SlideShare a Scribd company logo
1 of 29
1
BAB I
A. Latar Belakang
Dalam rangka Perubahan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945, Indonesia
telah mengadopsi prinsip-prinsip baru dalam sistem ketatanegaraan, yaitu antara lain prinsip
pemisahan kekuasaan dan prinsip ‘checks and balances’ sebagai pengganti sistem supremasi
parlemen yang berlaku sebelumnya (Jimly Asshiddiqie, 2011: 10). Konsep pemisahan
kekuasaan tersebut terkait erat dengan independensi peradilan terhadap pengaruh kekuasaan
eksekutif dan legislatif. Bahkan dalam memahami dan menafsirkan undang-undang dasar dan
undang-undang, hakim harus independen dari pendapat dan dari kehendak politik. Meskipun
anggota Parlemen dan Presiden yang dipilih langsung oleh rakyat mencerminkan kedaulatan
rakyat dalam menentukan kebijakan kenegaraan, kata akhir dalam memahami undang-undang
tetap berada di tangan hakim (Jimly Asshiddiqie, 2010: 311).
Mahkamah Konstitusi merupakan lembaga peradilan sebagai salah satu pelaku
kekuasaan kehakiman, disamping Mahkamah Agung (MA) yang dibentuk melalui Perubahan
Ketiga UUD 1945. Pembentukan Mahkamah Konstitusi pada awalnya adalah untuk
menjalankan wewenang constitutional review yang kemunculannya dapat dipahami sebagai
perkembangan hukum dan politik ketatanegaraan modern. Dari aspek politik, keberadaan
Mahkamah Konstitusi dipahami sebagai bagian dari upaya mewujudkan mekanisme checks
and balances antar cabang kekuasaan negara berdasarkan prinsip demokrasi (Asosiasi Pengajar
Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, 2010: 3-5).
Secara umum dapat dikemukaan ada dua prinsip yang biasa dipandang sangat pokok
dalam sistem peradilan, yaitu (i) the principle of judicial independence, dan (ii) the principle
of judicial impartiality. Seperti yang dikemukakan Ahsin Thohari, kekuasaan kehakiman yang
bebas dan tidak memihak hanya dapat terwujud apabila tunduk pada aturan-aturan hukum yang
berlaku dan penegakannya. Apabila kekuasaan kehakiman tidak menjaga jarak yang tepat
dengan lembaga-lembaga politik yang ada, maka akan kehilangan legitimasinya dan
kehadirannya dalam suatu negara menjadi tidak bermakna (Ahsin Thohari, 2004: 11).
Disamping itu, hakim sendiri menjadi kekuatan sentral dalam menjalankan fungsi dari
kekuasaan kehakiman dan karena itu menjadi penanggung jawab utama dalam
mempertahankan dan meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap sistem moral dan
integritas lembaga peradilan. Hal yang sangat penting untuk diperhatikan bahwa pengisian
2
jabatan hakim membutuhkan sistem pengisian jabatan yang baik dan ideal guna menghasilkan
hakim yang mempunyai integritas sehingga tetap terjaga independensinya. Apabila sistem
pengisian jabatan hakimnya buruknya maka juga akan menghasilkan hakim yang tidak
berkualitas, begitu juga sebaliknya. Tidak salah apabila ada pernyataan bahwa good judges are
not born but made, karena baik tidaknya seorang hakim salah satunya ditentukan oleh sistem
pengisian jabatan. Hal ini bisa dicapai apabila sistem pengisian jabatan, seleksi dan pelatihan
hakim tersedia secara baik dan memadai (Ahsin Tohari, 2004: 26). Oleh sebab itu menurut
kami ada keterkaitan antara independensi peradilan dengan sistem pengisian jabatan hakim,
termasuk dalam hal ini adalah hakim konstitusi.
Sejak pertama dibentuk dan diatur dalam UUD 1945, pengisian jabatan hakim pada
Mahkamah Konstitusi dilakukan oleh tiga cabang kekuasaan negara, yaitu Presiden, DPR, dan
Mahkamah Agung. Sembilan orang hakim konstitusi diisi oleh calon yang dipilih dari 3 (tiga)
lembaga, yaitu 3 (tiga) orang oleh Dewan Perwakilan Rakyat, 3 (tiga) orang oleh Presiden, dan
3 (tiga) orang oleh Mahkamah Agung (Pasal 24C ayat 3 UUD 1945). Jika kita lihat dalam
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah
diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Kosntitusi dalam ketentuan Pasal
19 menyatakan “Pencalonan hakim konstitusi dilaksanakan secara transparan dan partisipatif,
selanjutnya dalam Pasal 20 ayat (1) menyatakan “Ketentuan mengenai tata cara seleksi,
pemilihan, dan pengajuan hakim konstitusi diatur oleh masing-masing lembaga yang
berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1)”.
Hal inilah yang menjadi menarik mengingat pengisian jabatan hakim Mahkamah
Konstitusi dilakukan oleh tiga cabang kekuasaan negara dan dua diantaranya adalah cabang
kekuasaan yang berhubungan erat dengan politik. Lalu, apakah pengisian jabatan hakim
Mahkamah Konstitusi dari tiga cabang kekuasaan negara tersebut sudah mewujudkan prinsip
kekuasaan kehakiman yang merdeka dalam menjalankan fungsi dan tugas yudisialnya.
Berdasarkan pertimbangan dan pemaparan latar belakang diatas maka kami mengadakan
penelitian mengenai bagaimana implementasi pengisian jabatan hakim Mahkamah Konstitusi
oleh tiga cabang kekuasaan negara dan apakah pengisian jabatan hakim Mahkamah Konstitusi
oleh tiga cabang kekuasaan negara tersebut sudah dapat mewujudkan kekuasaan kehakiman
yang merdeka.
B. Rumusan Masalah
3
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya maka dapat disusun rumusan
masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana implementasi pengisian jabatan hakim pada Mahkamah Konstitusi
Republik Indonesia oleh tiga cabang kekuasaan negara menurut Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan peraturan perundang-undangan
yang relevan?
2. Apakah pengisian jabatan hakim mahkamah konstitusi oleh tiga cabang kekuasaan
negara tersebut dapat mewujudkan kekuasaan kehakiman yang merdeka?
4
BAB II
A. Implementasi Pengisian Jabatan Hakim pada Mahkamah Konstitusi Oleh Tiga
Cabang Kekuasaan Negara
1. Berdasarkan Peraturan Perundang-undangan
Untuk mengetahui bagaimana implementasi pengisian jabatan hakim pada
Mahkamah Konstitusi terlebih dahulu kita merujuk pada konstitusi, dimana dalam
BAB IX Kekuasaan Kehakiman Pasal 24C UUD 1945 menjadi landasan
konstitusional Mahkamah Konstitusi. Dalam ketentuan Pasal 24C ayat (3) UUD
1945 dikatakan bahwa:
Mahkamah Konstitusi mempunyai sembilan orang anggota hakim konstitusi yang
ditetapkan oleh Presiden, yang diajukan masing-masing tiga orang oleh
Mahkamah Agung, tiga orang oleh Dewan Perwakilan Rakyat, dan tiga orang
oleh Presiden.
Sebagaimana bunyi pasal diatas Mahkamah Konstitusi yang memiliki 9
(sembilan) orang hakim konstitusi yang diajukan masing-masing tiga orang oleh
tiga lembaga negara yaitu Mahkamah Agung, Dewan Perwakilan Rakyat dan
Presiden, pasal ini merupakan dasar bagi tiga cabang kekuasaan negara (yudikatif,
legislatif, dan eksekutif) tersebut untuk melaksanakan pengisian jabatan hakim
pada Mahkamah Konstitusi. Selanjutnya melalui ketentuan Pasal 24C ayat (6)
UUD 1945 diamanatkan terkait pengangkatan dan pemberhentian hakim
konstitusi, yang berbunyi:
Pengangkatan dan pemberhentian hakim konstitusi, hukum acara serta ketentuan
lainnya tentang Mahkamah Konstitusi diatur dengan undang-undang.
Ketentuan konstitusional Pasal 24C ayat (6) UUD 1945 tersebut melahirkan
undang-undang organik yaitu Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor
24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi untuk selanjutnya disebut UU MK.
Undang-undang ini kembali menegaskan bahwa pengisian jabatan hakim
konstitusi dilakukan oleh MA, DPR dan Presiden (Pasal 18 ayat (1) UU MK),
selain itu diatur pula mengenai pengangkatan dan pemberhentian hakim konstitusi
yang dijelaskan dalam BAB IV Pengangkatan dan Pemberhentian Hakim
Konstitusi yang mencakup 3 (tiga) bagian, Bagian Pertama Pengangkatan, Bagian
Kedua Masa Jabatan, dan Bagian Ketiga Pemberhentian. Khusus untuk perihal
pengisian jabatan hakim konstitusi diatur dalam Bagian Pertama Pengangkatan.
5
Sedangkan persyaratan untuk dapat diangkat menjadi hakim konstitusi terdapat
dalam ketentuan Pasal 24C ayat (5) UUD 1945 yang berbunyi:
Hakim konstitusi harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela,
adil, negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan, serta tidak
merangkap sebagai pejabat negara.
Selanjutnya dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi, persyaratan menjadi hakim konstitusi dalam ketentuan Pasal 15
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi diubah
sehingga Pasal 15 ayat (1) berbunyi:
Hakim konstitusi harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a. Memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela;
b. Adil; dan
c. Negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan.
Kemudian Pasal 15 ayat (2) berbunyi:
Untuk dapat diangkat menjadi hakim konstitusi, selain harus memenuhi syarat
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), seorang calon hakim konstitusi harus
memenuhi syarat:
a. warga negara Indonesia;
b. berijazah doktor dan magister dengan dasar sarjana yang berlatar belakang
pendididkan tinggi hukum;
c. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia;
d. berusia paling rendah 47 (empat puluh tujuh) tahun dan paling tinggi 65
(enam puluh lima) tahun pada saat pengangkatan;
e. mampu secara jasmani dan rohani dalam menjalankan tugas dan
kewajiban;
f. tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap;
g. tidak sedang dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan;
h. mempunyai pengalaman kerja di bidang hukum paling sedikit (lima belas)
tahun dan/atau pernah menjadi pejabat negara.
Pasal 15 ayat (3) berbunyi:
Selain persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) calon hakim
konstitusi juga harus memenuhi kelengkapan administrasi dengan menyerahkan:
a. surat pernyataan kesediaan untuk menjadi hakim konstitusi;
b. daftar riwayat hidup;
c. menyerahkan fotokopi ijazah yang telah dilegalisasi dengan menunjukkan
ijazah asli;
d. laporan daftar harta kekayaan serta sumber penghasilan calon yang
disertai dengan dokumen pendukung yang sah dan telah mendapat
pengesahan dari lembaga yang berwenang; dan
e. nomor pokok wajib pajak (NPWP).
Sementara Mahkamah Agung, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Presiden
dalam melaksanakan pengisian jabatan hakim konstitusi selain berdasarkan UUD
1945 juga berpedoman pada UU MK. Ketiga lembaga yang berwenang diwajibkan
6
dalam pelaksanaan pengisian jabatan hakim konstitusi harus dilakukan secara
transparan dan partisipatif, sebagaimana Pasal 19 UU MK yang berbunyi:
Pencalonan hakim konstitusi dilaksanakan secara transparan dan partisipatif.
Berdasarkan dalam Penjelasan pasal tersebut calon hakim konstitusi harus
dipublikasikan di media massa baik cetak maupun elektronik, sehingga
masyarakat mempunyai kesempatan untuk ikut memberi masukan atas calon
hakim yang bersangkutan.
Untuk ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara seleksi, pemilihan dan
pengajuan hakim konstitusi seperti yang telah diuraikan sebelumnya, hal ini
merupakan kewenangan dari masing-masing lembaga negara yang berhak untuk
mengajukan hakim konstitusi, dalam Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang berbunyi:
Ketentuan mengenai tata cara seleksi, pemilihan, dan pengajuan hakim konstitusi
diatur oleh masing-masing lembaga yang berwenang sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 18 ayat (1).
Ketentuan dalam Pasal 20 ayat (1) ini meberikan kewenangan bagi ketiga
cabang kekuasaan negara (MA, DPR, dan Presiden) untuk melakukan serangkaian
proses pencalonan hakim konstitusi mulai dari tahap awal sampai diajukan kepada
Presiden untuk ditetapkan melalui Ketetapan Presiden. Perlu diperhatikan bahwa
UU MK mengamanatkan pencalonan hakim konstitusi dilaksanakan secara
transparan dan partisipatif. Selanjutnya dalam tahapan pemilihan hakim konstitusi
harus dilaksanakan secara obyektif dan akuntabel seperti dalam ketentuan Pasal
20 ayat (2) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 yang berbunyi:
Pemilihan hakim konstitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan
secara obyektif dan akuntabel.
Dalam hal kapan pelaksanaan pengisian jabatan hakim konstitusi oleh
lembaga negara berwenang, UU MK telah mengatur apabila terdapat kursi hakim
konstitusi yang kosong baik karena masa jabatannya habis atau pun karena sebab
lain sehingga hakim konstitusi diberhentikan sesuai Pasal 23 ayat (1) huruf c, Pasal
23 ayat (1) huruf d, atau Pasal 23 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf e, atau ayat (2),
maka sebagaimana bunyi Pasal 26 UU MK lembaga yang berwenang untuk
mengisi kursi hakim konstitusi yang kosong adalah lembaga darimana pencalonan
hakim sebelumnya berasal.
Berdasarkan berbagai pengaturan yang mengatur tentang pengisian jabatan
hakim konstitusi diatas dapat dipahami pengisian jabatan hakim konstitusi oleh
Mahkamah Agung, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Presiden mengenai tata cara
7
seleksi, pemilihan dan pengajuan diatur sendiri oleh masing-masing lembaga.
Sedangkan dalam tahapan pencalonan hakim konstitusi masing-masing lembaga
harus melaksanakannya dengan prinsip transparan dan partisipatif guna
memberikan informasi kepada masyarakat dan membuka kesempatan bagi
masyarakat untuk memberikan masukan terhadap calon hakim. Lalu setelah
melakukan serangkaian seleksi dalam hal pemilihan calon hakim konstitusi yang
akan diajukan kepada Presiden harus dilaksanakan secara obyektif dan akuntabel.
B. Implementasi Pengisian Jabatan Hakim Mahkamah Konstitusi oleh Tiga Cabang
Kekuasaan Negara
1. Mahkamah Agung
Sebagaimana diketahui selama ini Mahkamah Agung dalam
melaksanakan pengisian jabatan hakim konstitusi dinilai tertutup dan kurang
melibatkan publik. Mahkamah Agung juga tidak pernah membuat aturan
tertulis dalam hal pengaturan pengisian jabatan hakim konstitusi. Terlebih
lagi, berdasarkan track record hakim konstitusi yang berasal dari pintu
Mahkamah Agung, calon yang diajukan untuk menjadi hakim konstitusi selalu
berasal dari lembaga peradilan. Memang baik dalam UUD 1945 dan UU MK
tidak membatasi asal calon dari masing-masing lembaga negara dalam
merekrut hakim konstitusi kecuali dalam hal persyaratan.
Dibandingkan dengan pendapat MK dalam Putusan MK Nomor 1-
2/PUU-II/2014 dalam pertimbangan hukumnya, MK menilai dalam pemilihan
hakim konstitusi, harus dihindarkan adanya unsur favoritisme dan
popularisme, oleh karenanya tes pemilihan hakim bukanlah tes litmus
(something (such as an opinion about a political or moral issue) that is used
to make a judgment about whether someone or something is acceptable –
http://www.merriam-webster.com/dictionary/litmus+test) bagi calon hakim
dari kacamata pemilihnya yaitu Panel Ahli. Lalu dengan dipilihnya hakim
konstitusi dari MA yang berasal dari lembaga peradilan juga merupakan
bentuk favoritisme dan popularisme. Hal ini menurut Maria Farida Indrati
Soeprapto (Hakim Konstitusi) dan Bapak Isharyanto (Dosen Hukum Tata
Negara Fakultas Hukum UNS) merupakan bentuk open legal policy bagi
masing-masing lembaga negara dalam melaksanakan pengisian jabatan hakim
konstitusi.
8
Di bawah ini adalah bagan yang kami buat dalam tahapan pengisian
jabatan yang dilakukan Mahkamah Agung pada masa Hakim Konstitusi
Anwar Usman menggantikan Arsyad Sanusi yang mengundurkan diri tahun
2011 yang bersumber dari berbagai media massa.
Bagan 1.
Tahapan Pengisian jabatan Hakim Konstitusi di MA pada
Tahun 2011
Dalam hal publikasi MA pernah mengeluarkan Pengumuman berjudul
Usulan Calon Hakim Mahkamah Konstitusi RI dari Mahkamah Agung RI,
pengumuman ini diunggah pada website resmi Mahkamah Agung Republik
Indonesia pada tanggal 3 Februari 2011 (mahkamahagung.go.id). Adanya
tahapan publikasi dan masukan dari masyarakat yang dilakukan MA ini
menunjukkan bahwa MA berupaya melaksanakan pengisian jabatan sesuai
dengan UU MK yaitu transparan dan partisipatif.
Gambar 1.
Penyerahan Visi dan Misi
Calon Hakim Konstitusi
Penentuan nama-nama calon hakim
konstitusi yang ikut tahapan selanjutnya
Mahkamah Agung
↓
Menghasilkan nama-nama calon hakim
konstitusi
↓
Pengajuan Hakim
Konstitusi terpilih ke
Presiden
Menilai dan menutuskan calon hakim
konstitusi terpilih
Rapat Pimpinan MA
Masukan Masyarakat
Penelitian Intern
Rapat Pimpinan MA
Pengumuman Publik
9
Publikasi Calon Hakim Konstitusi di Mahkamah Agung
Sumber: mahkamahagung.go.id.
2. Dewan Perwakilan Rakyat
Di Dewan Perwakilan Rakyat, pengisian jabatan hakim konstitusi
dilaksanakan oleh Komisi III Bagian Hukum dan Hak Asasi Manusia. DPR
selama ini dinilai lebih transparan dalam melakukan pengisian jabatan hakim
konstitusi dibandingkan dengan kedua lembaga berwenang lainnya (Presiden
dan MA). Hal ini dikarenakan DPR memiliki aturan seleksi pejabat negara
harus dalam bentuk uji kepatutan dan kelayakan (fit and proper test). Hanya
saja setiap kali ada pencalonan hakim konstitusi, mekanisme atau tahapan
yang dilakukan belum tentu sama dengan yang sebelumnya (berubah-ubah).
Terlebih lagi, tidak adanya peraturan internal yang dibuat oleh DPR terkait
dengan tata cara seleksi, pemilihan, dan pengajuan hakim konstitusi yang
berasal dari DPR baik di DPR maupun di Komisi III.
Berdasarkan berbagai sumber pada media massa, tahapan-tahapan yang
dilakukan DPR dalam melakukan pengisian jabatan hakim konstitusi periode
2014 adalah sebagai berikut (Tempo, Ed. 10-16 Maret: 90-91):
a. membuka pendaftaran bagi calon hakim konstitusi yang diumumkan di
media massa;
b. membentuk panitia seleksi (pansel) yang terdiri dari tokoh-tokoh nasional
dan para pakar yang berwenang untuk bertanya dalam uji kelayakan dan
kepatutan (fit and proper test). Pansel ini lebih lanjut dalam pengisian
jabatan hakim konstitusi periode 2014 disebut dengan Tim Pakar yang
berangotakan 8 (delapan) orang yaitu, Laica Marzuki, Ahmad Syafi’I
Maarif, Lauddin Marsuni, H.A.S. Natabaya, Andi Mattalatta, Zein
Badjeber, Saldi Isra, dan Musni Umar.
c. melakukan fit and proper test kepada calon hakim konstitusi yang
dilakukan Komisi III beserta Tim Pakar. Tahapan ini terdiri dari pembuatan
makalah, tanya jawab, dan pendalaman.
d. melakukan rapat tertutup yang dihadiri oleh anggota Komisi III dan Tim
Pakar untuk menentukan siapa yang direkomendasikan beserta alasannya.
Selanjutnya diajukan sebagai hakim konstitusi.
10
Apabila dibuat bagan tahapan pengisian jabatan hakim konstitusi yang
dilakukan oleh DPR pada tahun 2014 akan terlihat seperti pada bagan di bawah
ini:
Bagan 2.
Tahapan Pengisian Jabatan Hakim Konstitusi di DPR Tahun 2014
Adanya Tim Pakar yang beranggotakan cendekiawan, akademisi dan
tokoh yang ahli dibidangnya menurut Taslim dari FPAN sebagai bentuk
trasnparansi sehingga pandangan publik terkait DPR akan mengistimewakan
orang partai dapat diluruskan.
3. Presiden
Presiden dalam melaksanakan pengisian jabatan hakim konstitusi
selama ini dilaksanakan oleh Wantimpres. Menurut hakim konstitusi Maria
Farida, bahwa pola pengisian jabatan hakim konstitusi yang berasal dari
Presiden pada periode 2008 saat pengangkatan Maria Farida Indrati, Ahmad
Sodiki dan Abdul Mukhti Fadjar sebagai berikut:
a. Presiden meminta pertimbangan Wantimpres untuk mendapatkan nama-
nama yang dinilai layak menjadi calon hakim konstitusi;
b. Persetujuan Presiden atas nama-nama yang diajukan Wantimpres;
c. Undangan via telepon yang dilakukan oleh Wantimpres kepada nama-nama
yang telah disetujui Presiden;
1. Pembuatan Makalah
2. TanyaJawab (terbuka)
3. Pendalaman
↓
Rapat Tertutup Komisi IIIdan Tim PakarPenentuan Calon Hakim
Konstitusi yang
direkomendasikan
↓
Pengajuan Hakim Konstitusi terpilih ke
Presiden
berwenang mengajukan pertanyaan
dalam fit and proper test↓
Fit and proper test Terdiri dari:
Dewan Perwakilan Rakyat
↓
Membuka dan mengumumkan Pendaftaran
Calon Hakim Konstitusi di media massa
Membentuk Tim Pakar
Komisi IIIBagian Hukum dan HAM
↓
↓
11
