Catharanthus roseus (L.) G. Don merupakan tanaman yang mengandung metabolit sekunder di antaranya ajmalisin yang telah digunakan dalam pengobatan penyakit terkait sirkulasi darah. Kultur in vitro telah banyak digunakan sebagai teknologi yang efektif untuk memproduksi metabolit sekunder yang bermanfaat. Berbagai metode untuk meningkatkan produksi senyawa alkaloid pada kultur in vitro telah digunakan. Penambahan triptofan telah dilaporkan melalui beberapa penelitian dapat meningkatkan kandungan metabolit sekunder pada C. roseus. Penelitian ini dilakukan untuk mempelajari pengaruh pemberian prekursor triptofan pada kultur kalus C. roseus.
Catharanthus roseus (L.) G. Don is a plant containing secondary metabolites such as ajmalicine which are useful and have been used in the treatment of blood circulatory diseases. In-vitro cultures have been widely used as an effective technology for producing useful secondary metabolites. Various methods for increasing the production of alkaloids in in-vitro cultures have been used. The addition of tryptophan has been reported through several studies to increase secondary metabolite content in C. roseus. This research was conducted to study the effect of giving tryptophan precursor on callus culture of C. roseus.
1. KANDUNGAN AJMALISIN PADA KULTUR
KALUS Catharanthus roseus (L.) G.Don YANG
DIBERI PERLAKUAN TRIPTOFAN
Stenly J.M. Mandagi
PASCASARJANA
PROGRAM STUDI AGRONOMI
UNIVERSITAS SAM RATULANGI
TESIS
Disampaikan pada Ujian Tesis Prog. Studi Agronomi Pascasarjana UNSRAT,
Jumat, 9 Juni 2017
3. A. Latar Belakang
• Catharanthus roseus (L.) G. Don. atau tapak dara
merupakan tanaman mengandung senyawa alkaloid
indol terpenoid (Sarin, 2005) diantaranya ajmalisin yang
telah digunakan dalam pengobatan penyakit terkait
sirkulasi darah khususnya untuk mengobati gangguan
peredaran darah ke otak (Zenk, et al., 1977 dan Michal
& Schomburg, 2012).
• Kultur in vitro telah mendapat banyak perhatian sebagai
teknologi yang efektif untuk memproduksi metabolit
sekunder yang bermanfaat (Cai, et al., 2012) dan
menjadi teknologi alternatif dari penanaman secara
konvensional di lahan (Wink, et al., 2005).
4. • Triptofan sebagai prekursor dapat meningkatkan
produksi alkaloid indol terpenoid secara signifikan pada
kultur suspensi sel (Pitoyo, et al., 2003).
• Pandiangan & Nainggolan (2006) menjelaskan bahwa
produksi alkaloid dan pertumbuhan kalus saling terkait.
Pertumbuhan sel yang tinggi memproduksi alkaloid
rendah, demikian sebaliknya.
• Zhao, et al (2000) menunjukkan bahwa sintesis ajmalisin
lebih tinggi pada kalus kompak dibanding suspensi sel.
5. • Upaya untuk industrialisasi produksi TIA
pada C. roseus belum optimal, karena
belum jelasnya beberapa mekanisme
biosintesis, mekanisme genetik yang
kompleks, dan proses katalisasi dan
transport yang belum diketahui.
(Zhou, et al, 2010).
6. • kebutuhan global sebanyak 3600 kg dibutuhkan
200-300 ton akar Catharanthus roseus
(Verpoorte et al., 1993).
• Kandungan vinkristin lebih rendah lagi, yaitu
hanya 0,0003 – 0,0005% dari keseluruhan
tanaman. 1 gram vinkristin murni dibutuhkan
sekitar 500 kg daun, setara dengan 10-15 ton
daun untuk memproduksi 30 gram obat. .
Kebutuhan alkaloid cukup tinggi, yaitu untuk
vinkristin 1 kg/tahun, vinblastin 12 kg/tahun dan
ajmalisin 5000 kg/tahun (Arora et al., 2010).
7. B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka
yang menjadi permasalahan dalam
penelitian ini adalah bagaimana kandungan
ajmalisin pada kultur kalus Catharanthus
roseus (L) G. Don yang diberi perlakuan
triptofan.
