Berbagai pendekatan konteks studi Islam membahas beberapa pendekatan yang digunakan dalam studi Islam, yaitu pendekatan teologis, yuridis, psikologis, historis, antropologis, sosiologis, filosofis, dan fenomenologis. Pendekatan teologis berfokus pada pemahaman agama melalui iman dan wahyu, sedangkan pendekatan yuridis berfokus pada pemahaman agama Islam secara hukum berdasarkan Al-Quran dan hadis.
1. BERBAGAI PENDEKATAN KONTEKS STUDI ISLAM
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Dwasa ini, untuk membangun pandangan-pandangan Islam, diperlukan pengembangan
kemampuan personal. Dalam pandangan tersebut, pengembangan kemampuan personal
merupakan persiapan yang bermanfaat untuk meneliti pemahaman terkait suatu pendidikan,
khususnya mengenai pendidikan Islam (studi Islam). Terdapat suatu upaya dan tenaga untuk
mengembangkan Islam seperti sekarang ini. Namun tak menutup kemungkinan upaya-upaya
tersebut haruslah berlaku hingga sekarang. Sebab permasalahan-permasalahan dan berbagai
cara pandang mengenai Islam semakin hari semakin kompleks. Butuh adanya jalan tengah
yang bisa menyelesaikan permasalahan-permasalahan tersebut.
Salah satu jalan tengah dari permasalahan permasalahan adalah melalui pendekatan-
pendekatan. Pendekatan-pendekatan tersebut, diharapkan dapat menjawab atas semua
permasalahan yang terjadi.
Pendekatan-pendekatan yang digunakan, antara lain pendekatan teologis, yuridis, psikologis,
historis, antropologis, sosiologis, filosofis, dan fenomenologis. Untuk lebih jelasnya,
pendekatan-pendekatan tersebut akan dijabarkan dalam bab selanjutnya.
1.2. Rumusan Masalah
1. Pendekatan apa sajakah yang digunakan dalam konteks studi Islam?
2. Bagaimana penjelasan dari masing-masing pendekatan?
1.3. Tujuan Penulisan Makalah
Untuk menjelaskan pendekatan-pendekatan yang digunakan dalam konteks studi Islam.
BAB II
2. PEMBAHASAN
Dalam studi Islam, diperlukan adanya pendekatan-pendekatan yang bertujuan untuk mencari
dan memahami Islam dan hal-hal yang terkait didalamnya. Ada beberapa pendekatan yang
digunakan dalam studi Islam. Diantaranya yaitu pendekatan teologis, yuridis, psikologis,
historis, antropologis, sosiologis, filosofis, dan fenomenologis.
2.1. PENDEKATAN TEOLOGIS
1. Pengertian Teologi
Istilah teologi lahir dalam tradisi Kristen. Secara harfiyah, teologi berasal dari bahasa Yunani,
theosdan logos yang berarti ilmu ketuhanan. Istilah teologi dalam bahasa Yunani tersebut,
dalam tradisi Islam dikenal dengan ilmu kalam yang berarti perkataan-perkataan manusia
tentang Allah.Tetapi pengertian ini menurut Steenbrink (1987:10) dianggap kurang cocok
karena teologi memang tidak bermaksud membicarakan problematika mengenai ketuhanan,
baik wujud, sifat, dan perbuatan-Nya, yang dalam khasanah islam disebut ilmu kalam.
Teologi tidak identic dengan ilmu kalam atau ilmu luhut yang oleh Al-Ahwani diartikan
sebagai rangkaian argumentasi rasional yang disusun secara sistematik untuk memperkokoh
kebenaran akidah agama Islam (Al-Ahwani, 1995:17).A. Hanafi mengartikan ilmu kalam
sebagai upaya mempertahankan keyakinan seputar masalah ketuhanan dari serangan-
serangan pihak luar dengan menggunakan pendekatan filsafat atau dalili-dalil aqli.
Dalam Encyclopaedia of Religion and Religions, dikatakan bahwa teologi adalah ilmu yang
membicarakan tentang tuhan dan hubungan-Nya dengan alam semesta, namun sering kali
diperluas mencakup seluruh bidang agama.Dengan demikian, teologi memiliki pengertian
luas dan identic dengan ilmu agama itu sendiri.Dalam diskursus ilmiah, istilah teologi
biasanya memiliki arti yang khusus.Teologi, kata Pidekso, sebagai upaya seluruh orang
beriman dalam menangkap, memahami serta memberlakukan kehendaktuhan melalui
konteksnya (Ambednego, 1994:15).Teologi adalah refleksi orang yang beriman tentang
bagaimana bentuk atau nilai-nilai kualitas iman yang dimilikinya. Kata Anselmus, teologi
adalah fides quaren intellectum, iman yang mencari pengertian (Amin, 1988: ix).
Teologi juga dapat dilihat dari tiga segi: teologi actual yaitu berteologi yang melahirkan
keprihatinan iman dalam wujud tingkah laku sehari-hari; teologi intelektual, yaitu teologi
3. yang melahirkan pemikiran keagamaan berjilid-jilid yang hanya dipahami oleh para alim
dibidang ini dan teologi spiritual yang melahirkan perilaku mistik.[1]
2. Teologi sebagai Metode Studi Islam
Pendekatan teologi dalam studi agama adalah pendekatan iman untuk merumuskan kehendak
Tuhan berupa wahyu yang disampaikan kepada para nabinya agar kehendak tuhan itu dapat
dipahami secara dinamis dalam konteks ruang dan waktu.Karena itu, pendekatan teologis
dalam studi agama disebut juga pedekatan normative dari ilmu-ilmu agama itu sendiri. Secara
umum, metode teologis/normatifdalam studi agama bertujuan untuk mencari
pembenaran dari suatu ajaran agama atau dalam rangka menemukan pemahaman/pemikiran
keagamaan yang lebih dapat dipertanggung jawabkan secara normative idealistik.
