Tugas 1 ABK di SD prodi pendidikan guru sekolah dasar.docx
Hukum Pajak
1. SISTEM PENETAPAN PAJAK YANG BAIK DEMI
MENINGKATKAN PENDAPATAN KAS NEGARA
DARI SEKTOR PERPAJAKAN
Oleh:
Febri Abdillah. S ( 090710101041)
Andika Swardana ( 090710101147)
Sidarta Prawira. D ( 090710101181)
Rachardy Andriyanto ( 090710101240)
Tigor Indra Herlambang ( 090710101246)
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS JEMBER
2013
1
2. KATA PENGANTAR
Alhamdulillah Hirobbil ‘Alamin, Dengan rahmat Allah Yang Maha Esa akhirnya
kelompok kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “ SISTEM PENETAPAN
PAJAK YANG BAIK DEMI MENINGKATKAN PENDAPATAN KAS NEGARA
DARI SEKTOR PERPAJAKAN ” guna dijadikan sebagai pemenuhan tugas atas mata
kuliah Hukum Pajak.
Untuk itu kelompok kami ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada Dosen pengajar, yaitu Ibu Rini Anggraini S.H, M.H. atas pendidikan yang telah
diberikan sehingga kelompok kami dapat menyelesaikan makalah ini.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para mahasiswa dan para pembaca
sebagai bahan pelengkap yamg komparatif terhadap buku-buku atau makalah-makalah serupa
yang telah ada, serta diharapkan dapat memperluas pemahaman masyarakat tentang pajak dan
sistem penetapan pajak, sehingga dapat membantu menyebarluaskan kesadaran kewajiban
perpajakan terhadap masyarakat.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para mahasiswa dan para pembacanya.
Jember, 26 April 2013
2
3. DAFTAR ISI
JUDUL ……………………………………………………………………………………. i
KATA PENGANTAR ……………………………………………………………………. ii
DAFTAR ISI ……………………………………………………………………………… iii
BAB I PENDAHULUAN ……………………………………………………………….. ..1
1.1 Latar Belakang ……………………………………………………………....... 1
1.2 Permasalahan …………………………………………………………………. 4
1.3 Peraturan Perundang-undangan ………………………………………………. 4
BAB II PEMBAHASAN …………………………………………………………………. 5
2.1 Sistem Penetapan Pajak Yang Baik Dalam Rangka Untuk Meningkatkan
Pemasukan Pajak Ke Dalam Kas Negara…………………………………............... 5
2.2 Alternatif Lain Untuk Model System Penetapan Pajak Yang Dapat Dijadikan
Pilihan Untuk Pemerintah Agar Dapat Mengefektifkan Dan Mengefesienkan
Pemungutan Pajak Dalam Rangka Menambah Pendapatan Kas Negara Dari Sector
Pajak ………………………………………………………………………………..9
BAB III PENUTUP ………………………………………………………………………. 17
3.1 Kesimpulan …………………………………………………………………… 17
3.2 Saran ………………………………………………………………………….. 22
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………………….. 24
3
4. BAB I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia adalah negara yang menjunjung hokum dan mempunyai tujuan besar dalam
hal untuk mensejahterahkan kehidupan rakyatnya. Untuk mencapai tujuan tersebut Indonesia
memerlukan banyak biaya dan pemasukan. Salah satu pemasukan terbesar kas Negara adalah
melalui pajak. Pajak adalah suatu pengalihan sumber-sumber yang wajib dilakukan dari
sektor swasta (dalam arti luas) kepada sector pemerintah (kas Negara) berdasarkan Undang-
undang atau peraturan, sehingga dapat dipaksakan, tanpa ada kontra prestasi yang langsung
dan seimbang yang dapat ditunjukan secara individual, dan hasil penerimaan tersebut
merupakan sumber penerimaan Negara yang akan digunakan untuk pengeluaran pemerintah
baik pengeluaran rutin maupun pengeluaran pembangunan. 1
Indonesia sebagai Negara hokum telah menempatkan landasan pemungutan pajak
dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Yaitu pada Pasal 23
Ayat 2 UUD NRI Tahun 1945 yang menetapkan bahwa “segala pajak untuk keperluan
Negara harus berdasarkan Undang-undang”. Kemudian dari penjelasan pasal per pasal
terlihat bahwa para pendiri negeri ini menyadari sepenuhnya betapa mendasar dan penting
arti peranan pajak untuk kelangsungan hidup Negara. Sehingga asas keadilan dan kepastian
hokum perlu diatur secara jelas dan nyata.
Sejak Indonesia berhenti bekerja sama dengan IMF (Dana Moneter Internasional)
sesuai dengan ketetapan MPR (TAP MPR No. VI/MPR/2002). Oleh karena itu pajak karena
disamping tetap membiayai roda pemerintahan dan pembangunan, juga harus membayar
hutang kepada IMF. Untuk itu, pendapatan dari sector pajak perlu ditingkatkan untuk
menambah kemampuan keuangan Negara, sehingga tingkat kemandirian pembiayaan
1
Muqodim “Perpajakan – Buku Satu” , UII Pres dan Ekonisia, Yogyakarta, 1999, hlm. 2
4
5. pembangunan nasional dapat tercapai secara optimal. Dalam mewujudkan dana secara
nasional, warga Negara berkewajiban melakukan peran serta dalam membiayai negara dan
pembangunan nasional melalui kewajiban membayar pajak sebagai salah satu kewajiban
warga Negara terhadap Negara.2
Sedangkan mekanisme kewajiban membayar pajak di Indonesia diatur melalui system
perpajakan, khususnya dalam system penetapan pajak. System pemungutan atau penetapan
pajak ini diperlukan untuk mengatur atau menetapkan siapa yang akan menghitung dan
menetapkan besaran jumlah pajak terutang. Pada dasarnya terdapat 3 sistem penetapan pajak,
yaitu official assessment system, self assessment system, dan with holding system.