8. C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
• Penelitian ini bertujuan untuk
menganalisis kandungan ajmalisin
pada kultur kalus Catharanthus roseus
yang diberi perlakuan triptofan
Tujuan
• memberikan informasi ilmiah tentang
kandungan ajmalisin pada kultur kalus
Catharanthus roseus yang diberi
perlakuan triptofan.
Manfaat
10. A. Deskripsi Tanaman Catharanthus
roseus (L.) G. Don.
o Catharanthus roseus dapat menghasilkan alkaloid antikanker
(vinblastine dan vinkristin) pada daun dan alkaloid anti
hipertensi (ajmalisin dan serpentin) pada akar. Catharanthus
roseus memiliki nilai ekonomi karena mengandung lebih dari
130 bioaktif alkaloid indol terpenoid (Verma, et al., 2012).
• kebutuhan global sebanyak 3600 kg dibutuhkan 200-300 ton
akar Catharanthus roseus (Verpoorte et al., 1993).
• Kandungan vinkristin lebih rendah lagi, yaitu hanya 0,0003 –
0,0005% dari keseluruhan tanaman. 1 gram vinkristin murni
dibutuhkan sekitar 500 kg daun, setara dengan 10-15 ton
daun untuk memproduksi 30 gram obat. . Kebutuhan alkaloid
cukup tinggi, yaitu untuk vinkristin 1 kg/tahun, vinblastin 12
kg/tahun dan ajmalisin 5000 kg/tahun (Arora et al., 2010).
11.
12. B. Metabolit Sekunder
o Alkaloid merupakan salah satu metabolit sekunder yang
ditemukan pada organisme hidup dan memiliki struktur,
jalur biosintesis, dan aktifitas farmakologis yang berbeda
(Roberts & Wink, 1998).
o Alkaloid memiliki ciri umum yaitu tanpa warna, bersifat
optis aktif, kebanyakan berbentuk kristal (sedikit yang
cair) pada suhu kamar (Salisbury & Ross, 1992).
o Alkaloid pada Catharanthus roseus mempunyai
toksisitas rendah. Ekstraknya mempunyai aktifitas
antibiotik terbatas (Harborne, 1973).
14. C. Kultur Kalus
o Kalus yang dikultur dapat bertekstur lunak atau keras,
berstruktur padat atau berongga, dan berbentuk bulat
atau bahkan tidak beraturan (Chin, 2008)
o Kalus kompak menghasilkan metabolit sekunder lebih
banyak dibandingkan kalus meremah (Pandiangan,
2011)
o Pandiangan & Nainggolan (2006) melaporkan bahwa
kandungan alkaloid indole terpenoid khususnya
katarantin pada kultur kalus Catharanthus roseus dapat
meningkat seiring dengan meningkatnya konsentrasi
NAA.
15. D. Triptofan sebagai Prekursor
o Triptofan merupakan asam amino cincin aromatic pada
rantai sampingnya. Rumus molekulnya adalah
C11H12N2O2 dengan berat molekul 204,2 g. Nama lain
dari L-triptofan adalah L-α-amino 3-indolepropionic acid
atau L-3β-indollylalanine (National Center for
Biotechnology Information, 2017).
Struktur triptofan (Zhao & Last, 1996)
17. E. Biosintesis Ajmalisin pada
Catharanthus roseus.
o Ajmalisin dapat disintesis dari triptamin, selain IAA dan
beberapa alkaloid indol lainnya (Oksman-Caldentey et
al., 2007).
o Ajmalisin adalah alkaloid indol monoterpen yang dapat
mengurangi tekanan darah dan detak jantung (Logers, et
al.,1995 dan Nosov, 2012).
22. Penelitian Terkait
• ZPT etilen (El-Sayed & Verpoorte (2004)
• Prekursor sukinik (Zhao, et al., 2001a)
• jasmonate dan etilen (Vasques-Flota et
al., 2009)
• Elisitor Phytium aphanidermatum
(Pasquali et al (1992)
23. F. Hipotesa
Diduga adanya pengaruh terhadap kandungan
ajmalisin pada kultur kalus Catharantahus roseus
(L) G. Don. dengan pemberian perlakuan triptofan.
25. A. Waktu dan Tempat Penelitian
Juni s/d Nov.
2015
WAKTU
Lab.
Bioteknologi
Fak.