Dalam Islam, metode teologis, khususnya teologi intelektual, telah melahirkan ilmu-ilmu
keagamaan yang mantap, baik objek maupun metodologinya. Ilmu-ilmu keagamaan itu antara
lain ilmu tafsir, ilmu hadis, ilmu fikih, ilmu akhlak/tasawuf dan ilmu klam yang masing-
masing memiliki cabang atau ilmu bantunya. Ilmu tafsir misalnya memiliki ilmu bantu
seperti ulun Al-Qur’an, asbab al-nuzul dan balaghah. Walaupun ilmu-ilmu keagamaan berdiri
sendiri, tetapi tetap memerlukan satu kesatuan yaitu dalam rangka menangkap dan
menjelaskan kehendak tuhan.[2]
3. Hubungan antara Teologi dan Studi-Studi Keagamaan
Ada tiga konsekuensi terhadap teologi dan studi-studi keagamaan:
a. Jelas bahwa teologi Kristen dengan sendirinya tidak dapat menjadi satu-satunya kunci
bagi “rethinking” ini. Teologi-teologi lain Muslim, Yahudi, Hindu, Budha, dan Konghucu
masing-masing memiliki peranya sendiri. Demikian pula, studi-studi keagamaan memainkan
peran signifikan karena perannya secara inheren lebih luas dibandingkan peran teologi
Kristen, dan pencarian atas teologi global muncul baik dalam lingkungan studi-studi
keagamaan maupun dalam teologis.
b. Studi-studi keagamaantelah meiliki tempat dalam dua model diantara model-model
yang telah dipaparkan diatas. Oleh karena itu, terjadi perdebatan yang terus menerus tentang
apakah ia harus ditempatkan dalam departemen teologi atau departemen humanitas
(departemen ilmu social). Lebih dari kebanyakan wilayah studi lainnya, studi keagamaan
mencakup beragam metode dan pendekatan dan olehkarena itu, bagaimanapun juga ia
memiliki pengaruh yang luas terhadap pengetahuan. Teologi tampaknya juga perlu
4. memperluas focus intelektualnya pada wilayah pengetahuan yang lebih luas dan membantu
proses “rethinking” sekalipun kerangka kerja tradisinya bersifat partikular yang
menjadikannya lebih rumit daripada studi-studi keagamaan.
c. Studi keagamaan dan teologi menyadari bahwa keduanya memiliki tugas yang penting
dalam ketiga proses pengetahuan dan ketiga model pengetahuan yang di kemukakan di atas,
tidak semata dalam segmennya sendiri. Dalam banyak lingkaran, perlahan mulai tumbuh
kesadaran mengenai komplementaritas antara teologi dan studi-studi keagamaan dalam
agama dunia global.[3]
4. Teologi Agama-Agama (Theology of Religions)
Bagi umat Hindu semenjak era klasik, konsep-konsep kunci tertentu telah menjadi parameter
bagi way of life Hindu. Konsep itu berpusat pada gagasan tentang Brahmana sebagai realitas
ultimate di balik alam, Atman sebagai diri inner dalam manusia, nasib manusia sebagai
lingkaran kelahiran kembali yang terus-menerus, penyelamatan sebagai pelapisan diri dari
kelahiran kembali, cara-cara penyadaran inner (jnana), ketaatan (bhakti), dan terlibat aktif di
dunia (di bawah kuasa Tuhan) sebagai jalan penyelamatan, dan peran berbagai dewa personal
seperti Shiwa, Wisnu, Dewi, dan dua inkarnasi dasar dari Wisnu (avataras) yakni Rama dan
Khrisna. Dalam kaitan dengan tradisi Budhis menolak gagasan tentang ketuhanan (dalam
pengertian Brahmana), dan bahkan (real self) diri yang sesungguhnya (dalam pengertian
Atman) dan menggunakan kata seperti “transendentologi” sebagai ganti teologi untuk
mengakomodasi gagasan-gagasan Budhis tentang Nirwana dan Dharma yang memiliki
nuansa transendensi.
Dalam menganalisis teologi-teologi agama (theology of religion), sarjana agama akan
menemui sejumlah perbedaan teologis dalam tradisi-tradisi keagamaan. Perubahan itu bias
jadi merupakan perbedaan subtansi atau perbedaan cara kerja teologi (ways of doing
theology). Perbedaan yang terdapat dalam tradisi itu dapat bertepatan dengan perbedaan-
perbedaan lintas tradisi atau justru tidak bersesuaian.
Terdapat beragam tipe teologi dalam masing-masing tradisi. Secara mendasar terdapat empat
macam tipe:
1. Tipe teologi deskriptif, historis, positivistic yang disukai para sejarahwan dalam setiap
tradisi yang berusaha mendeskripsikan apa yang fungsional secara doctrinal tanpa
5. mengabaikan pertimbangan lain. Tipe ini merupakan tipe yang terdekat dengan teologi
fenomenologis, dan lebih memfokuskan pada deskripsi daripada pengakuan siman.
2. Tipe teologi sistematik yang berusaha meringkas doktrin-doktrin dari komunitas beriman
dalam suatu pengertian pengakuan (confessional). Dalam hal ini, tidak ada upaya agar
menjadi bebas nilai, tetapi dimaksudkan untuk mengkonstruksi posisi-posisi doctrinal dan
persasian keimanan dengan suatu cara yang akan meningkatkan tradisi itu. Seluruh tradisi
keagamaan memiliki tipe tipologi ini.
3. Tipe teologi filosofis yang berusaha terlibat dengan posisi-posisi lain pada tingkat
filosofis, dengan membawa dan memberikan reaksi kepadanya secara serius. Salah satu
tujuannya mungkin tetap apologetik yakni mempertahankan dan menonjolkan posisinya
sendiri dengan argument yang ternalar.
4. Terdapat apa yang secara lebih luas disebut dengan teologi dialog. Waktu-waktu terakhir
, tipe ini lebih lazim namun bukan berarti di masa lalu tidak ada. Tipe ini mengandung
keinginan secara sengaja untuk memahami tradisi-tradisi lain demi kepentingannya sendiri,
bukan semata-mata karena alasan apologetik. [4]
5. Teologi Agama-Agama Global: Ke Arah Etika Global
Pada tanggal 4 September 1993, dalam suatu pertemuan yang menandai seratus tahun
Chicago world parliament of religion 1893, diluncurkan suatu deklarasi kearah suatu etika
global.Meskipun panjang, hal ini patut dikutip secara sempurna.
Kami Menyatakan:
Kita saling bergantung.Masing-masing kita bergantung pada kesejahteraan keseluruhan dan
oleh karenanya, kita menghargai komunitas segala yang hidup; manusia, binatang, tumbuhan,
pelestarian bumi, udara, air, dan minyak.
Kita memilki pertanggung jawaban individual atas segala yang kita lakukan.Seluruh
keputusan, perbuatan, dan kegagalan kita dalam bertindak memilki konsekuensi.
Kita harus memperlakukan pihak lain sebagaimana kita ingin diperlakukan oleh mereka.
