudara laki-laki seayah dari ayah.
10
Urutan wali-wali di atas merupakan prioritas, mereka yang lebih dekat kepada
perempuan memiliki hak untuk menikahkan perempuan itu lebih dahulu.
Wali hakim adalah wali yang diangkat untuk menikahkan perempuan yang
tidak memiliki atau karena sesuatu hal tidak mempunyai wali nasab.
3. Saksi, yaitu dua orang laki-laki dewasa yang menjadi saksi atas terjadinya
suatu pernikahan untuk menguatkan akad nikah yang terjadi dan menjadi saksi
keabsahan keturunan yang lahir dari pernikahan tersebut.
4. Mahar, yaitu pemberian dari pihak laki-laki kepada perempuan pada saat
pernikahan. Jumlah dan jenis mahar tidak ditentukan oleh ajaran Islam, tetapi
dianjurkan disesuaikan dengan kemampuan laki-laki.
5. Ijab qabul. Ijab adalah ucapan penyerahan dari wali perempuan kepada pihak
laki-laki dan qabul adalah ucapan penerimaan pihak laki-laki atas penyerahan
perempuan dari walinya.
Setelah ijab qabul dilakukan; pasangan itu sah sebagai suami istri. Masing-
masing memiliki hak dan kewajiban, yaitu suami berkewajiban memberikan nafkah
lahir batin. Sementara itu, ia pun memiliki hak mendapatkan pelayanan dan ketaatan
dari istrinya. Istri memiliki kewajiban untuk mentaati suami, mengelola nafkah, dan
mengatur tata laksana rumah tangga dengan baik.
2.10 HAK-HAK SUAMI ISTRI
a. Hak-hak istri atas suami
1. Mendafatkan nafkah, baik berupa makanan, minuman, pakaian, atau
tempat tinggal dengan cara yang baik.
2. Istimta’ atau nafkah batin. Jadi, suami wajib menggauli istrinya
kendati hanya satu kali dalam setiap bulan jika tidak mampu
memberikan layanan yang cukup baginya.
3. Menginap dirumahnya semalam dalam setiap empat malam.
4. Istri mendapat bagian adil dari suaminya jika suaminya mempunyai
istri yang lain.
5. Suami tinggal bersama istrinya pada hari pernikahannya selama
seminggu jika istrinya seorang gadis, dan selama tiga hari jika ia
janda.
6. Suami disunahkan mengizinkan istrinya merawat salah seorang dari
mahramnya, atau menyaksikan jenazah mereka yang meninggal
dunia, atau mengunjungi sanak kerabatnya jika kunjungannya tidak
merugikan bagi kemaslahatan suami.
b. Hak-hak suami atas istri
1. Istri menaati suaminya dalam hal kebaikan.
11
2. Istri mejaga harta suaminya, menjaga kehormatannya, dan tidak
keluar rumah kecuali dengan izinnya. “Wanita-wanita yang sholehah
ialah wanita-wanita yang taat kepada Allah lagi memelihara diri
ketika suaminya tidak ada” (Q.S. An-Nisa : 34)
3. Istri berpergian dengan suami jika suami menginginkan dan istri saat
akad tidak mensyaratkan untuk tidak berpergian dengannya, karena
kepergian istri bersama suami termasuk ketaatan yang diwajibkan
kepadanya.
4. Istri menyerahkan dirinya kepada suaminya kapan pun suami
meminta untuk menikmatinya (berhubungan badan), karena
menikmatinya termasuk salah satu hak suami atas istri.
5. Jika suami berada di rumah, seorang istri harus meminta izin
kepadanya jika berniat ingin berpuasa sunah.
2.11 PERNIKAHAN YANG RUSAK
1. Nikah Mut’ah, Yaitu menikah sampai batas waktu tertentu baik lama
maupun sebentar.
2. Nikah Syighar, yaitu seorang wali menikahkan putrinya dengan si fulan
dengan syarat si fulan mau menikahkan putrinya dengannya, baik
keduanya menyebutkan maharnya kepada pihak satunya atau tidak.
3. Nikah Muhallil , yaitu seorang wanita yang ditalak tiga sehingga (mantan)
suaminya diharamkan rujuk kepadanya.
4. Pernikahan orang yang sedang iham, yaitu pernikahan yang
dilangsungkan ketika ihram untuk haji atau umrah dan belum memasuki
waktu tahalul.
5. Nikah dalam masa iddah.
6. Nikah tanpa wali.
7. Menikah dengan wanita kafir selain wanita-wanita ahli kitab.
8. Menikah dengan Mahram.
2.12 TALAK (CERAI)
a) Definisi Talak
Talaq atau cerai ialah terurainya ikatan tali pernikahan dengan perkataan
yang jelas, seperti perkataan suami kepada istrinya, “Engkau aku ceraikan”
atau dengan bahasa sindiran yang disertai niat menceraikan, seperti suami
berkata kepada istrinya “Pergialah kepada keluargamu!”.
b) Hukum Talak
Talaq diperbolehkan untuk menghilangkan mudarat dari salah satu
pasangan suami istri. Hukumnya bisa wajib jika mudarat tersebut bisa
tidak bisa dihilangkan kecuali dengan talaq. Talaq juga diharamkan jika
12
mendatangkan mudarat bagi salah satu pasangan suami-istri dan tidak
menghasilkan manfaat yang lebih baik atau sebanding dengan madaratnya.
c) Macam-macam Talak
1. Talak Sunah, yaitu suami mentalak istri pada masa suci yang dalam
masa tersebut tidak digauli. Jadi, jika seorang muslim hendak
mentalak istrinya karena mudarat yang menimpa salah seorang dari
keduanya dan mudarat tersebut tidak bisa dihilangkan kecuali dengan
talak, maka ia harus menunggu istrinya haid dan suci.
2. Talak Bid’ah, yaitu suami mentalak istrinya pada waktu haid, atau
menjalani masa nifas, atau mentalaknya dalam keadaan suci dimana
pada waktu tersebut ia menggauli istrinya, atau mentalaknya dengan
talak tiga.
3. Talak Ba’in, yaitu suami pencerai tidak mempunyai hak rujuk kepada
istrinya.
4. Talak Raj’i, yaitu talak dimana suami berhak rujuk dengan istrinya
kendati istrinya tidak menghendaki.
5. Talak Sharih (jelas), yaitu talak yang tidak membutuhkan niat talak,
namun hanya membutuhkan ungkapan talak yang jelas.
6. Talak Kiasan, yaitu talak yang tidak membutuhkan niat talak, karena
ungkapan talaknya tidak jelas.
7. Talak Munajjaz dan Talak Mu’allaq, Talak Munajjaz talak yang
menjadikan istri tertalak sejak saat itu juga. Misalnya ungkapan
“Engkau telah ditalak”. Sedangkan Talak Mua’allaq ialah talak yang
dikaitkan dengan mengerjakan atau meninggalkan sesuatu.
8. Talak Takhyir dan Talak Tamlik, Talak Takhyir ialah seorang
suami berkata kepada istrinya, “Pilihlah, atau aku akan memberi
pilihan kepadamu; engkau aku bepisah denganku atau tetap
bersamaku”. Jika istri memilih talak maka ia ditalak. Talak Tamlik
ialah seorang suami berkata kepada istrinya “Aku serahkan semua
urusanmu kepadamu, dan semua masalahmu di tanganmu”. Jika ia
berkata seperti itu kepada istrinya, kemudian istrinya berkata “Kalau
begitu, aku memilih talak”. Maka talak raj’i satu jatuh pada istrinya.
9. Talak dengan wakil atau tulisan
10. Talak dengan Tahrim (Pengharaman), misalnya suami berkata
“Engkau haram bagiku”. Jika ia meniatkan talak, maka talak telah
jatuh dan jika meniatkannya Zhihar maka Zhihar telah jatuh dan ia
wajib membayar kafarat.
11. Talak Haram, Suami mentalak tiga istrinya ecara langsung.
13
2.13 KHULU’
a. Definisi Khulu’
Khulu’ ialah istri menebus diri dari suami yang tidak disukainya degan
sejumlah uang yang ia serahkan kepada suaminya agar ia bisa terlepas
darinya.
b. Hukum Khulu’
Khulu diperbolehkan jika memenuhi syarat-syaratnya.
c. Syarat-syarat Khulu’
1. Kebencian berasal dari pihak istri.
2. Istri tidak boleh menuntut khulu’ kecuali setelah mudarat telah
membesar dan ia khawatir tidak bisa menerapkan hukum-hukum
Allah terhadap dirinya, atau pada hak-hak suaminya.
3. Suami tidak boleh sengaja menganiaya istri agar istri meminta khulu’
terhadapnya
d. Ketentuan Khulu’
1. Suami disunahkan tidak mengambil tebusan melebihi nilai maharnya.
2. Jika khulu’ terjadi dengan kalimat khulu, maka wanita yang
melakukannya menjalani masa iddah sekali haid.
3. Suami yang telah di khulu’ tidak boleh kembali kepada istrinya,
karena khulu’ telah memisahkan darinya.
4. Seorang ayah boleh melakukan khulu’ mewakili putrinya yang masih
kecil jika terpaksa karena putrinya belum dewasa.
2.14 ILA’
a. Definisi Ila’
Ialah sumpah seseorang dengan nama Allah Swt. untuk tidak menggauli
istrinya selama lebih dari empat bulan.
b. Hukum Ila’
Hukumnya diperbolehkan untuk memberi pelajaran kepada istri jika
dilakukan kurang dari empat bulan.
c. Ketentuan Ila’
1. Jika masa ila’ yaitu empat bulan sudah habis, dan suami tetap tidak
mengauli istrinya, maka istrinya meminta suaminya kembali
kepadanya atau mentalaknya di depan hakim.
2. Jika suami yang mengila’ istrinya menghentikan ila’nya dan tidak
mentalaknya, maka hakim mentalaknya untuk menghindari terjadinya
madarat terhadap sang istri.
3. Jika suami yang mengila’ mentalak istrinya setelah menghentikan
ila’nya, maka itu tergantung talaknya.
14
4. Istri yang ditalak karena ila’ harus menjalani iddah sebagaimana iddah
karena talak, dan iddahnya tidak cukup hanya dengan bersih rahim
dengan adanya haid, karena bersihnya rahim bukan merupakan illah
(alasan) dari iddah semata.
5. Jika suami tidak melakukan hubungan badan dengan istrinya selama
jangka waktu ila’ maka harus dihentikan seperti suami yang
melakukan ila’. Ia harus menggauli istrinya, atau mentalaknya jika
istri memintanya.
6. Jika suami yang melakukan ila’ kembali kepada istrinya sebelum
habis sumpahnya untuk tidak akan menggaulinya, maka ia harus
membayar kafarat sumpahnya.
2.15 ZHIHAR
Ialah ucapan suami kepada istrinya, “Engkau bagiku seperti punggung ibuku”.
Hukumnya haram. Wajib membayar kafarat berupa memerdekakan budak yang
beriman atau puasa dua bulan berturut-turut, atau memberi makan 60 orang miskin
yang besarnya dua mud kurma bagi setiap orang muslim.
2.16 LI’AN
a. Definisi Li’an
Ialah tuduhan suami bahwa istrinya berzina dengan mengatakan, “Aku
melihat wanita ini berzina”. Atau tidak mengakui bayi yang dikandung
istrinya karena bukan berasal darinya, kemudian masalah ini dibawa
dihadapan hakim.
b. Hikmah Li’an
1. Melindungi kehormatan suami istri dan mejaga kemuliaan seorang
muslim.
2. Menghindarkan had qadzaf (menuduh berzina) dari suami dan had
zina dari istri
3. Sebagai sarana untuk tidak mengakui anak yang bisa jadi tidak berasal
dari pemiliknya, yaitu suami.
c. Ketentuan Li’an
1. Baligh dan berakal
2. Suami harus mengaku melihat istrinya berzina, dan dalam kasus
menolak janin di kandungn istrinya, ia harus mengaku bahwa ia sama
skali tidak menggauli istrinya, atau ia tidak menggauli istrinya dalam
jangka waktu yang menyebabkan kehamilan.
3. Hakim harus melangsungkan li’an di depan beberapa orang dari kaum
muslimin dan menggunakan kalimat yang disebutkan didalam al-
quran.
15
4. Hakim harus menasehati suami.
5. Hakim memisahkan suami istri yang telah melakukan li’an dan
keduanya tidak boleh bersatu lagi selama-lamanya.
6. Karena li’an seorang suami terhadap istrinya, maka anaknya dan
suami tersebut tidak berhak saling mewariskan dan suami tidak
berkewajiban untuk menafkahinya.
7. Anak menjadi ahli waris ibunya.
8. Jika setelah li’an suami mendustakan dirinya sendiri, maka anak yag
tadinya tidak diakui itu dinasabkan kepadanya.
2.17 IDDAH
a. Definisi Iddah
Ialah hari-hari dimana wanita yang ditalak menjalani masa penantian. Pada
masa-masa itu ia tidak boleh menikah dan tidak boleh meminta dinikahi.
Iddah hukumnya wajib.
b. Hikmah Iddah
1. Memberi kesempatan kepada suami untuk kembali kepada istrinya
tanpa kesulitan yang berarti, jika talaknya adalah talak raj’i.
2. Untuk mengetahui kekosongan rahim agar tidak terjadi pencampuran
nasab.
3. Agar istri dapat membantu keluarga suami dan setia kepada suami,
jika iddahnya adalah iddah karena suami meninggal dunia.
c. Jenis-jenis Iddah
1. Iddah wanita yang ditalak yang masih haid, yaitu tiga quru’ .
2. Iddah karena talak bagi wanita yang tidak haid lagi karena usianya
telah lanjut atau karena masih kecil adalah tiga bulan
3. Iddah wanita hamil yang di talak adalah sampai ia melahirkan bayinya
4. Iddah wanita yang haid kemudian terhenti karena sebab yang bisa
diketahui, atau karena sebab yang idak bisa diketahui. Jika
penyebabnya terhentinya bisa diketahui, misalnya karena menyusui,
atau karena sakit. Maka ia menunggu kelanjutan haidnya dan beriddah
dengannya, kendati waktunya sangat lama. Jika penyebab terhentinya
tidak diketahui, maka iddahnya adalah setahyun, yaitu sembilan bulan
iddah wanita hamil dan tiga bulan iddah wanita yang tidak haid.
5. Iddah wanita yang ditinggal suaminya adalah empat bulan sepuluh
hari bagi budak wanita.
6. Iddah wanita mustahadhah, yaitu wanita yang darahnya keluar terus.
Jika darah (haid)nya bisa dibedakan dengan darah istihadhah, atau ia
mempunyai kebiasaan rutin hadi bisa diketahui, maka iddahnya tiga
quru’.
16
7. Iddah wanita yang ditinggal suaminya dan tidak diketahui nasibnya,
apakah masih hidup atau meninggal dunia, maka ia harus menunggu
empat tahun sejak ia tidak mendapat kabar berita tentang suaminya,
kemudiaan menjalani masa iddah seperti iddah wanita yang ditinggal
mati suaminya.
2.18 HIKMAH NIKAH
Ulama fiqh mengemukakan beberapa hikmah perkawinan, yang terpenting di
antaranya adalah sebagai berikut.
1. Menyalurkan naluri seksual secara sah dan benar. Secara alami, naluri yang
sulit dibendung oleh setiap manusia dewasa adalah naluri seksual. Islam ingin
menunjukkan bahwa yang membedakan manusia dengan hewan dalam
menyalurkan naluri seksual adalah melalui perkawinan, sehingga segala
akibat negatif yang ditimbulkan oleh penyaluran seksual secara tidak benar
dapat dihindari sedini mungkin. Oleh karena itu, ulama fiqh menyatakan
bahwa pernikahan merupakan satu-satunya cara yang dimaksudkan Allah
SWT dalam firman -Nya: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah
Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu
cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu
rasa kasih sayang …” (QS.30:21). Berkaitan dengan hal itu, Rasulullah SAW
bersabda : “Wanita itu (dilihat) dari depan seperti setan (menggoda), dari
belakang juga demikian. Apabila seorang lelaki tergoda oleh seorang wanita,
maka datangilah (salurkanlah kepada) istrinya, karena hal itu akan dapat
menentramkan jiwanya” (HR. Muslim, Abu Dawud, dan at-Tirmizi).
2. Cara paling baik untuk mendapatkan anak dan mengembangkan keturunan
secara sah. Dalam kaitan ini, Rasulullah SAW bersabda: “Nikahilah wanita
yang bisa memberikan keturunan yang banyak, karena saya akan bangga
sebagai nabi yang memiliki umat yang banyak dibanding nabi-nabi lain di
akhirat kelak” (HR. Ahmad bin Hanbal).
3. Menyalurkan naluri kebapakan atau keibuan . Naluri ini berkembang secara
bertahap, sejak masa anak-anak sampai masa dewasa. Seorang manusia tidak
akan merasa sempurna bila tidak menyalurkan naluri tersebut.
4. Memupuk rasa tanggung jawab dalam rangka memelihara dan mendidik
anak, sehingga memberikan motivasi yang kuat bagi seseorang untuk
membahagiakan orang-orang yang menjadi tanggung jawab.
5. Membagi rasa tanggung jawab antara suami dan istri yang selama ini dipikul
masing-masing pihak.
17
6. Menyatukan keluarga masing-masing pihak, sehingga hubungan silaturrahmi
semakin kuat dan terbentuk keluarga baru yang lebih banyak.
7. Memperpanjang usia. Hasil penelitian masalah-masalah kependudukan yang
dilakukan Perserikatan Bangsa-bangsa pada tahun 1985 menunjukan bahwa
pasangan suami istri mempunyai kemungkinan lebih panjang umurnya dari
pada orang-orang yang tidak menikah selama hidupnya.
Oleh karen itu, ulama fiqih sepakat menyatakan bahwa untuk memulai suatu
perkawinan ada beberapa langkah yang perlu dilalui dalam upaya mencapai cita-cita
rumah tangga sakinah. Langkah-langkah itu dimulai dari peminangan (Khitbah)
calon istri oleh pihak laki-laki dan melihat calon istri; sebaliknya, pihak wanita juga
berhak melihat dan menilai calon suaminya itu dari segi keserasian (kafaah). Masih
pendahuluan perkawinan ini, menurut ulama fiqih, islam juga mengingatkan agar
wanita yang dipilih bukan orang yang haram dinikahi (mahram). Dari berbagai
rangkaian pernikahan pendahuluan ini, menurut Muhammad Zaid al -Ibyani (tokoh
fiqh dari Bagdad), Islam mengharapkan dalam perkawinan nanti tidak muncul
kendala yang akan menggoyahkan suasana as-sakinah, al-mawadah, dan ar-rahmah.
2.19 HUKUM PERKAWINAN NEGARA MUSLIM
Jika undang-undang hukum keluarga di dunia muslim yang diberlakukan pada
abad ke -20 dicermati, ternyata masalah pokok yang mendapat perhatian dalam
rangka mendukung kelanggengan kehidupan perkawinan dengan suasana sakinah,
mawaddah, dan rahmah tersebut di atas, yaitu masalah batas umur untuk kawin,
masalah peranan wali dalam nikah, masalah pendaftaran dan pencatatan perkawinan,
masalah maskawin dan biaya perkawinan, masalah poligami dan hak-hak isteri
dalam poligami, masalah nafkah isteri dan keluarga serta rumah tempat tinggal,
masalah talak dan cerai di muka pengadilan, masalah hak-hak wanita yang dicerai
suaminya, masalah masa hamil dan akibat hukumnya, masalah hak dan tanggung
jawab pemeliharaan anak setelah terjadi perceraian (Mahmood,1987:12).
2.19.1 Masalah batas umur untuk kawin.
Pasal 7 ayat (1) Undang-undang perkawinan No. 1 tahun 1974 menyatakan
bahwa perkawinan hanya diizinkan jika pria sudah mencapai umur 19 tahun dan
pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun. Sedangkan Hukum Keluarga di Mesir
menjelaskan bahwa perkawinan hanya dapat diizinkan jika laki-laki berumur 18
tahun dan wanita berumur 16 tahun, demikian juga dalam Hukum Keluarga di
Pakistan dinyatakan bahwa perkawinan dapat dilakukan jika laki-laki sudah berumur
18 tahun dan wanita berumur 16 tahun (Mahmood, 1987 :270). Batas umur kawin
untuk Indonesia di atas, jika dibandingkan dengan batas umur kawin baik di Mesir
maupun Pakistan sebenarnya sama, kecuali untuk laki-laki relatif tinggi.
18
Dalam tingkat pelaksanaan, batas umur kawin bagi wanita yang sudah rendah
itu masih belum tentu dipatuhi sepenuhnya. Untuk mendorong agar orang kawin di
atas batas umur terendahnya, sebenarnya pasal 6 ayat (2) UU No. 1 tahun 1974 telah
melakukannya dengan memberikan ketentuan bahwa untuk melaksanakan
perkawinan bagi seorang yang belum berumur 21 tahun harus mendapat izin dari
orang tua. Akan tetapi dalam kenyataan justru sering pihak orang tua sendiri yang
cenderung menggunakan batas umur terendah itu atau bahwa lebih rendah lagi. Di
Mesir, meskipun perkawinan yang dilakukan oleh orang yang belum mencapai batas
umur terendah itu sah juga, tetapi tidak boleh didaftarkan(Mudzhar,1998: 179).
Di anak benua India, pada tahun 1929 diterbitkan suatu undang-undang untuk
mencegah perkawinan anak di bawah umur (Child Marriage Restraint Act, 1929).
Undang-undang ini menetapkan larangan mengawinkan anak perempuan sebelum
mencapai usia 14 tahun dan anak lelaki sebelum mencapai usia 16 tahun. Undang-
undang ini juga menetapkan sanksi hukuman atas pelanggaran ketentuan -ketentuannya.
Pencegahan perkawinan anak di bawah umur yang belum mencapai usia tersebut di anak
benua India dipertegas dengan memberikan khiyar fasakh setelah dewasa kepada anak di
bawah umur itu baik yang lelaki maupun perempuan apabila mereka dikawinkan oleh
wali mereka sebelum mencapai usia tersebut di atas (Siraj,1993:107).
Tidak diragukan bahwa pemerataan pendidikan, kondisi sosial ekonomi dan
bentuk-bentuk pengarahan masyarakat memberi andil dalam mengurangi keinginan
untuk melakukan perkawinan di bawah umur di Mesir dan Pakistan. Akan tetapi
beberapa lingkungan sosial tertentu masih melakukan perkawinan seperti itu karena
pertimbangan-pertimbangan dan kepentingan-kepentingan yang mereka asumsikan.
Untuk memenuhi ketentuan-ketentuan guna mendapatkan perlindungan hukum
mereka cukup pergi ke dokter untuk memperoleh surat keterangan bahwa anak-anak
