Majalah Hidayatullah, media dakwah yang terbit tiap awal bulan. Untuk membangun semangat ukhuwwah muslimin dunia dengan landasan AQIDAH ISLAM yang kokoh.
Materi kuliah tentang Karakteristik islam. Cari lebih banyak lagi materi kuliah Semester 1 di: http://muhammadhabibielecture.blogspot.com/2014/12/kuliah-semester-1-thp-ftp-ub.htm
Majalah Hidayatullah, media dakwah yang terbit tiap awal bulan. Untuk membangun semangat ukhuwwah muslimin dunia dengan landasan AQIDAH ISLAM yang kokoh.
Kelayakan & Ciri2 Pemimpin Terbaik Menurut IslamAr Rayyan
Membincangkan tentang kelayakan serta ciri2 pemimpin terbaik menurut perspektif Islam. Terdapat juga tambahan mengenai hak & tanggungjawab pemimpin dalam negara Islam.
Sebahagian dari Usul 20 Imam Al Banna yang menjadi petunjuk bagi daie dlam mengharungi medan dakwah. Islam mudah di fahami dan mengelakkan perpecahan yang menjadi lumrah ummah zaman ini.
Majalah Hidayatullah, media dakwah yang terbit tiap awal bulan. Untuk membangun semangat ukhuwwah muslimin dunia dengan landasan AQIDAH ISLAM yang kokoh
Majalah Hidayatullah, media dakwah yang terbit tiap awal bulan. Untuk membangun semangat ukhuwwah muslimin dunia dengan landasan AQIDAH ISLAM yang kokoh
Majalah Hidayatullah, Media dakwah yang terbit setiap awal bulan. Untuk membangun semangat ukhuwwah muslimin dunia dengan landasan AQIDAH ISLAM yang kokoh
Majalah Hidayatullah, media dakwah yang terbit tiap awal bulan. Untuk membangun semangat ukhuwwah muslimin dunia dengan landasan AQIDAH ISLAM yang kokoh.
Majalah Hidayatullah, Media dakwah yang terbit setiap awal bulan. Untuk membangun semangat ukhuwwah muslimin dunia dengan landasan AQIDAH ISLAM yang kokoh
Majalah Dakwah Islam penyambung Silaturrahmi antara Baitul Maal Hidayatullah (BMH) dengan Donatur/Muzaki yang memuat beragam informasi, edukasi dan Progrest Report BMH sebagai Amil Zakat Nasional
Majalah Hidayatullah, Media dakwah yang terbit setiap awal bulan. Untuk membangun semangat ukhuwwah muslimin dunia dengan landasan AQIDAH ISLAM yang kokoh
Majalah Hidayatullah, Media dakwah yang terbit setiap awal bulan. Untuk membangun semangat ukhuwwah muslimin dunia dengan landasan AQIDAH ISLAM yang kokoh
Majalah Hidayatullah, Media dakwah yang terbit setiap awal bulan. Untuk membangun semangat ukhuwwah muslimin dunia dengan landasan AQIDAH ISLAM yang kokoh
Majalah Hidayatullah, Media dakwah yang terbit setiap awal bulan. Untuk membangun semangat ukhuwwah muslimin dunia dengan landasan AQIDAH ISLAM yang kokoh
Majalah Hidayatullah, Media dakwah yang terbit setiap awal bulan. Untuk membangun semangat ukhuwwah muslimin dunia dengan landasan AQIDAH ISLAM yang kokoh
Majalah Hidayatullah, media dakwah yang terbit tiap awal bulan. Untuk membangun semangat ukhuwwah muslimin dunia dengan landasan AQIDAH ISLAM yang kokoh.
Majalah Hidayatullah, media dakwah yang terbit tiap awal bulan. Untuk membangun semangat ukhuwwah muslimin dunia dengan landasan AQIDAH ISLAM yang kokoh.
Majalah Hidayatullah, media dakwah yang terbit tiap awal bulan. Untuk membangun semangat ukhuwwah muslimin dunia dengan landasan AQIDAH ISLAM yang kokoh.
2. NOPEMBER 2014/MUHARAM 1436 11
KAJIAN UTAMA
Rasulullah bersabda, “Iman itu ada 70 cabang lebih
atau 60 cabang lebih. Yang paling utama adalah ucapan
la ilaha illallah, dan yang paling rendah adalah me
nyingkirkan rintangan (kotoran) dari tengah jalan, se
dang rasa malu itu (juga) salah satu cabang dari iman”.
