Dokumen tersebut membahas tentang rhinosinusitis jamur. Terdapat dua klasifikasi utama rhinosinusitis jamur yaitu invasif dan non invasif, yang dibedakan berdasarkan tingkat invasi jamur ke jaringan. Rhinosinusitis jamur invasif dapat akut atau kronis, sedangkan non invasif terdiri dari infeksi fungal saprofitik dan fungus ball. Etiologi rhinosinusitis jamur invasif umumnya spesies Aspergillus pada pasien imunokomp
serbuk terbagi dan serbuk tabur yang gunakan untuk farmas
CSS Rhinosinusitis Jamur (Gerasimos Hasiholan)
1. CLINICAL SCIENCE STUDY
Rhinosinusitis Jamur
Disusun Oleh:
Veby Belo Musu’ Marewa 1415112
Petrisia Luvina 1415051
Gerasimos Hasiholan 1415150
Clarissa Amantha Rizky 1315016
Pembimbing:
dr. Yan Edwin Bunde, Sp. THT-KL, MH. Kes.
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA
BAGIAN ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG TENGGOROK KEPALA LEHER
RUMAH SAKIT IMMANUEL
BANDUNG
2019
2. PENDAHULUAN
Rhinosinusitis (RS) merupakan suatu kondisi peradangan yang melibatkan hidung dan sinus
paransal dengan terjadinya pembentukan cairan atau adanya kerusakan pada tulang dibawahnya.
Penyakit ini dapat mengenai semua rentang usia baik anak maupun dewasa dan salah satu
keluhan yang paling sering dialami oleh penderita yang dating berobat kedokter umum maupun
spesialis.Di amerika Serikat hampr 15 % penduduk pernah menderita paling sedikit satu kali
episode RS dalam hidupnya. Di Indonesia dimana penyakit infeksi saluran nafas akut masih
merupakkan penyakit utama kiranya kasus rhinosinusitis juga banyak dijumpai meskipun belum
terdiagnosis, sehingga angka kejadian belum jelas.
Saat ini, berbagai kontroversi mengenai rhinosinusitis kronik dan rhinosinusitis fungi.
Rhinosinusitis kronik tercatat 90% dari semua kasus rhinosinusitis, dan dengan mendiagnosis
yang tepat, rhinosinusitis dapat diberi terapi yag adekuat. Rhinosinusitis Kronis merupakah
salah satu kondisi kondisi medis paling umum ditemukan namun patofisiologinya paling sulit
dipahami. Meskipun diperkirakan prevalensi 15,7% diantara populasi umum Amerika Serikat,
rhinosinusitis kronis tetap merupakan penyakit yang sulit ditangani dengan pilihan pengobatan
saat ini. Pilihan bedah untuk rhinosinusitis kronis masih memiliki angka kejadian kekambuhan
pasca operasi yang cukup tinggi.
Rhinosinusitis dengan infeksi jamur atau yang disebut dengan rhinosinusitis jamur adalah
kondisi patologis pada sinus paranasal disertai inflamasi sinus yang disebabkan oleh infeksi
jamur. Berdasaran histopatologi invasi jamur ke jaringan, rhinosinusitis jamur terbagi dua
menjadi yang non invasif dan invasif. Kriteria diagnosis tertentu pada rhinosinusitis alergi jamur,
eosinophilia pada saluran nafas dan organisme jamur, pada lebih 90% pasien rhinosinusitis
kronis. Selanjutnya, sekitar 70% pasien dengan rhinosinusitis kronis yang sulit diatasi dengan
terapi konvensional, memberikan respon terhadap pemberian anti jamur topical intranasal,
dibuktikan dengan skor gejala membaik, tomografi computer sinus dan temuan endoskopi.
Menyadari adanya kepentingan keterlibatan rhinosinusitis fungi dalam rhinosinusitis kronik,
makan dikembangkanlah suatu protokol managemen dari rhinosinusitis fungi dalam
International Society for Human and Animal Mycology.
3. BAB I
Anatomi dan Histologi Hidung dan Sinus Paranasalis
I. Anatomi Hidung
Cavitas Nasi
Cavitas nasi merupakan suatu ruangan besar berisi udara yang terletak diatas dan dibelakang
hidung serta ditengah-tengah wajah
Berbentuk seperti pyramid dibatasi tulang-tulang. terletak tepat di bawah fossa cranii
posterior, bagian depan ditutupi oleh tulang rawan
Atap (Apex)
Relatif sempit, tersusun dari depan ke belakang oleh os frontale, os ethmoidale, dan os
sphenoidale
Dasar (Basis)
terbentuk sebagian besar oleh os maxilla dan sebagian kecil oleh os pallatinum
Dinding medial
Septum nasi dibagian tengah terbentuk oleh os ethmoidale dan vomer
Dinding lateral
Dibentuk oleh concha nasalis superior, concha nasalis media, dan concha nasalis inferior.
4. Dengan adanya concha, isi dalam cavitas nasi terdapat beberapa recessus dan meatus:
Recessus sphenoethmoidalis: celah sempit diatas concha nasalis superior, tempat
bermuara sinus sphenoidalis
Meatus nasi superior : dibawah concha nasalis superior, menerima beberapa saluran yang
berhubungan dengan cellulae ethmoidales posteriors
Meatus nasi medius: dibawah concha nasi media membentuk gambaran bukaan muara
seperti bualn sabit (hiatus semilunaris). Merupakan muara sinus frontalis, sinus
maxillaris, dan cellulae ethmoidales anteriores dan media
Meatus nasi inferior : dibawah concha inferior menerima sekresi ductus nasolacrimalis.