tersebut telah mencapai usia yang dikehendaki oleh hukum (Siraj,1993:107).
2.19.2 Masalah pencatatan perkawinan.
Masalah pencatatan nikah ini menempati terdepan dalam pemikiran fiqh
modern, mengingat banyaknya masalah praktis yang timbul dari tidak dicatatnya
perkawinan yang berhubungan dengan soal-soal penting seperti asal-usul anak,
kewarisan dan nafkah. Timbulnya penertiban administrasi modern dalam kaitan ini
telah membawa kemudahan pencatatan akad dan transaksi –tarnsaksi yang berkaitan
dengan barang-barang tak bergerak dan perusahaan. Tidak ada kemuskilan bagi
seseorang untuk memahami sisi kemaslahatan dalam pencatatan nikah, akad dan
transaksi-transaksi ini ( Siraj,1993:105).
Pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan No.1 tahun 1974 menyatakan bahwa tiap-tiap
perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Meskipun
Ulama Indonesia umumnya setuju atas ayat tersebut dan tidak ada reaksi terbuka
tasanya, tetapi karena persyaratan pencatatan di atas tidak disebut dalam kitab-kitab
19
fiqh, dalam pelaksanaannya masyarakat muslim Indonesia masih mendua. Misalnya,
masih ada orang yang mempertanyakan apakah perkawinan yang tidak dicatatkan itu
dari segi agama lalu tidak menjadi tidak sah. Kecenderungan jawabannya ialah
bahwa kalau semua rukun dan syarat perkawinan sebagaimana dikehendaki dalam
kitab fiqh sudah terpenuhi, suatu perkawinan itu tetap sah. Sebagai akibatnya ialah
banyak orang yang melakukan kawin di bawah tangan di Indonesia. Apalagi jika
perkawinan itu merupakan perkawinan kedua dan ketiga, kecenderungan untuk
kawin di bawah tangan semakin kuat lagi. Pada waktunya keadaan ini dapat
mengacaukan proses-proses hukum yang akan terjadi berikutnya atau mengacaukan
hak-hak hukum anak yang dihasilkannya. Seharunsnya dipahami bahwa keharusan
pencatatan perkawinan adalah bentuk baru dan resmi dari perintah Nabi Muhammad
SAW agar mengumumkan atau mengiklankan nikah meskipun dengan memotong
seekor kambing (Mudzhar,1998 : 180-181).
Usaha untuk menetapkan pencatatan perkawinan di Mesir dimulai dengan
terbitnya Ordonansi Tahun 1880 yang berisi ketentuan-ketentuan yang berkaitan
dengan pegawai-pegawai pencatat nikah dan dasar-dasar pemilihan dan
pengangkatan mereka serta menyerahkan pelaksanaan pencatatan nikah itu kepada
Kemauan para pihak yang berakad dan pertimbangan kepentingan mereka.
Ordonansi Tahun 1880 itu didikuti dengan lahirnya Ordonansi Tahun 1897 yang
pasal 31-nya menyatakan bahwa gugatan perkara nikah atau pengakuan adanya
hubungan perkawinan tidak akan didengar oleh pengadilan setelah meninggalnya
salah satu pihak apabila tidak dibuktikan dengan suatu dokumen yang bebas dari
dugaan pemalsuan. Sedangkan di Pakistan telah timbul pemikiran tentang kewajiban
mencatatkan perkawinan dengan ditetapkannya suatu ketentuan yang termuat dalam
pasal 5 Ordonansi Hukum Keluarga Islam Tahun 1961 (Muslim Family Laws
Ordinance,1961). Dalam pasal ini ditegaskan bahwa yang berwenang mengangkat
pejabat-pejabat pencatat nikah dan mengizinkan mereka untuk melakukan pencatatan
akad nikah adalah Majelis Keluarga(Union Council) dan bahwa majelis ini memberi
izin untuk melakukan pekerjaan tersebut hanya kepada satu orang pada setiap daerah
tertentu. Sesuai dengan pasal tersebut, perkawinan yang tidak dicatat tidaklah
dianggap batal. Hanya saja para pihak berakad dan saksi yang melanggar ketentuan
ordonansi itu dapat dihukum karena tidak mencatatkan nikah itu, dengan hukuman
penjara selama-lamanya tiga bulan dan hukuman denda setinggi-tingginya seribu
rupiah. Ketentuan hukuman ini sama sekali tidaklah bertentangan dengan dengan
asas-asas pemikiran hukum pidana Islam, yang justru memberi hak kepada penguasa
untuk memberikan hukuman ta’zir bila diperlukan guna mempertahankan
kepentingan-kepentingan yang dikehendaki oleh syara’ (Siraj,1993:106).
Dari tiga negara tersebut terdapat kesamaan pandangan tentang perlunya akad
nikah diaktakan. Pentingnya diaktakan akad perkawinan di atas karena menyangkut
20
persoalan asal-usul anak, kewarisan dan nafkah. Akan tetapi tiga negara di atas
belum sampai kepada sikap dan pandangan bahwa pencatatan nikah termasuk rukun
baru dari akad nikah. Hal ini dapat dilihat dari masih dianggap sah suatu pernikahan
yang tidak dicatat.
Keharusan pencatatan perkawinan di atas seharusnya dipahami sebagai bentuk
baru dan resmi dari perintah Nabi Muhammad SAW agar mengumumkan atau
menmgiklankan nikah meskipun dengan memotong seekor kambing. Dalam
masyarakat kesukuan yang kecil dan tertutup seperti di Hijaz dahulu, dengan pesta
memotong hewan memang sudah cukup sebagai pengumuan resmi. Akan tetapi
dalam masyarakat yang kompleks dan penuh dengan formalitas seperti zaman
sekarang ini, pesta dengan memotong seekor kambing saja tidak cukup melainkan
harus didokumentasikan secara resmi pada kantor yang bertugas mengurusi hal itu.
Karena itu mungkin kewajiban pencatatan ini dapat dipikirkan untuk menjadi
tambahan rukun nikah dalam kitab fiqh baru nanti (Mudzhar,1998 :180-181).
Di samping itu, ada pula argumen lain yang mendukung pentingnya pencatatan
perkawinan itu dilakukan dengan berpedoman pada ayat Alquran yang menyatakan
bahwa dalam melakukan transaksi penting seperti hutang-piutang hendaknya selalu
dicatatkan (Q.S. 2 : 282). Tidak syak lagi bahwa perkawinan adalah suatu transaksi
penting (Mudzhar,1999 : 112).
2.19.3 Masalah cerai di depan pengadilan
Pasal 39 ayat (1) UU Perkawinan No. 1 tahun 1974 menyatakan bahwa
perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan
yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.
Aturan ini berbeda dengan kitab-kitab fiqh klasik yang menyatakan bahwa talak
dapat terjadi dengan pernyataan sepihak dari suami, baik secara lisan maupun
tertulis, secara bersungguh-sungguh atau bersenda gurau (Mudzhar,1999:116).
Di Pakistan, menurut UU tahun 1961 dinyatakan bahwa seorang suami masih
dapat menjatuhkan talak secara sepihak di luar pengadilan, tetapi segera setelah itu ia
diwajibkan melaporkannya kepada pejabat pencatat perceraian yang kemudian akan
membentuk Dewan Hakam (Arbitrasi) untuk menengahi dan mendamaikan kembali
pasangan suami isteri itu. Jika setelah 90 hari usaha perdamaian itu gagal, talak itu
berlaku.
Di Mesir sampai terbitnya Undang-Undang Tahun 1979 tentang beberapa
ketentuan hukum keluarga menghendaki dibatasinya hak talak suami dengan cara
mewajibkannya mencatatkan talak pada waktu dijatuhkan dan memberitahukan
kepada isterinya. Jika tidak, ia dapat dikenai hukuman kurungan selama-lamanya
enam bulan dan denda sebanyak-banyaknya dua ratus pound, dan talak hanya
menimbulkan akibat hukum sejak dari tanggal diketahuinya oleh isteri. Undang-
21
undang itu juga menetapkan untuk janda yang ditalak setelah dicampuri suatu
pemberianmutah yang besarnya sama dengan nafkah selama dua tahun
(Mahmood,1987: 31-32).
Di Indonesia dengan keharusan mengucapkan talak di depan sidang
pengadilan, praktis konsep talak tiga yang dijatuhkan sekaligus juga tidak berlaku
lagi. Demikian juga di Mesir. Semua pengaturan ini dilakukan untuk melindungi
hak-hak wanita (Mudzhar,1999:116).
2.19.4 Poligami
Pasal 3 ayat (1) dan (2) UU Perkawinan No. 1 tahun 1974 menyatakan bahwa
pada dasarnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai
seorang isteri. Juga seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami.
Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari
seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Kemudian dalam
PP No.9 tahun 1975 pasal 40 dinyatakan bahwa apabila seorang suami bermaksud
untuk beristeri lebih dari satu, ia wajib mengajukan permohonan secara tertulis
kepada pengadilan. Ketentuan-ketentuan tersebut pada dasarnya mempersulit
terjadinya poligami, bahkan bagi pegawai negeri berdasarkan PP No. 10 tahun 1983
poligami praktis dilarang.
Ketentuan-ketentuan Ordonansi Mesir tahun 1929 yang memberi wanita hak
minta pemutusan hubungan perkawinan karena adanya kesakitan secara umum.
Orientasi ini ternyata diterima oleh pihak-pihak yang bersengketa mengenai
poligami. Akan tetapi kemudian terbit Undang-Undang Tahun 1979 yang membawa
ketentuan-ketentuan baru mengenai poligami. Dalam pasal 6
Undang-undang tersebut ditegaskan dua hal, yaitu pencatat nikah wajib
memberi tahu isteri terdahulu tentang perkawinan kedua suaminya apabila
perkawinan tersebut dilakukan oleh suaminya itu, dan dianggap menyakiti isteri
adanya wanita lain yang mendampingi suaminya tanpa persetujuannya, meskipun
pada waktu dilakukan akad nikahnya dahulu ia tidak mensyaratkan kepada suaminya
agar tidak memadunya. Demikian pula suami merahasiakan terhadap isterinya yang
baru bahwa ia berada dalam ikatan perkawinan dengan orang lain, dan hak isteri
untuk minta pemutusan perkawinan gugur dengan lewatnya waktu satu tahun sejak ia
mengetahui adanya sebab yang menimbulkan kesakitan itu yaitu poligami) selama ia
tidak setuju terhadap hal itu yang dinyatakan secara tegas atau diam-diam (
Mahmood,1987: 273-274).
Di Mesir poligami itu sendiri dianggap sebagai menyakiti isteri sehingga
memberinya hak untuk meminta pemutusan perkawinan selama ia tidak setuju atau
belum lewat waktu satuy tahjun sejak ia mengetahui kejadian pernikahan suaminya
dengan wanita lain. Hal ini berbeda dengan keadaan sebelumnya hak minta
22
pemutusan perkawinan itu diberikan kepada isteri apabila dengan poligami itu
terbukti adanya kesakitan yang dialami isteri (Siraj,1993 : 108-109).
Hukum Pakistan mengikuti garis perkembangan yang sama dalam masalah
poligami. Dalam Undang-Undang Pemutusan Perkawinan Islam Tahun 1939
dinyatakan bahwa wanita berhak minta pemutusan perkawinan apabila terbukti ia
mendapat kesakitan karena poligami. Kemudian diterima pandangan yang membatasi
poligami, akan tetapi dilakukan dengan cara yang berbeda dengan cara yang diambil
oleh hukum Mesir. Ordonansi Pakistan Tahun 1961 menyatakan wajibnya seorang
yang ingin melakukan poligami memperoleh persetujuan majelis keluarga yang akan
mengangkat suatu badan arbitrasi yang mencakup wakil isteri , dan badan arbitrasi
ini tidak akan mengeluarkan persetujuan sang suami mengambil satu isteri lagi
sebelum ia yakin betul terhadap keadilan dan perlunya suami kawin lagi. Pasal 6
Ordonansi Pakistan Tahun 1961 itu menetapkan bahwa suami yang melakukan
perkawinan kedua dengan wanita lain tanpa memperoleh persetujuan tersebut, dapat
dikenakan hukuman penjara selam-lamanya satu tahun dan denda sebanyak-
banyaknya lima ribu rupiah, dan isteri terdahulu memperoleh hak atas talak
(Mahmood,1987:245-246).
Dari sudut pandangan fuqaha modern, dengan menetapkan hukuman seperti itu
atas semata -mata poligami, ordonansi tersebut telah sampai pada batas pelanggaran
terhadap filsafat fiqh yang menegaskan bahwa tidak ada hukuman dalam melakukan
perbuatan yang dibenarkan syara’(Siraj,1993:109).
Di dunia muslim pada umumnya kecenderungannya adalah sama yaitu
membatasi terjadinya poligami dan pembatasan itu bervariasi bentuknya dari cara
yang paling lunak sampai paling tegas. Cara lain bagi pembatasan polgami adalah
dengan pembuatan perjanjian. Isteri diberi hak untuk meminta suami ketika
melangsungkan perkawinan agar membuat perjanjian bahwa jika ia ternyata nanti
nikah lagi dengan wanita lain, si isteri dapat langsung meminta cerai kepada
pengadilan atau dengan sendirinya jatuh talak satu apabila yang melanggar itu
Pihak isteri (Mudzhar,1999:117). Munculnya berbagai peraturan perundang-
undangan di negara-negara muslim tersebut, terutama dalam bidang pernikahan,
hendaklah dipahami sebagai langkah dan cara untuk mempertahankan kelanggengan
kehidupan keluarga yang dicita-citakan Islam.
23
BAB III
ANALISIS
3.1 ISLAM MEMANDANG PERNIKAHAN YANG SESUAI AL-QURAN
DAN HADIST
Setiap agama memiliki budaya/ritual dalam proses pernikahan yang telah
mengakar secara turun temurun diwariskan kepada generasi baru. Tetapi dalam
agama islam mengajarkan bahwa proses menikah itu harus sesuai dengan tuntunan
Al-quran dan As-sunnah. Fitrah sebagai manusia menikah menjadi sebuah kebutuhan
yang harus dipenuhi yang dengannya kita bisa meraih ketenangan dan ketentraman
dalam hidup.
Sumber : https://tafsirq.com/30-ar-rum/ayat-21.
Perlu diketahui berdasarkan surat Ar-Rum Ayat 21 bahwa tanda-tanda
kekuasaan Allah di tunjukan dengan penciptaan laki-laki dan perempuan yang saling
berpasangan juga berasal dari spesies (baca : manusia) yang sejenis/segolongan.
Akhir-akhir ini sekitar bulan Februari 2016, Indonesia dibumingkan dengan kasus
LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender), apabila kita tengok hadist nabi
sebagai berikut.
“Akan terjadi pada akhir zaman ini ketika mendekati terjadinya kiamat
berbagai peristiwa. Diantaranya seorang laki-laki mengawini laki-laki, yang
hal itu termasuk hal yang diharamkan Allah dan Rasul-Nya serta dibenci
Allah dan Rasul-Nya. Dan diantaranya juga seorang wanita mengawini
wanita, yang hal itu termasuk, yang diharamkan Allah dan Rasul-Nya serta
dibenci Allah dan Rasul-Nya. Tidak ada sholat bagi mereka selama mereka
24
mengerjakan hal itu, hingga bertobat kepada Allah dengan tobat yang
sebenar-benarnya.” (HR. Al-Baihaqi, Ad-Daruquthni, dan Ibnu Najar).
MasyaAllah, apa yang tengah kita lakukan hari ini segalanya telah
tergambarkan dalam Nubuwwah Rasulullah Saw.. Pada dasarnya fitrah manusia itu
berpasangan. Laki-laki dengan perempuan. Bahkan kekuasaan Allah pun
berpasangan seperti siang dan malam, langit dan bumi dsb. LGBT bagi umat Islam
bukan lagi pelanggaran Hak Asasi Manusia melainkan pelanggaran Fitrah Manusia.
Tujuan dari pernikahan selain memenuhi kebutuhan biologis melainkan
menjadi sarana untuk mendapatkan ketentraman dan kasih sayang dari Allah Swt..
Tentu saja, sebagai seorang muslim wajib bagi kita untuk mempelajari fiqih
munakahat sebagai bekal sebelum menjelang pernikahan. Segala proses dan aktivitas
dalam khitbah dan pernikahan harus didasarkan pada tuntunan firman-firman Allah
dan Sabda-sabda Rasul. Seperti : pemahaman terhadap pengertian, fungsi, dan tujuan
menikah berdasarkan surat Ar-rum ayat 21; memahami hukum, syarat dan rukun
nikah; memahami etika dan sunah nikah dan memahami hal-hal apa saja yang dapat
menguatkan dalam kehidupan rumah tangga serta hal-hal yang dapat menyebabkan
keretakan dalam rumah tangga.
3.2 MEWUJUDKAN KELUARGA YANG SAKINAH, MAWADDAH, DAN
WARAHMAH
Keluarga dan keturunan islami yang ideal menjadi dambaan bagi seluruh kaum
muslim. Sakinah berarti kedamaian, ketentraman, ketenangan, dan kebahagiaan.
Mawaddah artinya cinta atau harapan. Sedangkan warahmah artinya kasih sayang.
Kunci dari pada membentuk keluarga yang sakinah mawaddah warahmah adalah
sebagai berikut.
1. Taat kepada Allah dan Rasul
Bagian ini mendapat prioritas tertinggi yang sangat penting, suami istri
bersama sama untuk menyeru beribadah kepada Allah seperti sholat wajib,
sholat sunah, puasa, zakat, dsb yang sesuai dengan syariat Nabi
Muhammad Saw.
2. Memahami Hak Suami Istri
Point ini penting karena setiap orang baik suami maupun istri harus
mengetahui posisi/peran diri dalam berumah tangga. Sehingga tidak terjadi
penyimpangan-penyimpangan dalam masalah hak dan kewajiban seorang
istri atau suami. Seorang suami mesti membimbing istrinya dan istri taat
terhadap suaminya.
3. Saling mengingatkan dalam kesabaran dan ketaatan
Sebagaimana Allah Swt berfirman dalam surat Al-Asr, saling
mengingatkan dalam ketaatan dan kesabaran kepada Allah akan
25
mewujudkan keluarga yang harmonis. Dapat menguatkan satu sama lain,
peran berbagi satu sama lain dalam setiap permasalahan untuk dicarikan
solusi yang terbaik.
4. Saling percaya dan tidak berburuk sangka.
5. Saling menjaga kehormatan dan harga diri.
6. Bersifat sopan, lemah lembut, dan selalu tersenyum.
3.3 MENJAGA KELANGGENGAN PERNIKAHAN DI NEGARA HUKUM
SEPERTI INDONESIA
Kaum muslim yang terlahir di negara hukum wajib mematuhi hukum tersebut
selama hukum di suatu negara tidak bertentangan dengan Al-quran dan Al-Hadist.
Misalnya, pernikahan melalui agama dan negara. Hal tersebut menunjukan sinergi
antara agama sebagai principle of live dengan negara tempat kita hidup. Keduanya
mesti dilakukan karena apabila pernikahan dilangsungkan hanya melalui agama
tanpa negara maka tidak akan mendapat catatan nikah dari pernikahan tersebut. Hal
tersebut menjadi penting sebagai bukti pernikahan. Agar dikemudian hari tidak
terjadi masalah status anak, pewarisan harta, dan kebutuhan-kebutuhan lain yang di
tetapkan oleh negara. Demi tercapainya kelanggengan pernikahan di suatu negara
hukum seperti indonesia maka seyoganya kaum muslim tetap menjalankan syariat
islam dengan tetap pula memperhatikan aspek-aspek yang telah negara tetapkan
dalam hal ini adalah aturan dalam pernikahan.
26
BAB IV
SIMPULAN DAN SARAN
4.1 SIMPULAN
Nikah adalah ikatan perkawinan yang suci sesuai syariat islam antara laki-laki
dan perempuan yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan biologis sesuai dengan
fitrah manusia, tetapi tujuan yang lebih besar adalah sebagai sarana untuk
mendapatkan ketenangan, ketentraman, dan kebahagiaan dari Allah Swt. yang sesuai
tuntunan Al-Quran dan Al-Hadist. Hukum menikah ada yang mewajibkan apabila
sudah siap baik fisik, mental, jiwa, raga, dan hartanya. Hukumnya sunah apabila
memiliki niat memelihara diri dari perbuatan dosa. Rukun nikah terdiri dari wali, dua
orang saksi, shigat akad nikah, dan mahar. Apabila dari salah satu rukun tersebut
tidak terpenuhi, maka nikahnya menjadi batal. Adapun sunah-sunah nikah seperti
khutbah, doa, walimahan, pengumuman nikah, dsb menjadi bagian yang mesti
diperhatikan juga, karena melaksanakan sunah berarti mengikuti Rasulullah Saw..
Nikah yang Allah ridhai adalah nikah yang sesuai tuntunan Al-quran dan Al-
hadist, tidak lebih atau pun kurang. InsyaAllah, apabila kita mengikuti kedua sumber
tersebut maka dapat dipastikan keluarga yang dibangun menjadi keluarga yang
islami. Terciptanya kasih sayang dalam kehangatan dan keharmonisan dalam
berkeluaga. Tentunya kata Sakinah, Mawaddah, Warahmah tidak menjadi sekedar
kata maupun doa. Tetapi benar-benar terimplementasikan dalam kehidupan sehari-
hari.
4.2 SARAN
1. Lakukan sharing yang instensif dengan ulama, dosen PAI, dan orang-
orang ahli ilmu agama.
2. Memperluas referensi dari berbagai kitab yang membahas mengenai fiqih
munakahat.
3. Diskusi dengan orang yang sudah menikah (berpengalaman).
4. Menambah pengetahuan dasar melalui kajian seperti parenting.
27
DAFTAR PUSTAKA
Jabir Al jazairy, Syaikh Abu Bakar. 2014. Minhajul Muslim Pedoman Hidup Harian
Seorang Muslim. Jakarta : Ummul Qura. Bab Muamalah Pasal ke-6 tentang
Nikah, Talak, Ruju’, Khulu’, Li’an, Zhihar, Iddah, Nafkah, dan Hadhanah
Halaman 802.
Hidayat, Nurul. 2013. “Munakahat”.
http://fatih16.blogspot.co.id/2013/06/pernikahan-dalam-islam.html. [20
Februari 2017].
Nanda, Refsa. 2017. “Nikah : Pengertian, Hukum, Rukun, dan Syarat Nikah”.
http://www.materikelas.com/2015/09/nikah-pengertian-hukum-rukun-dan-
syarat.html. [20 Februari 2017].
26