Kita membuat suatu komitmen untuk menghormati kehidupan dan harkat, individualitas dan
diversitas sehingga setiap orang diperlakukan secara manusiawi, tanpa terkecuali.Kita harus
memilki kesabaran dan sikap menerima.Kita harus dapat memaafkan, belajar dari masa
6. lampau namun tidak pernah membiarkan dirikita diperbudak oleh memori kebencian.
Membuka hati untuk orang lain.
Kita mempertimbangkan keluarga kita.Kita harus berusaha keras untuk menjadi baik dan
murah hati. Kita hidup harus tidak untuk diri kita sendiri tetapi juga mesti untuk orang lain,
tidak pernah melupakan anak-anak, orang lanjut usia, orang miskin, orang yang menderita,
cacat, pengungsi, dan orang-orang yang sebatang kara.
Kita commit pada suatu kebudayaan tanpa kekerasan, penuh penghargaan, keadilan, dan
kedamaian. Kita tidak akan menindas, melukai, menganiaya, atau membunuh manusia lain,
meninggalkan kekerasan sebagai cara menyelesaikan perbedaan.
Kita harus berusaha keras mewujudkan aturan social dan ekonomis yang adil di mana setiap
orang memiliki kesempatan yang sama untuk mencapai potensi yang sempurna sebagai
seorang manusia. Kita harus berbicara dan berbuat dengan segala kesungguhan dan dengan
rasa keharuan, berlaku jujur terhadap semua orang dan menghindari prasangka dan
kebencian.
Kami menyeru seluruh manusia, entah yang religious maupun tidak, untuk melakukan hal
yang sama.
Tujuan pendekata teologi ini adalah memahami agama, memahami system-sistem konseptual
agama di dalam dan antar agama, termasuk etika-etika agama.[5]
2.2. Pendekatan Yuridis
Yuridis adalah hukum, jadi yamg dmaksud dengan pendekatan yuridis adalah pemahaman
agama islam secara hukum menurut islam. Hukum yang dpakai umat islam adalah
berdasarkan AL-QUR’AN dan WAHYU yang diturunkan ALLAH kepada para NABI. Islam
mengajarkan manusia untuk `mentaati peraturan, sedangkan peraturan merupakan hukum itu
sendiri. Dalam pelaksanaannya manusia kurang menyadari bahwa pendekatan yuridis sudah
dialami oleh para Nabi. Islam adalah agama. Perkembangan yuridis itu sendiri prosesnya
dapat dibagi menjadi 4 periode:
1. Periode Nabi
2. Periode Sahabat
3. Periode Ijtihad dan kemajuannya
7. 4. Periode Taklid dan kemundurannya
1. Periode Nabi
Segala persoalan dikembalikan kepada Nabi untuk menyelesaikan setiap masalah yang ada,
karena Nabi merupakan sumber hokum. Secara tekstual pembuat hokum adalah Nabi, tetapi
secara kontesktual pembuat hokum adalah Allah, karena hokum yang dikeluarkan Nabi
bersumber pada wahyu dari Allah. Nabi sebenarnya bertugas menyampaikan dan
melaksanakan hokum yang ditentukan oleh Allah. Sumber hokum yang ditinggalkan Nabi
untuk umatnya setelah zamanya adalah Al-Qur’an dan Sunnah.
2. Periode Sahabat
Pada zaman para sahabat daerah yang dikuasai islam semakin luas. Daerah-daerah yang
diluar Semenanjung Arabia telah mempunyai kebudayaan yang lebih maju dan susunan
masyarakat yang modern dibandingkan dengan masyarakat Arabia ketika itu. Jadi persoalan-
persoalan yang dihadapi pada periode sahabat kepada masyarakat yang berada di daerah
baruitu lebih sulit penyelesainnya dibandigkan dengan persoalan yang dihadapi masyarakat
Arabia itu sendiri.
Untuk mencari penyelesaiannya para sahabat kembali kepada Al-Qur’an sunnah yang
ditinggalkan Nabi. Al-Qur’an sendiri pada masa sahabat dihafal sedangkan sunnah tidak
dihafal oleh semua sahabat, setelah Al-Qur’an dihafal oleh semua sahabat maka pada masa
kholifah Abu Bakar Al-Qur’an dibukukan sedangkan sunnah (hadits) tidak dibukukan karena
para sahabat lebih condong kepada Al-Qur’an.
Pada masa sahabat mempunyai masalah yang tidak bisa dselesaikan karena mereka sudah
mencari didalam al-qur’an dan hadits tidak bias menyelesaikan masalah tersebut, maka
mereka berijtihat untuk menyelesaikan masalah. Tetapi turunya wahyu Cuma pada periode
Nabi maka para sahabat melakukan ijma’ atau konsesus sahabat. Maksudnya ijma’ yaitu
kholifah tidak memutuskan masalah hokum dengan sendiri tetapi bertanya lebih dahulu
kepada para sahabat yang lainnya.
Sumber hokum yang ditinggalkan para sahabat adalah Al-Qur’an, Sunnah Nabi dan Sunnah
sahabat.
3. Periode Ijtihad
8. Pada periode ini islam mengalami kejayaan yang terjadi pada tahun 700-1000 Masehi.
Periode ini juga disebut periode pengumpulan hadist, ijtihad atau fatwa sahabat dan tabi’in
(generasi setelah sahabat). Sesuai dengan bertambah luasnya daerah islam, berbagai macam
bangsa masuk islam dengan membawa berbagai macam adat-istiadat, tradisi dan system
kemasyarakatan. Problematika hokum yang dihadapi beragam. Untuk mengatasi para ulam-
ulama banyak mengadakan ijtihad. Ijtihad mereka berdasarkan al-qur’an, sunnah nabi,
sunnah sahabat. Maka timbullah ahli-ahli hokum mujtahid yang disebut imam atau faqih
(fuqaha’) dalam islam.
Maka kita saat ini mengenal dengan nama mahzah yang dimana kita ketahui ada 4 mahzab
yaitu :mahzab Hanafi, mahzab Maliki, mahzab Syafi’I dan mahzab Hambali.
4. Periode Tklid
Periode taklid tejadi pada abad ke-4 Hijriah (abad ke-11 Masehi) bersamaan dengan
kemunduran islam dalan sejarahnya. Masyarakat sudah tidak tetuju pada sumber-sumber
hokum yang telah ada sebelum periodenya, tetapi mereka lebih tetu hanya untuk
mempertahankan hokum menurut mahzabnya masing-masing setiap individu atau kelompok.
Ulama-ulama caliber besar yang sederajat dengan Abu Hanafiah, Maliki, Syafi’I dan Ibnu
Hambal sudah tiadak ada lagi dan ijtihad yang dijalankan para ul;ama belum mencapai
derajat yang mujtahid, maka mereka hanya membawa kekacauan dalam bidang hokum dan
dalam masyarakat.
