Ringkasan dokumen tersebut adalah:
Prinsip-prinsip hukum acara peradilan konstitusi mencakup asas-asas seperti persidangan terbuka, independen, dan cepat serta hak untuk didengar secara seimbang. Terdapat empat jenis persidangan yaitu pemeriksaan pendahuluan, pemeriksaan, rapat permusyawaratan hakim, dan pengucapan putusan. Permohonan dapat diajukan secara online atau konven
2. II. PRINSIP-PRINSI HUKUM ACARA
PERADILAN KONSTITUSI
A. Asas-Asas Hukum Acara Peradilan Konstitusi
B. Susunan Hakim Konstitusi
C. Jenis dan Sifat Persidangan
D. Persidangan Jarak Jauh
E. Permohonan
F. Pendaftaran Permohonan dan Penjadwalan Sidang
G. Permohonan Online
H. Penggabungan Perkara
I. Pembuktian dan Alat Bukti
J. Putusan
K. Tata Cara dan Tata Tertib Persidangan
3. A. ASAS-ASAS HUKUM ACARA PK
Asas secara umum diartikan sebagai dasar atau prinsip yang
bersifat umum yang menjadi titik tolak pengertian atau
pengaturan
Asas hukum merupakan jantung yang menghubungkan
antara aturan hukum dan cita-cita serta pandangan
masyarakat di mana hukum itu berlaku (asas hukum
objektif).
Asas hukum juga dapat dipahami sebagai norma umum
yang dihasilkan dari pengendapan hukum positif (asas
hukum subjektif)
4. Lanjutan
Asas hukum acara MK adalah prinsip-prinsip dasar dan
bersifat umum yang menjadi panduan atau ‘ruh” dalam
penyelenggaraan peradilan konstitusi yang keberadaannya
diperlukan untuk mencapai tujuan penyelenggaraan
peradilan itu sendiri, yaitu tegaknya hukum dan keadilan,
khususnya supremasi konstitusi dan perlindungan hak
konstitusional warga negara.
5. Lanjutan
Asas-asas Hukum Acara PK:
1) Persidangan terbuka untuk umum
2) Independen dan imparsial
3) Peradilan dilaksanakan secara cepat, sederhana, dan murah
4) Hak untuk didengar secara seimbang (Audi et alteram
partem)
5) Hakim aktif dalam persidangan
6) Ius curia novit (tidak boleh menolak utk memeriksa)
7)Asas Praduga Keabsahan (praesumtio iustae causa)
6. B. SUSUNAN HAKIM KONSTITUSI
Komposisi
a. Mahkamah Konstitusi mempunyai 9 (sembilan) orang
anggota hakim konstitusi yang ditetapkan dengan
Keputusan Presiden.
b. Susunan Mahkamah Konstitusi terdiri atas seorang Ketua
merangkap anggota, seorang Wakil Ketua merangkap
anggota, dan 7 (tujuh) orang anggota hakim konstitusi.
c. Ketua dan Wakil Ketua dipilih dari dan oleh hakim
konstitusi untuk masa jabatan selama 3 (tiga) tahun.
7. Lanjutan
d. Sebelum Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi
terpilih sebagaimana dimaksud pada ayat (3), rapat
pemilihan Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi
dipimpin oleh hakim konstitusi yang tertua usianya.
e. Ketentuan mengenai tata cara pemilihan Ketua dan Wakil
Ketua sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur lebih
lanjut oleh Mahkamah Konstitusi
Mekanisme Pemilihan
8. Lanjutan
Mekanisme Pemilihan
a. Mekanisme pengangkatan hakim konstitusi secara
substantif sesuai dengan Pasal 24C UUD 1945 beserta
Naskah Komperhensif Perubahan UUD 1945 adalah UU
Nomor 24 Tahun 2003 dan UU Nomor 8 Tahun 2011
sebagai perubahannya.
b. Peraturan lain yang mengatur adalah:
1) Perppu Nomor 1 Tahun 2013
2) disahkan menjadi undang-undang dengan UU Nomor 4
Tahun 2014.