More Related Content

What's hot

Perilaku menghindarkan diri dari pergaulan bebas dan zina
Perilaku menghindarkan diri dari pergaulan bebas dan zinaPerilaku menghindarkan diri dari pergaulan bebas dan zina
Perilaku menghindarkan diri dari pergaulan bebas dan zinaSekar Kim
 
Presentasi nikah beda agama
Presentasi nikah beda agamaPresentasi nikah beda agama
Presentasi nikah beda agamaMarhamah Saleh
 
Power point toleransi
Power point toleransiPower point toleransi
Power point toleransigalihlatiano
 
Demokrasi indonesia 1949 1959
Demokrasi indonesia 1949 1959Demokrasi indonesia 1949 1959
Demokrasi indonesia 1949 1959Racmat Ridho
 
BUKTI-BUKTI KEHIDUPAN PENGARUH HINDU-BUDDHA YANG MASIH ADA PADA SAAT INI
BUKTI-BUKTI KEHIDUPAN PENGARUH HINDU-BUDDHA YANG MASIH ADA PADA SAAT INIBUKTI-BUKTI KEHIDUPAN PENGARUH HINDU-BUDDHA YANG MASIH ADA PADA SAAT INI
BUKTI-BUKTI KEHIDUPAN PENGARUH HINDU-BUDDHA YANG MASIH ADA PADA SAAT INIArmadira Enno
 
Buku Siswa Agama Katolik Kelas 12
Buku Siswa Agama Katolik Kelas 12Buku Siswa Agama Katolik Kelas 12
Buku Siswa Agama Katolik Kelas 12Kornelis Ruben
 
Naskah drama 5 orang tema persahabatan
Naskah drama 5 orang tema persahabatanNaskah drama 5 orang tema persahabatan
Naskah drama 5 orang tema persahabatanWarnet Raha
 
Contoh Artikel Ilmiah Populer
Contoh Artikel Ilmiah PopulerContoh Artikel Ilmiah Populer
Contoh Artikel Ilmiah PopulerUwes Chaeruman
 
Buku SIswa PPKn Kelas XI EDISI REVISI 2017
Buku SIswa PPKn Kelas XI EDISI REVISI 2017Buku SIswa PPKn Kelas XI EDISI REVISI 2017
Buku SIswa PPKn Kelas XI EDISI REVISI 2017Muhamad Yogi
 
BAB 6 Pernikahan dalam Islam.pptx
BAB 6 Pernikahan dalam Islam.pptxBAB 6 Pernikahan dalam Islam.pptx
BAB 6 Pernikahan dalam Islam.pptxIsmayantiYanti
 
laporan praktikum uji korosi pada paku
  laporan praktikum uji korosi pada paku  laporan praktikum uji korosi pada paku
laporan praktikum uji korosi pada pakuazidny
 
Presentasi kerukunan antar umat beragama
Presentasi kerukunan antar umat beragamaPresentasi kerukunan antar umat beragama
Presentasi kerukunan antar umat beragamaArief Anzarullah
 
Naskah drama (global warming)
Naskah drama (global warming)Naskah drama (global warming)
Naskah drama (global warming)Nurul Wulandari
 
Gerakan pembaharuan islam di indonesia
Gerakan pembaharuan  islam di indonesiaGerakan pembaharuan  islam di indonesia
Gerakan pembaharuan islam di indonesiaIg Fandy Jayanto
 

What's hot (20)

Perilaku menghindarkan diri dari pergaulan bebas dan zina
Perilaku menghindarkan diri dari pergaulan bebas dan zinaPerilaku menghindarkan diri dari pergaulan bebas dan zina
Perilaku menghindarkan diri dari pergaulan bebas dan zina
 
PERAN MASJID DALAM PERADABAN UMAT ISLAM
PERAN MASJID DALAM PERADABAN UMAT ISLAMPERAN MASJID DALAM PERADABAN UMAT ISLAM
PERAN MASJID DALAM PERADABAN UMAT ISLAM
 
Presentasi nikah beda agama
Presentasi nikah beda agamaPresentasi nikah beda agama
Presentasi nikah beda agama
 
Power point toleransi
Power point toleransiPower point toleransi
Power point toleransi
 
Teks pidato toleransi
Teks pidato toleransiTeks pidato toleransi
Teks pidato toleransi
 
Demokrasi indonesia 1949 1959
Demokrasi indonesia 1949 1959Demokrasi indonesia 1949 1959
Demokrasi indonesia 1949 1959
 
BUKTI-BUKTI KEHIDUPAN PENGARUH HINDU-BUDDHA YANG MASIH ADA PADA SAAT INI
BUKTI-BUKTI KEHIDUPAN PENGARUH HINDU-BUDDHA YANG MASIH ADA PADA SAAT INIBUKTI-BUKTI KEHIDUPAN PENGARUH HINDU-BUDDHA YANG MASIH ADA PADA SAAT INI
BUKTI-BUKTI KEHIDUPAN PENGARUH HINDU-BUDDHA YANG MASIH ADA PADA SAAT INI
 
Buku Siswa Agama Katolik Kelas 12
Buku Siswa Agama Katolik Kelas 12Buku Siswa Agama Katolik Kelas 12
Buku Siswa Agama Katolik Kelas 12
 
Naskah drama 5 orang tema persahabatan
Naskah drama 5 orang tema persahabatanNaskah drama 5 orang tema persahabatan
Naskah drama 5 orang tema persahabatan
 
Contoh Artikel Ilmiah Populer
Contoh Artikel Ilmiah PopulerContoh Artikel Ilmiah Populer
Contoh Artikel Ilmiah Populer
 
Buku SIswa PPKn Kelas XI EDISI REVISI 2017
Buku SIswa PPKn Kelas XI EDISI REVISI 2017Buku SIswa PPKn Kelas XI EDISI REVISI 2017
Buku SIswa PPKn Kelas XI EDISI REVISI 2017
 
Ppt bali
Ppt baliPpt bali
Ppt bali
 
PPT BAB 2.pptx
PPT BAB 2.pptxPPT BAB 2.pptx
PPT BAB 2.pptx
 
Makalah Perkembangan Islam di Indonesia
Makalah Perkembangan Islam di IndonesiaMakalah Perkembangan Islam di Indonesia
Makalah Perkembangan Islam di Indonesia
 
BAB 6 Pernikahan dalam Islam.pptx
BAB 6 Pernikahan dalam Islam.pptxBAB 6 Pernikahan dalam Islam.pptx
BAB 6 Pernikahan dalam Islam.pptx
 
laporan praktikum uji korosi pada paku
  laporan praktikum uji korosi pada paku  laporan praktikum uji korosi pada paku
laporan praktikum uji korosi pada paku
 
