4. • b. Kelebihan Tafsir Tahlili. Beberapa kelebihan dari tafsir metode ini
adalah: 1) Dapat mengetahui dengan mudah tafsir suatu surat atau
ayat, karena susunan tertib ayat atau surat mengikuti susunan
sebagaimana terdapat dalam mushaf. 2) Mudah mengetahui
munasabah (korelasi) antara suatu surat atau ayat dengan surat atau
ayat lainnya.
• 3) Memungkinkan untuk dapat memberikan penafsiran pada semua
ayat, meskipun inti penafsiran ayat yang satu merupakan
pengulangan dari ayat yang lain, jika ayat-ayat yang ditafsirkan sama
atau hampir sama. 4) Mengandung banyak aspek pengetahuan,
meliputi hukum, sejarah, sains, dan lain lain
5. • d. Tokoh dan Karya. Penafsiran yang mengikuti metode ini dapat
mengambil bentuk ma’sur (riwayat) atau ra’y (pemikiran). Di antara kitab
tahlili yang mengambil bentuk ma’sur adalah: 1) Jami’ al-Bayan ‘an Ta’wil
al-Qur’an al-Karim, karya Ibn Jarir at-Tabari (w. 310 H) dan terkenal dengan
Tafsir att-Tabari. ̣ 2) Ma’alim al-Tanzil, karya al-Bagawi (w. 516 H) 3) Tafsir al-
Qur’an al-‘Azim, karya Ibn Kasir; dan 4) Ad-Durar al-Mansur fi at-Tafsir bi al-
Ma’sur, karya al-Suyuti (w. 911 H) Adapun tafsir Tahlili yang mengambil
bentuk ra’yi banyak sekali, antara lain: 1) Tafsir al-Khazin, karya al-Khazin
(w. 741 H) 2) Anwar al-Tanzil wa Asrar al-Ta’wil, karya al-Baidawi (w. 691 H)
3) Al-Kasysyaf, karya al-Zamakhsyari (w. 538 H) 4) ‘Arais al-Bayan fi Haqaiq
al-Qur`an karya as-Sairazi (w. 606 H) 5) At-Tafsir al-Kabir wa Mafatih al-
Gaib, karya al-Fakhr al-Razi (w. 606 H) 6) Al-Jawahir fi Tafsir al-Qur’an, karya
Tantawi Jauhari. 7) Tafsir al-Manar, karya Muḥammad Rasyid Rida (w. 1935
M); dan lain-lain
6. Tafsir Ibnu Jarir Ath-Thabari
• Nama aslinya adalah Abu Ja’far, Muhammad bin Jarir bin Yazid bin Katsir bin Ghalib
al-Thabary dikenal dengan Ibnu Jarir al-Thabary. Seorang ulama’ besar yang memiliki
banyak karya yang masyhur, diantaranya tafsir Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an.
Beliau dilahirkan di kota Amul, Tabaristan, Iran pada tahun 224 H atau 839 masehi
dan mulai melakukan perjalanan menuntut ilmu ke luar daerahnya pada umur 12
tahun. Belajar di berbagai daerah di luar Iran namun pada akhirnya menetap di
Baghdad hingga wafatnya pada tahun 310 H.
• Beliau salah satu ulama’ yang paling masyhur pada zamannya. Pendapat-
pendapatnya menjadi rujukan, beliau juga seorang hafizh Qur’an bahkan sangat
faham dengan makna-makna yang dikandungnya. Sunnah nabi beliau kuasai, baik
yang shahih maupun tidak. Dan yang menjadi kelebihannya, beliau paham betul
dengan pendapat-pendapat sahabat, tabi’in dan generasi selanjutnya.
7. • Menurut Abu al-Abbas “Muhammad Ibnu Jarir itu adalah seorang yang faqih”.
Selain kitab tafsir Jami’ al Bayan, beberapa karya beliau yang tak kalah
masyhurnya ialah: Tarikh al-Umam wa al-Muluk yang menjadi rujukan utama
kitab sejarah raja-raja Arab, kitab al-Qiraat, al-Adad wa al-Tanzil, kitab Ikhtilaf
al-Ulama’, Tarikh al-Rijal min al-Sahabat wa al-Tabiin, kitab Ahkam Syara’ii al-
Islam dan masih banyak lagi yang lainnya yang menunjukkan keluasan ilmunya.
