Teks ini membahas pemikiran filsuf Carl Gustav Hempel terkait eksplanasi ilmiah, teori konfirmasi, dan paradoks burung gagak. Hempel mengusulkan model nomologis-deduktif untuk eksplanasi ilmiah di mana explanandum dapat dideduksi dari hukum-hukum ilmiah dan kondisi awal. Ia juga mengusulkan pengukuran derajat konfirmasi hipotesis melalui bukti-bukti. Paradoks burung gagak menjadi tantangan bagi te
Pendidikan holistik merupakan suatu filsafat pendidikan yang berangkat dari pemikiran bahwa pada dasarnya seorang individu dapat menemukan identitas, makna dan tujuan hidup melalui hubungannya dengan masyarakat, lingkungan alam, dan nilai-nilai spiritual. Secara historis, pendidikan holistik sebetulnya bukan hal yang baru.
Tujuan pendidikan holistik adalah membantu mengembangkan potensi individu dalam suasana pembelajaran yang lebih menyenangkan dan menggairahkan, demoktaris dan humanis melalui pengalaman dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Melalui pendidikan holistik, peserta didik diharapkan dapat menjadi dirinya sendiri (learning to be). Dalam arti dapat memperoleh kebebasan psikologis, mengambil keputusan yang baik, belajar melalui cara yang sesuai dengan dirinya, memperoleh kecakapan sosial, serta dapat mengembangkan karakter dan emosionalnya (Basil Bernstein).
Pendidikan holistik memperhatikan kebutuhan dan potensi yang dimiliki peserta didik, baik dalam aspek intelektual, emosional, emosional, fisik, artistik, kreatif, dan spritual. Proses pembelajaran menjadi tanggung jawab personal sekaligus juga menjadi tanggung jawab kolektif, oleh karena itu strategi pembelajaran lebih diarahkan pada bagaimana mengajar dan bagaimana orang belajar. Beberapa hal yang harus dipertimbangkan dalam mengembangkan strategi pembelajaran holistik, diantaranya: (1) menggunakan pendekatan pembelajaran transformatif; (2) prosedur pembelajaran yang fleksibel; (3) pemecahan masalah melalui lintas disiplin ilmu, (4) pembelajaran yang bermakna, dan (5) pembelajaran melibatkan komunitas di mana individu berada.
Dalam pendidikan holistik, peran dan otoritas dosen untuk memimpin dan mengontrol kegiatan pembelajaran hanya sedikit dan dosen lebih banyak berperan sebagai sahabat, mentor, dan fasilitator. Peran dosen seperti seorang teman dalam perjalanan yang telah berpengalaman dan menyenangkan.
Kampus sebagaimana Sekolah hendaknya menjadi tempat peserta didik dan dosen bekerja guna mencapai tujuan yang saling menguntungkan. Komunikasi yang terbuka dan jujur sangat penting, perbedaan individu dihargai dan kerjasama (kolaborasi) lebih utama dari pada kompetisi.
Teori ini berkembang sejalan dengan perkembangan teknologi dan ilmu informasi. Hakekat manajemen pembelajaran berdasarkan teori belajar sibernetik adalah usaha guru untuk membantu siswa mencapai tujuan belajarnya secara efektif dengan cara memfungsikan unsur-unsur kognisi siswa, terutama unsur pikiran untuk memahami stimulus dari luar melalui proses pengolahan informasi.
Pendidikan holistik merupakan suatu filsafat pendidikan yang berangkat dari pemikiran bahwa pada dasarnya seorang individu dapat menemukan identitas, makna dan tujuan hidup melalui hubungannya dengan masyarakat, lingkungan alam, dan nilai-nilai spiritual. Secara historis, pendidikan holistik sebetulnya bukan hal yang baru.