Official assessment system adalah system pemungutan pajak yang menyatakan bahwa
jumlah pajak yang harus dilunasi atau terutang oleh wajib pajak dihitung dan ditetapkan oleh
aparat pajak, pemerintah atau fiskus. Sedang fiskus bersifat aktif, yaitu melakukan
perhitungan jumlah pajak, memberikan ketetapan pajak dan segera memberitahukan
ketetapan tersebut kepada wajib pajak. Dalam system ini utang pajak timbul bila telah ada
ketetapan pajak dari fiskus. Ketetapan pajak tersebut bias bersifat sementara bias juga bersifat
final.
Self assessment system adalah system pemungutan pajak yang menyatakan bahwa
jumlah pajak yang harus dilunasi atau terutang oleh wajib pajak dihitung sendiri oleh wajib
pajak. Dalam self assessment system, wajib pajak harus aktif untuk memenuhi kewajiban
perpajakannya termasuk menghitung, menyetor, dan melaporkan jumlah pajak yang terutang.
Aparat hanya bertugas member penyuluhan, pembinaan, monitoring dan pengawasan seta
bertindak sebagai verifikator. Dalam hal yang terakhir ini aparat pajak meneliti apakah
2
Menurut Pasal 1 Butir 1 UU No. 14 tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, “Pajak adalah semua jenis pajak
yang dipungutt oleh Pemerintahan Pusat, termasuk Bea dan Cukai, dan Pajak yang dipumgut oleh Pemerintah
Daerah, menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”.
5
6. perhitungan dan hal-hal yang telah dilaporkan oleh wajib pajak kepada fiskus tersebut benar
adanya.
With holding system adalah sistem pemungutan pajak yang menyatakan bahwa jumlah
pajak yang terutang dihitung oleh pihak ketiga. Pihak ketiga artinya bukan wajib pajak
danjuga bukan aparat pajak. Contoh pihak ketiga yang menghitung pajak yangterutang
adalah: konsultan pajak, akuntan publik wajib potong,dan wajib pungut.
Self assessment system sebagai system penetapan pajak di Indonesia telah diterapkan
sejak tax reform tahun 1983, sebelunya pernah diberlakukan official assessment system.
Dalam hal menyelenggarakan kedua system penetapan tersebut pemerintah tentunya
mengetahui kelebihan dan kekurangannya.
Oleh karena itu pemerintah harus menentukan system penetapan pajak yang baik yang
dapat menambah penghasilan dalam kas Negara yang dapat digunakan untuk pembiayaan
pembangunan nasional dan juga harus/tidak merugikan dan merepotkan wajib pajak untuk
membayar pajak agar efisien, cepat dan tepat.
Jika memang ada pemikiran untuk mengubah self assessment system, tidak ada
salahnya menambahkan alternative system yang lain agar pilihan terhadap system penetapan
pajak menjadi lebih banyak. Dengan demikian pemerintah dalam melakukan pemilihan tidak
terpaku hanya pada self assessment system dan official assessment system dalam memilih
system penetapan pajak yang baik. Sehingga dapat menunjang kebijakan perpajakan di
Indonesia dan secara realistis dapat meningkatkan pemasukan pajakke kas Negara serta dapat
pula meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
6
7. 1.2 Permasalahan
Dari pemaparan yang telah diterangkan dalam latar belakang diatas dapat dirumuskan
suatu permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimana seharusnya system penetapan pajak yang baik dalam rangka untuk
meningkatkan pemasukan pajak ke dalam kas negara?
2. Apa alternatif lain untuk model system penetapan pajak yang dapat dijadikan pilihan
untuk pemerintah agar dapat mengefektifkan dan mengefesienkan pemungutan pajak
dalam rangka menambah pendapatan kas Negara dari sektor pajak?
1.3 Peraturan perundang-undangan
Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Ketetatapan MPR No. VI/MPR/2002
Undang-undang No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan sebagaimana diubah dengan Undang-undang No. 9 Tahun 1994
(Perubahan Pertama) dan Undang-undang No. 16 Tahun 2000 (Perubahan Kedua).
Undang-undang No. 14 Tahun 2002 tentang Penglolaan Pajak.
7
8. BAB II. PEMBAHASAN
2.1. Sistem Penetapan Pajak Yang Baik Dalam Rangka Untuk Meningkatkan
Pemasukan Pajak Ke Dalam Kas Negara.
Dalam kerangka meningkatkan pemasukan pajak ke kas Negara dan menunjang
peningkatan pertumbuhan perekonomian, maka pemerintah perlu melakukan suatu
perubahan dibidang perpajakan khususnya di dalam system penetapan pajak. Yaitu di
dalam hal kebijakan (peratursn perundsng-undangan perpajakan) semestinya harus
mengatur system perpajakan secara menyeluruh yang sejalan dengan perkembangan
perekonomian saat ini dan di masa yang akan dating. Oleh karena itu pemerintah, dalam
menjalankan fungsi pajak, salah satunya tentu membutuhkan system penetapan pajak
yang efisien, fleksibel,relistis dan integrated dengan system/subsistem secara internal
dan system yang lain secara eksternal (dengan peradilan pajak) dalam menunjang
kebijakan pendapatan Negara (fiscal/policy).