• Namun kitab-kitab tersebut tidak terlalu masyhur atau tidak sampai ke kita
kecuali kitab Tafsir dan Tarikhnya. Imam al-Suyuti dalam kitab Thabaqat al-
Mufassirin berkata “Beliau (Al-Thabari) awal mulanya seorang pengikut
madzhab Syafi’i kemudian membentuk madzhab sendiri dengan pendapat-
pendapatnya, dan beliau mempunyai banyak pengikut, dan dalam hal Ushul
maupun Furu’ beliau memiliki banyak karya kitab.
• Konon, tafsir al-Thabary ini sempat hampir hilang dari peredaran namun
dengan izin Allah naskah lengkapnya pada akhirnya ditemukan dalam
penguasaan seorang mantan amir Najed yaitu amir Hamud bin amir Abdu al-
Rasyid dan kemudian di salin untuk diterbitkan sehingga bisa sampai pada
tangan kita sekarang.
8. • Adapun metode penafsiran yang digunakan dalam kitab ini ialah Tahlili, yaitu
menafsirkan ayat demi ayat secara mendetil dari al-Fatihah hinggan an-Nas.
Sedangkan dari cara penafsirannya, ia termasuk dalam kategori tafsir bi al-
Ma’tsur, menafsirkan al-Qur’an dengan Qur’an, atau dengan hadist Rasul, atau
keterangan-keterangan dari para sahabat dan juga tabi’in.
• Hal ini terlihat sekali di dalam kitab at-Thabari yang menghadirkan banyak
riwayat dari hadis maupun atsar para sahabat dan tabi’in dalam menafsirkan
sebuah ayat. Sebelum memulai penafsirannya, merupakan ciri khas imam at-
Thabary berkata كذاوكذا السورة تفسير فى القولdan كذاوكذا تأويل فى القولkemudian
dikuatkan dengan riwayat-riwayat yang disandarkan kepada para sahabat,
Tabi’in. Apabila ada dua pendapat atau lebih mengenai suatu ayat, beliau akan
menguraikannya satu per satu dan didukung dengn riwayat-riwayat yang
berkenaan dengannya dari para Sahabat dan Tabi’in.
• At-Thabary sangat menentang keras para penafsir yang hanya menggunakan
akalnya saja atau murni pemahaman bahasa tanpa berpegang pada riwayat
para sahabat maupun tabi’in.
9. • Dalam menghadirkan riwayat-riwayat tersebut, beliau sering kali tidak
mensahihkan maupun mendaifkan riwayat yang beliau kutip. Inilah yang
menjadi kelemahan tafsir ini karena dengan itu beliau terlihat seperti melepas
tangung jawab. Meskipun terkadang beliau juga memberikan kritik terhadap
riwayat-riwayat yang dimunculkan dengan menjarah ta’dilkan para perawi
dalam riwayat tersebut. Contoh ketika beliau menerangkan ayat ke 94 dari
surah al-Kahfi يِف َُوندِسْفُم َجوُجْأَم َو َجوُجْأَي َّنِإ ِْنيَن ْرَقْال اَذ يا واُلقا
لىَع ًاج َْرخ َكَل ُلَعَْجن ْلَهَف ِ
ض ْرَ ْ
األ
اًّدَس ْمُهَنْيَب َو َنانْيَب َلَعْجَت ْنَأ
(
94
• Dalam menerangkan kata سد
( dinding penghalang), beliau menampilkan
sebuah riwayat yang menerangkan bahwa kata ini bisa dibaca sudda dengan
harokat dlommah pada سyang artinya terbatas pada buatan/ciptaan Allah dan
sadda dengan harakat fathah yang artinya khusus pada buatan manusia.
Setelah menampilkan riwayat ini beliau memberikan kritik bahwa dalam
rangkaian perawi dalam riwayat ini ada seorang yang bernama Harun yang
beliau anggap tidak tsiqah.