Tujuan pendidikan holistik adalah membantu mengembangkan potensi individu dalam suasana pembelajaran yang lebih menyenangkan dan menggairahkan, demoktaris dan humanis melalui pengalaman dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Melalui pendidikan holistik, peserta didik diharapkan dapat menjadi dirinya sendiri (learning to be). Dalam arti dapat memperoleh kebebasan psikologis, mengambil keputusan yang baik, belajar melalui cara yang sesuai dengan dirinya, memperoleh kecakapan sosial, serta dapat mengembangkan karakter dan emosionalnya (Basil Bernstein).
Pendidikan holistik memperhatikan kebutuhan dan potensi yang dimiliki peserta didik, baik dalam aspek intelektual, emosional, emosional, fisik, artistik, kreatif, dan spritual. Proses pembelajaran menjadi tanggung jawab personal sekaligus juga menjadi tanggung jawab kolektif, oleh karena itu strategi pembelajaran lebih diarahkan pada bagaimana mengajar dan bagaimana orang belajar. Beberapa hal yang harus dipertimbangkan dalam mengembangkan strategi pembelajaran holistik, diantaranya: (1) menggunakan pendekatan pembelajaran transformatif; (2) prosedur pembelajaran yang fleksibel; (3) pemecahan masalah melalui lintas disiplin ilmu, (4) pembelajaran yang bermakna, dan (5) pembelajaran melibatkan komunitas di mana individu berada.
Dalam pendidikan holistik, peran dan otoritas dosen untuk memimpin dan mengontrol kegiatan pembelajaran hanya sedikit dan dosen lebih banyak berperan sebagai sahabat, mentor, dan fasilitator. Peran dosen seperti seorang teman dalam perjalanan yang telah berpengalaman dan menyenangkan.
Kampus sebagaimana Sekolah hendaknya menjadi tempat peserta didik dan dosen bekerja guna mencapai tujuan yang saling menguntungkan. Komunikasi yang terbuka dan jujur sangat penting, perbedaan individu dihargai dan kerjasama (kolaborasi) lebih utama dari pada kompetisi.
Teori ini berkembang sejalan dengan perkembangan teknologi dan ilmu informasi. Hakekat manajemen pembelajaran berdasarkan teori belajar sibernetik adalah usaha guru untuk membantu siswa mencapai tujuan belajarnya secara efektif dengan cara memfungsikan unsur-unsur kognisi siswa, terutama unsur pikiran untuk memahami stimulus dari luar melalui proses pengolahan informasi.
Hubungan Presiden dengan MK di atur di dalam :
UUD 1945 pasal 24C ayat 2 yang berbunyi, “Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar.
UUD 1945 pasal 24C ayat 3 yang berbunyi, “Mahkamah Konstitusi mempunyai sembilan orang anggota hakim konstitusi yang ditetapkan oleh Presiden, yang diajukan masing-masing tiga orang oleh Mahkamah Agung, tiga orang oleh Dewan Perwakilan Rakyat, dan tiga orang oleh Presiden. ”UU no 48 tahun 2009 pasal 29 ayat 2 yang berbunyi, “Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden. ”UU no 48 tahun 2009 pasal 34 ayat 1 yang berbunyi, “Hakim konstitusi diajukan masing-masing 3 (tiga) orang oleh Mahkamah Agung, 3 (tiga) orang oleh Dewan Perwakilan Rakyat, dan 3 (tiga) orang oleh Presiden.”
Berdasarkan ketentuan Pasal 24C UUD 1945 dan UU No.24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (MK), MK mempunyai lima kewenangan. Yakni, menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD, memutus pembubaran partai politik, memutus perselisihan hasil pemilu (baik di tingkat nasional maupun pemilihan umum kepala daerah) dan memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden (impeachment).
Makalah Teori Belajar - Pemrosesan InformasiDedy Wiranto
Belajar merupakan tindakan dan perilaku siswa yang kompleks. Sebagai tindakan, maka belajar hanya dialami oleh siswa sendiri. Siswa adalah penentu terjadinya atau tidak terjadinya proses belajar. Proses belajar terjadi berkat siswa mempelajari sesuatu yang ada di lingkungan sekitar. Lingkungan yang dipelajari oleh siswa berupa keadan alam, benda-benda atau hal-hal yang dijadikan bahan belajar.
