2. Pendahuluan
Phenytoin is a hydantoin compound related to the barbiturates that are used for the
treatment of seizures.
It is an effective anticonvulsant for the chronic treatment of tonic-clonic (grand mal) or
partial seizures and the acute treatment of generalized status epilepticus (Table 10-1).
After generalized status epilepticus has been controlled with intravenous
benzodiazepine therapy and supportive measures have been instituted, phenytoin
therapy is usually immediately instituted with the administration of intravenous
phenytoin or fosphenytoin.
Orally administered phenytoin is used chronically to provideprophylaxis against tonic-
clonic or partial seizures.
Phenytoin is a type 1B antiarrhythmic and is also used in the treatment of trigeminal
neuralgia.
3. Pendahuluan
The antiseizure activity of phenytoin is related to its ability to inhibit the repetitive
firing of action potentials caused by prolonged depolarization of neurons.
Additionally,phenytoin stops the spread of abnormal discharges from epileptic
foci thereby decreasing the spread of seizure activity throughout the brain.
Posttetanic potentiation at synaptic junctions are blocked which alters synaptic
transmission.
At the cellular level, the mechanism of action for phenytoin appears related to its
ability to prolong the inactivation of voltage-activated sodium ion channels and
reduction of the ability of neurons to fire at high frequencies.
4.
5.
6. Konsentrasi Terapeutik (TR) dan Toksik
Biasanya konc TR utk FT total (bebas + terikat) bila digunakan utk pengobatan
seizure = 10-20 µg/mL.
Karena FT terikat banyak (90%) pada albumin maka mudah terjadi pelepasan
(displacement) ikatan protein plasma disebabkan berbagai faktor.
Oleh karenanya, konsentrasi FT tak terikat atau bebas akan tersedia banyak.
Meski ada data klinik yg mendukung TR utkkonsentrasi FT, TR yg disarankan utk
kons FT bebas didasarkan kpd fraksi bebas Ft yg biasa dalam individu dengan
ikatan protein normal
Jadi TR FT bebas = 1-2 ug/mL (yaitu 10% dari Kons TR total)
7. Kosentrasi Toksik
Pada sebagian pasien, ujung atas TR (>15 µg/mL) akan mengakibatkan efek samping minor
depresi SSP seperti drowsiness atau fatigue (ngantuk atau lelah)
Kons. total FT > 20 µg/mL dapat menyebabkan nystagmus (mata kelip2) pada mata lateral.
> 30 µg/mL : ataxia (gangguan syaraf motorik), slurred speech (bicara tdk terkontrol),
inkoordinasi spt pada keracunan alkohol.
> 40 µg/mL : perubahan status mental, daya pikir menurun, bingung berat, capai dan koma.
Aktivitas kejang yg diidunduksi obat : > 50-60 µg/mL
penghambatan kelebihan dosis FT memungkinkan karena FT mengikuti PK non linier.
Jadi Klinisi harus waspada karena kons toksis FT tidak memunculkan gejala keracunan FT dan
juga pada Kons TR dapat memunculkan efek samping.
8. Kegunaan Klinis dari C tak terikat/bebas
Yang sangat berguna = C tak terikat/bebas FT
Cf = fBC.
C = Kons Total
Cf = unbound or “free” concentration
fB = unbound or “free” fraction
Kons Total : utk mengukur keberhasilan terapi antikonvulsan, mainstream.
Kons Terikat (Unbound) : tdk perlu diukur sangat mahal, 50-100% lebih mahal daripada Conc
Total dan tidak semua lab bisa melakukan.