Dalam system perpajakan sevara integralmenyeluruh (integrated-komprehensif),
administrasi pajak (fiskus) harus efisien dalam pelaksanaan peraturan perudang-
undangan perpajakan, yaitu tidak menyulitkan pemerintah dalam melakukan
pemungutan pajak dan bagi wajib pajak (WP)3
terdapat kemudahan dalam melakukan
3
Wajib Pajak menurut Pasal 1 butir 2 UU No. 6 tahun 1983 tentang ketentuan umum dan tata cara perpajakan
(KUP) sebagaimana telah diubah (Perubahan Kedua) dengan UU No. 16 tahun 2000 yang berbunyi “Wajib
Pajakadalah orang atau badan yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan
8
9. kewajibannya. Kemudahan tersebut dikemukakan oleh Fritz Neumark yaitu ease of
administration and compliance yang dibagi menjadi empat persyaratan, sebagai berikut:
a. The requirement of clarity, yaitu dalam proses pemungutan pajak terdapat kejelasan,
antara lain menyangkut kejelasan mengenai subjek, objek, tarif, kapan pajak harus
dibayar, dimana harus dibayar, hak-hak WP, sanksi hokum bagi WP maupun bagi
pejabat pajak (kurif-pen) dan sebagainya.
b. The requirement ofcontinuity, yaitu menyangkut perlunya kesinambungan
kebijaksanaan, karena peraturan perundang-undanagn kemungkinan dapat berubah-
ubah dan bervariasi, tetapi tetap dalam kerangka kebijakkan umum perpajakan.
c. The requirement of economy, yaitu menghendaki organisasi dan administrasi pajak
(fiskus) diadakan seefisien mungkin, karena biayya dan tenaga yang dikoobarkan
untuk pemungutan pajak harus seimbang, dalam hal efisiensi itu bukan hanya dari
segi fiskus, tapi juga dari segi WP.
d. The requirement of convenience, yaitu menghendaki supaya dalam melaksanakan
kewajiban perpajakan WP merasa senang, maksudnya tidak mersa tertekan, merasa
diburu kewajiban membayar pajak atau merasasenang karena tidak dipersulit dalam
memperoleh kembali kelebihan membayar pajak.
Selanjutnya official assessment system yang dalam artiannya adalah pejabat
pajak berkewajiban menetapkan berapa sesungguhnya jumlah pajak terutang yang harus
dibayar WP. Berbeda dengan self assessment system yaitu WP berkewajiban
menghitung,memperhitungkan, membayar dan melaporkan sendiri jumlah pajak yang
terutang. Tapi, kedua system penetapan pajak tersebut dalam praktiknya tetap
ditentukan untuk melakukan kewajiban perpajakan, termasuk pemungutan pajak atau pemotongan pajak
tertentu”.
9
10. memerlukan pengawasan dari pihak pemerintah Dalam bentuk pemeriksaan dengan
maksud menguji kepatuhan para WP dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya.
Dalam official assessment system pemeriksaan pajak dilakukan secara pre audit,
sedangkan self assessment system dilakukan secara post audit. Kecuali itu pemeriksaan
pajak merupakan salah satu sub system dari system pemungutan pajak pada umumnya
dan juga sub system dari pelaksanaan self assessment system atau official assessment
sistem.
Pemerikasan dalam fungsinya merupakan salah satu alat yang diperlukan dalam
melaksanakan manajen perpajakan. Khususnya dalam self assessment ada ketentuan
bahwa pelaporan WP dalam Surat Pemberitahuan Pajak (SPT) harus dianggap benar,
kecuali dapat dibuktikan terjadinya kesalahan (tidak demikian dalam halnya official
assessment system, yaitu benar atau tidak menurut WP berdasarkan laporan SPT dengan
tanpa kecuali harus diperiksa oleh pejabat pajak). Pembuktian itu dilakukan melalui
serangkaian kegiatan penelitian dan pemeriksaan. Selanjutnya, hasil pemeriksaan
ditunjukan untuk menetapkan besarnya jumlah pajak yang terutang bagi WP yang
kebetulan diperiksa, pemeriksaan pada prinsipnya mengumpulkan bahan-bahan untuk
dijadikan dasar menerbitkan Surat Ketetapan dan tujuan lain yang berkaitan denagn
administrasi pajak. Kecuali itu, pemeriksaan bukan suatu aktifitas yang bersifat
incidental, tapi pemeriksaan merupakan suatu kegiatan rutin yang harus dilaksanakan,
hanya pemeriksaan sebaiknya jangan dilakukan secara acak, untuk itu diperlukannya
suatu system.
System merupakan kombinasi atau rangkaian dari bagian-bagian khusus atau
bagian-bagian lain ataupun unsur-unsur dalam suatu keseluruhan yang masing-masing
bekerjasama secara rasional untuk melakukan suatu maksud dan antara bagian-bagian
itu tidak terpisahkan. Dalam suatu system yang baik tidak boleh terjadi suatu
10
11. pertentangan atau bentuean antar bagian yang satu dengan yang lainnya dan juga tidak
boleh terjadi suatu duplikasi atau tumpang tindih (overlapping) diantara bbagian-bagian
itu, sebagai suatu kebulatan maka setiap masalah dappat diselesaikan sendiri.
Setiap penetapan yang menjadi pilihan mestinya dikaitkan dengan pembenahan
aspek-aspek lainnya, baik secara internal maupun secara eksternal.untuk itu, dalam
melakukan pilihan terhadap system penetapan pajak semestinya tidak dilakukan secara
parsial, hanya dibatasi pada system penetapan pajak semata, tetapi pembenahan harus
secara integral-menyeluruh dengan system/subsistem secara internal dan mencakup
bidang di luar system perpajakan (secara eksternal dengan system peradilanpajak).
Dengan demikian, dari segi hokum administrasi Negara (hokum pajak, akan
memungkinkan pemerintah untuk menjalankan fungsinya dan melindungi warga
terhadap sikap tindak administrasi Negara (dalam arti mengatur kehidupan warganya
ketika mengeluarkan keputusan berbentuk ketetapan-ketetapan yang menimbullakan
akibat hokum bagi objek yang diaturnya) serta melindungi pemerintah itu sendiri.
