Teks tersebut membahas tentang dilema feminisme di hadapan rezim neoliberalisme. Feminisme gelombang kedua awalnya mengkritik empat elemen kapitalisme-negara yaitu ekonomisme, androsentrisme, etatisme, dan Westphalianisme. Namun, kritik-kritik tersebut kemudian diambil alih oleh neoliberalisme untuk melegitimasi akumulasi modalnya. Di bawah neoliberalisme, peran negara dalam perekonomian
Kegalauan Feminisme di Hadapan Neoliberalisme - Amin Mudzakkir
1. 1
Kegalauan Feminisme di Hadapan Neoliberalisme 1
Oleh Amin Mudzakkir2
Pendahuluan
Selepas membaca novel Lasmi karya Nusya Kuswatin, saya serasa memperoleh sedikit titik
terang dalam memahami problematika gender di Indonesia.3
Akhir-akhir ini paling tidak ada dua
peristiwa yang bagi saya masih seperti enigma. Peristiwa pertama terkait dengan kontroversi
acara Miss World di Bali, bulan September kemarin, lalu peristiwa kedua apalagi kalau bukan
kasus pelecehan seksual yang melibatkan penyair Sitok Srengenge. Dalam kedua peristiwa
tersebut, terlihat adanya kegalauan dan bahkan perpecahan di kalangan aktivis perempuan dan
pemerhati isu-isu gender. Bagaimana feminisme sesungguhnya menanggapi isu-isu tersebut?
Mungkin bukan kebetulan jika Nancy Fraser, seorang feminis terkemuka, menulis sebuah
artikel—yang kemudian menimbulkan debat panjang—berjudul “How feminism became
capitalism's handmaiden - and how to reclaim it” di The Guardian (14 Oktober 2013).4
Dalam
artikel ini dengan tajam Fraser memperlihatkan dilema feminisme gelombang kedua di tengah
gelombang kapitalisme kontemporer dan bagaimana cara mengatasinya. Artikel ini merupakan
versi super singkat dan populer dari karya baru Fracer, Fortunes of Feminism: From State-
Manged Capitalism and Neoliberal Crises, yang memuat butir-butir argumen yang sama5
.
Pandangan Fraser ini hampir senada dengan pendapat sosiolog Manuel Castells dalam The
Power of Identity, khususnya bab The End of Patriarchalism, yang menunjukkan problematika
1
Disampaikan pada acara diskusi PRP Jakarta Pusat, Sabtu, 21 Desember 2013.
2
Peneliti PSDR-LIPI, Jakarta (amin.mudzakkir@gmail.com)
3
Nasya Kuswatin, Lasmi (Jakarta: Kaki Langit Kencana, 2009)
4
Nancy Fraser, “How feminism became capitalism's handmaiden - and how to reclaim it”
http://www.theguardian.com/commentisfree/2013/oct/14/feminism-capitalist-handmaiden-neoliberal, diakses 19
Desember 2013.
5
Nancy Fraser, Fortunes of Feminism: From State-Manged Capitalism and Neoliberal Crises (London/New York:
Verso, 2013)
2. 2
yang muncul di sekitar isu perempuan, anak, dan keluarga di dunia pasca-patriarkhi.6
Kedua
penulis ini mengakui keberhasilan feminisme dalam menghancurkan belenggu yang membatasi
ruang gerak perempuan di dunia modern yang patriarkhis, tetapi belakangan daya tersebut harus
diakui menemui keterbatasannya. Masalah terbesarnya datang dari bentuk kapitalisme yang
berubah. Sementara kapitalisme-negara berguguran, gelombang baru kapitalisme yang nanti kita
akan sebut sebagai neoliberalisme justru semakin dominan. Di hadapan mode baru kapitalisme
ini, feminisme seolah hanya menjadi pelayan (hanmaiden) belaka.