d. Pengiriman curriculum vitae, surat pernyataan kesanggupan diatas materai,
dan paper bagi nama-nama yang setuju untuk mendaftar calon hakim
konstitusi kepada Wantimpres;
e. Wantimpress membentuk Dewan Seleksi yang terdiri dari 7 (tujuh) orang
bergelar profesor dan 1 (satu) orang bergelar doktor;
f. Pemanggilan terhadap 16 (enam belas) calon hakim konstitusi yang
selanjutnya dilaksanakan fit and proper test terbuka oleh Dewan Seleksi di
kantor Sekretariat Negara;
g. Masukan dari LSM yang hadir dalam fit and proper test;
h. Wantimpres dan Dewan Seleksi melakukan pemilihan 9 (sembilan) nama
yang kemudian diajukan kepada Presiden;
i. Presiden memilih 3 nama yang kemudian diangkat menjadi hakim
konstitusi.
Bagan 3.
Tahapan Pengisian jabatan Hakim Konstitusi dari Presiden Tahun 2008
Pada tahun 2013 Presiden dalam rangka mengisi jabatan hakim
konstitusi Achmad Sodiki mengangkat Patrialis Akbar sebagai hakim
konstitusi secara langsung tanpa adanya tahapan seleksi, hal ini dinilai oleh
masyarakat khususnya Indonesia Corruption Watch (ICW) dan Yayasan
Presiden
↓
Wantimpres
↓
Mengundang Calon via
telepon
↓
Pengiriman CV, surat
pernyataan kesangupan
dan paper
↓
Pembentukan Dewan
Seleksi
↓
Pemanggilan Calon
↓
Fit and proper test dan
masukan dari LSM
↓
Pemilihan 9 nama
↓
Presiden memilih 3 nama
↓
Pengangkatan Hakim
Konstitusi
Presiden meminta usulan
nama dan menyetujui
usulan dari Wantimpres
berwenang melakukan
fit and proper test
dilaksanakan secara
terbuka
12
Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) tidak transparan dan melanggar
ketentuan Pasal 19 UU MK. ICW dan YLBHI menggugat Keputusan Presiden
Nomor 87/P Tahun 2013 tentang Pengangkatan Patrialis Akbar dan Maria
Farida Indrati menjadi Hakim Konstitusi ke PTUN Jakarta Pusat. Pada tingkat
pertama PTUN memutuskan membatalkan Kepres tersebut, tapi Presiden
selaku Tergugat I dan Patrialis Akbar selaku Tergugat II intervensi
mengajukan banding ke PT TUN yang hingga memenangkannya. Namun
hingga sekarang ICW mengatakan akan mengajukan kasasi atas kasus
tersebut. Dari adanya kasus ini menurut penulis dapat dipahami bahwa
pengisian jabatan hakim konstitusi oleh lembaga negara berwenang (dalam hal
ini Presiden) bukanlah merupakan hak prerogatif melainkan adanya ketentuan
pengisian jabatan hakim konstitusi dilaksanakan secara transparan dan
partisipatif, yang artinya melibatkan hak rakyat untuk ikut berperan serta.
C. Pengisian Jabatan Hakim pada Mahkamah Konstitusi dalam Mewujudkan
Kekuasaan Kehakiman yang Merdeka
1. Tiga Lembaga Pengisi Jabatan Hakim Konstitusi
Kekuasaan kehakiman yang merdeka dimaknai sebagai kekuasaan atau
kuasa yang diberikan kepada lembaga peradilan sebagai sarana atau alat untuk
menuju pada tercapainya peradilan yang tidak berpihak guna terwujudnya cita
negara hukum. Seperti yang telah dijelaskan dalam bab sebelumnya, kebebasan
atau kemandirian atau kemerdekaan kekuasaan kehakiman meliputi 3 (tiga) hal
yaitu, struktur kelembagaanya, proses peradilannya, dan hakimnya. Dalam
konstitusi kita Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
jelas disebutkan dalam bab IX tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 24 ayat (1)
sebagai dasar yang menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman merupakaan
kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan
hukum dan keadilan.
Dalam Pasal 24 ayat (2) disebutkan bahwa Mahkamah Konstitusi
merupakan salah satu lembaga peradilan yang menjalankan kekuasaan
kehakiman. Dengan adanya jaminan kekuasaan kehakiman yang merdeka maka
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia yang dikenal sebagai the guardian of
the constitution, the sole intepreter of the constitution, the the guardian of the
human right, and the guardian of the process of democracy diharapkan mampu
13
menjalankan tugas dan kewajibannya tanpa adanya intervensi pihak lain, sehingga
kebebasan dan posisi imparsial MK dapat terwujud.
Apa yang tercantum di atas menunjukkan bahwa Mahkamah Konstitusi
selaku salah satu lembaga peradilan yang menjalankan kekuasaan kehakiman
memiliki hak konstitusional sebagai subyek yang mampu menjalankan kekuasaan
kehakiman yang merdeka dengan tujuan agar hukum dan keadilan dapat
ditegakkan. Dalam menjalankan tugas dan kewajibannya ini Mahkamah
Konstitusi memiliki 9 (sembilan) orang hakim konstitusi yang berasal dari ketiga
cabang kekuasaan negara, yaitu eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
Pengisian jabatan hakim sangat erat hubungannya dengan kekuasaan
kehakiman yang merdeka, dimana dalam kekuasaan kehakiman yang merdeka
seperti yang dikatakan Rusli Muhammad kekuasaan kehakiman yang merdeka
meliputi lembaga, proses peradilan dan hakimnya. Sedangkan kekuasaan
kehakiman yang merdeka dapat dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal
dimana pengisian jabatan hakim termasuk faktor internal yaitu terkait dengan
kelembagaan. Untuk itu, sebagai upaya mewujudkan hakim yang baik dibutuhkan
pola atau mekanisme yang baik pula dalam pengisian jabatan hakim konstitusi
sebagai upaya mewujudkan kekuasaan kehakiman yang merdeka.
Secara teori terdapat 3 (tiga) pola pengisian jabatan hakim konstitusi yang
berlaku di beberapa negara yaitu, pertama single body mechanisms dimana
eksekutif dapat menentukan seluruh anggota Mahkamah Konstitusi tanpa
pengawasan lebih lanjut oleh cabang legislatif. Contoh yang paling mendekati
model pengangkatan ini adalah Counsil of Gran Justice di Taiwan, dimana 15
orang anggotanya diangkat oleh Presiden, kedua cooperative appointment
mechanisms, dimana dalam pengangkatan menghendaki kerjasama diantara
lembaga-lembaga dalam menentukan komposisi mahkamah atau organ
sejenisnya. Negara-negara yang menganut model kedua ini seperti Amerika
Serikat, Rusia dan Hongaria dimana presiden mengangkat para hakim setelah
memperoleh konfirmasi dari Kongres atau parlemen. Model pengangkatan seperti
ini terlihat konsisten dengan persyaratan obyektif dari supermayoritas parlemen
guna memberi dukungan (institusional atau politis) kepada hakim dengan tugas
utama interprestasi Konstitusi. Selanjutnya model yang ketiga adalah model
representative appointment. Sedangkan pola pengisian jabatan hakim konstitusi
di Indonesia menunjukkan mengikuti pola yang ketiga atau representative
14
appointment, model ini melibatkan sejumlah lembaga negara (multiple). Sebagai
contohnya di Italia tiga (3) dari sembilan (9) hakim konstitusi diajukan oleh
Presiden, tiga (3) oleh parlemen, dan tiga (3) lainnya diajukan Mahkamah Agung.
Model Pengangkatan seperti ini ditiru oleh Bulgaria, Korea, Mongolia, dan
Indonesia. Model ini dapat dilihat melalui ketentuan Pasal 24C ayat (3) UUD
1945 dan Pasal 18 ayat (1) UU MK yang menunjukkan dengan jelas pengisian
jabatan hakim konstitusi pada Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
menggunakan pola representative appointment dimana terdapat 3 (tiga) lembaga
negara yang mewakili ketiga cabang kekuasaan negara yang terlibat, yaitu
Presiden sebagai kekuasaan eksekutif, DPR sebagai kekuasaan legislatif, dan MA
sebagai kekuasaan yudikatif ) (Ahmad Syahrizal, 2006: 265-266).
Seperti yang diketahui lembaga negara Presiden, dan DPR adalah lembaga
negara yang terdiri dari afiliasi politik. Dalam pengisian jabatan hakim konstitusi
yang melibatkan Presiden dan DPR dikhawatirkan terdapat nuansa politik
didalamnya. Berdasarkan Laporan Survei Persepsi 200 Ahli Tata Negara terhadap
Kinerja Mahkamah Konstitusi RI yang salah satunya menghasilkan temuan terkait
kelembagaan Mahkamah Konstitusi, sebagai badan yudisial ketentuan sumber
pengisian jabatan hakim konstitusi justru lebih mencerminkan sebagai badan
politik karena jalur sumber pengisian jabatan berasal dari tiga jalur (DPR, Presiden
dan MA), para ahli menganggap bahwa ketentuan tiga jalur sumber pengisian
jabatan sebagaimana diatur dalam Pasal 24C ayat (3) UUD 1945 adalah tidak
tepat. Berikut grafik temuan hasil survei yang menunjukkan prosesntase
koresponden:
Gambar 3.
15
Grafik temuan hasil survey 200 ahli tata negara
Sumber: Laporan Survei Persepsi 200 Ahli Tata Negara terhadap Kinerja
Mahkamah Konstitusi RI
Padahal Mahkamah Konstitusi seperti yang tercantum dalam Pasal 24 UUD
1945 merupakan lembaga negara yang menjalankan kekuasaan kehakiman yang
merdeka terlepas dari pengaruh apapun termasuk politic insularity. Berdasarkan
ketentuan hukum internasional International Bar Association Code of Minimum
Standards of Judicial Independence “Appoinments and promotions by a non-
judicial body will not be considered inconsistent with judicial independence in
countries where by long historic and democratic tradition, judicial appointments
and promotion operate satisfactorily” melihat ketentuan tersebut
mengindikasikan bahwa negara dengan sejarah panjang dan tradisi demokrasi
pengisian jabatan hakim yang melibatkan lembaga non yudikatif tidak dipandang
inkonsisten dengan kemerdekaan peradilan. Hal ini sesuai dengan yang terjadi di
Indonesia pengisian jabatan hakim konstitusi yang melibatkan lembaga eksekutif,
legislatif, dan yudikatif, sementara pengisian jabatan hakim agung melibatkan
lembaga non yudisial (Komisi Yudisial) dan legislatif (DPR). Selanjutnya,
Universal Declaration on the Independent of Justice mengatakan “Participation
in judicial appoinments by the Executive or Legislature is consistent with judicial
independence, so long as appoinments of judges are made in cosultation with
members of the judiciary and the legal profession, or by a body in which members
of the judiciary and the legal profession participate” ketentuan ini mensyaratkan
apabila pengisian jabatan hakim melibatkan eksekutif dan legislatif maka pengisan
jabatannya harus terjaga dari politisasi dengan melibatkan institusi peradilan dan
praktisi hukum. Sebagaimana diketahui selama ini pengisian jabatan hakim pada
Mahkamah Konstitusi oleh Presiden, DPR dan MA dilakukan masing-masing
lembaga dengan cara mereka dan tanpa keterlibatan lembaga lainnya.
Mengenai keterlibatan Mahkamah Agung dalam pengisian jabatan hakim
Mahkamah Konstitusi sudah disampaikan dari awal oleh anggota-anggota PAH
yang merumuskan perubahan undang-undang dasar yang dituangkan dalam
lampiran Ketetapan MPR No. IX/MPR/2000 dimana terdapat dua alternatif.
Alternatif pertama MK mempunyai sembilan orang anggota yang diangkat dan
diberhentikan oleh MPR atas usul Presiden tiga orang, usul MA tiga orang dan
16
usul DPR tiga orang, sedangkan alternatif kedua diangkat dan diberhentikan oleh
MPR atas usul MA yang susunan dan jumlah keanggotaannya diatur dalam
undang-undang (Tim Penyusun Naskah Komprehensif Proses dan Hasil
Perubahan UUD 1945, 2010 :533). Berasal dari rumusan tersebut dalam
pembahasannya beberapa ahli memberikan pendapat diantaranya mengenai
keanggotan MK, Hamdan Zoelva dari F-PBB menyatakan bahwa anggota MK
diatur secara tegas yang menunjukkan perimbangan kekuasaan, yaitu eksekutif,
legislatif dan yudikatif (Tim Penyusun Naskah Komprehensif Proses dan Hasil
Perubahan UUD 1945, 2010 :534). Soewarno dari F-PDIP mengatakan agar hakim
MK mewakili semua aspirasi pemegang kekuasaan, sehingga dapat mewakili
aspirasi rakyat (Tim Penyusun Naskah Komprehensif Proses dan Hasil Perubahan
UUD 1945, 2010: 539). Dari perdebatan itu memang tidak sedikit juga yang
memberikan pendapat berbeda mengenai keaggotaan MK seperti usul I Ketut
Atawa dari F-TNI/Polri menyampaikan yang mengusulkan hakim MK adalah
Komisi Yudisal atas persetujuan dari DPR. Namun akhirnya rumusan final yang
digunakan dalam pengisian jabatan hakim MK adalah berasal dari tiga cabang
kekuasaan negara yaitu Presiden, DPR, dan MA karena memang dalam pengisian
jabatan hakim konstitusi diharapkan mengikuti pola representative dengan adanya
keterlibatan tiga cabang kekuasaan negara.
Pengisian jabatan hakim yang melibatkan sejumlah lembaga negara dalam
perspektif akademik oleh Ahmad Syahrizal diprediksi dapat mencegah politisasi
dalam proses pengisian jabatannya. Hal ini dikarenakan dalam pengangkatan yang
melibatkan sejumlah lembaga negara (representative appointment) tidak
membutuhkan tindakan kompromistis jika dibandingkan dengan model
cooperative mechanism (Ahmad Syahrizal, 2006: 266). Jika kita lihat baik itu
Presiden, DPR dan MA masing-masing melaksanakan pengisian jabatan hakim
yang didalamnya terdapat tahapan seleksi secara mandiri dan tanpa adanya
kompromi dengan yang lain. Selanjutnya ketika masing-masing lembaga telah
mendapatkan pilihan hakim konstitusi maka masing-masing lembaga (DPR dan
MA) mengajukan kepada Presiden untuk ditetapkan dengan Keputusan Prseiden.
Keterlibatan ketiga lembaga negara yang mencakup cabang kekuasaan
eksekutif, legislatif, dan yudikatif dalam pengisian jabatan hakim konstitusi oleh
Jimly Asshiddiqie dinilai dapat menjamin adanya keseimbangan kekuatan antar
cabang-cabang kekuasaan negara sekaligus menjamin netralitas dan imparsialitas
17
Mahkamah Konstitusi dalam hubungan antar lembaga negara. Lebih lanjut Jimly
Asshiddiqie mengatakan dalam menjalankan tugas dan kewenangan MK, apalagi
terkait dengan kewenangan mengadili perkara sengketa lembaga negara, posisi
imparsial Mahkamah Konstitusi mutlak diperlukan, karena itu pengisian jabatan
hakim konstitusi tidak hanya melibatkan satu cabang kekuasaan, tetapi ketiga
cabang kekuasaan negara sekaligus (Jimly Asshiddiqie, 2011: 3).
Sedangkan menurut Mohammad Fajrul Falaakh, pola pengisian jabatan
hakim konstitusi yang dimonopoli oleh Presiden, DPR dan MA terkesan
mengimpor mentah-mentah dari model Perancis dan Jerman (Ahmad Syahrizal,
2006: 265). Jika kita bandingkan model pengisian jabatan hakim konstitusi
Perancis, 9 (sembilan) anggota Dewan Konstitusi Perancis dengan masa jabatan 9
tahun berasal dari 3 (tiga) intitusi negara yaitu, 3 (tiga) orang diangkat oleh
Presiden, 3 (tiga) orang diangkat oleh Ketua Majelis Nasional, dan 3 (tiga) orang
diangkat oleh Ketua Senat.
Terlepas dari mengadopsi sistem negara lain, berdasarkan sudut pandang
pembentukan Mahkamah Konstitusi sendiri dapat dipahami dari dua sisi, yaitu sisi
politik dan sisi hukum. Dari sisi politik ketatanegaraan, keberadaan Mahkamah
Konstitusi diperlukan guna mengimbangi kekuasaan pembentukan undang-
undang yang dimiliki DPR dan Presiden. Hal ini diperlukan agar undang-undang
tidak menjadi legitimasi bagi tirani mayoritas wakil rakyat di DPR dan Presiden
yang dipilih langsung oleh mayoritas rakyat. Dari sisi hukum, keberadaan
Mahkamah Konstitusi adalah salah satu konsekuensi perubahan dari supremasi
Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) menjadi supremasi konstitusi, prinsip
negara kesatuan, prinsip negara demokrasi, dan prinsip negara hukum (Asosiasi
Pengajar Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, 2010: 7).
Jika kita lihat dalam risalah perubahan UUD 1945 yang didokumentasikan
dalam Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 Buku 6 bagian Rumusan Final Mahkamah Konstitusi dalam
UUD 1945 Hasil Perubahan yang tidak diragukan kesahihannya itu menjelaskan
bahwa komposisi, susunan, dan kelembagaan MK merupakan perwujudan tiga
cabang kekuasaannegara, yakni legislatif, eksekutif,dan yudikatif.Komposisi ini,
diharapkan dapat menerapkan prinsip saling mengawasi dan saling
mengimbangi. Diharapkan pula, agar setiap putusan untuk menyelesaikan
perbedaan pendapat di tubuh MK didasarkan pada pertimbangan komposisi
18
keanggotaan hakim konstitusi. Lebih lanjut, Zain Badjeber mengatakan bahwa
dengan tiga pilar diharapkan keluasan pandangan dari Hakim Konstitusi guna
saling mengimbangi dan saling menunjang pengetahuan untuk menemukan
putusan yang adil. Disamping itu komposisi Hakim Konstitusi tidak begitu saja
mengacu pada suatu negara yang memiliki MK, namun berdasarkan pilihan
kebutuhan Indonesia sendiri (Tim Penyusun Naskah Komprehensif Proses dan
Hasil Perubahan UUD 1945, 2010: 594)
Mahkamah Konstitusi sendiri sebagai penafsir konstitusi berdasarkan
pertimbangan hukumnya dalam putusan Nomor 1-2/PUU-XII/2011 dikatakan,
makna Hakim Konstitusi dipilih oleh lembaga negara yang berbeda tidak hanya
sekedar bagi-bagi porsi kewenangan namun mempunyai substansi tujuan yang
lebih mendasar, yaitu adanya tiga kelompok Hakim Konstitusi yang masing-
masing memiliki latar belakang yang berbeda karena berasal dari pilihan tiga
cabang kekuasaan negara.
Dapat disimpulkan bahwa keterlibatan tiga cabang kekuasaan negara
(eksekutif, legislatif, dan yudikatif) dalam pengisian jabatan hakim pada
Mahkamah Konstitusi yang dikatakan sebagai “bentuk upaya” penegakan prinsip
checks and balances melalui Mahkamah Konstitusi yang memiliki dua hal
penting. Pertama, melihat fungsi MK yang melaksanakan constitutional review
adalah bentuk checks and balances terhadap kekuasaan eksekutif dan legislatif
melalaui review produk hukumnya. Menurut para ahli constitutional review
merupakan penjamin berfungsinya sistem demokrasi dalam hal perimbangan
peran (interplay) antara cabang kekuasaan negara (Jimly Asshiddiqie, 2010:8).
Kedua, dengan komposisi 9 (sembilan) orang hakim konstitusi yang diajukan oleh
3 (tiga) cabang kekuasaan negara dengan porsi yang seimbang dan latar belakang
hakim yang berbeda diharapkan MK memiliki posisi yang independen dan
imparsial dengan keluasan pandang dalam putusan yang dihasilkan karena dengan
komposisi seimbang ini pengisian jabatan hakim konstitusi tidak didominasi
cabang kekuasaan tertentu saja. Presiden sebagai pemegang kekuasaan negara,
DPR yang mewakili rakyat, dan MA dengan pertimbangan yuridisnya. Sehingga
hal ini merupakan upaya mewujudkan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga
peradilan yang lebih imparsial dan independen dalam melaksanakan tugas dan
kewajibannya.
19
2. Metode Seleksi yang Digunakan
Dalam melaksanakan pengisian jabatan hakim konstitusi masing-masing
lembaga (Presiden, DPR dan MA) berpedoman pada Pasal 20 ayat 1 UU MK yang
berbunyi:
Ketentuan mengenai tata cara seleksi, pemilihan, dan pengajuan hakim konstitusi
diatur oleh masing-masing lembaga yang berwenang sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 18 ayat (1).
Melalui ketentuan Pasal 18 ayat (1) ini memberikan kewenangan kepada
Presiden, DPR dan MA dalam melaksanakan tahapan-tahapan seleksi hakim
konstitusi sesuai yang mereka kehendaki. Dalam melaksanakan tugas pengisian
jabatan hakim konstitusi baik itu Presiden, DPR dan MA jangan sampai seenaknya
sendiri sehingga yang terjadi tidak mendapatkan calon hakim yang baik dan justru
digunakan sebagai sarana kepentingan politik dengan afiliasi politik yang
menempatkan hakim konstitusi sebagai pendukung kepentingan. Sebagaimana
yang diketahui, Presiden adalah pemimpin yang berasal dari partai politik yang
dipilih mayoritas rakyat dan DPR adalah parlemen yang berisi mayoritas afiliasi
partai politik Presiden terpilih dengan partai politik lainnya. Oleh karena itu,
kemandirian peradilan sangat penting bagi tegaknya negara hukum, apalagi di
tubuh MK sebagai organ yang menegakkan konstitusi, disitulah esensi pentingnya
pengisian jabatan hakim konstitusi harus benar-benar dapat menghasilkan hakim
yang baik melalui metode seleksi yang digunakan.
Pengisian jabatan yang asal-asalan akan mengganggu kekuasaan
kehakiman yang merdeka di Mahkamah Konstitusi. Hakim yang dihasilkan
misalnya, akan ditunggangi oleh kepentingan politik karena seperti apa yang
dikatakan Martin Shapiro dalam Mary L. Vocansek “judges cannot, though, be
truly independent, because they are dependent on those to whom they owe their
office” (Mary L. Vocansek, 2009: 1). Adanya pernyataan ini dapat dipahami
seolah-oleh tiada hakim yang benar-benar dapat independen karena mereka
