Dokumen tersebut membahas tentang keutamaan mempelajari adab menurut para ulama. Adab dijelaskan sebagai akhlak yang mulia, dan para ulama mendahulukan mempelajari adab karena dengan demikian akan mudah memahami ilmu dan meraih berkah. Contoh Abu Hurairah yang karena adabnya mendengarkan Nabi banyak menghafal hadits."
2. POKOK BAHASAN
1. BELAJAR ADAB MENURUT ULAMA
2. APA ITU ADAB
3. KEUTAMAAN ADAB MULIA
4. BERKAH ADAB MULIA
5. CONTOH ADAB ULAMA’
6. ADAB ULAMA KETIKA BERBEDA
PENDAPAT
7. DOA AGAR MEMILIKI ADAB DAN
AKHLAK YANG MULIA
الفردوسي مبارك ابو نورالرحمة د
3. Imam Darul Hijrah, Imam
Malik rahimahullah pernah
berkata pada seorang
pemuda Quraisy,
العل تتعلم أن قبل األدب تعلم
م
“Pelajarilah adab
sebelum mempelajari
suatu ilmu.”
4. • Imam Malik bin Anas
menghabiskan waktu selama
16 tahun untuk mempelajari
adab dan 4 tahun untuk
mencari ilmu.
• Ibnul Mubarok berkata, “Kami
mempelajari masalah adab itu
selama 30 tahun, sedangkan
kami mempelajari ilmu selama
20 tahun.”
5. Sufyan at-Tsauri (w. 161 H)
mengatakan,
“Ketika seseorang ingin menulis
hadits, maka dia terlebih dulu
belajar adab dan ibadah dua puluh
tahun sebelumnya (menulis
hadits).”
[Abu Nu’aim, Hilyatu al-Auliya’,
Juz VI/361]
6. Imam Abu Hanifah
berkata,“Kisah-kisah para
ulama dan duduk bersama
mereka lebih aku sukai
daripada menguasai beberapa
bab fiqih. Karena dalam kisah
mereka diajarkan berbagai
adab dan akhlaq luhur
mereka.”
(Al Madkhol, 1: 164)
8. • Yusuf bin Al Husain berkata,
“Dengan mempelajari adab,
maka engkau jadi mudah
memahami ilmu.”
• Syaikh Sholeh Al ‘Ushoimi
berkata, “Dengan
memperhatikan adab maka
akan mudah meraih ilmu.
Sedikit perhatian pada adab,
maka ilmu akan disia-siakan.”
9. Ibn Mubarak (w. 181 H), menyatakan: “Siapa saja yang
meremehkan adab, maka dia akan disiksa dengan kekurangan
akan [amalan] sunah. Siapa saja yang meremehkan amalan
sunah, maka dia akan disiksa dengan kekurangan akan
[amalan] fardhu. Siapa saja yang meremehkan amalah fardhu,
10. Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah menuturkan:
“Adab seseorang itu adalah alamat
kebahagiaan dan keberuntungannya.
Sedangkan minimnya adab merupakan
alamat kenestapaan dan kerugiaannya.
Tidak ada kebaikan di dunia dan akhirat
yang diharapkan untuk diperoleh seperti
memperoleh adab. Begitu juga, tak ada
yang sudi mendapatkan keburukan di
dunia dan akhirat sebagaimana minimnya
adab.”
[Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah, Madarij as-
Salikin, Juz II/368]
11. Ibn Hajar al-Asqalani (w. 852 H) rahimahu–Llah,
menyatakan:
belajar adab artinya
mengambil akhlak
yang mulia.
[Lihat, Ibn Hajar, Fath al-Bari, Juz X/400]
12. Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah (w. 751 H) menyatakan:
“Ilmu adab: adalah ilmu untuk memperbaiki lisan
[tutur kata], seruan, ketepatan dalam
menempatkan pada posisinya, pemilihan kata
baik dan tepat, serta menjaganya dari
kesalahan dan cacat.”
[Ibn al-Qayyim al- Jauziyyah,
Madariju as-Salikin, Juz II/368]
14. َحَأ ْمُك ِ
ارَي ِخ ْنِم َّنِإ
َاْخَأ ْمُُُُِِا
قا
“Sesungguhnya sebaik-baik kalian
adalah yang
paling bagus akhlaqnya”.
(Muttafaqun ‘alaihi)
15. أ
، ًاانَمْيِإ َْنيُِِمْؤُمْال ُلَمْك
، ًاقُلُخ ْمُهَُُسْحَأ
َسُِِل ْمُكُارَي ِخ ْمُكُارَي ِخ َو
ْمِهِئا
“Yang paling sempurna keimanan seseorang mu’min adalah
yang paling bagus akhlaqnya dan sebaik-baik kalian adalah
yang paling baik
terhadap istri-istrinya”.
(HR. At-Tirmidzi)
16. إ
ِ
رْدُيَل َنِمْؤُمْال َّن
ُلُخ ِنْسُحِب ُك
ِهِق
َقْال ِمِئاَّصال َةَجَرَد
ِمِئا
“Sesungguhnya seorang mukmin bisa
meraih derajat orang yang rajin
dan shalat dengan sebab akhlaknya
yang luhur.”