10. • Beliau memberikan otoritas yang tinggi terhadap hasil ijma’ ulama yang berkaitan
dengan tafsir suatu ayat. Contoh pada tafsir surah al-Baqarah ayat 230
• ِإَف ُه َْريَغ اًج ْو َز َحِكْنَت ىَّتَح ُدْعَب ْنِم ُهَل ُّل ِحَت َ
الَف اَهَقَّلَط ْنِإَف
َأ اَمِهْيَلَع َحَانُج َ
الَف اَهَقَّلَط ْن
َّنَظ ْنِإ اَعَجا َرَتَي ْن
اَميِقُي ْنَأ ا
َونُمَلْعَي ٍم ْوَقِل اَهُنِيَبُي ِ َّ
َّللا ُدُودُح َكْلِت َو ِ َّ
َّللا َدُودُح
• Ayat ini menerangkan tentang bagaimana cara rujuknya seorang suami yang telah
mentalak istrinya tiga kali. Secara tekstual syarat yang bisa membolehkan pasangan
yang sudah talak tiga kali ialah istri harus menikah lagi dengan orang lain dan setelah
talak barulah ia bisa menikah dengan suami yang pertama. Nah, perbedaan
penafsiran muncul dalam memahami kata nikah di ayat ini.
• Apakah nikah disini hanyalah akad ataukah harus terjadi hubungan suami istri? Ada
pendapat yang mengatakan kata nikah disini maknanya ialah akad nikah plus terjadi
jima’. Artinya jika istri tadi melakukan akad nikah kemudian talak sebelum jima’ atau
jima’ tanpa akad nikah (berzina) maka ia dianggap belum memenuhi syarat untuk
bisa rujuk kepada suami pertama. Kalau ada yang berargumen “bagaimana bisa jima’
menjadi syarat sedangkan dalam teksnya ia tidak disebutkan?” maka jawabnya
(menurut al-Thabary) karena begitulah Ijma’ mengatakan.
11. • Salah satu ciri khas lainnya dari tafsir ini ialah ketika beliau sampai pada
perdebatan tafsir mengenai hal yang dalam pandangan beliau kurang
bermanfaat ataupun tidak menjadi persoalan andai hal tersebut tidak diketahui,
maka beliau akan cenderung mempersingkat penjelasannya. Contoh ketika
pembahasan ayat ke 112 dari surah al-Maidah.
• Artinya (Ingatlah), ketika pengikut-pengikut Isa berkata: “Hai Isa putera
Maryam, sanggupkah Tuhanmu menurunkan hidangan dari langit kepada
kami?”. Isa menjawab: “Bertakwalah kepada Allah jika kamu betul-betul orang
yang beriman”.
• Ada perbedaan pendapat mengenai makanan/hidangan apakah yang dimaksud
dalam ayat ini. Setelah beliau menyebutkan berbagai macam riwayat tentang
hal ini, kemudian beliau berkomentar “yang pasti benar ialah bahwa hidangan
tersebut bisa dimakan, bisa berupa ikan atau susu ataupun buah dari surga.
Mengetahui hal ini tidaklah begitu bermanfaat dan tidak mengetahuinya pun
tidak madlarot meskipun ayat setelahnya menjelaskan mengenai hal ini”.
• Di samping itu semua, beliau juga menyebutkan berbagai macam kisah israiliyat
dan macam-macam Qira’at.
12. Tafsir Al-Qur’an Al-’Adzim
• Nama lengkapnya adalah Abul Fida’, Imaduddin Ismail bin Umar bin Katsir al-
Qurasyi al-Bushrawi ad-Dimasyqi, lebih dikenal dengan nama Ibnu Katsir.
Lahir pada tahun 701 H di sebuah desa yang menjadi bagian dari kota Bashra
di negeri Syam.
• Pada usia 4 tahun, ayahnya meninggal sehingga kemudian diasuh oleh
pamannya. Pada tahun 706 H, beliau pindah dan menetap di kota Damaskus.
13. • Ibn Katsir tumbuh besar di kota Damaskus. Di sana, beliau banyak menimba
ilmu dari para ulama di kota tersebut, salah satunya adalah Syaikh
Burhanuddin Ibrahim al-Fazari.