Mengedepankan wacana tentang Edmund Husserl tidak boleh tidak harus menyentuh core ideanya tentang filsafat, yaitu “Fenomenologi”, sebab dialah yang – paling tidak hingga saat ini – dianggap sebagai pendiri aliran pemikiran ini. Bertens, dalam salah satu tulisannya, menyatakan bahwa selaku pendiri aliran fenomenologi, Husserl telah mempengaruhi filsafat abad kita ini secara amat mendalam.[1] Sebegitu mendalamnya pengaruh pemikiran Edmund Husserl terhadap pemikiran filsafat abad ini, Delfgaauw, seorang filosof Belanda, bahkan dengan tegas menyatakan bahwa filsafat jaman kita (ini) dipengaruhi secara mendalam oleh fenomenologi yang diajarkan oleh Edmund Husserl (1859-1938).[2]
Hubungan Presiden dengan MK di atur di dalam :
UUD 1945 pasal 24C ayat 2 yang berbunyi, “Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar.
UUD 1945 pasal 24C ayat 3 yang berbunyi, “Mahkamah Konstitusi mempunyai sembilan orang anggota hakim konstitusi yang ditetapkan oleh Presiden, yang diajukan masing-masing tiga orang oleh Mahkamah Agung, tiga orang oleh Dewan Perwakilan Rakyat, dan tiga orang oleh Presiden. ”UU no 48 tahun 2009 pasal 29 ayat 2 yang berbunyi, “Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden. ”UU no 48 tahun 2009 pasal 34 ayat 1 yang berbunyi, “Hakim konstitusi diajukan masing-masing 3 (tiga) orang oleh Mahkamah Agung, 3 (tiga) orang oleh Dewan Perwakilan Rakyat, dan 3 (tiga) orang oleh Presiden.”
Berdasarkan ketentuan Pasal 24C UUD 1945 dan UU No.24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (MK), MK mempunyai lima kewenangan. Yakni, menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD, memutus pembubaran partai politik, memutus perselisihan hasil pemilu (baik di tingkat nasional maupun pemilihan umum kepala daerah) dan memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden (impeachment).
Makalah Teori Belajar - Pemrosesan InformasiDedy Wiranto
Belajar merupakan tindakan dan perilaku siswa yang kompleks. Sebagai tindakan, maka belajar hanya dialami oleh siswa sendiri. Siswa adalah penentu terjadinya atau tidak terjadinya proses belajar. Proses belajar terjadi berkat siswa mempelajari sesuatu yang ada di lingkungan sekitar. Lingkungan yang dipelajari oleh siswa berupa keadan alam, benda-benda atau hal-hal yang dijadikan bahan belajar.
Mengedepankan wacana tentang Edmund Husserl tidak boleh tidak harus menyentuh core ideanya tentang filsafat, yaitu “Fenomenologi”, sebab dialah yang – paling tidak hingga saat ini – dianggap sebagai pendiri aliran pemikiran ini. Bertens, dalam salah satu tulisannya, menyatakan bahwa selaku pendiri aliran fenomenologi, Husserl telah mempengaruhi filsafat abad kita ini secara amat mendalam.[1] Sebegitu mendalamnya pengaruh pemikiran Edmund Husserl terhadap pemikiran filsafat abad ini, Delfgaauw, seorang filosof Belanda, bahkan dengan tegas menyatakan bahwa filsafat jaman kita (ini) dipengaruhi secara mendalam oleh fenomenologi yang diajarkan oleh Edmund Husserl (1859-1938).[2]
Kemunculan filsafat Karl Popper sekaligus menandai masa transisi ke dalam suatu era yang kemudian disebut era filsafat ilmu pengetahuan baru yang dipelopori oleh Thomas Kuhn. Kuhn menolak secara tegas konsep evolusi ilmu pengetahuan. Baginya kebenaran sains tumbuh menurut revolusi ilmiyah dan alamiyah yakni suatu teori tentang sains ditemukan pada satu objek akan terus-menerus berubah walaupun kesan yang muncul lebih identik sebagai improvisasi tapi Kuhn mengidentifikasi itu sebagai revolusi.