Presentasi kerukunan antar umat beragama
Presentasi kerukunan antar umat beragamaPresentasi kerukunan antar umat beragama
Presentasi kerukunan antar umat beragama
 
Naskah drama (global warming)
Naskah drama (global warming)Naskah drama (global warming)
Naskah drama (global warming)
 
Gerakan pembaharuan islam di indonesia
Gerakan pembaharuan  islam di indonesiaGerakan pembaharuan  islam di indonesia
Gerakan pembaharuan islam di indonesia
 
Makalah shalat
Makalah shalatMakalah shalat
Makalah shalat
 

Similar to PERNIKAHAN ISLAM

Makalah hukum pernikahan beda agama
Makalah hukum pernikahan beda agamaMakalah hukum pernikahan beda agama
Makalah hukum pernikahan beda agamaRachman B. Prasetyo
 
Masail Fiqhiyyah - Nikah Mut'ah dalam Pandangan Islam
Masail Fiqhiyyah - Nikah Mut'ah dalam Pandangan IslamMasail Fiqhiyyah - Nikah Mut'ah dalam Pandangan Islam
Masail Fiqhiyyah - Nikah Mut'ah dalam Pandangan IslamHaristian Sahroni Putra
 
RPP-BAB-6-Ketentuan-Pernikahan-dalam-Islam (2).docx
RPP-BAB-6-Ketentuan-Pernikahan-dalam-Islam (2).docxRPP-BAB-6-Ketentuan-Pernikahan-dalam-Islam (2).docx
RPP-BAB-6-Ketentuan-Pernikahan-dalam-Islam (2).docxSutardiIbnuMustofa
 
Bab 1 Bab5
Bab 1 Bab5Bab 1 Bab5
Bab 1 Bab5mawardie
 
Ari sutono (penugasan makalah aik 1)
Ari sutono (penugasan makalah aik 1)Ari sutono (penugasan makalah aik 1)
Ari sutono (penugasan makalah aik 1)UNIMUS
 
Makalah pendidikan agama islam 2
Makalah pendidikan agama islam 2Makalah pendidikan agama islam 2
Makalah pendidikan agama islam 2tyasputri9
 
Makalah pendidikan agama islam 2
Makalah pendidikan agama islam 2Makalah pendidikan agama islam 2
Makalah pendidikan agama islam 2tyasputri9
 
Tinjauam Umum Hukum Keluarga Islam
Tinjauam Umum Hukum Keluarga IslamTinjauam Umum Hukum Keluarga Islam
Tinjauam Umum Hukum Keluarga IslamNeyna Fazadiq
 
Presentasi Pernikahan Beda Agama
Presentasi Pernikahan Beda AgamaPresentasi Pernikahan Beda Agama
Presentasi Pernikahan Beda AgamaRachman B. Prasetyo
 
Akibat hukum kawin tidak tercatat
Akibat hukum kawin tidak tercatatAkibat hukum kawin tidak tercatat
Akibat hukum kawin tidak tercatatsuberia suberia
 
Masail Fiqhiyyah - Akad Nikah dengan Teknologi Baru
Masail Fiqhiyyah - Akad Nikah dengan Teknologi BaruMasail Fiqhiyyah - Akad Nikah dengan Teknologi Baru
Masail Fiqhiyyah - Akad Nikah dengan Teknologi BaruHaristian Sahroni Putra
 
Nikah Massal, Nikah Dibawah Umur, Kawin Gantung
Nikah Massal, Nikah Dibawah Umur, Kawin GantungNikah Massal, Nikah Dibawah Umur, Kawin Gantung
Nikah Massal, Nikah Dibawah Umur, Kawin GantungAZA Zulfi
 
Jurnal metopen nurniroh
Jurnal metopen nurnirohJurnal metopen nurniroh
Jurnal metopen nurnirohregas12
 
PEMBACAAN BARU KONSEP TALAK: Studi Pemikiran Muhammad Sa‘id Al-‘Asymāwī
PEMBACAAN BARU KONSEP TALAK: Studi Pemikiran Muhammad Sa‘id Al-‘AsymāwīPEMBACAAN BARU KONSEP TALAK: Studi Pemikiran Muhammad Sa‘id Al-‘Asymāwī
PEMBACAAN BARU KONSEP TALAK: Studi Pemikiran Muhammad Sa‘id Al-‘AsymāwīEpisteme IAIN Tulungagung
 
Perkahwinan didalam islam
Perkahwinan didalam islamPerkahwinan didalam islam
Perkahwinan didalam islamArra Asri
 
Makalah Hukum Perdata Islam di Indonesia tentang Pencatatan Perkawinan, Perja...
Makalah Hukum Perdata Islam di Indonesia tentang Pencatatan Perkawinan, Perja...Makalah Hukum Perdata Islam di Indonesia tentang Pencatatan Perkawinan, Perja...
Makalah Hukum Perdata Islam di Indonesia tentang Pencatatan Perkawinan, Perja...AZA Zulfi
 

Similar to PERNIKAHAN ISLAM (20)

Makalah hukum pernikahan beda agama
Makalah hukum pernikahan beda agamaMakalah hukum pernikahan beda agama
Makalah hukum pernikahan beda agama
 
Masail Fiqhiyyah - Nikah Mut'ah dalam Pandangan Islam
Masail Fiqhiyyah - Nikah Mut'ah dalam Pandangan IslamMasail Fiqhiyyah - Nikah Mut'ah dalam Pandangan Islam
Masail Fiqhiyyah - Nikah Mut'ah dalam Pandangan Islam
 
RPP-BAB-6-Ketentuan-Pernikahan-dalam-Islam (2).docx
RPP-BAB-6-Ketentuan-Pernikahan-dalam-Islam (2).docxRPP-BAB-6-Ketentuan-Pernikahan-dalam-Islam (2).docx
RPP-BAB-6-Ketentuan-Pernikahan-dalam-Islam (2).docx
 
Hukum Keluarga
Hukum KeluargaHukum Keluarga
Hukum Keluarga
 
Bab 1 Bab5
Bab 1 Bab5Bab 1 Bab5
Bab 1 Bab5
 
Ari sutono (penugasan makalah aik 1)
Ari sutono (penugasan makalah aik 1)Ari sutono (penugasan makalah aik 1)
Ari sutono (penugasan makalah aik 1)
 
Makalah pendidikan agama islam 2
Makalah pendidikan agama islam 2Makalah pendidikan agama islam 2
Makalah pendidikan agama islam 2
 
Makalah pendidikan agama islam 2
Makalah pendidikan agama islam 2Makalah pendidikan agama islam 2
Makalah pendidikan agama islam 2
 
Hukum perkawinan adat
Hukum perkawinan adatHukum perkawinan adat
Hukum perkawinan adat
 
Tinjauam Umum Hukum Keluarga Islam
Tinjauam Umum Hukum Keluarga IslamTinjauam Umum Hukum Keluarga Islam
Tinjauam Umum Hukum Keluarga Islam
 
Presentasi Pernikahan Beda Agama
Presentasi Pernikahan Beda AgamaPresentasi Pernikahan Beda Agama
Presentasi Pernikahan Beda Agama
 
Akibat hukum kawin tidak tercatat
Akibat hukum kawin tidak tercatatAkibat hukum kawin tidak tercatat
Akibat hukum kawin tidak tercatat
 
makalah ovi.pdf
makalah ovi.pdfmakalah ovi.pdf
makalah ovi.pdf
 
Makalah pernikahan
Makalah pernikahanMakalah pernikahan
Makalah pernikahan
 
Masail Fiqhiyyah - Akad Nikah dengan Teknologi Baru
Masail Fiqhiyyah - Akad Nikah dengan Teknologi BaruMasail Fiqhiyyah - Akad Nikah dengan Teknologi Baru
Masail Fiqhiyyah - Akad Nikah dengan Teknologi Baru
 
Nikah Massal, Nikah Dibawah Umur, Kawin Gantung
Nikah Massal, Nikah Dibawah Umur, Kawin GantungNikah Massal, Nikah Dibawah Umur, Kawin Gantung
Nikah Massal, Nikah Dibawah Umur, Kawin Gantung
 
Jurnal metopen nurniroh
Jurnal metopen nurnirohJurnal metopen nurniroh
Jurnal metopen nurniroh
 
PEMBACAAN BARU KONSEP TALAK: Studi Pemikiran Muhammad Sa‘id Al-‘Asymāwī
PEMBACAAN BARU KONSEP TALAK: Studi Pemikiran Muhammad Sa‘id Al-‘AsymāwīPEMBACAAN BARU KONSEP TALAK: Studi Pemikiran Muhammad Sa‘id Al-‘Asymāwī
PEMBACAAN BARU KONSEP TALAK: Studi Pemikiran Muhammad Sa‘id Al-‘Asymāwī
 
Perkahwinan didalam islam
Perkahwinan didalam islamPerkahwinan didalam islam
Perkahwinan didalam islam
 
Makalah Hukum Perdata Islam di Indonesia tentang Pencatatan Perkawinan, Perja...
Makalah Hukum Perdata Islam di Indonesia tentang Pencatatan Perkawinan, Perja...Makalah Hukum Perdata Islam di Indonesia tentang Pencatatan Perkawinan, Perja...
Makalah Hukum Perdata Islam di Indonesia tentang Pencatatan Perkawinan, Perja...
 

More from Tito Riyanto

Tutorial merancang kapasitas pendinginan pada chiller room
Tutorial merancang kapasitas pendinginan pada chiller roomTutorial merancang kapasitas pendinginan pada chiller room
Tutorial merancang kapasitas pendinginan pada chiller roomTito Riyanto
 
How to calculate negative pressure in isolation room
How to calculate negative pressure in isolation roomHow to calculate negative pressure in isolation room
How to calculate negative pressure in isolation roomTito Riyanto
 
Economic order quantity
Economic order quantityEconomic order quantity
Economic order quantityTito Riyanto
 
Pemilihan CHILLER DAIKIN MC QUAY
Pemilihan CHILLER DAIKIN MC QUAYPemilihan CHILLER DAIKIN MC QUAY
Pemilihan CHILLER DAIKIN MC QUAYTito Riyanto
 
ROOM HEATER SIMULATION
ROOM HEATER SIMULATIONROOM HEATER SIMULATION
ROOM HEATER SIMULATIONTito Riyanto
 
Programmable Logic Controller
Programmable Logic ControllerProgrammable Logic Controller
Programmable Logic ControllerTito Riyanto
 
Dasar hukum keselamatan dan kesehatan kerja
Dasar hukum keselamatan dan kesehatan kerjaDasar hukum keselamatan dan kesehatan kerja
Dasar hukum keselamatan dan kesehatan kerjaTito Riyanto
 
Pemupukan Tanaman Otomatis Berbasis Arduino Uno menggunakan Sensor Kelembaban...
Pemupukan Tanaman Otomatis Berbasis Arduino Uno menggunakan Sensor Kelembaban...Pemupukan Tanaman Otomatis Berbasis Arduino Uno menggunakan Sensor Kelembaban...
Pemupukan Tanaman Otomatis Berbasis Arduino Uno menggunakan Sensor Kelembaban...Tito Riyanto
 
Automatic Plant Fertilization, Base On Soil Humidity Utilising YL-69 Sensor
Automatic Plant Fertilization, Base On Soil Humidity Utilising YL-69 SensorAutomatic Plant Fertilization, Base On Soil Humidity Utilising YL-69 Sensor
Automatic Plant Fertilization, Base On Soil Humidity Utilising YL-69 SensorTito Riyanto
 
Aktuator, Motor and Pump
Aktuator, Motor and PumpAktuator, Motor and Pump
Aktuator, Motor and PumpTito Riyanto
 
Instrumentation project Automatic plant fertilization
Instrumentation project Automatic plant fertilizationInstrumentation project Automatic plant fertilization
Instrumentation project Automatic plant fertilizationTito Riyanto
 

More from Tito Riyanto (15)

Tutorial merancang kapasitas pendinginan pada chiller room
Tutorial merancang kapasitas pendinginan pada chiller roomTutorial merancang kapasitas pendinginan pada chiller room
Tutorial merancang kapasitas pendinginan pada chiller room
 
How to calculate negative pressure in isolation room
How to calculate negative pressure in isolation roomHow to calculate negative pressure in isolation room
How to calculate negative pressure in isolation room
 
Clean spaces
Clean spacesClean spaces
Clean spaces
 
Economic order quantity
Economic order quantityEconomic order quantity
Economic order quantity
 
Pemilihan CHILLER DAIKIN MC QUAY
Pemilihan CHILLER DAIKIN MC QUAYPemilihan CHILLER DAIKIN MC QUAY
Pemilihan CHILLER DAIKIN MC QUAY
 
Chest Type
Chest TypeChest Type
Chest Type
 
ROOM HEATER SIMULATION
ROOM HEATER SIMULATIONROOM HEATER SIMULATION
ROOM HEATER SIMULATION
 
Programmable Logic Controller
Programmable Logic ControllerProgrammable Logic Controller
Programmable Logic Controller
 
Dasar hukum keselamatan dan kesehatan kerja
Dasar hukum keselamatan dan kesehatan kerjaDasar hukum keselamatan dan kesehatan kerja
Dasar hukum keselamatan dan kesehatan kerja
 
Makalah Ice Cream
Makalah Ice CreamMakalah Ice Cream
Makalah Ice Cream
 
Pemupukan Tanaman Otomatis Berbasis Arduino Uno menggunakan Sensor Kelembaban...
Pemupukan Tanaman Otomatis Berbasis Arduino Uno menggunakan Sensor Kelembaban...Pemupukan Tanaman Otomatis Berbasis Arduino Uno menggunakan Sensor Kelembaban...
Pemupukan Tanaman Otomatis Berbasis Arduino Uno menggunakan Sensor Kelembaban...
 
Automatic Plant Fertilization, Base On Soil Humidity Utilising YL-69 Sensor
Automatic Plant Fertilization, Base On Soil Humidity Utilising YL-69 SensorAutomatic Plant Fertilization, Base On Soil Humidity Utilising YL-69 Sensor
Automatic Plant Fertilization, Base On Soil Humidity Utilising YL-69 Sensor
 
Aktuator, Motor and Pump
Aktuator, Motor and PumpAktuator, Motor and Pump
Aktuator, Motor and Pump
 
Tawazun
TawazunTawazun
Tawazun
 
Instrumentation project Automatic plant fertilization
Instrumentation project Automatic plant fertilizationInstrumentation project Automatic plant fertilization
Instrumentation project Automatic plant fertilization
 