(Riwayat Muslim)
Iman, dengan 70 cabangnya, adalah pondasi dari
bangunan peradaban Islam. Suara Hidayatullah akan
mengupas cabang-cabang iman ini untuk mengantarkan
kita kepada cita-cita tegaknya kembali
peradabaN MADINAH!
TIM PENULIS: Mahladi (Pemimpin Redaksi Kelompok Media Hidayatullah),
Hamim Thohari (Ketua Dewan Syura Hidayatullah), Hanif Hannan (Anggota Dewan
Syura Hidayatullah), Ahkam Sumadiyana (Pengurus Pimpinan Pusat Hidayatullah).
Penanggungjawab Rubrik: Deka Kurniawan. Fotografer: Muh. Abdus Syakur
Cabang iman ke-30
Selamatkan
Hidupmu
dengan Wara’
11
D
alam hidup ada hal yang halal
dan ada yang haram. Sesuatu
yang halal tentu saja boleh kita
lakukan. Sesuatu yang haram,
sudah barang tentu harus kita
jauhi.
Namun, ada pula hal-hal yang samar dan
tidak secara jelas sebagai larangan. Bukan
hitam, juga bukan putih. Orang menyebutnya:
wilayah abu-abu.
Dalam agama, perkara yang masih samar itu
disebut syubhat. Perkara seperti ini banyak kita
jumpai dalam kehidupan sehari-hari.
Pemberian hadiah, misalnya, seringkali
sarat dengan penyogokan dan gratifikasi.
Bisnis online dan investasi usaha, begitu juga.
Seringkali tersamar unsur haramnya.
Terhadap perkara syubhat ini, agama
menganjurkan hendaknya kita berhati-
hati. Jika hati kita merasa ragu, maka segera
tinggalkanlah. Sikap ini yang disebut wara’.
Dengan sikap ini kita akan terjaga dari
unsur haram. Begitu penting sikap ini dimiliki
seorang mukmin sehingga Rasulullah
menegaskan dalam Hadits yang diriwayatkan
Thabrani bahwa kebaikan agama seseorang
ditandai dengan sikap wara’.
Wallahu a’lam bish-Shawab.
3. SUARA HIDAYATULLAH | www.hidayatullah.com12
W
ara’, menurut Al-Harawi, adalah sikap
menjauhi maksiat secara optimal dengan
penuh hati-hati, serta menjauhi dosa-dosa
dengan penuh takzim kepada Allah .
Sedang menurut Yunus bin ‘Abid,
wara’ adalah sikap meninggalkan setiap hal yang syubhat
(samar-samar dan meragukan) dan mengintropeksi diri
setiap kejap mata.
Wara` Pemimpin
Sikap wara` berlaku untuk setiap hamba. Jika sikap ini
ada pada diri pemimpin, maka kemuliaannya akan lebih
tinggi. Sebab, pemimpin seperti ini akan menyelamatkan
dirinya dan orang-orang yang dipimpinnya.
Pemimpin yang wara` akan menghindari semua
perbuatan yang mengantar pada kemaksiatan. Jangankan
berbuat maksiat, perbuatan yang mubah (boleh) saja akan
dihindarinya, jika hal tersebut mengantarkan kepada
kemaksiaatan.
Karekter asli orang-orang wara’ adalah menjauhi
perkarayangharamdantidakberanimelakukansuatuyang
dapat membawa dirinya terjerumus kepada perkara yang
haram. Begitu
hati-hatinya se
hingga mereka
lebih memilih
untuk mening-
galkan perkara
tersebut.
Rasulullah
telah me
negaskan bahwa
hukum segala
yang halal itu
telah jelas.
Begitu juga
yang haram.
Dan, di antara
keduanya, kata
Rasulullah
dalam Hadits
yang diriwayat-
kan Bukhari, ada
perkara syubhat.
Barangsiapa
berhati-hati dari syubhat tersebut, dia telah membersih
kan dirinya untuk agama dan kehormatannya. Namun,
barangsiapa yang terjerumus ke dalam syubhat itu, dia
akan terjerumus ke dalam haram, bagaikan peternak yang
menggembala di sekitar kawasan terlarang dan nyaris
memasuki kawasan tersebut.
