Kedua kasus menunjukkan pelanggaran standar pelayanan kefarmasian di apotek. Kasus 1 menunjukkan bahwa apotek dioperasikan tanpa kehadiran apoteker secara langsung dan menjual obat-obatan keras tanpa resep. Kasus 2 menunjukkan bahwa apoteker hanya hadir di akhir jam kerja sehingga pasien tidak mendapatkan informasi obat yang memadai. Kedua kasus melanggar peraturan tentang tanggung jawab apoteker atas pelayanan
1. KASUS 1
Ada salah satu apotek di daerah Bantul yang di dirikan oleh seorang apoteker dengan surat
ijin
praktek yang mengatasnamakan namanya, sebut saja apotek X dengan APA apoteker Y.
Selama ini
Apoteker Y bekerja di salah satu perusahaan besar farmasi di Jakarta. Selain bekerja di
perusahaan
tersebut, nama apoteker Y tersebut masih tercatar sebagai APA apotek X. Di apoteknya
tersebut
juga hanya terdapat 1 tenaga kerja yang notabene bukan seorang apoteker yang secara penuh
mengerti tentang obat, bahkan tak jarang ketika penjaga apotek tersebut tidak datang,
penyerahan
obat kepada pasien diserahkan langsung oleh keluarga dari apoteker tersebut yang sama
sekali tidak
memiliki kewenangan untuk menyerahkan obat kepada pasien. Tak jarang karena kurang
mengerti
tentang obat, apotek tersebut menjual secara bebas obat-obat keras yang diminta pasien tanpa
resep
dokter, seperti misalnya pembelian antibiotik yang permintaannya di masyarakat masih
sangat
tinggi. Belum diketahui secara jelas alasan apoteker tersebut belum melepas apotek tersebut
dan
mencarikan 2 apoteker sebagai penanggungjawab apotek, bukan dijaga oleh Aping atau AA.
Permasalahan kasus ini masih banyak saya temukan untuk apotek-apotek kecil di daerah
Bantul.
Selama saya membeli obat di apotek saya bahkan tidak pernah menemukan sosok Apoteker
yang
secara langsung melayani pasien, menjelaskan tentang aturan pemakaian obat, cara
penggunaan,
cara penyimpanan obat dan segala informasi tentang obat, selama ini kebanyakan apotek di
daerah
Bantul sendiri khususnya hanya sebatas mengambilkan obat, kemudian menyerahkannya
kepada
pembeli dan menyuruhnya untuk membayarnya.
Contoh kasus lain yang saya ambil dari internet dengan permasalahan yang hampir mirip
dengan
contoh kasus pelanggaran apoteker seperti di atas :
Apoteker M bekerja sebagai salah satu staf pengajar di salah satu PT Farmasi di propinsi Y.
Saat ini Apoteker M juga tercatat masih sebagai APA di salah satu apotek di propinsi yang
berbeda. Alasan yang diungkapkan oleh Apoteker M belum melepas apotek tersebut karena
ingin membantu PSA yang belum sanggup membayar penuh 2 Apoteker jika stand by semua
karena kondisi apotek yang omzetnya masih rendah. Selama ini pekerjaan kefarmasian di
apotek tersebut dilakukan oleh Aping dan AA.
Analisis kasus di atas berdasar pelanggaran kode etik tentang profesi kefarmasian :
1. Permasalahan
a. Apoteker Y bekerja sebagai tenaga kerja di suatu perusahaan farmasi di Jakarta
b. Apoteker tersebut sebagai pemilik apotek di daerah Bantul yang sekaligus sebagai APA
apotek tersebut.
c. Apotek tersebut tidak memilik apoteker, yang terlihat di apotek tersebut hanya ada 1
2. tenaga yang memberikan pelayanan sekaligus sebagai kasir di apotek tersebut.
d. Apotek melayani secara bebas obat-obat keras yang dibeli tanpa menggunakan resep
dari dokter.
2. Analisis pasal terkait pelanggaran tersebut :
1. Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan
Pasal 5
(1) “Setiap orang memiliki hak dalam memperoleh pelayanan kesehatan
yang aman,bermutu, dan terjangkau”.