Pertanian
Lab. Farmasi
Fak. MIPA
TEMPAT
26. C. Bahan Tanaman dan Bahan Kimia
• Tanaman yang akan digunakan sebagai sumber eksplan
adalah Catharanthus roseus yang berbunga putih.
Sumber eksplan diambil adalah daun yang masih
mengadakan pertumbuhan yaitu 3 - 4 daun dari apeks
pucuk.
• Bahan-bahan kimia yang digunakan adalah medium MS
(Lampiran 1), disinfektan, etanol, 2,4-D, NAA, kinetin,
HCL, NaOH, akuades steril, methanol HPLC, methanol
Pa, asetonitril, diamonium hydrogen fosfat, ajmalisin
standar, dan triptofan
27. D. Alat Penelitian
• Alat-alat yang digunakan timbangan analitik, autoclave,
laminar air flow cabinet, alat-alat gelas standar (labu
takar, beker gelas, pipet volume, erlenmeyer, gelas
piala, labu pisah, pengaduk dan wadah kultur) , pH
meter, scalpel, pinset, cawan petridish, rak kultur,
aluminuium foil, oven, mortar, centrifuse, Kromatografi
Cair Kinerja Tinggi (KCKT).
28. E. Rancangan Penelitian
• Penelitian ini menggunakan RAL (Rancangan Acak
Lengkap) dengan 6 (enam) perlakuan penambahan
triptofan 0 mg/L (K), 50 mg/L (A), 100 mg/L (B), 150
mg/L (C), 200 mg/L (D), 250 mg/L (E). Terdiri atas 3
ulangan dimana setiap ulangan terdiri dari 3 botol kultur.
Pada saat analisis KCKT, diambil 1 botol dari 3 botol
ulangan pada setiap perlakuan.
• Data kandungan ajmalisin yang diperoleh kemudian
dianalisis varian single factor menggunakan Add-Ins
Data Analysis Microsoft Excel 2010. Analisis dilanjutkan
dengan uji BNT pada α=1% apabila hasil analisis varian
menunjukkan berbeda nyata.
31. A. Induksi Kalus
Hari ke-6
• Tampak
eksplan mulai
melengkung
Hari ke-8
• Terbentuk kalus
pada tepi
sayatan
Hari ke-14
• Pertumbuhan
kalus
• Warna putih
kekuningan
• Tekstur
meremah
Hari ke-28
• kalus terus
membesar.
• tidak terjadi
diferensiasi
membentuk
akar.
• Kalus dari eksplan Catharanthus roseus yang diinokulasi pada
media induksi, yaitu media MS (Murashige dan Skoog) dengan
penambahan ZPT 2,4 D 2 mg/L dan Kinetin 0,2 mg/L
32. B. Sub Kultur Kalus pada Media
Produksi.
• Kalus yang telah berumur 8 minggu, kemudian disubkultur untuk
perbanyakan kalus menggunakan media MS ditambah ZPT 2,4-D 2
mg/L dan Kinetin 0,2 mg/L
Hari ke-4
• Tampak terjadi
pencoklatan
Hari ke-14
• kalus tampak
mengalami
pertumbuhan yang
baik
Hari ke-21
• pertumbuhan
kalus yang
berwarna kuning
muda
33. E. Sub Kultur Kalus pada Media
Perlakuan.
• Subkultur kalus pada media perlakuan dilakukan pada
saat kalus berumur 12 minggu.
• Media yang digunakan adalah media MS ditambahkan
dengan ZPT NAA 2 mg/L dan kinetin 0,2 mg/L dengan
penambahan pula triptofan sesuai dengan perlakuan,
yaitu 0 mg/L (K), 50 mg/L (A), 100 mg/L (B), 150 mg/L
(C), 200 mg/L (D) dan 250 mg/L (E).
• Kalus yang digunakan adalah kalus yang dihasilkan dari
subkultur produksi seberat +/- 1 gram.
34. 1.31
2.57
1.75
1.55
1.25
0.04
0
0.5
1
1.5
2
2.5
3
0 (K) 50 (A) 100 (B) 150 (C) 200 (D) 250 (E)
AxisTitle
Berat kering kalus yang dikultur pada media dengan perlakuan Triptofan 50
mg/L (A), 100 mg/L (B), 150 mg/L (C), 200 mg/L (D), 250 mg/L (E) dan Kontrol.