2.3. Pendekatan Psikologis
Psikologi atau Ilmu Jiwa adalah ilmu yang mempelajari jiwa seseorang melalui gejala
perilaku yang dapat diamatinya. Menurut Zakiah Daradjat bahwa perilaku seseorang yang
nampak jahiriyah terjadi karena dipengaruhi oleh keyakinan yang dianutnya. Seseorang
ketika berjumpa saling mengucapkan salam, hormat kepada kedua orang tua, kepada guru,
rela berkorban untuk kebenaran dan sebagainya adalah merupakan gejala-gejala keagamaan
yang dapat dijelaskan melalui ilmu jiwa agama. Ilmu jiwa agama sebagaimana dikemukakan
oleh Zakiah Darajat tidak akan mempersoalkan benar tidaknya suatu agama yang dianut oleh
seseorang, melainkan yang dipentingkan adalah bagaiman keyakinan agama tersebut terlihat
pengaruhnya dalam perilaku penganutnya.
Dalam ajaran agama banyak kita jumpai istilah-istilah yang menggambarkan sikap batin
seseorang. Misalnya sikap beriman dan sikap bertakwa kepada Allah, sebagai orang yang
9. saleh, orang yang berbuat baik, orang yang jujur dan sebagainya. Semua itu adalah gejala-
gejala kejiwaan yang berkaitan dengan agama.
Dengan ilmu jiwa seseorang selain akan mengetahui tingkat keagamaan yang dihayati,
dipahami dan dan diamalkan seseorang, juga dapat digunakan sebagai alat untuk
memasukkan agama ke dalam jiwa seseorang sesuai dengan tingkat usianya. Dengan ilu ini
agama akan menemukan cara yang tepat dan cocok untuk menamakannya.
Kita misalnya dapat mengetahui pengaruh dari salat, puasa, zakat, haji dan ibadah lainnya
dengan malalui Ilmu Jiwa Dengan mengetahui ini, maka dapat disusun langkah-langkah baru
yang lebih efisien lagi dalam menanamkan ajaran agama. Itulah sebabnya ilmu jiwa ini
banyak digunakan sebagai alat untuk menjelaskan gejala atau sikap keagamaan seseorang.
Dari uraian tersebut di atas kita melihat ternyata agama dapat dipahami melalui berbagai
pendekatan. Dengan pendekatan itu semua orang akan sampai pada agama. Seorang teolog,
sosiolog, antropolog, sejarawan, ahli ilmu jiwa dan budayawan akan sampai paa pemahaman
agama yang benar. Disini kita melihat bahwa agama bukan hanya monopoli kalangan teolog
dan normatif belaka, melainkan agama dapat dipahami semua orang sesuai dengan
pendekatan dan kesanggupan yang dimilikinya. Dari keadaan demikian seseorang akan
memiliki kepuasan dari agama, karena seluruh persoalan hidupnya mendapat bimbingan dari
agama.
2.4. Pendekatan Historis
Kata sejarah secara harfiah berasal dari bahasa arab “syajaratun” yang artinya pohon. Dalam
bahasa arab sendiri, sejarah disebut dengan tarikh. Adapun kata tarikh dalam bahasa
Indonesia artinya kurang lebih adalah waktu atau penanggalan. Kata Sejarah lebih dekat pada
bahasa Yunani yaitu historia, yang berarti ilmu atau orang pandai. Kemudian dalam bahasa
Inggris menjadi history, yang berarti masa lalu manusia. Kata lain yang mendekati acuan
tersebut adalah Geschichte yang berarti sudah terjadi.
Pengertian sejarah secara istilah ilmu yang didalamnya membahas berbagai peristiwa dengan
memperhatikan unsur tempat, waktu, obyek, latar belakang, dan pelaku dari peristiwa
tersebut. Menurut ilmu ini segala peristiwa dan dapat dilacak dengan melihat kapan peristiwa
itu terjadi, di mana, apa sebabnya, siapa yang terlihat dalam peristiwa tersebut.
Melalui pendekatan sejarah seseorang diajak menukik dari alam idealis ke alam yang bersifat
empiris dan mendunia. Dari keadaan ini seseorang akan melihat adanya kesenjangan atau
10. keselarasan antara yang terdapat dalam alam idealis dengan yang ada di alam empiris dan
historis.
Pendekatan kesejarahan ini amat dibutuhkan dalam memahami agama, karena agama itu
sendiri turun dari situasi yang konkret bahkan berkaitan dengan kondisi sosial
kemasyarakatan. Dalam hubungan ini Kuntowijoyo telah melakukan stusi yang mendalam
terhadap terhadap agama yang dalam hal ini Islam, menurut pendekatan sejarah. Ketika ia
mempelajari al-Qur’an, ia sampai pada suatu kesimpulan bahwa pada dasarnya kandungan al-
Qur’an itu terbagi menjadi dua bagian. Bagian pertama, berisi konsep-konsep, dan bagian
kedua, berisi kisah-kisah sejarah dan perumpamaan.
Dalam bagian pertama yang berisi konsep-konsep, kata mendapati banyak sekali istilah al-
Qur’an yang merujuk kepada pengertian-pengertian normatif yang khusus, doktrin-doktrin
etik, aturan-aturan legal dan ajaran-ajaran keagamaan pada umumnya. Istilah-istilah, atau
singkatnya pernyataan-pernyataan itu mungkin diangkat dari konsep-konsep yang telah
dikenal oleh masyarakat Arab pada waktu al-Qur’an diturunkan atau bisa jadi merupakan
istilah-istilah baru yang dibentuk untuk mendukung adanya konsep-konsep religius yang
ingin diperkenalkqnnya. Yang jelas, istilah-istilah itu kemudian diintegrasikan ke dalam
pandangan dunia al-Quran, dan dengan demikian, menjadi konsep-konsep yang otentik.
Dalam bagian pertama ini, kita mengenal banyak sekali konsep baik yang bersifat abstrak
maupun konkret. Konsep tentang Allah, konsep tentang Malaikat, tentang akhirat, tentang
ma’ruf, munkar dan sebagainya adalah konsep-konsep yang abstrak. Sementara itu juga
ditunjukkan konsep-konseo yang lebih menunjuk kepada fenomena konkret dan dapat
diamati (obsereable), misalnya konsep tentang fuqara (orang-orang fakir), dhu’afa (orang-
oran lemah), mustadh’afin (kelas tertindas), zhalimun (para tiran), agniya (orang-orang kaya),
mustakbirun (penguasa), mufasidun (koruptor-koruptor) dan sebagainya.
