8. Para ulama hadits berbeda pendapat tentang pembagian hadits ditinjau dari aspek
kuantitas atau jumlah perawi yang menjadi sumber berita. Diantara mereka ada yang
mengelompokkan menjadi tiga bagian, yakni hadits mutawatir, masyhur, dan ahad.
Ada juga yang menbaginya menjadi dua, yakni hadits mutawatir dan hadits ahad.
Ulama golongan pertama, menjadikan hadits masyhur sebagai berdiri sendiri, tidak
termasuk ke dalam hadits ahad, ini dispnsori oleh sebagian ulama ushul seperti
diantaranya, Abu Bakr Al-Jashshash (305-370 H). Sedangkan ulama golongan kedua
diikuti oleh sebagian besar ulama ushul (ushuliyyun) dan ulama kalam (mutakallimun).
Menurut mereka, hadits masyhur bukan merupakan hadits yang berdiri sendiri, akan
tetapi hanya merupakan bagian hadits ahad. Mereka membagi hadits ke dalam dua
bagian, yaitu hadits mutawatir dan ahad.
KE HALAMAN
AGENDA
9. a. Pengertian Hadits Mutawatir
Secara etimologi, kata mutawatir berarti : Mutatabi’ (beriringan tanpa jarak). Dalam
terminologi ilmu hadits, ia merupakan haidts yang diriwayatkan oleh orang banyak,
dan berdasarkan logika atau kebiasaan, mustahil mereka akan sepakat untuk
berdusta. Periwayatan seperti itu terus menerus berlangsung, semenjak thabaqat yang
pertama sampai thabaqat yang terakhir.
Dari redaksi lain pengertian mutawatir adalah :
اَمـ
ََانَك
َ
نَع
َ
سوُسحَم
ََرَبخَأ
َ
ِهِب
َ
ةَعاَمــَج
اوُغَلـَب
ىِف
َ
ِة َرثَلكـا
اغـَلبَم
َ
ُلي ِحُت
َ
َةَداَعلا
َُؤُطا َوَت
َ
مُه
ىَلـَع
َ
ِبِذـَلكـا
Hadits yang berdasarkan pada panca indra (dilihar atau didengar) yang diberitakan oleh
segolongan orang yang mencapai jumlah banyak yang mustahil menurut tradisi mereka
sepakat berbohong.
KE HALAMAN
AGENDA
10. 1) Hadits Mutawatir harus diriwayatkan oleh sejumlah besar perawi, dan dapat diyakini bahwa
mereka tidak mungkin sepakat untuk berdusta. Ulama berbeda pendapat tentang jumlah minimal
perawi. Al-Qadhi Al-Baqilani menetapkan bahwa jumlah perawi hadits mutawatir sekurang-kurangnya
5 orang, alasannya karena jumlah Nabi yang mendapat gelar Ulul Azmi sejumlah 5 orang. Al-Istikhari
menetapkan minimal 10 orang, karena 10 itu merupakan awal bilangan banyak. Demikian seterusnya
sampai ada yang menetapkan jumlah perawi hadits mutawatir sebanyak 70 orang.
2) Adanya keseimbangan antara perawi pada thabaqat pertama dan thabaqat berikutnya.
Keseimbangan jumlah perawi pada setiap thabaqat merupakan salah satu persyaratan.
3) Berdasarkan tanggapan pancaindra. Berita yang disampaikan para perawi harus berdasarkan
pancaindera. Artinya, harus benar-benar dari hasil pendengaran atau penglihatan sendiri. Oleh karena
itu, apabila berita itu merupakan hasil renungan, pemikiran, atau rangkuman dari suatu peristiwa
lain, atau hasil istinbath dari dalil yang lain, maka tidak dapat dikatakan hadits mutawatir.
KE HALAMAN
AGENDA
11. Hadits yang mutawatir yang periwayatannya dengan suatu redaksi yang sama atau
hadits yang mutawatir lafal dan maknanya.
Contoh :
ََلاَقـ
َ
ُلوُس َر
هللا
َ
ِهيَلَع
َ
َمَّلَس َو
َ
نَم
ََبَذَك
َ
َّيَلَع
َ
أ َّوَبَتَيلَفـ
َ
ُهَدَعقَم
ََنِم
َِ
ارَّنال
Artinya :
“ sungguh al-Qur’anKu diturunkan dengan 7 bacaan (Qiraat) “.