PERNIKAHAN ISLAM

  • 1. PERSFEKTIF ISLAM TERHADAP PERNIKAHAN DALAM MEMBANGUN KELUARGA SAKINAH, MAWADDAH, DAN WARAHMAH MAKALAH disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Pendidikan Agama Islam Oleh Tito Riyanto NIM. 151611030 Putri Sintia Sari NIM. 151611021 JURUSAN TEKNIK REFRIGERASI DAN TATA UDARA POLITEKNIK NEGERI BANDUNG KABUPATEN BANDUNG BARAT 2017
  • 2. KATA PENGANTAR Puji dan syukur sudah sepantasnya kita panjatkan kepada Allah Swt. yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis bisa menyelesaikan makalah yang berjudul “Persfektif Islam terhadap Pernikahan dalam Membangun Keluarga Sakinah, Mawaddah, Dan Warahmah”. Makalah ini dibuat untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Pendidikan Agama Islam. Selain ucapan terima kasih kepada orangtua, penulis juga mengucapkan terima kasih kepada yang terhormat Hikmah Maulani, M.Pd. sebagai dosen mata kuliah Pendidikan Agama Islam Politeknik Negeri Bandung dan teman-teman kelas 2A D-3 Teknik Pendingin dan Tata Udara yang telah memberikan dukungan kepada penulis. Penulis menyadari bahwa makalah ini belum sempurna. Penulis sangat terbuka serta mengharapkan kritik dan saran yang membangun terhadap penulisan makalah ini. Akhir kata, semoga makalah ini bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan Agama Islam terutama dalam masalah Pernikahan yang sesuai syariat Islam. Bandung, Juni 2017 Penulis ii
  • 3. DAFTAR ISI KATA PENGANTAR ........................................................................................ ii DAFTAR ISI ....................................................................................................... iii BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah ............................................................................. 1 1.2 Rumusan Masalah ....................................................................................... 1 1.3 Tujuan Penulisan ........................................................................................ 2 1.4 Cara Memperoleh Data ............................................................................... 2 1.5 Sistematika Penulisan ................................................................................. 2 BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Pengertian Nikah ........................................................................................ 3 2.2 Tujuan Nikah .............................................................................................. 4 2.3 Hukum Nikah .............................................................................................. 5 2.4 Syarat dan Rukun Nikah ............................................................................. 5 2.5 Etika dan Sunah Nikah ............................................................................... 7 2.6 Khiyar (Hak Pilih) dalam Nikah ................................................................. 8 2.7 Persiapan Khitbah/Nikah ............................................................................ 8 2.8 Perempuan yang Haram di nikahi ............................................................... 9 2.9 Pelaksanaan Pernikahan .............................................................................. 10 2.10 Hak-hak Suami Istri .................................................................................... 11 2.11 Pernikahan yang Rusak ............................................................................... 12 2.12 Talak ........................................................................................................... 12 2.13 Khulu’ ......................................................................................................... 14 2.14 Ila’ ............................................................................................................... 14 2.15 Zhihar .......................................................................................................... 15 2.16 Li’an ............................................................................................................ 15 2.17 Iddah ........................................................................................................... 16 2.18 Hikmah Nikah ............................................................................................. 17 2.19 Hukum Perkawinan Negara Muslim .......................................................... 18 BAB III ANALISIS 3.1 Cara islam memandang pernikahan yang sesuai Al-quran dan Hadist ....... 24 3.2 Mewujudkan keluarga yang sakinah, mawaddah, dan warahmah .............. 25 3.3 Menjaga kelanggengan pernikahan di negara hukum seperti Indonesia .... 26 BAB IVSIMPULAN DAN SARAN 4.1 Simpulan ..................................................................................................... 27 4.2 Saran ........................................................................................................... 27 DAFTAR PUSTAKA iii
  • 4. BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG MASALAH Manusia mengalami pertumbuhan yang dimulai dari bayi, anak-anak, remaja, hingga dewasa. Kedewasaan seseorang bukan hanya terukur pada semakin berkembangnya fisik, melainkan keluasan wawasan, pemaknaan hidup dan pembuatan keputusan yang lebih bijaksana. Semakin bertambah dewasa maka beban- beban hidup yang tebebankan pada pundak-pundak yang lemah ini semakin berat. Sehingga tidak jarang manusia mengambil jalan kematian. Masa-masa dewasa yang berat dan penuh tantangan ini tentunya harus berfikir kedepan seperti membangun keluarga yang islami. Ketika berkeluarga beban-beban hidup akan semakin ringan. Mengapa semakin ringan? Bukankah berkeluarga itu menjadi lebih banyak pikiran dan beban hidup bertambah? Justru ini yang dinamakan “Keluarga Islami” melalui suatu “Pernikahan Islam”. Bersama pasangan hidup yang terikrarkan dalam janji suci membangun tekad setia dan komitmen untuk saling menguatkan satu sama lain sehingga beban-beban hidup tidak hidup hanya pada pundak salah seorang saja. Tak terlepas dalam ajaran Islam, pernikahan (perkawinan) tersebut sangat penting sehingga dalam Alquran terdapat sejumlah ayat baik secara langsung maupun tidak langsung berbicara mengenai masalah pernikahan yang dimaksud ( al – Baqi, 1987: 332-333 dan 718). Nikah artinya menghimpun atau mengumpulkan. Salah satu upaya untuk menyalurkan naluri seksual suami istri dalam rumah tangga sekaligus sarana untuk menghasilkan keturunan yang dapat menjamin kelangsungan eksistensi manusia di atas bumi. Keberadaan nikah itu sejalan dengan lahirnya manusia di atas bumi dan merupakan fitrah manusia yang diberikan Allah SWT terhadap hamba -Nya. Oleh karena itu, dalam makalah singkat berikut yang berjudul “Persfektif Islam terhadap Pernikahan dalam Membangun Keluarga Sakinah, Mawaddah, dan Warahmah” akan dijelaskan secara global tentang (1) konsep pernikahan dalam Al- quran dan (2) bagaimana kaum muslimin mengembangkan konsep untuk menjaga dan melanggengkan pernikahan tersebut yang tertuang dalam perundang-undangan mereka dewasa ini. Sehingga terwujud keluarga yang sakinah mawaddah dan warahmah. 1.2 RUMUSAN MASALAH 1.2.1 Bagaimana Persfektif islam terhadap pernikahan yang sesuai dengan Al- quran dan Hadist? 1.2.2 Bagaimana cara mewujudkan keluarga yang sakinah, mawaddah, dan warahmah? 1
  • 5. 1.2.3 Bagaimana cara menjaga dan melanggengkan pernikahan sesuai konsepsi islam di negara hukum seperti Indonesia. 1.3 TUJUAN PENULISAN 1.3.1 Memahami persfektif islam terhadap pernikahan yang sesuai dengan Al- quran dan Hadist. 1.3.2 Memahami cara dalam mewujudkan keluarga yang sakinah, mawaddah, dan warahmah. 1.3.3 Memahami cara dalam menjaga dan melanggengkan pernikahan sesuai konsepsi islam di negara hukum seperti Indonesia. 1.4 CARA MEMPEROLEH DATA Untuk menyusun makalah ini, penulis menggunakan metode pustaka. Penulis mendapat dan menggunakan referensi-referensi dari literatur yang berasal dari internet atau buku sumber seperti. Jabir Al jazairy, Syaikh Abu Bakar. 2014. Minhajul Muslim Pedoman Hidup Harian Seorang Muslim. Jakarta : Ummul Qura. Bab Muamalah Pasal ke-6 tentang Nikah, Talak, Ruju’, Khulu’, Li’an, Zhihar, Iddah, Nafkah, dan Hadhanah Halaman 802. 1.5 SISTEMATIKA PENULISAN Makalah ini terdiri dari empat bab. Bab kesatu pendahuluan mencangkup latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penulisan, dan sistematika penulisan. Bab kedua landasan teori yang mencangkup pengertian nikah, tujuan nikah, hukum nikah, syarat dan rukun nikah, etika dan sunah nikah, khiyar (hak pilih) dalam nikah, persiapan khitbah/nikah, perempuan yang haram dinikahi, pelaksanaan pernikahan, hak-hak suami istri, pernikahan yang rusak, talak, khulu’, ila’, zhihar, li’an, iddah, hikmah nikah, dan hukum perkawinan negara muslim. Bab ketiga analisis mencangkup cara islam memandang pernikahan yang sesuai Al-quran dan Hadist, Mewujudkan keluarga yang sakinah, mawaddah, dan warahmah, dan menjaga kelanggengan pernikahan di negara hukum seperti Indonesia. Bab keempat mencangkup simpulan dan saran. 2
  • 6. BAB II LANDASAN TEORI 2.1 PENGERTIAN NIKAH Dalam Al-Quran ada dua kata kunci yang menunjukkan konsep pernikahan, yaitu zawwaja dan kata derivasinya berjumlah lebih kurang dalam 20 ayat dan nakaha dan kata derivasinya sebanyak lebih kurang dalam 17 ayat (Al-Baqi 1987: 332-333 dan 718).Yang dimaksud dengan nikah dalam konteks pembicaraan ini adalah ikatan (aqad )perkawinan ( al – Asfihani, Tanpa Tahun : 220 dan 526). Perlu pula dikemukakan bahwa Ibnu Jini pernah bertanya kepada Ali mengenai arti ucapan mereka nakaha al-mar ah, Dia menjawab : “orang-orang Arab menggunakan kata nakaha dalam konteks yang berbeda, sehingga maknanya dapat dipisahkan secara halus, agar tidak menyebabkan kesimpangsiuran. Kalau mereka mengatakan nakaha fulan fulanah, yang dimaksud adalah ia menjalin ikatan perkawinan dengan seorang wanita. Akan tetapi apabila mereka mengatakan nakaha imraatahu, yang mereka maksudkan tidak lain adalah persetubuhan (Razi, Juz VI : 59). Lebih jauh lagi al – Karkhi berkata bahwa yang dimaksud dengan nikah adalah ikatan perkawinan, bukan persetubuhan. Dengan demikian bahwa sama sekali tidak pernah disebutkan dalam Al-Quran kata nikah dengan arti wati’, karena Al – Quran menggunakan kinayah. Penggunaan kinayah tersebut termasuk gaya bahasa yang halus ( al-Sabuni, Tanpa Tahun, I : 285). Ada beberapa definisi nikah yang dikemukakan ulama fiqh, tetapi seluruh definisi tersebut mengandung esensi yang sama meskipun redaksionalnya berbeda. Ulama Mazhab Syafi’i mendefinisikannya dengan “akad yang mengandung kebolehan melakukan hubungan suami istri dengan lafal nikah/kawin atau yang semakna dengan itu”. Sedangkan ulama Mazhab Hanafi mendefinisikannya dengan “akad yang mempaedahkan halalnya melakukan hubungan suami istri antara seorang lelaki dan seorang wanita selama tidak ada halangan syara’. Definisi jumhur ulama menekankan pentingnya menyebutkan lafal yang dipergunakan dalam akad nikah tersebut, yaitu harus lafal nikah, kawin atau yang semakna dengan itu. Dalam definisi ulama Mazhab Hanafi, hal ini tidak diungkapkan secara jelas, sehingga segala lafal yang mengandung makna halalnya seorang laki- laki dan seorang wanita melakukan hubungan seksual boleh dipergunakan, seperti lafal hibah. Yang dapat perhatian khusus bagi ulama Mazhab Hanafi, disamping masalah kehalalan hubungan seksual, adalah tidak adanya halangan syara’ untuk menikahi wanita tersebut. Misalnya. Wanita itu bukan mahram (mahram atau muhrim) dan bukan pula penyembah berhala. Menurut jumhur ulama, hal-hal seperti itu tidak dikemukakan dalam definisi mereka karena hal tersebut cukup dibicarakan dalam persyaratan nikah. 3
  • 7. Imam Muhammad Abu Zahrah (w. 1394 H/1974 M), ahli hukum Islam dari Universitas al-Azhar, berpendapat bahwa perbedaan kedua definisi di atas tidaklah bersifat prinsip. Yang menjadi prinsip dalam definisi tersebut adalah nikah itu membuat seorang lelaki dan seorang wanita halal melakukan hubungan seksual. Untuk mengkompromikan kedua definisi, Abu Zahrah mengemukakan definisi nikah, yaitu “akad yang menjadikan halalnya hubungan seksual antara seorang lelaki dan seorang wanita, saling tolong menolong di antara keduanya serta menimbulkan hak dan kewajiban di antara keduanya”. Hak dan kewajiban yang dimaksudkan Abu Zahrah adalah hak dan kewajiban yang datangnya dari asy-Syar’I-Allah SWT dan Rasul-Nya ( Tim,1996, 4: 1329). 2.2 TUJUAN NIKAH Salah satu ayat yang biasanya dikutip dan dijadikan sebagai dasar untuk menjelaskan tujuan pernikahan dalam Al -Quran adalah (artinya ) “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih sayang …” (Q.S.30:21 ). Berdasarkan ayat di atas jelas bahwa Islam menginginkan pasangan suami istri yang telah membina suatu rumah tangga melalui akad nikah tersebut bersifat langgeng. Terjalin keharmonisan di antara suami istri yang saling mengasihi dan menyayangi itu sehingga masing-masing pihak merasa damai dalam rumah tangganya. Rumah tangga seperti inilah yang diinginkan Islam, yakni rumah tangga sakinah, sebagaimana disyaratkan Allah SWT dalam surat ar-Rum (30) ayat 21 di atas. Ada tiga kata kunci yang disampaikan oleh Allah dala ayat tersebut, dikaitkan dengan kehidupan rumah tangga yang ideal menurut Islam , yaitu sakinah (as- sakinah), mawadah (al-mawaddah), dan rahmat (ar-rahmah). Ulama tafsir menyatakan bahwa as-sakinah adalah suasana damai yang melingkupi rumah tangga yang bersangkutan; masing-masing pihak menjalankan perintah Allah SWT dengan tekun, saling menghormati, dan saling toleransi. Dari suasana as-sakinah tersebut akan muncul rasa saling mengasihi dan menyayangi (al -mawadah), sehingga rasa tanggung jawab kedua belah pihak semakin tinggi. Selanjutnya, para mufasir mengatakan bahwa dari as-sakinah dan al- mawadah inilah nanti muncul ar-rahmah, yaitu keturunan yang sehat dan penuh berkat dari Allah SWT, sekaligus sebagai pencurahan rasa cinta dan kasih suami istri dan anak -anak mereka ( Al-Qurtubi,1387, XIV: 16-17 dan Al-Qasimi, Tanpa Tahun, XIII : 171-172). 4
  • 8. 2.3 HUKUM NIKAH Hukum menikah dalam islam adalah sunah muakad, tetapi bisa berubah sesuai dengan kondisi dan niat seseorang. Jika seseorang menikah dengan diniatkan sebagai usaha untuk menjauhi dari perzinahan, hukumnya sunah. Akan tetapi, jika diniatkan untuk sesuatu yang buruk, hukumnya menjadi makruh, bahkan haram. Salah satu ayal alquran yang berisi perintah menikah yaitu sebagai berikut yang artinya : "Dan diantara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan di antaramu rasa kasih dan sayang. Sungguh, pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir". (Q.S. Ar-Rum, 30:21). 2.4 SYARAT DAN RUKUN NIKAH Syarat syarat nikah yaitu sebagai berikut. 1. Calon suami telah balig dan berakal. 2. Calon istri yang halal dinikahi. 3. Lafal ijab dan kabul harus bersifat selamanya. Ijab artinya mengemukakan atau menyatakan suatu perkataan. Kabul artinya menerima. Jadi, ijab kabul artinya seseorang menyatakan sesuatu kepada lawan bicaranya, kemudian lawan bicaranya menyatakan menerima. Dalam pernikahan, yang dimaksud dengan ijab kabul adalah seorang wali atau wakil dari mempelai perempuan mengemukakan kepada calon suami anak perempuannya/perempuan yang dibawah perwaliannya, untuk menikahkannya dengan lelaki yang mengambil perempuan tersebut sebagai istrinya. Lalu lelaki yang bersangkutan menyatakan menerima pernikahannya itu. Diriwayatkan dalam sebuah hadis bahwa: Sahl bin Said berkata, seorang perempuan datang kepada Nabi saw. untuk menyerahkan dirinya, dia berkata, "Saya serahkan diriku kepadamu." Lalu ia berdiri lama sekali (untuk menanti). Kemudian seorang laki-laki berdiri dan berkata, "Wahai Rasulullah kawinkanlah saya dengannya jika engkau tidak berhajat kepadanya." Lalu Rasulullah saw. bersabda "Aku kawinkan engkau kepadanya dengan mahar yang ada padamu." (H.R. Bukhari dan Muslim). Hadis Sahl tersebut menerangkan bahwa Rasulullah saw. telah mengijabkan seorang perempuan kepada Sahl dengan mahar atau maskawinnya ayat alquran dan Sahl menerimanya. 4. Dua orang saksi. 5