Kita semua mengerti bahwa feminisme adalah gagasan dan gerakan yang merujuk pada
individu dan kelompok yang beragam, merentang dari kiri hingga kanan. Kritik Fraser dan
Castells tampaknya diarahkan terutama kepada kaum feminis liberal (lalu neoliberal) yang
mengusahakan terciptanya pasar bebas, tetapi saya melihatnya sebagai oto-kritik yang
mempunyai relevansi yang sangat luas, termasuk bagi kalangan feminis Marxis. Berangkat dari
gagasan kedua penulis tersebut, saya mencoba melihat problematika gender dalam kerangka
pembacaan ekonomi politik. Khususnya di Indonesia, dalam hal ini saya menyaksikan semacam
kegagapan feminisme dalam mencerna transisi politik dari Orde Baru ke orde setelahnya yang
tak lain merupakan refleksi dari perubahan mode kapitalisme. Sementara isu-isu seputar politik
identitas berbasis agama dicurigai secara seksama, seperti dampak “perda syariah” terhadap
tubuh perempuan, problematika gender yang berasal dari karut marut ekonomi politik sering
lolos dari perhatian. Kondisi ini tentu tidak terjadi begitu saja, tetapi disituasikan oleh apa yang
nanti kita bahas sebagai rezim neoliberalisme.
Dari Kapitalisme-Negara ke Neoliberalisme
Terlebih dulu kita akan mengikuti penjelasan Nancy Fraser mengenai dilema feminisme
gelombang kedua yang lahir pasca-Perang. Dipengaruhi oleh gagasan new-left yang sedang
mekar pada tahun 1960-an, kaum feminis gelombang kedua memposisikan kapitalisme-negara
sebagai sasaran tembaknya. Fraser memaksudkan kapitalisme-negara sebagai “the hegemonic
social formation in the postwar era, a social formation in which states played an active role in
6
Manuel Castells, The Power of Identity (West Sussex: Blackwell, 2010), hlm. 192-303.
3. 3
steering their national economies”.7
Dengan menggunakan pendekatan Keynesian, negara pada
periode ini mengelola kapitalisme sedemikian rupa agar terhindar dari krisis. Para teknokrat telah
belajar dari pengalaman depresi 1930 dan perencanaan ekonomi selama masa Perang. Beberapa
negara bahkan mempraktikkan “dirigisme” dalam bentuk investasi infrastruktur, kebijakan
industrial, redistribusi perpajakan, provisi sosial, regulasi bisnis, nasionalisasi beberapa industri
strategis, hingga dekomodifikasi barang publik.
Meski demikian, di mata kaum feminis, negara Keynesian ini mengabaikan aspek
keadilan gender. Lebih lanjut Fraser menguraikan empat elemen pokok kapitalisme-negara yang
menjadi sasaran kritik feminisme, yaitu ekonomisme, androsentrisme, etatisme, dan
Westphalianisme. Perlu diberi penekanan bahwa khususnya di negara-negara poskolonial,
keempat elemen tersebut ini sering berhimpun bersama di bawah laras senjata rezim otoriter.8
Tidak jarang penindasan terhadap kekuatan-kekuatan yang mengancam kapitalisme-negara
diselesaikan dengan cara brutal. Dalam situasi yang lebih moderat, negara menggunakan
aparatus ideologisnya untuk menghegemoni kesadaran rakyat agar tunduk di bawah kendalinya.
Menghadapi situasi represif ini, para feminis dan kalangan aktivis penentang rezim lainnya
berdiri di garis terdepan menyuarakan kebebasan. Dengan mempolitisasi konsep “personal”
(“personal is political”), para feminis mengekspansi konsep emansipasi hingga ke ruang-ruang
keluarga. Bagi kaum feminis, penindasan atas perempuan tidak hanya terjadi di ruang publik,
tetapi juga di ruang privat.
Masalahnya, sejak tahun 1980-an, kapitalisme-negara dan apalagi yang bercorak
“dirigisme” berguguran. Model negara kesejahteraan (welfare state) tidak mampu lagi
dipertahankan karena biayanya sangat mahal. Sementara isu keterbatasan energi dan kerusakan
lingkungan semakin mengemuka, piramida terbalik demografi di negara-negara Barat, ageing
7
Nancy Fraser (2013), hlm. 212.