• Ia juga menimba ilmu dari Isa bin Muth’im, Ibn Asyakir, Ibn Syairazi, Ishaq bin
Yahya bin al-Amidi, Ibn Zarrad, al-Hafizh adz-Dzahabi serta Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyah. Selain itu, beliau juga belajar kepada Syaikh Jamaluddin Yusuf
bin Zaki al-Mizzi, salah seorang ahli hadits di Syam. Syaikh al-Mizzi ini
kemudian menikahkan Ibn Katsir dengan putrinya.
• Selain Damaskus, beliau juga belajar di Mesir dan mendapat ijazah dari para
ulama di sana.
14. • Berkat kegigihan belajarnya, akhirnya Ibnu Katsir menjadi ahli tafsir ternama, ahli
hadits, sejarawan serta ahli fiqih besar abad ke-8 H. Kitab beliau dalam bidang tafsir
yaitu Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim menjadi kitab tafsir terbesar dan tershahih hingga
saat ini, di samping kitab tafsir Muhammad bin Jarir ath-Thabari.
• Para ulama mengatakan bahwa tafsir Ibnu Katsir adalah sebaik-baik tafsir yang ada di
zaman ini, karena ia memiliki berbagai keistimewaan.
• Keistimewaan yang terpenting adalah menafsirkan al-Qur’an dengan al-Qur’an (ayat
dengan ayat yang lain), menafsirkan al-Qur’an dengan as-Sunnah (Hadits), kemudian
dengan perkataan para salafush shalih (pendahulu kita yang sholih, yakni para
shahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in), kemudian dengan kaidah-kaidah bahasa Arab.
• Karya Ibnu Katsir
• Selain Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, beliau juga menulis kitab-kitab lain yang sangat
berkualitas dan menjadi rujukan bagi generasi sesudahnya, di antaranya adalah al-
Bidayah Wa an-Nihayah yang berisi kisah para nabi dan umat-umat terdahulu, Jami’
Al Masanid yang berisi kumpulan hadits, Ikhtishar ‘Ulum al-Hadits tentang ilmu
hadits, Risalah Fi al-Jihad tentang jihad dan masih banyak lagi.
15. 1. kitab Tafsȋr al-Qur’ân al-‘Adzȋm yang dikenal dengan nama tafsir Ibnu Katsir
2. Jamȋul masânȋd wa as-Sunan Hâdȋ li Aqwami Sunan, sebanyak 8 jilid yang berisi tokoh-
tokoh perawi hadits
3. at-Takmȋlah fȋ Ma’rifatus Tsiqat wad Dhu’afâ wal Majâhȋl, sebanyak 5 jilid yang berisi
nama-nama perawi yang kuat dan yang lemah
4. Mukhtashar kitab Muqaddimah Ibnu shallah; al-Bâ’is al-Hadȋts, berisi masalah ilmu
hadits
5. al-Bidâyah wan Nihâyah sebanyak 14 jilid dalam bidang sejarah
6. al-Fashal fȋ sirah ar-Rasul; Thabaqât asy-Syâfi’iyah.
7. al-Ijtihâd fȋ Thalâbil Ijtihâd dalam bidang fiqh.
16. • Kesaksian Para Ulama
• Kealiman dan keshalihan sosok Ibnu Katsir telah diakui para ulama di zamannya mau
pun ulama sesudahnya. Adz-Dzahabi berkata bahwa Ibnu Katsir adalah seorang Mufti
(pemberi fatwa), Muhaddits (ahli hadits), ilmuan, ahli fiqih, ahli tafsir dan beliau
mempunyai karangan yang banyak dan bermanfa’at.
• Al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani berkata bahwa beliau adalah seorang yang disibukkan
dengan hadits, menelaah matan-matan dan rijal-rijal (perawinya), ingatannya sangat
kuat, pandai membahas, kehidupannya dipenuhi dengan menulis kitab, dan setelah
wafatnya manusia masih dapat mengambil manfa’at yang sangat banyak dari karya-
karyanya.
