2. TAFSIR
Secara Bahasa : Kata “tafsir” diambil dari kata
ََرِسْفَت–َُرِسَفُي- ََرَّسَف
yang berarti keterangan atau uraian. Dan secara
bahasa, “tafsir” berarti “penjelasan, penyingkapan
(yang tersembunyi), menampakan makna yang logis”.
Secara Istilah : Tafsir adalah suatu hasil usaha
tanggapan, penalaran, dan ijtihad manusia untuk
menyingkap nilai-nilai samawi yang terdapat di
dalam Al-Qur’an.
3. Macam-macam Tafsir
Secara umum tafsir dapat dibagi kedalam dua bagian, yaitu:
1. Tafsir bi al-Ma’tsur (bi al-Riwayah).
Tafsir bi al-Ma’tsur (bi al-Riwayah) adalah suatu tafsir
yang berasal dari Al-Qur’an sunnah Nabi atau perkataan
sahabat yang menjadi penjelasan bagi kehendak Allah
SWT.
Diantara kitab yang dipandang menempuh corak bi Al-
ma’tsur adalah:
• Jami’ Al-Bayan fi Tafsir Al-Qur’an, karya Ibn Jarir
Ath-Thabari
• Anwar At-Tanzil, karya Al-Baidhawi
• Al-Durr Al-Mantsur fi At-Tafsir bi Al-Ma’tsur, karya
Jalal Ad-Din As-Suyuthi
• Tanwir Al-Miqbas fi Tafsir Ibn Abbas, karya Fairuz
Zabadi
4. - Tafsir bil al-Ra’yi (bi al-Dirayah).
Tafsir bil al-Ra’yi adalah suatu tafsir yang dilakukan
dengan ijtihad dari seorang mufasir yang mempunyai
pengetahuan luas dalam bidang bahasa Arab maupun
ilmu agama serta memiliki persyaratan-persyaratan
yang diperlukan oleh seorang mufassir.
Diantara sebab yang memicu kemunculan “corak”
tafsir bi Al-ra’yi adalah semakin majunya ilmu-ilmu
keislaman yang diwarnai dengan kemunculan ragam
disipilin ilmu, karya-karya para ulama, aneka warna
metode penafsiran, dan pakar-pakar dibidangnya
masing-masing.
5. Mengenai keabsahan tafsir bi Al-ra’yi para ulama tebagi menjadi
ke dalam dua kelompok, yaitu :
• Kelompok yang melarangnya. Ulama yang
menolak penggunaan “corak” tafsir ini mengemukakan
argumentasi berikut ini:
• Menafsirkan Al-Quran berdasarkan ra’yi berarti
membicarakan (firman) Allah tanpa pengetahuan. Dengan
demikian, hasil penafsirannya hanya bersifat perkiraan
semata. Padahal Allah berfirman:
“”Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang tidak kamu ketahui.
Karena pendengaran, penglihatan, dan hati nurani, semua itu akan
diminta pertanggungjawabannya." (QS. Al-Isra' 17: 36)
6. • Yang berhak menjelaskan Al-Quran hanyalah Nabi, berdasarkan
firman Allah :
ََۤانْلَزْنَا َو
َِ
اسَّنلِلََنِيَبُتِلََرْكََِالذَْكيَلِا
َ
َتَيََُِّْْلَََل ََوِِْْْيَلِاَََ ِ
زُنَاَََ
ََن ْوُرَّكَف ...
“..Dan Kami turunkan Ad-Zikr (Al-Qur'an) kepadamu, agar
engkaumenerangkankepadamanusiaapa yang
telahditurunkankepadamerekadan agar merekamemikirkan."(QS.