Karena itu system penetapan pajak yang akan menjadi pilihan harus konsisten dan
saling mendukung dengan system perpajakan pada umumnya. System penetapan pajak
(system manapun yang akan dipilih) secara internal sebaiknya disinkronisasikan dengan
system/ subsistem yang lain misalnya:
1. System penggolongan WP, yaitu WP dibagi menjadi dua golongan, terdiri dari WP
pengusaha besar dan WP pengusaha golongan kecil;
2. System pemungutan pajak, yaitu dalam mengatur system memungut pajak harus
sesuai dengan asas dan kaidah-kaidah hokum pajak (hokum positif) yang bersifat
realistic;
11
12. 3. Sub system pemeriksaan, dalam menerapkan pemeriksaan secara kualitas harus dapat
dipertanggungjawabkan.
4. System keberatan (fungsi peradilan yang diselenggarakan oleh pemerintah), pada
prinsipnya setiap keputusan yang memenuhi persyaratan sebagai suatu ketetapan
(beschiking) seharusnya menjadi objek sengketa pajak (tidak ada pengecualian).
Sedangkan secara eksternal, yaitu konsisten dengan system peradilan pajak,
disamping system keberatan (upaya administrasi) yang wewenangnya ada
padapemerintah (eksekutif). Namun, tetap ada korelasinya dengan proses penyelesain
pajak berikutnya, karena pengertian peradilan administrasi dalam arti luas, yaitu
peradilan administrasu murni mencakup upaya administrasi (prosedur keberatan).
Sedangkan Banding wewenangnya ada pada badan peradilan, yaituPengadilan Pajak.
Disamping itu masih ada tahapan proses penyelesaian sengketa pajakditingkat kasasi
yang menjadi wewenang MA (sekarang belum dimungkinkan menurut UU Pengadilan
Pajak). Sebab, MA sebagai pengadilan tertinggi Negara secara universal melakukan
salah satu fungsinya, yaitu mellakukan kntrol terhadap tindakan Administrasi Negara
(dirjen pajak) dalam hal melakukan pemeriksaan penerapan hokum atas setiap
keputusan dalam bentuk surat ketetapan pajak (beschikking) yang dikuatkan oleh
putusan Pengadilan Pajak. Untuk jelasnya dapat dilihat Pasal 3 ayat (1).10 ayat (2), (3),
dan (4), UU No. 14 tahun 1970 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman
sebagaimana diubah oleh UU No. 35 tahun 1999.
2.2. Alternatif Lain Untuk Model System Penetapan Pajak Yang Dapat Dijadikan
Pilihan Untuk Pemerintah Agar Dapat Mengefektifkan Dan Mengefesienkan
12
13. Pemungutan Pajak Dalam Rangka Menambah Pendapatan Kas Negara Dari
Sector Pajak.
Pemerintah dalam menentukan kebijakan system perpajakan yang tepat,
tentunya dengan maksud untuk lebih mengefektifkan dan mengefisienkan pemungutan
pajak dalam kerangka meningkatkan penerimaan Negara dari sector pajak. Hal ini
sejalan dengan perkembangan usaha agar dapat mendukung kebijakan pendapatan
Negara (fiscal policy) namun tetap memberikan keadilan dan kepastian hokum dalam
mewujudkan kepercayaan masyarakat. Kepastian hokum dalam hokum administrasi
Negara diperuntukan antara kepentingan masyarakat dengan kepentingan Negara.
Sebabnya, menyimpang dari pelaksanaan tugas pemerintah yang ‘bersih’, maka secara
preventif akan dapat dicegah dan secara represif penyimpangan tersebut harus ada
sanksi hukumnya. Selain itu, WP tidak diperlakukan sebagai objek, tapi subjek yang
harus dibina agar bersedia, mampu dan sadar melaksanakan kewajiban perpajakan.oleh
karena itu, system perpajakan khususnya system penetapan pajak, harus dapat
mengekspresikan adanya kepastian hokum, keadilan dan kemudahan agar
tanggungjawab WP dalam memenuhi kewajiban perpajakkan dapat dilakukan sesuai
peraturan perundang-undangan perpajakan.
Pemerintah pernah menerapkan system penetapan pajak dengan official
assessment system dan self assessment system. Tentunya pengalaman pemerintah dalam
menerapkan kedua system tersebut dapat mengetahui persis kelebihan dan
kekurangannya. Tapi, jika pemerintah berkeinginan untuk mengubah self assessment
system tidak ada salahnya sebagai bahan pertimbangan untuk menambahkan alternative
selain dari kedua system tersebut. Misalnya dengan memodifikasi self assessment
system atau menggabungkan self assessment system dan official assessment system.
Untuk itu, perlu menyederhanakan golongan WP menjadi dua golongan, dengan asumsi
13
14. bahwa subjek pajak di Indonesia yang membayarkewajiban perpajakan diperkirakan
dari golongan pengusaha besar (golongan satu) lebih kurang sebanyak 20% dan
golongan pengusaha menegah dan kecil (golongan dua) sebanyak 80%. Denagn
demikian diharapkan alternative tambahan system penetapan pajak dibawah ini, dapat
dijadiakan bahan pertimbangan yang realistis untk diterapkan pada saat ini dan masa
yang akan datang, yaitu sebagai berikut:
Model system pertama, yaitu system penetapan pajak dengan individual self
assessment system yang Murni dan self assessment system per-kelompok, system seperti
itu diterapkan di Jepang dan Korea. Dalam hal menyederhanakan golongan WP menjadi
dua golongan, diperlakukan supaya memudahkan bagi Dirjen Pajak untuk melakuakn
pengawasan hdalam bentuk pemeriksaan yang diterapkan berbeda berdasarkan
golongan WP, yaitu sebagai berikut:
a. Golongan Satu, yaitu individual self assessment system murni diberlakukan terhadap
mereka yang berstatus pengusaha besar, jumlahnya relative kecil serta tidak menjadi
masalah jika diwajibkan membuat laporan keuangan perusahaaan yang di audit oleh
akuntan public. Kemudian, menghitung, memperhitungkan, mengisi Surat
Pemberitahhuan Pajak Tahunan berikut lampirannya dan membayar sendiri hutang
pajaknya. Dirjen Pajak (Pejabat Pajak) melakukan pengawasan dalam bentuk
pemeriksaan (post audit) terhadap WP yang termasuk golongan satu tersebut haruslah
benar-benar secara professional dan disesuaikan dengan sector usaha dari masing-
masing WP. Dengan demikian diharapkan kualitas dari hasil pemeriksaan akan
semakin optimal.