Filsafat Ilmu dan Pendekatan Pascadisiplin 05: Paradigma, Positivisme, dan Pa...Ahmad Ibrahim
Materi ini merupakan materi kuliah kedua dalam perkuliahan Filsafat Ilmu dan Pendekatan Pascadisiplin. Di dalamnya dibahas apa yang disebut dengan Paradigma dalam Ilmu (dalam perspektif Thomas Kuhn), Positivisme dan Perkembangannya, Kritik atas Positivisme (dari Karl Raimund Popper yang juga disebut pendekatan Pascapositivisme), dan Peta Paradigma Riset dalam Ilmu.
Epistemologi adalah nama lain dari logika material atau logika mayor yang membahas dari isi pikiran manusia, yaitu pengetahuan. Epistemologi merupakan studi tentang pengetahuan, bagaimana mengetahui benda-benda. Pengetahuan ini berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti; cara manusia memperoleh dan menangkap pengetahuan dan jenis-jenis pengetahuan.
Dalam organisasi media, salah satu faktor penting yang mempengaruhi jalannya organisasi adalah kepemimpinan (leadership). Kepemimpinan dan manajemen adalah dua istilah yang sering membingungkan, karena maknanya seolah-olah tumpang tindih. Manajemen adalah menangani kompleksitas. Manajemen yang baik membawa keteraturan dan konsistensi, dengan merancang rencana-rencana formal, mendesain struktur organisasi yang ketat, dan memantau hasil-hasilnya dibandingkan dengan rencana semula. Kepemimpinan sebaliknya adalah menangani perubahan.
Memahami Integrasi, Merger, dan Akuisisi di Industri MediaSatrio Arismunandar
Industri media, seperti juga industri-industri lain, mengalami proses bisnis serupa. Pengembangan dan perluasan bisnis bisa terjadi lewat berbagai macam proses, seperti integrasi, merger, dan akuisisi. Tulisan ini mencoba memberi pemahaman umum tentang proses-proses bisnis tersebut dengan mengambil contoh-contoh dalam industri media.
Strategi dan Teknologi Militer: Ambisi Indonesia Memproduksi Pesawat Jet Temp...Satrio Arismunandar
Warisan Presiden SBY untuk presiden baru RI 2014 adalah kebangkitan industri pertahanan, yang berprospek bagus dan perlu terus didukung. Khususnya, proyek pesawat jet tempur siluman KFX/IFX, buatan bersama Indonesia-Korea Selatan, yang sekelas lebih unggul dari pesawat tempur F-16 Amerika.
Kehancuran dunia Islam di kawasan Timur Tengah akibat perang dan konflik berkepanjangan terus berlanjut. Perpecahan di antara sesama Arab sendiri praktis telah melahirkan poros informal dengan "musuh lama tapi mesra," Israel.
Tentara tanpa senjata, itu omong kosong. Setelah sekian lama merasa terhina sebagai “macan ompong” di tengah superioritas kekuatan militer negara-negara tetangga, Tentara Nasional Indonesia (TNI) secara perlahan kini tampil semakin percaya diri. Hal ini terkait dengan mulai mengalirnya alat utama sistem persenjataan (alutsista) baru melengkapi jajaran TNI.