5. II. Anatomi Sinus Paranasalis
Terdapat 4 sinus paranasalis : sinus maxillaris, sinus frontalis, sinus sphenoidalis, cellulae
ethmodalis (anterior dan posterior). Sinus tersebut akan bermuara ke cavitas nasi. Sinus ini
dipersarafi oleh nervus trigeminus.
a. Sinus Maxillaris / Antrum Highmore
Merupakan sinus yang paling pertama berkembang, berbentuk pyramid. Berhubungan erat
dengan pertumbuhan gigi dengan infeksi sinus maxillaris, serta ekstraksi gigi yang menghasilkan
fistula oral antral
Struktur sinus maxillaris :
- Dasar : dinding nasal dengan puncak menuju processus zygomaticum
- Anterior : foramen intraorbitalis bagian midsuperior dengan N. infraorbitalis melewati atap
sinus dan keluar melewati foramen
- Atap : dibentuk dasar orbita
- Posterior : fossa pterygomaxillaris dengan arteri maxillaris interna, ganglion sphenopalatine,
kanalis vidian, nervus palatinus, dan foramen rotundum
b. Sinus Sphenoidalis
Terletak dalam corpus ossis sphenoidales, terbuka kea tap cavitas nasi melalui bukaan pada
dinding.
Batas-batas :
6. - Superior : cavitas cranii, dekat dengan glandula hypofisis dan chiasma opticus
- Lateral : Sinus Cavernosus
- Inferior dan anterior : Cavitas nasi
Dipersyarafi oleh ramus ethmoidalis posterior (cabang n.optalmicus) dan ramus orbitalis dari
ganglion pterygopalatinum (cabang n. maxillaris)
c. Sinus Frontalis
Terletak paling superior diantara sinus, bebrbenetuk segitiga dan merupakan bagian dari os
frontale. Sinus ini bermuara pada dinding lateral meatus nasi medius bagian anterior hiatus
semilunaris.
Dipersyarafi oleh n. supraorbitalis dan diperdarahi oleh a. ethmoidalis anterior
d. Cellulae ethmoidalis
Terletak pada kedua sisi os ethmoidale
Dipisahkan dengan cavita orbitalis oleh lamina orbitalis os ethmoidale dan cavitas nasi oleh
dinding medial labyrinthus ethmoidale.
7. III. Histologi Hidung
Terdiri atas:
- Vestibularis : dilapisi oleh epitel berlapis gepeng tidak berkeratin
- Pars respiratorius : dilapisi epitel bertingat bersilia dengan sel goblet. Pada lamina propria,
banyak terdapat kelenjar seromukosa yang akan mengeluaran sekret untu menjaga
kelembapan udara yang masuk, serta plexus venosus superficial untuk menghangatkan udara.
- Daerah olfaktori : dilapisi epitel silindris bertingkat. Terdiri dari tiga sel, yaitu : sel
sustentakular terdapat banyak mikrovili, sel basal, dan sel olfatorius. Pada daerah ini, juga
memiliki kelenjar bowman (tipe serosa
IV. Histologi Sinus Paranasalis
8. Dilapisi epitel bertingkat silindris bersilia dengan sedikit sel gobet dan lamina propria
terdapat sedikit kelenjar.
9. BAB II
Tinjauan Pustaka
1. Definisi
Rhinosinusitis fungi atau rhinosinusitis yang disebabkan oleh jamur merupakan suatu
penyakit yang memiliki spektrum bervariasi dalam gejala klinis, gambaran histologi dan kelainan
biologi. Rhinosinusitis dapat terjadi secara akut atau kronis dan lebih sering diklasifikasikan
sebagai non infasif dan invasif rhinosinusitis jamur yang dikategorikan berdasarkan invasi ke
jaringannya.
Rhinosinusitis jamur yang akut bersifat agresif dan mengalami perjalanan klinis selama
kurang dari tigapuluh hari. Rhinosinusitis subakut mengalami perjalanan klinis lebih dari 90 hari.
Namun saat ini, klasifikasi yang digunakan yaitu non infasif dan infasif rhinosinusitis.
2. Klasifikasi
Seperti yang dikatakan sebelumnya, rhinosinusitis jamur diklasifikasikan berdasarkan
histopatologi menjadi :
Rhinosinusitis Jamur Invasif
Rhinosinusitis Jamur akut
Kelainan ini muncul pada pasien yang memiliki keadaan immunocompromised yang berat
seperti pada pasien diabetes ketoasidosis, leukimia ataupun yang menjalani transplantasi organ.
Rhinosinusitis Jamur Kronis
Kelainan ini muncul pada pasien pasien yang memiliki sistem imun yang baik. Rhinosinusitis
kronis memiliki proses destruksi yang lambat yang biasa terjadi pada sinus ethmoidales dan
sinus shenoidales.
Rhinosinusitis Jamur Non Invasif
Infeksi Fungal Saprofitik
Saprophytic fungal infestation muncul ketika spora jamur tumbuh dimana mana dan
menempel hingga ke mukus yang keras, yang mana gagal untuk keluar dari kavitas sinus.
Gambaran ini hanya tampak saat operasi berlangsung.
Fungal Ball
10. Kelainan ini biasanya tumbuh pada kavitas sinus paranasal yang lembab pada pasien yang
memiliki keadaan imun yag baik. Fungsus ball juga dapat terjadi pada pasien imunodefisiensi
dan paling sering pada spesis Aspergillus.
Allergic Fungal Rhinosinusitis
Kelainan ini ditemukan tahun 1981 oleh Millar dan koleganya dan diperjelas oleh Katzenstein
dkk tahun 1983 yang menjelaskan temuan histopatologi yang unik. Kedua grup ini menyatakan
bahwa mukus tersebut setelah dilakukan pemeriksaan histopatologi adanya gambaran sel
nekrotik inflamasi, eosinofil dan kristal Charcot Leyden.