b. Golongan Dua, yaitu self assessment system per-kelompok diberlakukan terhadap
mereka yang berstatus WP pengusaha menengah dan kecil, jumlahnya relative lebih
14
15. banyak. WP golongan dua ini diharuskan bergabung dalam suatu asosiasi pengusaha
atau profesi, misalnya asosiasi pengusaha sepatu, profesi pengacara, Dokter, Notaris
dan sebagainaya. Dirjen pajak harus mengadakan koordinasi dengan masing-masing
asosiasi dalam menentukan, misalnya, beberapa prosentasekeuntungan bersih rata-rata
yang diperoleh dari usahapara anggota yang tergabung dalam suatu asosiasi,
bagaimana mennentukan tiongkat dari peringkat (ranking) dari masing-masing
anggota asosiasi akanlebih mudah diarahkan dalam menghitung dan mengisi SPT
tahunan serta masing-masing dapat membayar sendiri hutang pajaknya.
Model system kedua, yaitu system penetapan pajak yang menggabungkann self
assessment system dan official assessment system per-individual. Model system kedua
ini, pada prinsipnya tetap menyederhanakan golongan WP menjadi 2 (dua) golongan
untuk memudahkan bagi Pemerintah (Dirjen Pajak) melakuakan pengawasan dalam
bentuk pemeriksaan yang akan diterapkan berbeda berdasarkan Golongan WP, yaitu
dapat di golongkan sebagai berikut:
a. Golongan Satu, yaitu self assessment system diberlakukan terhadap WP pengusaha
besar dan bonafid yang jumlahnya relative kecil serta diwajibkan membuat laporan
keuangan perusahaaan yang di audit oleh akuntan public. Kemudian, menghitung,
memperhitungkan, mengisi Surat Pemberitahhuan Pajak Tahunan berikut lampirannya
dan membayar sendiri hutang pajaknya. Dirjen Pajak (Pejabat Pajak) melakukan
pengawasan dalam bentuk pemeriksaan (post audit) terhadap WP yang termasuk
golongan satu tersebut haruslah benar-benar secara professional dan disesuaikan
dengan sector usaha dari masing-masing WP. Dengan demikian diharapkan kualitas
dari hasil pemeriksaan akan semakin optimal.
15
16. b. Golongan Dua, yaitu self assessment system per-individual diberlakukan terhadap
mereka yang berstatus WP pengusaha menegah dan kecil yang jumlahnya relative
banyak. WP golongan dua itu diharuskan menghitung, memperhitungkan, mengisi
Surat Pemberitahuan Pajak Tahunan berikut lampirannya. Sedangkan audit oleh
Kantor Akuntan Publiik tidak dipersyaratkan terhadap laporan keuangan perusahan.
Dirjen Pajak melakukan pengawasan dalam bentuk melakukan pemeriksaan (pre
audit) dalam rangka menetapkan berapa besarnya pajakyang terhutang berdasarkan
SPT berikut lampirannya, kemudian berdasarkan hasil pemeriksaan tersebut
diterbitkan keputusan dalam bentuk Surat Ketetapan Pajak.
Adapun persamaan dan perbedaansistem penetapan pajak Model Sistem
Pertama dan Model Sistem Kedua adalah sebagai berikut:
1. Kedua system model ini pada prinsipnya sama-sama memberlakukan Self assessment
system terhadap golongan satu, yaitu WP pengusaha besar. Dalam mekanismenya,
WP menghitung dan memperhitungkan hutang pajaknya serta mengisi dan
melaporkan SPT tahunan berikut lampiran ke Kantor Pelayanan Pajak, dan Laporan
SPT dianggap benar kecuali dapat dibuktikan terjadi kesalahan. Pembuktiktian itu
dilakukan melelui kegiatan pemeriksaan (post audit) oleh Dirjen Pajak dalam jangka
waktu tertentu. Jika Dirjen Pjak menetapkan WP harus diperiksa, maka WP tersebut
berarti telah memenuhi kriteria untuk dilakukan pemeriksaan sesuai dengan peraturan
yang berkaitan dengan pemeriksaan. Berdasarkan hasil pemeriksaan tersebut oleh
Dirjen Pajak diterbitkan keputusan dalam bentuk Surat Ketetapan Pajak. Apabila WP
menolak Surat Ketetapan Pajak tersebut, maka dapat mengajukan mekanisme
prosedur keberatan ke Dirjen Pajak, Banding ke Pengadilan Pajak dan Upaya Hukum
Kasasi ( sekarang tidak dimungkinkan menurut UU Pengadilan Pajak) serta
Peninjauan Kembali sebagai upaya hokum luar biasa ke Mahkamah Agung.