Fraksi C bebas (fB) = 10% kons Total
9. Pemantauan kons FT bebas sebaiknya dilakukan terbatas pada pasien yang diketahui alasan
perubahan ikatan protein plasma-nya, kecuali pasien yang eksesif respon farkol nya.
contoh :
Bila ada pasien yg respon antikonvulsannya memuaskan thd kons FT total yg rendah,satu alasan
yg mungkin adalah adanya ikatan protein plasma yang abnormal (fB = 20%) dg suatu sebab yg
tdk diketahui.
sehingga meskipun kons FT total rendah (5µg/mL), kons terapeutik FT bebas pada pasien tsb :
Cf = fB.C = 0,2 . 5 = 1 µg/mL
Sebaliknya jk pasien mengalami efek samping terkait FT padahal C total FT ada dlm rentang (mis
15 µg/mL), maka alasan yg mungkin adalah adanya ikatan protein yang tdk normal (20%) dg
sebab yg tal diketahui, sehingga meskipun total kons FT seprtinya sesuai (15 µg/mL), namun
konsentrasi FT bebas telah melampaui kons toksik yaitu :
Cf = 0,2 x 15 = 3 µg/mL.
10. Konsentrasi serum FT bebas (CuFT) sebaiknya diukur utk pasien dengan faktor2
yg diketahui mengubah ikatan protein plasma (IPP) FT.
Faktor2 ini dibagi ke dalam beberapa kategori :
1. hilangnya ikatan protein karena konsentrasi albumin dalam plasma tidak cukup.
2. Pengusiran FT dari tempat ikatan albumin oleh senyawa eksogen (table 10-2)
Ketika faktor2 ganda yg menurunkanikatan protein plasma (IPP) FT muncul pada
pasien, maka fraksi bebas sebesar-besarnya adalah 30-40%
11.
12. Konsentrasi albumin yang rendah, yang dikenal sebagai hipoalbuminemia,
dapat ditemukan pada pasien dengan penyakit hati atau sindrom nefrotik,
wanita hamil, pasien fibrosis kistik, pasien luka bakar, pasien trauma, individu
kurang gizi, dan lansia.
Konsentrasi albumin di bawah 3 g/dL dikaitkan dengan fraksi tak terikat fenitoin
(CUFT) tinggi di plasma.
Pasien dengan konsentrasi albumin antara 2,5-3 g/dL biasanya memiliki fenitoin
fraksi tak terikat 15-20%, sementara pasien dengan konsentrasi albumin di
antaranya 2.0–2.5 g/dL sering memiliki fraksi fenitoin yang tidak terikat > 20%.
13. Albumin diproduksi oleh hati sehingga pasien dengan penyakit hati
mungkin mengalami kesulitan mensintesis protein.
Pasien dengan sindrom nefrotik membuang albumin dengan meng-
eliminasinya dalam urin
Pasien malnutrisi dapat kekurangan nutrisi sehingga produksi
albumin terhambat
Malnutrisi adalah alasan untuk hipoalbuminemia pada beberapa
pasien usia lanjut, meskipun ada kecenderungan penurunan
konsentrasi albumin pada pasien yang lebih tua.
14. Sementara pulih dari cedera mereka,pasien luka bakar dan trauma
bisa menjadi hipermetabolik dan konsentrasi albumin berkurang jika
kalori yang cukup tidak diberikan selama fase keadaan penyakit
mereka.
Konsentrasi albumin dapat menurun selama kehamilan karena
cadangan ibu dialihkan ke janin yang sedang berkembang dan
terutama lazim selama trimester ketiga
15. Pengusiran fenitoindari tempat pengikatan protein plasma oleh zat
endogen dapat terjadi pada pasien dengan disfungsi hati atau ginjal.
Mekanisme ini adalah kompetisi untuk tempat pengikatan protein
plasma albumin antara zat eksogen dan fenitoin.
Bilirubin (produk sampingan dari metabolisme heme) dipecah oleh
hati, sehingga pasien dengan penyakit hati dapat memiliki
konsentrasi bilirubin yang berlebihan
16. Konsentrasi bilirubin total lebih dari 2 mg/dL berhubungan dengan
pengikatan protein fenitoin plasma (IPP) yang abnormal.