• Salah seorang muridnya, Syihabuddin bin Hajji berkata, “Beliau adalah seorang yang
plaing kuat hafalannya yang pernah aku temui tentang matan (isi) hadits, dan paling
mengetahui cacat hadits serta keadaan para perawinya. Para sahahabat dan gurunya
pun mengakui hal itu. Ketika bergaul dengannya, aku selalu mendapat manfaat
(kebaikan) darinya.
• Wafatnya
• Ibnu Katsir meninggal dunia pada tahun 774 H di Damaskus dan dikuburkan
bersebelahan dengan makam gurunya, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.(A/RS3/P1)
17. Corak dan Metode Tafsir Ibnu Katsȋr
Tafsir karya monumental Ibnu Katsir itu ada pendapat yang mengatakan bahwa dari
segi metodologi ia menganut sistem tradisional, yakni sistematika tertib mushaf
dengan merampungkan penafsiran seluruh ayat dari surah al-fatihah hingga akhir
surah an-Nas. Dikatakan bahwa dalam operasionalisasinya, Ibnu Katsir menempuh
cara pengelompokkan ayat-ayat berbeda, namun tetap dalam konteks yang sama.
Metode demikian juga ditempuh beberapa mufassir di abad 20-an seperti Rasyid
Ridha, Al-Maraghi, Al-Qasimi.
Kitab ini dapat dikategorikan sebagai salah satu kitab tafsir dengan corak dan
orientasi (al-laun wa ittajah) tafsir bi al-ma’tsur /tafsir bi al-riwayah, karena dalam
tafsir ini sangat dominan memakai riwayat/hadis, pendapat sahabat dan tabi’in
18. Adapun metode (manhaj) bnu Katsir dalam menafsirkan al-Quran dapat dikategorikan
sebagai manhaj tahlili (metode analitis). Kategori ini dikarenakan pengarangnya
menafsirkan ayat demi ayat secara analitis menurut urutan mushaf al-Quran.
Dapat dikatakan semi tematik (maudhu’i) karena ketika menafsirkan ayat ia mengelompokan ayat-
ayat yang masih dalam satu konteks pembicaraan ke dalam satu tempat, baik satu atau beberapa ayat
kemudian ia menampilkan ayat-ayat lainnya terkait untuk menjelaskan ayat yang sedang ditafsirkan
Metode tersebut, ia aplikasikan dengan metode-metode penafsiran yang dianggapanya paling baik
(ahsan turuq al-tafsir). Langkah-langkah dalam penafsirannya secara garis besar ada tiga;
1. Menyebutkan ayat ditafsirkannya, kemudian menafsirkannya dengan bahasa yang mudah dan
ringkas. Jika memungkinkan, ia menjelaskan ayat tersebut dengan ayat yang lain, kemudian
memperbandingkannya hingga makna dan maksudnya jelas.
2. Mengemukakan berbagai hadits atau riwayat yang marfu’ yang berhubungan dengan ayat
yang ditafsirkan. Ia pun sering menjelaskan antara hadits atau riwayat yang dapat dijadikan
argumentasi (hujah) dan yang tidak, tanpa mengabaikan pendapat para sahabat, tabi’in.
3. Mengemukakan berbagai pendapat mufasir para tabi’in . Dalam hal ini, ia terkadang
menentukan pendapat yang paling kuat diantara para ulama yang dikutipnya, atau mengemukakan
pendapatnya sendiri dan terkadang ia sendiri tidak berpendapat. Disamping itu, kitab tafsir ini
19. Kemudian mereka ditimpa kenistaan dan kemiskinan, dan mereka (kembali) mendapat
kemurkaan dari Allah. Hal itu (terjadi) karena mereka mengingkari ayat-ayat Allah dan membunuh
para nabi tanpa hak (alasan yang benar). Yang demikian itu karena mereka durhaka dan
melampaui batas. (QS: al-Baqarah/2: 61)
Allah Ta’ala berfirman,” lalu ditimpakanlah kepada mereka nista dan kehinaan,”artinya nista
dan kehinaan itu diberlakukan dan ditetapkan atas mereka sebagai ketetapan dan takdir. Yakni
mereka senantiasa dihinakan. Setiap orang yang menjumpai mereka akan memandang mereka hina
dan rendah serta menetapkan kekerdilannya. Di samping itu, mereka merasa kehinaan dan
kenistaan lantaran dosa yang telah mereka perbuat. Al-Hasan berkata,” Allah menghinakan merka ,
tidak punya kekuatan serta menjadikan mereka dibawah kaki orang muslim hingga umat islam
sekarang dan kaum Majusi mewajibkan mereka bayar pajak, serta mereka kembali memikul
murkaan dan kemarahan Allah karena dosa-dosa yang telah mereka lakukan.