35. D. Kandungan Ajmalisin dengan
Penambahan Triptofan
Kandungan Ajmalisin pada Kultur Kalus Catharanthus roseus (L) G.Don yang
Beri Perlakuan Triptofan
Perlakuan Triptofan
Rata-Rata Kandungan
(µg/g bk)
Penurunan
Kandungan
(µg/g bk)
Persentase Penurunan
Ajmalisin
(%)
0 mg/L (Kontrol) 9,048 ± 2,96 a - -
50 mg/L (A) 1,908 ± 0,36 b (7,140) - 78,91
100 mg/L (B) 2,266 ± 0,48 b (6,782) - 74,96
150 mg/L (C) 0,395 ± 0,31 b (8,653) - 95,63
200 mg/L (D) 0,346 ± 0,32 b (8,703) - 96,19
250 mg/L (E) 2,686 ± 0,63 b (6,362) - 70,31
36. Pola kurva pembentukan katarantin (Pandiangan, 2011 dimodifikasi) dan pola
kurva pembentukan ajmalisin dengan perlakuan triptofan pada konsentrasi 0
mg/L, 50 mg/L, 100 mg/L, 150 mg/L, 200 mg/L dan 250 mg/L.
37. • Rata-rata kandungan ajmalisin tertinggi pada kontrol
yaitu terdeteksi sebesar 9,048 µg/g bk sedangkan
kandungan terendah pada perlakuan triptofan 200 mg/L,
yaitu 0,346. Kurva kandungan ajmalisin cenderung turun
hingga pada perlakuan triptofan 100 mg/L dan 200 mg/L
kemudian kembali naik pada perlakuan 250 mg/L
38. Hasil Penelitian sebelumnya yang
mendukung
• Penambahan triptofan pada kultur sel C. roseus pada beberapa
media berbeda yaitu media subkultur mengandung sukrosa rendah
dan dua media dengan sukrosa tinggi tidak berpengaruh terhadap
peningkatan ajmalisin dan serpentin. Ajmalisin dan serpentin
diproduksi lebih tinggi apabila ditambahkan sekologanin dibanding
dengan penambahan triptofan (Merillon et al ,1986).
• Canel et al. (1998) mengemukakan akumulasi alkaloid melalui
rekayasa genetik tidak stabil dan sangat kuat dipengaruhi oleh
kondisi kultur, seperti komposisi hormon dari media dan
ketersediaan prekursor.
• Zhao, et al (2001) juga melaporkan bahwa zat pengatur tumbuh dan
cahaya secara signifikan berpengaruh terhadap produksi alkaloid
pada Catharanthus roseus. ZPT 2,4-D dapat menekan biosintesis
semua alkaloid indol termasuk ajmalisin.
39. Hasil Penelitian sebelumnya yang
mendukung
• Rischer et al. (2006) juga menunjukkan membuktikan bahwa
penambahan auksin pada kultur sel Catharanthus roseus menekan
akumulasi ajmalisin tetapi dapat menstimulasi produksi alkaloid
lainnya seperti tabersonin dan katarantin.
• Diduga pula, adanya mekanisme umpan balik (feed-back
mechanism) pada biosintesis senyawa sekunder (Taiz & Zeiger,
2002).
41. A. Kesimpulan
Perlakuan triptofam pada kultur kalus Cataharanthus
roseus (L.) G. Don mempengaruhi kandungan ajmalisin.
Hasil penelitian diperoleh bahwa kandungan ajmalisin lebih
rendah setelah perlakuan triptofan, dimana kandungan
ajmalisin terkecil pada pemberian triptofan 200 mg/L, yaitu
0,346 µg/g bk. Pada pemberian triptofan 250 mg/L,
kandungan ajmalisin menjadi 2,686 µg/g bk yang
merupakan kandungan tertinggi pada semua perlakuan.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa perlakuan triptofan
pada kultur kalus Catharanthus roseus dapat menurunkan
kandungan ajmalisin.
42. B. Saran
• Dapat dilakukan penelitian penelitian sejenis untuk
mempelajari kandungan ajmalisin pada kultur kalus
Catharanthus roseus (L.) G. Don pada beberapa variasi
waktu kultur atau waktu kultur yang lebih tinggi misalnya
hingga 21 atau 28 hari.