Perumpamaan ini perlu direnungkan semua pem-
impin. Sebab, seorang pemimpin pada dasarnya sedang
menggembalakan rakyatnya. Jika rakyatnya dibiarkan
mendekati kawasan terlarang, lama kelamaan mereka
akan merangsek masuk ke kawasan tersebut, lalu mema-
kan rumput dan segala tanaman di sana.
Yang paling aman adalah memilih kawasan yang jelas-
jelas halal. Karena, batas antara yang halal dan haram itu
jelas. Ibarat lahan, pagar yang memisahkan antara area
yang boleh dilintasi dengan yang tidak boleh sangat jelas.
Pemimpin yang wara’ akan memilih sikap hati-hati. Ia
akan menghindari lubang-lubang kecil yang bisa mem-
buatnya tergelincir ke dalam lubang yang lebih besar
dan dalam. Sebelum berkubang dengan perbuatan dosa,
segala hal yang mengantarkan ke arah tersebut dijauhi
secara optimal.
kajian utama
Hati-hati, Syubhat Jebakan Haram
4. NOPEMBER 2014/MUHARAM 1436 13
sudah tidak peduli halal dan haram. Yang haram saja tak
dipedulikan, apalagi yang syubhat.
Mereka juga tak segan-segan menghambur-hambur-
kan hartanya untuk biaya kampanye dan mengiklankan
diri. Mereka tanpa malu membangun citra diri yang jauh
dari jati diri sebenarnya.
Syahwat untuk menonjolkan diri, baik untuk menda-
patkan jabatan atau sekadar mendapatkan pujian, benar-
benar telah banyak menelan korban.
Betapa banyak pemimpin yang terperosok jatuh ke ju-
rang kehinaan akibat ketamakannya. Mereka selalu haus
pujian dan sanjungan. Mereka ingin selalu menonjol.
Jauhi Kesia-siaan
Orang yang memiliki sifat wara` akan selalu men-
jaga dirinya agar tidak jatuh pada perbuatan yang sia-sia.
Dalam berucap, ia sangat berhemat. Tidak menghambur-
hamburkan kata-kata kecuali yang baik dan benar.
Ia juga pandai memilih kata-kata yang tidak menying-
gung perasaan orang lain. Ia juga mengetahui di mana,
kapan, dan kepada siapa berbicara.
Orang yang wara` akan menjauhi kebencian, iri hati,
ghibah, dan namimah. Semua perbuatan tersebut hanya
akan mendatangkan kebangkrutan.
Suatu ketika Rasulullah bertanya kepada para
Sahabat, “Tahukah kamu siapakah orang yang bangkrut
itu?” Para Sahabat menjawab, “Orang yang tidak mempu-
nyai dirham atau harta sama sekali.”
Lalu beliau menjawab, “Sesungguhnya orang yang
bangkrut dari umatku adalah orang yang datang pada
hari Kiamat dengan membawa pahala shalat, shaum, dan
zakat, namun dia juga suka mencela ke sana ke mari, men-
uduh berzina, memakan harta orang lain, menumpahkan
darah, dan suka memukul.”
Sebagian kebaikan dari orang tersebut, kata Rasulullah
sebagaimana dikutip dari Hadits riwayat Muslim,
akan diberikan kepada orang-orang yang telah disakiti
nya. Apabila kebaikannya telah habis sebelum selesai
semua yang menjadi tanggungannya, maka diambillah
kesalahan-kesalahan orang yang disakiti dan ditimpakan
kepadanya. Terakhir, dia dilemparkan ke dalam neraka.
Orang yang wara`’ akan menghindari segala perbuatan
sia-sia. Mereka akan menjauhi segala perbuatan yang tidak
mendatangkan manfaat dan kebaikan. Duduk-duduk yang
tidak mendatangkan pahala akan dijauhi, sekalipun tidak
menggunjing. Mereka gunakan waktu sebaik mungkin
untuk berzikir, membaca al-Qur’an, belajar atau menga-
jar, menyeru berbuat baik (makruf) dan mencegah dari
perbuatan mungkar.