Pasal 8
“Setiap orang berhak memperoleh informasi tentang data kesehatan
dirinya termasuk tindakan dan pengobatan yang telah dan akan diterimanya dari
tenaga kesehatan”.
Pasal 108
(1)“ Praktik kefarmasiaan yang meliputi pembuatan termasuk pengendalian
mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian
obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat serta
pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional harus dilakukan oleh tenaga
kesehatan yang m e m p u n y a i k e a h l i a n d a n k e w e n a n g a n s e s u a i
d e n g a n k e t e n t u a n p e r a t u r a n perundang-undangan”
2. Undang-Undang No. 8 Tahun 1998 Tentang Perlindungan Konsumen
Pasal 4
(1) “Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam
mengkonsumsi barang dan/atau jasa”.
3. Peraturan Pemerintah No. 51 Tahun 2009 Tentang Pekerjaan Kefarmasian
Pasal 1
(13)“ A p o t e k a d a l a h s a r a n a p e l a y a n a n k e f a r m a s i a n t e m p a t
d i l a k u k a n p r a k t e k kefarmasian oleh Apoteker”.
Pasal 20
“Dalam menjalankan Pekerjaan kefarmasian pada Fasilitas Pelayanan
Kefarmasian, Apoteker dapat dibantu oleh Apoteker pendamping dan/ atau Tenaga
Teknis Kefarmasian”
Pasal 21
(1) Dalam menjalankan praktek kefarmasian pada Fasilitas Pelayanan
Kefarmasian, Apoteker harus menerapkan standar pelayanan kefarmasian”.
(2) “Penyerahan dan pelayanan obat berdasarkan resep dokter
dilaksanakan oleh Apoteker”.
Pasal 51
(1) “ Pelayanan Kefarmasian di Apotek, puskesmas atau instalasi farmasi rumah
sakit hanya dapat dilakukan oleh Apoteker”
4. Keputusan Menteri Kesehatan No. 1332/MENKES/PER/SK/X/2002Tentang
Ketentuan dan Tata Cara Pemebrian Izin Apotek
Pasal 19.
( 1 ) “ Apabila Apoteker Pengelola Apotik berhalangan melakukan tugasnya pada
jam buka Apotik, Apoteker Pengelola Apotik harus menunjuk Apoteker
pendamping.”
(2) “Apabila Apoteker Pengelola Apotik dan Apoteker
Pendamping karena hal- hal tertentu berhalangan melakukan tugasnya,
Apoteker Pengelola Apotik menunjuk .Apoteker Pengganti”
5. Keputusan Menteri Kesehatan No, 1027/MENKES/SK/IX/2004 Tentang Standar
Pelayanan di Apotek
3. 1.Bab III tentang pelayanan, standar pelayanan kesehatan di apotek
6. Kode etik apoteker
Pasal 3
“ Setiap apoteker/Farmasis harus sennatiasa menjalankan profesinya sesuai
kompetensi Apoteker/Farmasis Indonesia serta selalu mengutamakan dan berpegang
teguh pada prinsip kemanusiaan dalam melaksanakan kewajibannya “
Pasal 5
“ Di dalam menjalankan tugasnya setiap Apoteker/Farmasis harus menjauhkan diri
dari usaha mencari keuntungan diri semata yang bertentangan dengan
martabat dan tradisiluhur jabatan kefarmasian “
7. Lafal sumpah atau Janji Apoteker
“ Saya akan menjalankan tugas saya dengan sebaik-baiknya sesuai dengan
martabat dan tradisi luhur jabatan kefarmasian”.
Dari kasus di atas “Pasien atau konsumen ketika membeli obat di apotek hanya dilakukan
oleh
asisten apoteker yang merangkap sebagai petugas kassa”.Hal ini melanggar pasal-pasal di
atas.
Pelayanan kefarmasian diapotek harus dilakukan oleh Apoteker, jika Apoteker Pengelola
Apotek berhalangan hadir seharusnya digantikan oleh Apoteker Pendamping dan jika
Apoteker
Pendamping berhalangan hadir seharusnya digantikan oleh Apoteker Pengganti bukan
digantikan
oleh Asisten Apoteker ataupun Tenaga Kefarmasian lainnya. Tenaga Kefarmasian dalam hal
ini
adalah Asisten Apoteker yang hanya membantu pelayanan kefarmasian bukan menggantikan
tugas
Apoteker.
