Teks tersebut membahas tentang integrasi nilai-nilai budaya bangsa dalam pembelajaran matematika. Secara singkat, teks tersebut menjelaskan bahwa nilai-nilai budaya bangsa seperti taqwa, disiplin, kerja keras, kreativitas, dan toleransi dapat diterapkan dalam pembelajaran matematika untuk membentuk karakter peserta didik. Teks tersebut juga membahas hubungan antara matematika, pendidikan, dan budaya serta bagaimana menginte
1. INTEGRASI NILAI-NILAI BUDAYA BANGSA DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA
Rezky Agung Herutomo
ABSTRAK
Pendidikan matematika tidak dapat terlepas dari matematika itu sendiri. Oleh karena itu, untuk mengintegrasikan nilai-nilai kebudayaan dalam pembelajaran matematika akan lebih baik jika terlebih dahulu mengungkap karakteristik dari matematika yaitu objeknya yang abstrak, simbol yang kosong dari arti, kesepakatan dan pemikiran deduktif aksiomatik, dan anti kontradiksi. Nilai-nilai budaya bangsa yang terintegrasi dalam pembelajaran matematika tidak lepas dengan nilai- nilai yang terkandung dalam matematika dan pembelajaran matematika. Pemahaman yang demikian itu perlu ditunjang dengan pengetahuan tentang keterkaitan antara matematika dan kebudayaan, yang nantinya akan mempengaruhi proses pembelajaran matematika di kelas. Integrasi nilai budaya bangsa dapat tercermin melalui kurikulum pembelajaran matematika dan proses pembelajaran itu sendiri. Nilai tersebut tidak di ajarkan, akan tetapi secara implisit memberikan penguatan kepada siswa untuk menghargai budaya bangsa melalui matematika. Perlu kinerja guru secara kreatif dalam mengembangkan proses pembelajaran matematika dengan berbagai upaya pendekatan, model, dan metode sehingga nilai-nilai budaya bangsa dapat diterima oleh siswa selain materi pembelajarannya.
Kata kunci: nilai, budaya bangsa, matematika, pembelajaran matematika
A. Pengantar
1. Latar Belakang
Secara database online, “pendidikan berbasis budaya” terus meningkat digunakan sejak diperkenalkan pada akhir tahun 1970. Persyaratan, seperti budaya yang relevan, peka terhadap budaya, dan pendidikan berbasis budaya juga pertama kali muncul pada periode ini, terutama setelah terjadinya tingkat percepatan globalisasi. Nicol (2010) mencatat bahwa minat pengajaran berbasis budaya tumbuh selama 1980-an dan awal 1990-an sebagai akibat dari keberagaman dan
2. keprihatinan atas kurangnya keberhasilan peserta didik dari etnis/ras minoritas. Guru matematika harus melaksanakan prinsip kesesuaian budaya, mereka harus memiliki pengetahuan dan rasa hormat terhadap berbagai budaya tradisi dan bahasa dari peserta didik di kelas mereka. Dengan demikian, mereka harus mengembangkan rasa memahami dan menghargai perbedaan budaya peserta didik, sehingga dapat membantu peserta didik melihat matematika sebagai disiplin ilmu sosial dan kultural.
Lebih lanjut Nicol (2010) menjelaskan bahwa dalam mempertimbangkan pedagogi budaya responsif kita memanfaatkan literatur/materi pembelajaran yang memberikan konteks untuk mengembangkan model pendidikan bagi kelompok yang beragam yang menggabungkan koneksi dengan budaya dan masyarakat, menghormati dan responsif terhadap sistem pengetahuan adat dan epistemologi, dan berakar pada hubungan dan budaya setempat. Pendidikan budaya responsif pertama kali diperkenalkan pada tahun 1970, dan meskipun tidak baru, beberapa tahun tahun terakhir mendapat perhatian meningkat seperti yang terlihat dalam publikasi akademik akhir-akhir ini.
Sejalan dengan hal di atas, Bishop (2001) menjelaskan bahwa sebuah perspektif sosial budaya adalah hal penting untuk memahami peran nilai-nilai dalam pendidikan matematika. Sekolah dan peserta didik yang ada dalam masyarakat, kita sering abaikan adanya pengaruh pendidikan dari aspek lain. Hal ini memang mendorong bagi pendidik matematika terutama untuk mengembangkan pengajaran matematika dalam pola masyarakat tertentu. Tetapi pada kenyataannya tugas tersebut tidak berjalan dengan baik, proses belajar mengajar matematika seolah-olah terpisah dari konteks ekonomi, budaya dan politik masyarakat.
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang, maka dalam tulisan ini dirumuskan permasalahan sebagai berikut:
a. Nilai-nilai budaya bangsa apa sajakah yang dapat diintegrasikan dalam pembelajaran matematika?
3. b. Bagaimana integrasi nilai-nilai budaya bangsa dalam pembelajaran matematika?
3. Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah tersebut di atas, maka tulisan ini bertujuan untuk:
a. Mengkaji nilai-nilai budaya bangsa yang dapat diintegrasikan dalam pembelajaran matematika.
b. Membahas pengintegrasian nilai-nilai budaya bangsa dalam pembelajaran matematika.
B. Pembahasan
1. Nilai-nilai Budaya Bangsa yang Dapat Diintegrasikan dalam Pembelajaran Matematika
a. Pengertian dan Nilai Budaya Bangsa
Kebudayaan juga dapat dipahami sebagai suatu sistem ide/gagasan yang dimiliki suatu masyarakat lewat proses belajar dan dijadikan acuan tingkah laku dalam kehidupan sosial bagi masyarakat tersebut (Koentjaraningrat, 1996). Sedangkan sistem budaya sendiri dapat dikatakan sebagai seperangkat pengetahuan yang meliputi pandangan hidup, keyakinan, nilai, norma, aturan, hukum yang diacu untuk menata, menilai, dan menginterpretasikan benda dan peristiwa dalam berbagai aspek kehidupannya.
Menurut Ki Hadjar Dewantara (1967), kebudayaan berarti buah budi manusia, dan karenanya baik yang bersifat lahir maupun batin selalu mengandung sifat-sifat keluhuran, etika dan estetika yang ada pada hidup manusia pada umumnya. Kebudayaan nasional merupakan buah budi manusia yang mengandung sifat-sifat keluhuran dan kehalusan, etika dan estetika dalam kehidupan manusia. Dalam arti umum, kebudayaan adalah merupakan sifat utuhnya bangsa yang berkaitan dengan derajat kemanusiaannya, baik lahir maupun batin. Kebudayaan selalu mengandung sifat keluhuran dan kehalusan budi manusia yang berada dalam satu kesatuan dengan negara dan bangsa. Tanah
4. air Indonesia merupakan satu kesatuan, baik geografis maupun historis dan kultural.