merasa memiliki hutang budi atas jabatan yang diperolehnya. Apabila hal
demikian terjadi justru menghasilkan hakim konstitusi yang tidak dapat
independen, imparsial bahkan tidak bebas dari politic insularity.
Kewenangan ketiga lembaga negara tersebut dalam melaksanakan
pengisian jabatan hakim konstitusi tentu tidak mungkin sebebas-bebasnya bahkan
seenaknya sendiri, tapi oleh undang-undang memberikan rambu-rambu yaitu
adanya prinsip transparan dan pertisipatif (Pasal 19 UU MK). Asas transparan atau
20
keterbukaan atau dalam bahasa Inggris disebut transparancy berdasarkan
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang
Bebas dan Bersih dari KKN, Bab III Pasal 3 angka (4) dijelaskan yang dimaksud
dengan asas keterbukaan adalah asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat
untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang
penyelenggaraan negara dengan tetap memperhatikan perlindungan atas hak asasi
pribadi, golongan, dan rahasia negara. Menurut United Nation Development
Programe (dalam dokumen kebijakan UNDP, 1997) transparancy dibangun atas
dasar kebebasan memperoleh informasi. Informasi yang berkaitan dengan
kepentingan publik secara langsung dapat diperoleh oleh mereka yang
membutuhkan. Sedangkan berkaitan dengan asas partisipatif UNDP (dalam
dokumen kebijakan UNDP, 1997) yang memberikan beberapa kriteria
karakteristik pelaksanaan good governance, salah satunya adalah participation
yang memiliki arti keterlibatan masyarakat dalam pembuatan keputusan baik
secara langsung maupun tidak langsung melalui lembaga perwakilan yang dapat
menyalurkan aspirasinya serta partisipasi tersebut dibangun atas dasar kebebasan
berasosiasi dan berbicara serta berpartisipasi secara konstruktif.
Dengan adanya transparansi dan partisipatif, dapat dipahami bahwa
pembentuk undang-undang menginginkan adanya kontrol sosial dalam pengisian
jabatan hakim konstitusi sebagai upaya menjaga kekuasaan kehakiman yang
merdeka. Seperti yang dikatakan T. Mulya Lubis bahwa social control cukup
efektif dalam menjaga kekuasaan kehakiman yang merdeka, sehingga perbuatan
tercela meskipun kecil mendapat soroton tajam dari masyarkat pers yang memang
mengenyam kebebasan pers (Rusli Muhammad, 2010: 59).
Selain transparan dan partisipatif UU MK juga menegaskan bahwa
pemilihan hakim konstitusi dilaksanakan secara obyektif dan akuntabel (Pasal 20
ayat (2) UU MK). Hal demikian menunjukkan bahwa dalam melakukan pengisian
jabatan hakim konstitusi, lembaga negara yang berwenang tidak dapat
sembarangan bahkan seenaknya sendiri dalam memilih hakim konstitusi,
melainkan harus melakukan pemilihan secara obyektif dan dapat
dipertanggungjawabkan. Apabila proses pengisian jabatan yang transparan dan
partisipatif sudah terlaksana maka dalam pemilihan hakim konstitusi dapat
obyektif dan tentu dapat dipertanggungjawabkan sehingga mendapatkan hakim
konstitusi yang sesuai harapan.
21
Dalam pembahasan diatas dapat kita ketahui bahwa masing-masing
lembaga berwenang dalam pengisian jabatan hakim konstitusi telah berupaya
melaksanakan ketentuan Pasal 19 dan Pasal 20 UU MK. Akan tetapi jika kita
cermati proses pengisian jabatan yang dilaksanakan ketiga lembaga berwenang
memiliki pandangan yang berbeda-beda dimata masyarakat. Misalnya, dalam
pengisian jabatan hakim konstitusi oleh DPR Tahun 2008 muncul berbagai
perdebatan seperti adanya diskriminasi dan ketidakjelasan prosedur. Bahkan di
Presiden, Maria Farida Indrati untuk periode yang kedua seperti diberi karpet
merah, dirinya hanya diberikan pertanyaan tentang kesanggupannya saja. Setelah
itu langsung diberhentikan dengan hormat lalu diangkat kembali menjadi hakim
konstitusi. Di Mahkamah Agung karena tidak adanya mekanisme fit and propert
test, dinilai tidak lebih transparan dan partisipatif dibandingkan dengan Presiden
dan DPR.
Dari sini muncul problematika dengan diberikannya kewenangan masing-
masing lembaga negara untuk mengatur sendiri tentang tata cara seleksi, maka
pencalonan, pemilihan dan pengajuan hakim konstitusi yang transparan dan
partisipatif juga obyektif dan akuntabel menjadi tidak tercapai. Bahkan sampai
sekarang pun kami belum mengetahui adanya suatu aturan khusus maupun aturan
pelaksana dalam bentuk dokumen dalam pengisian jabatan hakim konstitusi.
Dengan ketidaktercapaiannya proses yang transparan dan partisipatif serta
obyektif dan akuntabel dikhawatirkan menjadikan sebuah pengisian jabatan hakim
konstitusi yang tidak mewujudkan kekuasaan kehakiman yang merdeka. Sehingga
ditakutkan akan adanya intervensi bagi calon hakim konstitusi setelah menjabat
yang pada akhirnya berdampak tidak terjaminnya kemandirian dan kebebasan
hakim konstitusi.
Dari kacamata hukum internasional dalam Article 10, Basic Principles on
the Independence of the Judiciary menegaskan “…any method of judicial
selection shall safeguard against judicial appoinments for improper motives…”
hal demikian mengindikasikan bahwa segala bentuk atau metode seleksi yang
dilakukan harus dapat melindungi pengisian jabatan hakim dari motif-motif yang
tidak baik.
Jika kita lihat pasca munculnya kasus korupsi Akil Mochtar Ketua
Mahkamah Konstitusi Periode 2010-2013, Presiden dengan dalih
“menyelamatkan Mahkamah Konstitusi” lalu mengeluarkan Peraturan Pemerintah
22
Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2013 yang selanjutnya oleh DPR
disahkan menjadi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 tentang Perubahan
Kedua Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi selanjutnya disebut UU 4 Tahun 2014. Walaupun baik Perppu dan
undang-undang tersebut telah dinyatakan inkonstitusional oleh Mahkamah
Konstitusi dalam Putusan Nomor 1-2/PUU-II/2014, namun terlihat bahwa
hadirnya produk hukum tersebut dapat dipahami sebagai upaya yang dilakukan
Pemerintah dan DPR untuk memperbaiki sistem pengisian jabatan hakim
konstitusi selama ini.
Dalam subtsansi UU 4 Tahun 2014 terlihat adanya ketentuan mengenai
pengisian jabatan hakim konstitusi yang mengharuskan adanya suatu Panel Ahli.
Keberadaan Panel Ahli ini menurut Mahkamah Konstitusi dinilai mereduksi
legitimasi ketiga lembaga berwenang pengisi jabatan hakim konstitusi (Presiden,
DPR, dan MA) dengan demikian dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945.
Sehingga sampai dengan sekarang terkait dengan pengisian jabatan hakim
konstitusi masih berlaku ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
Dilihat dari prinsipnya pencalonan dilaksanakan secara transparan dan
partisipatif, dalam Penjelasan UU MK mengisyaratkan calon hakim konstitusi
harus dipublikasikan di media massa agar publik mempunyai kesempatan
memberi masukan terhadap nama-nama yang akan diseleksi sebagai hakim
konstitusi. Partisipasi publik penting artinya untuk mendapatkan hakim konstitusi
sesuai kehendak konstitusi. Hal ini dikatakan oleh Saldi Isra erat hubungannya
dengan Pasal 24C ayat (5) yang mensyaratkan hakim konstitusi harus memiliki
integritas, dan kepribadian yang tidak tercela, adil, dan negarawan yang
menguasai konstitusi dan ketatanegaraan serta tidak merangkap sebagai pejabat
negara lain. Senada dengan itu dalam pengisian jabatan hakim konstitusi Maria
Farida Indrati berpendapat tidak menjadi masalah apabila masing-masing
lembaga berwenang mengatur sendiri proses seleksinya selama proses pengisian
jabatan hakim dari ketiga lembaga tersebut dilaksanakan secara transparan dan
partisipatif.
23
3. Syarat Hakim Konstitusi
Hal lain yang perlu diperhatikan dalam pengisian jabatan hakim konstitusi
oleh tiga cabang kekuasaan negara adalah mengenai persyaratan. Karena dengan
adanya persyaratan inilah yang menjadikan penting pengisian jabatan hakim.
Menurut Ahsin Thohari, adanya ketentuan internasional terkait dengan pengisian
jabatan hakim karena terdapat beberapa hal penting yang harus diperhatikan dalam
pengisian jabatan hakim guna mewujudkan kekuasaan kehakiman yang merdeka
yaitu: antara lain, adanya integritas, kecakapan dan kualifikasi calon hakim,
metode seleksi dan tidak adanya diskriminasi, (Ahsin Thohari, 2004: 22). Hal ini
menunjukkan bahwa perlu diperhatikan tentang persyaratan menjadi hakim agar
proses pengisian jabatan benar-benar menghasilkan hakim sesuai harapan. Dari
semua persyaratan menjadi hakim konstitusi yang telah dijelaskan dalam
pembahasan sebelumnya. Terdapat syarat yang menurut kami tidak jelas kriteria
dan tolak ukurnya, yaitu syarat negarawan. Disebutkan syarat negarawan dalam
Pasal 24C ayat (5) UUD 1945 yang berbunyi:
Hakim konstitusi harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela,
adil, negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan, serta tidak
merangkap sebagai pejabat negara.
Juga pada Pasal 15 ayat (1) UU MK yang berbunyi:
Hakim konstitusi harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a. Memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela;
b. Adil; dan
c. Negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan.
Syarat negarawan dalam UU MK sendiri tidak memberikan definisi atau
penjelasaannya. Padahal syarat ini merupakan syarat yang sifatnya khusus atau
istimewa bagi hakim konstitusi karena syarat negarawan tidak dijumpai dalam
persyaratan menjadi hakim agung, hakim karier, maupun hakim ad hoc.
Ketidakadanya definisi mengenai negarawan membuat syarat ini menjadi
tidak jelas kriteria dan tolak ukurnya. Bahkan dikatakan dalam pertimbangan
hukum MK dalam Putusan Nomor 1-2/PUU-XII/2014, syarat negarawan sulit
untuk ditentukan kriterianya secara pasti, namun hal demikian haruslah dipahami
betapa pembentuk UUD 1945 secara sadar mengidealkan bahwa dalam diri
seorang Hakim Konstitusi sekurang-kurangnya layak untuk diharapkan memiliki
kepribadian dimaksud. Juga dikatakan dalam pertimbangan hukum MK dalam
putusan MK Nomor 68/PUU-XI/2011, persyaratan konstitusional yang ditetapkan
oleh UUD 1945 untuk pengisian jabatan-jabatan negara tersebut merupakan
24
sesuatu yang tidak dapat ditawar-tawar lagi dan bahwa penetapan persyaratan atas
jabatan negara tertentu merupakan mekanisme konstitusional untuk memberikan
jaminan bahwa para calon yang akan mengisi jabatan tersebut memenuhi standar
yang telah diatur dalam UUD 1945.
Sehingga menurut kami pendefinisian makna ‘negarawan’ menjadi penting
mengingat pengisian jabatan hakim konstitusi berasal dari 3 (tiga) cabang
kekuasaan negara yang berbeda maka harus disamakan persepsinya. I Dewa Gede
Palguna (sekarang hakim konstitusi) berpendapat “dalam pengisian jabatan hakim
konstitusi harus benar-benar diperhatikan syarat negarawan, mengapa syarat ini
menjadi sangat penting”. Oleh karena itu apabila syarat negarawan tidak jelas
kriteria dan tolak ukurnya maka bisa saja masing-masing lembaga negara
berwenang pengisi jabatan hakim konstitusi memaknainya secara berbeda.
Padahal syarat ini merupakan syarat yang penting dan harus dibuktikan dalam
pengisian jabatan apakah calon memenuhi syarat tersebut.
Perlu diperhatikan adalah apakah sosok negarawan yang menguasai
konstitusi dan ketatanegaraan adalah seorang politisi atau mantan pejabat negara
ataukah orang yang bukan politisi dan bukan pula mantan pejabat negara tapi
memiliki kriteria tertentu sehingga disebut sebagai negarawan. Dalam hal ini
beberapa ahli juga telah memberikan pendapatnya tentang makna dari negarawan
itu, seperti Jimly Asshiddiqie mantan Ketua Mahkamah Konstitusi 2003-2008
mengatakan negarawan adalah orang yang tidak memiliki nafsu atau ambisi
mencari posisi politik maupun dengan urusan ekonomi. Georges Pompidou yang
menyatakan bahwa negarawan adalah politisi yang menempatkan dirinya dalam
pelayanan kepada bangsa. Kukuh Suharwiyono, seorang Perwira TNI AD, Kepala
Divisi Penelitian dan Pengembangan Pertahanan & Keamanan TANDEF,
mendefinisikan negarawan sebagai seseorang yang berjiwa dan berjuang demi
kepentingan yang lebih besar sehingga dia selalu berpikir dan bertindak hanya
untuk bangsa negaranya. Sedangkan menurut Dr. Andi Irawan dalam Koran
Tempo 27 Nopember 2007, kata negarawan merujuk pada sosok manusia yang
visioner, berorientasi jangka panjang, mengutamakan kesejahteraan bersama
dibanding kesejahteraan pribadi dan golongan, mampu berlaku egaliter, adil dan
mengayomi semua komponen bangsa serta mampu membuktikan komitmen
tersebut dalam perilaku sosial ekonomi, budaya dan politiknya
(http://dedhisuharto.wordpress.com/2009/05/08/negarawan).
25
Selain syarat negarawan, selama kurang lebih 1 (satu) dekade Mahkamah
Konstitusi, telah dilakukan perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2003 tentang Mahkamah Konstitusi yaitu dengan disahkannya Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2003 tentang Mahkamah Konstitusi, LN Nomor 70 Tahun 2011, TLN Nomor
5226. Dalam perubahan tersebut terjadi perubahan terhadap beberapa syarat
menjadi hakim konstitusi sehingga syarat menjadi hakim konstitusi lebih ketat
terutama syarat kapasitas dan teknis administrasi. Apabila kita cermati syarat
hakim konstitusi sebelum perubahan UU MK dan setelah adanya perubahan UU
MK, syarat hakim konstitusi menjadi semakin berat. Pasca perubahan UU MK
hakim konstitusi dipersyaratkan harus memiliki kapasitas seorang berijazah
doktor yang tadinya cukup dengan gelar sarjana hukum dan pengalaman dibidang
hukum harus sudah selama 15 tahun yang tadinya hanya 10 tahun serta ketentuan
usia minimal 47 tahun dan maksimal 65 tahun.
Tabel 4.
Sumber: UU No. 24 Tahun 2003 dan UU No. 8 Tahun 2011
Adanya perubahan dan penambahan beberapa persyaratan menjadi hakim
konstitusi ini menurut kami merupakan indikasi bahwa pembentuk undang-
undang menginginkan pembatasan yang lebih limitatif terhadap calon hakim
konstitusi sehingga didapatkan calon hakim konstitusi yang diharap lebih
No. Syarat HakimKonstitusi SebelumPerubahan Setelah Perubahan
1 MemilikiIntegritas √ √
2 Kepribadian Tidak Tercela √ √
3 Perilaku Adil √ √
4 Negarawan √ √
5 WNI √ √
6 Berijazah sarjana hukum doktor*
7 Bertakwa √ √
8 Usia min. 40 th, maks. tidak ada min. 47 th, maks. 65 th
9 Mampu jasmani& rohani √ √
10 Tidak pernah dipenjara min. 5 tahun tidak ada minimal
11 Tidak sedang pailit √ √
12 Pengalaman dibidang hukum min. 10 min. 15 tahun
13 Menyerahkan :
1) surat pernyataan kesediaan √ √
2) daftar riwayat hidup − √
3) fotokopiijazah − √
4) laporan daftar harta kekayaan
dan dokumen pendukung yang sah
− √
5) NPWP − √
Perbedaan Syarat MenjadiHakimKonstitusiSebelumdan Sesudah Perubahan Undang-Undang
Mahkamah Konstitusi
*Pasca putusan MK Nomor 68/PUU-XI/2011 13-09-2012
26
mumpuni dibanding hasil pengisian jabatan dengan syarat sebelum adanya
perubahan UU MK.
27
BAB III
A. Kesimpulan dan Saran
1. Kesimpulan
Berdasarkan uraian dalam pembahasan, maka dapat dirumuskan simpulan
sebagai berikut:
1) Implementasi pengisian jabatan hakim pada Mahkamah Konstitusi oleh tiga
cabang kekuasaan negara dapat disimpulkan sebagai berikut:
a. Tiga cabang kekuasaan negara yang berwenang dalam pengisian jabatan
hakim konstitusi, yaitu Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat dan
Mahkamah Agung, dimaknai sebagai upaya menjadikan Mahkamah
Konstitusi sebagai lembaga peradilan yang lebih imparsial dalam
menegakkan checks and balances dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.
b. Presiden, DPR, dan MA dalam melaksanakan pengisian jabatan hakim
konstitusi dengan berpedoman pada prinsip transparan dan partisipatif
serta obyektif dan akuntabel.
c. Presiden, DPR, dan MA melaksanakan pengisian jabatan hakim konstitusi
memiliki cara dan tahapan seleksi atau metode seleksi yang berbeda-beda
serta belum tentu sama antar periode pengisian jabatan hakim konstitusi.
d. Perwujudan pelaksanaan transparan dan partisipatif yang dilaksanakan
oleh masing-masing lembaga berwenang dalam pengisian jabatan hakim
dimaknai secara berbeda. Presiden dan DPR dalam pengisian jabatan
hakim konstitusi terdapat tahapan fit and proper test yang dilaksanakan
secara terbuka, sementara di MA partisipasi publik hanya terlihat pada
kesempatan publik dalam memberikan masukan.
2) Pengisian jabatan hakim konstitusi oleh tiga cabang kekuasaan negara
(Presiden, DPR dan MA) dapat mewujudkan kekuasaan kehakiman yang
merdeka dengan tetap memperhatikan: keterlibatan tiga lembaga negara
(Presiden, DPR dan MA) sebagai upaya menegakkan checks and balances
dan kolaborasi hakim konstitusi yang memiliki latar belakang berbeda guna
menjadikan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga peradilan yang
independen dan imparsial, metode seleksi yang transparan dan partisipatif
agar terlaksana prinsip obyektif dan akuntabel, dan pendefinisian syarat
hakim konstitusi seorang negarawan demi terciptanya perspektif yang sama.
28
Dengan adanya tiga hal tersebut justru akan menjadikan lebih terjaminnya
kekuasaan kehakiman yang merdeka di Mahkamah Konstitusi.
2. Saran
Berdasarkan analisis dan pembahasan terhadap implementasi pengisian jabatan
hakim konstitusi oleh tiga cabang kekuasaan negara dan hubungannya dalam
mewujudkan kekuasaan kehakiman yang merdeka. Maka kami memberikan
beberapa saran yaitu:
1) Terkait implementasi pengisian jabatan hakim pada Mahkamah Konstitusi:
a. Pengisian jabatan hakim konstitusi pada Mahkamah Konstitusi Republik
Indonesia memang harus dilaksanakan oleh tiga cabang kekuasaan negara
sebagai upaya mewujudkan Mahkamah Konstitusi yang dapat bersikap
lebih imparsial dan sebagai penegak checksand balances karena berkaitan
dengan kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam menyelesaikan
sengketa lembaga negara serta dapat membentuk kombinasi hakim
konstitusi dengan latar belakang yang tidak sama. Sehingga Mahkamah
Konstitusi dapat menghasilkan putusan yang berkualitas.
b. Pengisian jabatan hakim konstitusi yang berpedoman pada prinsip
transparan, patisipatif, obyektif dan akuntabel sebaiknya perlu didukung
oleh aturan yang secara rinci mengatur kriteria dan standar perekrutan
yang harus dilakukan masing-masing lembaga tanpa mengurangi hak
konstitusionalnya. Misalnya seperti dalam pelaksanaan pengisian jabatan
masing-masing lembaga diharuskan memanfaatkan teknologi informasi
dengan membuat sistem informasi menejemen seleksi calon hakim, yang
didalamnya memuat informasi dalam semua tahapan seleksi.
c. Perlu dibuatnya peraturan internal masing-masing lembaga berwenang
pengisi jabatan hakim konstitusi dalam melaksanakan pengisian jabatan
hakim konstitusi, selain sebagai aturan pelaksana juga sebagai bentuk
akuntabilitas proses seleksi.
2) Perlu adanya kriteria yang jelas mengenai syarat hakim konstitusi seorang
“negarawan”, agar masing-masing lembaga berwenang dalam pengisian
jabatan hakim konstitusi memiliki persamaan persepsi. Oleh karena itu
menurut pemahaman kami makna seorang negarawan yang menguasai
konstitusi dan ketatanegaraan setidaknya harus memiliki kriteria etika dan
intelektual:
29
a. Etika berarti beorientasi demi kepentingan dan kesejahteraan bangsa dan
negara; tidak memiliki ambisi: mengejar jabatan tertentu, kepentingan
politik, dan kekayaan; berpandangan ke depan dengan kebijaksanaan dan
kewibawaan.
b. Intelektual, dengan syarat berijazah doktor, memiliki pengalaman dibidang
hukum minimal 15 tahun, serta konsisten terhadap karya-karya dibidang
hukum ketatanegaraan.
c. Diperlukan dukungan dari berbagai pihak untuk meningkatkan kualitas
pengisian jabatan yang dilaksanakan masing-masing lembaga berwenang
dalam pengisian jabatan hakim konstitusi. Tidak hanya dari pihak lembaga
pengisi, namun peran serta masyarakat dan lembaga-lembaga lain non
pemerintah seperti lembaga swadaya masyarakat atau media sangat
membantu dan berperan penting dalam pengisian jabatan hakim konstitusi.