WWF Indonesia 1962–2002: Melestarikan Alam Indonesia dengan Menyejahterakan M...Satrio Arismunandar
WWF Indonesia didirikan pada tahun 1962, kurang dari setahun setelah WWF Internasional didirikan. Selama lebih dari 33 tahun, WWF Indonesia telah bekerjasama dengan badan-badan pemerintah, organisasi-organisasi nonpemerintah, universitas dan para pemuka masyarakat, untuk mempromosikan pembangunan berkelanjutan dan pelestarian alam di Indonesia. Ini punya arti penting karena Indonesia adalah wilayah yang secara hayati paling beraneka-ragam di dunia.
Korupsi Elite Politik dari Zaman Kerajaan ke Era ReformasiSatrio Arismunandar
Perilaku korusi elite politik sudah ada sejak zaman kerajaan-kerajaan di Nusantara. Praktik korupsi itu semakin memuncak dari segi skala, kecanggihan, dan dampak kerusakannya di bawah rezim Orde Baru. Kemudian, korupsi semakin terdesentralisasi di era reformasi...
Orang Sumeria adalah penduduk pertama yang tinggal di wilayah Mesopotamia, yang kini menjadi Irak modern. Wilayah ini dikenal sebagai tempat lahirnya peradaban. Lebih dari 10.000 situs arkeologis di kawasan ini memberi gambaran yang menarik tentang zaman kuno tersebut.
Munculnya peradaban baru di Yunani dirasakan mengejutkan. Hal ini karena berbagai unsur yang membentuk peradaban sebenarnya sudah hadir ribuan tahun sebelumnya di Mesir kuno dan Mesopotamia, dan dari sana menyebar ke negeri-negeri tetangga. Peradaban Mesir dan Babilonia, yang berdiri di sekitar sungai-sungai besar, pada dasarnya bersifat pertanian. Penyebaran peradaban ini dimungkinkan karena adanya perdagangan, yang pada awalnya hampir seluruhnya bersifat maritim. Penyebaran ini antara lain berlangsung lewat pelaut-pelaut dari Pulau Crete, yang lalu sampai ke Yunani. Aritmatika dan semacam ilmu geometri sudah dikenal di kalangan orang Mesir kuno dan Babilonia, namun umumnya dalam bentuk yang sederhana. Namun, penalaran deduktif dari premis-premis umum adalah hasil inovasi orang Yunani.
Retaknya Kemesraan Antara Dua Sekutu Lama, Amerika dan Arab SaudiSatrio Arismunandar
Gusar karena merasa “dikhianati” Amerika, Arab Saudi menolak posisi sebagai anggota tak-tetap di Dewan Keamanan PBB. Sumber utama kegusaran Saudi adalah kegagalan AS mewujudkan aksi militer ke Suriah dan terjadinya pendekatan diplomatik AS-Iran.
Pierre Bourdieu dan Pemikirannya tentang Habitus, Doxa dan Kekerasan SimbolikSatrio Arismunandar
Bourdieu merintis kerangka investigatif dan terminologi seperti modal budaya, modal sosial, dan modal simbolik, serta konsep habitus, ranah (field) atau lokasi, dan kekerasan simbolik untuk mengungkapkan dinamika relasi kuasa dalam kehidupan sosial. Karyanya menekankan peran praktik dan perwujudan atau bentuk-bentuk (forms) dalam dinamika sosial dan konstruksi pandangan-dunia, yang sering bertentangan dengan tradisi filsafat Barat yang diuniversalkan.
Pemikiran Politik Plato Ditinjau dari Filsafat Politik DemokratisSatrio Arismunandar
Meskipun pemikiran politik kontemporer sekarang sudah sangat berkembang, dan sejumlah pemikiran Plato terkesan sudah ketinggalan zaman, beberapa isu yang diangkat Plato masih dirasakan relevan dengan konteks zaman sekarang, termasuk bagi kita yang tinggal di Indonesia.
Penelitian ilmu budaya bisa dilakukan lewat dua pendekatan. Pertama, pendekatan yang lebih bersifat idealisme. Kedua, pendekatan yang lebih bersifat materialisme. Kebudayaan itu sendiri mengandung kedua aspek tersebut, yakni aspek yang bersifat ide (gagasan), dan aspek yang bersifat materi (fisik).