Penderita penyakit ginjal stadium akhir-ESRD (CrCL < 10–15 mL/mnt)
dengan uremia (konsentrasi nitrogen urea darah (BUN) > 80-100 mg/
dL) mengakumulasi senyawa2 yang tidak teridentifikasi dalam darah
mereka yang menggantikan fenitoin dari tempat pengikatan protein
plasma (IPP).
Ikatan fenitoin abnormal tetap terjadi ada pada pasien ini bahkan
ketika prosedur dialisis dilakukan.
17. Pengusiran IPP FT juga dapat terjadi disebabkan oleh senyawa yang
diberikan dari luar seperti obat-obatan.
Dalam hal ini, mekanismenya adalah kompetisi pada tempat
pengikatan albumin antara fenitoin dan zat lain.
Obat lain yang sangat terikat dengan albumindan menyebabkan
interaksi obat pengusiran IPP fenitoin diantaranya warfarin, asam
valproat, aspirin (> 2 g/d), dan beberapa zat antiinflamasi nonsteroid
yang sangat terikat.
18. Setelah fraksi bebas (fB) telah ditentukan untuk pasien dengan IPP fenitoin yang
berubah (fB = Cf / C, di mana C adalah konsentrasi total dan Cf adalah
konsentrasi yang tidak terikat), seringkali tidak perlu untuk mendapatkan
tambahan konsentrasi obat yang tidak terikat.
Jika situasi yang menyebabkan IPP berubah tsb stabil (konsentrasi albumin atau
bilirubin, fungsi hati atau ginjal, dosis obat lain, dll.), konsentrasi fenitoin total
dapat dikonversi menjadi nilai yang tidak terikat secara bersamaan dan
digunakan untuk tujuan pemantauan obat terapeutik
19. Sebagai contoh, seorang pasien ESRD menerima terapi fenitoin serta asam
valproat dan warfarin.
Konsentrasi fenitoin total dan tidak terikat yang diukur secara bersamaan
masing-masing adalah 5 μg/mL dan 1,5 μg/mL, menghasilkan fraksi tidak terikat
30% [fB = Cf / C = (1,5 μg / mL / 5 μg / mL) = 0,30].
◦ Hari berikutnya, konsentrasi fenitoin total diukur = 6 μg / mL.
◦ Estimasi konsentrasi tidak terikat = 1,8 μg/mL: Cf = fBC = 0,30 ⋅ 6 μg / mL = 1,8 μg /
mL.
Tentu saja, jika status keadaan penyakit atau terapi obat berubah, fraksi fenitoin
baru yang tidak terikat akan muncul dan perlu diukur kembali menggunakan
pasangan konsentrasi fenitoin yang tidak terikat/total.
20. Jika konsentrasi fenitoin yang tidak terikat (CuFT) tidak tersedia,
beberapa metode telah disarankan untuk memperkirakan nilai atau
ukuran pengganti dari nilai tersebut.
Pengganti yang paling umum adalah perkiraan konsentrasi fenitoin
total ekivalen yang akan memberikan konsentrasi fenitoin terikat
yang sama jika pasien memiliki nilai fraksi tidak terikat (fB) normal
10%.
Perhitungan ini “menormalkan” konsentrasi fenitoin total sehingga
dapat dibandingkan dengan kisaran terapi fenitoin biasa 10-20
μg/mL dan digunakan untuk tujuan penyesuaian dosis
21. Persamaan untuk hipoalbuminemia :
CNormal Binding = C / (X⋅Alb + 0.1)
◦ CNormal Binding = konsentrasi fenitoin total yang dinormalisasi dalam μg / mL,
◦ C adalah konsentrasi fenitoin yang diukur aktual dalam μg / mL,
◦ X adalah konstanta = 0,2 jika pengukuran pengikatan protein dilakukan pada 37°C
atau 0,25 jika dilakukan pada 25°C, dan
◦ Alb adalah konsentrasi albumin dalam g/dL
Jika pasien ESRD (CrCL <10-15 mL/menit) : maka X = 0,1.