More Related Content

What's hot

Uu no 22 th 2004
Uu no 22 th 2004Uu no 22 th 2004
Uu no 22 th 2004
Nasria Ika
 
SUSUNAN BADAN KEKUASAAN PERADILAN PERDATA DI INDONESIA
SUSUNAN BADAN KEKUASAAN PERADILAN PERDATA DI INDONESIASUSUNAN BADAN KEKUASAAN PERADILAN PERDATA DI INDONESIA
SUSUNAN BADAN KEKUASAAN PERADILAN PERDATA DI INDONESIA
Aldy Arfan Nugraha
 
Efektifitas Mahakamah Konstitusi dalam sengketa pemilu Ima azizah 6411413110
Efektifitas Mahakamah Konstitusi dalam sengketa pemilu Ima azizah  6411413110Efektifitas Mahakamah Konstitusi dalam sengketa pemilu Ima azizah  6411413110
Efektifitas Mahakamah Konstitusi dalam sengketa pemilu Ima azizah 6411413110
natal kristiono
 
SISTEM HUKUM DAN PERADILAN NASIONAL
SISTEM HUKUM DAN PERADILAN NASIONALSISTEM HUKUM DAN PERADILAN NASIONAL
SISTEM HUKUM DAN PERADILAN NASIONAL
Aulia Ulil Fadhilah
 
Sistem Hukum dan Peradilan Nasional
Sistem Hukum dan Peradilan NasionalSistem Hukum dan Peradilan Nasional
Sistem Hukum dan Peradilan Nasional
SLS
 

What's hot (20)

Sistem hukum dan peradilan di indonesia
Sistem hukum dan peradilan di indonesiaSistem hukum dan peradilan di indonesia
Sistem hukum dan peradilan di indonesia
 
Ilmu Perundang-undangan, UU Korupsi dan Perundang-undangan, Perumusan Pidana ...
Ilmu Perundang-undangan, UU Korupsi dan Perundang-undangan, Perumusan Pidana ...Ilmu Perundang-undangan, UU Korupsi dan Perundang-undangan, Perumusan Pidana ...
Ilmu Perundang-undangan, UU Korupsi dan Perundang-undangan, Perumusan Pidana ...
 
Uu no 22 th 2004
Uu no 22 th 2004Uu no 22 th 2004
Uu no 22 th 2004
 
SUSUNAN BADAN KEKUASAAN PERADILAN PERDATA DI INDONESIA
SUSUNAN BADAN KEKUASAAN PERADILAN PERDATA DI INDONESIASUSUNAN BADAN KEKUASAAN PERADILAN PERDATA DI INDONESIA
SUSUNAN BADAN KEKUASAAN PERADILAN PERDATA DI INDONESIA
 
Komisi yudisial
Komisi yudisialKomisi yudisial
Komisi yudisial
 
Lembaga yudikatif
Lembaga yudikatifLembaga yudikatif
Lembaga yudikatif
 
Cara memilih anggota
Cara memilih anggotaCara memilih anggota
Cara memilih anggota
 
Sistem hukum dan peradilan indonesia
Sistem hukum dan peradilan indonesiaSistem hukum dan peradilan indonesia
Sistem hukum dan peradilan indonesia
 
Hukum acara perdata - Jenis dan susunan badan peradilan di Indonesia (Idik Sa...
Hukum acara perdata - Jenis dan susunan badan peradilan di Indonesia (Idik Sa...Hukum acara perdata - Jenis dan susunan badan peradilan di Indonesia (Idik Sa...
Hukum acara perdata - Jenis dan susunan badan peradilan di Indonesia (Idik Sa...
 
Peradilan nasional
Peradilan nasionalPeradilan nasional
Peradilan nasional
 
Mengenal Lebih Jauh Mahkamah Konstitusi dari Fungsi dan Produktivitasnya
Mengenal Lebih Jauh Mahkamah Konstitusi dari Fungsi dan ProduktivitasnyaMengenal Lebih Jauh Mahkamah Konstitusi dari Fungsi dan Produktivitasnya
Mengenal Lebih Jauh Mahkamah Konstitusi dari Fungsi dan Produktivitasnya
 
Lembaga Lembaga Negara Menurut UUD NRI Tahun 1945
Lembaga Lembaga Negara Menurut UUD NRI Tahun 1945Lembaga Lembaga Negara Menurut UUD NRI Tahun 1945
Lembaga Lembaga Negara Menurut UUD NRI Tahun 1945
 
Ilmu Perundang-Undangan, Norma Hukum, dan yang Lainnya
Ilmu Perundang-Undangan, Norma Hukum, dan yang Lainnya Ilmu Perundang-Undangan, Norma Hukum, dan yang Lainnya
Ilmu Perundang-Undangan, Norma Hukum, dan yang Lainnya
 
Hukum Acara Mahkamah Konstitusi
Hukum Acara Mahkamah KonstitusiHukum Acara Mahkamah Konstitusi
Hukum Acara Mahkamah Konstitusi
 
Penyelenggaraan Kekuasan Kehakiman
Penyelenggaraan Kekuasan KehakimanPenyelenggaraan Kekuasan Kehakiman
Penyelenggaraan Kekuasan Kehakiman
 
Efektifitas Mahakamah Konstitusi dalam sengketa pemilu Ima azizah 6411413110
Efektifitas Mahakamah Konstitusi dalam sengketa pemilu Ima azizah  6411413110Efektifitas Mahakamah Konstitusi dalam sengketa pemilu Ima azizah  6411413110
Efektifitas Mahakamah Konstitusi dalam sengketa pemilu Ima azizah 6411413110
 
Tugas p kn..
Tugas p kn..Tugas p kn..
Tugas p kn..
 