  • 9. Menurut jumhur ulama, akad nikah minimal dihadiri oleh dua orang saksi. Saksi dalam akad nikah harus memenuhi syarat-syarat berikut. - Cakap bertindak secara hukum (balig dan berakal). - Minimal dua orang. - Laki-laki. - Merdeka. - Orang yang adil. - Muslim. - Dapat melihat (menurut ulama mazhab Syafii). 5. Adanya wali. Dari Abu Musa r.a., Nabi saw. bersabda, "Tidaklah salahsatu pernikahan tanpa wali." (H.R. Abu Dawud dan disahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam sahih Sunan Abu Dawud no. 1.836). Wali yang mendapat prioritas pertama di antara sekalain wali-wali yang ada adalah ayah dari pengantin wanita. Kalau tidak ada barulah kakeknya (ayahnya ayah), kemudian saudara lelaki seayah seibu atau seayah, kemudian anak saudara lelaki. Sesudah itu barulah kerabat-kerabat terdekat yang lainnya atau hakim. Wali nikah harus memiliki syarat-syarat tertentu. Syarat wali nikah tersebut adalah antara lain sebagai berikut. - Laki-laki. - Balig dan berakal sehat. - Beragama islam. - Merdeka. - Memiliki hak perwalian. - Tidak ada halangan untuk menjadi wali. - Adil 6. Mahar Mahar ialah sesuatu yang diberikan calon suami kepada calon istri untuk menghalalkan menikmatinya, dan hukum mahar adalah wajib berdasarkan dalil-dalil berikut. “Dan berikanlah mahar kepada wanita (yang kalian nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan” (Q.S. An-Nisa : 4). “Carilah mahar kendati cuma cincin dari besi” (Muttafaq Alaih). Ketentuan Mahar : 1) Mahar disunahkan ringan. “Wanita yang paling besar berkahnya ialah wanita yang paling mudah (murah) maharnya” (HR. Ahmad dan Al- Hakim). 6
  • 10. 2) Disunahkan agar mahar disebutkan pada saat akad. 3) Mahar boleh dengan sesuatu yang mubah yang harganya lebih dari seperempat dinar. 4) Mahar boleh dibayar kontan pada saat akad nikah, atau ditunda, atau sebagiannya saja yang ditunda. 5) Mahar menjadi tanggungan suami pada saat akad dan menjadi wajib ketika suami menggauli istrinya. 6) Jika suami meninggal dunia sebelum menggauli istrinya dan setelah akad, maka istri berhak mewarisinya dan mendapatkan maharnya secara utuh, karena Rasulullah memutuskan demikian. Hal ini berlaku jika maharnya telah ditentukan. Jika maharnya belum ditentukan, maka istri mendapatkan mahar mistl (mahar sebesar mahar wanita yang sekufu dengannya) dan ia harus menjalani masa iddah sepeninggalan suaminya. 2.5 ETIKA DAN SUNAH NIKAH 1. Khotbah Rasulullah Saw. Pernah bersabda “Jika salah seorang dari kalian ingin berkhotbah untuk salah satu keperluan pernihkahan, atau keperluan lainya, hendaklah ia berkata segala puji bagi Allah dst” (HR. At Tirmidzi). 2. Walimah Hal ini didasarkan pada sabda Rasulullah Saw. kepada Abdurrahman bin Auf setelah menikah. “Adakanlah walimah kendati dengan satu kambing” (HR. Al- Bukhari). 3. Pengumuman Nikah Yang diumumkannya pernikahan dengan rebana, atau nyanyian yang diperbolehkan, karena Rasulullah Saw. bersabda “Pembeda antara yang halal dan yang haram ialah rebana dan suara” (HR. At-Tirmidzi). 4. Do’a Yaitu doa untuk kedua mempelai, karena Abu Hurairah berkata, Rasulullah adalah manusia yang paling lembut. Jika ada orang yang menikah, beliau berkata “Semoga Allah memberi keberkahan kepadamu, baik pada waktu suka dan duka, dan mengumpulkan kalian berdua dalam kebaikan” (HR. At- Tirmidzi). 5. Menggauli istri untuk pertama kali pada bulan syawal 6. Memegang ubun-ubun istri 7. Berdoa sebelum berhubungan badan 8. Tidak boleh menceritakan perihal hubungan seksual 7
  • 11. 2.6 KHIYAR (HAK PILIH) DALAM NIKAH Masing-masing suami istri mempunyai khiyar (hak pilih) untuk tetap menjaga keutuhan pernikahan, atau membatalkannya karena beberapa sebab : 1. Istri mempunyai kekurangan, misalnya gila, atau menderita sakit kusta, atau sakit di kemaluan yang menghilangkan kenikmatan berhubungan badan dengannya, atau suami telah mengebiri dirinya, atau gila, atau menderita impotensi sehingga dia tidak bisa menggauli atau memuaskan istrinya. 2. Terdapat ketidakjelasan, misalnya seorang muslim menikahi wanita muslimah kemudian terbukti bahwa wanita tersebut adalah wanita Ahlul Kitab, atau seorang muslim menikahi wanita merdeka kemudian terbukti ternyata ia budak, atau seorang muslim menikahi wanita sehat tapi kemudian tersebut terbukti bahwa ia sakit; buta sebelah atau pincang. 3. Suami tidak mampu menyerahkan mahar secara kontan. 4. Suami tidak bisa memberikan nafkah. 5. Jika suami pergi, tidak diketahui domisilinya, tidak meninggalkan nafkah untuk istrinya, tidak mewariskan seseorang untuk menafkahi istrinya, tidak ada orang lain yang menafkahi istrinya, dan istri tersebut tidak mempunyai sesuatu apapun untuk menafkahi dirinya atau mencari suaminya, maka ia berhak membatalkan pernikahan melalui hakim agama. 6. Merdeka setelah menjadi budak. 2.7 PERSIAPAN KHITBAH/NIKAH Usaha untuk menciptakan keluarga sakinah dilakukan mulai dari pencarian dan penetapan calon pasangan dengan pertimbangan-pertimbangan yang sesuai anjuran Rasulullah. Kriteria mencari calon pasangan yang dianjurkan Rasulullah, diungkapkan dalam hadits berikut : “Perempuan dinikah karena empat hal: Karena cantiknya, hartanya, keturunannya, dan agamanya. Pilihlah karena agamanya, niscaya engkau mendapat keuntungan. (HR. Bukhari dan Muslim) Faktor agama sangat penting dan menentukan tercapainya keluarga sakinah, karena : 1. Suami-istri yang beragama akan sama-sama memiliki aturan dan rujukan yang sama. Jika terjadi perselisihan mereka akan merujuk kepada nilai-nilai yang dipegang bersama. 2. Perkawinan akan langgeng dan tentram jika terdapat kesesuaian pandangan hidup antara suami dengan istri. 8
  • 12. 3. Seorang muslim diharamkan oleh syariat Islam untuk menikah dengan non- muslim. Al-Quran mengisyaratkan agar remaja tidak terjebak pada kecantikan atau ketampanan fisik dalam memilih calon pasangan, tetapi utamakan agamanya, QS. Al-Baqaroh, 2: 221. Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita muslim) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran. (QS. 2 : 221) Dalam persiapan pernikahan pihak laki-laki melamar kepada pihak perempuan yang disebut khitbah, yaitu pihak laki-laki menyatakan keinginannya untuk menikahi seorang perempuan. Apabila seorang perempuan telah dilamar oleh seorang laki-laki, ia diharamkan untuk menerima lamaran laki-laki lain, sebagaimana sabda Rasul yang artinya: “Janganlah salah seorang diantaramu meminang pinangan saudaranya, kecuali pinangan sebelumnya meninggalkan pinangan itu atau memberikan izin kepadanya (HR. Bukhari dan Muslim)”. 2.8 PERSIAPAN KHITBAH/NIKAH Perempuan yang haram dinikah adalah muhrim atau mahram, yang terdiri atas : 1. Diharamkan karena keturunan a. Ibu dan seterusnya ke atas. b. Anak perempuan dan seterusnya ke bawah c. Saudara perempuan sekandung, seayah atau seibu d. Bibi (saudara ibu, baik sekandung atau perantaraan ayah atau ibu) e. Bibi (saudara ayah baik sekandung atau dengan perantaraan ayah atau ibu) f. Anak perempuan dari saudara laki-laki terus ke bawah g. Anak perempuan dari saudara perempuan terus ke bawah. 2. Diharamkan karena susuan a. Ibu yang menyusui b. Saudara perempuan yang mempunyai hubungan susuan 3. Diharamkan karena suatu perkawinan 9
  • 13. a. Ibu istri (mertua) dan seterusnya ke atas, baik ibu dari keturunan maupun susuan b. Anak tiri (anak istri yang dikawin dengan suami lain), jika sudah campur dengan ibunya. c. Istri ayah dan seterusnya ke atas d. Wanita-wanita yang pernah dikawini ayah, kakek sampai ke atas e. Istri anaknya yang laki-laki (menantu) dan seterusnya. 4. Diharamkan untuk sementara a. Pertalian nikah, yaitu perempuan yang masih berada dalam ikatan pernikahan, sampai dicerai dan habis masa idahnya. b. Talak bain kubra, yaitu perempuan yang ditalak dengan talak tiga, haram dinikahi oleh bekas suaminya, kecuali telah dinikahi oleh laki-laki lain serta telah digauli. Apabila perempuan tersebut dicerai dan habis masa idahnya boleh dinikahi oleh bekas suaminya yang pertama. c. Menghimpun dua perempuan bersaudara, kecuali salah satu dicerai atau meninggal. d. Menghimpun perempuan lebih dari empat. e. Berlainan agama, kecuali perempuan itu masuk Islam. 2.9 PELAKSANAAN PERNIKAHAN Pernikahan dinyatakan sah apabila terkumpul rukun-rukunnya, yaitu : 1. Calon pasangan suami-istri, yaitu laki-laki muslim dan perempuan muslimah yang tidak diharamkan untuk menikah. 2. Wali, yaitu orang yang bertanggung jawab menikahkan pengantin perempuan, baik wali nasab maupun wali hakim. Urutan orang yang menjadi wali bagi perempuan adalah sebagai berikut : a. Ayah kandung b. Kakek dari ayah c. Saudara laki-laki seibu seayah d. Saudara laki-laki seayah e. Anak laki-laki dari saudara laki-laki seibu seayah f. Anak laki-laki dari saudara laki-laki seayah g. Saudara laki-laki seibu seayah dari ayah h. Saudara laki-laki seayah dari ayah i. Anak laki-laki dari saudara laki-laki seibu seayah dari ayah. j. Anak laki-laki dari saudara laki-laki seayah dari ayah. 10
  • 14. Urutan wali-wali di atas merupakan prioritas, mereka yang lebih dekat kepada perempuan memiliki hak untuk menikahkan perempuan itu lebih dahulu. Wali hakim adalah wali yang diangkat untuk menikahkan perempuan yang tidak memiliki atau karena sesuatu hal tidak mempunyai wali nasab. 3. Saksi, yaitu dua orang laki-laki dewasa yang menjadi saksi atas terjadinya suatu pernikahan untuk menguatkan akad nikah yang terjadi dan menjadi saksi keabsahan keturunan yang lahir dari pernikahan tersebut. 4. Mahar, yaitu pemberian dari pihak laki-laki kepada perempuan pada saat pernikahan. Jumlah dan jenis mahar tidak ditentukan oleh ajaran Islam, tetapi dianjurkan disesuaikan dengan kemampuan laki-laki. 5. Ijab qabul. Ijab adalah ucapan penyerahan dari wali perempuan kepada pihak laki-laki dan qabul adalah ucapan penerimaan pihak laki-laki atas penyerahan perempuan dari walinya. Setelah ijab qabul dilakukan; pasangan itu sah sebagai suami istri. Masing- masing memiliki hak dan kewajiban, yaitu suami berkewajiban memberikan nafkah lahir batin. Sementara itu, ia pun memiliki hak mendapatkan pelayanan dan ketaatan dari istrinya. Istri memiliki kewajiban untuk mentaati suami, mengelola nafkah, dan mengatur tata laksana rumah tangga dengan baik. 2.10 HAK-HAK SUAMI ISTRI a. Hak-hak istri atas suami 1. Mendafatkan nafkah, baik berupa makanan, minuman, pakaian, atau tempat tinggal dengan cara yang baik. 2. Istimta’ atau nafkah batin. Jadi, suami wajib menggauli istrinya kendati hanya satu kali dalam setiap bulan jika tidak mampu memberikan layanan yang cukup baginya. 3. Menginap dirumahnya semalam dalam setiap empat malam. 4. Istri mendapat bagian adil dari suaminya jika suaminya mempunyai istri yang lain. 5. Suami tinggal bersama istrinya pada hari pernikahannya selama seminggu jika istrinya seorang gadis, dan selama tiga hari jika ia janda. 6. Suami disunahkan mengizinkan istrinya merawat salah seorang dari mahramnya, atau menyaksikan jenazah mereka yang meninggal dunia, atau mengunjungi sanak kerabatnya jika kunjungannya tidak merugikan bagi kemaslahatan suami. b. Hak-hak suami atas istri 1. Istri menaati suaminya dalam hal kebaikan. 11
  • 15. 2. Istri mejaga harta suaminya, menjaga kehormatannya, dan tidak keluar rumah kecuali dengan izinnya. “Wanita-wanita yang sholehah ialah wanita-wanita yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada” (Q.S. An-Nisa : 34) 3. Istri berpergian dengan suami jika suami menginginkan dan istri saat akad tidak mensyaratkan untuk tidak berpergian dengannya, karena kepergian istri bersama suami termasuk ketaatan yang diwajibkan kepadanya. 4. Istri menyerahkan dirinya kepada suaminya kapan pun suami meminta untuk menikmatinya (berhubungan badan), karena menikmatinya termasuk salah satu hak suami atas istri. 5. Jika suami berada di rumah, seorang istri harus meminta izin kepadanya jika berniat ingin berpuasa sunah. 2.11 PERNIKAHAN YANG RUSAK 1. Nikah Mut’ah, Yaitu menikah sampai batas waktu tertentu baik lama maupun sebentar. 2. Nikah Syighar, yaitu seorang wali menikahkan putrinya dengan si fulan dengan syarat si fulan mau menikahkan putrinya dengannya, baik keduanya menyebutkan maharnya kepada pihak satunya atau tidak. 3. Nikah Muhallil , yaitu seorang wanita yang ditalak tiga sehingga (mantan) suaminya diharamkan rujuk kepadanya. 4. Pernikahan orang yang sedang iham, yaitu pernikahan yang dilangsungkan ketika ihram untuk haji atau umrah dan belum memasuki waktu tahalul. 5. Nikah dalam masa iddah. 6. Nikah tanpa wali. 7. Menikah dengan wanita kafir selain wanita-wanita ahli kitab. 8. Menikah dengan Mahram. 2.12 TALAK (CERAI) a) Definisi Talak Talaq atau cerai ialah terurainya ikatan tali pernikahan dengan perkataan yang jelas, seperti perkataan suami kepada istrinya, “Engkau aku ceraikan” atau dengan bahasa sindiran yang disertai niat menceraikan, seperti suami berkata kepada istrinya “Pergialah kepada keluargamu!”. b) Hukum Talak Talaq diperbolehkan untuk menghilangkan mudarat dari salah satu pasangan suami istri. Hukumnya bisa wajib jika mudarat tersebut bisa tidak bisa dihilangkan kecuali dengan talaq. Talaq juga diharamkan jika 12
  • 16. mendatangkan mudarat bagi salah satu pasangan suami-istri dan tidak menghasilkan manfaat yang lebih baik atau sebanding dengan madaratnya. c) Macam-macam Talak 1. Talak Sunah, yaitu suami mentalak istri pada masa suci yang dalam masa tersebut tidak digauli. Jadi, jika seorang muslim hendak mentalak istrinya karena mudarat yang menimpa salah seorang dari keduanya dan mudarat tersebut tidak bisa dihilangkan kecuali dengan talak, maka ia harus menunggu istrinya haid dan suci. 2. Talak Bid’ah, yaitu suami mentalak istrinya pada waktu haid, atau menjalani masa nifas, atau mentalaknya dalam keadaan suci dimana pada waktu tersebut ia menggauli istrinya, atau mentalaknya dengan talak tiga. 3. Talak Ba’in, yaitu suami pencerai tidak mempunyai hak rujuk kepada istrinya. 4. Talak Raj’i, yaitu talak dimana suami berhak rujuk dengan istrinya kendati istrinya tidak menghendaki. 5. Talak Sharih (jelas), yaitu talak yang tidak membutuhkan niat talak, namun hanya membutuhkan ungkapan talak yang jelas. 6. Talak Kiasan, yaitu talak yang tidak membutuhkan niat talak, karena ungkapan talaknya tidak jelas. 7. Talak Munajjaz dan Talak Mu’allaq, Talak Munajjaz talak yang menjadikan istri tertalak sejak saat itu juga. Misalnya ungkapan “Engkau telah ditalak”. Sedangkan Talak Mua’allaq ialah talak yang dikaitkan dengan mengerjakan atau meninggalkan sesuatu. 8. Talak Takhyir dan Talak Tamlik, Talak Takhyir ialah seorang suami berkata kepada istrinya, “Pilihlah, atau aku akan memberi pilihan kepadamu; engkau aku bepisah denganku atau tetap bersamaku”. Jika istri memilih talak maka ia ditalak. Talak Tamlik ialah seorang suami berkata kepada istrinya “Aku serahkan semua urusanmu kepadamu, dan semua masalahmu di tanganmu”. Jika ia berkata seperti itu kepada istrinya, kemudian istrinya berkata “Kalau begitu, aku memilih talak”. Maka talak raj’i satu jatuh pada istrinya. 9. Talak dengan wakil atau tulisan 10. Talak dengan Tahrim (Pengharaman), misalnya suami berkata “Engkau haram bagiku”. Jika ia meniatkan talak, maka talak telah jatuh dan jika meniatkannya Zhihar maka Zhihar telah jatuh dan ia wajib membayar kafarat. 11. Talak Haram, Suami mentalak tiga istrinya ecara langsung. 13