• Akurasi pengukuran kandungan ajmalisin pada kalus
perlu optimasi faktor-faktor yang mempengaruhi mulai
dari persiapan ekstrak sampel hingga pengaturan KCKT.
43. DAFTAR PUSTAKA
• Cai, Z. K., Kastell, A., and Knorr, D. 2012. Exudation: an Expanding
Technique for Continous Production and Release of Secondary Metabolites
from Plant Cell Suspension and Hairy Root Cultures. Plant Cell Rep. Vol. 31
Hal. 461-477.
• Canel, C., M.I. Lopes-Cardoso, S. Whitmer, L. van der Fits, G. Pasquali, R.
van der Heijden, J.H. Hoge & R. Verpoorte, 1998, Effects of over-
expression of strictosidine synthase and tryptophan decarboxylase on
alkaloid production by cell cultures of Catharanthus roseus. Planta Vol. 205
Hal. 414-419.
• Cronquist, A. 1981. An Integrated System of Clasification of Flowering
Plants. Columbia University Press. New York.
• El-Sayed, M. & Verpoorte, R. 2004. Growth, Metabolic Profiling and
Enzymes Activities of Catharanthus roseus Seedlings Treated with Plant
Growth Regulator. Plant Growth Regulation Vol. 44 Hal. 53-58.
• El-Sayed, M. & Verpoorte, R. 2007. Catharanthus terpenoid indole
alkaloids: biosynthesis and regulation. Phytochem Rev. Vol. 6 Hal. 277-305.
44. DAFTAR PUSTAKA
• El-Sayed, M. & Verpoorte, R. 2007. Catharanthus terpenoid indole
alkaloids: biosynthesis and regulation. Phytochem Rev. Vol. 6 Hal. 277-305.
• Esyanti, R.R. & Muspiah, A. 2006. Pola Produksi Ajmalisin dari Kultur
Agregat Sel Catharanthus roseus (L) G.Don dalam Bioreaktor Airlift. Hayati,
Hal. 161 – 165.
• Fitriani, A. 2003. Kandungan Ajmalicin pada Kultur Kalus Catharanthus
roseus (L.) G. Don Setelah Dielisitasi Homogenat Jamur Pythium
aphanidermatum Edson Fitzp. www.rudyct.com/PPS702-
ipb/06223/any_fitriani.htm (diakses 21 April 2017).
• Gardner, P.F., R.B. Pearce & R.L. Mitchel. 1985. Physiology of Crop Plants.
The Low State University Press. Penterjemah Susilo, H. 1991, UI-Press.
Jakarta.
• Harborne, J.B 1973. Phytochemical Methods: A Guide to Modern
Techniques of Plant Analysis. Chapman and Hall. London.
45. DAFTAR PUSTAKA
• Heni, A., Anggarwulan, E., & Solichaton. 2005. Pengaruh Penambahan DL-
Triptofan terhadap pertumbuhan Kalus dan Produksi Alkaloid-Reserpin Pule
Pandak [Rauvolfia serpentina (L.) Bentham ex Kurz.] secara in-vitro.
Biofarmasi Vol. 3 (2). Hal. 52-56.
• Karthikeyan, B., Joe, M.M., Jaleel, C.A. & Deiveekasundaram, M. 2010.
Effect of Root Inoculation with Plant Growth Promoting Rhizobacteria
(PGPR) on Plant Growth, Alkaloid Content and Nutrient Control of
Catharanthus roseus (L.) G. Don. Nat. Croat Vo. 19, Hal. 205-212.
• Merillon, J.M., P. Doireu, A. Guillot, J.C. Cheniux & M. Rideu. 1986. Indole
alkaloid accumulation and tryptophan decarboxylase activity in
Catharanthus roseus cells cultured in three different media. Plant Cell
Reports Vol. 5 Hal. 23-26.
• Michael, L., Overman, L.E., & Welmaker, G.S. 1995. Mannich
Biscyclizations, Total Synthesis of Ajmalicine. Journal Am. Chemical
Society, Hal. 9139-9150.
46. DAFTAR PUSTAKA
• Michal, G., & Schomburg, D. 2012. Biochemical Pathways: An Atlas of
Biochemistry and Molecular Biology. John Wiley & Sons Inc. New Jersey.