Selanjutnya jika pada bagian yang berisi konsep-konsep, al-Qur’an bermaksut membentuk
pemahaman yang komprehensif mengenai nilai-nilai Islam, maka pada bagian kedua yang
berisi kisah-kisah dan perumpamaan, al-Qur’an ingin mengajak dilakukannya perenungan
untuk memperoleh hikmah. Melalui kontemplasi terhadap kejadian-kejadian atau peristiwa-
peristiwa historis, dan juga melalui metafor-metafor yang berisi hikmah tersembunyi,
manusia diajak merenungkan hakikat dan maka kehidupan. Banyak sekali ayat yang berisi
ajakan semacam ini, tersirat maupun tersurat, baik menyangkut hkmat historis ataupun
11. menyangkut simbol-simbol. Misalnya simbol tentang rapuhnya rumah laba-laba, tentang
keganasan samudera yang menyebabkan orang-orang kafir berdoa.
Melalui pendekatan sejarah ini seseorang diajak untuk memasuki keadaan yang sebenarnya
berkenaan dengan penerapan suatu peristiwa. Dari sini, maka seseorang tidak akan
memahami agam keluar dari konteks historisnya. Seseorang ingin memahami al-Qur’an
secara benar misalnya, yang bersangkutan harus mempelajari sejarah turunnya al-Qur’an atau
kejadian-kejadian yang emngiringi urunnya al-Qur’an yang selanjutnya disebut sebagai Ilmu
Asbab An-nuzul (Ilmu tentang Sebab-sebab Turunnya Ayat Al-Qur’an) yang pada intinya
berisi sejarah turunnya ayat al-Quran. Dengan Ilmu Asbabunnuzul ini seseorang dapat
mengetahui hikmah yang terkandung dalam suatu ayat yang berkenaan dengan hukum
tertentu, dan ditujukan untuk memelihara syari’at dari kekeliruan memahaminya.[6]
2.5. Pendekatan Antropologis
Pendekatan antropologis yaitu suatu upaya untuk memahami agama dengan cara melihat
praktik keagamaan yang tumbuh dan berkembang dalam suatu masyarakat. Dengan
pendekatan seperti ini agama terasa akrab dan dekat dengan masalah-masalah yang di hadapi
setiap individu maupun kelompok untuk menyelesaikan suatu masalah yang sedang
dihadapinya. Jadi cara yang digunakannya dengan disiplin ilmu antropologi untuk memehami
agama. Menurut Dawam Rahardjo, dia lebih mengutamakan pengamaqtan langsung yang
bersifat partisipasif (menjadi bagian dalam suatu masyarakat). Pendekatan antopologis
dengan mengunakan cara penelitian yaitu: penelitian antropologis yang induktif dan
grounded maksudnya pendekatan yang turun kelapagan tanpa berpijak pada upaya untuk
membebaskan diri dari suatu teori-teori formal yang pada dasarnya sangat abstrak
sebagaimana yang dilakukan di bidang sosiologi dan ekonomi yang mempergunakan model –
model matematis, dan ini malah memberi banyak sumbagan terhadap penelitian historis.
Melalui pendekatan antropologi sosok agama yang berada pada dataran emprik akan dapat
dilihat sertat-seratnya dan latar belakang mengapa ajaran agama dapat dimunculkan dan
dirumuskan. Dalam penelitian antropologi agama dapat ditemukan adanya hubungan yang
positif antara kepercayaan agama dengan kondisi ekonomi dan politik suatu masyarakat.jadi
kkesimpulan penelitian antropologi, golongan masyarakat yang kurang mampudan golongan
masyarakat miskin pada umumnya lebih tertarik pada gerakan keagamaan yang bersifat
mesianis sedangkan golongan kaya lebih tertarik (cenderung) untuk mempertahankan tatanan
12. masyarakat yang sudah mapan secara ekonomi lantaran tatanan tersebut menguntungkan
pihaknya.[7]
2.6. Pendekatan Sosiologis
Sosiologis adalah ilmu yang mempelajari kehidupan manusia dalam tata kehidupan bersama.
Pusat perhatiannya adalah kehidupan kelompok dan tingkah laku sosial. Sosiologi
didefinisikan secara luas sebagai bidang penelitian yang tujuannya meningkatkan
pengetahuan melalui pengamatan dasar manusia, kebiasaan-kebiasaan, ritual-ritual, dan pola
organisasi serta hukum-hukumnya.
Dari definisi tersebut terlihat bahwa sosiologi adalah suatu ilmu yang menggambarkan
tentang keadaan masyarakat lengkap dengan struktur, lapisan, serta berbagai gejala sosial
lainnya yang saling berkaitan. Asumsi dasar pendekatan sosiologi terhadap agama adalah
bahwa gejala-gejala keagamaan dapat dimengerti dengan menganalisisnya sebagai gejala
sosial, sebagai sesuatu yang tercipta dalam hubungan antara manusia, dan karenanya dapat
dijelaskan dengan menggunakan terori-teori yang berlaku dalam ilmu sosial. Selanjutnya,
sosiologi dapat digunakan sebagai salah satu pendekatan dalam memahami agama. Hal
demikian dapat dimengerti, karena banyak bidang kajian agama yang baru dapat dipahami
secara proporsional dan tepat apabila menggunakan jasa bantuan dan ilmu sosiologi.
Jalaluddin Rahman dalam bukunya yang berjudul Islam Alternatif, menunjukkan betapa
besarnya perhatian agama yang dalam hal ini Islam terhadap masalah sosial, dengan
mengajukan lima alasan sebagai berikut:
Pertama, dalam Al-Qur’an atau kitab-kitab hadits, proporsi terbesar kedua sumber hukum
Islam itu berkenaan dengan urusan muamalah. Menurut Ayatullah Khomaeni dalam bukunya
Al-Hukumah Al-Islamiyah yang dikutip Jalaluddin Rahman, dikemukakan bahwa
perbandingan antara ayat-ayat ibadah dan ayat-ayat yang menyangkut kehidupan sosial
adalah satu berbanding seratus – untuk satu ayat ibadah, ada seratus ayat muamalah (masalah
sosial).
Kedua, bahwa ditekankannya masalah muamalah (sosial) dalam Islam ialah adanya
kenyataan bahwa bila urusan ibadah bersamaan waktunya dengan urusan muamalah yang
penting, maka ibadah boleh diperpendek atau ditangguhkan (tentu bukan ditinggalkan),
melainkan dengan tetap dikerjakan sebagaimana mestinya.