  • 17. 2.13 KHULU’ a. Definisi Khulu’ Khulu’ ialah istri menebus diri dari suami yang tidak disukainya degan sejumlah uang yang ia serahkan kepada suaminya agar ia bisa terlepas darinya. b. Hukum Khulu’ Khulu diperbolehkan jika memenuhi syarat-syaratnya. c. Syarat-syarat Khulu’ 1. Kebencian berasal dari pihak istri. 2. Istri tidak boleh menuntut khulu’ kecuali setelah mudarat telah membesar dan ia khawatir tidak bisa menerapkan hukum-hukum Allah terhadap dirinya, atau pada hak-hak suaminya. 3. Suami tidak boleh sengaja menganiaya istri agar istri meminta khulu’ terhadapnya d. Ketentuan Khulu’ 1. Suami disunahkan tidak mengambil tebusan melebihi nilai maharnya. 2. Jika khulu’ terjadi dengan kalimat khulu, maka wanita yang melakukannya menjalani masa iddah sekali haid. 3. Suami yang telah di khulu’ tidak boleh kembali kepada istrinya, karena khulu’ telah memisahkan darinya. 4. Seorang ayah boleh melakukan khulu’ mewakili putrinya yang masih kecil jika terpaksa karena putrinya belum dewasa. 2.14 ILA’ a. Definisi Ila’ Ialah sumpah seseorang dengan nama Allah Swt. untuk tidak menggauli istrinya selama lebih dari empat bulan. b. Hukum Ila’ Hukumnya diperbolehkan untuk memberi pelajaran kepada istri jika dilakukan kurang dari empat bulan. c. Ketentuan Ila’ 1. Jika masa ila’ yaitu empat bulan sudah habis, dan suami tetap tidak mengauli istrinya, maka istrinya meminta suaminya kembali kepadanya atau mentalaknya di depan hakim. 2. Jika suami yang mengila’ istrinya menghentikan ila’nya dan tidak mentalaknya, maka hakim mentalaknya untuk menghindari terjadinya madarat terhadap sang istri. 3. Jika suami yang mengila’ mentalak istrinya setelah menghentikan ila’nya, maka itu tergantung talaknya. 14
  • 18. 4. Istri yang ditalak karena ila’ harus menjalani iddah sebagaimana iddah karena talak, dan iddahnya tidak cukup hanya dengan bersih rahim dengan adanya haid, karena bersihnya rahim bukan merupakan illah (alasan) dari iddah semata. 5. Jika suami tidak melakukan hubungan badan dengan istrinya selama jangka waktu ila’ maka harus dihentikan seperti suami yang melakukan ila’. Ia harus menggauli istrinya, atau mentalaknya jika istri memintanya. 6. Jika suami yang melakukan ila’ kembali kepada istrinya sebelum habis sumpahnya untuk tidak akan menggaulinya, maka ia harus membayar kafarat sumpahnya. 2.15 ZHIHAR Ialah ucapan suami kepada istrinya, “Engkau bagiku seperti punggung ibuku”. Hukumnya haram. Wajib membayar kafarat berupa memerdekakan budak yang beriman atau puasa dua bulan berturut-turut, atau memberi makan 60 orang miskin yang besarnya dua mud kurma bagi setiap orang muslim. 2.16 LI’AN a. Definisi Li’an Ialah tuduhan suami bahwa istrinya berzina dengan mengatakan, “Aku melihat wanita ini berzina”. Atau tidak mengakui bayi yang dikandung istrinya karena bukan berasal darinya, kemudian masalah ini dibawa dihadapan hakim. b. Hikmah Li’an 1. Melindungi kehormatan suami istri dan mejaga kemuliaan seorang muslim. 2. Menghindarkan had qadzaf (menuduh berzina) dari suami dan had zina dari istri 3. Sebagai sarana untuk tidak mengakui anak yang bisa jadi tidak berasal dari pemiliknya, yaitu suami. c. Ketentuan Li’an 1. Baligh dan berakal 2. Suami harus mengaku melihat istrinya berzina, dan dalam kasus menolak janin di kandungn istrinya, ia harus mengaku bahwa ia sama skali tidak menggauli istrinya, atau ia tidak menggauli istrinya dalam jangka waktu yang menyebabkan kehamilan. 3. Hakim harus melangsungkan li’an di depan beberapa orang dari kaum muslimin dan menggunakan kalimat yang disebutkan didalam al- quran. 15
  • 19. 4. Hakim harus menasehati suami. 5. Hakim memisahkan suami istri yang telah melakukan li’an dan keduanya tidak boleh bersatu lagi selama-lamanya. 6. Karena li’an seorang suami terhadap istrinya, maka anaknya dan suami tersebut tidak berhak saling mewariskan dan suami tidak berkewajiban untuk menafkahinya. 7. Anak menjadi ahli waris ibunya. 8. Jika setelah li’an suami mendustakan dirinya sendiri, maka anak yag tadinya tidak diakui itu dinasabkan kepadanya. 2.17 IDDAH a. Definisi Iddah Ialah hari-hari dimana wanita yang ditalak menjalani masa penantian. Pada masa-masa itu ia tidak boleh menikah dan tidak boleh meminta dinikahi. Iddah hukumnya wajib. b. Hikmah Iddah 1. Memberi kesempatan kepada suami untuk kembali kepada istrinya tanpa kesulitan yang berarti, jika talaknya adalah talak raj’i. 2. Untuk mengetahui kekosongan rahim agar tidak terjadi pencampuran nasab. 3. Agar istri dapat membantu keluarga suami dan setia kepada suami, jika iddahnya adalah iddah karena suami meninggal dunia. c. Jenis-jenis Iddah 1. Iddah wanita yang ditalak yang masih haid, yaitu tiga quru’ . 2. Iddah karena talak bagi wanita yang tidak haid lagi karena usianya telah lanjut atau karena masih kecil adalah tiga bulan 3. Iddah wanita hamil yang di talak adalah sampai ia melahirkan bayinya 4. Iddah wanita yang haid kemudian terhenti karena sebab yang bisa diketahui, atau karena sebab yang idak bisa diketahui. Jika penyebabnya terhentinya bisa diketahui, misalnya karena menyusui, atau karena sakit. Maka ia menunggu kelanjutan haidnya dan beriddah dengannya, kendati waktunya sangat lama. Jika penyebab terhentinya tidak diketahui, maka iddahnya adalah setahyun, yaitu sembilan bulan iddah wanita hamil dan tiga bulan iddah wanita yang tidak haid. 5. Iddah wanita yang ditinggal suaminya adalah empat bulan sepuluh hari bagi budak wanita. 6. Iddah wanita mustahadhah, yaitu wanita yang darahnya keluar terus. Jika darah (haid)nya bisa dibedakan dengan darah istihadhah, atau ia mempunyai kebiasaan rutin hadi bisa diketahui, maka iddahnya tiga quru’. 16
  • 20. 7. Iddah wanita yang ditinggal suaminya dan tidak diketahui nasibnya, apakah masih hidup atau meninggal dunia, maka ia harus menunggu empat tahun sejak ia tidak mendapat kabar berita tentang suaminya, kemudiaan menjalani masa iddah seperti iddah wanita yang ditinggal mati suaminya. 2.18 HIKMAH NIKAH Ulama fiqh mengemukakan beberapa hikmah perkawinan, yang terpenting di antaranya adalah sebagai berikut. 1. Menyalurkan naluri seksual secara sah dan benar. Secara alami, naluri yang sulit dibendung oleh setiap manusia dewasa adalah naluri seksual. Islam ingin menunjukkan bahwa yang membedakan manusia dengan hewan dalam menyalurkan naluri seksual adalah melalui perkawinan, sehingga segala akibat negatif yang ditimbulkan oleh penyaluran seksual secara tidak benar dapat dihindari sedini mungkin. Oleh karena itu, ulama fiqh menyatakan bahwa pernikahan merupakan satu-satunya cara yang dimaksudkan Allah SWT dalam firman -Nya: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih sayang …” (QS.30:21). Berkaitan dengan hal itu, Rasulullah SAW bersabda : “Wanita itu (dilihat) dari depan seperti setan (menggoda), dari belakang juga demikian. Apabila seorang lelaki tergoda oleh seorang wanita, maka datangilah (salurkanlah kepada) istrinya, karena hal itu akan dapat menentramkan jiwanya” (HR. Muslim, Abu Dawud, dan at-Tirmizi). 2. Cara paling baik untuk mendapatkan anak dan mengembangkan keturunan secara sah. Dalam kaitan ini, Rasulullah SAW bersabda: “Nikahilah wanita yang bisa memberikan keturunan yang banyak, karena saya akan bangga sebagai nabi yang memiliki umat yang banyak dibanding nabi-nabi lain di akhirat kelak” (HR. Ahmad bin Hanbal). 3. Menyalurkan naluri kebapakan atau keibuan . Naluri ini berkembang secara bertahap, sejak masa anak-anak sampai masa dewasa. Seorang manusia tidak akan merasa sempurna bila tidak menyalurkan naluri tersebut. 4. Memupuk rasa tanggung jawab dalam rangka memelihara dan mendidik anak, sehingga memberikan motivasi yang kuat bagi seseorang untuk membahagiakan orang-orang yang menjadi tanggung jawab. 5. Membagi rasa tanggung jawab antara suami dan istri yang selama ini dipikul masing-masing pihak. 17
  • 21. 6. Menyatukan keluarga masing-masing pihak, sehingga hubungan silaturrahmi semakin kuat dan terbentuk keluarga baru yang lebih banyak. 7. Memperpanjang usia. Hasil penelitian masalah-masalah kependudukan yang dilakukan Perserikatan Bangsa-bangsa pada tahun 1985 menunjukan bahwa pasangan suami istri mempunyai kemungkinan lebih panjang umurnya dari pada orang-orang yang tidak menikah selama hidupnya. Oleh karen itu, ulama fiqih sepakat menyatakan bahwa untuk memulai suatu perkawinan ada beberapa langkah yang perlu dilalui dalam upaya mencapai cita-cita rumah tangga sakinah. Langkah-langkah itu dimulai dari peminangan (Khitbah) calon istri oleh pihak laki-laki dan melihat calon istri; sebaliknya, pihak wanita juga berhak melihat dan menilai calon suaminya itu dari segi keserasian (kafaah). Masih pendahuluan perkawinan ini, menurut ulama fiqih, islam juga mengingatkan agar wanita yang dipilih bukan orang yang haram dinikahi (mahram). Dari berbagai rangkaian pernikahan pendahuluan ini, menurut Muhammad Zaid al -Ibyani (tokoh fiqh dari Bagdad), Islam mengharapkan dalam perkawinan nanti tidak muncul kendala yang akan menggoyahkan suasana as-sakinah, al-mawadah, dan ar-rahmah. 2.19 HUKUM PERKAWINAN NEGARA MUSLIM Jika undang-undang hukum keluarga di dunia muslim yang diberlakukan pada abad ke -20 dicermati, ternyata masalah pokok yang mendapat perhatian dalam rangka mendukung kelanggengan kehidupan perkawinan dengan suasana sakinah, mawaddah, dan rahmah tersebut di atas, yaitu masalah batas umur untuk kawin, masalah peranan wali dalam nikah, masalah pendaftaran dan pencatatan perkawinan, masalah maskawin dan biaya perkawinan, masalah poligami dan hak-hak isteri dalam poligami, masalah nafkah isteri dan keluarga serta rumah tempat tinggal, masalah talak dan cerai di muka pengadilan, masalah hak-hak wanita yang dicerai suaminya, masalah masa hamil dan akibat hukumnya, masalah hak dan tanggung jawab pemeliharaan anak setelah terjadi perceraian (Mahmood,1987:12). 2.19.1 Masalah batas umur untuk kawin. Pasal 7 ayat (1) Undang-undang perkawinan No. 1 tahun 1974 menyatakan bahwa perkawinan hanya diizinkan jika pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun. Sedangkan Hukum Keluarga di Mesir menjelaskan bahwa perkawinan hanya dapat diizinkan jika laki-laki berumur 18 tahun dan wanita berumur 16 tahun, demikian juga dalam Hukum Keluarga di Pakistan dinyatakan bahwa perkawinan dapat dilakukan jika laki-laki sudah berumur 18 tahun dan wanita berumur 16 tahun (Mahmood, 1987 :270). Batas umur kawin untuk Indonesia di atas, jika dibandingkan dengan batas umur kawin baik di Mesir maupun Pakistan sebenarnya sama, kecuali untuk laki-laki relatif tinggi. 18
  • 22. Dalam tingkat pelaksanaan, batas umur kawin bagi wanita yang sudah rendah itu masih belum tentu dipatuhi sepenuhnya. Untuk mendorong agar orang kawin di atas batas umur terendahnya, sebenarnya pasal 6 ayat (2) UU No. 1 tahun 1974 telah melakukannya dengan memberikan ketentuan bahwa untuk melaksanakan perkawinan bagi seorang yang belum berumur 21 tahun harus mendapat izin dari orang tua. Akan tetapi dalam kenyataan justru sering pihak orang tua sendiri yang cenderung menggunakan batas umur terendah itu atau bahwa lebih rendah lagi. Di Mesir, meskipun perkawinan yang dilakukan oleh orang yang belum mencapai batas umur terendah itu sah juga, tetapi tidak boleh didaftarkan(Mudzhar,1998: 179). Di anak benua India, pada tahun 1929 diterbitkan suatu undang-undang untuk mencegah perkawinan anak di bawah umur (Child Marriage Restraint Act, 1929). Undang-undang ini menetapkan larangan mengawinkan anak perempuan sebelum mencapai usia 14 tahun dan anak lelaki sebelum mencapai usia 16 tahun. Undang- undang ini juga menetapkan sanksi hukuman atas pelanggaran ketentuan -ketentuannya. Pencegahan perkawinan anak di bawah umur yang belum mencapai usia tersebut di anak benua India dipertegas dengan memberikan khiyar fasakh setelah dewasa kepada anak di bawah umur itu baik yang lelaki maupun perempuan apabila mereka dikawinkan oleh wali mereka sebelum mencapai usia tersebut di atas (Siraj,1993:107). Tidak diragukan bahwa pemerataan pendidikan, kondisi sosial ekonomi dan bentuk-bentuk pengarahan masyarakat memberi andil dalam mengurangi keinginan untuk melakukan perkawinan di bawah umur di Mesir dan Pakistan. Akan tetapi beberapa lingkungan sosial tertentu masih melakukan perkawinan seperti itu karena pertimbangan-pertimbangan dan kepentingan-kepentingan yang mereka asumsikan. Untuk memenuhi ketentuan-ketentuan guna mendapatkan perlindungan hukum mereka cukup pergi ke dokter untuk memperoleh surat keterangan bahwa anak-anak tersebut telah mencapai usia yang dikehendaki oleh hukum (Siraj,1993:107). 2.19.2 Masalah pencatatan perkawinan. Masalah pencatatan nikah ini menempati terdepan dalam pemikiran fiqh modern, mengingat banyaknya masalah praktis yang timbul dari tidak dicatatnya perkawinan yang berhubungan dengan soal-soal penting seperti asal-usul anak, kewarisan dan nafkah. Timbulnya penertiban administrasi modern dalam kaitan ini telah membawa kemudahan pencatatan akad dan transaksi –tarnsaksi yang berkaitan dengan barang-barang tak bergerak dan perusahaan. Tidak ada kemuskilan bagi seseorang untuk memahami sisi kemaslahatan dalam pencatatan nikah, akad dan transaksi-transaksi ini ( Siraj,1993:105). Pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan No.1 tahun 1974 menyatakan bahwa tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Meskipun Ulama Indonesia umumnya setuju atas ayat tersebut dan tidak ada reaksi terbuka tasanya, tetapi karena persyaratan pencatatan di atas tidak disebut dalam kitab-kitab 19
  • 23. fiqh, dalam pelaksanaannya masyarakat muslim Indonesia masih mendua. Misalnya, masih ada orang yang mempertanyakan apakah perkawinan yang tidak dicatatkan itu dari segi agama lalu tidak menjadi tidak sah. Kecenderungan jawabannya ialah bahwa kalau semua rukun dan syarat perkawinan sebagaimana dikehendaki dalam kitab fiqh sudah terpenuhi, suatu perkawinan itu tetap sah. Sebagai akibatnya ialah banyak orang yang melakukan kawin di bawah tangan di Indonesia. Apalagi jika perkawinan itu merupakan perkawinan kedua dan ketiga, kecenderungan untuk kawin di bawah tangan semakin kuat lagi. Pada waktunya keadaan ini dapat mengacaukan proses-proses hukum yang akan terjadi berikutnya atau mengacaukan hak-hak hukum anak yang dihasilkannya. Seharunsnya dipahami bahwa keharusan pencatatan perkawinan adalah bentuk baru dan resmi dari perintah Nabi Muhammad SAW agar mengumumkan atau mengiklankan nikah meskipun dengan memotong seekor kambing (Mudzhar,1998 : 180-181). Usaha untuk menetapkan pencatatan perkawinan di Mesir dimulai dengan terbitnya Ordonansi Tahun 1880 yang berisi ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan pegawai-pegawai pencatat nikah dan dasar-dasar pemilihan dan pengangkatan mereka serta menyerahkan pelaksanaan pencatatan nikah itu kepada Kemauan para pihak yang berakad dan pertimbangan kepentingan mereka. Ordonansi Tahun 1880 itu didikuti dengan lahirnya Ordonansi Tahun 1897 yang pasal 31-nya menyatakan bahwa gugatan perkara nikah atau pengakuan adanya hubungan perkawinan tidak akan didengar oleh pengadilan setelah meninggalnya salah satu pihak apabila tidak dibuktikan dengan suatu dokumen yang bebas dari dugaan pemalsuan. Sedangkan di Pakistan telah timbul pemikiran tentang kewajiban mencatatkan perkawinan dengan ditetapkannya suatu ketentuan yang termuat dalam pasal 5 Ordonansi Hukum Keluarga Islam Tahun 1961 (Muslim Family Laws Ordinance,1961). Dalam pasal ini ditegaskan bahwa yang berwenang mengangkat pejabat-pejabat pencatat nikah dan mengizinkan mereka untuk melakukan pencatatan akad nikah adalah Majelis Keluarga(Union Council) dan bahwa majelis ini memberi izin untuk melakukan pekerjaan tersebut hanya kepada satu orang pada setiap daerah tertentu. Sesuai dengan pasal tersebut, perkawinan yang tidak dicatat tidaklah dianggap batal. Hanya saja para pihak berakad dan saksi yang melanggar ketentuan ordonansi itu dapat dihukum karena tidak mencatatkan nikah itu, dengan hukuman penjara selama-lamanya tiga bulan dan hukuman denda setinggi-tingginya seribu rupiah. Ketentuan hukuman ini sama sekali tidaklah bertentangan dengan dengan asas-asas pemikiran hukum pidana Islam, yang justru memberi hak kepada penguasa untuk memberikan hukuman ta’zir bila diperlukan guna mempertahankan kepentingan-kepentingan yang dikehendaki oleh syara’ (Siraj,1993:106). Dari tiga negara tersebut terdapat kesamaan pandangan tentang perlunya akad nikah diaktakan. Pentingnya diaktakan akad perkawinan di atas karena menyangkut 20