• Morgan, J.A. & J.V. Shanks. 2000. Determination of metabolic rate-
limitations by precursor feeding in Catharanthus roseus hairy root cultures.
Journal of Biotechnology Vol. 79 Hal. 137-145.
• Mukarlina, M.R., R., M. Esyanti; H., Siregar A. 2006. Pengaruh Pemberian
Elisitor Homogenat Jamur Pythium aphanidermatum (Edson) Fitzp.
terhadap Kandungan Ajmalisin dalam Kultur Akar Catharanthus roseus (L)
G.Don. Jurnal Matematika & Sains Vol. 11 No. 2, Hal. 44 – 49.
• National Center for Biotechnology Information. PubChem Compound
Database; CID=6305, https://pubchem.ncbi.nlm.nih.gov/compound/6305
(accessed Apr. 26, 2017).
• Nosov, A. 2012. Application of Cell Technologies for Production of Plant -
Derived Bioactive Subtances of Plant Origin. Applied Biochemistry and
Microbiology Vol. 48 No. 7 Hal. 8-28.
47. DAFTAR PUSTAKA
• Oksman-Caldenty, K., Hakkinen, S., & Rischer, R. 2007. Metabolic
Engeneering of the alkaloid biosynthesis in plants: Fungcional Genomic
Approaches. Dalam Verpoorte, R., A.W.Alferman, & T.S. Johnson,
Applications of Plant Metabolic Engineering. Springer, Dordrect.
• Parry, R.J. 1972. Biosynthesis of Compounds Containing an Indole
Nucleus. Dalam Houlihan W.J. (ed.) Indoles: Part Two. John Wiley& Sons,
Inc., Canada.
• Pandiangan, D. 2009. Produksi Metabolit Sekunder Alkaloid Secara In
Vitro. UNPAD Press. Bandung.
• Pandiangan, D. 2011. Produksi Katarantin Melalui Kultur Jaringan. Lubuk
Agung. Bandung.
• Pandiangan, D. 2012. Perubahan Morfologi dan Anatomi Kalus
Catharanthus roseus dengan Perlakuan Triptofan. Bios Logos Vol. 2 (1),
Hal. 45 - 50.
• Pandiangan, D., & Nainggolan, N. 2006. Peningkatan Kandungan
Katarantin pada Kultur Kalus Catharanthus roseus dengan Pemberian
Naphtalene acetic acid. Hayati Vol. 13 No. 3, Hal. 90- 94.
48. DAFTAR PUSTAKA
• Pandiangan, D., & Nainggolan, N. 2006. Peningkatan Kandungan
Katarantin pada Kultur Kalus Catharanthus roseus dengan Pemberian
Naphtalene acetic acid. Hayati Vol. 13 No. 3, Hal. 90- 94.
• Pandiangan, D., Tilaar, W., & Nainggolan, N. 2013. Morphological Changes
of Cell in Relation to Increased Catharanthine Content of Catharanthus
roseus Cell Aggregate Culture after Tryptophan Treatment. IJBAS-IJENS
Vol. 13 (01), Hal. 45 - 51.
• Pandiangan, D., W. Tilaar, N. Nainggolan, & L. Wahyudi. 2015. Relations
between catharantine content enhancement with the other associated
secondary metabolites in Catharanthus roseus cell culture that treated
tryptophan. International Journal of Science and Research (IJSR), Hal.
2208-2212.
• Pasquali, G., O.J.M. Goddijn, A. de Waal, R. Verpoorte, R.A. Schilperoort,
J.H.C. Hoge & J. Memelink, 1992. Coordinated regulation of two indole
biosynthetic genes from Catharanthus roseus by auxin and elicitors. Plant
Molecular Biology Vol. 18. Hal. 1221-1131.
49. DAFTAR PUSTAKA
• Pitoyo, A., Solichatun, & E. Anggarwulan. 2003. Optimalisasi Produksi
Alkaloid Indol Terpenoid pada Kultur Kalus dan Suspensi Sel Catharanthus
roseus (L.) G. Don. dengan Pemberian HCL dan Variasi Triptofan dalam
Media Kultur. Biosmart, Hal. 25 - 32.