13. Ketiga, bahwa ibadah yang mengandung segi kemasyarakan diberi ganjaran lebih besar dari
pada ibadah yang bersifat seorangan. Karena itu shalat yang dilakukan secara berjamaah
dinilai lebih tinggi nilainya dari pada shalat yang dikerjakan sendirian (munfarid) dengan
ukuran satu berbanding dua puluh derajat.
Keempat, dalam Islam terdapat ketentuan bila urusan ibadah dilakukan tidak sempurna atau
batal karena melanggar pantangan tertentu maka kifaratnya (tembusannya) adalah melakukan
sesuatu yang berhubungan dengan masalah sosial.
Kelima, dalam Islam terdapat ajaran bahwa amal baik dalam bidang kemasyarakatan
mendapat ganjaran lebih besar dari pada ibadah sunnah.
Ilmu sosial dapat digunakan sebagai salah satu pendekatan dalam memahami agama. Hal ini
dapat dimengerti karena banyak bidang kajian agama yang baru dipahami secara imporsional
dan tepat apabila menggunakan jasa bantuan dari ilmu sosila. Pentingnya pendekatan sosial
dalam agama sebagaimana disebutkan diatas, dapat dipahami, karena banyak sekali ajaran
agama yang berkaitan dengan masalah sosial. Besarnya perhatian agama terhadap masalah
sosial ini selanjutnya mendorong kaum agama memahami ilmu-ilmu sosial sebagai alat untuk
memahami agamanya.
Pendekatan sosiologis dibedakan dari pendekatan studi agama lainnya karena fokus
perhatiannya pada interaksi antara agama dan masyarakat. Teori sosiologis tentang watak
agama serta kedudukan dan signifikansinya dalam dunia sosial, mendorong ditetapkannya
serangkaian kategori-kategori sosiologis, yaitu:
Stratifikasi sosial, seperti kelas dan etnisitas.
Kategori biososial, seperti seks, gender, perkawinan, keluarga, masa kanak-kanak, dan
usia.
Pola organisasi sosial meliputi politik, produksi ekonomis, sistem-sistem pertukaran,
dan birokrasi.
· Proses sosial, seperti formasi batas, relasi intergroup, interaksi personal,
penyimpangan, dan globalisasi.
14. Pendekatan sosiologis memiliki makna yang sangat penting dalam konteks studi islam.
Berbagai dinamika dan perkembangan yang terjadi dalam masyarakat memerlukan telaah
dan penelitan secara memadai. Dengan bantuan pendekatan sosiologis, dapat diungkap
berbagai karakteristik, kekayaan khazanah, dan deskiripsi yang unik dari komunitas muslim
di berbagai tempat.
2.7. Pendekatan Filosofis
Secara harfiah, kata filsafat berasal dari kata philo yang berarti cinta kepada kebenaran ilmu,
dan hikmah. Selain itu filsafat dapat pula berarti mencari hakikat tertentu, berusaha
menautkan sebab dan akibat serta berusaha menafsirkan pengalaman-pengalaman manusia.
Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia , Poerwadarminta mengartikan filsafat sebagai
pengetahuan dan penyelidikan dengan akal budi mengenai sebab-sebab, asas-asas, hukum
dan sebagainya terhadap segala yang ada dialam semesta ataupun mengenai kebenaran dan
arti adannya sesuatu . Jika kita melihat definisi yang diberikan oleh dua oranng yang mula-
mula mencintai kebijakan- Plato dan Aristoteles –kita dapat mulai melihat bagaimana
kemungkinan-kemungkinan itu dapat dimengerti. Plato mendiskripsikan filsuf sebagai orang
yang siap merasakan setiap bentuk pengetahuan, senang belajar dan tidak pernah puas.
Aristoteles juga memberikan suatu definisi filsafat sebagai “pengetahuan mengenai
kebenaran”. Terhadap kedua definisi tersebut kita dapat meambah definisi ketiga yang
diberikan oleh Sextus Empiricus, filsafat adalah suatu aktifitas yang melindungi kehidupi
yang bahagia melalui diskusi dan argumen. Maka unsure kunci yang menyusun “cinta pada
kebajikan” adalah kemauan menjaga pikiran tetap terbuka, kesediaan membaca secara luas,
dan mempertimbangkan selurh wilayah pmikiran dan memiliki perhatian pada kebenaran .
Semua itu adalah bagian dari suatu aktivitas atau proses dimana dialog, diskusi, dan
mngemukakan ide dan argumen merupakan intinya. Usur-unsur itu dikemukakan melaui
karya-karya Plato. Metoe Plato dalam berfilsafat adalah melalui dialog, berbincang dengan
orang lain (biasanya Socrates) atau sekelompok orang. Gagasannya adalah bahwa kkita dapat
menggunakan dialog untuk mencari kebenaran sesuatu. Dengan mengemukakan suatu ide
dan eorang menanggapinya,dan kemudinmelakukan perubahan dan penambahan ide itu
melaui respon yang diberikan dan mendengarkan respon lainnya, kita secara gradual
meninngkatkan kebenaran yang sedang kita bicarakan dalam tahapan dan tingnkatan yang
15. gradual. Dialog –dialog Plato jarang mencapai kesimpulan yang pasti, namun ini tidak
masalah karena ini justtru memberitahukan kkita hal yang menarik kentang filsafat.
Kenyataan ini menunjukan kepada kita bahwa filsafat memilki perhatian untuk memberikan
sesuatu pembahasan yang rasional ……tentang watang yang dilawaankan dengan
pembahasan yang diterima …murni berdasar otoritas atau kenyakinan atau tradisi.
Dengan kata lain, “cinta kepada kebajikan“ ini adalah suatu komitmen, suatu kemauan yang
mengikuti sesuatu argument atau alur pemikiran atau suatu ide sampai pada suatu
kesimpulan-kesimpulannya, namun setiap langkah proses itu selalu terbuka untuk
ditentangkan selalu terbukan untuk dibuktikan salah. Kesimpulan-kesimpulan yang dicapai
bersifat sementara dan tentative.
Pengertian filsafat yang umum digunakan adalah pendapat yang dikemukakan Sidi Gazalba .
Menurutnya filsafat adalah berfikir secara mendalam, sistematik, radikal dan universal dalam
rangka mencari kebenaran, inti, hikmah dan hakikat mngenai segala sesuatu yang ada.