16
17. 2. Sedangkan perbedaannya, system penetapan pajak kedua system model khususnya
terhadap Golongan Dua, yaitu WP pengusaha menengah dan kecil, sebagai berikut:
a) Dalam system model pertama yang mengharapkan self assesment per-kelompok
terhadap WP pengusaha menengah dan kecil, yaitu setelah WP menghitung dan
memperhitungkan pajak yang terhutang serta mengisi dan melaporkan SPT Tahunan
berikut lampirannya ke Kantor Pelayanan Pajak, Dirjen Pajak tidak perlu melakukan
pengawasan dalam bentuk pemeriksaan (post audit maupun pre audit) terhadap WP
tersebut, karena pengawasannya telah terwakili dengan adanya koordinasi
antaraDirjen Pajak dengan masing-masing asosiasi. Di samping itu, perhitungan pajak
(hutang pajak) WP dianggap final berdasarkan laporan SPT berikut lampirannya dan
bukti lunas pembayaran pajak terhutang yang telah diserahkan ke Kantor Pelayanan
Pajak.
b) Dalam system model kedua yang menerapkan official assessment system terhadap WP
pengusaha menengah dan kecil, Dirjen Pajak menerapkan mekanisme pemeriksaan
(pre audit) dalam kerangka menentukan berapa seharusnya terhutang pajak.
Kemudian, Dirjen Pajak membuat keputusan dalam bentuk Surat Ketetapan Pajak.
WP, jika menolak atas Surat Ketetapan Pajak tersebut, maka dimungkinkan
mengajukan prosedur keberatan ke Dirjen Pajak, Banding ke Pengadilan Pajak dan
Upaya Hukum Kasasi ( sekarang tidak dimungkinkanmenurut UU Pengadilan Pajak)
serta Peninjauan Kembali sebagai upaya hokum luar biasa ke Mahkamah Agung.
3. Disamping itu, bagi WP dari kalangan pengusaha menegah dan kecil pada Sistem
Model Pertama dan Sistem Model Kedua agar tidak dianggap mereduksi hak
hukumnya, maka dibuka kemungkinan bagi setiap WP yntuk dapat memilih secara
17
18. bebas bila ingin menerapkan self assessment system secara penuh dengan syarat harus
mengajukan secara tertulis kepada Dirjen Pajak.
Selanjutnya, apabila memilih Sitem Model Pertama, yaitu bagi Golongan Dua
terhadap WP pengusaha menengah dan kecil, maka tunggakan hutang pajak relative
tidak ada dan bahkan pemerintah tidak perlu mengeluarkan biaya, karena asosiasi akan
memungut iuran dari para anggotanya sebagai pengganti biaya. Dirjen Pajak, praktis
hanya akan mengurus WP golongan satu, yaitu WP pengusaha besar, sedangkan WP
Golongan Dua, yaitu WP pengusaha menengah dan kecil dapat mengurus sendiri yang
dilakukan oleh asosiasi. Tapi, jika memilih Model Sistem Kedua, maka dapat dipastikan
akan mengeluarkan biaya yang besar bila dibandingkan dengan Sistem Model Pertama,
karena pemerintah disamping melakukan pengawasan terhadap WP Golongan Satu,
yaitu WP pengusaha besar, juga termasuk WP Golongan Dua, yaitu WP pengusaha
menengah dan kecil yang jumlahnya relative lebih besar. Tetapi sebaiknya dari kedua
system model tersebut semestinya menerapkan perencanan dan mekanisme control
secara preventif maupun represif.
Dengan demikian, kedua Model Sistem tersebut diatas dapat dijadikan bahan
perbandingan dengan self assessment system dan official assessment system sekaligus
dapat dijadikan pertimbangan sebagai alternative untuk dipilih mana system penetapan
pajak yang tepat dang menguntungkan serta efisien dan efektif. Hal tersebut berkaitan
dengan masalah merealisasikan pemungutan pajak (tax return guidance system) yang
akan diselanggarakan oleh pemerintah serta dipatuhi oleh WP penuh kesadaran untuk
kepentingan bangsa dan Negara Indonesia.
Bagi WP yang akan mengajukan prosedur keberatan maupun banding atas Surat
ketetapan pajak dan tunggakan hutang pajak, dengan sendirinya menjadi relative akan
18
19. berkurang. Karena dalam system penetapan pajak di sisi internal secara tidak langsung
telah dibatasi dengan melakukan penyederhanaan Golongan WP, makapenumpukan
perkara (dalam prosedur keberatan) akan relative menjadi berkurang dalam proses
penyelesaian sengketa pajak yang diselenggarakan Dirjen Pajak, serta relative hanya
WP pengusaha bbesar saja yang akan mengajukan keberatan. Pada Sistem Model
Pertama, yaitu WP Golongan Dua bagi WP pengusaha menengah dan kecil, yang
mengisi SPT dan melunasi hutang pajak serta menyerahkan ke Kantor Pajak adalah
bersifat final.
Namun, pada Sistem Model Kedua, yaitu WP Golongan Dua bagi WP
pengusaha menengah dan kecil, Dirjen Pajak dalam pemmeriksaan tetap akan membuat
keputusan dalam bentuk Surat Ketetapan Pajak terhadap para WP walaupun
dimungkinkan unyuk mengajukan prosedur keberatan. Tetapi dapat dipastikan kualitas
dari Surat Ketetapan Pajak tersebut, tentunya akan diuji di lembaga keberatan dan
sekaligus merupakan kesempatan bagi Dirjen Pajak untuk melakukan melakukan
koreksi. Lebih lanjut lagi secara eksternal keputusan yang dibuat oleh dirjen pajak
dalam bentuk Surat Ketetapan Pajak yang akan dikontrol oleh pengadilan pajak dan
relative hanya WP pengusaha besar saja (baik dalam Sistem Model Pertama dan Sistem
Model Kedua) yang akan mmengajukan Prosedur Keberatan, Banding ke Pengadilan
Pajak dan Upaya Hukum Kasasi (sekarang tidak dimungkinkan menurut UU Pengadilan
Pajak) serta Peninjauan Kembali sebagai upaya hokum luar biasa ke Mahkamah Agung.