4. KASUS 2
Apotek unhalu berada di jalan mandonga kota kendari. Letaknya sangat strategis
berada di tengah kota, buka pelayanan tiap hari jam 16.00 – 22.00. pasien sangat ramai serta
jumlah resep yang banyak dilayani. Setiap hari rata-rata 100 lembar resep. APA juga
merupakan PNS dan masuk apotek jam 19.30. Karena banyaknya pasien yang dilayani,
penyerahan obat oleh tenaga teknis kefarmasian tidak sempat memberikan informasi yang
cukup.
Kajian Menurut Undang – undang
Berdasarkan permasalahan diatas, kami menemukan beberapa ketidak hubungan
antara yang terjadi dengan yang terdapat di peraturan – peraturan yang berlaku mengenai
kesehatan dan pelayanan kesehatan. Peraturan-peraturan itu sebagai berikut :
1. Undang-undang No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan
Pasal5
(1) “Setiap orang memiliki hak dalam memperoleh pelayanan kesehatan yang
aman, bermutu, dan terjangkau”.
Pasal 8
“Setiap orang berhak memperoleh informasi tentang data kesehatan dirinya
termasuk tindakan dan pengobatan yang telah dan akan diterimanya dari tenaga kesehatan”.
Pasal 108
(1)“ Praktik kefarmasiaan yang meliputi pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan
farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian obat, pelayanan obat atas
resep dokter, pelayanan informasi obat serta pengembangan obat, bahan obat dan obat
tradisional harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”
2. Undang-undang N0.8 tahun 1998 tentang perlindungan konsumen
Pasal4
(1)“Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi
barang dan/atau jasa”.
3. Pe raturan Pe me rintah N o. 51 Tahun 2009 Te ntang
Pe ke rjaanKefarmasian:
Pasal1
5. (13)“Apotek adalah sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukan praktek
kefarmasian oleh apoteker”
Pasal20
“Dalam menjalankan Pekerjaan kefarmasian pada Fasilitas Pelayanan
Kefarmasian, Apoteker dapat dibantu oleh Apoteker pendamping dan/ atau Tenaga
Teknis Kefarmasian”
Pasal21
(1)“Dalam menjalankan praktek kefarmasian pada Fasilitas Pelayanan
Kefarmasian, Apoteker harus menerapkan standar pelayanan kefarmasian”.
(2) “Penyerahan dan pelayanan obat berdasarkan resep ddokter dilaksanakan
oleh Apoteker”
Pasal51
(1)“Pelayanan Kefarmasian di Apotek, puskesmas atau instalasi farmasi rumah sakit hanya
dapat dilakukan oleh Apoteker”
4. Keputusan Menteri Kesehatan No.1332/MENKES/PER/SK/X/2002 Tentang Ketentuan
dan Tata Cara Pemebrian Izin Apotek
Pasal 19.
( 1 ) “Apabila Apoteker Pengelola Apotik berhalangan melakukan tugasnya pada jam buka
Apotik, Apoteker Pengelola Apotik harus menunjuk Apoteker pendamping.”
(2)“Apabila Apoteker Pengelola Apotik dan Apoteker Pendamping
karena hal- hal tertentu berhalangan melakukan tugasnya, Apoteker Pengelola
Apotik menunjuk .Apoteker Pengganti”
5. Keputusan Menteri Kesehatan No.1027/MENKES/SK/IX/2004 Tentang Standar
Pelayanan di Apotek
Bab III tentang pelayanan, standar pelayanan kesehatan di apotek meliputi:
1. Pelayanan resep : apoteker melakukan skrining resep dan penyiapan obat
2. Apoteker memberikan promosi dan edukasi
3. Apoteker memberikan pelayanan kefarmasian (homecare)
a. Penyiapan obat
Sebelum obat diserahkan pada pasien harus dilakukan pemeriksaan akhir terhadap
kesesuaian antara obat dengan resep. Penyerahan obat dilakukan oleh apoteker disertai
dengan informasi obat dan konseling kepada pasien dan tenaga keseahatan.