3. Etiologi
3.1.Rhinosiusitis Jamur Invasif
Rhinosinusitis Jamur Akut
Rhinosinusitis jamur akut atau disebut juga rhinosinusitis jamur invasif fulminan, hampir
selalu terjadi pada pasien imunodefisiensi, seperti pasien yang mengalami transplantasi organ,
diabetik ketoasidosis, atau pasien dengan leukimia (karena kadar rendah absolut dari neutrofil).
Rhinosinusitis jamur akut berlangsung cepat yaitu kurang dari 4 minggu. Seperti pada namanya,
keadaan ini bersifat cepat dan pada pemeriksaan histopatologi, jamur dapat terlihat menyebar di
jaringan tersebut.
11. Gambaran secara makroskopis biasanya menunjukkan mukosa yang pucat dan nekrosis karena
thrombosis pembuluh darah akibat invasi jamur. Secara histologi, mukosa mengalami proses
infark karena thrombosis pembuluh darah dan biasanya sedikit sel inflamasinya. (ncbi).
Rhinosinusitis jamur yang invasif patut dicurigai bila keadaan imunodefisiensi berkembang
menjadi demam dan gejala simtomatik di daerah organ hidung dan sinus paranasal, seperti
edema orbita, nyeri fasial, atau kongesti nasal. Hampir setengah pasien dengan rhinosinusitis
jamur akut akan menjadikan perhatian khusus bila adanya kelainan orbita seperti
ophtalmoplegia, proptosis, dan kehilangan penglihatan. Pemeriksaan endoskopi nasal akan
menunjukkan adanya nekrosis pada mukosa nasal yang mengindikasikan adanya mucormycosis
dan pada keadaan yang jarang, aktual sporulasi jamur akan timbul.
Spesies yang paling sering menjadi penyebab adalah Aspergillus, seperti A. Fumigatus atau
A. Flavus. Selain itu masih banyak spesien jamur yang menginvasi pasien imunodefisiensi
seperti, Scedosporium apiospermum; Pseudallescheria boydii; Fusarium sp.; Zygomycotes yang
menyebabkan mucormycosis.
Gambar 1. Rh
a. Gamb
imuno
b. Gamb
Asper
c. Adany
d. Hibrid
12. Rhinosinusitis Jamur Kronis
Rhinosinusitis jamur kronis atau disebut juga rhinosinusitis invasif indolen, biasanya muncul
pada pasien dengan atau tanpa keadaan imunodefisiensi. Gejala yang timbul biasanya
berkembang secara lambat dalam hitungan minggu sampai bulan. Rhinosinusitis jamur kronis ini
terbilang jarang terjadi. Organisme yang sering menginfeksi adalah Aspergillus flavus.
Gambaran histopatologi nya berupa gambaran granuloma dengan beberapa sel giant di dalam
hifa jamur. Biasanya pasien dengan imunodefisiensi datang dengan keluhan nyeri proptosis.
Spesies lainnya dapat menyebabkan penyebaran hingga ke orbita atau ke palatum, seperti A.
fumigatus, Alternaria spp., P. boydii.
Terapi untuk granuloma ataupun nongranuloma biasanya operasi dan terapi antifungal.
Steroid oral dapat membantu pada pasien rhinosinusitis jamur alergic.
3.2.Rhinosinusitis Jamur Non invasif
Infeksi Fungal Saprofitik
Infeksi fungal saprofitik muncul ketika spora jamur menempel dimana mana dan menyebar di
mukus yag keras akibat gagalnya drainase mukus di dalam kavitas sinus. Gambaran ini biasanya
tampak ketika operasi sinonasal berlangsung. Pengobatan yang biasa diterapkan adalah
pengangkatan mukus yang keras yang didalamnya terdapat spora jamur yang tumbuh.
Fungus Ball
Fungus ball merupakan akumulasi dari hifa hifa jamur pada satu kavitas sinus biasanya pada
sinus maksilaris meskipun dapat terjadi di ruangan lainnya atah bahkan sinus multipel. Beberapa
terminologi seperti mycetoma, aspergilloma dan granuloma, namun saat ini terminologi tersebut
sudah diganti dalam beberapa literatur. Fungus ball yang sering terjadi dan tumbuh di kavitas
yang lembab pada sinus paranasal dan biasanya pada pasien dengan keadaan imun yang baik.
Imunodefisiensi juga dapat menjadi fungus ball dan akan menjadi keadaan yang serius terutama
pada spesies Aspergillus spp.
Secara histologi, fungus ball dikarakteristikan sebagai akumulasi jamur atau masa fungi yang
fibrinois, atau nekrotik eksudat, dengan reaksi miniimal pada mukosa sinus. Dengan ini, tidak
ada keterlibatan invasi ke jaringan sekitar atau reaksi granuloma di sekitar jaringan tersebut.
Selain itu, fungus ball biasanya berkembang ketika adanya sumbatan aliran sinus seperti adanya
13. keganasan yang menghambat aliran sinus. Sehingga spora jamur akan terjebak dalam sinus
kemudian akan mengalami proliferasi dan terjadi ketidak seimbangan aliran normal mukus sinus.
Secara makroskopi, fungus ball berisi material yang berwarna hijau kekuningan yang tebal
dan lengket seperti keju. Secara mikroskopik akan terdapat gambaran hifa jamur yang ada di
ekstramukosa dan jaringan yang tidak invasif. Kalsifikasi dan kristal oksalat biasanya ditemukan
dalam sinus.
3.2.1. Allergic Fungal Rhinosinusitis
Allergic Rhinosinusitis Jamur
Kelainan ini ditemukan tahun 1981 oleh Millar dan koleganya dan diperjelas oleh Katzenstein
dkk tahun 1983 yang menjelaskan temuan histopatologi yang unik. Kedua grup ini menyatakan
bahwa mukus tersebut setelah dilakukan pemeriksaan histopatologi adanya gambaran sel
nekrotik inflamasi, eosinofil dan kristal Charcot Leyden. Pada Amerika Utara, kebanyakan kasus
tersebut disebabkan oleh spesies yang memiliki pigmen seperti Bipolaris dan Alternaria spp.,
Exserohilum robatum.