Difinisi tersebut dapat diketahui bahwa filsafat pada intinya berupanya menjelaskan inti,
hakikat atau hikmah mengenai sesuatu yang berada diballik objek formanya. Filsafat mencari
sesuatu yang mendasar, asas dan inti yang terdapat diballik yang bersifat lahiriah.
Dalam pendekatan ini kita memperoleh petunjuk asal-usul datangnya filsafat. Saat ini ,
filsafat dilihat sebagai disiplin yang melatih orang dalam seni berfikir, apayang kami maksud
dengan “ seni berfikir “ adalah emperoleh sekumpulan keahlian yang memungkinkan
terjadinya sesuatu bentuk pemikiran tertentu. Bentuk pmikiran ini disebut dengan
argumentative atau kritis, pemikiran yang concern dengan pengajuan argument, menguji
kelemahannya, membelanya dari keberatan-keberatan, dan mengembangkannya dalam suatu
cara yang koheren dan logis. Berfilsafat sama halnya dengan murid-murid diajari menulis
esai. Seolah – olah melakukan dialog dengan diri sendiriatau dialog dengan lawan imaginer.
Secara khusus kita dapat mengidentifiksikan empat posisi mengenai hubungan antara filsafat
dan agama, sebagaimana muncul dalam suatu sejarah perdebatan. Keempat posisi itu adalah :
(1) Filsafat sebagai agama,(2) Filsafat sebagai pelayan agama,(3) Filsafat sebagai yang
membuat ruang bagi keimanan dan,(4) Filsafat sebagai perangkat analitis bagi agama.
Terhadap posisi itu kita dapat menambahkan , (5) Filsafat sebagia study tentang penalaran
yang digunakan dalam pemikkkiran keagamaan.
16. Posisi pertama, filsafat sebagai agama, di Barat dapat mencakup pemikiran-pemikiran seperti
Plato, Plotinus, Porphyry, Spinoza, Iris Murdoch, dan pemikir proses-khususnya.Hartshorne
dan Griffen. Inti dari pendekatan ini trletak pad aide bahwa dengan mereflesikaan watak
realitas tertinggi – kebaikan, Tuan (God), ketuhanan (divine)- kita dapat menemumkan
wawasan-wawasan yang sesungguhnya mengenai pengalaman manusia dan dunia, reefleksi
memberikan gambaran yang benar tengtang bagaimana sesuatu itu. Model paandangan
metafisik ini menunjukan pada kita apa yang tertinggi dan ultimate, dan memberikan kita
suatu system nilai bagi hidup dalam kehidupan sehari-hari.
Posisi kedua, filsafat sebagi pelayan agama, dapat mencakup pemikir-pemikir seperti
Aquinas, John Lock, Baasil Mitchell, dan Richard Swinburne. Refleksi memberikan
pengetahuan parsial tentang Tuhan atau beberapa bentuk lain dari ultimate spiritual : ia dapat
menunjukan rasionalitas dari proses menyakini bahwa Tuhan ada, mendiskusikan sifat-sfat
Tuhan, dalam tradisi Jodeo Kristen, refleksi berfungsi untuk membangnun argument-
argumen yang menunjukkan aktivitas Tuhan dalam sejarah dan kontrol Tuhan terhadap
dunia. Pelaksanaan refleksi dari ini dikenal dari teologi natural . Akan tetapi teologi natural
tidak dapat memberikan keimanan seseorang, ia mesyaratkan wahyu Tuhan jika orang harus
merenspon dengan keimanan dan menerima keanggunan penyelamatan. Bagi Aquinas,
wahyu adalah komunitas Tuhan tentang kebenaran tanpa bantuan akal, ia tidak dapat
diperoleh dengan sendirinnya, nalar manusia adalah “ muqadimmah” bagi keimanan. John
Locke mengembangkan hal ini dengan menyatakan bahwa akal menetapkan suatu standar
keebenaran .yanng ditetapkan oleh pengetahuan terwahyu,diuji otoritasnya,wahyu itu tidak
boleh bertentangan dengan standar-standar itu. Dan posisi ini dikembangkan dalam karya
Richard Swinburn baru-baru ini.
Posisi ketiga, filsafat sebagi pembuat ruang bagi keimanan dapat melipti pemikiran-
pemikiran seperti William Ockham, Immanuel Kant, Karl Bath, dan Alvin Plantiga. Refleksi,
paling banter hanya dapat memperliatkan ketidakmemadahinya dalam membuat
pertimbangan – pertimbangan tentang agama, dengan menunjukan keterbatasan-
keterbatasannya, refleksi membuka kemungkinan agama, dan menjelaskan ketergantungan
manusia pada wahyu yang dengannya kita memperoleh pengetahuan dari Tuhan.
Posisi keempat, filsafat sebagai study analisis terhadap agama baarangkali adalah posisi yang
paling akrab dan mencakup pemikir-pemikir seperti Antony Flew , Paul Van Buren , R.B.
Braith Waite,dan D.Z Phillips. Ini merupakan posisi paling akrab karena merupakan cara
17. berfilsafat agama yang paling dominan dalam dunia berbahasa Inggris. Tujuannya adalah
menganalisis dan menjelaskan watak dan fungsi bahasa keagamaan, menemukan bahasa
untuk membicarakan Tuhan, apa dasar – dasar yang digunakan untuk mendukung
pengetahuan-pengetahuan mereka dan bagaimana semua itu dikaitkan dengan cara hidup
mereka.
Posisi kelima, filsafat sebagai study penalaran yang digunakan dalam pemikiran keagamaan,
merupakan suatu perkembangan modern dan dapat mencakup pemikir-pemikir seperti David
Pailin, Maurice Wiles, dan Jhn Hick. Pendirian dibalik pendekatan agama jenis ini adalah
bahwa umat beriman adalah manusia dan oleh karena itu, struktur pemikiran mereka dan
kebudaya-kebudayaan partikkular, dimana mereka berada didalamnya merupakan kondisi
bagi apa yang mereka yakini. Tujuannya mencoba melihat telliti berbagai konteks dimana
orang beriman melangsungkan kehidupannya, mengidentifikasikan factor-faktor yang
beroperasi dalam konteks itu yang dapat memengaruhi kenyakinan seseorang, dan melihat
bagaimana kenyakinan itu diekspresikan dalam dokrin dan praktik. Penekanannya adalah
pada kebudayaan sebagai factor formatif dan berpengaruh terhadap kenyakinan keagamaan.
Sejumlah perangkat juga digunakan mencakup peranngkat historis, ilmiah, dan hermeneutic.