• Radwanski, E. R., & R.L. Last. 1995. Tryptophan Biosynthesis and
Metabolism: Biochemical and Molecular Genetics. The Plant Cell Vol. 7,
Hal. 921-934.
• Roberts, M. F., & M. Wink. 1998. Alkaloids: Biochemistry, Ecology, and
Medicinal Applicatons. Plenum Press, New York.
• Salisburi, F. & C. Ross. 1992. Plant Physiology, 4th Ed. Wadsworth
Publishing.
• Sarin, R. 2005. Useful Metabolites from Plant Tissue Culture. Biotechnology
Vol 4 (2), Hal. 79 - 93.
• Taiz, L., & E. Zeiger, E. 2010. Plant Physiology, 5th Ed.Sinauer Associates,
Inc, Sunderland.
50. DAFTAR PUSTAKA
• Thomas, J., D. Adams, C. Nessler & J. Brown 1995. Tryptophan
Decarboxylase, Reproduction of the Tryptamine and Whitefly. Plant
Physiology Vol.109, Hal. 717-720.
• Vanisree, M., C.Y. Lee, S.F. Lo, S.M. Nalawade, C.Y. Lin & H.S. Tsay.
2004. Studies on Production of Some Important Secondary Metabolites
from Medicinal Plant by Plant Tissue Cultures. Bot Bull Acad Sinica (45),
Hal. 1 - 22.
• Vasques-Flota, F., Hernandez-Dominuez, E., Miranda-Ham, M. L., & M.
Monforte-Gonzales2009. A differential response to chemical elicitors in
Catharanthus roseus in vitro cultures. Biotechnol Lett (31). Hal. 591 - 595.
• Verma, P., A.K. Mathur, N. Masood, S. Luqman & K. Shanker. 2013.
Tryptophan over-producing cell suspensions of Catharanthus roseus (L) G.
Don and their up-scaling in stirred tank bioreactor: detection of a phenolic
compound with antioxidant potential. Protoplasma. Hal. 371 - 380.
• Verma, P., A.K. Mathur, A. Srivastava, & A. Mathur. 2012. Emerging Trends
in Research on Spatial and Temporal Organization of Terpenoid Indole
Alkaloid Pathway in Catharanthus roseus: A Literature Update. Protoplasma
Vol.249, Hal. 255- 268.
51. DAFTAR PUSTAKA
• Wink, M., W. Alferman, R. Franke, B. Wetteraur, M. Distl, J. Windhovel, O.
Krohn, E. Fuss, H. Garden, A. Mohagheghzadeh, E. Wildi, & P. Ripplinger.
2005. Sustainable Bioproduction of Phytochemicals by Plant In Vitro
Cultures: Anticancer Agents. Plant Genetic Resources 3 (2), Hal. 90 - 100.
• Zenk, M., H. El-Shagi, H. Arens, J. Stockigt, E.W. Weiler & B. Deus. 1977.
Formation of The Indole Alkaloids Serpentin and Ajmalicine in Cell
Suspension Cultures of Catharanthus roseus. dalam Barz, W. & M.H. Zenk
(ed), Plants Tissue Culture and Its Biotechonological Application. Berlin:
Springer-Verlag.
• Zhao, J., & R.L. Last. 1996. Coordinate Regulation of the Tryptophan
Biosynthetic Pathway and Indolic Phytoalexin Accumuation in Arabidopsis.
The Plant Cell Vol. 8, Hal. 2235-2244.
• Zhao, J., Q. Hu, Y.Q. Guo & W.H. Zhu. 2001a. Effects of light and plant
growth regulators on the biosynthesis of vindoline and other indole alkaloids
in Catharanthus roseus callus cultures. Plant Growth Regulation Vol. 33.
Hal. 43-49.
52. DAFTAR PUSTAKA
• Zhao, J., Q. Hu, Y.Q. Guo & W.H. Zhu. 2001b. Effects of stress factors,
bioregulators, and synthetic precursors on indole alkaloid production in
compact callus clusters cultures of Catharanthus roseus. Applied
Microbiology Biotechnoly Vol. 55, Hal. 693 - 698.
• Zhao, J.,W.H. Zhu & Q. Hu. 2000. Penggunaan elisitor gabungan secara
signifikan meningkatkan ajamalisin yang terakumulasi. Biotechnology Letter
(22), Hal. 509 - 514.