(3.6) Resep adalah permintaan tertulis dari dokter, dokter gigi, dokter hewan kepada apoteker
untuk menyediakan obat bagi pasien sesuai peraturan perundangan yang berlaku.
6. (3.8) Pharmaceutical care adalah bentuk pelayanan dan tanggung jawab langsung profesi
apoteker dalam pekerjaan kefarmasian untuk meningkatkan kualitas hidup pasien.
a) Sumber Daya
“Apotek harus dikelola oleh seorang apoteker yang professional yang senantiasa mampu
melaksanakan dan memberikan pelayanan yang baik.”
b) Sarana dan Prasarana
“Masyarakat harus diberi akses secara langsung dan mudah oleh apoteker
untuk menerima konseling dan informasi.”
c) Pelayanan resep: Apoteker melakukan skrining resep hingga penyiapan obat
“Pelayanan resep yang dilakukan oleh apoteker yang di apotek yang dimulai
dari skrining resep meliputi: persyaratan administratif (Nama, SIP dan alamat dokter,tanggal
penulisan resep, tanda tangan dokter penulis resep, nama, alamat, umur, jeniskelamin dan
berat badan pasien, nama obat, potensi, dosis, dan jumlah obat, cara pemakaian
yang jelas), kesesuaian farmasetik (bentuk sediaan, dosis, potensi, stabilitas, inkompatibilitas,
cara dan lama pemberian) dan pertimbangan klinis (efek samping, interaksi, kesesuaian).
Selain itu, apoteker juga memiliki tugas untuk melakukan penyiapan obat meliputi
tahap: peracikan dengan memperhatikan dosis, jenis dan jumlah obat, etiket yang jelas,
kemasan obat yang diserahkan dengan rapidan terjaga kualitas.
d) Pelayanan Resep : Apoteker melakukan penyerahan obat.
“ Sebelum obat diserahkan, obat harus dicek kembali antara obat dan resep. Penyerahan obat
dilakukan oleh apoteker sambil dilakukan pemberian informasi obat sekurang-kurangnya:
cara pemakaian, cara penyimpanan, jangka waktu pengobatan,aktivitas serta makanan dan
minuman yang harus dihindari; dan dilakukan konseling untuk memperbaiki kualitas hidup
pasien.
e) Promosi dan Edukasi “Dalam meningkatkan pemberdayaan masyarakat, Apoteker harus
berpartisipasi aktif dalam promosi dan edukasi kesehatan.”
6. Kode etik apoteker
Pasal3
“Setiap apoteker/Farmasis harus sennatiasa menjalankan profesinya sesuai
kompetensi Apoteker/Farmasis Indonesia serta selalu mengutamakan dan berpegang teguh
pada prinsip kemanusiaan dalam melaksanakan kewajibannya “
Pasal5
7. “Di dalam menjalankan tugasnya setiap Apoteker/Farmasis harus menjauhkan diri dariusaha
mencari keuntungan diri semata yang bertentangan dengan martabat dan
tradisiluhur jabatan kefarmasian”
7. Lafal sumpah dan janji apoteker
“Saya akan menjalankan tugas saya dengan sebaik-baiknya sesuai dengan martabat dan
tradisi luhur jabatan farmasi”.
Dari kasus di atas “Pasien atau konsumen ketika membeli obat di apotek hanya
dilakukan oleh asisten apoteker”. Hal ini melanggar pasal-pasal di atas. Pelayanan
kefarmasian diapotek harus dilakukan oleh apoteker, jika apoteker berhalangan hadir
seharusnya digantikan oleh apoteker pendamping dan jika apoteker pendamping berhalangan
hadir seharusnya digantikan oleh apoteker pengganti bukan digantikan oleh asisten apoteker
atau tenaga kefarmasian lainnya. Tenaga kefarmasian dalam hal ini asisten apoteker hanya
membantu pelayanan kefarmasian bukan menggantikan tugas apoteker.