Ki Hadjar Dewantara (1961) menjelaskan, pendidikan dalam hidup segala makhluk terdapat sebagai laku-kodrat (instinct), dalam hidup manusia yang beradab bersifat usaha kebudayaan. Sebagai laku-kodrat maka pendidikan itu masih bersifat laku atau kejadian (sebelum merupakan perbuatan berdasarkan kemauan), jadi masih sangat sederhana dan hanya mengenai pokok keperluannya. Pendidikan yang berlaku sebagai instinct, itu berupa pemeliharaan terhadap anak, serta latihan tingkah laku yang kelak perlu untuk kehidupannya. Sebagai usaha- kebudayaan, maka pendidikan itu bermaksud memberi tuntunan didalam tumbuhnya badan dan jiwa anak-anak, agar kelak dalam garis kodrat pribadinya dan pengaruh lingkungan yang mengelilingi lahir.
Dari rumusan tersebut dapat dilihat butir-butir yang dikemukakan oleh Ki Hadjar Dewantara seperti berikut ini.
1) Bahwa kebudayaan tidak dapat dipisahkan dari pendidikan, bahkan kebudayaan merupakan alas atau dasar pendidikan. Rumusan ini sungguh menjangkau jauh kedepan, disini dikatakan bukan hanya pendidikan itu dialaskan kepada suatu aspek kebudayaan, tetapi kebudayaan sebagai keseluruhan.
2) Kebudayaan yang menjadi landasan pendidikan tersebut haruslah bersifat kebangsaan. Dengan demikian kebudayaan yang dimaksud adalah kebudayan yang nyata, yaitu budaya yang hidup di dalam masyarakat kebangsaan Indonesia. Dalam hal ini Ki Hadjar Dewantara bukan berbicara mengenai kebudayaan Jawa, tetapi kebudayaan nasional Indonesia, artinya kebudayaan yang akan dikembangkan oleh masyarakat Indonesia. Apabila kebudayaan kebangsaan Indonesia itu belum terwujud, maka ini adalah tugasnya pendidikan nasional untuk mewujudkan kebudayaan kebangsaan yang dimaksud.
Kebudayaan yang berarti buah budi manusia, adalah hasil perjuangan manusia terhadap dua pengaruh yang kuat, yakni alam dan jaman (kodrat dan masyarakat). Sebagai buah perjuangan hidup manusia, maka kebudayaan itu
5. selalu bersifat kebangsaan (nasional) dan mewujudkan kepribadian bangsa (kemerdekaan hidup kebangsaan). Tiap-tiap kebudayaan menunjukkan rendah tingginya adab kemanusiaan dalam hidupnya masing-masing bangsa yang memilikinya, dalam hal mana keluhuran dan kehalusan hidup manusia selalu sebagai ukuran (Supinah, 2010).
Budaya diartikan sebagai keseluruhan sistem berpikir, nilai, moral, norma, dan keyakinan (belief) manusia yang dihasilkan masyarakat. Sistem berpikir, nilai, moral, norma, dan keyakinan itu adalah hasil dari interaksi manusia dengan sesamanya dan lingkungan alamnya. Sistem berpikir, nilai, moral, norma dan keyakinan itu digunakan dalam kehidupan manusia dan menghasilkan sistem sosial, sistem ekonomi, sistem kepercayaan, sistem pengetahuan, teknologi, seni, dan sebagainya. Manusia sebagai makhluk sosial menjadi penghasil sistem berpikir, nilai, moral, norma, dan keyakinan; akan tetapi juga dalam interaksi dengan sesama manusia dan alam kehidupan, manusia diatur oleh sistem berpikir, nilai, moral, norma, dan keyakinan yang telah dihasilkannya. Ketika kehidupan manusia terus berkembang, maka yang berkembang sesungguhnya adalah sistem sosial, sistem ekonomi, sistem kepercayaan, ilmu, teknologi, serta seni. Pendidikan merupakan upaya terencana dalam mengembangkan potensi peserta didik, sehingga mereka memiliki sistem berpikir, nilai, moral, dan keyakinan yang diwariskan masyarakatnya dan mengembangkan warisan tersebut ke arah yang sesuai untuk kehidupan masa kini dan masa mendatang (Kemendiknas: Badan Penelitian dan Pengembangan Pusat Kurikulum, 2010).
Antara pendidikan dan kebudayaan terdapat hubungan yang sangat erat, artinya keduanya menekankan pada hal yang sama, yaitu nilai-nilai kemanusiaan dan kemasyarakatan. Proses kebudayaan dan pendidikan hanya dapat terjadi didalam hubungan antar manusia dalam masyarakat. Keluhuran dan kehalusan budi manusia adalah hasil dari proses pendidikan dan kebudayaan, yaitu dengan menanamkan nilainilai yang terkandung dalam kebudayaan, sehingga terciptalah manusia yang beradab dan berbudaya.
Koentjaraningrat (1996) menjelaskan bahwa nilai-nilai yang menjadi salah satu unsur sistem budaya, merupakan konsepsi abstrak yang dianggap baik dan
6. amat bernilai dalam hidup, yang kemudian menjadi pedoman tertinggi bagi kelakuan dalam suatu masyarakat. Bertitik tolak dari pemahaman tersebut, konsep kebudayaan Indonesia dibangun oleh para pendahulu kita. Konsep kebudayaan Indonesia disini mengacu kepada nilai-nilai yang dipahami, dianut, dan dipedomani bersama oleh bangsa Indonesia. Nilai-nilai inilah yang kemudian dianggap sebagai nilai luhur, sebagai acuan pembangunan Indonesia. Nilai-nilai itu antara lain adalah taqwa, iman, kebenaran, tertib, setia kawan, harmoni, rukun, disiplin, harga diri, tenggang rasa, ramah tamah, ikhtiar, kompetitif, kebersamaan, dan kreatif.
b. Nilai Budaya Bangsa yang Dikembangkan dalam Pembelajaran Matematika
Berbicara mengenai nilai-nilai budaya dalam pendidikan tidak lepas dari pengembangan nilai-nilai karakter, yakni ada 18 nilai yang bersumber dari agama, Pancasila, budaya, dan tujuan pendidikan nasional, yaitu: (1) Religius, (2) Jujur, (3) Toleransi, (4) Disiplin, (5) Kerja keras, (6) Kreatif, (7) Mandiri, (8) Demokratis, (9) Rasa Ingin Tahu, (10) Semangat Kebangsaan, (11) Cinta Tanah Air, (12) Menghargai Prestasi, (13) Bersahabat/Komunikatif, (14) Cinta Damai, (15) Gemar Membaca, (16) Peduli Lingkungan, (17) Peduli Sosial, & (18) Tanggung Jawab (Kemendiknas: Badan Penelitian dan Pengembangan Pusat Kurikulum, 2010). Sedangkan nilai-nilai budaya bangsa menurut Koentjaraningrat (1996) antara lain adalah taqwa, iman, kebenaran, tertib, setia kawan, harmoni, rukun, disiplin, harga diri, tenggang rasa, ramah tamah, ikhtiar, kompetitif, kebersamaan, dan kreatif.