Pailin mlaporkan bahwa bentuk pendekatan ini memperoleh tanggapan yang menentang –
dan dia menunjukkan bahwa saat ini bentuk filsafat agama ini. Kita mesti menyepkati hal ini.
Tugas kita sekarang adalah berusaha mengidetifikasi karakteristik yang menjadi inti
pendekatan filosofis terhadap agama.[8]
2.8. Pendekatan Fenomenologis
Dalam diskursus filsafat, tern fenomenologi, bukanlah murni Husserlian. Jauh sebelumnya,
istilah ini telah digunakan oleh para filsuf untuk menjelaskan gejala atau penampakan sebuah
realitas. Menurut Cairus, orang pertama yang mengapresiasi tern ini adalah Lambert, seorang
filsuf yang karya-karyanya berpengaruh pada pertengahan abad 18, terutama bukunya Neo
18. Organom. Di buku ini, lanbert mengguanakan istilah ini untuk menjelaskan teorinya tentang
penampakan fundamental pada semua pengetahuan empirik. Masih pada masa yang sama,
Emmanuel Kant mmenggunakan istilah ini untuk membedakan antara phenomena dan
noumena. Baginya, manusiahanya mengenal fenomen-fenomen yang tampak dalam
kesadaran, bukan noumena, yaitu realitas di luar (berupa bnda atau hal-hal yang menjadi
objek kesadaran kita) yang kita kenal. Pada abad 19, term ini diberi arti lain oleh Hegel, yaitu
conversant about mind, pengetahuan tentang pikiran. Menurutnya, jika kita membaca pikiran
semata-mata dengan pengamatan dan penggeneralisasian berbagai fenomena dalam
penampakan dirinya, maka kita hanya akan memperoleh satu bagian dari pengetahuan
mental, dan inilah yang disebut phenomenology of mind.
Moritz Lazarus memakai kata ini menjelaskan perbedaan antara phenomenology dan
psychology. Yang pertama dimaksudkan untuk menggambarkan kehidupan mental (mental
life) dan yang kedua mencari penjelasan sebab akibat (causal explanation) kehidupan mental.
Filsafat Husserl dikembangkan melalui tiga tahap.
Pertama, dia merobohkan posisi ilmuwan psikologi psikometrik yang kukuh dengfan dasar-
dasar aritmatikanya. Bahkan, dia berusaha keras membuktikan sikap anti psikologistik
melalui dasar-dasar logika objektif dan matematis. Kedua, dia bertolak dari filsafat
konsepsional sebagai akar psikologi deskriptif Brentanian untuk mengembangkan sebuah
disiplin baru mengenai “fenomenologi” dan sebuah posisi yang bersifat metafisik yang
disebut “transendental idealism”, dan ketiga, dia mentransformasikan fenomenologinya yang
pada awalnya disamakan dengan metode solipsisme ke dalam suatu fenomenologi
intersubjektif yang berujung ke dalam suatu pandangan hidup ontologis yang mencakup
dunia sosial tentang budaya dan sejarah.
Ketiga tahapan perkembangan fenomenologi Husserl ini merupakan respon filosofisnya
terhadap situasi sosial dan budaya masyarakat Eropa pada saat itu. Husserl berpendapat
bahwa penyebab terjadinya bkrisis manusia Eropa saat itu karena mereka meninggalkan sikap
dan semangat Yunanian yang mempercayai adanya kebenara dan validitas universal
(“universally valid thruth”). Semangat ini kata Husserl, pernah menyatukan perbedaan Barat
selama beberapa abad. Namun, karena mereka mengingkari sikap ini, maka krisis pun tidak
terhindarkan. Untuk menyelamatkan krisis peradaban Eropa, dia menegaskan perlunya
dilakukan rehabilitasi terhadap gagasan-gagasan kepastian rasional dengan cara kembali
kepada metode fenomenologi, sebagai konsekuensi logis dari “proyek” rehabilitasi ini.
19. Begitulah ketika ia mengkritik para pendukung metode sains natural seperti pragmatisme,
“naturalisme” atau “psikologisme” kaum positivistik yang menurutnya bertanggung jawab
atas krisis humanitas tersebut.[9]
20. BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa sebenarnya pendekatan agama itu dapat di
lakukan dengan brbagai metode yaitu :
- pendekatan teologis yaitu pendekatan agama secara harfiah dapat diartikan sebagai
upaya memahami agama dengan menggunakan kerangka ilmu ketuhanan.
- Pendekatan Yuridis adalah hukum, jadi yamg dmaksud dengan pendekatan yuridis
adalah pemahaman agama islam secara hukum menurut islam.
- Pendekatan Psikologi atau Ilmu Jiwa adalah ilmu yang mempelajari jiwa seseorang
melalui gejala perilaku yang dapat diamatinya.
- Pendekatan Historis adalah ilmu yang didalamnya membahas berbagai peristiwa
dengan memperhatikan unsur tempat, waktu, obyek, latar belakang, dan pelaku dari peristiwa
tersebut.
- Pendekatan Antropologis yaitu suatu upaya untuk memahami agama dengan cara
melihat praktik keagamaan yang tumbuh dan berkembang dalam suatu masyarakat.
- Pendekatan Sosiologis adalah ilmu yang mempelajari kehidupan manusia dalam tata
kehidupan bersama.
- Pendekatan Filsafat yaitu sebagai pengetahuan dan penyelidikan dengan akal budi
mengenai sebab-sebab, asas-asas, hukum dan sebagainya terhadap segala yang ada dialam
semesta ataupun mengenai kebenaran dan arti adannya sesuatu.
3.2. Saran
21. Demikian makalah tentang Berbagai Pendekatan Konteks Studi Islam yang sudah kami
paparkan. Kami menyadari makalh kami jauh dari sempurna maka dari itu kritik yang
membangun dari pembaca sangat kami harapkan, untuk perbaikan makalah ini. Harapan dari
pemakalah, semoga maklah ini dapat memberi pengetahuan baru dan bermanfaat bagi kita
semua. Amin.
[1] Imam Suprayogo dan TobroniMetodologi Penelitian Sosial-Agama(Bandung : PT.
Remaja Rosdakarya, 2003)h.57-58
[2] Ibid, h.59
[3]Peter Connolly Aneka Pendekatan Studi Agama (Yogyakarta: LKiS Yogyakarta,
2002),h.323-324
[4] Ibid, h.332-335
[5] Ibid, h.373-376
[6] Ibid, hal 46-48
[7] Ibid hal 35-38
8Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1998) Hal. 42
[9] Lukman s. Thahir, studi islam interdisipliner.yogyakarta, qirtas, 2003, hal.57-61