(HR. Ahmad no. 25013 dan Abu
Dawud no. 4165)
17. ْال يِف ُعَضوُي ٍءْيَش ْنِم اَم
ِم ُلَقْثَأ ِانَيزِم
ْن
َب ِاحَص َّنِإ َو ِقُلُخْال ِنْسُح
ِقُلُخْال ِنْسُح
ِاحَص َةَجَرَد ِهِب ُغُلْبَيَل
َاَّصال َو ِم ْوَّصال ِب
ِة
“Tidak ada sesuatu pun yang lebih berat
timbangannya dari akhlaq mulia ketika
diletakkan di atas mizan (timbangan amal)
dan sungguh pemilik akhlaq mulia akan
mencapai
derajat orang yang mengerjakan puasa
dan shalat.”
(HR. Abu Dawud dan At Tirmidzi)
18. إ
َأ َو َّيَلِإ ْمُُِبَحَأ ْنِم َّن ِِ
ِلْجَم يُِِم ْمُُِبَرْق
اًس
ْخَأ ْمَُُُِِاَحَأ ِةَماَيِقال َم ْوَي
اًق َ
ا
“Sesungguhnya yang paling aku cintai di antara
kalian dan paling dekat tempat duduknya
denganku pada hari kiamat adalah mereka yang
paling bagus akhlaknya di antara kalian.” (HR. Tirmidzi
1941)
19. أ
ْال ِ
ْضبَر ْيِف ٍتْيَب ُمْيِعَز َان
ْال َكَرَت ْنَمِل ِةََُّج
َءاَرِم
اًّق ِحُم َانَك ْنِإ َو
،
َو يِف ٍتْيَب َو
َت ْنَمِل ِةََُّجْال ِطِْ
َكَر
ًاح ِ
ازَم َانَك ْنِإ َو َبِذَُْال
،
َمِل ِةََُّجْال ىَلْعَأ يِف ٍتْيَب َو
ُهَقُلُخ َنُسَح ْن
“Aku penjamin suatu rumah di surga yang paling bawah bagi orang
yang meninggalkan perdebatan walaupun dia benar. Dan aku
penjamin suatu rumah di surga bagian tengah bagi orang yang
meninggalkan berdusta walaupun bercanda. Dan aku penjamin
sebuah rumah di surga yang paling tinggi bagi orang yang bagus
akhlaqnya”. (HR. Abu Dawud)
21. Imam al-Bukhari dan Muslim telah meriwayatkan dari
al-A’raj, berkata, “Aku pernah mendengar Abu
Hurairah berkata:
“Aku adalah lelaki miskin. Aku membantu Rasulullah
saw dengan batas kemampuanku. Sementara kaum
Muhajirin mereka sibuk dengan berdagang di
Kaum Anshar sibuk mengurus harta mereka. Maka,
Rasulullah saw bertanya, “Siapa yang bersedia
membentangkan bajunya, maka dia tak akan
lupa sedikit pun apa yang dia dengarkan dariku.”
Maka, akupun membentangkan bajuku, hingga
baginda pun menyampaikan haditsnya. Lalu, aku
menghimpunnya di dalam diriku. Sejak itu, aku tak
pernah lupa sedikitpun tentang apa yang aku
dengarkan dari baginda saw.”
[HR. Bukhari dan Muslim]
22. • Abu Hurairah datang ke Madinah,
setelah peristiwa Perang Khaibar,
setelah Sulh Hudaibiyah, tahun 6 H.
• Beliau hanya bersama Nabi tidak
kurang dari 4 tahun.
• Tetapi, karena tekadnya
membersamai Nabi saw itulah yang
membuatnya menguasai banyak
hadits, dan karamah, karena doa
dari Nabi saw.
23. Imam Abu Hanifah (w. 148 H)
menuturkan,
“Aku membersamai Hamad bin Abi
Sulaiman selama 12 tahun. Aku
tidaklah shalat, sekali saja, sejak
Hamad wafat, kecuali aku
memintakan ampunan untuknya dan
kedua orang tuaku. Aku juga
memintakan ampunan untuk mereka
25. Thawus bin Kisan
berkata,
“Di antara perkara sunah
[tuntunan Nabi] adalah
menghormati orang
‘alim [yang berilmu].”
[Ibn ‘Abd al-Barr, Jami’ Bayan
al-‘Ilm, Juz I/519]
26. Al-Hasan al-Bashri menuturkan, “Ibn
‘Abbas tampak menuntun tunggangan
Ubay bin Ka’ab. Kemudian ada yang
bertanya kepada beliau, “Anda adalah
putra dari paman Rasulullah, Anda
menuntun tunggangan seorang lelaki
Anshar?” Beliau menjawab, “Sudah
menjadi keharusan bagi tinta [sumber
ilmu] untuk diagungkan dan
[al-Khathib al-Baghdadi, al–Jami’ li
Akhlaq ar-Rawi, Juz I/108]
27. ‘Amir as-Sya’bi juga berkata,
“Ibn ‘Abbas telah memegangi
tunggangan Zaid bin Tsabit,
beliau berkata, “Anda
memegangi untukku, sementara
Anda adalah putra dari paman
Rasulullah?” Beliau menjawab,
“Beginilah kami seharusnya
memperlakukan ulama’.”