Sanksi
Ketika seorang apoteker dalam menjalankan tugasnya tidak mematuhi kode etik
apoteker, maka sesuai dengan kode etik apoteker Indonesia pasal 115 yang berbunyi
“Jika seorang apoteker baik dengan sengaja maupun tidak disengajamelanggar atau tidak
memenuhi kode etik apoteker Indonesia, maka dia wajib mangakui dan menerima sanksi dari
pemerintah, ikatan/organisasi profesi yang menanganinya (IAI), dan mempertanggung
jawabkannya kepada Tuhan Yang Maha Esa”.
Sehingga seorang apoteker bisa mendapatkan sanksi sebagai berikut:
1. Teguran dari IAI terhadap apoteker maupun apotek yang bersangkutan.
2. Berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang kesehatan :
a. Pasal 198 : Setiap orang yang tidak memiliki keahlian dan kewenangan untuk melakukan
praktik kefarmasian sebagaimana dimaksud dalam pasal 108 dipidana dengan denda paling
banyak Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah)
b. Pasal 201
a) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 190 ayat (1), pasal 191, pasal
192, pasal 196, pasal 197, pasal 198, pasal 199, pasal 200 dilakukan oleh korporasi, selain
dipidana penjaradan denda terhadap pengurusnya, pidana yang dapat dijatuhkan terhadap
korporasi berupa pidanadenda dengan pemberatan 3 (tiga) kali dari pidana denda
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 190 ayat (1), Pasal 191, Pasal 192, Pasal 196 , Pasal 197,
Pasal 198,Pasal 199, dan Pasal 200
8. b) Selain pidana denda sebagaiman dimaksud pada ayat (1), korporasi dapat dijatuhi pidana
tambahan berupa :
i) Pencabutan izin usaha; dan/atau
ii) Pencabutan status badan hukum.
S O L U S I
Apoteker yang telah bekerja dan menjadi Apoteker
Penanggung Jawab di sebuahapotek, harus mengontrol dan
bertanggung jawab seluruhnya terhadap seluruh
kegiatankefarmasian yang ada di Apotek.Untuk membantu kerja
tersebut, sebaiknya dibuat prosedur tetap yang dibuat
olehapoteker dan digunakan secara bersama -sama oleh seluruh
tenaga kesehatan yang adadi apotek, meliputi:
1.Pemastian bahwa praktik yang baik dapat tercapai setiap saat.
2.Adanya pembagian tugas dan wewenang antara apoteker dengan asisten
apoteker.
3.Memberikan pertimbangan dan panduan untuk tenaga
kesehatan lain yang bekerja diapotek.
4.Dapat digunakan alat untuk melatih staf baru.
5. Memb antu p ro s es aud it.
KE S IM P ULAN :
Berdasarkan keterangan diatas, praktek kefarmasian di apotek
melanggar beberapa ketentuan, yaitu : Undang-Undang No. 36 Tahun 2009
Tentang Kesehatan pasal5, pasal 8 dan pasal 108 Tentang Kesehatan, Undang-
Undang No. 8 Tahun 1998 pasal 4 Tentang Perlindungan Konsumen,
Peraturan Pemerintah No. 51 Tahun 2009 pasal 1ayat 13, pasal 20,
pasal 21 ayat 1 dan 2 dan pasal 19 ayat 1 Tentang
PekerjaanKefarmasian, Keputusan Menteri Kesehatan No.
1332/MENKES/PER/SK/X/2002 pasal19 ayat 1 dan 2 tentang Ketentuan dan
Tata Cara Pemberian Ijin Apotek, Keputusan Menteri Kesehatan No.
9. 1027/MENKES/SK/IX/2004 Tentang Standar Pelayanan diApotek,
Kode etik apotekerpasal3 dan5, LafalsumpahatauJanjiApoteker.
KASUS 3
Obat Kadaluarsa Beredar di Apotek
Seorang ibu bernama Mrs. M menjadi korban obat kedaluwarsa. Warga Kelurahan
Sudiang ini menuturkan, dia membeli obat seperti itu (kadaluarsa) di salah satu apotek di
Daya. Dia mencari obat diare. Saat itu, kata Mrs. M, dirinya hendak membeli Lacto B,
suplemen makanan. Namun, oleh penjaga apotek, jenis obat tersebut dinyatakan habis.