SISTEM HUKUM DAN PERADILAN NASIONAL
SISTEM HUKUM DAN PERADILAN NASIONALSISTEM HUKUM DAN PERADILAN NASIONAL
SISTEM HUKUM DAN PERADILAN NASIONAL
 
Ppt peradilan di indonesia
Ppt peradilan di indonesiaPpt peradilan di indonesia
Ppt peradilan di indonesia
 
Sistem Hukum dan Peradilan Nasional
Sistem Hukum dan Peradilan NasionalSistem Hukum dan Peradilan Nasional
Sistem Hukum dan Peradilan Nasional
 

Similar to judicial appointment

Lembaga-lembaga negara (Piyantoro dan inddra kurniawan)
Lembaga-lembaga negara (Piyantoro dan inddra kurniawan)Lembaga-lembaga negara (Piyantoro dan inddra kurniawan)
Lembaga-lembaga negara (Piyantoro dan inddra kurniawan)
Belum Kerja
 
Catatan pinggir perpu no 1 tahun 2014
Catatan pinggir perpu no 1 tahun 2014Catatan pinggir perpu no 1 tahun 2014
Catatan pinggir perpu no 1 tahun 2014
Ahmad Solihin
 
Peran lembaga negara sebagai pelaksana kedaulatan rakyat dalam sistim pemerin...
Peran lembaga negara sebagai pelaksana kedaulatan rakyat dalam sistim pemerin...Peran lembaga negara sebagai pelaksana kedaulatan rakyat dalam sistim pemerin...
Peran lembaga negara sebagai pelaksana kedaulatan rakyat dalam sistim pemerin...
Operator Warnet Vast Raha
 
Sistem Ketatanegaraan Indonesia (Mata Kuliah Pendidikan Pancasila)
Sistem Ketatanegaraan Indonesia (Mata Kuliah Pendidikan Pancasila)Sistem Ketatanegaraan Indonesia (Mata Kuliah Pendidikan Pancasila)
Sistem Ketatanegaraan Indonesia (Mata Kuliah Pendidikan Pancasila)
Rajabul Gufron
 
Makalah perbandingan kedudukan dan kewenangan lembaga legislatif dan yudikati...
Makalah perbandingan kedudukan dan kewenangan lembaga legislatif dan yudikati...Makalah perbandingan kedudukan dan kewenangan lembaga legislatif dan yudikati...
Makalah perbandingan kedudukan dan kewenangan lembaga legislatif dan yudikati...
Nugroho Ariwibowo
 

Similar to judicial appointment (20)

Mahkamah konstitusi
Mahkamah konstitusiMahkamah konstitusi
Mahkamah konstitusi
 
Kehakiman
KehakimanKehakiman
Kehakiman
 
Lembaga-lembaga negara (Piyantoro dan inddra kurniawan)
Lembaga-lembaga negara (Piyantoro dan inddra kurniawan)Lembaga-lembaga negara (Piyantoro dan inddra kurniawan)
Lembaga-lembaga negara (Piyantoro dan inddra kurniawan)
 
MAHKAMAH KONSTITUSI.pptx
MAHKAMAH KONSTITUSI.pptxMAHKAMAH KONSTITUSI.pptx
MAHKAMAH KONSTITUSI.pptx
 
Uu mk no 8 tahun 2011
Uu mk no 8 tahun 2011Uu mk no 8 tahun 2011
Uu mk no 8 tahun 2011
 
Latar Belakang Masalah RUU Mahkamah Konstitusi
Latar Belakang Masalah RUU Mahkamah KonstitusiLatar Belakang Masalah RUU Mahkamah Konstitusi
Latar Belakang Masalah RUU Mahkamah Konstitusi
 
Wewenang mahkamah konstitusi menguji undang
Wewenang mahkamah konstitusi menguji undangWewenang mahkamah konstitusi menguji undang
Wewenang mahkamah konstitusi menguji undang
 
Urgensi kemandirian peradilan
Urgensi kemandirian peradilanUrgensi kemandirian peradilan
Urgensi kemandirian peradilan
 
MAHKAMAH KONSTITUSI kelompok 5 mahasiswa fakultas hukum universitas jambi.pptx
MAHKAMAH KONSTITUSI kelompok 5 mahasiswa fakultas hukum universitas jambi.pptxMAHKAMAH KONSTITUSI kelompok 5 mahasiswa fakultas hukum universitas jambi.pptx
MAHKAMAH KONSTITUSI kelompok 5 mahasiswa fakultas hukum universitas jambi.pptx
 
2003 24 mahkamah konstitusi
2003 24 mahkamah konstitusi2003 24 mahkamah konstitusi
2003 24 mahkamah konstitusi
 
Pkn
PknPkn
Pkn
 
30 syahla aqila
30 syahla aqila30 syahla aqila
30 syahla aqila
 
Adapun perbedaan kelembagaan dan tugas kenegaraaan sebelum dan sesudah amande...
Adapun perbedaan kelembagaan dan tugas kenegaraaan sebelum dan sesudah amande...Adapun perbedaan kelembagaan dan tugas kenegaraaan sebelum dan sesudah amande...
Adapun perbedaan kelembagaan dan tugas kenegaraaan sebelum dan sesudah amande...
 
Xii tkrb tugas ppkn
Xii tkrb tugas ppknXii tkrb tugas ppkn
Xii tkrb tugas ppkn
 
Catatan pinggir perpu no 1 tahun 2014
Catatan pinggir perpu no 1 tahun 2014Catatan pinggir perpu no 1 tahun 2014
Catatan pinggir perpu no 1 tahun 2014
 
Tugas PKN - Struktur Pemerintahan
Tugas PKN - Struktur PemerintahanTugas PKN - Struktur Pemerintahan
Tugas PKN - Struktur Pemerintahan
 
Peran lembaga negara sebagai pelaksana kedaulatan rakyat dalam sistim pemerin...
Peran lembaga negara sebagai pelaksana kedaulatan rakyat dalam sistim pemerin...Peran lembaga negara sebagai pelaksana kedaulatan rakyat dalam sistim pemerin...
Peran lembaga negara sebagai pelaksana kedaulatan rakyat dalam sistim pemerin...
 
Tantangan pembangunan hukum di indonesia
Tantangan pembangunan hukum di indonesiaTantangan pembangunan hukum di indonesia
Tantangan pembangunan hukum di indonesia
 
Sistem Ketatanegaraan Indonesia (Mata Kuliah Pendidikan Pancasila)
Sistem Ketatanegaraan Indonesia (Mata Kuliah Pendidikan Pancasila)Sistem Ketatanegaraan Indonesia (Mata Kuliah Pendidikan Pancasila)
Sistem Ketatanegaraan Indonesia (Mata Kuliah Pendidikan Pancasila)
 
Makalah perbandingan kedudukan dan kewenangan lembaga legislatif dan yudikati...
Makalah perbandingan kedudukan dan kewenangan lembaga legislatif dan yudikati...Makalah perbandingan kedudukan dan kewenangan lembaga legislatif dan yudikati...
Makalah perbandingan kedudukan dan kewenangan lembaga legislatif dan yudikati...
 

Recently uploaded

UU-HKPD-Bahan-Sosialisasi-UU-No-1-tahun-2022-HKPD.pdf
UU-HKPD-Bahan-Sosialisasi-UU-No-1-tahun-2022-HKPD.pdfUU-HKPD-Bahan-Sosialisasi-UU-No-1-tahun-2022-HKPD.pdf
UU-HKPD-Bahan-Sosialisasi-UU-No-1-tahun-2022-HKPD.pdf
Sumardi Arahbani
 
PPT-UEU-Manajemen-Logistik-Pelayanan-Kesehatan-Pertemuan-5.pptx
PPT-UEU-Manajemen-Logistik-Pelayanan-Kesehatan-Pertemuan-5.pptxPPT-UEU-Manajemen-Logistik-Pelayanan-Kesehatan-Pertemuan-5.pptx
PPT-UEU-Manajemen-Logistik-Pelayanan-Kesehatan-Pertemuan-5.pptx
muhammadrezza14
 

Recently uploaded (9)

UU-HKPD-Bahan-Sosialisasi-UU-No-1-tahun-2022-HKPD.pdf
UU-HKPD-Bahan-Sosialisasi-UU-No-1-tahun-2022-HKPD.pdfUU-HKPD-Bahan-Sosialisasi-UU-No-1-tahun-2022-HKPD.pdf
UU-HKPD-Bahan-Sosialisasi-UU-No-1-tahun-2022-HKPD.pdf
 
Naskah Akademik Tentang Desa Adat Tahun 2023
Naskah Akademik Tentang Desa Adat Tahun 2023Naskah Akademik Tentang Desa Adat Tahun 2023
Naskah Akademik Tentang Desa Adat Tahun 2023
 
PPT-UEU-Manajemen-Logistik-Pelayanan-Kesehatan-Pertemuan-5.pptx
PPT-UEU-Manajemen-Logistik-Pelayanan-Kesehatan-Pertemuan-5.pptxPPT-UEU-Manajemen-Logistik-Pelayanan-Kesehatan-Pertemuan-5.pptx
PPT-UEU-Manajemen-Logistik-Pelayanan-Kesehatan-Pertemuan-5.pptx
 
1. TTT - AKKP (Pindaan 2022) dan AKJ (Pemansuhan 2022) (1A) (1).pptx
1. TTT - AKKP (Pindaan 2022) dan AKJ (Pemansuhan 2022) (1A) (1).pptx1. TTT - AKKP (Pindaan 2022) dan AKJ (Pemansuhan 2022) (1A) (1).pptx
1. TTT - AKKP (Pindaan 2022) dan AKJ (Pemansuhan 2022) (1A) (1).pptx
 
HAK PATEN yang merupakan salah satu bagian dari HAKI
HAK PATEN yang merupakan salah satu bagian dari HAKIHAK PATEN yang merupakan salah satu bagian dari HAKI
HAK PATEN yang merupakan salah satu bagian dari HAKI
 
BUKU FAKTA SEJARAH :Pangeran Heru Arianataredja (keturunan Sultan Sepuh III S...
BUKU FAKTA SEJARAH :Pangeran Heru Arianataredja (keturunan Sultan Sepuh III S...BUKU FAKTA SEJARAH :Pangeran Heru Arianataredja (keturunan Sultan Sepuh III S...
BUKU FAKTA SEJARAH :Pangeran Heru Arianataredja (keturunan Sultan Sepuh III S...
 
interpretasi literal and purposive .pptx
interpretasi literal and purposive .pptxinterpretasi literal and purposive .pptx
interpretasi literal and purposive .pptx
 
materi hukum bisnis hukum persaingan usaha
materi hukum bisnis hukum persaingan usahamateri hukum bisnis hukum persaingan usaha
materi hukum bisnis hukum persaingan usaha
 
pilihan hukum dan perjanjian internasional dan pilihan forum
pilihan hukum dan perjanjian internasional dan pilihan forumpilihan hukum dan perjanjian internasional dan pilihan forum
pilihan hukum dan perjanjian internasional dan pilihan forum
 