Pelaksanaan pembelajaran matematika memiliki potensi untuk mendukung keberhasilan pembentukan budaya dan karakter bangsa yang meliputi sikap toleransi, kemandirian, keuletan, ketangguhan, kreatif, cerdas, ulet, religius, taqwa, dsb. Sudah barang tentu pemilihan model, strategi, atau metode pembelajaran yang disiplin harus disesuaikan dengan materi ajar (Suyitno, 2012).
Bishop (2008) menyatakan nilai-nilai matematika berkaitan dengan hakikat pengetahuan matematika itu sendiri dan diturunkan dari bagaimana
7. matematikawan yang berbeda budaya membangun matematika. Nilai-nilai yang terkandung dalam matematika terdiri atas rasionalism, objectism, control, progress, mistery, dan opennes. Perkembangan sosial tertentu yang telah menimbulkan matematika juga memastikan adanya produk dari berbagai nilai: yaitu nilai-nilai yang telah diakui yang menjadi penting dalam masyarakat. Matematika, sebagai fenomena budaya, hanya masuk akal jika nilai-nilainya juga dibuat eksplisit dalam kehidupan masyarakat. Nilai-nilai itu digambarkan sebagai pasangan yang saling melengkapi, di mana rasionalism dan objectism adalah ideologi identik dari matematika, dengan control dan progress adalah nilai-nilai sikap yang mendorong perkembangan matematika, dan secara sosiologis, nilai- nilai mistery dan opennes adalah yang berkaitan dengan potensi pribadi, atau letak dari pengetahuan matematika dan hubungannya antara orang-orang yang menghasilkan pengetahuan tersebut.
Menurut Soedjadi dalam Suyitno (2012) nilai-nilai yang terkandung dalam matematika meliputi kesepakatan, kebebasan, konsisten, kesemestaan, dan ketat. Uraian tersebut menunjukkan bahwa matematika juga mengandung nilai taat azas atau taat hukum, kejujuran, dan keterbukaan (Suyitno, 2012).
Menurut Seah dan Bishop dalam Suyitno (2012) pendidikan matematika memuat nilai accuracy, clarity, conjecturing, creativity, consistency, effective, organization, efficient working, enjoiment, flexibility, open mindedness, presistensce, dan sistematic working. Penginitegrasian nilai budaya bangsa dalam pembelajaran juga tigak terlepas dari nilai pendidikan matematika itu sendiri. Sehingga guru dan peserta didik dapat memahami keterkaitan kedua ranah nilai tersebut. Nilai budaya yang tepat dapat dikembangkan sesuai nilai matematika dan pendidikan matematika.
Pembelajaran matematika tidak dapat terlepas dari matematika itu sendiri. Oleh karena itu, untuk mengintegrasikan nilai-nilai budaya bangsa dalam pembelajaran matematika akan lebih baik jika terlebih dahulu memahami karakteristik dari matematika. Karakteristik matematika yaitu abstract, general, objective, formal, rational, theoretical, and is closely related to justification (Ernest dalam Suyitno, 2011). Hal yang relevan mengenai karakteristik
8. matematika yang dijelaskan Wittgenstein sebagaimana yang dikutip oleh Suyitno (2011) yaitu mathematics has abstract objects, deductive axiomatic structure, self evident epistemological concept, artificial, inabsolute truth, non empirical, advantage as the source of thinking, and advantage as a deductive tool.
2. Integrasi Nilai-nilai Budaya Bangsa dalam Pembelajaran Matematika
a. Pembelajaran Matematika dan Kaitannya dengan Budaya Bangsa
D’Ambrosio (2006) menjelaskan banyak jalan untuk memperoleh pengetahuan, dengan cara membandingkan, mengklasifikasikan, mengukur, menjelaskan, menggeneralisasikan, membuat inferensi dan mengevaluasi. Hal ini juga dilakukan dalam mempelajari matematika. Demikian halnya dengan kehidupan sehari-hari yang merupakan uasaha dari membandingkan, mengklasifikasikan, mengukur, menjelaskan, menggeneralisasikan, membuat inferensi dan mengevaluasi praktek budaya dan kehidupan. Jelaslah matematika secara kontekstual juga memberikan respon terhadap budaya dan kehidupan sosial. Manusia menggunakan matematika dan intelektualnya berdasarkan budayanya.
Menurut D’Ambrosio (2004) matematika dapat disintesis sebagai suatu historiografi (yang mencakup bentuk matematika yang dilakukan oleh nonmathematicians, yaitu, oleh masyarakat umum), ditambah dinamika Budaya yang Encounters, sepanjang sejarah. Masalah utama orang di seluruh dunia adalah saat ini:
1) keamanan nasional, keamanan individu,
2) pemerintah/politik,
3) ekonomi: dampak sosial dan lingkungan,
4) hubungan antar bangsa,
5) hubungan antara kelas-kelas sosial,
6) kesejahteraan rakyat,
7) kesehatan tubuh dan pikiran,
8) pelestarian sumber daya alam dan budaya.
Keprihatinan ini mempengaruhi secara mendalam, pendidikan matematika. Bahkan, matematika, matematikawan dan pendidik matematika sangat terlibat
9. dengan semua masalah ini. Memang, isu-isu ini intrinsik. Kita harus mempertimbangkan nilai-nilai budaya dalam matematika dalam konteks kerangka sosial budaya di seluruh jenjang pendidikan. McConatha dan Schnell (1995) dalam (Bishop, 2001) menjelaskan budaya telah didefinisikan sebagai suatu sistem terorganisir nilai yang ditularkan kepada anggotanya baik secara formal maupun informal. Pembelajaran matematika sebagai induksi budaya telah dan terus diteliti selama dua puluh tahun terakhir. Penelitian ini jelas menunjukkan bahwa nilai-nilai budaya merupakan bagian integral dari setiap pengajaran matematika (Bishop, 2001).
D'Ambrosio, (1995) (dalam Bonotto, How To Innovate Mathematics Teaching Taking Social and Cultural Changes Into Account) menyatakan bahwa kognitif peserta didik, kemampuan belajar dan sikap terhadap pembelajaran dapat ditingkatkan dengan menjaga belajar suasana yang berkaitan dengan latar belakang budaya. Hal ini diupayakan dengan baik sehingga anak-anak dan orang dewasa melakukan "matematika" di luar lingkungan sekolah mereka, menghitung, mengukur, memecahkan masalah dan membuat kesimpulan, menggambar menggunakan seni atau teknik, memahami, mengatasi lingkungan mereka dengan demikian mereka telah belajar dalam pengaturan budaya mereka.
Rosa dan Orey (2006) menjelaskan matematika untuk waktu yang lama telah dianggap sebagai suatu disiplin ilmu yang netral dan bebas budaya. Ini selalu diajarkan di sekolah sebagai subjek non-budaya yang melibatkan pembelajaran matematika, seharusnya pembelajaran itu diterima secara universal melalui fakta, konsep, dan isinya. Ini berarti bahwa matematika terdiri dari tubuh pengetahuan tentang fakta, algoritma, aksioma, dan teorema. Dalam hal ini, Rosa dan Orey (2006) berpendapat bahwa program pembelajaran matematika berbasis budaya harus dikembangkan untuk menghadapi ke-tabuan bahwa matematika adalah bidang studi yang universal dan berakulturasi.