Penjaga apotek tersebut, kemudian menawarkan Dialac yang tersimpan di dalam lemari
pendingin. Menurut penjaga apotek tersebut, Dialac memiliki komposisi dan kegunaan yang
sama dengan Lacto B. Mrs. M mengatakan, setelah obat tersebut diminumkan ke anaknya
dengan cara mencampur ke susu, si buah hatinya mengalami muntah hingga lima kali. Mrs.
M mengaku panik. Dia pun kemudian membaca seksama sampul Dialac tersebut. Hasinya,
suplemen makanan dengan nomor registrasi POM SI.044 216 731 tersebut memiliki masa
kedaluwarsa 19 November 2008 sebagaimana yang tercantum di pembungkus obat.
F. KESIMPULAN
Pada kasus yang terjadi di apotek tersebut, dimana seorang pasien diberikan obat yang
sudah kadaluarsa oleh pihak apotek, dapat dikategorikan ke dalam kasus pelanggaran kode
etik apoteker. Kode etik apoteker Indonesia itu sendiri merupakan asas atau nilai yang
berkenaan dengan akhlak dan nilai-nilai yang dianut dan menjadi pegangan dalam praktik
kefarmasian.
Di dalam Kode Etik Apoteker Indonesia Bab II tentang Kewajiban Apoteker Terhadap
Pasien, dimana pasal 9 berbunyi : Pasal 9 Seorang apoteker dalam melakukan pekerjaan
kefarmasian harus mengutamakan kepentingan masyarakat dan menghormati hak asasi
penderita dan melindungi makhluk hidup insani.
Apoteker memiliki kewajiban dimana salah satu kewajibannnya yaitu seorang Apoteker
harus memastikan bahwa obat yang diserahkan kepada pasien adalah obat yang terjamin
mutu, keamanan, khasiat, dan cara pakai obat yang tepat. Berdasarkan pasal di atas, apoteker
sebagai mitra pasien dalam menjalani pengobatan seharusnya lebih teliti, bertanggung jawab,
dan lebih mementingkan kepentingan dan keselamatan pasien.
KASUS 4
Pak Anton mendapatkan resep dari Poliklinik Anak Rumah Sakit “Amanah” untuk
putranya yang berusia 8 tahun, Amoxicillin Dry syrup, menurut petugas yang menyerahkan
obat tersebut syrup ini habis dalam 4 hari dan harus diminum terus selama 4 hari 3xsehari 1
sendok obat (5ml), tetapi ternyata setelah 2 hari penyakitnya malah tambah parah sehingga
harus opname.
10. b. Permasalahan
Pada kasus diatas apoteker belum memenuhi hak pasien karena belum memberikan
infomasi yang jelas dan benar mengenai obat yang diberikan atau diresepkan oleh dokter dari
cara pemakaian, penyimpanan, efek samping dan hal-hal lain yang berkaitan dengan
penggunaan obat yang dikonsumsi sehingga memberi efek yang fatal atau buruk karena
pasien tidak mendapatkan kenyamanan dan keselamatan dalam penggunaan obat (produk).
c. Kajian Pelanggaran Etika oleh Apoteker
Pelanggaran-pelanggaran yang terkait mengenai Apoteker yang tidak memberikan
informasi yang jelas kepada pasien adalah :
1. Kode Etik Apoteker Indonesia
Pasal 7 : “Seorang Apoteker harus menjadi sumber informasi sesuai dengan profesinya”.
Pasal 9 : “Seorang Apoteker melakukan praktik kefarmasian harus mengutamakan kepentingan
masyarakat, menghormati hak azasi pasien dan melindungi makhluk hidup insane”.
2. UU No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan
Yang menyatakan bahwa : Pekerjaan kefarmasian adalah pembuatan termasuk pengendalian
mutu sediaan farmasi, pengamanan pengadaan, penyimpanan dan distribusi obat, pengelolaan
obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat, serta pengembangan obat,
bahan obat, dan obat tradisional.
3. UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlidungan Konsumen
a) Pasal 4a
Hak konsumen adalah :
Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau
jasa.
b) Pasal 7b
Kewajiban pelaku usaha adala :
Memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang
dan/atau jasa, serta memberikan penjelasan penggunaan, perbaikan, dan pemeliharaan.