9. C. JENIS DAN SIFAT PERSIDANGAN
Dilihat dari materi persidangan terkait dengan proses
suatu perkara, sidang MK dapat dibagi menjadi 4
(empat), yaitu:
1) Pemeriksaan Pendahuluan,
2) Pemeriksaan Persidangan,
3) Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH), dan
4) Pengucapan Putusan
10. Lanjutan
1) Pemeriksaan Pendahuluan:
dilakukan untuk memeriksa kelengkapan dan kejelasan
materi permohonan sebelum memasuki pemeriksaan
pokok perkara
memeriksa dua aspek yang menentukan keberlanjutan
perkara, yaitu apakah pemohon memiliki kualifikasi
untuk mengajukan permohonan dimaksud (legal
standing) dan perkara yang dimohonkan tersebut
merupakan wewenang MK.
11. Lanjutan
Secara keseluruhan, pemeriksaan pendahuluan meliputi:
1. Identitas dan kualifikasi pemohon, kewenangan bertindak
dan surat-surat kuasa.
2. Kedudukan hukum pemohon.
3. Isi permohonan merupakan wewenang MK
4. Perubahan permohonan baik atas saran hakim maupun atas
kehendak pemohon sendiri.
5. Alat-alat bukti yang akan diajukan
6. Saksi dan ahli dan pokok keterangan yang akan diberikan.
7. Pengaturan jadwal sidang dan tertib persidangan.
12. Lanjutan
2) Pemeriksaan Persidangan:
jenis persidangan yang dilakukan untuk memeriksa
permohonan, alat bukti, keterangan termohon (jika ada),
keterangan saksi, keterangan ahli, dan keterangan pihak
terkait.
tahapan pemeriksaan persidangan adalah sebagai berikut:
a. Penyampaian pokok-pokok permohonan secara lisan.
b. Penyampaian pokok-pokok jawaban termohon atau
keterangan pihakpihak terkait secara lisan.
13. Lanjutan
tahapan pemeriksaan persidangan adalah sebagai berikut:
c. Pemeriksaan alat bukti dari pemohon maupun dari termohon
dan pihak terkait.
d. Penyampaian dan pemeriksaan keterangan saksi dan/atau
ahli yang diajukan pemohon.
e. Penyampaian dan pemeriksaan keterangan saksi dan/atau
ahli yang diajukan oleh termohon atau pihak terkait.
f. Penyampaian kesimpulan oleh pemohon.
g. Penyampaian kesimpulan oleh termohon dan/atau pihak
terkait
14. Lanjutan
3) Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH):
RPH merupakan salah satu jenis dari sidang pleno, yang
sifatnya tertutup.
RPH membahas perkara bersifat rahasia yang hanya diikuti oleh
para hakim konstitusi, panitera, dan panitera pengganti.
Di dalam RPH ini dibahas perkembangan suatu perkara,
putusan, serta ketetapan yang terkait dengan suatu perkara.
Khusus RPH pengambilan putusan perkara, diatur dalam Pasal
45 Ayat (4) sampai dengan Ayat (10) UU No. 24 Tahun 2003
15. Lanjutan
4) Pengucapan Putusan:
Dalam sidang pleno pengucapan putusan agendanya adalah
pembacaan putusan atau ketetapan MK untuk suatu perkara
yang telah diperiksa dan diadili
Setiap hakim konstitusi mendapatkan bagian tertentu dari
putusan untuk dibacakan secara berurutan, kecuali yang
mengajukan pendapat yang berbeda (dissenting opinion).
Hakim yang mengajukan dissenting opinion atau concuring
opinion membacakan pendapatnya setelah ketua sidang
membacakan amar putusan.
16. D. PERSIDANGAN JARAK JAUH
Penyelenggaraan persidangan untuk pemeriksaan
pendahuluan dan pemeriksaan persidangan dapat dilakukan
melalui persidangan jarak jauh (video conference).
Mekanisme persidangan jarak jauh diatur dalam PMK
Nomor 18 Tahun 2009 tentang Pedoman Pengajuan
Permohonan Elektronik (Electronic Filing) dan
Pemeriksanaan Persidangan Jarak Jauh (Video
Conference).
17. Lanjutan
Permohonan persidangan jarak jauh dimaksud berisi
informasi rinci mengenai:
a. identitas yang hendak diperiksa dan didengar
keterangannya;
b. pokok-pokok keterangan yang hendak diberikan;
c. alokasi waktu pemeriksaan; dan
d. petugas lain yang diperlukan untuk keperluan
persidangan dimaksud.
18. Lanjutan
Fungsi Persidangan Jarak Jauh (JJ):
sebagai sarana yang dapat dimanfaatkan oleh pemohon
dan/atau termohon untuk pelaksanaan persidangan jarak jauh.