Gambar 2 : Fungus Ball
a. Gambaran CT Scan yang menunjukkan adanya fungus ball dalm sinus maksilaris
kiri dengan potongan koronal dengan gambaran hiperdense.
b. Gambaran makroskopis fungus ball
c. Hifa jamur pada pewarnaan Schiff
14. Pada kasus ini, terdapat keterlibatan alergen Imunoglobulin E yang menyebakan inflamasi
mukosa yang meninvasi sel inang. Ketika seseorang tersensitasi lingkungan yang memiliki kadar
fungal yang tinggi, akan terjadi hiperresponsif pada saluran napas atas atau bawah yang
signifikan. Hal tersebut yang membuat mukus akan mengobstruksi aliran mukus normal.
Semakin banyak allergen mukus yang diproduksi, semakin bertumbuh hebatlah pertumbuhan
jamur tersebut. Jamur akan bertahan di lokasi tersebut, dan menstimulus destruksi respon imun
sel inang, respon tersebut akan mengakibatkan gangguan dari sinus dan erosi tulang. Akumulasi
mukus yang mengandung eosinofil akan meningkatkan mediator inflamasi seperti eosinofil
peroksidase, TNF beta dan Interleukin 4 , 5, 10, dan 13. Mukus alergen yang sangat lengket yang
mengobstruksi saluran normal dan produksi sitokin proinflamasi yang hebat akan menginduksi
peryumbuhan polip nasal.
4. Diagnosis
4.1. Rhinosinusitis Jamur Akut
Gejala klinis pada Rhinosinusitis Jamur akut invasif dapat terjadi secara ringan sampai berat.
Gejala tersebut meliputi rinore dengan cairan jernih dan kongesti nasal dapat secara progresif
gejalanya akan semakin berat seperti demam, nyeri fasial yang berat, gangguan penglihatan,
bengkak di wajah, nekrosis pada fasial dan palatum, dan parese nervus kranialis. Erosi dari basis
kranium dengan invasi secara langsung ke otak yang akan menyebabkan gangguan mental dan
kesadaran.
Pada pemeriksaan fisik biasanya tidak banyak ditemukan sampai kavitas sinus nya mengalami
invasi yang lebih luas. Pemeriksaan awal untuk mendiagnosis berupa endoskopi nasal.
Gambaran endoskopi biasanya berupa gambaran nekrosis berupa mukosa yang kemerahan dan
pucat, bila semakin parah akan memberikan gambaran berupa mukosa yang gelap.
Pada pemeriksaan penunjang, biasanya dilakukan pemeriksaan radiologi berupa CT Scan
sebagai pemeriksaan penunjang pertama untuk mendiagnosis penyakit.
4.2. Rhinosinusitis Jamur Kronis
Rhinosinusitis jamur kronis bermanifestasi pada pasien dengan keadaan imun yang baik tanpa
adanya gangguan imunitas. Gejala pada penyakit ini berkembang secara lambat dan biasanya
berjalan lebih dari beberapa bulan hingga tahun. Gejala yang paling sering ditemukan berupa
15. proptosis karena erosi di orbita. Penyebaran di daerah lain menyebabkan timbulnya fistula dan
defisit neurologi. Komplikasi fatal akan menyebabkan erosi hingga ke arteri karotis internal dan
thrombosis sinus kavernosus.
Pemeriksaan fisik biasanya jarang ditemukan hingga pada saatnya muncul ketika beberapa
lokasi mengalami penyebaran yang menimbulkan gejala klinis. Pemeriksaan nasal endoskopi
biasanya ditemukan gambaran masa lunak atau mukosa yang mengalami ulserasi. Pemeriksaan
penunjang digunakan untuk menyingkirkan diagnosis banding berupa keganasan dengan
menggunakan CT Scan.
4.3. Fungus Ball
Pada fungus ball, biasanya ditemukan secara tidak sengaja pada pasien yang sedang
melakukan operasi endoskopi pada rhinosinusitis kronis atau secara tidak sengaja tampak pada
pemeriksaan radiologi kepala dan leher. Gejala klinisnya biasanya mirip dengan rhinosinusitis
kronis dengan adanya gejala obstruksi nasal, post nasal drip, nyeri fasial, atau keluar cairan yang
berbau. Fungus ball biasanya ditemukan di sinus maksilaris atau sinus sphenoid namun dapat
terjadi di ethmoid dan sinus frontalis.
4.4. Rhinosinusitis Jamur Alergi
Kriteria diagnosis rhinosinusitis jamur alergi dicetuskan oleh Bent dan Kuhn berupa :
i. Adanya hipersensitifitas tipe I dan adanya manifestasi alergi, skin test, dan serum
IgE.
ii. Polip nasal
iii. Ditemukan Gambaran CT scan yang menunjang berupa pembentukan mukokel,
erosi tulang, dan gambaran opak.
iv. Adanya mukus eosinofilik tanpa invasi jamur ke jaringan.
v. Gambaran positif ditemukan fungal pada sediaan apusan mikroskopis.
Bila anamnesis digali lagi, biasanya pasien memiliki riwayat rhinitis alergi dengan gejala
asma yang paling sering muncul. Gejala lainnya berupa obstruksi nasal unilateral, anosmia,
postnasal drip, dan produksi mukus yang tebal dan gelap.
16. Diagnosis lain yang biasanya dibutuhkan adalah skin prick test atau serum spesifik antigen
IgE test dengan adanya reaksi hipersensitifitas tipe I terhadap jamur. Pemeriksaan lainnya yang
dibutuhkan adalah total IgE dan pada pemeriksaan sediaan apus darah akan ditemukan
eosinofilia.