Kaum ‘social constructivis’ memandang bahwa matematika merupakan karya cipta manusia melalui kurun waktu tertentu. Semua perbedaan pengetahuan yang dihasilkan merupakan kreativitas manusia yang saling terkait dengan hakekat dan sejarahnya. Akibatnya, matematika dipandang sebagai suatu ilmu
10. pengetahuan yang terikat dengan budaya dan nilai penciptanya dalam konteks budayanya. Pengetahuan matematika sarat dengan nilai-nilai kemanusiaan dan budaya (Ernest, 1998). Tesis konstruktivis sosial adalah bahwa matematika merupakan konstruksi sosial, sebuah produk budaya, bisa salah seperti cabang pengetahuan lainnya. Pandangan ini memerlukan dua klaim. Pertama-tama, asal- usul matematika adalah sosial atau budaya. Kedua, pembenaran pengetahuan matematika bertumpu pada kuasi-empiris dasarnya.
Kaum humanis menggambarkan kelas yang terdidik dan berbudaya, adalah kelas yang menghasilkan manusia berpendidikan, manusia yang berbudaya, dan manusia yang berpendidikan dan berkebudayaan. Dengan demikian tujuan pendidikan mereka adalah 'pendidikan liberal', yaitu transmisi warisan budaya, terdiri dari ilmu pengetahuan dan beberapa bentuk kebudayaan tradisional (Ernest, 1991). Sebuah perspektif relasional pada isu-isu keragaman budaya dan ekuitas yang berada dalam pembelajaran matematika. "Belajar dalam Konteks" yang terkait, dalam hal memungkinkan perpaduan pembelajaran matematika dan budaya (Schoenfeld, 2005). Menurut Schoenfeld (2005) “dunia budaya matematika” akan mendorong peserta didik untuk berpikir tentang matematika sebagai bagian integral dari kehidupan sehari-hari, meningkatkan kemampuan peserta didik dalam membuat atau melakukan keterkaitan antar konsep matematika dalam konteks berbeda, dan membangun pengertian di lingkungan peserta didik melalui pemecahan masalah matematika baik secara mandiri ataupun bersama-sama.
Ada tradisi pendidikan matematika yang kritis (Ernest 1991) dengan dua set pemikiran utama yang mendasarinya. Pertama, pada sifat matematika itu sendiri. Apakah alam kepastian matematika hanya terdiri dari objektivitas dan bebas nilai pengetahuan? Atau ada cara lain dari membuat konsep matematika dengan cara yang lebih manusiawi, berbudaya dan bersejarah? Kedua, adalah pertanyaan tentang maksud dan tujuan belajar mengajar matematika. Apa dan seperti apa yang seharusnya dari tujuan-tujuan pembelajaran matematika? Tujuannya apa? Untuk siapa? Berdasarkan nilai-nilai apa? Bagaimana seharusnya belajar matematika dapat memberdayakan peserta didik dalam kehidupan mereka
11. dan dalam kaitannya dengan masyarakat? Bisakah memberikan penguatan kewarganegaraan yang kritis melalui matematika dan memajukan keadilan bagi semua masyarakat? Dari perspektif ini peserta didik harus mampu berpikir matematis, dan dapat menggunakan pengetahuan matematika dan keterampilan dalam hidup mereka untuk memberdayakan diri sendiri baik secara pribadi maupun sebagai warga negara, dan melalui mereka diperluas perspektif, untuk menghargai peran matematika dalam sejarah, budaya, dan dunia kontemporer.
Kemungkinan baru yang ditawarkan teknik visual yang baru telah membuka cakrawala baru kepada matematikawan dan telah melebar mencakup ide kebudayaan. Peran penting di dalamnya yang didedikasikan untuk aspek visual matematika kontemporer, termasuk mungkin hubungan daya tarik artistik kebudayaan. Frege (dalam Wilensky, 1993) menjelaskan bahwa matematika awalnya lebih menekankan pada konteks kebenaran dan bukan konteks discovery (penemuan), tetapi melalui komputerisasi konteks kebenaran itu lebih mengarah pada penemuan. Perpaduan antara pembelajaran penemuan dan komputerisasi akan membawa transformasi pembelajaran matematika menyatu dengan budaya. Hal tersebut memang benar, pembelajaran matematika berbasis penemuan dan komputerisasi akan membawa pebelajar lebih mengetahui koneksi antara matematika dan kebudayaan. Sebagai contoh, melalui perpaduan teknologi komputer berbasis software matematika dan ilmu trigonometri telah memberikan khasanah baru dalam kebudayaan batik Indonesia. Membatik kini dapat dilakukan dengan perpaduan tersebut. Walaupun pada level yang cukup rumit.
Barta (1995) menyatakan, jika dipikir-pikir secara tradisional, matematika dan budaya tidak ada hubungannya satu sama lain, meskipun tidak benar. Anak- anak jarang diceritakan tentang pengalaman beberapa matematikawan Yunani kuno, seperti Pythagoras dan Thales, bagaimana pengalaman belajar mereka untuk mendapatkan banyak pengetahuan matematika. Peserta didik hanya tahu sedikit aplikasi matematika dalam kebudayaan. Mereka tidak mengerti karena tidak diajarkan bahwa banyak kebudayaan telah memberikan kontribusi pada pengembangan matematika, yaitu budaya yang dikembangkan oleh kelompok masyarakat yang cerdas, banyak akal, dan kreatif. Matematika dapat dikatakan
12. sebagai kompilasi dari penemuan progresif dan penemuan dari budaya di seluruh dunia disepanjang sejarah.
Menurut Sam dan Ernest (dalam Suyitno, 2012) pendidikan matematika memuat nilai yang dapat dikelompokkan atas tiga kategori, yaitu nilai epistemologis, nilai sosial budaya, dan nilai personal. Nilai epitemologis adalah nilai yang termuat bersama ujian dan tugas-tugas, karakteristik matematika, aspek proses belajar mengajar matematika (ketelitian, rasional, sistematis, logis, kritis). Nilai sosial budaya adalah nilai yang mendukung masyarakat dan yang sangat memperhatikan tugas individual kepada masyarakat yang dikaitkan dengan pendidikan matematika. Nilai personal adalah nilai sikap individu sebagai pembelajar dan pribadi seperti keyakinan diri, kesabaran, dan kreatifitas (Suyitno, 2012).
b. Integrasi Nilai Budaya Bangsa dalam Tujuan Pembelajaran Matematika
Bishop (1993) menjelaskan pengaruh utama pada peserta didik matematika akan datang melalui empat pilar berikut- kurikulum pelajaran matematika, pola penilaian hasil belajar, peran guru guru dan metode pengajarannya, dan materi pembelajaran yang dikaitkan sumber daya yang tersedia. Tidak ada alasan a priori sama sekali mengapa kurikulum matematika harus sama di semua negara. Pembelajaran matematika di sekolah dapat dipertimbangkan dalam cara yang mirip dengan bidang seni, sejarah, dan agama, di mana tidak ada keharusan untuk kurikulum harus sama dalam masyarakat yang berbeda. Demikan halnya di Indonesia sekolah sebagai pusat pengembangan budaya tidak terlepas dari nilai- nilai budaya yang dianut oleh suatu bangsa. Bangsa Indonesia memiliki nilai-nilai budaya yang bersumber dari Pancasila, sebagai falsafah hidup berbangsa dan bernegara, yang mencakup religius, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan. Nilai-nilai ini dijadikan dasar filosofis dalam pengembangan kurikulum sekolah (Kemendiknas: Badan Penelitian dan Pengembangan Pusat Kurikulum, 2010).