8
Karya Saskia Wieringa, Penghancuran Gerakan Perempuan: Politik Seksual di Indonesia Pascakejatuhan PKI
(Yogyakarta: Galang Press, 2010), adalah contok terbaik kritik feminisme terhadap kapitalisme-negara di Indonesia.
Dibangun di atas tumpukan ribuan hingga jutaan korban manusia, rezim Orde Baru pada dasarnya merupakan razim
kapitalisme-negara. Dengan tepat Wierenga memperlihatkan bagaimana operasi politik seksualitas yang sangat
seksis digunakan oleh penguasa Orde Baru untuk menghancurkan Gerwani dan kalangan kiri-nasionalis lainnya
guna memuluskan ekspansi modal. Sejak itu kapitalisme terkonsolidasi rapi di tengah masyarakat patriarkhis yang
dijaga ketat oleh negara.
4. 4
society, membuat negara kelimpungan. Di tengah situasi ini, pemerintah dipaksa membuka
sektor perekonomian kepada pasar seluas-luasnya. Privatisasi dan deregulasi digulirkan di mana-
mana. Tentu saja proses ini dipayungi oleh gagasan demokrasi dan hak asasi manusia yang telah
menjadi narasi agung dalam percaturan politik global.
Dalam konteks Indonesia, kita bisa menyaksikan orientasi rezim Orde Baru sejak akhir
1980-an berubah cukup drastis. Dilatarbelakangi oleh rekonfigurasi kekuasaan di sekitar
lingkaran inti Jenderal Soeharto, proses privatisasi dan deregulasi berjalan mulus seiring dengan
menguatnya peranan komunitas epistemis (neo)liberal pada satu sisi dan kelompok Islam politik
pada sisi yang lain. Meskipun kedua pihak yang disebut terakhir ini kelihatannya sering
berseberangan, cukup pasti sejak itu era neoliberalisme di Indonesia dimulai. Di era pasca-
Soeharto, proses neoliberalisasi semakin intensif mengikuti perkembangan desentralisasi
pemerintahan di bawah kebijakan otonomi daerah. Apa yang dibayangkan sebagai “negara”
sekarang telah mengalami transformasi.
Lalu, binatang apakah “neoliberalisme” itu? David Harvey menulis bahwa “…
Neoliberalism is in the first instance a theory of political economic practices that proposes that
human well-being can best be advanced by liberating individual entrepreneurial freedoms and
skills within an institutional framework characterized by strong private property rights, free
markets, and free trade”. 9
Di bawah panji neoliberalisme, proyek kesejahteraan diajukan
sebagai bentuk rekonsiliasi antara komitmen pada pasar bebas dan politik inklusi. Berpijak pada
konsepsi liberal tentang otonomi individual, negara neoliberal mengembangkan wawasan bahwa
semua orang tanpa terkecuali mempunyai kemampuan dalam mengembangkan diri.
Kewirausahaan warga dipupuk sebagai pengganti negara yang telah kehilangan peranannya
dalam perekonomian. Pada tataran politik, tidak sedikit rezim neoliberal mengambil corak
populis (atau neopopulis). 10
Di hadapan rezim neoliberal, feminisme menjadi galau karena kritiknya atas empat
elemen kapitalisme-negara sebagaimana disebut di atas ternyata diambil alih oleh
neoliberalisme. Nancy Fraser mencatat paling tidak empat hal mengenai hal ini. Pertama, kritik
9
David Harvey, Neoliberalism (Oxford: Oxford University Press, 2007), hlm. 2
10
Kanishka Jayasuriya, Statecraft, Welfare, and the Politics of Inclusion (New York: Palgrave Macmillan, 2006),
hlm. 1-7.