An-Nahl 16: 44)
• Rasulullah bersabda : “siapa saja menfasirkan Al-Quran atas
dasar pikirannya semata, atas dasar sesuatu yang belum
diketahuinya, maka persiapkanlah mengambil tempat
dineraka.”(Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi, An Nasa’i dan Abu
Daud)
7. Kelompok yang mengizinkannya. Mereka mengemukakan argumentasi-
argumentasi berikut:
• Di dalam Al-Quran banyak ditemukan ayat-ayat yang menyerukan
untuk mendalami kandungan-kandungan Al-Quran. Misalnya firman
Allah :
َ َ
َلَفَا
َ
ب ْوُلُقَىٰلَعََْْاََنٰا ْرُقَْالَن ْوَُّربَدَتَي
اَُِلاَفْقَا
"Maka tidakkah mereka menghayati Al-Qur'an, ataukah hati
mereka sudah terkunci?”(QS. Muhammad 47: 24)
• “...Dan apabilamerekamenyerahkannyakepadaRasuldanulilamri di
antaramereka, tentulah orang-orang yang
inginmengetahuikebenarannya (akandapat) mengetahuinya
(secararesmi) darimereka (Rasuldanulilamri)...”(QS. An-Nisa' 4:
Ayat 83)
8. Ayat pertama, kata mereka, jelas menyuruh kita untuk
merenungkan dan memikirkan Al-Quran. Ayat kedua
menjelaskan bahwa di dalam Al-Quran terdapat beberapa ayat
yang maksudnya dapat ditangkap oleh hasil ijtihad orang-orang
pandai.
9. • Para sahabat sudah biasa berselisih pendapat
mengenai penafsiran suatu ayat. Ini menunjukan
bahwa mereka pun menafsirkan Al-Quran denan ra’yi-
nya. Seandainya tafsir bi Al-ra’yi dilarang, tentunya
tindakan para sahabat itu keliru.
Selanjutnya para ulama membagi “corak” tafsir bi Al-
ra’yi pada dua bagian: ada tafsir bi Al-ra’yi yang dapat
diterima/ terpuji (maqbul/mahmudah) dan ada pula
yang ditolak/tercela (mardud/madzmum).
10. Tafsir bi Al-ra’yi dapat diterima selama menghindari hal-hal
berikut:
• Memaksakan diri mengetahui makna yang dikehendaki Allah
pada suatu ayat, sedangkan ia tidak memenuhi syarat untuk
itu.
• Mencoba menafsirkan ayat-ayat yang maknanya hanya
diketahui Allah (otoritas Allah semesta)
• Menafsirkan Al-Quran dengan disertai hawa nafsu dan
sikap istihsan (menilai bahwa sesuatu itu baik semata-mata
berdasarkan presepsinya)
• Menafsirkan ayat-ayat untuk mendukung suatu madzhab
yang salah dengan cara menjadikan paham madzhab sebagai
dasar, sedangkan penafsirannya mengikuti paham madzhab
tersebut.
• Menafsirkan Al-Quran dengan memastikan bahwa makna
11. Diantara contoh tafsir bi Al-ra’yi yang tidak dapat
diterima adalah sebagai berikut :
• Penafsiran golongan Syi’ah terhadap kata “Al-
Baqarah” (Q.S. Al-Baqarah 2:67) dengan ‘Aisyah r.a
Penafsiran sebagian mufassir terhadap surat Al-
Baqarah 2: ayat 74. “ padahal diantara batu-batu itu
sungguh ada yang mengalir sungai-sungai daripadanya
dan di antaranya sungguh ada yang terbelah lalu
keluarlah mata air daripadanya dan di antaranya
sungguh ada yang meluncur jatuh, karena takut kepada
Allah. Mereka menduga ada batu yang dapat berpikir,
berbicara, dan jatuh karena takut kepada Allah.
12. • Penafsiran sebagian mufassir terhadap surat An-Nahl
16: 68. “Dan Tuhanmu mewahyukan kepada lebah,
Buatlah sarang-sarang di bukit-bukit , di pohon-pohon
kayu, dan di tempat-tempat yang dibikin manusia.”