Tujuan pembelajaran matematika di sekolah dalam PPPPTK Matematika Kemendikbud (2011): matematika diajarkan di sekolah membawa misi yang
13. sangat penting, yaitu mendukung ketercapaian tujuan pendidikan nasional. Secara umum tujuan pendidikan matematika di sekolah dapat digolongkan menjadi :
1. Tujuan yang bersifat formal, menekankan kepada menata penalaran dan membentuk kepribadian peserta didik
2. Tujuan yang bersifat material menekankan kepada kemampuan memecahkan masalah dan menerapkan matematika.
Secara lebih terinci, tujuan pembelajaran matematika dipaparkan pada buku standar kompetensi mata pelajaran matematika sebagai berikut:
1. Melatih cara berpikir dan bernalar dalam menarik kesimpulan, misalnya melalui kegiatan penyelidikan, eksplorasi, eksperimen, menunjukkan kesamaan, perbedaan, konsistensi dan inkonsistensi.
2. Mengembangkan aktivitas kreatif yang melibatkan imajinasi, intuisi, dan penemuan dengan mengembangkan pemikiran divergen, orisinil, rasa ingin tahu, membuat prediksi dan dugaan, serta mencoba-coba.
3. Mengembangkan kemampuan memecahkan masalah.
4. Mengembangkan kemampuan menyampaikan informasi atau mengkomunikasikan gagasan antara lain melalui pembicaraan lisan, grafik, peta, diagram, dalam menjelaskan gagasan.
Tujuan pembelajaran tersebut secara umum sejalan dengan pendapat Bishop (2001) dalam kaitannya dengan budaya perilaku manusia yaitu manusia di manapun dan sepanjang waktu telah menggunakan matematika. Biasanya, matematika dapat diamati dalam enam perilaku universal berikut: menghitung, mengukur, menemukan, merancang, menjelaskan, dan bermain. Perilaku ini mencerminkan budaya orang-orang yang melakukan hal tersebut dan mau tidak mau dipengaruhi oleh nilai-nilai yang dipegang oleh budaya itu. Sayangnya, sedikit yang diketahui atau yang telah disampaikan tentang nilai-nilai budaya oleh para guru matematika (Bishop, 2001). Nilai-nilai budaya dapat diintegrasikan melalui tujuan pembelajaran tersebut. Dari tujuan itu ada nilai-nilai budaya yang diharapkan dapat dicapai oleh peserta didik dalam pembelajaran matematika, melalui kegiatan eksplorasi, kreatifitas, memecahkan masalah, dan menyampaikan gagasan dalam pembelajaran matematika, nilai yang dapat dikembangkan seperti
14. toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, demokratis, semangat Kebangsaan, cinta tanah air, tertib, setia kawan, harmoni, rukun, harga diri, tenggang rasa, ramah tamah, ikhtiar, kompetitif, kebersamaan, dan kreatif.
Pendidikan nasional antara lain bertujuan mewujudkan learning society dimana setiap anggota masyarakat berhak mendapatkan pendidikan (education for all) dan menjadi pembelajar seumur hidup (longlife education). Empat pilar pendidikan dari UNESCO dalam (Badan Penelitian dan Pengembangan Pusat Kurikulum, 2007): yaitu learning to know, learning to do, learning to live together, dan learning to be.
Impelementasi dalam pembelajaran matematika terlihat dalam pembelajaran dan penilaian yang sifatnya learning to know (fakta, skills, konsep, dan prinsip), learning to do (doing mathematics), learning to be (enjoy mathematics), dan learning to live together (cooperative learning in mathematics). Mempelajari kecenderungan pembelajaran matematika saat ini, penerapan keempat pilar UNESCO, serta pentingnya penguasaan kompetensi matematika untuk kehidupan peserta didik, juga telah dikeluarkan Standar Kompetensi Lulusan (SKL) oleh Pemerintah melalui Permen 23 Tahun 2006 dalam (Badan Penelitian dan Pengembangan Pusat Kurikulum, 2007). Adapun SKL untuk mata pelajaran matematika adalah:
1. Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antarkonsep dan mengaplikasikan konsep atau algoritma, secara luwes, akurat, efisien, dan tepat, dalam pemecahan masalah.
2. Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika.
3. Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan solusi yang diperoleh.
4. Mengomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah.
15. 5. Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah.
Konsep modern budaya telah memperoleh pengertian lebih umum, yaitu bahwa hal itu tidak hanya mengacu pada pengertian makro-dari berbagai peradaban manusia seperti tradisi budaya yang unik di berbagai daerah, negara dan ras, tetapi juga mengacu pada karakteristik khusus "gaya hidup" dan "cara kerja" dalam berbagai komunitas. Pemahaman semacam ini, kita harus dengan jelas menegaskan bahwa fakta yang berbeda dari budaya kelompok, seperti kelompok orang dewasa memiliki budaya yang berbeda atau bahkan anak-anak pada usia yang berbeda juga memiliki budaya sendiri-sendiri, sehingga semua bisa mengembangkan bentuk-bentuk khusus matematika dari budaya mereka sendiri.
Mengintegrasikan materi dari budaya yang berbeda ke dalam kurikulum, dan kemudian membuat evaluasi yang benar dari semua peserta didik dengan latar belakang budaya yang berbeda, serta meningkatkan kepercayaan diri setiap orang dan belajar untuk menghormati semua kelompok etnis dan budaya, akan sangat membantu peserta didik beradaptasi dengan lingkungan multiculture. Ini jelas rasional untuk menyusun kurikulum matematika dengan mengiintegrasikan nilai matematika yang melekat dalam budaya masyarakat (Zang et al, 2010). SKL mata pelajaran matematika merupakan kerangka acuan penyusunan evaluasi hasil belajar matematika, maka sudah seharusnyalah bentuk evaluasi hasil belajar matematika yang mendasar pada SKL itu harus disesuaikan dengan karakteristik budaya setempat dengan menempatkan atau mengintegrasi persoalan matematika yang berkaitan dengan budaya masyarakat untuk lebih memantapkan pemahaman peserta didik tentang kaitan nilai budaya dan materi pembelajaran matematika secara kontekstual (Badan Penelitian dan Pengembangan Pusat Kurikulum, 2007).