judicial appointment

  • 1. 1 BAB I A. Latar Belakang Dalam rangka Perubahan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945, Indonesia telah mengadopsi prinsip-prinsip baru dalam sistem ketatanegaraan, yaitu antara lain prinsip pemisahan kekuasaan dan prinsip ‘checks and balances’ sebagai pengganti sistem supremasi parlemen yang berlaku sebelumnya (Jimly Asshiddiqie, 2011: 10). Konsep pemisahan kekuasaan tersebut terkait erat dengan independensi peradilan terhadap pengaruh kekuasaan eksekutif dan legislatif. Bahkan dalam memahami dan menafsirkan undang-undang dasar dan undang-undang, hakim harus independen dari pendapat dan dari kehendak politik. Meskipun anggota Parlemen dan Presiden yang dipilih langsung oleh rakyat mencerminkan kedaulatan rakyat dalam menentukan kebijakan kenegaraan, kata akhir dalam memahami undang-undang tetap berada di tangan hakim (Jimly Asshiddiqie, 2010: 311). Mahkamah Konstitusi merupakan lembaga peradilan sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman, disamping Mahkamah Agung (MA) yang dibentuk melalui Perubahan Ketiga UUD 1945. Pembentukan Mahkamah Konstitusi pada awalnya adalah untuk menjalankan wewenang constitutional review yang kemunculannya dapat dipahami sebagai perkembangan hukum dan politik ketatanegaraan modern. Dari aspek politik, keberadaan Mahkamah Konstitusi dipahami sebagai bagian dari upaya mewujudkan mekanisme checks and balances antar cabang kekuasaan negara berdasarkan prinsip demokrasi (Asosiasi Pengajar Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, 2010: 3-5). Secara umum dapat dikemukaan ada dua prinsip yang biasa dipandang sangat pokok dalam sistem peradilan, yaitu (i) the principle of judicial independence, dan (ii) the principle of judicial impartiality. Seperti yang dikemukakan Ahsin Thohari, kekuasaan kehakiman yang bebas dan tidak memihak hanya dapat terwujud apabila tunduk pada aturan-aturan hukum yang berlaku dan penegakannya. Apabila kekuasaan kehakiman tidak menjaga jarak yang tepat dengan lembaga-lembaga politik yang ada, maka akan kehilangan legitimasinya dan kehadirannya dalam suatu negara menjadi tidak bermakna (Ahsin Thohari, 2004: 11). Disamping itu, hakim sendiri menjadi kekuatan sentral dalam menjalankan fungsi dari kekuasaan kehakiman dan karena itu menjadi penanggung jawab utama dalam mempertahankan dan meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap sistem moral dan integritas lembaga peradilan. Hal yang sangat penting untuk diperhatikan bahwa pengisian
  • 2. 2 jabatan hakim membutuhkan sistem pengisian jabatan yang baik dan ideal guna menghasilkan hakim yang mempunyai integritas sehingga tetap terjaga independensinya. Apabila sistem pengisian jabatan hakimnya buruknya maka juga akan menghasilkan hakim yang tidak berkualitas, begitu juga sebaliknya. Tidak salah apabila ada pernyataan bahwa good judges are not born but made, karena baik tidaknya seorang hakim salah satunya ditentukan oleh sistem pengisian jabatan. Hal ini bisa dicapai apabila sistem pengisian jabatan, seleksi dan pelatihan hakim tersedia secara baik dan memadai (Ahsin Tohari, 2004: 26). Oleh sebab itu menurut kami ada keterkaitan antara independensi peradilan dengan sistem pengisian jabatan hakim, termasuk dalam hal ini adalah hakim konstitusi. Sejak pertama dibentuk dan diatur dalam UUD 1945, pengisian jabatan hakim pada Mahkamah Konstitusi dilakukan oleh tiga cabang kekuasaan negara, yaitu Presiden, DPR, dan Mahkamah Agung. Sembilan orang hakim konstitusi diisi oleh calon yang dipilih dari 3 (tiga) lembaga, yaitu 3 (tiga) orang oleh Dewan Perwakilan Rakyat, 3 (tiga) orang oleh Presiden, dan 3 (tiga) orang oleh Mahkamah Agung (Pasal 24C ayat 3 UUD 1945). Jika kita lihat dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Kosntitusi dalam ketentuan Pasal 19 menyatakan “Pencalonan hakim konstitusi dilaksanakan secara transparan dan partisipatif, selanjutnya dalam Pasal 20 ayat (1) menyatakan “Ketentuan mengenai tata cara seleksi, pemilihan, dan pengajuan hakim konstitusi diatur oleh masing-masing lembaga yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1)”. Hal inilah yang menjadi menarik mengingat pengisian jabatan hakim Mahkamah Konstitusi dilakukan oleh tiga cabang kekuasaan negara dan dua diantaranya adalah cabang kekuasaan yang berhubungan erat dengan politik. Lalu, apakah pengisian jabatan hakim Mahkamah Konstitusi dari tiga cabang kekuasaan negara tersebut sudah mewujudkan prinsip kekuasaan kehakiman yang merdeka dalam menjalankan fungsi dan tugas yudisialnya. Berdasarkan pertimbangan dan pemaparan latar belakang diatas maka kami mengadakan penelitian mengenai bagaimana implementasi pengisian jabatan hakim Mahkamah Konstitusi oleh tiga cabang kekuasaan negara dan apakah pengisian jabatan hakim Mahkamah Konstitusi oleh tiga cabang kekuasaan negara tersebut sudah dapat mewujudkan kekuasaan kehakiman yang merdeka. B. Rumusan Masalah
  • 3. 3 Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya maka dapat disusun rumusan masalah sebagai berikut: 1. Bagaimana implementasi pengisian jabatan hakim pada Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia oleh tiga cabang kekuasaan negara menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan peraturan perundang-undangan yang relevan? 2. Apakah pengisian jabatan hakim mahkamah konstitusi oleh tiga cabang kekuasaan negara tersebut dapat mewujudkan kekuasaan kehakiman yang merdeka?
  • 4. 4 BAB II A. Implementasi Pengisian Jabatan Hakim pada Mahkamah Konstitusi Oleh Tiga Cabang Kekuasaan Negara 1. Berdasarkan Peraturan Perundang-undangan Untuk mengetahui bagaimana implementasi pengisian jabatan hakim pada Mahkamah Konstitusi terlebih dahulu kita merujuk pada konstitusi, dimana dalam BAB IX Kekuasaan Kehakiman Pasal 24C UUD 1945 menjadi landasan konstitusional Mahkamah Konstitusi. Dalam ketentuan Pasal 24C ayat (3) UUD 1945 dikatakan bahwa: Mahkamah Konstitusi mempunyai sembilan orang anggota hakim konstitusi yang ditetapkan oleh Presiden, yang diajukan masing-masing tiga orang oleh Mahkamah Agung, tiga orang oleh Dewan Perwakilan Rakyat, dan tiga orang oleh Presiden. Sebagaimana bunyi pasal diatas Mahkamah Konstitusi yang memiliki 9 (sembilan) orang hakim konstitusi yang diajukan masing-masing tiga orang oleh tiga lembaga negara yaitu Mahkamah Agung, Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden, pasal ini merupakan dasar bagi tiga cabang kekuasaan negara (yudikatif, legislatif, dan eksekutif) tersebut untuk melaksanakan pengisian jabatan hakim pada Mahkamah Konstitusi. Selanjutnya melalui ketentuan Pasal 24C ayat (6) UUD 1945 diamanatkan terkait pengangkatan dan pemberhentian hakim konstitusi, yang berbunyi: Pengangkatan dan pemberhentian hakim konstitusi, hukum acara serta ketentuan lainnya tentang Mahkamah Konstitusi diatur dengan undang-undang. Ketentuan konstitusional Pasal 24C ayat (6) UUD 1945 tersebut melahirkan undang-undang organik yaitu Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang- Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi untuk selanjutnya disebut UU MK. Undang-undang ini kembali menegaskan bahwa pengisian jabatan hakim konstitusi dilakukan oleh MA, DPR dan Presiden (Pasal 18 ayat (1) UU MK), selain itu diatur pula mengenai pengangkatan dan pemberhentian hakim konstitusi yang dijelaskan dalam BAB IV Pengangkatan dan Pemberhentian Hakim Konstitusi yang mencakup 3 (tiga) bagian, Bagian Pertama Pengangkatan, Bagian Kedua Masa Jabatan, dan Bagian Ketiga Pemberhentian. Khusus untuk perihal pengisian jabatan hakim konstitusi diatur dalam Bagian Pertama Pengangkatan.
  • 5. 5 Sedangkan persyaratan untuk dapat diangkat menjadi hakim konstitusi terdapat dalam ketentuan Pasal 24C ayat (5) UUD 1945 yang berbunyi: Hakim konstitusi harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan, serta tidak merangkap sebagai pejabat negara. Selanjutnya dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, persyaratan menjadi hakim konstitusi dalam ketentuan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi diubah sehingga Pasal 15 ayat (1) berbunyi: Hakim konstitusi harus memenuhi syarat sebagai berikut: a. Memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela; b. Adil; dan c. Negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan. Kemudian Pasal 15 ayat (2) berbunyi: Untuk dapat diangkat menjadi hakim konstitusi, selain harus memenuhi syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), seorang calon hakim konstitusi harus memenuhi syarat: a. warga negara Indonesia; b. berijazah doktor dan magister dengan dasar sarjana yang berlatar belakang pendididkan tinggi hukum; c. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia; d. berusia paling rendah 47 (empat puluh tujuh) tahun dan paling tinggi 65 (enam puluh lima) tahun pada saat pengangkatan; e. mampu secara jasmani dan rohani dalam menjalankan tugas dan kewajiban; f. tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap; g. tidak sedang dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan; h. mempunyai pengalaman kerja di bidang hukum paling sedikit (lima belas) tahun dan/atau pernah menjadi pejabat negara. Pasal 15 ayat (3) berbunyi: Selain persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) calon hakim konstitusi juga harus memenuhi kelengkapan administrasi dengan menyerahkan: a. surat pernyataan kesediaan untuk menjadi hakim konstitusi; b. daftar riwayat hidup; c. menyerahkan fotokopi ijazah yang telah dilegalisasi dengan menunjukkan ijazah asli; d. laporan daftar harta kekayaan serta sumber penghasilan calon yang disertai dengan dokumen pendukung yang sah dan telah mendapat pengesahan dari lembaga yang berwenang; dan e. nomor pokok wajib pajak (NPWP). Sementara Mahkamah Agung, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Presiden dalam melaksanakan pengisian jabatan hakim konstitusi selain berdasarkan UUD 1945 juga berpedoman pada UU MK. Ketiga lembaga yang berwenang diwajibkan
  • 6. 6 dalam pelaksanaan pengisian jabatan hakim konstitusi harus dilakukan secara transparan dan partisipatif, sebagaimana Pasal 19 UU MK yang berbunyi: Pencalonan hakim konstitusi dilaksanakan secara transparan dan partisipatif. Berdasarkan dalam Penjelasan pasal tersebut calon hakim konstitusi harus dipublikasikan di media massa baik cetak maupun elektronik, sehingga masyarakat mempunyai kesempatan untuk ikut memberi masukan atas calon hakim yang bersangkutan. Untuk ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara seleksi, pemilihan dan pengajuan hakim konstitusi seperti yang telah diuraikan sebelumnya, hal ini merupakan kewenangan dari masing-masing lembaga negara yang berhak untuk mengajukan hakim konstitusi, dalam Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang berbunyi: Ketentuan mengenai tata cara seleksi, pemilihan, dan pengajuan hakim konstitusi diatur oleh masing-masing lembaga yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1). Ketentuan dalam Pasal 20 ayat (1) ini meberikan kewenangan bagi ketiga cabang kekuasaan negara (MA, DPR, dan Presiden) untuk melakukan serangkaian proses pencalonan hakim konstitusi mulai dari tahap awal sampai diajukan kepada Presiden untuk ditetapkan melalui Ketetapan Presiden. Perlu diperhatikan bahwa UU MK mengamanatkan pencalonan hakim konstitusi dilaksanakan secara transparan dan partisipatif. Selanjutnya dalam tahapan pemilihan hakim konstitusi harus dilaksanakan secara obyektif dan akuntabel seperti dalam ketentuan Pasal 20 ayat (2) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 yang berbunyi: Pemilihan hakim konstitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan secara obyektif dan akuntabel. Dalam hal kapan pelaksanaan pengisian jabatan hakim konstitusi oleh lembaga negara berwenang, UU MK telah mengatur apabila terdapat kursi hakim konstitusi yang kosong baik karena masa jabatannya habis atau pun karena sebab lain sehingga hakim konstitusi diberhentikan sesuai Pasal 23 ayat (1) huruf c, Pasal 23 ayat (1) huruf d, atau Pasal 23 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf e, atau ayat (2), maka sebagaimana bunyi Pasal 26 UU MK lembaga yang berwenang untuk mengisi kursi hakim konstitusi yang kosong adalah lembaga darimana pencalonan hakim sebelumnya berasal. Berdasarkan berbagai pengaturan yang mengatur tentang pengisian jabatan hakim konstitusi diatas dapat dipahami pengisian jabatan hakim konstitusi oleh Mahkamah Agung, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Presiden mengenai tata cara
  • 7. 7 seleksi, pemilihan dan pengajuan diatur sendiri oleh masing-masing lembaga. Sedangkan dalam tahapan pencalonan hakim konstitusi masing-masing lembaga harus melaksanakannya dengan prinsip transparan dan partisipatif guna memberikan informasi kepada masyarakat dan membuka kesempatan bagi masyarakat untuk memberikan masukan terhadap calon hakim. Lalu setelah melakukan serangkaian seleksi dalam hal pemilihan calon hakim konstitusi yang akan diajukan kepada Presiden harus dilaksanakan secara obyektif dan akuntabel. B. Implementasi Pengisian Jabatan Hakim Mahkamah Konstitusi oleh Tiga Cabang Kekuasaan Negara 1. Mahkamah Agung Sebagaimana diketahui selama ini Mahkamah Agung dalam melaksanakan pengisian jabatan hakim konstitusi dinilai tertutup dan kurang melibatkan publik. Mahkamah Agung juga tidak pernah membuat aturan tertulis dalam hal pengaturan pengisian jabatan hakim konstitusi. Terlebih lagi, berdasarkan track record hakim konstitusi yang berasal dari pintu Mahkamah Agung, calon yang diajukan untuk menjadi hakim konstitusi selalu berasal dari lembaga peradilan. Memang baik dalam UUD 1945 dan UU MK tidak membatasi asal calon dari masing-masing lembaga negara dalam merekrut hakim konstitusi kecuali dalam hal persyaratan. Dibandingkan dengan pendapat MK dalam Putusan MK Nomor 1- 2/PUU-II/2014 dalam pertimbangan hukumnya, MK menilai dalam pemilihan hakim konstitusi, harus dihindarkan adanya unsur favoritisme dan popularisme, oleh karenanya tes pemilihan hakim bukanlah tes litmus (something (such as an opinion about a political or moral issue) that is used to make a judgment about whether someone or something is acceptable – http://www.merriam-webster.com/dictionary/litmus+test) bagi calon hakim dari kacamata pemilihnya yaitu Panel Ahli. Lalu dengan dipilihnya hakim konstitusi dari MA yang berasal dari lembaga peradilan juga merupakan bentuk favoritisme dan popularisme. Hal ini menurut Maria Farida Indrati Soeprapto (Hakim Konstitusi) dan Bapak Isharyanto (Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum UNS) merupakan bentuk open legal policy bagi masing-masing lembaga negara dalam melaksanakan pengisian jabatan hakim konstitusi.
  • 8. 8 Di bawah ini adalah bagan yang kami buat dalam tahapan pengisian jabatan yang dilakukan Mahkamah Agung pada masa Hakim Konstitusi Anwar Usman menggantikan Arsyad Sanusi yang mengundurkan diri tahun 2011 yang bersumber dari berbagai media massa. Bagan 1. Tahapan Pengisian jabatan Hakim Konstitusi di MA pada Tahun 2011 Dalam hal publikasi MA pernah mengeluarkan Pengumuman berjudul Usulan Calon Hakim Mahkamah Konstitusi RI dari Mahkamah Agung RI, pengumuman ini diunggah pada website resmi Mahkamah Agung Republik Indonesia pada tanggal 3 Februari 2011 (mahkamahagung.go.id). Adanya tahapan publikasi dan masukan dari masyarakat yang dilakukan MA ini menunjukkan bahwa MA berupaya melaksanakan pengisian jabatan sesuai dengan UU MK yaitu transparan dan partisipatif. Gambar 1. Penyerahan Visi dan Misi Calon Hakim Konstitusi Penentuan nama-nama calon hakim konstitusi yang ikut tahapan selanjutnya Mahkamah Agung ↓ Menghasilkan nama-nama calon hakim konstitusi ↓ Pengajuan Hakim Konstitusi terpilih ke Presiden Menilai dan menutuskan calon hakim konstitusi terpilih Rapat Pimpinan MA Masukan Masyarakat Penelitian Intern Rapat Pimpinan MA Pengumuman Publik
  • 9. 9 Publikasi Calon Hakim Konstitusi di Mahkamah Agung Sumber: mahkamahagung.go.id. 2. Dewan Perwakilan Rakyat Di Dewan Perwakilan Rakyat, pengisian jabatan hakim konstitusi dilaksanakan oleh Komisi III Bagian Hukum dan Hak Asasi Manusia. DPR selama ini dinilai lebih transparan dalam melakukan pengisian jabatan hakim konstitusi dibandingkan dengan kedua lembaga berwenang lainnya (Presiden dan MA). Hal ini dikarenakan DPR memiliki aturan seleksi pejabat negara harus dalam bentuk uji kepatutan dan kelayakan (fit and proper test). Hanya saja setiap kali ada pencalonan hakim konstitusi, mekanisme atau tahapan yang dilakukan belum tentu sama dengan yang sebelumnya (berubah-ubah). Terlebih lagi, tidak adanya peraturan internal yang dibuat oleh DPR terkait dengan tata cara seleksi, pemilihan, dan pengajuan hakim konstitusi yang berasal dari DPR baik di DPR maupun di Komisi III. Berdasarkan berbagai sumber pada media massa, tahapan-tahapan yang dilakukan DPR dalam melakukan pengisian jabatan hakim konstitusi periode 2014 adalah sebagai berikut (Tempo, Ed. 10-16 Maret: 90-91): a. membuka pendaftaran bagi calon hakim konstitusi yang diumumkan di media massa; b. membentuk panitia seleksi (pansel) yang terdiri dari tokoh-tokoh nasional dan para pakar yang berwenang untuk bertanya dalam uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test). Pansel ini lebih lanjut dalam pengisian jabatan hakim konstitusi periode 2014 disebut dengan Tim Pakar yang berangotakan 8 (delapan) orang yaitu, Laica Marzuki, Ahmad Syafi’I Maarif, Lauddin Marsuni, H.A.S. Natabaya, Andi Mattalatta, Zein Badjeber, Saldi Isra, dan Musni Umar. c. melakukan fit and proper test kepada calon hakim konstitusi yang dilakukan Komisi III beserta Tim Pakar. Tahapan ini terdiri dari pembuatan makalah, tanya jawab, dan pendalaman. d. melakukan rapat tertutup yang dihadiri oleh anggota Komisi III dan Tim Pakar untuk menentukan siapa yang direkomendasikan beserta alasannya. Selanjutnya diajukan sebagai hakim konstitusi.
  • 10. 10 Apabila dibuat bagan tahapan pengisian jabatan hakim konstitusi yang dilakukan oleh DPR pada tahun 2014 akan terlihat seperti pada bagan di bawah ini: Bagan 2. Tahapan Pengisian Jabatan Hakim Konstitusi di DPR Tahun 2014 Adanya Tim Pakar yang beranggotakan cendekiawan, akademisi dan tokoh yang ahli dibidangnya menurut Taslim dari FPAN sebagai bentuk trasnparansi sehingga pandangan publik terkait DPR akan mengistimewakan orang partai dapat diluruskan. 3. Presiden Presiden dalam melaksanakan pengisian jabatan hakim konstitusi selama ini dilaksanakan oleh Wantimpres. Menurut hakim konstitusi Maria Farida, bahwa pola pengisian jabatan hakim konstitusi yang berasal dari Presiden pada periode 2008 saat pengangkatan Maria Farida Indrati, Ahmad Sodiki dan Abdul Mukhti Fadjar sebagai berikut: a. Presiden meminta pertimbangan Wantimpres untuk mendapatkan nama- nama yang dinilai layak menjadi calon hakim konstitusi; b. Persetujuan Presiden atas nama-nama yang diajukan Wantimpres; c. Undangan via telepon yang dilakukan oleh Wantimpres kepada nama-nama yang telah disetujui Presiden; 1. Pembuatan Makalah 2. TanyaJawab (terbuka) 3. Pendalaman ↓ Rapat Tertutup Komisi IIIdan Tim PakarPenentuan Calon Hakim Konstitusi yang direkomendasikan ↓ Pengajuan Hakim Konstitusi terpilih ke Presiden berwenang mengajukan pertanyaan dalam fit and proper test↓ Fit and proper test Terdiri dari: Dewan Perwakilan Rakyat ↓ Membuka dan mengumumkan Pendaftaran Calon Hakim Konstitusi di media massa Membentuk Tim Pakar Komisi IIIBagian Hukum dan HAM ↓ ↓