“Hal itu karena mereka kafir kepada ayat-ayat Allah dan membunuh para nabi tanpa hak.
“Allah Ta’ala berfirman, sesungguhnya Allah membalas terhadap mereka dengan kehinaan,
kenistaan, kemurkaan dan kemarah. Sebab mereka sombong dan tidak mau mengikuti syari’at yang
dibawa para nabi. Mereka telah mengurangi haknya hingga mencapai suatu titik keadaan yang
menyerek mereka pada pembunuhan para nabi tanpa hak, yaitu kejahatan yang mereka lakukan.
Tidak ada kekafiran yang lebih besar dan lebih jahat daripada membunuh nabi.
20. قال وسلم عليه صاهلل النبي أن ،عنه هللا رضي مسعود ين عبدهللا عن
:
قتله رجل،القيامة يوم عذابا الناس أشد
نبيا قتل أو ،نبي
ممثلتين من وممثل ضاللة وامام
(
أحمد رواه
)
Dari ‘Abdullah bin Mas’ȗd Rasulullah Saw bersabda, manusia yang paling berat siksanya
pada hari kiamat ialah orang yang dibunuh nabi, membunuh nabi, pemimpin yang sesat dan
pelaku sadis dalam membunuh.( Imam Ahmad)
Dalam hadits lain dikatakan,” kesombongan ialah menolak kebenaran dan menzalimi
orang lain,” yaitu menolak hak, melecehkan, meremehkan orang lain dan membanggakan diri.
Oleh karena itu, Allah menetapkan kenistaan kepada mereka yang tidak dapat ditolak serta
menyeliputi kehinaan, baik di dunia maupun akhirat sebagai pembalasan yang setimpal. Hal ini
mereka durhaka dan melampaui batas dengan berbagai kemaksiatan dan melanggar hal-hal
yang diharamkan Allah
21. 1. Para pakar tafsir dan ‘Ulumul Qur’an umumnya menyatakan bahwa tafsir Ibnu Katsir ini
merupakan kitab tafsir bi al-matsur terbesar kedua setelah tafsir al-Thabari.
2. penafsiran ayat dengan ayat al-Qur’an
3. al-Qur’an dan dengan hadis yang tersusun secara semi tematik, bahkan dalam hal ini ia
dapat dikatakan sebagai perintisnya. Selain itu, dalam tafsir ini pun banyak memuat informasi
dan kritik tentang riwayat Israiliyat dan menghindari kupasan-kupasan linguistik yang terlalu
bertele-tele. Karena itulah al-Suyuti memujinya sebagaikitab tafsir yang tiada tandingannya.
4. tafsir ini memberi pengaruh yang sangat signifikan kepada sejumlah mufasir yang hidup
sesudahnya, termasuk Rasyid Rida, penyusun Tafsir al-Manar.
5. Mengumpulkan ayat-ayat al-qur’an yang mempunyai kolerasi makna yang saling
mendukung.
6. Menerangkan asbabun nuzul, jika pada ayat itu mempunyai sebab-sebab turunya.
sedangkan kekurangan penafsiran Ibnu Katsir diantaranya
1. Muhammad al-Gazali, misalnya, menyatakan bahwa betapapun Ibnu Katsir dalam
tafsirnya telah berusaha menyeleksi hadis-hadis atau riwayat-riwayat (secara relatif ketat),
ternyata masih juga memuat hadis hadis yang sanadnya da’if dan kontradiktif. Hal ini tidak
hanya ada dalam tafsir Ibnu Katsir tetapi juga pada kitab-kitab tafsir bil ma’tsur pada umumnya.