19
20. BAB III. PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari permaslahan yang telah diuraikan dalam pembahasan diatas maka dapat
diambil kesimpulan sebagai berikut:
1) System penetapan pajak yang baik itu, disamping harus memilih yang mudah bagi
pemerintah, khususnya dalam melakukan pengawasan terhadap Wajib Pajak (WP),
juga harus menguntungkan pemerintah. Untuk itu, system penetapan pajak mestinya
mempunyai landasan instrumental, yaitu daya guna (efektif) bagi administrasi pajak
(fiskus) dan juga efisien bagi administrasi Wajib Pajak (WP).
2) Model system penetapan yang dapat dijadikan alternative pilihan oleh pemerintah
yaitu terdapat dua model, Sistem Model Pertama penetapan pajak yaitu dengan
20
21. individual self assessment system yang Murni dan self assessment system per-
kelompok, dan Sistem Model Kedua yaitu system penetapan pajak yang
menggabungkann self assessment system dan official assessment system per-
individual. Kedua model dapat dijadikan sebagai pertimbangan selain self assessment
system dan official assessment system dalam memilih alternative system penetapan
pajak yang kondusif dan dapat menunjanag peningkatan pemasukan pajak kekas
Negara dan dapat pula menunjang perekonomian Negara.
Selain itu demi mewujudkan sebuah system pemerintahan yang baik (good
government), Pemungutan atas pajak harus tetap berlandaskan pada Undang – Undang
dasar 1945 pasal 23 ayat 2, serta harus memenuhi syarat - syarat pemungutan pajak
sehingga pemngutan pajak dapat menjadi lebih terasa ideal, adapun syarat - syarat atas
pemungutan pajak yang dimaksud adalah :
• Pemungutan pajak harus adil.
Seperti halnya produk hukum pajak pun mempunyai tujuan untuk
menciptakan keadilan dalam hal pemungutan pajak. Adil dalam perundang-undangan
maupun adil dalam pelaksanaannya.
Contohnya:
1. Dengan mengatur hak dan kewajiban para wajib pajak
2. Pajak diberlakukan bagi setiap warga negara yang memenuhi syarat sebagai
wajib pajak
3. Sanksi atas pelanggaran pajak diberlakukan secara umum sesuai dengan berat
ringannya pelanggaran
• Pengaturan pajak harus berdasarkan UU.
21
22. Sesuai dengan Pasal 23 UUD 1945 yang berbunyi: "Pajak dan pungutan yang
bersifat untuk keperluan negara diatur dengan Undang-Undang", ada beberapa hal
yang perlu diperhatikan dalam penyusunan UU tentang pajak, yaitu:
• Pemungutan pajak yang dilakukan oleh negara yang berdasarkan UU tersebut
harus dijamin kelancarannya.
• Jaminan hukum bagi para wajib pajak untuk tidak diperlakukan secara umum.
• Jaminan hukum akan terjaganya kerasahiaan bagi para wajib pajak.
• Pungutan pajak tidak mengganggu perekonomian.
Pemungutan pajak harus diusahakan sedemikian rupa agar tidak mengganggu
kondisi perekonomian, baik kegiatan produksi,perdagangan, maupun jasa.
Pemungutan pajak jangan sampai merugikan kepentingan masyarakat dan
menghambat lajunya usaha masyarakat pemasok pajak, terutama masyarakat kecil dan
menengah.
• Pemungutan pajak harus efesien.
Biaya-biaya yang dikeluarkan dalam rangka pemungutan pajak harus
diperhitungkan. Jangan sampai pajak yang diterima lebih rendah daripada biaya
pengurusan pajak tersebut. Oleh karena itu, sistem pemungutan pajak harus sederhana
dan mudah untuk dilaksanakan. Dengan demikian, wajib pajak tidak akan mengalami
kesulitan dalam pembayaran pajak baik dari segi penghitungan maupun dari segi
waktu.
• Sistem pemungutan pajak harus sederhana.
22
23. Bagaimana pajak dipungut akan sangat menentukan keberhasilan dalam
pungutan pajak. Sistem yang sederhana akan memudahkan wajib pajak dalam
menghitung beban pajak yang harus dibiayai sehingga akan memberikan dapat positif
bagi para wajib pajak untuk meningkatkan kesadaran dalam pembayaran pajak.
Sebaliknya, jika sistem pemungutan pajak rumit, orang akan semakin enggan
membayar pajak.
Contoh :
• Bea materai disederhanakan dari 167 macam tarif menjadi 2 macam tarif.
• Tarif PPN yang beragam disederhanakan menjadi hanya satu tarif, yaitu 10%.
• Pajak perseorangan untuk badan dan pajak pendapatan untuk perseorangan
disederhanakan menjadi pajak penghasilan (PPh) yang berlaku bagi badan
maupun perseorangan (pribadi).
Dan dilain pihak perhatian atas asas – asa pemungutan pajak juga menjadi
tanggung jawab pemerintah yang harus selalu ditegakkan sehingga dapat tercipta
sebuah parameter yang sempurna dalam hal pemungutan yang pajak, asas – asa
pemungutan pajak tersebut antara lain :
• Equality : Dimana dalam hal pemungutan pajak tersebut, pemerintah mampu
memposisikan para wajib pajak (WP) yang dalam melaksanakan kewajibannya
kepada Negara haruslah sebanding dengan kemampuannya, sehingga kepentingan
atas kesejahteraan rakyat dapat tetap terjaga.