[Catatan: Di sebagian besar laboratorium eksperimental, pengikatan protein
ditentukan pada suhu tubuh normal (37°C), di sebagian besar laboratorium klinis
pengikatan protein ditentukan pada suhu kamar (25°C)].
22. Karena metode ini menganggap fraksi yang tidak terikat normal dari fenitoin
adalah 10%, perkiraan konsentrasi fenitoin tidak terikat (CfEST) dihitung dengan
menggunakan rumus berikut:
(CfEST) = 0,1 CNormal Binding
Pendekatan yang berbeda diambil oleh persamaan yang digunakan untuk pasien
dengan pemberian asam valproik bersamaan.
Dalam hal ini, konsentrasi fenitoin yang tidak terikat (CfEST) diperkirakan
menggunakan fenitoin total yang diukur secara simultan (PHT dalam μg/mL) dan
konsentrasi asam valproat (VPA dalam μg/mL):
konsentrasi CfEST = (0,095 + 0,001⋅VPA) PHT
23. Nilai ini dibandingkan dengan rentang terapi yang biasa untuk konsentrasi
fenitoin yang tidak terikat (1-2 μg/mL) dan digunakan untuk tujuan penyesuaian
dosis.
Perlu dicatat bahwa persamaan ini hanya memberikan perkiraan konsentrasi
masing-masing, dan konsentrasi fenitoin tidak terikat (CuFT) yang sebenarnya
harus diukur bila memungkinkan pada pasien dengan dugaan pengikatan
protein fenitoin plasma (IPP) abnormal.
24. Kasus 1
JM adalah pasien epilepsi yang dirawat dengan fenitoin. Dia memiliki
hipoalbuminemia (albumin = 2,2 g/dL) dan fungsi ginjal normal (CrCL = 90 mL/
menit).
Konsentrasi fenitoin totalnya adalah 7,5 μg / mL.
Dengan asumsi bahwa setiap konsentrasi yang tidak terikat yang dilakukan oleh
laboratorium klinis akan dilakukan pada suhu 25°C, hitung perkiraan konsentrasi
fenitoin yang dinormalisasi untuk pasien ini.
25. Jawaban kasus 1
Pilih persamaan yang sesuai untuk memperkirakan konsentrasi fenitoin total
yang dinormalisasi pada suhu yang sesuai.
Perkiraan konsentrasi fenitoin total yang dinormalisasi pasien ini diharapkan memberikan
konsentrasi tidak terikat yang setara dengan konsentrasi fenitoin total 11,5 μg/mL untuk pasien
dengan ikatan protein obat normal (CfEST = 1,2 μg/mL). Karena diperkirakan total nilai berada
dalam kisaran terapeutik 10-20 μg/mL, ada kemungkinan bahwa pasien memiliki konsentrasi
fenitoin yang tidak terikat dalam rentang terapeutik. Jika memungkinkan, ini harus
dikonfirmasikan dengan memperoleh konsentrasi fenitoin terikat yang sebenarnya dan terukur
26. Kasus 2
LM adalah pasien epilepsi yang dirawat dengan fenitoin. Dia memiliki
hipoalbuminemia (albumin = 2,2 g / dL) dan fungsi ginjal yang buruk (bersihan
kreatinin = 10 mL / menit). Konsentrasi fenitoin totalnya adalah 7,5 μg / mL.
Hitung perkiraan konsentrasi fenitoin yang dinormalisasi untuk pasien ini
Jawaban :
Pilih persamaan yang sesuai untuk memperkirakan konsentrasi fenitoin total
yang dinormalisasi.
27. Kasus 3
PM adalah pasien epilepsi yang diobati dengan fenitoin dan asam valproat. Dia
memiliki konsentrasi albumin normal (albumin = 4,2 g / dL) dan fungsi ginjal
normal (kreatinin = 90 mL / menit). Konsentrasi total fenitoin dan asam valproat
dalam kondisi steady state masing-masing adalah 7,5 μg / mL dan 100 μg / mL.
Hitung perkiraan konsentrasi fenitoin yang tidak terikat untuk pasien ini.