Rasulullah bersabda, “Termasuk baiknya keislam
an seseorang adalah meninggalkan semua yang tidak
bermanfaat.” (Riwayat Shahih Jami’ Shaghir)
Wallahu a’lam bish-Shawab.
Misalnya, menerima hadiah. Pada dasarnya hal ini
mubah. Tetapi bagi seorang pemimpin harus hati-hati saat
menerima hadiah. Bisa jadi hadiah yang diterima tersebut
meruapakan “sogokan”. Kebiasaan menerima hadiah bagi
seorang pemimpin bisa membentuk kebiasaan pamrih,
juga membangun karakter korupsi. Bersikap hati-hati
merupakan solusi terbaik yang ditawarkan Islam.
Bagi pemimpin yang beriman, Allah telah membe
rinya peringatan (warning) berupa perasaan “tidak enak”
ketika menerima sesuatu yang meragukan. Pada saat
seperti itu seorang pemimpin langsung bertindak untuk
menyetop pemberian tersebut.
Benarlah nasihat Rasulullah , “Tinggalkan yang
meragukan kepada yang tidak meragukan.” (Riwayat
Turmudzi)
Pemimpin yang wara’ akan meninggalkan segala hal
yang haram dan bersikap hati-hati pada semua hal yang
masih syubhat. Bagi pemimpin yang hatinya bersih, segala
yang meragukan akan mendatangkan kegelisahan dan
kerisauan. Hatinya menjadi tidak tenang.
Rasulullah bersabda, “Kebaikan adalah sesuatu
yang dapat menenangkan jiwa dan hati, sedangkan dosa
adalah sesuatu yang tidak dapat menenangkan jiwa
dan hati, sekalipun para ahli fatwa memberikan fatwa
kepadamu.” (Riwayat Ahmad, Thabrani dan Baihaqi)
Akan tetapi, pemimpin yang hatinya kotor dan
tercemar oleh berbagai kemaksiatan, hatinya tidak akan
mampu menangkap “sinyal” berupa kerisauan hati.
Mereka tetap merasa aman ketika berbuat dosa. Ibarat
listrik, sekringnya tidak berbunyi saat konslet.
Saat ini kita membutuhkan pemimpin yang sensitif,
yang hatinya peka terhadap segala hal yang memba-
hayakan diri dan kehidupan orang banyak. Sebelum api
membakar seluruh rumah dan bangunan sekitarnya, ia
siapkan pemadam kebakaran.
Dua Ketamakan
Ada dua ketamakan yang siap menghancurluluhkan
pertahanan iman seseorang, yaitu ketamakan terhadap
harta dan ketamakan terhadap jabatan
Rasulullah bersabda, “Tidaklah dua serigala
lapar yang dilepas dalam kumpulan domba lebih ganas
memangsa domba-domba itu dibandingkan ketamakan
seseorang akan kedudukan dan harta terhadap agama
nya.” (Riwayat Shahih Jami’ Shaghir)
Seseorang yang tamak terhadap harta akan menghalal
kan segala cara untuk mendapatkannya. Tak peduli harus
menggadaikan harga diri dan kehormatannya. Jika miskin,
ia tak malu meminta-minta. Jika seorang pedagang, ia tak
malu menipu dan memanipulasi.
Harta sering kali membuat orang gelap mata. Ada
anggapan barang yang haram saja sulit dicari, apalagi
yang halal. Ini potret buram ketamakan manusia. Mereka
5. SUARA HIDAYATULLAH | www.hidayatullah.com14
Terhadap hal ini, Allah berfirman:
klmno
Dan janganlah sebagian kamu memakan harta seba-
gian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil …
(Al-Baqarah [2]: 188)
Sikap Rasulullah yang amat berhati-hati terhadap
perkara syubhat patut kita contoh. Dengan berhati-hati
dan berusaha meninggalkan hal-hal yang syubhat, kehor-
matan dan agama seseorang akan selamat.
Kalaupun ia tanpa sadar terlanjur melakukan hal yang
syubhat, segera sadar dan tidak meneruskannya. Karena
orang yang membiarkan dirinya terjerumus pada perkara
syubhat, akan mudah terjerumus kepada perkara haram.
Banyak hal yang kelihatannya kecil, karena dibiarkan
bisa menjadi persoalan besar. Misalnya, kebiasaan mem-
buang puntung rokok sembarangan. Bahkan tak jarang
orang membuang puntung rokok dalam keadaan menyala.