5. Patogenesis
Gambar 3 : CT Scan Rhinosinusitis Jamur Alergi
A. Potongan axial
B. Gambaran pasien dengan rhinosinusitis jamur alergi yang berat dengan
pembentukan mukokel yang meluas. Perluasan hingga ke fossa kranii anterior
yang menyebabkan mata kanan menjadi proptosis. Mukus eosinofil memberikan
gambaran yang heterogen di dalam rongga sinus.
17. Beberapa hipotesis rhinosinusitis kronik disebabkan oleh respon penjamu terhadap elemen
jamur yang dihirup melalui udara dan hipotesis barrier dari sistem imun. Hipotesis pertama
mengatakan, hasil inhalasi dan protein dari jamur dipresentasikan pada sel T yang udah
tersensitasi menyebabkan respon sitokin yang mengaktivasi eosinophil pada permukaan mukosa.
Hipotesis kedua, eosinophil menargetkan jamur sebagai respon perhatahanan penjamu yang
menyimpang dengan degranulasi dan kerusakan jaringan yang menyimbulkan gejala
rhinosinusitis.
Jamur memiliki protease instrinsik yang dapat menginduksi sitokin melalui aktivasi Protease
Activation Receptor (PAR) pada beberapa tipe sel melalui respon sel T helper 2. Jamur dapat
menghambat sinyal Janus Kinase/ Signal Transducers and Activators of Transcription (JAK-
STAT1) pada epitel yang dapat menghambat respon T helper 1 dan merangsang respon T helper
2. Dinding jamur mengandung chitin yang menginduksi respon T helper 2.
Hipotesis barrier sistem imun yang menyebabkan inflamasi kronik pada rhinosinusitis
disebabkan oleh defek mekanik dan sistem imun penjamu. Barrier mekanik terdiri dari mukus
yang berfungsi untuk menangkap benda asing yang masuk melalui hidung dan intercellular tight
junction yang membuat barrier memiliki sifat semi permeable sehingga benda asing memiliki
keterbatasan untuk melewati barrier tersebut. Defek barrier terjadi pada pasien cystic fibrosis
yaitu adanya gangguan aliran mukosilier dengan atau non polip. Menurunnya mucocilliary
clearance menyebabkan perpanjangan waktu transit pada benda asing sehingga mukosa hidung
benda asing. Jumlah protein tight junction yang menurun dan peningkatan degradasi protease
eksogen menyebabkan kelemahan barrier mekanik. Peningkatan okostatin M juga dapat
menganggu protein tight junction.
Fungsi sistem imun penjamu merupakan sistem pertahan setelah barrier mekanik.
Antimikroba penjamu disekresi oleh sel epitel, kelenjar, dan sel efektor penjamu meliputi
defensins, lisozim, s100s, cathelicidin, lactoferrin, pentraxin 3 , komplemen PLUNC dan
collectins. Jumlah protein tersebut bervariasi pada hidung dan sinus. Pada rhinosinusitis kronik ,
jumlah lactoferrin dan s100 menurun serta PLUNC menurun pada polip. PLUNC berhubungan
dengan rhinosinusitis kronik karena sebagai anti biofilm dan disekresi pada procesus uncinatus.
S100 penting untuk diferensiasi, penyembuhan luka, dan rekonstruksi barrier , dan efek
antimikroba.
18. Rhinosinusitis kronik terbagi berdasarkan polip dan non polip. Pada rhinosinusitis kronik
dengan polip, terjadi pengeluaran sitokin epitel yaitu TSLP dan IL33 yang mengaktivasi limfosit
penjamu (ILC2) sehingga keluar sitokin 2 tipe yaitu IL-5 dan IL-3. IL33 dan TSLP berikatan
dengan sel dendrit membantu respon adaptif sel Th 2. Rhinosinusitis kronik dengan polip juga
merangsang infiltrasi sel B dengan produksi lokal IgA, IgE dan IgG. Rhinosinusitis kronik juga
akan mengalami autoreaktif antibodi melalui regulasi protein BAFF. Hal ini menyebabkan
rekruitmen dan aktivasi sel efektor penjamu yang mempunyai fc reseptor ntuk memproduksi
immunoglobulin lokal. Antigen yang mengalami penetrasi ke barrier yang lemah akan
meningkatkan degranulasi sel efektor dan kerusakan jaringan.
6. Patofisiologi
Patofisiologi rhinosinusitis diawali dengan adanya invasi jamur melalui saluran napas yang
memicu proses inflamasi pada mukosa hidung dan sinus paranasal. Proses patologis yang terjadi
antara lain kerusakan epitel mukosa, pengurangan jumlah sel silia, serta peningkatan
produktivitas sel goblet yang menghasilkan sekret mukus. Adanya obstruksi membuat sekret
terperangkap dalam sinus paranasal.
7. Gejala Klinik
Sinusitis kronis adalah suatu inflamasi mukosa hidung dan sinus paranasal yang dapat
ditegakkan berdasarkan riwayat gejala yang diderita sudah lebih dari 12 minggu, dan sesuai
dengan 2 kriteria mayor atau 1 kriteria mayor ditambah 2 kriteria minor. Kriteria mayor antara
lain : nyeri pada wajah, hidung tersumbat, penurunan atau hilangnya penghidu, demam , sekret
nasal yang purulent, drainase hidung yang berubah warna dari saluran hidung, purulent Post
Nasal Drip, dan batuk. Kriteria minor antara lain : edem periorbital, sakit kepala, nyeri di wajah,
sakit gigi, nyeri telinga, sakit tenggorok, nafas berbau, bersin-bersin bertambah sering,dan
demam.