  • 11. 11 d. Pengiriman curriculum vitae, surat pernyataan kesanggupan diatas materai, dan paper bagi nama-nama yang setuju untuk mendaftar calon hakim konstitusi kepada Wantimpres; e. Wantimpress membentuk Dewan Seleksi yang terdiri dari 7 (tujuh) orang bergelar profesor dan 1 (satu) orang bergelar doktor; f. Pemanggilan terhadap 16 (enam belas) calon hakim konstitusi yang selanjutnya dilaksanakan fit and proper test terbuka oleh Dewan Seleksi di kantor Sekretariat Negara; g. Masukan dari LSM yang hadir dalam fit and proper test; h. Wantimpres dan Dewan Seleksi melakukan pemilihan 9 (sembilan) nama yang kemudian diajukan kepada Presiden; i. Presiden memilih 3 nama yang kemudian diangkat menjadi hakim konstitusi. Bagan 3. Tahapan Pengisian jabatan Hakim Konstitusi dari Presiden Tahun 2008 Pada tahun 2013 Presiden dalam rangka mengisi jabatan hakim konstitusi Achmad Sodiki mengangkat Patrialis Akbar sebagai hakim konstitusi secara langsung tanpa adanya tahapan seleksi, hal ini dinilai oleh masyarakat khususnya Indonesia Corruption Watch (ICW) dan Yayasan Presiden ↓ Wantimpres ↓ Mengundang Calon via telepon ↓ Pengiriman CV, surat pernyataan kesangupan dan paper ↓ Pembentukan Dewan Seleksi ↓ Pemanggilan Calon ↓ Fit and proper test dan masukan dari LSM ↓ Pemilihan 9 nama ↓ Presiden memilih 3 nama ↓ Pengangkatan Hakim Konstitusi Presiden meminta usulan nama dan menyetujui usulan dari Wantimpres berwenang melakukan fit and proper test dilaksanakan secara terbuka
  • 12. 12 Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) tidak transparan dan melanggar ketentuan Pasal 19 UU MK. ICW dan YLBHI menggugat Keputusan Presiden Nomor 87/P Tahun 2013 tentang Pengangkatan Patrialis Akbar dan Maria Farida Indrati menjadi Hakim Konstitusi ke PTUN Jakarta Pusat. Pada tingkat pertama PTUN memutuskan membatalkan Kepres tersebut, tapi Presiden selaku Tergugat I dan Patrialis Akbar selaku Tergugat II intervensi mengajukan banding ke PT TUN yang hingga memenangkannya. Namun hingga sekarang ICW mengatakan akan mengajukan kasasi atas kasus tersebut. Dari adanya kasus ini menurut penulis dapat dipahami bahwa pengisian jabatan hakim konstitusi oleh lembaga negara berwenang (dalam hal ini Presiden) bukanlah merupakan hak prerogatif melainkan adanya ketentuan pengisian jabatan hakim konstitusi dilaksanakan secara transparan dan partisipatif, yang artinya melibatkan hak rakyat untuk ikut berperan serta. C. Pengisian Jabatan Hakim pada Mahkamah Konstitusi dalam Mewujudkan Kekuasaan Kehakiman yang Merdeka 1. Tiga Lembaga Pengisi Jabatan Hakim Konstitusi Kekuasaan kehakiman yang merdeka dimaknai sebagai kekuasaan atau kuasa yang diberikan kepada lembaga peradilan sebagai sarana atau alat untuk menuju pada tercapainya peradilan yang tidak berpihak guna terwujudnya cita negara hukum. Seperti yang telah dijelaskan dalam bab sebelumnya, kebebasan atau kemandirian atau kemerdekaan kekuasaan kehakiman meliputi 3 (tiga) hal yaitu, struktur kelembagaanya, proses peradilannya, dan hakimnya. Dalam konstitusi kita Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 jelas disebutkan dalam bab IX tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 24 ayat (1) sebagai dasar yang menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman merupakaan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Dalam Pasal 24 ayat (2) disebutkan bahwa Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu lembaga peradilan yang menjalankan kekuasaan kehakiman. Dengan adanya jaminan kekuasaan kehakiman yang merdeka maka Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia yang dikenal sebagai the guardian of the constitution, the sole intepreter of the constitution, the the guardian of the human right, and the guardian of the process of democracy diharapkan mampu
  • 13. 13 menjalankan tugas dan kewajibannya tanpa adanya intervensi pihak lain, sehingga kebebasan dan posisi imparsial MK dapat terwujud. Apa yang tercantum di atas menunjukkan bahwa Mahkamah Konstitusi selaku salah satu lembaga peradilan yang menjalankan kekuasaan kehakiman memiliki hak konstitusional sebagai subyek yang mampu menjalankan kekuasaan kehakiman yang merdeka dengan tujuan agar hukum dan keadilan dapat ditegakkan. Dalam menjalankan tugas dan kewajibannya ini Mahkamah Konstitusi memiliki 9 (sembilan) orang hakim konstitusi yang berasal dari ketiga cabang kekuasaan negara, yaitu eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Pengisian jabatan hakim sangat erat hubungannya dengan kekuasaan kehakiman yang merdeka, dimana dalam kekuasaan kehakiman yang merdeka seperti yang dikatakan Rusli Muhammad kekuasaan kehakiman yang merdeka meliputi lembaga, proses peradilan dan hakimnya. Sedangkan kekuasaan kehakiman yang merdeka dapat dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal dimana pengisian jabatan hakim termasuk faktor internal yaitu terkait dengan kelembagaan. Untuk itu, sebagai upaya mewujudkan hakim yang baik dibutuhkan pola atau mekanisme yang baik pula dalam pengisian jabatan hakim konstitusi sebagai upaya mewujudkan kekuasaan kehakiman yang merdeka. Secara teori terdapat 3 (tiga) pola pengisian jabatan hakim konstitusi yang berlaku di beberapa negara yaitu, pertama single body mechanisms dimana eksekutif dapat menentukan seluruh anggota Mahkamah Konstitusi tanpa pengawasan lebih lanjut oleh cabang legislatif. Contoh yang paling mendekati model pengangkatan ini adalah Counsil of Gran Justice di Taiwan, dimana 15 orang anggotanya diangkat oleh Presiden, kedua cooperative appointment mechanisms, dimana dalam pengangkatan menghendaki kerjasama diantara lembaga-lembaga dalam menentukan komposisi mahkamah atau organ sejenisnya. Negara-negara yang menganut model kedua ini seperti Amerika Serikat, Rusia dan Hongaria dimana presiden mengangkat para hakim setelah memperoleh konfirmasi dari Kongres atau parlemen. Model pengangkatan seperti ini terlihat konsisten dengan persyaratan obyektif dari supermayoritas parlemen guna memberi dukungan (institusional atau politis) kepada hakim dengan tugas utama interprestasi Konstitusi. Selanjutnya model yang ketiga adalah model representative appointment. Sedangkan pola pengisian jabatan hakim konstitusi di Indonesia menunjukkan mengikuti pola yang ketiga atau representative
  • 14. 14 appointment, model ini melibatkan sejumlah lembaga negara (multiple). Sebagai contohnya di Italia tiga (3) dari sembilan (9) hakim konstitusi diajukan oleh Presiden, tiga (3) oleh parlemen, dan tiga (3) lainnya diajukan Mahkamah Agung. Model Pengangkatan seperti ini ditiru oleh Bulgaria, Korea, Mongolia, dan Indonesia. Model ini dapat dilihat melalui ketentuan Pasal 24C ayat (3) UUD 1945 dan Pasal 18 ayat (1) UU MK yang menunjukkan dengan jelas pengisian jabatan hakim konstitusi pada Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia menggunakan pola representative appointment dimana terdapat 3 (tiga) lembaga negara yang mewakili ketiga cabang kekuasaan negara yang terlibat, yaitu Presiden sebagai kekuasaan eksekutif, DPR sebagai kekuasaan legislatif, dan MA sebagai kekuasaan yudikatif ) (Ahmad Syahrizal, 2006: 265-266). Seperti yang diketahui lembaga negara Presiden, dan DPR adalah lembaga negara yang terdiri dari afiliasi politik. Dalam pengisian jabatan hakim konstitusi yang melibatkan Presiden dan DPR dikhawatirkan terdapat nuansa politik didalamnya. Berdasarkan Laporan Survei Persepsi 200 Ahli Tata Negara terhadap Kinerja Mahkamah Konstitusi RI yang salah satunya menghasilkan temuan terkait kelembagaan Mahkamah Konstitusi, sebagai badan yudisial ketentuan sumber pengisian jabatan hakim konstitusi justru lebih mencerminkan sebagai badan politik karena jalur sumber pengisian jabatan berasal dari tiga jalur (DPR, Presiden dan MA), para ahli menganggap bahwa ketentuan tiga jalur sumber pengisian jabatan sebagaimana diatur dalam Pasal 24C ayat (3) UUD 1945 adalah tidak tepat. Berikut grafik temuan hasil survei yang menunjukkan prosesntase koresponden: Gambar 3.
  • 15. 15 Grafik temuan hasil survey 200 ahli tata negara Sumber: Laporan Survei Persepsi 200 Ahli Tata Negara terhadap Kinerja Mahkamah Konstitusi RI Padahal Mahkamah Konstitusi seperti yang tercantum dalam Pasal 24 UUD 1945 merupakan lembaga negara yang menjalankan kekuasaan kehakiman yang merdeka terlepas dari pengaruh apapun termasuk politic insularity. Berdasarkan ketentuan hukum internasional International Bar Association Code of Minimum Standards of Judicial Independence “Appoinments and promotions by a non- judicial body will not be considered inconsistent with judicial independence in countries where by long historic and democratic tradition, judicial appointments and promotion operate satisfactorily” melihat ketentuan tersebut mengindikasikan bahwa negara dengan sejarah panjang dan tradisi demokrasi pengisian jabatan hakim yang melibatkan lembaga non yudikatif tidak dipandang inkonsisten dengan kemerdekaan peradilan. Hal ini sesuai dengan yang terjadi di Indonesia pengisian jabatan hakim konstitusi yang melibatkan lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif, sementara pengisian jabatan hakim agung melibatkan lembaga non yudisial (Komisi Yudisial) dan legislatif (DPR). Selanjutnya, Universal Declaration on the Independent of Justice mengatakan “Participation in judicial appoinments by the Executive or Legislature is consistent with judicial independence, so long as appoinments of judges are made in cosultation with members of the judiciary and the legal profession, or by a body in which members of the judiciary and the legal profession participate” ketentuan ini mensyaratkan apabila pengisian jabatan hakim melibatkan eksekutif dan legislatif maka pengisan jabatannya harus terjaga dari politisasi dengan melibatkan institusi peradilan dan praktisi hukum. Sebagaimana diketahui selama ini pengisian jabatan hakim pada Mahkamah Konstitusi oleh Presiden, DPR dan MA dilakukan masing-masing lembaga dengan cara mereka dan tanpa keterlibatan lembaga lainnya. Mengenai keterlibatan Mahkamah Agung dalam pengisian jabatan hakim Mahkamah Konstitusi sudah disampaikan dari awal oleh anggota-anggota PAH yang merumuskan perubahan undang-undang dasar yang dituangkan dalam lampiran Ketetapan MPR No. IX/MPR/2000 dimana terdapat dua alternatif. Alternatif pertama MK mempunyai sembilan orang anggota yang diangkat dan diberhentikan oleh MPR atas usul Presiden tiga orang, usul MA tiga orang dan
  • 16. 16 usul DPR tiga orang, sedangkan alternatif kedua diangkat dan diberhentikan oleh MPR atas usul MA yang susunan dan jumlah keanggotaannya diatur dalam undang-undang (Tim Penyusun Naskah Komprehensif Proses dan Hasil Perubahan UUD 1945, 2010 :533). Berasal dari rumusan tersebut dalam pembahasannya beberapa ahli memberikan pendapat diantaranya mengenai keanggotan MK, Hamdan Zoelva dari F-PBB menyatakan bahwa anggota MK diatur secara tegas yang menunjukkan perimbangan kekuasaan, yaitu eksekutif, legislatif dan yudikatif (Tim Penyusun Naskah Komprehensif Proses dan Hasil Perubahan UUD 1945, 2010 :534). Soewarno dari F-PDIP mengatakan agar hakim MK mewakili semua aspirasi pemegang kekuasaan, sehingga dapat mewakili aspirasi rakyat (Tim Penyusun Naskah Komprehensif Proses dan Hasil Perubahan UUD 1945, 2010: 539). Dari perdebatan itu memang tidak sedikit juga yang memberikan pendapat berbeda mengenai keaggotaan MK seperti usul I Ketut Atawa dari F-TNI/Polri menyampaikan yang mengusulkan hakim MK adalah Komisi Yudisal atas persetujuan dari DPR. Namun akhirnya rumusan final yang digunakan dalam pengisian jabatan hakim MK adalah berasal dari tiga cabang kekuasaan negara yaitu Presiden, DPR, dan MA karena memang dalam pengisian jabatan hakim konstitusi diharapkan mengikuti pola representative dengan adanya keterlibatan tiga cabang kekuasaan negara. Pengisian jabatan hakim yang melibatkan sejumlah lembaga negara dalam perspektif akademik oleh Ahmad Syahrizal diprediksi dapat mencegah politisasi dalam proses pengisian jabatannya. Hal ini dikarenakan dalam pengangkatan yang melibatkan sejumlah lembaga negara (representative appointment) tidak membutuhkan tindakan kompromistis jika dibandingkan dengan model cooperative mechanism (Ahmad Syahrizal, 2006: 266). Jika kita lihat baik itu Presiden, DPR dan MA masing-masing melaksanakan pengisian jabatan hakim yang didalamnya terdapat tahapan seleksi secara mandiri dan tanpa adanya kompromi dengan yang lain. Selanjutnya ketika masing-masing lembaga telah mendapatkan pilihan hakim konstitusi maka masing-masing lembaga (DPR dan MA) mengajukan kepada Presiden untuk ditetapkan dengan Keputusan Prseiden. Keterlibatan ketiga lembaga negara yang mencakup cabang kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif dalam pengisian jabatan hakim konstitusi oleh Jimly Asshiddiqie dinilai dapat menjamin adanya keseimbangan kekuatan antar cabang-cabang kekuasaan negara sekaligus menjamin netralitas dan imparsialitas
  • 17. 17 Mahkamah Konstitusi dalam hubungan antar lembaga negara. Lebih lanjut Jimly Asshiddiqie mengatakan dalam menjalankan tugas dan kewenangan MK, apalagi terkait dengan kewenangan mengadili perkara sengketa lembaga negara, posisi imparsial Mahkamah Konstitusi mutlak diperlukan, karena itu pengisian jabatan hakim konstitusi tidak hanya melibatkan satu cabang kekuasaan, tetapi ketiga cabang kekuasaan negara sekaligus (Jimly Asshiddiqie, 2011: 3). Sedangkan menurut Mohammad Fajrul Falaakh, pola pengisian jabatan hakim konstitusi yang dimonopoli oleh Presiden, DPR dan MA terkesan mengimpor mentah-mentah dari model Perancis dan Jerman (Ahmad Syahrizal, 2006: 265). Jika kita bandingkan model pengisian jabatan hakim konstitusi Perancis, 9 (sembilan) anggota Dewan Konstitusi Perancis dengan masa jabatan 9 tahun berasal dari 3 (tiga) intitusi negara yaitu, 3 (tiga) orang diangkat oleh Presiden, 3 (tiga) orang diangkat oleh Ketua Majelis Nasional, dan 3 (tiga) orang diangkat oleh Ketua Senat. Terlepas dari mengadopsi sistem negara lain, berdasarkan sudut pandang pembentukan Mahkamah Konstitusi sendiri dapat dipahami dari dua sisi, yaitu sisi politik dan sisi hukum. Dari sisi politik ketatanegaraan, keberadaan Mahkamah Konstitusi diperlukan guna mengimbangi kekuasaan pembentukan undang- undang yang dimiliki DPR dan Presiden. Hal ini diperlukan agar undang-undang tidak menjadi legitimasi bagi tirani mayoritas wakil rakyat di DPR dan Presiden yang dipilih langsung oleh mayoritas rakyat. Dari sisi hukum, keberadaan Mahkamah Konstitusi adalah salah satu konsekuensi perubahan dari supremasi Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) menjadi supremasi konstitusi, prinsip negara kesatuan, prinsip negara demokrasi, dan prinsip negara hukum (Asosiasi Pengajar Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, 2010: 7). Jika kita lihat dalam risalah perubahan UUD 1945 yang didokumentasikan dalam Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Buku 6 bagian Rumusan Final Mahkamah Konstitusi dalam UUD 1945 Hasil Perubahan yang tidak diragukan kesahihannya itu menjelaskan bahwa komposisi, susunan, dan kelembagaan MK merupakan perwujudan tiga cabang kekuasaannegara, yakni legislatif, eksekutif,dan yudikatif.Komposisi ini, diharapkan dapat menerapkan prinsip saling mengawasi dan saling mengimbangi. Diharapkan pula, agar setiap putusan untuk menyelesaikan perbedaan pendapat di tubuh MK didasarkan pada pertimbangan komposisi
  • 18. 18 keanggotaan hakim konstitusi. Lebih lanjut, Zain Badjeber mengatakan bahwa dengan tiga pilar diharapkan keluasan pandangan dari Hakim Konstitusi guna saling mengimbangi dan saling menunjang pengetahuan untuk menemukan putusan yang adil. Disamping itu komposisi Hakim Konstitusi tidak begitu saja mengacu pada suatu negara yang memiliki MK, namun berdasarkan pilihan kebutuhan Indonesia sendiri (Tim Penyusun Naskah Komprehensif Proses dan Hasil Perubahan UUD 1945, 2010: 594) Mahkamah Konstitusi sendiri sebagai penafsir konstitusi berdasarkan pertimbangan hukumnya dalam putusan Nomor 1-2/PUU-XII/2011 dikatakan, makna Hakim Konstitusi dipilih oleh lembaga negara yang berbeda tidak hanya sekedar bagi-bagi porsi kewenangan namun mempunyai substansi tujuan yang lebih mendasar, yaitu adanya tiga kelompok Hakim Konstitusi yang masing- masing memiliki latar belakang yang berbeda karena berasal dari pilihan tiga cabang kekuasaan negara. Dapat disimpulkan bahwa keterlibatan tiga cabang kekuasaan negara (eksekutif, legislatif, dan yudikatif) dalam pengisian jabatan hakim pada Mahkamah Konstitusi yang dikatakan sebagai “bentuk upaya” penegakan prinsip checks and balances melalui Mahkamah Konstitusi yang memiliki dua hal penting. Pertama, melihat fungsi MK yang melaksanakan constitutional review adalah bentuk checks and balances terhadap kekuasaan eksekutif dan legislatif melalaui review produk hukumnya. Menurut para ahli constitutional review merupakan penjamin berfungsinya sistem demokrasi dalam hal perimbangan peran (interplay) antara cabang kekuasaan negara (Jimly Asshiddiqie, 2010:8). Kedua, dengan komposisi 9 (sembilan) orang hakim konstitusi yang diajukan oleh 3 (tiga) cabang kekuasaan negara dengan porsi yang seimbang dan latar belakang hakim yang berbeda diharapkan MK memiliki posisi yang independen dan imparsial dengan keluasan pandang dalam putusan yang dihasilkan karena dengan komposisi seimbang ini pengisian jabatan hakim konstitusi tidak didominasi cabang kekuasaan tertentu saja. Presiden sebagai pemegang kekuasaan negara, DPR yang mewakili rakyat, dan MA dengan pertimbangan yuridisnya. Sehingga hal ini merupakan upaya mewujudkan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga peradilan yang lebih imparsial dan independen dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya.
  • 19. 19 2. Metode Seleksi yang Digunakan Dalam melaksanakan pengisian jabatan hakim konstitusi masing-masing lembaga (Presiden, DPR dan MA) berpedoman pada Pasal 20 ayat 1 UU MK yang berbunyi: Ketentuan mengenai tata cara seleksi, pemilihan, dan pengajuan hakim konstitusi diatur oleh masing-masing lembaga yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1). Melalui ketentuan Pasal 18 ayat (1) ini memberikan kewenangan kepada Presiden, DPR dan MA dalam melaksanakan tahapan-tahapan seleksi hakim konstitusi sesuai yang mereka kehendaki. Dalam melaksanakan tugas pengisian jabatan hakim konstitusi baik itu Presiden, DPR dan MA jangan sampai seenaknya sendiri sehingga yang terjadi tidak mendapatkan calon hakim yang baik dan justru digunakan sebagai sarana kepentingan politik dengan afiliasi politik yang menempatkan hakim konstitusi sebagai pendukung kepentingan. Sebagaimana yang diketahui, Presiden adalah pemimpin yang berasal dari partai politik yang dipilih mayoritas rakyat dan DPR adalah parlemen yang berisi mayoritas afiliasi partai politik Presiden terpilih dengan partai politik lainnya. Oleh karena itu, kemandirian peradilan sangat penting bagi tegaknya negara hukum, apalagi di tubuh MK sebagai organ yang menegakkan konstitusi, disitulah esensi pentingnya pengisian jabatan hakim konstitusi harus benar-benar dapat menghasilkan hakim yang baik melalui metode seleksi yang digunakan. Pengisian jabatan yang asal-asalan akan mengganggu kekuasaan kehakiman yang merdeka di Mahkamah Konstitusi. Hakim yang dihasilkan misalnya, akan ditunggangi oleh kepentingan politik karena seperti apa yang dikatakan Martin Shapiro dalam Mary L. Vocansek “judges cannot, though, be truly independent, because they are dependent on those to whom they owe their office” (Mary L. Vocansek, 2009: 1). Adanya pernyataan ini dapat dipahami seolah-oleh tiada hakim yang benar-benar dapat independen karena mereka merasa memiliki hutang budi atas jabatan yang diperolehnya. Apabila hal demikian terjadi justru menghasilkan hakim konstitusi yang tidak dapat independen, imparsial bahkan tidak bebas dari politic insularity. Kewenangan ketiga lembaga negara tersebut dalam melaksanakan pengisian jabatan hakim konstitusi tentu tidak mungkin sebebas-bebasnya bahkan seenaknya sendiri, tapi oleh undang-undang memberikan rambu-rambu yaitu adanya prinsip transparan dan pertisipatif (Pasal 19 UU MK). Asas transparan atau