• Certainty : Dimana pemerintah dapat menetapkan jaminan atas kepastian pemungutan
pajak bagi para wajib pajak (WP), yang mana para wajib pajak harus jelas dan pasti
akan segala hal tentang aturan main tentang pemungutan pajak (hokum / legalitas
23
24. pajak), waktu akan kapan pemungutan dan kewajiban membayar pajak itu harus
dilakukan, jumlah kuantitas atas pemungutan pajak tersebut, cara dan prosedur
bagaimana pajak tersebut dibayarkan serta tempat dimana pajak itu dibayarkan.
• Confinient Of Payment : Dimana Negara yang dalam hal ini adalah
pemerintah,dianggap perlu untuk menciptakan sebuah ritme psikologis atas
pembayaran pajak kepada para wajib pajak (WP) agar dapat lebih menyenangkan
yakni pemungutan atas pajak dilakukan pada saat yang paling tepat pada para wajib
pajak (wp)
• Effisien : Dalam hal ini pemerintah wajib memberikan standarisasi atgas jaminan
bahwa baiaya pemungutan pajak sebaiknya tidak lebih besar dari pendapatan
pemungutan pajak.
Dilain hal Pajak mempunyai peranan yang sangat penting dalam kehidupan
bernegara, khususnya di dalam pelaksanaan pembangunan karena pajak merupakan
sumber pendapatan negara untuk membiayai semua pengeluaran termasuk pengeluaran
pembangunan. Berdasarkan hal diatas maka pajak mempunyai beberapa fungsi, yaitu:
1. Fungsi anggaran (budgetair).
Sebagai sumber pendapatan negara, pajak berfungsi untuk membiayai pengeluaran-
pengeluaran negara. Untuk menjalankan tugas-tugas rutin negara dan melaksanakan
pembangunan, negara membutuhkan biaya. Biaya ini dapat diperoleh dari penerimaan
pajak. Dewasa ini pajak digunakan untuk pembiayaan rutin seperti belanja pegawai,
belanja barang, pemeliharaan, dan lain sebagainya. Untuk pembiayaan
pembangunan, uang dikeluarkan dari tabungan pemerintah, yakni penerimaan dalam
negeri dikurangi pengeluaran rutin. Tabungan pemerintah ini dari tahun ke tahun
24
25. harus ditingkatkan sesuai kebutuhan pembiayaan pembangunan yang semakin
meningkat dan ini terutama diharapkan dari sektor pajak.
2. Fungsi mengatur (regulerend).
Pemerintah bisa mengatur pertumbuhan ekonomi melalui kebijaksanaan pajak.
Dengan fungsi mengatur, pajak bisa digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan.
Contohnya dalam rangka menggiring penanaman modal, baik dalam negeri maupun
luar negeri, diberikan berbagai macam fasilitas keringanan pajak. Dalam rangka
melindungi produksi dalam negeri, pemerintah menetapkan bea masuk yang tinggi
untuk produk luar negeri.
3. Fungsi stabilitas.
Dengan adanya pajak, pemerintah memiliki dana untuk menjalankan kebijakan yang
berhubungan dengan stabilitas harga sehinggainflasi dapat dikendalikan, Hal ini bisa
dilakukan antara lain dengan jalan mengatur peredaran uang di masyarakat,
pemungutan pajak, penggunaan pajak yang efektif dan efisien.
4. Fungsi redistribusi pendapatan
Pajak yang sudah dipungut oleh negara akan digunakan untuk membiayai semua
kepentingan umum, termasuk juga untuk membiayai pembangunan sehingga dapat
membuka kesempatan kerja, yang pada akhirnya akan dapat meningkatkan
pendapatan masyarakat.
3.2 Saran
Dari Sistem Penetapan Pajak yang pernah berlaku di Indonesia, pemerintah
dapat berkaca dan dapat membetulakan system penetapan pajak mana yang akan
25
26. merugikan Negara maupun rakyat atau Wajib Pajak. Maka dengan adanya kedua
alternative tersebut merupakan tambahan alternative system penetapan pajak dengan
pendekatan melalui penyederhanaan Golongan WP (Sistem Penggolongan WP), yaitu
WP pengusha besar dan pengusaha menengah dan kecil, yang dijadikan asumsi sebagai
pendekatan dalam menerapkan system penetapan pajak. Mudah-mudahan dapat
dijadikan alternative pilihan, dengan demikian diharapkan pemerintah dapat memilih
system penetapan pajak yang dapat meminimalisir masalah yang mungkin timbul, baik
bagi Pejabat pajak dalam melakukan penetapan dan/atau pemeriksaan pajak serta bagi
WP dalam memenuhi kewajiban perpajakannya. Selain itu untuk meminimalisir
kemingkinan penyimpangan yang dilakukan olehh pejabat pajak maupun WP yang
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan perpajakan yang sekaligus akan
merugikan Negara.
Dan selanjutnya pengembangan atas system penetapan pajak tersebut haruslah
mampu berjalan sejajar dengan cara pemungutan pajak yang aplikatif dan sewajarnya
yang berjalan seirama berdasar syarat dan asas – asas pemungutan pajak. Sehingga
tercipta sebuah system penetapan pajak yang berimbang dan ideal serta mampu dan
dapat memenuhi fungsi dan tujuan – tujuan utama Negara atas pajak.
26
27. DAFTAR PUSTAKA
Chidir Ali, Hukum Pajak Elementer, Eresco, Bandung, 1993.
Mata Kuliah Hukum Pajak, Catatan – Catatan Kuliah, 2013
Muqodim, Perpajakan – Buku Satu , UII Pres dan Ekonisia, Yogyakarta, 1999
Pudyatmoko Y.Sri, Pengantar Hukum Pajak (Edisi Revisi), Penerbit Andi, 2008
Rochmat Soemitro, Asas-asas Hukum Perpajakan, Bina Cipta, Bandung, 1991.
27