Sinusitis jamur dapat terjadi pada pasien dengan sinusitis kronik, yang memiliki faktor
predisposisi seperti neutropenia, AIDS, penggunaan jangka panjang kortikosteroid atau
antibiotik spektrum luas, diabetes yang tidak terkontrol, atau imun yang rendah. Perlu
diwaspadai adanya sinusitis jamur pada kasus berikut: sinusitis unilateral, yang sukar
19. disembuhkan dengan terapi antibiotik. Adanya gambaran kerusakan tulang dinding sinus atau
bila ada membran berwarna putih keabu-abuan pada irigasi antrum.
Mycetoma fungal sinusitis atau fungal ball merupakan bentuk non invasif, jamur tidak masuk
ke dalam jaringan tetapi membentuk gumpalan jamur di dalam lumen sinus. Tipe ini tidak
membuat kerusakan mukosa dan tulang. Sering hanya unilateral dan kebanyakan mengenai sinus
maksilaris. Gambaran klinisnya menyerupai sinusitis kronis yaitu sekret yang purulen, obstruksi
hidung, sakit kepala satu sisi, nyeri wajah, adanya post nasal drip, dan nafas yang berbau,
kadang-kadang dapat terlihat massa jamur bercampur sekret di dalam kavum nasi. Pada operasi
mungkin ditemukan massa yang berwarna coklat kehitaman kotor bercampur sekret purulen di
dalam rongga sinus.
Allergic Fungal sinusitis sering mengenai penderita atopi dewasa muda dengan polip hidung
atau asma bronkial. Secara klinis gejalanya mirip dengan sinusitis kronis berulang atau persisten,
lebih sering bilateral dengan keluhan hidung tersumbat dan sering ditemukan adanya polip. Bent
dan Kuhn membuat kriteria diagnosis untuk sinusitis alergi jamur yaitu:
1. Tes atau riwayat atopik terhadap jamur positif.
2. Obstruksi hidung akibat edema mukosa atau polip.
3. Gambaran CT Scan menunjukkan material yang hiperdens dalam rongga sinus dan erosi
dinding sinus.
4. Eosinifil positif
5. IgE total meningkat
6. Konfirmasi histopatologi dengan terlihatnya musin alergik dengan hifa-hifa jamur (kultur
jamur bisa positif atau negatif).
Invasive Fungal Sinusitis bersifat kronis progresif, dapat mengadakan invasi ke rongga orbita
dan intrakranial. Gambaran kliniknya menyerupai penyakit granuloma hidung. Penderita
biasanya mengeluh hidung tersumbat disertai gejala-gejala sinusitis kronis yang lain. Mungkin
terdapat granuloma dalam hidung dan sinus serta nekrosis jaringan, yang sering menyebabkan
ulkus pada septum. Granuloma dapat meluas ke struktur di sekitarnya. Sehingga menimbulkan
keluhan gangguan neurologik atau oftalmoplegia yang mirip dengan gejala tumor ganas.
8. Pemeriksaan Penunjang
20. 8.1. Pemeriksaan Laboratorium
Pada pasien dengan allergic fungal rhinosinusitis dapat ditemukan peningkatan total fungus
IgE spesifik, namun hal ini jarang terjadi pada pasien dengan sinus mycetoma.
8.2. Pemeriksaan Radiologi
Pasien dengan rhinosinusitis jamur biasanya dilakukan CT Scan sinus paranasal dengan
coronal view. Perubahan yang terjadi pada CT Scan ataupun foto polos sinus sama dengan yang
terjadi pada rhinosinusitis lain. Fungus ball pada pemeriksaan CT Scan tampak sebagai masa
metalic atau kalsifikasi dalam suatu rongga sinus. Pada allergic fungal rhinosinusitis didapatkan
gambaran erosi tulang dan densitas jaringan lunak yang heterogen akibat adanya allergic mucus.
Pada keadaan yang lebih lanjut terdapat gambaran erosi tulang dan invasi jaringan lunak. MRI
lebih baik dilakukan untuk mendiagnosis rhinosinusitis fungal. Dengan MRI dapat mengevaluasi
penyebaran ke susunan saraf pusat pada invasive fungal sinusitis.
8.3. Pemeriksaan Histopatologi
- Pada acute invasive fungal rhinosinusitis terdapat gambaran invasi dari hifa di mukosa,
submukosa dan pembuluh darah, termasuk arteri karotis dan sinus kavernosa, juga didapatkan
gambaran infark jaringan, perdarahan dan vaskulitis dengan trombosis
- Pada chronic invasive fungal rhinosinusitis didapatkan gambaran nekrosis dari mukosa,
submukosa dan pada pembuluh darah. Juga didapatkan tanda-tanda inflamasi ringan.
21. - Pada granulomatous invasive fungal rhiosinusitis didapatkan gambaran granuloma yaitu giant
sel yang mengandung hifa.
- Pada allergic fungal rhinosinusitis terdapat degenerasi eosinophil dan allergic mucin, kristal
Charcot-Leyden, debris selular, dan hifa. Pada mukosa sinus terdapat eosinophil, sel plasma
dan limfosit.
- Sedangkan pada mycetoma tidak didapatkan gambaran allergic mucin, namun terdapat fungus
ball yaitu masa jamur yang terbungkus jaringan fibrin, jaringan eksudat nekrotik dan terdapat
tanda inflamasi minimal.
22. B
Mycematosa A.Pembesaran kecil dari fungus ball pada sinus maxillaris, B. Pembesaran tinggi pada
fungus ball, terdapat massa jamur yang terbungkus fibrin dan terdapat tanda inflamasi minimal.