[al-Khathib al-Baghdadi, al-
Jami’ li Akhlaq ar-Rawi, Juz
I/108]
28. ‘Abdurrahman bin Zaid bin Aslam
berkata, “Yahya bin Sa’id telah
membersamai Rabi’ah bin Abi
‘Abdurrahman at-Taimi. Jika Rabi’ah
berhalangan, Yahya menyampaikan
hadits kepada mereka dengan
sempurna. Beliau adalah murid yang
banyak menguasai hadits. Tetapi, jika
Rabi’ah hadir, maka Yahya pun
menahan diri, karena
Rabi’ah. Bukan karena Rabi’ah lebih
tua darinya, padahal usianya sama.
Masing-masing saling
menghormati.”
29. Muhammad bin Rafi’ berkata, “Aku bersama Imam Ahmad dan
Ishaq di tempat Imam ‘Abdurrazzaq. Hari Raya Idul Fitri
menghampiri kami. Kami keluar bersama ‘Abdurrazzaq ke
tempat shalat. Kami bersama banyak orang. Ketika kami
kembali, ‘Abdurrazzaq mengajak kami makan. Beliau berkata
kepada Imam Ahmad dan Ishaq, “Hari ini aku melihat ada
yang aneh pada diri kalian berdua. Mengapa kalian tidak
mengumandangkan takbir?” Imam Ahmad dan Ishaq
menjawab, “Wahai Abu Bakar [Imam ‘Abdurrazzaq], kami
menunggu, apakah Anda mengumandangkan takbir atau
tidak? Maka, kami pun akan mengumandangkan takbir. Ketika
kami melihatmu tidak mengumandangkan takbir, maka kami
pun menahan diri.” Beliau berkata, “Aku juga melihat kalian
berdua. Apakah kalian berdua mengumandangkan takbir,
tidak?” Maka,
aku pun akan mengumandangkan takbir.”
[ad-Dzahabi, Siyar al-A’lam an-Nubula’, Juz IX/566]
30. ADAB IMAM MUSLIM KEPADA IMAM
AL-BUKHARI (GURUNYA)
“Biarkanlah aku mencium kedua kakimu, wahai guru para guru,
penghulu para ahli hadits, dan dokter hadits yang menguasai segala
macam penyakitnya.”
[ad-Dzahabi, Siyar al-A’lam an-Nubula’, Juz XII/432]
32. Imam Adz-Dzahabi menukil di Siyar A’lamin Nubala’, dari
Imam Hafidz Abu Musa Yunus bin ‘Abdul A’la
Misri, salah satu sahabat Imam Syafi’i, dia berkata: “Aku
tidak melihat orang berakal melebihi Syafi’i, aku
mendebatnya tentang suatu masalah pada suatu hari,
kemudian kami berpisah, lalu dia menemuiku, dan
menggandeng tanganku, lalu berkata:
“Wahai Abu Musa, bukankah kita tetap
bersaudara (bersahabat) meskipun kita tidak
bersepakat dalam suatu masalah?”
(Siyar A’lamin Nubala’, 10: 16)
33. Berkata Ahmad bin Al Laits:
“Aku mendengar Ahmad bin Hambal
berkata: “Aku akan benar-benar
mendo’akan Syafi’i dalam shalatku
selama 40 tahun, aku berdoa: ”Ya
Allah, ampunilah diriku dan orang
tuaku, dan Muhammad bin Idris
Asyafi’i.”
(Manaqib As Syafi’i lil Baihaqi, hal. 254,
vol. 2)
35. ْنِم َكِب ُذوُعَأ ىِنِإ َّمُهَّالل
ِقَاْخَألا ِتاَرَُُُْم
ِاء َوْهَألا َو ِلاَمْعَألا َو
“Ya Allah, aku berlindung kepadamu dari akhlaq, amal dan hawa nafsu
yang mungkar.”
(HR. Tirmidzi no. 359)
36. ْخَألا ِنَسْحَ ِ
أل ىِنِدْها َّمُهَّالل
ىِدْهَي َال ِقَا
ِ
رْصا َو َتْنَأ َّالِإ اَهَُِسْحَ ِ
أل
اَهَئِيَِ ىَُِع ْ
ف
َال
َّالِإ اَهَئِيَِ ىَُِع ُف ِ
رْصَي
َتْنَأ
“Ya Allah, tunjukilah padaku akhlak yang baik, tidak ada yang dapat
menunjukinya kecuali Engkau. Dan palingkanlah kejelekan akhlak
dariku, tidak ada yang memalingkannya kecuali Engkau.”
(HR. Muslim no. 771, dari ‘Ali bin Abi Tholib)