5. 5
feminisme atas ekonomisme kapitalisme-negara, di mana “pembangunan” dimengerti hanya
dalam kerangka pertumbuhan ekonomi, justru digunakan oleh neoliberalisme yang berusaha
mengalihkan perjuangan sosial-ekonomi menjadi perjuangan identitas. Kedua, kritik feminisme
atas androsentrisme kapitalisme-negara, yang ditanggapi dengan pembukaan kesempatan kerja
besar-besaran bagi buruh perempuan upahan, justru dimanfaatkan oleh neoliberalisme sebagai
legitimasi bagi akumulasi modal mereka. Ketiga, kritik feminisme atas etatisme atau paternalism
negara-kesejahteraan justru dipakai balik oleh kritik neoliberalisme atas “negara pembantu”
(“nanny state”) yang menguatkan argumen mereka tentang pentingnya kewirausahaan dan
proyek-proyek kredit keuangan mikro. Terakhir, keempat, kritik feminisme atas
Westphalianisme pada kenyataannya satu nafas dengan proyek kosmopolitanisme neoliberal
yang sedang berusaha membangun mendelegitimasi kepentingan nasional yang terkait dengan
negara-bangsa tertentu.
Dari Redistribusi ke Rekognisi
Pada tahun 1980-an, hampir bersamaan dengan keruntuhan corak kapitalisme-negara, terjadi
“belokan budaya” (“cultural turn”) yang cukup tajam dalam sejarah pemikiran sosial dan politik.
Dipengaruhi terutama oleh posmodernisme yang telah berkembang kurang lebih satu dekade
sebelumnya, banyak pemikir mengalihkan perhatiannya dari isu “redistribusi” ke “rekognisi”.
Sementara gagasan tentang keadilan dinilai telah terakomodasi ke dalam proyek pembangunan
ekonomi yang berdimensi universal, narasi-narasi kecil justru dirayakan sebagai bentuk
pembebasan dari universalitas tersebut.
Pengaruh “belokan budaya” yang disuarakan oleh posmodernisme terhadap feminisme
sangat kuat. Sejak itu isu keadilan gender diletakkan tidak lagi dalam pengertian “redistribusi”,
tetapi terutama pada pengertian “rekognisi”. Kata kunci pada periode ini adalah perbedaan
(difference). Bahkan terkadang melebihi kesetaraan, perbedaan ditekankan sebagai bahasa moral
yang harus dihormati. Gagasan tentang perbedaan menghantam tidak hanya kemapanan
patriarkhis yang bersemayam dalam model kapitalisme-negara, tetapi juga feminisme itu sendiri
yang bias Barat-kulit putih-sekuler.
6. 6
Akan tetapi, Seyla Benhabib menunjukkan pernikahan yang tak bahagia antara
feminisme dan posmodernisme. Berangkat dari kerangka Teori Kritis, Benhabib mengemukakan
bahwa suatu versi tertentu postmodernisme tidak hanya tidak cocok, tetapi juga akan
menggerogoti kemungkinan feminisme sebagai artikulasi teoritis perjuangan perempuan.
Penggerogotan terjadi karena versi kuat postmodernisme bertolak dari tiga tesis berikut:
“kematian manusia”, “kematian sejarah”, dan “kematian metafisika”. Memang posmodernisme
berhasil mencungkil esensialisme dari teori-teori feminisme, sehingga menjadi lebih peka
terhadap dimensi-dimensi perbedaan perempuan, tetapi pada saat yang sama ia juga membawa
feminisme “mundur dari utopia”. Menurut Benhabib, hilangnya utopia dalam teori feminis
adalah hilangnya harapan bagi emansipasi.11
Lebih lanjut, perayaan identitas yang berusaha mengarusutamakan politik rekognisi bisa
saja mengambil jalan agama, etnisitas, dan juga identitas gender. Kelompok-kelompok agama,
misalnya, khususnya Islam, sejak dekade-dekade terakhir abad ke-20 telah giat menggemakan
kembali kebaharuan Islam. Ekspresinya bermacam-macam; ada yang mengambil jalan sekuler,
tetapi tidak sedikit yang kembali kepada gambaran kejayaan Islam di masa lalu. Dua kubu ini,
yang sering disederhanakan antara “Islam liberal” dan “Islam fundamentalis” sama-sama ingin
mendapat pengakuan di tengah dunia kontemporer. Bentuk pengakuannya bisa diperdebatkan
lebih lanjut, tetapi mereka sama-sama ingin mendapat tempat—setelah sekian lama terabaikan
dalam diskursus kemoderenan—dalam arus perubahan. Sementara itu, isu-isu seputar etnisitas
kita tahu semakin marak akhir-akhir ini. Di berbagai penjuru dunia, revitalisasi masyarakat
berbasis “adat” gencar dilakukan. Melebihi bentuk-bentuk perjuangan sebelumnya, aspirasi
masyarakat adat pada masa sekarang sangat bernuansa politis. Akan tetapi, sama seperti
kelompok-kelompok agama, dasar perjuangan berbasis etnisitas ini pada awalnya adalah politik
rekognisi atau pengakuan. Mereka sama-sama hendak menolak penyeragaman politik
kebudayaan—seringkali bahkan dengan cara-cara represif—yang sebelumnya dijalankan oleh
rezim negara nasional.