Pikir mereka, toh akan mati dengan sendirinya. Lagi pula,
tidak ada yang menggubrisnya.
Padahal, tabiat sepele seperti itu bisa berakibat fatal.
Rumah bisa hangus, dan hutan bisa terbakar. Karena
itu waspadalah! Bukan sekadar aturan formal yang bisa
mencegah kita mendekati bahaya, tetapi ikatan moral bisa
pula mendorong kita berhati-hati.
Meski tidak ada larangan secara tegas, naluri kita
bisa merasakan adanya potensi-potensi bahaya. Dengan
berhati-hati, kita bisa menghindari potensi bahaya tadi.
Sebaliknya, dengan sembrono kita akan gampang menuai
masalah di kemudian hari.
Mereka yang sampai melakukan dosa besar, mungkin
pada mulanya tidak berencana melakukan itu. Keadaan
seperti ini pernah dialami seorang rahib yang saleh
dari Bani Israil. Pada suatu hari seorang wanita datang
kepadanya untuk berobat. Mulanya sang rahib merasa
keberatan. Ia khawatir ini bisa menjadi pintu masuknya
kemaksiatan.
Tetapi karena wanita itu memaksanya, ia pun melu-
nak. Saat mengobati dan mereka berdua saja, setan mulai
menggodanya. Terjerumuslah keduanya dalam kemaksia-
tan. Bahkan, sang wanita itu hamil.
Saat itulah sang rahib panik. Ia takut kejahatannya
terkuak dan dapat menghancurkan kehormatannya. Setan
lalu membujuknya agar membunuh wanita ini. Sang rahib
termakan bujukan tersebut. Kehormatan dan kesalehan-
S
uatu ketika, Rasulullah terjaga dari tidur.
Beliau mendapati kurma di sampingnya. Beliau
mengambil dan memakannya.
Namun sampai akhir malam, beliau tidak bisa
tidur. Beliau membolak-balikkan tubuh di atas
ranjang sambil mengerang. Sampai-sampai istri beliau
terkejut dan bertanya, “Wahai Rasulullah, kenapa engkau
tidak bisa tidur semalaman?”
Beliau menjawab, sebagaimana dijelaskan dalam
Hadits Riwayat Ahmad, “Aku menemukan kurma di sam
pingku dan memakannya. Aku khawatir ia merupakan
kurma sedekah.”
Itulah kehati-hatian Rasulullah . Kurma yang terlan-
jur beliau makan, membuat beliau tidak bisa tidur. Padahal
sebutir kurma belum pasti haram. Bahkan mungkin saja
halal. Apalagi Rasulullah ketika itu baru saja terban-
gun. Wajar bila ia tak teliti dengan keadaannya saat itu.
Pastilah orang-orang akan memaafkannya bila memang
beliau salah.
Namun, tidak bagi Rasulullah . Keadaan seperti itu
saja telah membuatnya resah berkepanjangan. Beliau kha-
watir, jangan-jangan kurma yang sudah terlanjur dimakan
itu merupakan sedekah. Rasulullah memang boleh
menerima hadiah, tetapi tidak boleh menerima sedekah.
Lalu bagaimana dengan kita andai mengalami kejadian
serupa? Sudahkah kita mengikuti jejak Sang Teladan umat?
Menjauhi Syubhat
Riba sudah pasti haram. Karena itu, seorang Muslim
yang taat, tak akan mau menikmati uang riba hasil ren
tenir.
Namun bagaimana bila kita ditawari “berinvestasi”
oleh seorang pengusaha? Apalagi pengusaha itu men-
janjikan keuntungan 10 persen per bulan dari uang yang
disetorkan. Apakah kita akan menerima? Atau, apakah
terbesit keraguan dalam hati kita untuk menerimanya?
Tawaran berinvestasi seperti ini sudah lama marak.
Keuntungan yang diberikan bersifat flat (tetap) dan
jumlahnya besar. Tak akan rugi. Bahkan, hanya dengan
bersantai uang akan datang sendiri.
Namun Muslim sejati tak akan tergiur dengan iming-
iming seperti ini. Ia pasti akan merasa ragu. Dalam hat-
inya akan bertanya, jenis usaha apa yang bisa menjanjikan
keuntungan sebesar itu? Jangan-jangan ada pihak lain
yang dirugikan. Keragu-raguan itulah yang memutuskan-
nya untuk menolak tawaran itu.