Cara Pengajuan Permohonan Persidangan JJ:
1) Permohonan harus disampaikan selambat-lambatnya 5
hari kerja sebelum waktu persidangan jarak jauh yang
direncanakan
2) Permohonan dapat disampaikan secara langsung, surat
elektronik (e-mail), faksimili, surat pos, atau media lain.
19. E. PERMOHONAN
Istilah yang digunakan dalam UU Nomor 24 Tahun 2003 adalah
“permohonan” bukan “gugatan” seperti dalam hukum acara
perdata.
Permohonan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia
oleh pemohon atau kuasanya kepada Mahkamah Konstitusi
Permohonan sekurang-kurangnya harus memuat 3 hal:
a. nama dan alamat pemohon;
b. uraian mengenai perihal yang menjadi dasar permohonan
sesuai dengan perkara yang dimohonkan; dan
c. hal-hal yang diminta untuk diputus.
20. F. PENDAFTARAN PERMOHONAN
DAN PENJADWALAN SIDANG
Permohonan yang diajukan kepada MK diterima oleh petugas
penerima permohonan untuk disampaikan kepada Panitera MK
yang akan melakukan pemeriksaan kelengkapan permohonan
(administratif)
Pemeriksaan administrasi meliputi jumlah rangkap permohonan,
surat kuasa, kejelasan identitas, serta daftar alat bukti
Berkas permohonan perkara berupa hard copy dan soft copy
atau file
21.
22. G. PERMOHONAN ONLINE
Permohonan online diatur dalam PMK Nomor 18 Tahun
2009 tentang Pedoman Pengajuan Permohonan Elektronik
(Electronic Filing) dan Pemeriksaan Persidangan Jarak
Jauh (Video Conference).
Pengajuan permohonan secara online, pemohon harus
melakukan registrasi, baik secara online maupun offline,
guna mendapatkan nama identifikasi (user name) dan
kode akses (password).
23. Lanjutan
User name dan password untuk dapat mengakses program
Sistem Informasi Manajemen Permohonan Elektronik
(SIMPEL).
Melalui SIMPEL, dapat diajukan permohonan, alat bukti,
penambahan dokumen, serta daftar saksi dan ahli yang
diajukan.
User name dan password juga berfungsi sebagai tanda
tangan elektronik (electronic signature) dalam proses
perkara di MK.
24. Lanjutan
Permohonan online yang telah memenuhi syarat
didokumentasikan dan disimpan oleh Panitera
disertai dengan penomoran perkara.
Panitera mengirimkan Akta Registrasi Perkara
kepada pemohon melalui e-mail dalam
waktu 7 hari sejak diregistrasi.
25. H. PENGGABUNGAN PERKARA
Penggabungan perkara adalah penggabungan dua perkara
atau lebih yang memiliki obyek atau substansi permohonan
yang sama
Penggabungan perkara dilakukan melalui Penetapan
Mahkamah Konstitusi.
Penggabungan perkara untuk perkara pengujian UU diatur
dalam PMK No. 6 Tahun 2005 tentang Pedoman Beracara
dalam Perkara Pengujian UndangUndang.
26. Lanjutan
Pasal 11 Ayat (6) PMK No. 6 Tahun 2005 menyatakan
bahwa penggabungan perkara dapat dilakukan berdasarkan
usulan panel hakim terhadap perkara yang:
(a) memiliki kesamaan pokok permohonan;
(b) memiliki keterkaitan materi permohonan; atau
(c) pertimbangan atas permintaan pemohon.
27. I. PEMBUKTIAN DAN ALAT BUKTI
Secara umum terdapat beberapa teori pembuktian terkait
dengan beban pembuktian dalam proses peradilan, antara
lain:
1) teori affirmatif,
2) teori hak,
3) teori hukum obyektif,
4) teori kepatutan, dan
5) teori pembebanan berdasarkan kaidah yang bersangkutan
28. Lanjutan
Teori affirmatif: teori yang menyatakan bahwa beban
pembuktian dibebankan kepada pihak yang mendalilkan
sesuatu, bukan kepada pihak yang mengingkari atau
membantah sesuatu (pembuktian negatif).