11
Seyla Benhabib, “Feminism and Postmodernism” dalam Seyla Benhabib et. al (eds.), Feminist Contentions: A
Philosophical Exchange (New York/London: Routledge, 1995), hlm. 29-30.
7. 7
Bagaimana dengan kaum feminis? Menurut saya, beberapa kalangan dari mereka cukup
jelas merupakan bagian dari gerakan politik rekognisi. Penekanannya adalah pada pengakuan
terhadap identitas mereka sebagai perempuan, bukan pada persoalan redistribusi kekayaan atau
kesejahteraan yang diandaikan telah diintegrasikan dalam berbagai program pembangunan (ingat
program Women in Development). Belakangan gerakan politik rekognisi ini mendapatkan nama
yang lebih populer, yaitu “multikulturalisme”. Dengan cepat proyek baru ini menyebar dan
mendapat tanggapan positif sebagai bentuk revisi terhadap politik kebudayaan di era
kapitalisme-negara yang bercorak asimiliasionis. Di negara-negara yang baru lepas dari rezim
otoriter, seperti Indonesia, multikulturalisme diterima ramai-ramai, hampir tanpa perdebatan
berarti, sebagai cara pandang baru dalam memahami isu-isu perbedaan di tengah masyarakat.
Di Indonesia, pada tataran akademis, sebagian besar teks feminisme yang terbit sejak
tahun 1980-an hingga sekarang lahir dari kerangka politik rekognisi. Di antaranya yang sangat
berpengaruh adalah karya Julia Suryakusuma, Ibuisme Negara.12
Dengat lugas Suryakusuma
menjelaskan bagaimana negara Orde Baru mengkonstruksikan ideologi gender di tengah gerak
pembangunan. Berdasarkan konstruksi tersebut aparat negara mengarahkan perempuan
Indonesia agar menjadi istri tetapi juga sekaligus ibu yang baik (“peran ganda wanita”). Dari
penjelasan tersebut, sasaran tembak Suryakusuma cukup jelas, yaitu otoritarianisme dalam
bentuknya yang sangat halus. Alih-alih menghancurkan seperti yang dilakukannya terhadap
Gerwani, pemerintah Orde Baru dalam perkembangannya lebih banyak menggunakan metode
penjinakan dalam menghadapi gerakan perempuan.
Satu teks lagi yang menarik diulas di sini adalah karya Ani W. Soetjipto dan Shelly
Adelia, Suara Dari Desa: Menuju Revitalisasi PKK.13
Dengan menekankan keagenan
perempuan di tingkat desa, kedua penulis ini mengamati peranan perempuan di empat kabupaten
dalam program PKK (Pembinaan Kesejahteraan Keluarga). Meskipun dibentuk pada masa Orde
Baru, sehingga sering dikritik karena melanggengkan patriarkhisme, PKK yang dijalankan pada
masa sekarang (pasca-Orde Baru) sebagaimana diamati oleh kedua penulis justru digunakan
secara baik oleh perempuan dalam memberdayakan kehidupan mereka. Selain itu, berangkat dari
12
Julia Suryakusuma, Ibuisme Negara (Depok: Komunitas Bambu, 2011).