Mereka berpendapat bahwa diantara lebah-lebah itu,
ada yang diangkat sebagai nabi-nabi yang diberi wahyu
oleh Allah, dan mereka mengemukakan cerita-cerita
yang bohong tentang kenabian lebah. Sementara itu
sebagian lain berpendapat bahwa ada tetesan lilin
jatuh ke pohon, kemudian tetesan itu dipindahkan oleh
lebah yang dengannya ia membuat sarang-sarang dan
madu
13. Diantara karya tafsir bi Al-ra’yi yang dapat
dipercaya adalah :
• Mafatih Al-Ghaib, karya Fakhr Ar-Razi
• Anwar At-Tanzil wa Asrar at-Takwil, karya
Al-Baidhawi
• Madarik At-Tanzil wa Haqa’iq Al-Takwil, karya
An-Nasafi
• Lubab At-Takwil fi Ma’ani At-Tanzil, karya Al-
Khazin
14. Syarat-Syarat Menjadi Mufassir (Ahli Tafsir).
Beberapa syarat menjadi ahli tafsir ( mufassir )antara
lain :
• Memiliki akidah yang bersih
• Tidak mengikuti hawa nafsu
• Ahli tafsir ( Mufassir ) memahami ushul at-tafsir
• Cerdas dalam ilmu riwayat dan dirayah hadits
• Mufassir memahami ushuluddin
• Ahli tafsir ( Mufassir ) mengerti ushul fiqh
• Menguasai bahasa arab dan ilmunya
• Para ulama salaf senantiasa berhati-hati dalam
menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an, maka dengan syarat
ketat tersebut diharapkan sebagai media untuk
mengetahui pengertian dan kekhususan susunan
15. Takwil
• Menurut Bahasa :
Takwil menurut lughat adalah menerangkan,
menjelaskan. Diambil dari kata
اول
-
ياول
-
تكول
“awwala-yu’awwilu-takwila“
• Menurut Istilah :
Secara istilah adalah suatu usaha untuk
memahami lafazh-lafazh (ayat-ayat) Al-Qur’an
melalui pendekatan memahami arti atau
maksud sebagai kandungan dari lafazh itu.
16. Syarat-Syarat Takwil.
Adapun syarat-syarat takwil adalah :
• Lafaz itu dapat menerima takwil seperti lafaz
zhabir (menunjukkan maksud) dan lafaz hash
(menunjukan makna) serta tidak berlaku untuk
muhkam dan mufassar.
• Lafaz itu mengandung kemungkinan untuk di-
ta’wil-kan karena lafaz tersebut memiliki
jangkauan yang luas dan dapat diartikan untuk
di-ta’wail. Serta tidak asing dengan pengalihan
kepada makna lain tersebut.
17. Menurut bahasa :
Terjemah adalah salinan dari suatu bahasa ke bahasa
lain. Atau berarti mengganti, menyalin memindahkan
kalimat dari suatu bahasa ke bahasa lain
Terjemah
18. Sedangkan menurut Ash-Shabuni,
terjemah Al-Qur’an adalah :
• “Memindahkan Al-Qur’an kepada bahasa
lain yang bukan bahasa Arab dan
mencetak terjemah ini kedalam
beberapa naskah agar dibaca orang yang
tidak mengerti bahasa Arab sehingga ia
dapat memahami kitab Allah SWT.
Dengan perantaraan terjemahan ini.”
19. Macam-macam terjemah
Pada dasarnya, ada tiga corak penerjemah yaitu :
• Terjemah maknawiyyah tafsiriyyah, adalah menerangkan
makna atau kalimat dan mensyarahkanya, tidak terikat oleh
leterlek-nya, melainkan oleh makna dan tujuan kalimat
aslinya.
• Terjemah harfiyah bi Al-mitsli, yaitu menyalin atau
mengganti kata-kata dari bahasa asli dengan kata-kata
sinonimnya (muradif)-nya ke dalam bahasa baru dan terikat
oleh bahasa aslinya.
• Terjemah harfiyah bi dzuni Al-mistli, yaitu menyalin atau
mengganti kata-kata bahasa asli kedalam bahasa lain
dengan memerhatikan urutan makna dan segi sastranya,
menurut kemampuan bahasa baru itu dan sejauh
kemampuan penerjemahnya.
20. Syarat-Syarat Penterjemah.
– Penterjemah haruslah bersifat jujur dalam kegiatanya.