A
23. Chronic invasive fungal
rhinosinusitis F & G. Reaksi
granulomatosa terhadap Aspergillus
flavus pada pasien dengan
rinosinusitis jamur granulomatosa
invasif kronis
Allergic fungal rhinosinusitis C. pembesaran rendah pada allergic mucin terdapat gambaran seperti
lapisan-lapisan dan dijumpai adanya sel inflamasi dan debris, D.Gambaran kristal Charcot-Leyden
C D
E
Acute invasive fungal rhinosinusitis. E. Jamur
menginvasi pembuluh darah dan jaringan lunak
24. 8.4. Nasal Endoscopy
Pada nasal endoscopy dapat ditemukan gambaran nekrosis pada mukosa nasal dan dapat juga
ditemuan proses sporulasi. Namun biasanya hanya di dapakan gambaran edema dan perubahan
yang biasa terjadi pada rhinosinusitis.
F G
25. 9. Penatalaksanaan
9.1. Invasive fungal rhinosinusitis
Penatalaksanaan pada invasive fungal rhinosinusitis harus dibarengi dengan terapi pada
penyakit yang mendasarinya yang menyebabkan terjadinya imunokompromise. Penatalaksanaan
berupa terapi surgical debridement dan pemberian obat jamur sistemik. Jika penyebab
imunokompromise bersifat irreversible maka pengobatan tidak akan berhasil. Pada beberapa
pasien dilakukan infus granulosit untuk mengatasi imunokompromise dan kegagalan pada
pembedahan ataupun pemberian anti jamur .
Pada pasien invasive fungal rhinosinusitis yang megalami imunokompeten akan menjadi
kronis dan dapat menyebabkan kematian. Sama halnya dengan acute invasive rhinosinusitis,
chronic invasive rhinosinusitis, termasuk subtipe granulomatous dan nongranulomatous
dilakukan terapi yang sama terkecuali terapi koreksi imunodefisiensi. Terapi pada invasive
fungal rhiosinusitis yaitu endoscopic debridement dikombinasikan dengan pemberian anti jamur
sistemik maupun topikal.
Pada pasien dengan mucormycosis diberikan amphotericin B sistemik dan dilanjutkan dengan
pemberian secara intravena (IV) sebagai drug of choice dengan dosis 0,25 mg/kg/hari dengan
dosis maskimal 1,5mg/kg/hari. Namun pada pemberian awal dapat mengakibatkan efek samping
26. yaitu demam, mual dan hipotensi. Terdapat beberapa drug of choice lain yaitu golongan triazole
(floconazole, itraconazole, voriconazole, posaconazole) , echinocandins (caspofungin,
micafungin, dan anidulafungin) dan flucytosine. Voriconazole diberikan pada invasive fungal
rhinosinusitis dengan Aspergillus sebagai penyebab. Posaconazole diberikan pada pasien dengan
penyakit ginjal atau pasien dengan risiko gagal ginjal yaitu pada pasien dengan diabetes tidak
terkontrol.
9.2. Non invasive fungal rhinosinusitis
Pembedahan dan steroid
Penatalaksanaan pada allergic fungal rhinosinusitis (AFRS) adalah terapi konservatif,
pengangkatan nasal polip dan pembersihan dari allergic mucin yang dimana dapat dilakukan
dengan teknik endoskopi. Pembersihan mucin yang menempel dapat dilakuka dengan teknik
microdebriders namun prosedur ini berbahaya jika dilakukan pada daerah orbita atau tulang
cranial. Pemberian terapi steroid dilakukan saat pembedahan dilakukan yaitu dengan pemberian
prednisolon dengan dosis 60 mg selama beberapa hari dan dilakukan tappering off selama 2
hingga 4 minggu. Pemberian steroid postoperative juga menunjukan hasil yang baik, pada
pemberian acak antara placebo dan prednisolon 50 mg satu kali sehari selama 6 minggu dan
tappering off selama 6 minggu menghasilkan perbaikan gejala pada pemeriksaan endoskopi.
Immunoterapi
27. Pada awalnya pemberian immunoterapi tidak dilakukan karena dianggap akan memperburuk
penyakit melalui pembentukan kompleks imun. Namun pada enelitian yang dilakukan oleh
Marby et al menyatakan bahwa fungal spesific immunoteraphy setelah dilakukan Endoscopy
Sinus Surgery (ESS) menunjukan perbaikan secara klinis. Namun terapi immunoterapi masih
sangat kontroversial.
10. Komplikasi
Pada pasien dengan imunokompromise walaupun sudah dilakukan terapi bedah dan
pemberian anti jamur sistemik, tetap masih bisa menyebabkan beberapa komplikasi berupa
kebutaan, cerebral extension, cranial neuropathy, dan kematian.
Pada AFRS jika tidak diberikan terapi secara adekuat dapat menyebabkan erosi tulang
disekitar, adanya erosi biasanya ditandai dengan adanya proptosis pada pasien. Pada mycetoma
jika fungus ball tidak diterapi akan menyebabkan perburukan gejala sinusitis dan dapat
menginvasi orbita dan sistem saraf pusat. Pada acute invasive fungal rhinosinusitis dapat
menyebabkan kerusakan dan nekrosis jaringan, cavernous sinus thrombosis dan dapat
menginvasi SSP yang menyebabkan kematian (50%-80%). Dan sedangkan pada chronic
granulomatous fungal rhinosinusitis dan chronic invasive fungan rhinosinusitis akan
menyebabkan erosi ke orbita dan SSP jika tidak ditangani dengan adekuat.
28. BAB III
Kesimpulan
Rhinosinusitis fungi atau rhinosinusitis yang disebabkan oleh jamur merupakan suatu
penyakit yang memiliki spektrum bervariasi dalam gejala klinis, gambaran histologi dan kelainan
biologi, dapat bersifat akut maupun kronis. Para ahli membagi rhinosinusitis jamur sebagai
bentuk invasive dan non-invasif. Rhinosinusitis jamur invasive terbagi menjadi invasive akut
fulminant dan invasive kronik indolen..