13
Ani W. Soetjipto dan Shelly Adelia, Suara Dari Desa: Menuju Revitalisasi PKK (Serpong: Marjin Kiri, 2013).
8. 8
gagasan desa sebagai “self government community” yang harus dipertahankan dari kooptasi
negara, kedua penulis mendukung revitalisasi PKK agar tidak dibajak oleh elit-elit partai politik
di era demokrasi elektoral ini.
Kedua buku di atas ditulis berdasarkan suatu cara pandang feminisme tertentu yang
membayangkan negara yang ekonomistis, androsentris, etatis, dan Westhpalianis. Masalahnya,
sosok negara tersebut telah tergantikan oleh sosok negara neoliberal yang lebih inklusif. Setelah
diperkenalkannya pembangunan berbasis perempuan yang dikawal oleh dana-dana dan
organisasi-organisasi internasional melalui wakil-wakil mereka di Indonesia, negara terpusat
pada kenyataannya telah kehilangan sebagian besar kontrolnya. Ini telah berlangsung sejak
periode akhir pemerintahan Jenderal Soeharto hingga sekarang. Kekurangpekaan terhadap
pergeseran moda kapitalisme ini membuat Suryakusuma dengan gampang menyatakan bahwa
sekarang konsepsi ibuisme negara tetap relevan, hanya berganti mejadi “Islamist state ibuism”.14
Hal sama terlihat dalam karya Soetjipto dan Adelina. Menekankan desa dan perempuan sebagai
sesuatu yang sifatnya lokal, lalu menerima begitu saja perubahan dari pola “pembinaan” ke
“pemberdayaan”, memperlihatkan kekurangkritisan kedua penulis tersebut dalam melihat
persoalan gender dalam bingkai besar yang lebih struktural.
Politik rekognisi sering menjebak dan menjauhkan perdebatan dari akar permasalahnnya.
Ini persis terlihat dalam kontroversi di seputar Miss World yang diselenggarakan di Bali,
September 2013 kemarin. Gadis Arivia, pemimpin Jurnal Perempuan, mendukung sepenuhnya
acara tersebut dengan alasan kebebasan, tentu dalam pengertian kebebasan liberal. Meskipun
menyadari bahwa kontes kecantikan adalah isu yang mengundang perdebatan di kalangan
feminis sendiri, Arivia tetap berkesimpulan bahwa acara Miss World layak diaprsesiasi sebagai
bagian dari keberhasilan perjuangan feminisme. Baginya, siapa yang menyelenggarakan acara itu
dan untuk kepentingan ekonomi-politik apa mungkin tidak penting lagi, apalagi mengingat pada
saat yang sama terdapat kelompok-kelompok Islam yang mengancam akan membubarkan cara
tersebut—dan tidak terbukti.
14
Julisa Suryakusuma, “Is Stae Ibuism Still Relevant?”, http://www.insideindonesia.org/feature-editions/is-state-
ibuism-still-relevant-6, diakses 19 Desember 2013.
9. 9
Pada akhirnya apa yang diributkan FUI dan Hisbut Tahrir tidak lah terlalu penting-
penting amat. Percayalah Miss World tidak berbahaya dan “senjata” pantat, paha serta
payudara tidak akan mematikan umat manusia. Payudara justeru menghidupkan
manusia, air susu ibu tidak jatuh dari langit, dia datang dari sumber yang hanya
dimiliki perempuan. Mengapa tidak merayakan tubuh perempuan? Tubuh perempuan
sungguh sempurna.15
Bagiamana dengan Nasib Anak dan Keluarga?