4. SK Menkes RI No 1197/MENKES/SK/X/2004 tentang Standar Pelayanan Farmasi di
Rumah Sakit
Tujuan pelayanan farmasi ialah :
• Melangsungkan pelayanan farmasi yang optimal baik dalam keadaan biasa maupun dalam
keadaan gawat darurat, sesuai dengan keadaan pasien maupun fasilitas yang tersedia
• Menyelenggarakan kegiatan pelayanan profesional berdasarkan prosedur kefarmasian dan
etik profesi
11. • Melaksanakan KIE (Komunikasi, Informasi dan Edukasi)mengenai obat
• Menjalankan pengawasan obat berdasarkan aturan-aturan yang berlaku
• Melakukan dan memberi pelayanan bermutu melalui analisa, telaah dan evaluasi pelayanan
• Mengawasi dan memberi pelayanan bermutu melalui analisa, telaah dan evaluasi pelayanan
d. Solusi
Dalam pencegahan pelanggaran kode etik apoteker tersebut diperlukan strategi antara lain:
Adanya kebijakan tentang pelayanan farmasi klinis dari pemerintah maupun pimpinan rumah
sakit bersangkutan
Adanya dalam praktek KIE dalam pelayanan dfarmasi di rumah sakit.
Adanya kegiatan riset dan pengembangan yang dilaksanakan serta pendidikan dan pelatihan
Adanya auditing sebagai proses umpan balik untuk perbaikan dan memberi jaminan kualitas
yang dikehendaki
Mempertinggi kemampuan untuk memberdayakan farmasi rumah sakit
Kepentingan dan tujuan kegiatan farmasi klinis harus dimengerti dan disepakati oleh petugas-
petugas kesehatan
Menjalin hubungan baik antara profesi medis dan farmasi
III. PENUTUP
A. KESIMPULAN
1. Hukum rumah sakit adalah semua ketentuan hukum yang berhubungan langsung dengan
pemeliharaan atau pelayanan kesehatan dan penerapannya serta hak dan kewajiban segenap
lapisan masyarakat sebagai penerima pelayanan kesehatan maupun dari pihak penyelenggara
pelayanaan kesehatan yaitu rumah sakit dalam segala aspek organisasi, sarana, pedoman
medik serta sumber-sumber hukum lainnya.
2. Dalam pelaksanaan pelayanan di Rumah Sakit pasti akan menghadapi berbagai kendala,
antara lain sumber daya manusia/tenaga farmasi di rumah sakit, kebijakan manajeman rumah
sakit serta pihak-pihak terkait yang umumnya masih dengan paradigma lama yang “melihat”
pelayanan farmasi di rumah sakit “hanya” mengurusi masalah pengadaan dan distribusi obat
saja. Oleh karena itu, dalam pelayanan farmasi di Rumah Sakit harus meningkatakan
pelayanan kefarmasian di Rumah Sakit, antara lain : praktek KIE, monitoring penggunaan
obat.
12. KASUS 5
3 orang asistenapotekerdi Cebu,Filipinadidugamelakukankelalaiandalammeracik(dispensing) obatresep
dimana memberikan Eltroxin (Levothyroxine) yang seharusnya memberikan antibiotik
Cefalexin/sefaleksin. Kelalaian ini mengakibatkan cedera fisik yang serius yang menyebabkan
pasien mengalami hipertiroidisme.
Tiga asisten apoteker menghadapi tuduhan kelalaian yang mengakibatkan cedera fisik yang
serius untuk karena memberikan obat yang salah untuk infeksi saluran kemih, yang
menyebabkan pasien menderita hipertiroidisme.
Alih-alih mengisi resep nya untuk Sefaleksin, para asisten farmasi dari apotek Watson di
salah satu mal di Kota Cebu, Filipina memberi pelanggannya Eltroxin (levothyroxine). Sejak
obat mengandung hormon dosis tinggi diberikan, seorang pasein bernama Pheobe Tejero
akhirnya didiagnosis dengan hipertiroidisme iatrogenik.
Tejero membeli obat-obatan pada tanggal 7 Desember 2016 dan berasumsi bahwa apa yang
telah diserahkan kepadanya oleh asisten apoteker adalah benar. Dia kemudian
mengkonsumsi semua obat selama 7 hari.