– Mempunyai kemampuan yang sama terhadap kedua bahasa
dalam hal kosa kata, kaedah-kaedah dan rasa bahasa.
– Mendalami dan menguasai uslub-uslub dan keistimewaan-
keistimewaan bahasa yang diterjemahkan.
– Hendaknya sighat (bentuk) terjemah itu benar dan apabila
dituangkan kembali ke dalam bahasa aslinya tidak terdapat
kesalahan.
– Terjemahan itu harus dapat mewakili semua arti dan maksud
bahasa asli dengan lengkap dan sempurna.
– Penterjemah haruslah mempunyai ilmu pengetahuan agama
dan umum yang luas (persyaratanya mendekati persyaratan
seorang musafir).
21. Hukum Menterjemahkan Al-Quran
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, dapat
dismpulkan bahwa dari hasil terjemah harfiyah, jelas
bahwa hukumnya haram. Karena selain bisa mengaburkan
makna yang semestinya, juga tidak bisa dipahami.
Sedangkan terjemahan maknawiyah, jelas terjemahan ini
banyak dilakukan, guna penyebaran agama Islam, dan
banyak memberikan manfaat bagi umat Islam lainya.
Maka hukumnya fardhu kifayah, bahkan fardhu ‘ain bagi
seorang ulama yang ditokohkan.
22. Perbedaan Tafsir, Takwil dan Terjemah
Perbedaan tafsir dan takwil di satu pihak dan terjemah
di pihak lain adalah bahwa yang pertama berupaya
menjelaskan makna-makna setiap kata di dalam Al-
Quran, sedangkan yang kedua hanya mengalihkan bahasa
Al-Quran yang nota bene bahasa Arab ke dalam bahasa
non-Arab.
23. TAFSIR TAKWIL
• Al-Raghif Al-Bashrani : Lebih
umum dan lebih banyak
digunakan untuk lafazh dan
kosa kata dalam kitab-kitab
yang diturunkan Allah dan
kitab-kitabnya
• Menerangkan makna lafazh
yang tak menerima selain dari
satu arti
• Al-Maturidi : menetapkan apa
yang dikehendaki ayat dan
menetapkan demikianlah yang
dikehendaki Allah
• Abu Thalib Ats-Tsa’labi : lebih
menerangkan makna lafazh,
baik berupa hakikat atau
majaz
Al-Raghif Al-Bashrani : lebih banyak
dipergunakan untuk makna dan
kalimat dalam kitab-kitab yang
diturunkan Allah saja.
Menetapkan makna yang dikehendaki
suatu lafazh yang dapat diterima
menerima banyak makna karena ada
dalil-dalil yang mendukungnya
Menyeleksi salah satu mekna yang
mungkin diterima oleh suatu ayat
dengan tidak meyakini bahwa itulah
yang dikehendaki Allah
Abu Thalib Ats-Tsa’labi:
menafsirkan batin lafazh
25. Kesimpulan
Al-Qur`an sebagai ”hudan-linnas” dan “hudan-lilmuttaqin”, maka
untuk memahami kandungan al-Qur`an agar mudah diterapkan dalam
pengamalan hidup sehari-hari memerlukan pengetahuan dalam
mengetahui arti/maknanya, takwil, dan tafsirnya sesuai dengan yang
dicontohkan Rasulullah SAW. Sehingga kehendak tujuan ayat al-
Qur`an tersebut tepat sasarannya.
Tafsir, takwil dan terjemah diperlukan dalam memahami isi
kandungan ayat-ayat al-Qur`an yang mulia. Pengertian terjemah
lebih simple dan ringkas karena hanya merubah arti dari bahasa
yang satu ke bahasa yang lainnya. Sedangkan istilah tafsir lebih luas
dari kata terjemah dan takwil , dimana segala sesuatu yang
berhubungan dengan ayat, surat, asbaabun nuzul, dan lain
sebagainya dibahas dalam tafsir yang bertujuan untuk memberikan
kepahaman isi ayat atau surat tersebut, sehingga mengetahui
maksud dan kehendak firman-firman Allah SWT tersebut.