Jangan Abaikan Sinyal-sinyal Itu!
kajian utama
6. NOPEMBER 2014/MUHARAM 1436 15
nya hancur dalam sekejap.
Ini semua bermula dari syubhat. Oleh sebab itu, jangan
bermain-main dan memandang remeh syubhat. Ia bisa
menjerumuskan kita pada perkara haram dan dosa yang
berujung neraka.
Sinyal Wara’
Saat muncul perasaan risih mau melakukan sesuatu
yang kurang pantas dalam pandangan agama, segera
jauhi perbuatan itu. Perasaan risih ini ibarat sinyal yang
memberi peringatan agar kita tidak mendekatinya.
Jika terlanjur melakukannya, segera istighfar dan
memperbaiki diri. Dengan begitu kita telah memelihara
kehormatan diri dan agama kita.
Perasaan risih inilah, dalam bahasa agama disebut
wara’. Ia merupakan cabang iman. Asal arti kata wara’ ada-
lah menahan diri dari yang diharamkan. Kemudian dipin-
jam untuk istilah menahan diri dari hal yang dibolehkan
dan halal.
Salah satu contoh, kebiasaan memakai mobil dinas
untuk keperluan pribadi. Bila telah terbiasa, mungkin kita
tak akan merasa risih. Tetapi seorang aparat yang hati-
hati, akan ada perasaan risih karena ia telah menggunakan
sesuatu di luar tugas semestinya. Dia merasa lebih tenang
memakai mobil pribadinya atau memakai kendaraan
umum.
Meski teman-temannya menganggap biasa, ia tetap
saja ada perasaan ragu dan tidak nyaman memakai mobil
plat merah itu di luar jam kerjanya. Hati yang jernih me-
miliki kepekaan seperti itu.
Rasulullah bersabda, “Yang dimaksud perbuatan
birr (terpuji) adalah akhlak yang baik. Adapun dosa ada-
lah apa yang meragukan dirimu sekalipun orang-orang
mendukungmu.” (Riwayat Muslim).
Meminjam istilah Al-Ghazali, takwa memiliki lahir
dan batin. Maka untuk mencapai batinnya takwa adalah
dengan wara’.
Seorang yang bersikap wara’ tidak hanya melaksana-
kan hal yang lahir tapi juga memperhatikan yang batin.
Sebagaimana kata Ibnu Umar, tidaklah seorang hamba
mencapai hakikat ketakwaan sampai ia meninggalkan apa
yang meragukan hatinya.
Kebaikan agama seseorang adalah ditandai dengan
wara’. Sebagaimana sabda Rasulullah , “Keutamaan
ilmu lebih baik dibandingkan keutamaan ibadah. Dan
kebaikan agamamu adalah wara’. ” (Riwayat Thabrani).
Beruntunglah orang yang bersikap wara’. Seorang
yang wara’ akan bisa memelihara kehormatan diri dan
agamanya. Jika dia seorang pemimpin, akan disegani
bawahannya. Saat pimpinannya secara tegas tidak me-
makai mobil dinas untuk urusan keluarga, bawahannya
juga akan segan melakukan hal serupa.
Bukan hanya itu. Mereka yang mau mencoba main
mata untuk menyuap juga merasa segan. Kalau yang abu-
abu saja dijauhi, apalagi yang jelas-jelas hitam.
Wallahu a’lam bishshawab.
7. SUARA HIDAYATULLAH | www.hidayatullah.com16
P
eradaban modern telah mendorong manusia
hidup larut dalam egoisme, kesombongan, dan
ambisi materi. Mereka terkungkung oleh sikap
kepura-puraan, kefasikan, dan penghambaan
kepada hawa nafsu.
Bersikap wara’ terhadap kehidupan dunia, pada saat
manusia berlomba-lomba menguasainya, menjadi so-
lusi agar umat Islam tidak larut dalam arus materialisme.