  • 24. persoalan asal-usul anak, kewarisan dan nafkah. Akan tetapi tiga negara di atas belum sampai kepada sikap dan pandangan bahwa pencatatan nikah termasuk rukun baru dari akad nikah. Hal ini dapat dilihat dari masih dianggap sah suatu pernikahan yang tidak dicatat. Keharusan pencatatan perkawinan di atas seharusnya dipahami sebagai bentuk baru dan resmi dari perintah Nabi Muhammad SAW agar mengumumkan atau menmgiklankan nikah meskipun dengan memotong seekor kambing. Dalam masyarakat kesukuan yang kecil dan tertutup seperti di Hijaz dahulu, dengan pesta memotong hewan memang sudah cukup sebagai pengumuan resmi. Akan tetapi dalam masyarakat yang kompleks dan penuh dengan formalitas seperti zaman sekarang ini, pesta dengan memotong seekor kambing saja tidak cukup melainkan harus didokumentasikan secara resmi pada kantor yang bertugas mengurusi hal itu. Karena itu mungkin kewajiban pencatatan ini dapat dipikirkan untuk menjadi tambahan rukun nikah dalam kitab fiqh baru nanti (Mudzhar,1998 :180-181). Di samping itu, ada pula argumen lain yang mendukung pentingnya pencatatan perkawinan itu dilakukan dengan berpedoman pada ayat Alquran yang menyatakan bahwa dalam melakukan transaksi penting seperti hutang-piutang hendaknya selalu dicatatkan (Q.S. 2 : 282). Tidak syak lagi bahwa perkawinan adalah suatu transaksi penting (Mudzhar,1999 : 112). 2.19.3 Masalah cerai di depan pengadilan Pasal 39 ayat (1) UU Perkawinan No. 1 tahun 1974 menyatakan bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. Aturan ini berbeda dengan kitab-kitab fiqh klasik yang menyatakan bahwa talak dapat terjadi dengan pernyataan sepihak dari suami, baik secara lisan maupun tertulis, secara bersungguh-sungguh atau bersenda gurau (Mudzhar,1999:116). Di Pakistan, menurut UU tahun 1961 dinyatakan bahwa seorang suami masih dapat menjatuhkan talak secara sepihak di luar pengadilan, tetapi segera setelah itu ia diwajibkan melaporkannya kepada pejabat pencatat perceraian yang kemudian akan membentuk Dewan Hakam (Arbitrasi) untuk menengahi dan mendamaikan kembali pasangan suami isteri itu. Jika setelah 90 hari usaha perdamaian itu gagal, talak itu berlaku. Di Mesir sampai terbitnya Undang-Undang Tahun 1979 tentang beberapa ketentuan hukum keluarga menghendaki dibatasinya hak talak suami dengan cara mewajibkannya mencatatkan talak pada waktu dijatuhkan dan memberitahukan kepada isterinya. Jika tidak, ia dapat dikenai hukuman kurungan selama-lamanya enam bulan dan denda sebanyak-banyaknya dua ratus pound, dan talak hanya menimbulkan akibat hukum sejak dari tanggal diketahuinya oleh isteri. Undang- 21
  • 25. undang itu juga menetapkan untuk janda yang ditalak setelah dicampuri suatu pemberianmutah yang besarnya sama dengan nafkah selama dua tahun (Mahmood,1987: 31-32). Di Indonesia dengan keharusan mengucapkan talak di depan sidang pengadilan, praktis konsep talak tiga yang dijatuhkan sekaligus juga tidak berlaku lagi. Demikian juga di Mesir. Semua pengaturan ini dilakukan untuk melindungi hak-hak wanita (Mudzhar,1999:116). 2.19.4 Poligami Pasal 3 ayat (1) dan (2) UU Perkawinan No. 1 tahun 1974 menyatakan bahwa pada dasarnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang isteri. Juga seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami. Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Kemudian dalam PP No.9 tahun 1975 pasal 40 dinyatakan bahwa apabila seorang suami bermaksud untuk beristeri lebih dari satu, ia wajib mengajukan permohonan secara tertulis kepada pengadilan. Ketentuan-ketentuan tersebut pada dasarnya mempersulit terjadinya poligami, bahkan bagi pegawai negeri berdasarkan PP No. 10 tahun 1983 poligami praktis dilarang. Ketentuan-ketentuan Ordonansi Mesir tahun 1929 yang memberi wanita hak minta pemutusan hubungan perkawinan karena adanya kesakitan secara umum. Orientasi ini ternyata diterima oleh pihak-pihak yang bersengketa mengenai poligami. Akan tetapi kemudian terbit Undang-Undang Tahun 1979 yang membawa ketentuan-ketentuan baru mengenai poligami. Dalam pasal 6 Undang-undang tersebut ditegaskan dua hal, yaitu pencatat nikah wajib memberi tahu isteri terdahulu tentang perkawinan kedua suaminya apabila perkawinan tersebut dilakukan oleh suaminya itu, dan dianggap menyakiti isteri adanya wanita lain yang mendampingi suaminya tanpa persetujuannya, meskipun pada waktu dilakukan akad nikahnya dahulu ia tidak mensyaratkan kepada suaminya agar tidak memadunya. Demikian pula suami merahasiakan terhadap isterinya yang baru bahwa ia berada dalam ikatan perkawinan dengan orang lain, dan hak isteri untuk minta pemutusan perkawinan gugur dengan lewatnya waktu satu tahun sejak ia mengetahui adanya sebab yang menimbulkan kesakitan itu yaitu poligami) selama ia tidak setuju terhadap hal itu yang dinyatakan secara tegas atau diam-diam ( Mahmood,1987: 273-274). Di Mesir poligami itu sendiri dianggap sebagai menyakiti isteri sehingga memberinya hak untuk meminta pemutusan perkawinan selama ia tidak setuju atau belum lewat waktu satuy tahjun sejak ia mengetahui kejadian pernikahan suaminya dengan wanita lain. Hal ini berbeda dengan keadaan sebelumnya hak minta 22
  • 26. pemutusan perkawinan itu diberikan kepada isteri apabila dengan poligami itu terbukti adanya kesakitan yang dialami isteri (Siraj,1993 : 108-109). Hukum Pakistan mengikuti garis perkembangan yang sama dalam masalah poligami. Dalam Undang-Undang Pemutusan Perkawinan Islam Tahun 1939 dinyatakan bahwa wanita berhak minta pemutusan perkawinan apabila terbukti ia mendapat kesakitan karena poligami. Kemudian diterima pandangan yang membatasi poligami, akan tetapi dilakukan dengan cara yang berbeda dengan cara yang diambil oleh hukum Mesir. Ordonansi Pakistan Tahun 1961 menyatakan wajibnya seorang yang ingin melakukan poligami memperoleh persetujuan majelis keluarga yang akan mengangkat suatu badan arbitrasi yang mencakup wakil isteri , dan badan arbitrasi ini tidak akan mengeluarkan persetujuan sang suami mengambil satu isteri lagi sebelum ia yakin betul terhadap keadilan dan perlunya suami kawin lagi. Pasal 6 Ordonansi Pakistan Tahun 1961 itu menetapkan bahwa suami yang melakukan perkawinan kedua dengan wanita lain tanpa memperoleh persetujuan tersebut, dapat dikenakan hukuman penjara selam-lamanya satu tahun dan denda sebanyak- banyaknya lima ribu rupiah, dan isteri terdahulu memperoleh hak atas talak (Mahmood,1987:245-246). Dari sudut pandangan fuqaha modern, dengan menetapkan hukuman seperti itu atas semata -mata poligami, ordonansi tersebut telah sampai pada batas pelanggaran terhadap filsafat fiqh yang menegaskan bahwa tidak ada hukuman dalam melakukan perbuatan yang dibenarkan syara’(Siraj,1993:109). Di dunia muslim pada umumnya kecenderungannya adalah sama yaitu membatasi terjadinya poligami dan pembatasan itu bervariasi bentuknya dari cara yang paling lunak sampai paling tegas. Cara lain bagi pembatasan polgami adalah dengan pembuatan perjanjian. Isteri diberi hak untuk meminta suami ketika melangsungkan perkawinan agar membuat perjanjian bahwa jika ia ternyata nanti nikah lagi dengan wanita lain, si isteri dapat langsung meminta cerai kepada pengadilan atau dengan sendirinya jatuh talak satu apabila yang melanggar itu Pihak isteri (Mudzhar,1999:117). Munculnya berbagai peraturan perundang- undangan di negara-negara muslim tersebut, terutama dalam bidang pernikahan, hendaklah dipahami sebagai langkah dan cara untuk mempertahankan kelanggengan kehidupan keluarga yang dicita-citakan Islam. 23
  • 27. BAB III ANALISIS 3.1 ISLAM MEMANDANG PERNIKAHAN YANG SESUAI AL-QURAN DAN HADIST Setiap agama memiliki budaya/ritual dalam proses pernikahan yang telah mengakar secara turun temurun diwariskan kepada generasi baru. Tetapi dalam agama islam mengajarkan bahwa proses menikah itu harus sesuai dengan tuntunan Al-quran dan As-sunnah. Fitrah sebagai manusia menikah menjadi sebuah kebutuhan yang harus dipenuhi yang dengannya kita bisa meraih ketenangan dan ketentraman dalam hidup. Sumber : https://tafsirq.com/30-ar-rum/ayat-21. Perlu diketahui berdasarkan surat Ar-Rum Ayat 21 bahwa tanda-tanda kekuasaan Allah di tunjukan dengan penciptaan laki-laki dan perempuan yang saling berpasangan juga berasal dari spesies (baca : manusia) yang sejenis/segolongan. Akhir-akhir ini sekitar bulan Februari 2016, Indonesia dibumingkan dengan kasus LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender), apabila kita tengok hadist nabi sebagai berikut. “Akan terjadi pada akhir zaman ini ketika mendekati terjadinya kiamat berbagai peristiwa. Diantaranya seorang laki-laki mengawini laki-laki, yang hal itu termasuk hal yang diharamkan Allah dan Rasul-Nya serta dibenci Allah dan Rasul-Nya. Dan diantaranya juga seorang wanita mengawini wanita, yang hal itu termasuk, yang diharamkan Allah dan Rasul-Nya serta dibenci Allah dan Rasul-Nya. Tidak ada sholat bagi mereka selama mereka 24
  • 28. mengerjakan hal itu, hingga bertobat kepada Allah dengan tobat yang sebenar-benarnya.” (HR. Al-Baihaqi, Ad-Daruquthni, dan Ibnu Najar). MasyaAllah, apa yang tengah kita lakukan hari ini segalanya telah tergambarkan dalam Nubuwwah Rasulullah Saw.. Pada dasarnya fitrah manusia itu berpasangan. Laki-laki dengan perempuan. Bahkan kekuasaan Allah pun berpasangan seperti siang dan malam, langit dan bumi dsb. LGBT bagi umat Islam bukan lagi pelanggaran Hak Asasi Manusia melainkan pelanggaran Fitrah Manusia. Tujuan dari pernikahan selain memenuhi kebutuhan biologis melainkan menjadi sarana untuk mendapatkan ketentraman dan kasih sayang dari Allah Swt.. Tentu saja, sebagai seorang muslim wajib bagi kita untuk mempelajari fiqih munakahat sebagai bekal sebelum menjelang pernikahan. Segala proses dan aktivitas dalam khitbah dan pernikahan harus didasarkan pada tuntunan firman-firman Allah dan Sabda-sabda Rasul. Seperti : pemahaman terhadap pengertian, fungsi, dan tujuan menikah berdasarkan surat Ar-rum ayat 21; memahami hukum, syarat dan rukun nikah; memahami etika dan sunah nikah dan memahami hal-hal apa saja yang dapat menguatkan dalam kehidupan rumah tangga serta hal-hal yang dapat menyebabkan keretakan dalam rumah tangga. 3.2 MEWUJUDKAN KELUARGA YANG SAKINAH, MAWADDAH, DAN WARAHMAH Keluarga dan keturunan islami yang ideal menjadi dambaan bagi seluruh kaum muslim. Sakinah berarti kedamaian, ketentraman, ketenangan, dan kebahagiaan. Mawaddah artinya cinta atau harapan. Sedangkan warahmah artinya kasih sayang. Kunci dari pada membentuk keluarga yang sakinah mawaddah warahmah adalah sebagai berikut. 1. Taat kepada Allah dan Rasul Bagian ini mendapat prioritas tertinggi yang sangat penting, suami istri bersama sama untuk menyeru beribadah kepada Allah seperti sholat wajib, sholat sunah, puasa, zakat, dsb yang sesuai dengan syariat Nabi Muhammad Saw. 2. Memahami Hak Suami Istri Point ini penting karena setiap orang baik suami maupun istri harus mengetahui posisi/peran diri dalam berumah tangga. Sehingga tidak terjadi penyimpangan-penyimpangan dalam masalah hak dan kewajiban seorang istri atau suami. Seorang suami mesti membimbing istrinya dan istri taat terhadap suaminya. 3. Saling mengingatkan dalam kesabaran dan ketaatan Sebagaimana Allah Swt berfirman dalam surat Al-Asr, saling mengingatkan dalam ketaatan dan kesabaran kepada Allah akan 25
  • 29. mewujudkan keluarga yang harmonis. Dapat menguatkan satu sama lain, peran berbagi satu sama lain dalam setiap permasalahan untuk dicarikan solusi yang terbaik. 4. Saling percaya dan tidak berburuk sangka. 5. Saling menjaga kehormatan dan harga diri. 6. Bersifat sopan, lemah lembut, dan selalu tersenyum. 3.3 MENJAGA KELANGGENGAN PERNIKAHAN DI NEGARA HUKUM SEPERTI INDONESIA Kaum muslim yang terlahir di negara hukum wajib mematuhi hukum tersebut selama hukum di suatu negara tidak bertentangan dengan Al-quran dan Al-Hadist. Misalnya, pernikahan melalui agama dan negara. Hal tersebut menunjukan sinergi antara agama sebagai principle of live dengan negara tempat kita hidup. Keduanya mesti dilakukan karena apabila pernikahan dilangsungkan hanya melalui agama tanpa negara maka tidak akan mendapat catatan nikah dari pernikahan tersebut. Hal tersebut menjadi penting sebagai bukti pernikahan. Agar dikemudian hari tidak terjadi masalah status anak, pewarisan harta, dan kebutuhan-kebutuhan lain yang di tetapkan oleh negara. Demi tercapainya kelanggengan pernikahan di suatu negara hukum seperti indonesia maka seyoganya kaum muslim tetap menjalankan syariat islam dengan tetap pula memperhatikan aspek-aspek yang telah negara tetapkan dalam hal ini adalah aturan dalam pernikahan. 26
  • 30. BAB IV SIMPULAN DAN SARAN 4.1 SIMPULAN Nikah adalah ikatan perkawinan yang suci sesuai syariat islam antara laki-laki dan perempuan yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan biologis sesuai dengan fitrah manusia, tetapi tujuan yang lebih besar adalah sebagai sarana untuk mendapatkan ketenangan, ketentraman, dan kebahagiaan dari Allah Swt. yang sesuai tuntunan Al-Quran dan Al-Hadist. Hukum menikah ada yang mewajibkan apabila sudah siap baik fisik, mental, jiwa, raga, dan hartanya. Hukumnya sunah apabila memiliki niat memelihara diri dari perbuatan dosa. Rukun nikah terdiri dari wali, dua orang saksi, shigat akad nikah, dan mahar. Apabila dari salah satu rukun tersebut tidak terpenuhi, maka nikahnya menjadi batal. Adapun sunah-sunah nikah seperti khutbah, doa, walimahan, pengumuman nikah, dsb menjadi bagian yang mesti diperhatikan juga, karena melaksanakan sunah berarti mengikuti Rasulullah Saw.. Nikah yang Allah ridhai adalah nikah yang sesuai tuntunan Al-quran dan Al- hadist, tidak lebih atau pun kurang. InsyaAllah, apabila kita mengikuti kedua sumber tersebut maka dapat dipastikan keluarga yang dibangun menjadi keluarga yang islami. Terciptanya kasih sayang dalam kehangatan dan keharmonisan dalam berkeluaga. Tentunya kata Sakinah, Mawaddah, Warahmah tidak menjadi sekedar kata maupun doa. Tetapi benar-benar terimplementasikan dalam kehidupan sehari- hari. 4.2 SARAN 1. Lakukan sharing yang instensif dengan ulama, dosen PAI, dan orang- orang ahli ilmu agama. 2. Memperluas referensi dari berbagai kitab yang membahas mengenai fiqih munakahat. 3. Diskusi dengan orang yang sudah menikah (berpengalaman). 4. Menambah pengetahuan dasar melalui kajian seperti parenting. 27
  • 31. DAFTAR PUSTAKA Jabir Al jazairy, Syaikh Abu Bakar. 2014. Minhajul Muslim Pedoman Hidup Harian Seorang Muslim. Jakarta : Ummul Qura. Bab Muamalah Pasal ke-6 tentang Nikah, Talak, Ruju’, Khulu’, Li’an, Zhihar, Iddah, Nafkah, dan Hadhanah Halaman 802. Hidayat, Nurul. 2013. “Munakahat”. http://fatih16.blogspot.co.id/2013/06/pernikahan-dalam-islam.html. [20 Februari 2017]. Nanda, Refsa. 2017. “Nikah : Pengertian, Hukum, Rukun, dan Syarat Nikah”. http://www.materikelas.com/2015/09/nikah-pengertian-hukum-rukun-dan- syarat.html. [20 Februari 2017]. 26