Dalam evaluasi hasil belajar, peserta didik pun dapat mengembangkan nilai budaya jujur, mandiri, bertanggung jawab yang dapat tercermin dari penanaman sikap untuk tidak mencontek. Dengan evaluasi yang mengembangkan budaya bangsa, peserta didik dapat mengetahui kegunaan matematika dalam
16. pengembangan hasil budaya. Soal-soal yang diajukan mengacu pada tahapan Taksonomi Bloom-Revisi, pada tahap mengaplikasikan peserta didik diberi soal penerapan materi pembelajaran pada salah satu hasil budaya bangsa, seperti soal terapan keliling lingkaran dalam pembuatan Kalosara dari bahan rotan (budaya Tolaki, Sulawesi Tenggara), melalui evaluasi semacam ini akan menumbuhkan nilai cinta tanah air dan semangat kebangsaan peserta didik.
c. Integrasi Nilai Budaya Bangsa dalam Pembelajaran Matematika Proses pembelajaran matematika mengikuti paradigma konstruktivisme sosial. Salah satu implikasi pedagogis sosial konstruktivisme adalah proses belajar harus secara eksplisit memasukkan nilai-nilai yang terkait dengan matematika dan penerapannya di masyarakat atau sosial, sementara itu, peserta didik harus menghormati pesan sosial dalam kurikulum matematika dan harus memiliki keyakinan, pengetahuan, dan keterampilan yang harus dipahami oleh komunitas pengguna matematika (Suyitno, 2011).
Konstruktivisme sosial mengidentifikasi matematika sebagai lembaga sosial, akibat masalah manusia dan pemecahannya. Matematika mungkin unik di tempat pusat permasalahan, yang belum terpecahkan, tetapi menarik untuk ribuan tahun kemudian mungkin akan terpecahkan. Seringkali teknik tertentu dirancang untuk memecahkan manusia yang mewakili kemajuan besar dalam matematika. Jadi masalah ini juga berfungsi sebagai titik pertumbuhan untuk matematika (Ernest, 1991). Mengingat bahwa sebagian besar dari matematika adalah masalah manusia dan usaha pemecahannya, maka matematika adalah suatu kegiatan yang dapat diakses oleh semua orang, dengan konsekuensi penting yang mengikuti perkembangan pendidikan. Ini suatu konsekuensi, yang juga tergantung pada nilai-nilai dan prinsip-prinsip yang ditetapkan, meliputi:
1) Matematika di sekolah: harus terpusat pada kepedulian manusia pada pemecahan masalah matematika dalam kehidupan.
2) Penemuan dan penyelidikan harus menempati tempat sentral dalam kurikulum matematika.
17. 3) Fakta bahwa matematika adalah konstruksi manusia bisa keliru dan harus berubah secara eksplisit dan diwujudkan dalam kurikulum matematika sekolahan.
4) Pedagogi yang digunakan harus proses penyelidikan yang terfokus.
Broomes dan Kuperus (1983) menjelaskan pendekatan pembelajaran matematika yang terintegrasi nilai budaya yakni pembelajaran yang mengembangkan kegiatan berikut:
a) membawa kurikulum matematika lebih dekat dengan aktivitas kehidupan masyarakat dan dengan kebutuhan dan aspirasi individu;
b) mengintegrasikan lembaga pendidikan, secara vertikal dan horizontal, ke masyarakat sehingga output dari lembaga pendidikan tersebut lebih disesuaikan dengan pola hidup dan pola kerja masyarakat setempat;
c) mendistribusikan pola pengajaran dalam ruang, waktu, dan bentuk dengan pengalaman yang ditemukan di masyarakat dan dalam kehidupan sehari-hari;
d) memperluas kurikulum sekolah sehingga mencakup, pengetahuan sosial ekonomi, teknis dan keterampilan.
Dalam menerapkan strategi ini, menurut Broomes (1981) guru harus menimbulkan masalah kepada peserta didik dan masalah ini harus:
a) penuh dengan pengalaman budaya pelajar;
b) tidak semata-mata bersifat praktis;
c) menggambarkan terapan matematika yang digunakan;
d) lebih efisien jika masalah tersebut diselesaikan dengan cara matematis;
e) tidak membuat tuntutan matematik yang berlebihan (dalam hal tingkat kecanggihan matematika);
f) menyediakan ruang yang luas untuk kegiatan kerjasama antar peserta didik pada berbagai tingkat kompetensi matematika.
Pembelajaran Geometri dapat mengembangkan nilai budaya cinta tanah air dan semangat kebangsaan, peserta didik diperkenalkan berbagai produk budaya warisan leluhur kita menampakkan kreativitas seni yang mengandung unsur matematika. Contohnya pada motif batik yang mengandung bentukan geometri
18. dua dimensi, ornamen ukiran maupun bentuk arsitektur pada rumah adat yang
mengandung bentukan geometri tiga dimensi.
Berpikir kreatif matematis yang terintegrasi dengan budaya juga dapat
muncul pada perilaku yang ekonomis. Konsep hitung matematika melalui
program linier untuk menentukan titik kritis sekaligus sebagai pertemuan
beberapa variabel dapat menjadi solusi ketika banyak kebutuhan yang harus
dipenuhi tetapi dana terbatas. Perhitungan matematika disini menjadi alternatif
pemecahan masalah. Manusia muncul kreativitasnya untuk memenuhi kebutuhan
dengan dana yang terbatas.
Pada pembelajaran Permutasi dapat dikembangkan budaya tertib.
Berdasarkan sifat permutasi yang memperhatikan urutan yakni AB BA, urutan
berbeda dianggap berbeda. Peserta didik diberi pemahaman melalui contoh
budaya antri diloket apotek, bahwa urutan antrian mempengaruhi proses
pelayanan. Jika seseorang berada di nomor antrian tiga, akan lain ceritanya dan
dapat mengganggu antrian lain jika orang tersebut ingin didahulukan. Urutan antri
yang berbeda menimbulkan pola pelayanan yang berbeda pula.
Permainan tradisional anak-anak juga dapat menjadi media pembelajaran
penyalur nilai budaya, mengingat semakin majunya dunia teknologi yang
menyebabkan kecenderungan anak untuk bermain dengan permaian yang lebih
modern dan melupakan permainan tradisional yang tak kalah menariknya. Dalam
pembelajaran materi Penjumlahan dan Pengurangan Bilangan Bulat dapat
diajarkan dengan media Dakon yang dimodifikasi (Legowo, 2006), sebagai
contoh -6 + 9, media Dakon yang digunakan seperti gambar berikut:
Melalui pembelajaran dengan media Dakon yang dimodifikasi dapat
menumbuhkan nilai budaya tradisional, cinta tanah air melalui permainan budaya
lokal.