Teori hak: hakikatnya sama dengan teori affirmatif, yaitu siapa
yang mengemukakan suatu hak harus membuktikan hak
tersebut. Namun teori ini hanya terkait dengan adanya suatu
hak, bukan peristiwa atau keadaan tertentu.
29. Lanjutan
Teori hukum obyektif: menyatakan bahwa pihak yang
mendalilkan adanya norma hukum tertentu harus membuktikan
adanya hukum obyektif yang menjadi dasar norma hukum
tersebut.
Teori kepatutan: beban pembuktian diberikan kepada pihak
yang lebih ringan untuk membuktikannya
Teori pembebanan: beban pembuktian ditentukan oleh kaidah
hukum tertentu.
30. Lanjutan
Pasal 18 ayat (1) sampai dengan ayat (3) PMK Nomor
06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara dalam Perkara
Pengujian Undang-undang menyatakan:
(1) Pembuktian dibebankan kepada Pemohon.
(2) Apabila dipandang perlu, Hakim dapat pula membebankan
pembuktian kepada Presiden/Pemerintah, DPR, DPD,
dan/atau Pihak Terkait.
(3) Presiden/Pemerintah, DPR, DPD, dan/atau Pihak Terkait
dapat mengajukan bukti sebaliknya (tegen-bewijs)
31. Lanjutan
Pasal 16 PMK Nomor 08/PMK/2006 tentang Pedoman
Beracara dalam Sengketa Kewenangan Konstitusional
Lembaga Negara menyatakan:
(1) Beban pembuktian berada pada pihak pemohon.
(2) Dalam hal terdapat alasan cukup kuat, Majelis Hakim dapat
membebankan pembuktian kepada pihak termohon.
(3) Majelis Hakim dapat meminta pihak terkait untuk
memberikan keterangan dan/atau mengajukan alat bukti
lainnya.
32. Lanjutan
Macam-macam Alat Bukti:
1) surat atau tulisan
2) keterangan saksi
3) keterangan ahli
4) keterangan para pihak
5) Petunjuk
6) informasi elektronik
33. J. PUTUSAN
1) Mekanisme pengambilan putusan
Mekainsme pengambilan putusan adalah musyawarah
mufakat.
Dalam hal musyawarah sidang pleno hakim konstitusi
tidak menghasilkan putusan, musyawarah ditunda sampai
musyawarah sidang pleno hakim konstitusi berikutnya.
Jika tidak tercapai, akan diambil jalan voting.
Apabila suaranya sama-sama kuat, keputusan ketua RPH
akan menentukan
34. Lanjutan
2) Jenis-jenis putusan
Terdapat dua jenis putusan hakim dalam suatu proses
peradilan, yaitu putusan akhir dan sela (provisi).
Putusan akhir, yaitu putusan yang mengakhiri perkara
atau sengketa yang diadili
Putusan sela , yaitu putusan yang dibuat dalam dan
menjadi bagian dari proses peradilan yang belum
mengakhiri perkara atau sengketa
35. Lanjutan
Putusan sela atau putusan provisi adalah putusan yang
diberikan oleh majelis hakim atas permohonan pihak yang
bersengketa terkait dengan suatu hal yang berhubungan
dengan perkara yang diperiksa.
Putusan sela dapat berupa permintaan untuk melakukan
atau tidak melakukan sesuatu atau terkait dengan status
hukum tertentu sebelum putusan akhir dijatuhkan.
36. Lanjutan
Dalam hukum acara MK, putusan provisi pada awalnya
hanya terdapat dalam perkara Sengketa Kewenangan
Konstitusional Lembaga Negara.
Pasal 63 UU MK menyatakan bahwa MK dapat
mengeluarkan penetapan yang memerintahkan pada
pemohon dan/atau termohon untuk menghentikan
sementara pelaksanaan kewenangan yang dipersengketakan
sampai ada putusan MK.
37. Lanjutan
Pada perkembangannya, putusan sela juga dikenal
dalam perkara pengujian UU dan perselisihan hasil
Pemilu.
Putusan sela dalam perkara pengujian UU pertama
kali dijatuhkan dalam proses pengujian UU Nomor 30
Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi (KPK), perkara Nomor 133/PUU-
VII/2009.