Angka kejadian meningkat dengan meningkatnya pemakaian antibiotik, kortikosteroid, obat-
obat imunosupresan dan radioterapi. Kondisi yang merupakan predisposis antara lain diabetes
melitus, neutropenia, penyakit AIDS dan perawatan yang lama di rumah sakit. Jenis jamur yang
paling sering menyebabkan infeksi sinus paranasal ialah spesies Aspergillus dan Candida. Perlu
diwaspadai adanya sinusitis jamur pada kasus sebagai berikut: sinusitis unilateral, yang sukar
disembuhkan dengan terapi antibiotik.
Rhinosinusitis jamur invasif. akut, ada invasi jamur ke jaringan dan vaskular. Imunitas yang
rendah dan invasi pembuluh darah menyebabkan penyebaran jamur sangat cepat dan dapat
merusak dinding sinus, jaringan orbita dan sinus kavernosus, di kavum nasi, mukosa berwarna
biru-kehitaman da nada mukosa konta atau septum yang nekrotik. Untuk tipe jamur invasive
kronis bersifat kronis progresif dan bisa juga menginvasi hingga orbita atau intracranial,
perjalanan klinis lebih lambat, gejala mirip dengan rhinosinusitis bacterial, tetapi skret hidung
kental dengan bercak-bercak kehitaman. Pada rhinosinusitis jamur non invasive terdapat jamur
di dalam rongga sinus tanpa invasi ke dalam mukosa dan tidak mendetruksi tulang, gejala klinik
berupa rinore purulent, post nasal drip, dan nafas bau.
Selain dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik, dilakukan pemeriksaan penunjang berupa
pemeriksaan lab yang bila pada tipe alergi akan memberikan hasil peningkatan total fungus IgE
spesifik, pemeriksaan CT-Scan coronal view dan MRI, pemeriksaan histopatologis sangat
penting dalam penentuan klasifikasi dari rhinosinusitis jamur, serta dapat dilakukan pemeriksaan
nasal endoskopi.
Terapi untuk sinusitis jamur invasive ialah pemebedahan, debridemen, anti-jamur sistemik
dan pengobatan terhadap penyakit dasar. Obat standar adalah amfoterisin B, bisa ditambahalam
rifampisin atau flusitosin agar lebih efektif. Pada pasien dengan imunokompromise walaupun
29. sudah dilakukan terapi bedah dan pemberian anti jamur sistemik, tetap masih bisa menyebabkan
beberapa komplikasi berupa kebutaan, cerebral extension, cranial neuropathy, dan kematian
30. Daftar Pustaka
1. Drake, Richard L and Mitchell, Adam W.M. Gray's The Anatomical Basis of Clinical
Practice. 41st Edition : Elsevier, 2015. 9780702071645.
2. Dhingra, Shruti and Dhingra, PL. Disease of Ear, Nose, dan Throat - Head and Neck
Surgery. 6th Edition. India : Elshevier. ISBN: 978-81-312-3431-0.
3. Flint, W. Paul; Haughey, W. Bruce; Lund, J. Valerie; Niparko, K. John dkk. 2015.
Otolaryngology Head and Neck Surgery Cummings 6th Edition. Philadelphia US. Elsevier.
4. Chang, C. Christopher; Incaudo, A Gary; Gershwin, Eric. 2014. Diseases of Sinuses, A
comprehensive Textbook of Diagnosis and Treatment 2nd Edition. Philadelphia US. Springer.
5. Chakrabarti, Arunaloke; Denning, W. David; Ferguson, J. Berrylin; Ponikau, Jens dkk.
2009. Fungal Rhinosinusitis: A Categorization and Definitional Schema Addressing Current
Controversies. The American Laryngological Rhinological and Otological Society. Chandigarh,
India
6. Montone, T. Kathleen. 2016. Pathology of Fungal Rhinosinusitis: A Review. Head and
Neck patology Review. Philadelphia USA, Springer
7. Douglas R, Bruhn M, Tan LW, et al. Response of peripheral blood lymphocytes to fungal
extracts and staphylococcal superantigen B in chronic rhinosinusitis. Laryngoscope.
2007;117:411–4.
8. Orlandi RR, Marple BF, Georgelas A, et al. Immunologic response to fungus is not
universally associated with rhinosinusitis. Otolaryngol–Head Neck Surg : Off J Am Acad
Otolaryngol-Head Neck Surg. 2009;141:750–756. e751–752.
9. Shin SH, Lee YH, Jeon CH. Protease-dependent activation of nasal polyp epithelial cells
by airborne fungi leads to migration of eosinophils and neutrophils. Acta Otolaryngol.
2006;126:1286–94.
10. Bhushan B, Homma T, Norton JE, et al. Suppression of epithelial STAT1 activation by
extracts of Aspergillus fumigatus. Am J Respir Cell Mol Biol. 2014
11. Lee CG, Da Silva CA, Dela Cruz CS, et al. Role of chitin and chitinase/chitinase-like
proteins in inflammation, tissue remodeling, and injury. Annu Rev Physiol. 2011;73:479–501
31. 12. Wang X, Moylan B, Leopold DA, et al. Mutation in the gene responsible for cystic
fibrosis and predisposition to chronic rhinosinusitis in the general population. JAMA.
2000;284:1814–9
13. Antunes MB, Gudis DA, Cohen NA. Epithelium, cilia, and mucus: their importance in
chronic rhinosinusitis. Immunol Allergy Clin N Am. 2009;29:631–43
14. Pothoven KL, Norton JE, Hulse KE, et al. Oncostatin M promotes mucosal epithelial
barrier dysfunction, and its expression is increased in patients with eosinophilic mucosal disease.
J Allergy Clin Immunol. 2015
15. Ferguson Berrylin J, Stella Lee. 2015. Cummings Otolaryngology Head and Neck
Surgery. Ed 6. Hal 731-739. Canada: Elsevier.
16. Kathleen T. Montone, 2016. Pathology of Fungal Rhinosinusitis. Journal of Head and
Neck Pathology. Vol 10 (1). https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4746136/