19. Pembelajaran Contextual Teaching Learning (CTL) merupakan pola pendekatan pembelajaran yang dapat mengintegrasikan nilai-nilai budaya dalam prosesnya. Dalam Basic Skills as a Foundation for Student Success in the California Community Colleges (dalam Baker et al, 2009), mendefinisikan CTL sebagai strategi yang menjanjikan yang secara aktif melibatkan para siswa dan pengembangan keterampilan sebagai hasil pembelajaran dalam kehidupan sehari- hari. United States Department of Education Office of Vocational and Adult Education (2001) (dalam Baker et al, 2009) menyatakan bahwa CTL sebagai "konsepsi pengajaran dan pembelajaran yang membantu guru menghubungkan isi mata pelajaran dengan situasi dunia nyata". Menggarisbawahi pentingnya CTL, pendidik mengembangkan pembelajaran berdasarkan materi yang berkaitan pada sumber daya masyarakat dan dari pengalaman siswa di diterapkan dalam kehidupan sosial budaya masyarakat. Pengetahuan menjadi tidak terbatas pada apa yang siswa pelajari pada materi tertentu saja, tetapi juga orientasi budaya dan pandangan pribadi dari diri mereka sendiri dan dunia. Johnson dalam Supinah (2008) menjelaskan CTL merupakan suatu proses pengajaran yang bertujuan untuk membantu siswa memahami materi pelajaran yang sedang mereka pelajari dengan menghubungkan pokok materi pelajaran dengan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari.
Pendekatan CTL ini tentunya dapat diterapkan dalam pembelajaran matematika. Misalnya dalam pembelajaran Sistem Persamaan Linear Dua Variabel (SPLDV), guru dapat mengaitkan dengan persoalan sehari-hari yang sering dihadapi oleh peserta didik seperti diketahui harga 2 buku tulis dan 3 bolpoin adalah Rp 5.200,00, sedangkan harga 4 buku tulis dan dua bolpoin adalah Rp 6.800,00. Tentukan harga sebuah buku tulis dan harga sebuah bolpoin! Permasalahan tersebut akan membawa peserta didik dalam situasi nyata budaya sosial ekonomi masyarakat. Secara implisit melalui pembelajaran itu siswa diajarkan budaya jujur dalam transaksi jual beli dan rasa keadilan melalui proses penyelesaian SPLDV dengan metode eliminasi/subtitusi.
Beberapa permainan tradisional anak-anak (dakon, jamuran, cublak-cublak suweng, dll) juga mengandung muatan konsep himpunan, himpunan bagian. Guru
20. juga dapat mengajarkan konsep relasi dan fungsi. Konsep budaya pembagian warisan juga merupakan unsur pembelajaran pecahan. Dalam hal ini, pemanfaatan budaya lokal dalam pembelajaran matematika merupakan salah satu bentuk perancangan pembelajaran yang kreatif untuk menghasilkan pembelajaran yang bermakna secara kontekstual (Kusmaryono, 2012).
Nilai budaya juga dapat diintegrasikan melalui penjelasan sejarah singkat tentang suatu materi pembelajaran matematika, seperti metode logaritma pertama kali dipublikasikan oleh matematikawan Scotlandia, yaitu John Napier pada 1614 dalam bukunya yang berjudul Mirifici Logarithmorum Canonis Descriptio. Metode ini memberikan kontribusi yang besar untuk kemajuan ilmu pengetahuan, salah satunya pada bidang astronomi dengan menjadikan perhitungan rumit menjadi mudah. Selain nilai karakter yang diharapkan, yakni: kreatif, rasa ingin tahu, dan menghargai prestasi, secara implisit juga menunjukkan kepada siswa betapa budaya matematika terus tumbuh dan berkembang dari waktu lampau hingga saat ini. Budaya matematikawan terdahulu yang menemukan konsep- konsep matematika sebagai suatu hasil kebudayaan.
Contoh unik dari seorang guru matematika pada acara Hitam Putih Trans 7. Pak Juli Eko Sarwono, seorang guru matematika dari SMP Negeri 19 Purworejo. Beliau benar-benar Guru. Sosok guru yang jumlahnya hanya sedikit di negeri ini. Beliau adalah seorang guru matematika unik yang menerapkan model pembelajaran kontekstual di tiap kegiatan pembelajaran yang dilakukannya. Ia menggunakan ‘boneka jelangkung’ untuk mengajarkan materi gradien garis lurus, menngunakan lidi sebagai alat belajar segitiga, menggunakan 'empeng' bayi untuk mengingatkan siswa pada lingkaran, menggunakan kaleng minuman bekas untuk menentukan volume tabung, menggunakan topi caping sebagai media belajar kerucut. Bahkan, guru yang hanya lulusan Pendidikan Guru Sekolah Lanjutan Pertama (PGSLP) tahun 1986 itu mengaku kerap memasukkan sepeda motornya ke dalam kelas sebagai media belajar siswa. Sepeda motor itu, ia jadikan contoh ketika Juli mengajarkan tentang lingkaran dan benda tabung. “Mereka praktik sendiri, mengukur sepeda motor saya, dan akhirnya menerapkan rumus matematika untuk menghitung,” ucapnya. Mengajar dengan cara seperti Pak Eko
21. bukan tanpa tantangan. Saat mengawali metode itu beberapa tahun silam, rekan sekerja melayangkan protes. Setiap kali usai mengajarkan matematika, ia meminta murid menempelkan hasil perhitungan berbagai rumus di tembok kelas. Selain itu, alat peraga juga dianggap bikin sumpek dan mengotori ruang kelas. Ia juga pernah dianggap sebagai guru ‘edan’ lantaran cara mengajar yang dinilai aneh. Di sekolah tempat pak Eko bertugas nilai siswa dalam mata pelajaran menjadi baik setelah diterapkan model itu. Respon siswapun akhirnya positif pada pembelajaran yang dilakukan1. Contoh tersebut jelas merupakan contoh pengintegrasian nilai budaya dalam pembelajaran matematika melalui benda- benda kontekstual dan tradisional.
Pengembangan kreativitas peserta didik yang dilakukan melalui integrasi matematika dan budaya bermakna pendidikan untuk menumbuhkan kemampuan peserta didik mengembangkan warisan budaya unggul sesuai konteks masa kini menggunakan basis keterampilan berpikir kreatif matematis. Berpikir kreatif yang dikembangkan melalui integrasi matematika dan budaya bercirikan logis, rasional, imajinatif yang disertai dengan rasa estetika.