38. Lanjutan
Dalam proses persidangan perkara tersebut atas
permohonan dari pemohon, MK memberikan
putusan sela yang menyatakan bahwa “ketentuan
Pasal 30 UU KPK mengenai pemberhentian
pimpinan KPK yang menjadi terdakwa tidak dapat
dilaksanakan terlebih dahulu sebelum ada putusan
MK mengenai pengujian pasal dimaksud”
39. Lanjutan
3) Tindak lanjut dan akibat hukum putusan
Dilihat dari amar dan akibat hukumnya, putusan dapat
dibedakan menjadi tiga, yaitu declaratoir, constitutief, dan
condemnatoir.
Putusan declaratoir : putusan hakim yang menyatakan apa
yang menjadi hukum
Putusan constitutief : putusan yang meniadakan suatu
keadaan hukum dan atau menciptakan hukum baru.
Putusan condemnatoir: putusan yang berisi penghukuman
tergugat atau termohon untuk melakukan suatu prestasi.
40. Lanjutan
Secara umum putusan MK bersifat declaratoir dan
constitutief.
Putusan MK berisi pernyataan apa yang menjadi hukumnya
dan sekaligus dapat meniadakan keadaan hukum serta
menciptakan hukum baru.
Putusan MK yang mungkin memiliki sifat condemnatoir
adalah dalam perkara Sengketa Kewenangan Konstitusional
Lembaga Negara, yaitu memberi hukuman kepada pihak
termohon untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu.
41. Lanjutan
Setiap putusan MK harus memuat:
a. kepala putusan berbunyi: “DEMI KEADILAN
BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”
b. identitas pihak, dalam hal ini terutama adalah identitas
pemohon dan termohon
c. ringkasan permohonan;
d. pertimbangan terhadap fakta yang terungkap dalam
persidangan;
e. pertimbangan hukum yang menjadi dasar putusan;
f. amar putusan; dan
g. hari, tanggal putusan, nama hakim konstitusi, dan panitera
42. K. TATA CARA DAN TATA TERTIB
PERSIDANGAN
Tata cara dan tata tertib persidangan diatur tersendiri di
dalam PMK Nomor 19 Tahun 2009 tentang Tata Tertib
Persidangan
Tata cara persidangan ditentukan sebagai berikut:
a. Para pihak, Saksi, dan Ahli yang hadir untuk mengikuti
persidangan wajib mengisi daftar hadir yang disediakan
oleh Kepaniteraan Mahkamah.
b. Panitera melaporkan kehadiran para pihak, Saksi, dan
Ahli kepada Ketua Sidang.
43. Lanjutan
Tata cara persidangan ditentukan sebagai berikut:
c. Ketua Sidang membuka sidang dengan mengetukkan palu
tiga kali.
d. Setelah sidang dibuka, Ketua Sidang mempersilahkan para
pihak, Saksi, dan Ahli untuk memperkenalkan diri masing-
masing.
e. Ketua Sidang menjelaskan agenda persidangan.
44. Lanjutan
Tata cara persidangan ditentukan sebagai berikut:
f. Dalam hal menunda sidang dan mencabut penundaan
sidang, Ketua Sidang mengetukkan palu satu kali.
g. Pada saat sidang pembacaan putusan, sesaat setelah
membacakan amar putusan, Ketua Sidang mengetukkan
palu satu kali.
h. Ketua Sidang menutup sidang dengan mengetukkan palu
tiga kali.
45. Lanjutan
Para pihak, Saksi, Ahli, dan pengunjung sidang dilarang:
a. membawa senjata dan/atau benda-benda lain yang dapat
membahayakan atau mengganggu jalannya persidangan;
b. membuat gaduh, berlalu-lalang, bersorak-sorai, dan
bertepuk tangan di ruang sidang selama persidangan
berlangsung;
c. mengaktifkan alat komunikasi selama persidangan
berlangsung;
d. membawa peralatan demonstrasi masuk ke ruang sidang;
46. Lanjutan
e. merusak dan/atau mengganggu fungsi sarana, prasarana,
dan/atau perlengkapan persidangan;
f. makan dan minum di ruang sidang selama persidangan
berlangsung;
g. menghina para pihak, saksi, dan ahli;
h. memberikan dukungan, komentar, saran, tanggapan, atau
mengajukan keberatan atas keterangan yang diberikan oleh
Saksi atau Ahli selama persidangan berlangsung;
i. melakukan perbuatan yang dapat mengganggu persidangan
atau merendahkan kehormatan dan martabat hakim konstitusi
serta kewibawaan Mahkamah;