28. CLINICAL MONITORING PARAMETERS
Tujuan terapi dengan antikonvulsan adalah untuk mengurangi frekuensi kejang dan
memaksimalkan kualitas hidup dengan efek samping obat yang minimal.
Meskipun diinginkan untuk sepenuhnya menghapuskan semua episode kejang, mungkin tidak
mungkin untuk mencapai hal ini pada banyak pasien.
Pasien harus dimonitor untuk efek samping terkait konsentrasi (kantuk, kelelahan, nystagmus,
ataksia, bicara cadel, inkoordinasi, perubahan status mental, penurunan mental, kebingungan,
kelesuan, koma) serta reaksi merugikan yang terkait dengan penggunaan jangka panjang
(perubahan perilaku, sindrom serebelar, perubahan jaringan ikat, fasies kasar, penebalan kulit,
defisiensi folat, hiperplasia gingiva, limfadenopati, hirsutisme, osteomalacia).
Efek samping idiosinkratik meliputi ruam kulit, sindrom Stevens-Johnson, penekanan sumsum
tulang, reaksi mirip sistemik lupus, dan hepatitis.
29. Konsentrasi serum fenitoin harus diukur pada sebagian besar pasien.
Karena epilepsi adalah keadaan penyakit episodik, pasien tidak mengalami kejang
secara terus menerus.
Dengan demikian, selama titrasi dosis sulit untuk mengetahui apakah pasien
memberikan respons thd terapi obat atau hanya tidak mengalami discharging sistem
saraf pusat abnormal pada waktu itu.
Konsentrasi serum fenitoin juga merupakan alat yang berharga untuk menghindari efek
obat yang merugikan.
Pasien lebih mungkin untuk menerima terapi obat jika reaksi merugikan dipertahankan
seminimal mungkin.
Karena fenitoin mengikuti farmakokinetik nonlinear atau saturable, maka cukup mudah
untuk mencapai konsentrasi toksik dengan sedikit perubahan dalam dosis obat.
30. BASIC CLINICAL PHARMACOKINETIC PARAMETERS
Fenitoin terutama dieliminasi oleh metabolisme hepatis (> 95%).
Metabolisme hepatis terutama melalui sistem enzim CYP2C9 dengan
jumlah yang lebih kecil dimetabolisme oleh CYP2C19.
Sekitar 5% dari dosis fenitoin diperoleh kembali dalam urin sebagai
obat yang tidak berubah (unchange drug).
Phenytoin mengikuti farmakokinetik Michaelis-Menten atau PK
jenuh
31. Ini adalah jenis farmakokinetik nonlinear yang terjadi ketika jumlah molekul obat
melebihi atau menjenuhkan kemampuan enzim untuk memetabolisme obat.
Ketika ini terjadi, konsentrasi steady state obat meningkat secara tidak
proporsional setelah peningkatan dosis (lihat gambar).
(e.g., phenytoin, aspirin),
(e.g., valproic acid,
disopyramide),
32. Dalam hal ini laju penghilangan obat dijelaskan oleh hubungan Michaelis-
Menten klasik yang digunakan untuk semua sistem enzim:
Kecepatan (Rate) metabolisme = (Vmax ⋅ C) / (Km + C),
• Vmax adalah laju metabolisme maksimum dlm mg/d,
• C adalah konsentrasi fenitoin dalam mg/L,
• Km adalah konsentrasi substrat dalam mg/L, dan
• laju metabolisme = Vmax/2.
33. Dampak klinik dari PK MM
Cl tidak tetap, berubah sesuai dengan konsentrasi atau dosis
C atau D meningkat Cl menurun
◦ Cl = Vmax / (Km + C).