  • 20. 20 keterbukaan atau dalam bahasa Inggris disebut transparancy berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bebas dan Bersih dari KKN, Bab III Pasal 3 angka (4) dijelaskan yang dimaksud dengan asas keterbukaan adalah asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang penyelenggaraan negara dengan tetap memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi, golongan, dan rahasia negara. Menurut United Nation Development Programe (dalam dokumen kebijakan UNDP, 1997) transparancy dibangun atas dasar kebebasan memperoleh informasi. Informasi yang berkaitan dengan kepentingan publik secara langsung dapat diperoleh oleh mereka yang membutuhkan. Sedangkan berkaitan dengan asas partisipatif UNDP (dalam dokumen kebijakan UNDP, 1997) yang memberikan beberapa kriteria karakteristik pelaksanaan good governance, salah satunya adalah participation yang memiliki arti keterlibatan masyarakat dalam pembuatan keputusan baik secara langsung maupun tidak langsung melalui lembaga perwakilan yang dapat menyalurkan aspirasinya serta partisipasi tersebut dibangun atas dasar kebebasan berasosiasi dan berbicara serta berpartisipasi secara konstruktif. Dengan adanya transparansi dan partisipatif, dapat dipahami bahwa pembentuk undang-undang menginginkan adanya kontrol sosial dalam pengisian jabatan hakim konstitusi sebagai upaya menjaga kekuasaan kehakiman yang merdeka. Seperti yang dikatakan T. Mulya Lubis bahwa social control cukup efektif dalam menjaga kekuasaan kehakiman yang merdeka, sehingga perbuatan tercela meskipun kecil mendapat soroton tajam dari masyarkat pers yang memang mengenyam kebebasan pers (Rusli Muhammad, 2010: 59). Selain transparan dan partisipatif UU MK juga menegaskan bahwa pemilihan hakim konstitusi dilaksanakan secara obyektif dan akuntabel (Pasal 20 ayat (2) UU MK). Hal demikian menunjukkan bahwa dalam melakukan pengisian jabatan hakim konstitusi, lembaga negara yang berwenang tidak dapat sembarangan bahkan seenaknya sendiri dalam memilih hakim konstitusi, melainkan harus melakukan pemilihan secara obyektif dan dapat dipertanggungjawabkan. Apabila proses pengisian jabatan yang transparan dan partisipatif sudah terlaksana maka dalam pemilihan hakim konstitusi dapat obyektif dan tentu dapat dipertanggungjawabkan sehingga mendapatkan hakim konstitusi yang sesuai harapan.
  • 21. 21 Dalam pembahasan diatas dapat kita ketahui bahwa masing-masing lembaga berwenang dalam pengisian jabatan hakim konstitusi telah berupaya melaksanakan ketentuan Pasal 19 dan Pasal 20 UU MK. Akan tetapi jika kita cermati proses pengisian jabatan yang dilaksanakan ketiga lembaga berwenang memiliki pandangan yang berbeda-beda dimata masyarakat. Misalnya, dalam pengisian jabatan hakim konstitusi oleh DPR Tahun 2008 muncul berbagai perdebatan seperti adanya diskriminasi dan ketidakjelasan prosedur. Bahkan di Presiden, Maria Farida Indrati untuk periode yang kedua seperti diberi karpet merah, dirinya hanya diberikan pertanyaan tentang kesanggupannya saja. Setelah itu langsung diberhentikan dengan hormat lalu diangkat kembali menjadi hakim konstitusi. Di Mahkamah Agung karena tidak adanya mekanisme fit and propert test, dinilai tidak lebih transparan dan partisipatif dibandingkan dengan Presiden dan DPR. Dari sini muncul problematika dengan diberikannya kewenangan masing- masing lembaga negara untuk mengatur sendiri tentang tata cara seleksi, maka pencalonan, pemilihan dan pengajuan hakim konstitusi yang transparan dan partisipatif juga obyektif dan akuntabel menjadi tidak tercapai. Bahkan sampai sekarang pun kami belum mengetahui adanya suatu aturan khusus maupun aturan pelaksana dalam bentuk dokumen dalam pengisian jabatan hakim konstitusi. Dengan ketidaktercapaiannya proses yang transparan dan partisipatif serta obyektif dan akuntabel dikhawatirkan menjadikan sebuah pengisian jabatan hakim konstitusi yang tidak mewujudkan kekuasaan kehakiman yang merdeka. Sehingga ditakutkan akan adanya intervensi bagi calon hakim konstitusi setelah menjabat yang pada akhirnya berdampak tidak terjaminnya kemandirian dan kebebasan hakim konstitusi. Dari kacamata hukum internasional dalam Article 10, Basic Principles on the Independence of the Judiciary menegaskan “…any method of judicial selection shall safeguard against judicial appoinments for improper motives…” hal demikian mengindikasikan bahwa segala bentuk atau metode seleksi yang dilakukan harus dapat melindungi pengisian jabatan hakim dari motif-motif yang tidak baik. Jika kita lihat pasca munculnya kasus korupsi Akil Mochtar Ketua Mahkamah Konstitusi Periode 2010-2013, Presiden dengan dalih “menyelamatkan Mahkamah Konstitusi” lalu mengeluarkan Peraturan Pemerintah
  • 22. 22 Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2013 yang selanjutnya oleh DPR disahkan menjadi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi selanjutnya disebut UU 4 Tahun 2014. Walaupun baik Perppu dan undang-undang tersebut telah dinyatakan inkonstitusional oleh Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 1-2/PUU-II/2014, namun terlihat bahwa hadirnya produk hukum tersebut dapat dipahami sebagai upaya yang dilakukan Pemerintah dan DPR untuk memperbaiki sistem pengisian jabatan hakim konstitusi selama ini. Dalam subtsansi UU 4 Tahun 2014 terlihat adanya ketentuan mengenai pengisian jabatan hakim konstitusi yang mengharuskan adanya suatu Panel Ahli. Keberadaan Panel Ahli ini menurut Mahkamah Konstitusi dinilai mereduksi legitimasi ketiga lembaga berwenang pengisi jabatan hakim konstitusi (Presiden, DPR, dan MA) dengan demikian dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945. Sehingga sampai dengan sekarang terkait dengan pengisian jabatan hakim konstitusi masih berlaku ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Dilihat dari prinsipnya pencalonan dilaksanakan secara transparan dan partisipatif, dalam Penjelasan UU MK mengisyaratkan calon hakim konstitusi harus dipublikasikan di media massa agar publik mempunyai kesempatan memberi masukan terhadap nama-nama yang akan diseleksi sebagai hakim konstitusi. Partisipasi publik penting artinya untuk mendapatkan hakim konstitusi sesuai kehendak konstitusi. Hal ini dikatakan oleh Saldi Isra erat hubungannya dengan Pasal 24C ayat (5) yang mensyaratkan hakim konstitusi harus memiliki integritas, dan kepribadian yang tidak tercela, adil, dan negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan serta tidak merangkap sebagai pejabat negara lain. Senada dengan itu dalam pengisian jabatan hakim konstitusi Maria Farida Indrati berpendapat tidak menjadi masalah apabila masing-masing lembaga berwenang mengatur sendiri proses seleksinya selama proses pengisian jabatan hakim dari ketiga lembaga tersebut dilaksanakan secara transparan dan partisipatif.
  • 23. 23 3. Syarat Hakim Konstitusi Hal lain yang perlu diperhatikan dalam pengisian jabatan hakim konstitusi oleh tiga cabang kekuasaan negara adalah mengenai persyaratan. Karena dengan adanya persyaratan inilah yang menjadikan penting pengisian jabatan hakim. Menurut Ahsin Thohari, adanya ketentuan internasional terkait dengan pengisian jabatan hakim karena terdapat beberapa hal penting yang harus diperhatikan dalam pengisian jabatan hakim guna mewujudkan kekuasaan kehakiman yang merdeka yaitu: antara lain, adanya integritas, kecakapan dan kualifikasi calon hakim, metode seleksi dan tidak adanya diskriminasi, (Ahsin Thohari, 2004: 22). Hal ini menunjukkan bahwa perlu diperhatikan tentang persyaratan menjadi hakim agar proses pengisian jabatan benar-benar menghasilkan hakim sesuai harapan. Dari semua persyaratan menjadi hakim konstitusi yang telah dijelaskan dalam pembahasan sebelumnya. Terdapat syarat yang menurut kami tidak jelas kriteria dan tolak ukurnya, yaitu syarat negarawan. Disebutkan syarat negarawan dalam Pasal 24C ayat (5) UUD 1945 yang berbunyi: Hakim konstitusi harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan, serta tidak merangkap sebagai pejabat negara. Juga pada Pasal 15 ayat (1) UU MK yang berbunyi: Hakim konstitusi harus memenuhi syarat sebagai berikut: a. Memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela; b. Adil; dan c. Negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan. Syarat negarawan dalam UU MK sendiri tidak memberikan definisi atau penjelasaannya. Padahal syarat ini merupakan syarat yang sifatnya khusus atau istimewa bagi hakim konstitusi karena syarat negarawan tidak dijumpai dalam persyaratan menjadi hakim agung, hakim karier, maupun hakim ad hoc. Ketidakadanya definisi mengenai negarawan membuat syarat ini menjadi tidak jelas kriteria dan tolak ukurnya. Bahkan dikatakan dalam pertimbangan hukum MK dalam Putusan Nomor 1-2/PUU-XII/2014, syarat negarawan sulit untuk ditentukan kriterianya secara pasti, namun hal demikian haruslah dipahami betapa pembentuk UUD 1945 secara sadar mengidealkan bahwa dalam diri seorang Hakim Konstitusi sekurang-kurangnya layak untuk diharapkan memiliki kepribadian dimaksud. Juga dikatakan dalam pertimbangan hukum MK dalam putusan MK Nomor 68/PUU-XI/2011, persyaratan konstitusional yang ditetapkan oleh UUD 1945 untuk pengisian jabatan-jabatan negara tersebut merupakan
  • 24. 24 sesuatu yang tidak dapat ditawar-tawar lagi dan bahwa penetapan persyaratan atas jabatan negara tertentu merupakan mekanisme konstitusional untuk memberikan jaminan bahwa para calon yang akan mengisi jabatan tersebut memenuhi standar yang telah diatur dalam UUD 1945. Sehingga menurut kami pendefinisian makna ‘negarawan’ menjadi penting mengingat pengisian jabatan hakim konstitusi berasal dari 3 (tiga) cabang kekuasaan negara yang berbeda maka harus disamakan persepsinya. I Dewa Gede Palguna (sekarang hakim konstitusi) berpendapat “dalam pengisian jabatan hakim konstitusi harus benar-benar diperhatikan syarat negarawan, mengapa syarat ini menjadi sangat penting”. Oleh karena itu apabila syarat negarawan tidak jelas kriteria dan tolak ukurnya maka bisa saja masing-masing lembaga negara berwenang pengisi jabatan hakim konstitusi memaknainya secara berbeda. Padahal syarat ini merupakan syarat yang penting dan harus dibuktikan dalam pengisian jabatan apakah calon memenuhi syarat tersebut. Perlu diperhatikan adalah apakah sosok negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan adalah seorang politisi atau mantan pejabat negara ataukah orang yang bukan politisi dan bukan pula mantan pejabat negara tapi memiliki kriteria tertentu sehingga disebut sebagai negarawan. Dalam hal ini beberapa ahli juga telah memberikan pendapatnya tentang makna dari negarawan itu, seperti Jimly Asshiddiqie mantan Ketua Mahkamah Konstitusi 2003-2008 mengatakan negarawan adalah orang yang tidak memiliki nafsu atau ambisi mencari posisi politik maupun dengan urusan ekonomi. Georges Pompidou yang menyatakan bahwa negarawan adalah politisi yang menempatkan dirinya dalam pelayanan kepada bangsa. Kukuh Suharwiyono, seorang Perwira TNI AD, Kepala Divisi Penelitian dan Pengembangan Pertahanan & Keamanan TANDEF, mendefinisikan negarawan sebagai seseorang yang berjiwa dan berjuang demi kepentingan yang lebih besar sehingga dia selalu berpikir dan bertindak hanya untuk bangsa negaranya. Sedangkan menurut Dr. Andi Irawan dalam Koran Tempo 27 Nopember 2007, kata negarawan merujuk pada sosok manusia yang visioner, berorientasi jangka panjang, mengutamakan kesejahteraan bersama dibanding kesejahteraan pribadi dan golongan, mampu berlaku egaliter, adil dan mengayomi semua komponen bangsa serta mampu membuktikan komitmen tersebut dalam perilaku sosial ekonomi, budaya dan politiknya (http://dedhisuharto.wordpress.com/2009/05/08/negarawan).
  • 25. 25 Selain syarat negarawan, selama kurang lebih 1 (satu) dekade Mahkamah Konstitusi, telah dilakukan perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yaitu dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, LN Nomor 70 Tahun 2011, TLN Nomor 5226. Dalam perubahan tersebut terjadi perubahan terhadap beberapa syarat menjadi hakim konstitusi sehingga syarat menjadi hakim konstitusi lebih ketat terutama syarat kapasitas dan teknis administrasi. Apabila kita cermati syarat hakim konstitusi sebelum perubahan UU MK dan setelah adanya perubahan UU MK, syarat hakim konstitusi menjadi semakin berat. Pasca perubahan UU MK hakim konstitusi dipersyaratkan harus memiliki kapasitas seorang berijazah doktor yang tadinya cukup dengan gelar sarjana hukum dan pengalaman dibidang hukum harus sudah selama 15 tahun yang tadinya hanya 10 tahun serta ketentuan usia minimal 47 tahun dan maksimal 65 tahun. Tabel 4. Sumber: UU No. 24 Tahun 2003 dan UU No. 8 Tahun 2011 Adanya perubahan dan penambahan beberapa persyaratan menjadi hakim konstitusi ini menurut kami merupakan indikasi bahwa pembentuk undang- undang menginginkan pembatasan yang lebih limitatif terhadap calon hakim konstitusi sehingga didapatkan calon hakim konstitusi yang diharap lebih No. Syarat HakimKonstitusi SebelumPerubahan Setelah Perubahan 1 MemilikiIntegritas √ √ 2 Kepribadian Tidak Tercela √ √ 3 Perilaku Adil √ √ 4 Negarawan √ √ 5 WNI √ √ 6 Berijazah sarjana hukum doktor* 7 Bertakwa √ √ 8 Usia min. 40 th, maks. tidak ada min. 47 th, maks. 65 th 9 Mampu jasmani& rohani √ √ 10 Tidak pernah dipenjara min. 5 tahun tidak ada minimal 11 Tidak sedang pailit √ √ 12 Pengalaman dibidang hukum min. 10 min. 15 tahun 13 Menyerahkan : 1) surat pernyataan kesediaan √ √ 2) daftar riwayat hidup − √ 3) fotokopiijazah − √ 4) laporan daftar harta kekayaan dan dokumen pendukung yang sah − √ 5) NPWP − √ Perbedaan Syarat MenjadiHakimKonstitusiSebelumdan Sesudah Perubahan Undang-Undang Mahkamah Konstitusi *Pasca putusan MK Nomor 68/PUU-XI/2011 13-09-2012
  • 26. 26 mumpuni dibanding hasil pengisian jabatan dengan syarat sebelum adanya perubahan UU MK.
  • 27. 27 BAB III A. Kesimpulan dan Saran 1. Kesimpulan Berdasarkan uraian dalam pembahasan, maka dapat dirumuskan simpulan sebagai berikut: 1) Implementasi pengisian jabatan hakim pada Mahkamah Konstitusi oleh tiga cabang kekuasaan negara dapat disimpulkan sebagai berikut: a. Tiga cabang kekuasaan negara yang berwenang dalam pengisian jabatan hakim konstitusi, yaitu Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat dan Mahkamah Agung, dimaknai sebagai upaya menjadikan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga peradilan yang lebih imparsial dalam menegakkan checks and balances dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. b. Presiden, DPR, dan MA dalam melaksanakan pengisian jabatan hakim konstitusi dengan berpedoman pada prinsip transparan dan partisipatif serta obyektif dan akuntabel. c. Presiden, DPR, dan MA melaksanakan pengisian jabatan hakim konstitusi memiliki cara dan tahapan seleksi atau metode seleksi yang berbeda-beda serta belum tentu sama antar periode pengisian jabatan hakim konstitusi. d. Perwujudan pelaksanaan transparan dan partisipatif yang dilaksanakan oleh masing-masing lembaga berwenang dalam pengisian jabatan hakim dimaknai secara berbeda. Presiden dan DPR dalam pengisian jabatan hakim konstitusi terdapat tahapan fit and proper test yang dilaksanakan secara terbuka, sementara di MA partisipasi publik hanya terlihat pada kesempatan publik dalam memberikan masukan. 2) Pengisian jabatan hakim konstitusi oleh tiga cabang kekuasaan negara (Presiden, DPR dan MA) dapat mewujudkan kekuasaan kehakiman yang merdeka dengan tetap memperhatikan: keterlibatan tiga lembaga negara (Presiden, DPR dan MA) sebagai upaya menegakkan checks and balances dan kolaborasi hakim konstitusi yang memiliki latar belakang berbeda guna menjadikan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga peradilan yang independen dan imparsial, metode seleksi yang transparan dan partisipatif agar terlaksana prinsip obyektif dan akuntabel, dan pendefinisian syarat hakim konstitusi seorang negarawan demi terciptanya perspektif yang sama.
  • 28. 28 Dengan adanya tiga hal tersebut justru akan menjadikan lebih terjaminnya kekuasaan kehakiman yang merdeka di Mahkamah Konstitusi. 2. Saran Berdasarkan analisis dan pembahasan terhadap implementasi pengisian jabatan hakim konstitusi oleh tiga cabang kekuasaan negara dan hubungannya dalam mewujudkan kekuasaan kehakiman yang merdeka. Maka kami memberikan beberapa saran yaitu: 1) Terkait implementasi pengisian jabatan hakim pada Mahkamah Konstitusi: a. Pengisian jabatan hakim konstitusi pada Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia memang harus dilaksanakan oleh tiga cabang kekuasaan negara sebagai upaya mewujudkan Mahkamah Konstitusi yang dapat bersikap lebih imparsial dan sebagai penegak checksand balances karena berkaitan dengan kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam menyelesaikan sengketa lembaga negara serta dapat membentuk kombinasi hakim konstitusi dengan latar belakang yang tidak sama. Sehingga Mahkamah Konstitusi dapat menghasilkan putusan yang berkualitas. b. Pengisian jabatan hakim konstitusi yang berpedoman pada prinsip transparan, patisipatif, obyektif dan akuntabel sebaiknya perlu didukung oleh aturan yang secara rinci mengatur kriteria dan standar perekrutan yang harus dilakukan masing-masing lembaga tanpa mengurangi hak konstitusionalnya. Misalnya seperti dalam pelaksanaan pengisian jabatan masing-masing lembaga diharuskan memanfaatkan teknologi informasi dengan membuat sistem informasi menejemen seleksi calon hakim, yang didalamnya memuat informasi dalam semua tahapan seleksi. c. Perlu dibuatnya peraturan internal masing-masing lembaga berwenang pengisi jabatan hakim konstitusi dalam melaksanakan pengisian jabatan hakim konstitusi, selain sebagai aturan pelaksana juga sebagai bentuk akuntabilitas proses seleksi. 2) Perlu adanya kriteria yang jelas mengenai syarat hakim konstitusi seorang “negarawan”, agar masing-masing lembaga berwenang dalam pengisian jabatan hakim konstitusi memiliki persamaan persepsi. Oleh karena itu menurut pemahaman kami makna seorang negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan setidaknya harus memiliki kriteria etika dan intelektual:
  • 29. 29 a. Etika berarti beorientasi demi kepentingan dan kesejahteraan bangsa dan negara; tidak memiliki ambisi: mengejar jabatan tertentu, kepentingan politik, dan kekayaan; berpandangan ke depan dengan kebijaksanaan dan kewibawaan. b. Intelektual, dengan syarat berijazah doktor, memiliki pengalaman dibidang hukum minimal 15 tahun, serta konsisten terhadap karya-karya dibidang hukum ketatanegaraan. c. Diperlukan dukungan dari berbagai pihak untuk meningkatkan kualitas pengisian jabatan yang dilaksanakan masing-masing lembaga berwenang dalam pengisian jabatan hakim konstitusi. Tidak hanya dari pihak lembaga pengisi, namun peran serta masyarakat dan lembaga-lembaga lain non pemerintah seperti lembaga swadaya masyarakat atau media sangat membantu dan berperan penting dalam pengisian jabatan hakim konstitusi.