KE HALAMAN
AGENDA
12. Hadits yang maknanya mutawatir tetapi lafalnya tidak.Atau juga hadits yang lafal serta
maknanya berlain-lain, tetapi dapat diambil dari kumpulannya satu makna yang umum.
Maksudnya adalah hadits yang para perawinya berbeda-beda dalam menyusun redaksi
pemberitaan, tetapi pada prinsipnya sama.
Contoh :
قال
ابو
مسى
م
رفع
رسول
هللا
صلى
عليه
وسلم
يديه
حتى
رؤي
بياض
ابطه
فى
شئ
من
دعائه
إال
فى
اإلستسقاء ( رواه
البخارى
ومسلم )
“konon Nabi tidak mengangkat kedua tangan beliau dalam do’a beliau selain do’a
sholat istisqa’.Dan beliau mengangkat tangannya, sehingga Nampak utih-putih kedua
ketiaknya.( H.R Bukhari Muslim)
KE HALAMAN
AGENDA
13. Sesuatu yang dapat diketahui dengan mudah bahwa hal itu adalah dari agama, dan
telah mutawatir diantara umat islam bahwa nabi s.a.w mengerjakannya atau
menyuruhnya atau selain dari hal itu.
Jenis hadits mutawati amali ini banyak jumlahnya, misalnyahadits yang menerangkan
waktu shalat, raka’at shalat, shalat jenazah, tata cara shalat, cara pelaksanaan haji dan
lain-lain.
Contoh:
“ tidak sah sholat itu dengan tidak membaca fatihah”.
KE HALAMAN
AGENDA
14. Macam-macam Hadis Ahad
1. Hadis Masyhur
Masyhur dari segi bahasa ialah al-intisyar wa asy-syuyu’, yaitu
sesuatu yang sudah tersebar dan populer, sedangkan dari segi
istilah adalah hadis yang diriwayatkan dari sahabat, tetapi
bilangannya tidak mencapai ukuran bilangan mutawatir. Atau juga
hadis yang mempunyai jalan yang terhingga, tetapi lebih dari
satu jalan dan tidak sampai kepada batas hadis mutawatir.
2. Hadis Gairu Masyhur
Hadis Gairu masyhur terbagi menjadi dua bagian, yaitu sebagai
berikut.
Aziz. Kata aziz artinya seolah-olah ditemukan, atau sedikit atau
jarang adanya. Pengertian aziz, yaitu hadis yang perawinya
kurang dari dua orang dalam semua thabaqah sanadnya. Adapun
hadis aziz terdapat pada tingkatan sahih, hasan, dan dhaif.
Garib. Garib dari segi bahasa, berarti menyendiri. Ulama
hadis mendefinisikan hadis garib adalah hadis yang pada
sanadnya terdapat seorang yang menyendiri dalam
meriwayatkan, di mana saja penyendiri dalam sanad itu
terjadi.
Kata ahad atau wahid dari segi bahasa berarti satu. Secara
istilah hadis ahad adalah suatu hadis (khabar) yang
diriwayatkan oleh satu orang, dua orang atau lebih, tetapi
tidak memenuhi faktor-faktor yang menjadikannya masyhur.
Para ulama sependapat bahwa hadis ahad tidak qat’i,
sebagaimana hadis mutawatir. Hadis ahad hanya memfaedahkan
zan. Oleh karena itu, masih perlu diadakan penyelidikan
sehingga dapat diketahui maqbul dan mardudnya, Jika ternyata
telah diketahui bahwa hadis tersebut tidak tertolak, dalam
arti maqbul maka mereka sepakat bahwa hadis tersebut wajib
untuk diamalkan sebagaimana hadits mutawatir.
Neraca yang harus kita pergunakan dalam berhujjah dengan
suatu hadis, ialah memeriksa “Apakah hadis tersebut maqbul
atau mardud”. Kalau maqbul, boleh kita berhujjah dengannya.
Kalau mardud, kita tidak dapat iktiqatkan dan tidak dapat
pula kita mengamalkannya.
KE HALAMAN
AGENDA