Sebagai contoh, fenitoin mengikuti farmakokinetik jenuh dengan konstanta
Michaelis-Menten Vmax = 500 mg/hari dan Km = 4 mg/L . TR fenitoin = 10-20 μg
/ mL. Saat konsentrasi fenitoin dalam kondisi tunak meningkat dari 10 μg/mL
menjadi 20 μg/mL, CL menurun dari 36 L/h menjadi 21 L/h
◦ Cl = (500 mg/d) / (4 mg/L + 10 mg/L) = 36 L/d
◦ Cl = (500 mg/d) / (4 mg/L+ 20 mg/L) = 21 L/d
34. Sayangnya, ada begitu banyak variabilitas antar pasien dalam
parameter farmakokinetik Michaelis-Menten untuk fenitoin
(biasanya Vmax = 100 -1000 mg/hari dan Km = 1-15 μg / mL)
sehingga penentuan dosis obat sangat sulit.
35. Volume distribusi fenitoin (V = 0,7L/kg) tidak terpengaruh oleh
metabolisme dapat jenuh (saturable metabolism) dan masih ditentukan
oleh volume darah fisiologis (VB) dan jaringan (VT) serta konsentrasi obat
yang tidak terikat dalam darah (fB) dan tissue (fT):
◦ V = VB + (fB / fT) VT.
Juga, waktu paruh (t ½ ) masih terkait dengan klirens dan volume
distribusi menggunakan persamaan yang sama seperti untuk
farmakokinetik linier: t ½ = (0,693 ⋅ V)/Cl
36. Namun, karena Klirens tergantung pada dosis atau konsentrasi,
waktu paruh juga berubah sesuai perubahan dosis atau konsentrasi
FT.
Ketika dosis atau konsentrasi meningkat untuk obat yang mengikuti
farmakokinetik Michaelis-Menten, clearance berkurang dan waktu
paruh menjadi lebih lama untuk obat:↑ t1 / 2 = (0.693 ⋅ V) / ↓ Cl
37. Menggunakan contoh di atas untuk Klirens dan volume distribusi
untuk orang 70 kg
V = 0,7 L / kg ⋅ 70 kg ≈ 50 L,
waktu paruh berubah dari 1 hari menjadi 1,7 hari :
t ½ = [0,693 ⋅ V] / Cl = [0,693 ⋅ 50 L]/36 L/hari = 1 hari
t ½ = [0,693 ⋅ 50 L] / 21 L / d = 1,7 hari,
karena konsentrasi serum fenitoin meningkat dari 10 μg/mL menjadi
20 μg/mL
38. Implikasi klinis dari temuan ini adalah waktu untuk mencapai steady
state (3-5x t 1/2) lebih lama karena dosis atau konsentrasi meningkat
untuk fenitoin.
Rata-rata, waktu untuk mencapai konsentrasi serum ss kira-kira 5
hari dengan laju dosis 300 mg/hari dan 15 hari dengan dosis 400
mg/hari
39. Dalam kondisi tunak, tingkat pemberian obat sama dengan tingkat penghilangan
obat.
Oleh karena itu, persamaan Michaelis-Menten dapat digunakan untuk
menghitung dosis pemeliharaan (MD dalam mg/hari) yang diperlukan untuk
mencapai target konsentrasi fenitoin serum steady-state (Css)
40. Ketika konsentrasi keadaan tunak fenitoin jauh di bawah nilai Km untuk pasien,
persamaan ini menyederhana menjadi: MD = (Vmax / Km) Css atau, karena
Vmax / Km adalah konstanta, MD = Cl ⋅ Css.
Oleh karena itu, ketika Km >> Css, fenitoin mengikuti farmakokinetik linier. Ketika
konsentrasi steady-state henytoin jauh di atas nilai Km untuk pasien, laju
metabolisme menjadi konstan sama dengan Vmax.
Dalam kondisi ini hanya sejumlah fenitoin yang tetap dimetabolisme per hari
karena sistem enzim sepenuhnya jenuh dan tidak bisameningkatkan kapasitas
metabolisme.
Situasi ini juga dikenal sebagai farmakokinetik orde-nol. Farmakokinetik orde
pertama adalah nama lain untuk farmakokinetik linier.