Dalam buku Soetjipto dan Adelina, Ruth Indiah Rahayu mempertanyakan mengapa kedua
penulis melulu mengarahkan orientasi perempuan hanya pada soal politik, tetapi melalaikan
kenyataan bahwa mereka mempunyai anak dan keluarga.16
Bagaimana feminisme menanggapi
kedua masalah yang krusial ini? Di sini saya akan membantu mencari jawab pertanyaan Rahayu
itu dengan melihat tawaran Manuel Castells mengenai runtuhnya patriarkhisme. Meskipun
konteksnya adalah negara-negara maju (OECD), riset yang dilakukan oleh Castells menarik
karena selain kecenderungan empirisnya sudah bisa disaksikan dengan mudah di kota-kota besar
di Indonesia, juga memberikan tantangan berarti bagi teori-teori feminisme.
Dalam The Power of Identity, Manuel Castells menjelaskan proses berakhirnya zaman
patriarkhi. Proses ini dikondisikan oleh restrukturasi kapital yang secara sosial dan kultural
berdampak pada munculnya resistensi terhadap lembaga dan nilai patriarkhi. Gerakan anti-
patriarkhi semakin berkembang sejak akhir tahun 1960-an di berbagai negara. Di Prancis,
gerakan ini menjadi sangat fenomenal ketika para mahasiwa secara radikal menentang represi
seksualitas oleh rezim moral yang berkuasa. Secara umum gerakan ini menyerang keberadaan
patriarkhisme yang membentuk banyak aspek dalam struktur masyarakat kontemporer.
Patriarkhisme sendiri dicirikan oleh penegakan otoritas laki-laki terhadap perempuan dan anak-
anaknya dalam keluarga. Dalam kenyataannya, patriarkhi tidak hanya membentuk keluarga,
tetapi juga politik dan kebudayaan masyarakat secara lebih luas.
15
Gadis Arivia, “Senjata Miss World yang Ditakuti”, http://www.jurnalperempuan.org/2/post/2013/09/senjata-miss-
world-yang-ditakuti.html , diakses 19 Desember 2013.
16
Ruth Indiah Rahayu, “Membaca Kepentingan Perempuan dari Penelitian Feminis” pengantar dalam Ani W.
Soetjipto dan Shelly Adelia, Suara Dari Desa: Menuju Revitalisasi PKK (Serpong: Marjin Kiri, 2013.
10. 10
Pada “zaman informasional” sekarang ini, kelurga patriarkhal mendapat tantangan serius
berkait dengan transformasi pekerjaan dan kesadaran perempuan. Melengkapi apa yang sudah
dibahas oleh Nancy Fraser di atas, Castells menjelaskan lebih lanjut bahwa proses ini didorong
oleh beberapa faktor berikut: (1) transformasi ekonomi dan pasar tenaga kerja yang berkaitan
dengan pembukaan kesempatan pendidikan kepada perempuan. Dengan ini semakin banyak
perempuan bekerja upahan di luar rumah, tidak lagi tergantung secara ekonomi dan sosial kepada
suami dan keluarganya; (2) perkembangan teknologi di bidang biologi, parmakologi, dan obat-
obatan yang meningkatkan kontrol terhadap kelahiran dan fungsi-fungsi reproduksi pada
umumnya. Ini memicu revolusi seksual yang luar biasa. Kehamilan yang tidak dikehendaki bisa
dicegah dengan penggunaan alat kontrasepsi yang bisa diperoleh secara mudah dan murah; (3)
perkembangan gerakan feminisme yang semakin meluas sejak penghujung tahun 1960-an.
Gerakan ini mendorong kaum perempuan—juga nantinya kaum homoseksual—menuntut
haknya; dan (4) perluasan secara cepat ide-ide dan budaya yang terglobalisasi dalam dunia yang
semakin saling terkoneksi, sehingga suara-suara tetang hak perempuan bisa menyebar ke seluruh
dunia.