C. Simpulan
Dari uraian pembahasan maka dapat disimpulkan:
1. Nilai-nilai budaya bangsa tidak lepas dari nilai karakter bangsa. Nilai-nilai budaya bangsa yang dikembangkan antaralain: (1) Religius, (2) Jujur, (3) Toleransi, (4) Disiplin, (5) Kerja keras, (6) Kreatif, (7) Mandiri, (8) Demokratis, (9) Rasa Ingin Tahu, (10) Semangat Kebangsaan, (11) Cinta Tanah Air, (12) Menghargai Prestasi, (13) Bersahabat/Komunikatif, (14) Cinta Damai, (15) Gemar Membaca, (16) Peduli Lingkungan, (17) Peduli Sosial, & (18) Tanggung Jawab. Selain itu nilai-nilai budaya bangsa juga meliputi taqwa, iman, kebenaran, tertib, setia kawan, harmoni, rukun, disiplin, harga diri, tenggang rasa, ramah tamah, ikhtiar, kompetitif, kebersamaan, dan
1 Perbicangan Juli Eko Sarwono dan Deddy Corbuzier pada Acara Hitam-Putih, Trans7: Rabu, 29 Februari 2012
22. kreatif. Selain nilai-nilai tersebut integrasi nilai budaya bangsa juga melalui pengenalan benda-benda bersejarah dan tradisional yang terkait dengan pembelajaran matematika.
2. Integrasi nilai budaya bangsa dalam pembelajaran matematika perlu didasari pemahaman tentang nilai budaya bangsa, nilai matematika, pembelajaran matematika, kaitan matematika dan kebudayaan. Proses pengintegrasian itu tentunya dimulai dari tujuan pembelajaran matematika yang tercantung dalam kurikulum pendidikan nasional, sehingga ditiap jenjang pendidikan nilai-nilai budaya bangsa itu dapat terintegrasi dengan baik. Perlu kinerja guru secara kreatif dalam mengembangkan proses pembelajaran matematika dengan berbagai upaya pendekatan, model, dan metode sehingga nilai-nilai budaya bangsa dapat diterima oleh siswa selain materi pembelajarannya.
Referensi:
Badan Penelitian dan Pengembangan Pusat Kurikulum. 2007. Kajian Kebijakan Kurikulum Mata Pelajaran Matematika. Jakarta: Kementerian Pendidikan Nasional.
Badan Penelitian dan Pengembangan Pusat Kurikulum. 2010. Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa. Jakarta: Kementerian Pendidikan Nasional.
Baker, E. et al. 2009. Contextualized Teaching & Learning: A Faculty Primer. California: Spring.
Barta, J. 1995. Reconnecting Math and Culture in the Classroom: Ethnomathematics. Mathematics in School, Vol. 24, No. 2.
Bishop. 1993. Influences From Society. Significant Influences On Children's Learning Of Mathematics. Science and Technology Education Document Series (Ed. Bishop, Kathleen Hart). Paris: UNESCO.
Bishop. 2001. What Values Do You Teach When You Teach Mathematics? Teaching Children Mathematics (Ed. Anne Reynolds dan Jim Dorward). Australian Research Council and Jointly Conducted by Monash University.
23. Bishop. 2008. Values in Mathematics and Science Education: Similarities and Differences. The Montana Mathematics Enthusiast, Vol. 5 No.1. The Montana Council of Teachers of Mathematics & Information Age Publishing.
Bonotto. How To Innovate Mathematics Teaching Taking Social and Cultural Changes Into Account. Italy: Department of Mathematics University of Padova.
Broomes, D. 1981. Goals Of Mathematics For Rural Development. Studies In Mathematics Education Vol. 2 (Ed. Robert Morris). Paris: UNESCO.
Broomes, D. & Kuperus, P.K. 1983. Problems Of Defining The Mathematics Curriculum In Rural Communities. Proceedings Of Fourth International Congress On Mathematical Education (Ed. M.Zweng, T.Green, J.Kilpatrick, H.Pollak & M.Suydam). Boston: Birkhauser.
D’Ambrosio. 2004. Ethnomathematics. Ethnomathematics and Mathematics Education (Ed. Franco Favilli, 2004). Pisa: Tipografia Editrice Pisana Copenhagen.
D’Ambrosio. 2006. Ethnomathematics: Link Between Traditions and Modernity. Rotterdam: Sense Publisher.
Ernest, P. 1991. The Philosophy of Mathematics Education. London: RoutledgeFalmer.
Ernest, P. 1998. Social Constructivism As A Philosophy Of Mathematics. New York: Suny Press
Ki Hadjar Dewantara. 1961. Ki Hadjar Dewantara Bagian I Pendidikan. (Digital Library Teknologi Pendidikan Unesa, http://blog.tp.ac.id, diunduh 15 November 2012).
Ki Hadjar Dewantara. 1967. Karya Ki Hadjar Dewantara Bagian II Kebudayaan. (Digital Library Teknologi Pendidikan Unesa, http://blog.tp.ac.id, diunduh 15 November 2012).
Koentjaraningrat. 1996. Pengantar Ilmu Antropologi. (http://www.belbuk.com/pengantar-ilmu-antropologi-edisi-revisi-p- 1720.html, diunduh 21 November 2012 )
Kusmaryono, I. 2012. Pengembangan Pembelajaran Matematika Kontekstual Edutainment Berbasis Budaya Lokal Di Daerah Bencana. Makalah Seminar Kemendikbud Dikti 25 s/d 27 September 2012.
24. Legowo, S. 2006. Penggunaan Alat Permaianan Dakon Untuk Meningkatkan Penguasaan Konsep Operasi Penjumlahan dan Pengurangan Bilangan Bulat Di SD Sompok 03 Semarang. Jurnal Widya Tama, Vol 3, No. 1.
Nicol, C. 2010. Investigating Culturally Responsive Mathematics Education. Columbia: University of British Columbia.
PPPPTK Matematika Kemendikbud. 2011. Peran, Fungsi, Tujuan, dan Karakteristik Matematika Sekolah. (http://p4tkmatematika.org, diunduh 16 November 2012).
Rosa, M. & Orey, D. C. 2011. Ethnomathematics: The Cultural Aspects Of Mathematics. Revista Latinoamericana de Etnomatemática, Vol. 4, No. 2.
Schoenfeld, A. 2005. Mathematics Teaching And Learning. California: University of California.
Supinah, dkk. 2008. Pembelajaran Matematika SD dengan Pendekatan Kontekstual dalam Melaksanakan KTSP. Yogyakarta: Departemen Pendidikan Nasional Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan Matematika.
Supinah. 2011. Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa Melalui Pembelajaran Matematika Di SD. Jakarta: Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pendidikan dan Penjaminan Mutu Pendidikan Kementerian Pendidikan Nasional.
Suyitno, H. 2011. Value’s of Mathematics Education and Citizenship Education. This paper has been presented at International Seminar and the Fourth National Conference on Mathematics Education 2011 “Building the Nation Character through Humanistic Mathematics Education”. Department of Mathematics Education, Yogyakarta State University, Yogyakarta, July 21-23 2011.
Suyitno, H. 2012. Nilai-Nilai Pendidikan Matematika bagi Pembentukan Karakter Bangsa. Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional Jurusan Matematika Universitas negeri Semarang pada tanggal 13 Oktober 2012.
Wilensky, J. 1993. Connected Mathematics-Building Concrete Relationship With Mathematical Knowledge. Massachusetts: Massachusetts Institute Of Technology.
25. Zang, W. et al. 2010. Ethnomathematics and Its Integration Within The Mathematics Curriculum. International Journal of Mathematics Education. Vol. 3, No. 1.