Maka, sebagai wujud rasa sayang, Allah menuntun
manusia secara konkrit dengan menjelaskan hakikat
kehidupan melalui firman-Nya:
?>=<; :98
HG FED CB A@
RQPON MLKJI
[ZYX WVUTS
a`_^]
“Ketahuilah, sesungguhnya kehidupan dunia itu
hanyalah permainan dan senda gurau, perhiasan dan
saling berbangga di antara kamu, serta berlomba dalam
kekayaan dan anak keturunan, seperti hujan yang tanam-
tanamannya mengagumkan para petani; kemudian
(tanaman) itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya
kuning, kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti)
ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta kerid-
haan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah
kesenangan yang menipu.” (Al-Hadiid [57]: 20)
Hanya saja, bersikap wara’ bukan perkara mudah.
Lalu, bagaimana merealisasikan sikap ini? Apa pula lang-
kah-langkah yang bisa kita tempuh? Sebelum menjawab
pertanyaan-pertanyaan tersebut, mari simak teladan
manusia-manusia pilihan.
Pertama, Rasulullah . Suatu hari, cerita Anas RA,
Rasulullah melintasi suatu jalan. Beliau melihat kurma
dan berkata, “Sekiranya aku tidak khawatir kurma itu
berasal dari sedekah, niscaya aku akan memakannya,”
(Bukhari dan Muslim). Cerita ini menunjukkan betapa
berhati-hatinya Rasulullah terhadap perkara yang
masih samar.
Kedua, Abu Bakar as-Shiddiq. Menurut Aisyah RA,
Abu Bakar memiliki seorang budak yang diberi tugas
mengumpulkan keuntungan dari usaha-usahanya. Dari
hasil itulah Abu Bakar makan.
kajian utama
Pada suatu ketika, budak itu datang membawa ma-
kanan. Abu Bakar pun memakannya. Kemudian budak
itu berkata, “Tahukah engkau apa yang sedang engkau
makan?”
“Apa ini?” tanya Abu Bakar.
“Ketika di masa jahiliah dahulu aku menjadi para-
normal untuk seseorang, padahal aku tidak mengerti
perdukunan. Aku hanya membodohinya saja. Dia mem-
beriku imbalan. Yang sedang engkau makan itu termasuk
hasil darinya,” jelas sang budak.
Abu Bakar segera memasukkan jarinya ke dalam
mulutnya dan memuntahkan segala yang telah masuk ke
dalam perutnya.” (Riwayat Bukhari).
Ketiga, Ali Bin Abi Thalib. Seseorang yang berasal
dari Tsaqif bercerita bahwa Ali menugaskan Abdullah
bin Umair memimpin daerah Akbari, bagian dari wilayah
Kufah.
Suatu hari Ali meminta kepada Abdullah untuk shalat
Zuhur di rumahnya. Abdullah menerima. Ketika sampai
di rumah Ali, Abdullah mendapati sebuah cawan berisi
air dan cangkir. Lalu Ali meminta dibawakan ‘bathiah’
(mangkok). Ia membuka tutupnya dan makan dengan
rebusan air kacang.
Abdullah berkata kepada Ali, “Wahai Amirul Muk-
Tips Menghidupkan Sikap Wara’
8. NOPEMBER 2014/MUHARAM 1436 17
minin, engkau mengkonsumsi seperti ini di Iraq, padahal
Iraq memiliki makanan yang lebih dari ini.”
Ali berkata, “Demi Allah, tidaklah aku lakukan hal
ini karena bakhil terhadap makanan. Engkau tahu bahwa
tidak ada yang lebih menjaga milikku dari pada aku. Aku
tidak suka mengadakan sesuatu yang tidak aku miliki.
Dan aku tidak suka memasukkan sesuatu ke dalam pe-
rutku kecuali yang baik.” (Kitab al-Wara’, Ibnu Abi Dunya,
nomor 58).
Tiga kisah ini memberi teladan kepada kita bagaimana
seharusnya melawan materialisme yang menjadi loko-
motif kehidupan dunia. Nah, agar kita bisa meneladani
mereka, kita perlu memahami beberapa hal berikut:
Pertama, bersikap hati-hati terhadap siapa saja yang
menjadikan Islam sebagai permainan dan jangan tertipu
oleh dunia.
Firman Allah :
./01234
56789:;<=
>
“Dan tinggalkanlah orang-orang yang menjadikan
agama mereka sebagai main-main dan senda-gurau, dan
mereka telah ditipu oleh kehidupan dunia. Peringatkan-
lah (mereka) dengan Al Qur’an itu agar masing-masing
diri tidak dijerumuskan ke dalam neraka, karena perbua-
tannya sendiri…” (Al-An’am [6]:70).