Di antara gerakan-gerakan tersebut, gay dan lesbianisme adalah gerakan yang paling
menyerang patriarkhisme persis di jantung pertahanannya, yaitu heteroseksualisme. Bagi laki-
laki gay, pertanyaan-pertanyaan tentang keluarga tradisional, juga hubungan rumit antara laki-
laki dan perempuan, membuat mereka mencari bentuk-bentuk hubungan interpersonal lainnya,
termasuk membentuk keluarga gay. Sementara bagi perempuan lesbian, pilihan mereka untuk
membangun relasi seksual dengan sesama perempuan seolah menjadi tak terelakkan dari
perjuangan mereka menolak dominasi laki-laki.
Gugatan terhadap patriarkhisme berdampak luas, termasuk pada soal kejiwaan dan
kepribadian. Berbeda dengan mereka yang dibesarkan dalam keluarga patriarkhis, generasi
pasca-patriarkhal lebih berkarakter personal, dalam arti mereka hanya bergantung pada langkah-
langkah hidup yang mereka ambil sendiri. Mereka mungkin lebih fleksibel menanggapi pluralitas
identitas di sekitarnya, tetapi juga menghadapi kecenderungan untuk terjatuh pada kegelisahan
karena ketiadaan penopang psikologis dalam kondisi krisis.
11. 11
Dalam hal ini, anak-anak adalah pihak yang paling terkorbankan dari krisis yang
menimpa keluarga patriarkhi. Kondisi akan lebih buruk jika praktik negara kesejahteraan
(welfare state) juga mengalami keruntuhan, sehingga tidak mampu menjamin pengurusan anak
(fasilitas child-care di tempat kerja, misalanya) yang ditinggalkan oleh orang tua yang bekerja.
Menghadapi sisi gelap pasca-patriarkhisme ini, diperlukan tanggung jawab publik yang lebih
berarti untuk merekonstruksi keluarga, termasuk fungsi-gungsinya, di era baru ini agar masa
depan anak-anak khususnya tetap terjamin dalam susana psikososial yang sehat.
Castells berpendapat bahwa sudah tentu aspirasi gerakan anti-patriakhisme akan
berhadapan dengan gerakan resistensi lainnya, yaitu kaum fundamentalis agama. Mereka hendak
merestorasi kembali patriarkhisme di bawah panji hukum-hukum ilahi. Ini terjadi di kalangan
fundamentalis Islam, Kristen, Hindu, dan agama-agama lainnua. Jika tidak dijembatani, ini akan
menimbulkan konflik serius. Oleh karena itu, Castells menyarankan dialog yang lebih intensif
antara kaum agamawan dan kaum feminis untuk merumuskan keluraga yang lebih egaliter.
Selanjutnya Castells juga mengemukakan bahwa kemampuan atau ketidakmampuan feminis
melembagakan nilai-nilai mereka akan sangat tergantung pada hubungan mereka dengan negara.
Bagaimanapun peranan negara harus dipertahankan di era pasca-patriarkhi ini. Alasan utamanya
tak lain adalah untuk menyelamatkan korban, seperti anak-anak, yang tidak bisa lagi tertangani
oleh institusi keluarga yang sedang berada dalam krisis.
Penutup
Kembali ke Lasmi yang disebut di awal, novel ini menurut saya memberi gambaran yang kurang
lebih utuh tentang problematika gender dalam masyarakat Indonesia. Tanpa harus menyerang
secara kasar bangunan tradisi yang telah mapan, sosok Lasmi mampu memperlihatkan model
emansipasi perempuan berdasar suatu pandangan sosialisme yang khas. Bisa dikatakan dia
mampu mendayung, mesti tidak berarti tanpa benturan sama sekali, di antara “politik
redistribusi” dan “politik rekognisi”. Saya tidak tahu apakah model Lasmi tersebut sekarang bisa
diajukan sebagai “jalan ketiga” di tengah pertentangan keras antara sesama kalangan
rekognisionis, yaitu antara kaum fundamentalis agama maupun feminis (neo)liberal, tetapi
12. 12
Nancy Fraser berpendapat bahwa feminisme di era neoliberal sekarang seharusnya “retrieve the
best insights of socialist-feminism and to combine them with a non-identitarian version of the
politics of recognition”. Selamat berdiskusi!