Kedua, kita harus yakin bahwa kehidupan dunia ini
semata-mata hanya tipuan belaka.
Allah berkata dalam al-Qur’an surah Al-A’raaf [7]
ayat 51 bahwa orang-orang yang menjadikan agama se-
bagai permainan dan senda gurau maka pada hari kiamat
nanti, Allah akan melupakan mereka sebagaimana
mereka melupakan hari pertemuan mereka dengan Allah
.
Ketiga, pentingnya mengetahui cara pandang orang-
orang kafir terhadap dunia agar kita tidak mengikutinya.
Di dalam al-Qur`an surah Al-Baqarah [2] ayat 212
dijelaskan bahwa Allah telah menjadikan kehidupan di
dunia indah dalam pandangan orang-orang kafir. Mereka
memandang hina orang-orang yang beriman. Padahal,
orang-orang yang bertakwa itu lebih mulia daripada
mereka di hari Kiamat kelak.
Keempat, senantiasa menolak keinginan syahwat yang
mengutamakan kehidupan dunia.
Allah , dalam al-Qur`an surah Ali-Imran [3] ayat 14
juga menjadikan indah dalam pandangan manusia, apa-
apa yang mereka inginkan, yaitu wanita-wanita, anak-
anak, harta yang banyak, kuda pilihan, binatang-binatang
ternak dan sawah ladang.
Kelima, utamakan kehidupan akhirat daripada dunia.
Firman Allah :
bcdefghij
klmnopqrst
uvwxyz{
“Barangsiapa menghendaki pahala dunia, niscaya
Kami berikan kepadanya pahala dunia itu, dan barang-
siapa menghendaki pahala akhirat, Kami berikan (pula)
kepadanya pahala akhirat. Dan Kami akan memberi
balasan kepada orang-orang yang bersyukur.” (Ali-Imran
[3]:145).
Keenam, yakini bahwa kehidupan dunia hanya semen-
tara, sedangkan akhirat kekal dan selama-lamanya.
Allah telah mengingatkan manusia akan hal ini da
lam al-Qur`an surat Al-Anam [6] ayat 32. Kata Allah ,
tidakkah manusia paham bahwa kehidupan dunia ini tak
lain hanyalah bermain-main dan bersenda gurau belaka?
Kampung akhirat itu jauh lebih baik bagi orang-orang
yang bertakwa.
Ketujuh, hakikat harta dan anak-anak adalah ujian
bagi kita.
Allah berpesan dalam al-Qur`an surah At-Taubah
[9] ayat 55, bahwa manusia tak boleh terlena dengan
harta benda dan anak-anak. Sebab, kata Allah , boleh
jadi harta benda dan anak-anak tersebut bisa menyiksa
mereka dalam kehidupan dunia ini, serta di akhirat kelak.
Kedelapan, hati kita tidak boleh dilalaikan dengan
urusan dunia.
Lagi-lagi Allah mengingatkan orang-orang beriman
dalam al-Qur`an surah Al-Munafiquun [63] ayat 9 bahwa
mereka tak boleh dilalaikan oleh harta dan anak-anak dari
mengingat Allah . Barangsiapa berbuat lalai, kata Allah
, mereka akan menjadi orang-orang yang merugi.
Bagaimana menyikapi keragu-raguan dalam masalah
hukum: halal atau haram? Imam Nawawi memiliki ki-
atnya.
Menurutnya, jika muncul keragu-raguan akan halal
atau haramnya sesuatu, sedangkan tidak ada dalil tegas
dan tidak ada pula ijma’, lalu orang-orang yang punya
kemampuan berijtihad mencoba berijtihad dengan meng-
gandengkan hukum pada dalil, dan hasilnya ada yang
halal namun masih ada yang tak jelas hukumnya, maka
sikap wara’ adalah meninggalkan yang masih meragukan
tersebut.
Sikap wara’ seperti ini termasuk dalam sabda Nabi ,
“Barangsiapa yang selamat dari perkara syubhat, maka ia
telah menyelamatkan agama dan kehormatannya.” (Riwa
yat Muslim).
Wallahu a’lam bishshawab.