Makalah singkat ini mencoba mengungkap lebih jauh tentang aspek materi dari kebudayaan, atau kita sebut saja kebudayaan materi (material culture). Sementara di sisi lain, ada paradigma keilmuan untuk memahami kebudayaan, yang lebih menitikberatkan pada aspek-aspek materi tersebut, atau yang kita sebut materialisme budaya (cultural materialism).
Indonesia dan Keindonesiaan: Teks dan Konstruksi IdentitasSatrio Arismunandar
Identitas “Indonesia” dan keindonesiaan ternyata adalah sesuatu yang masih harus terus kita perjuangkan. Ia adalah sesuatu yang selalu dalam pembentukan, selalu dalam proses menjadi (becoming).
Teori Fungsionalisme Kulturalisasi Talcott Parsons (Dosen Pengampu : Khoirin ...nasrudienaulia
Dalam teori fungsionalisme kulturalisasi Talcott Parsons, konsep struktur sosial sangat erat hubungannya dengan kulturalisasi. Struktur sosial merujuk pada pola-pola hubungan sosial yang terorganisir dalam masyarakat, termasuk hierarki, peran, dan institusi yang mengatur interaksi antara individu. Hubungan antara konsep struktur sosial dan kulturalisasi dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Pola Interaksi Sosial: Struktur sosial menentukan pola interaksi sosial antara individu dalam masyarakat. Pola-pola ini dipengaruhi oleh norma-norma budaya yang diinternalisasi oleh anggota masyarakat melalui proses sosialisasi. Dengan demikian, struktur sosial dan kulturalisasi saling memengaruhi dalam membentuk cara individu berinteraksi dan berperilaku.
2. Distribusi Kekuasaan dan Otoritas: Struktur sosial menentukan distribusi kekuasaan dan otoritas dalam masyarakat. Nilai-nilai budaya yang dianut oleh masyarakat juga memengaruhi bagaimana kekuasaan dan otoritas didistribusikan dalam struktur sosial. Kulturalisasi memainkan peran dalam melegitimasi sistem kekuasaan yang ada melalui nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat.
3. Fungsi Sosial: Struktur sosial dan kulturalisasi saling terkait dalam menjalankan fungsi-fungsi sosial dalam masyarakat. Nilai-nilai budaya dan norma-norma yang terinternalisasi membentuk dasar bagi pelaksanaan fungsi-fungsi sosial yang diperlukan untuk menjaga keseimbangan dan stabilitas dalam masyarakat.
Dengan demikian, konsep struktur sosial dalam teori fungsionalisme kulturalisasi Parsons tidak dapat dipisahkan dari kulturalisasi karena keduanya saling berinteraksi dan saling memengaruhi dalam membentuk pola-pola hubungan sosial, distribusi kekuasaan, dan pelaksanaan fungsi-fungsi sosial dalam masyarakat.
Pendampingan Individu 2 Modul 1 PGP 10 Kab. Sukabumi Jawa BaratEldi Mardiansyah
Di dalamnya mencakup Presentasi tentang Pendampingan Individu 2 Pendidikan Guru Penggerak Aangkatan ke 10 Kab. Sukabumi Jawa Barat tahun 2024 yang bertemakan Visi dan Prakarsa Perubahan pada SMP Negeri 4 Ciemas. Penulis adalah seorang Calon Guru Penggerak bernama Eldi Mardiansyah, seorang guru bahasa Inggris kelahiran Bogor.
Pendampingan Individu 2 Modul 1 PGP 10 Kab. Sukabumi Jawa Barat
Carl Gustav Hempel tentang Eksplanasi Ilmiah, Teori Konfirmasi dan Paradoks Burung Gagak
1. Carl Gustav Hempel tentang
Eksplanasi Ilmiah, Teori Konfirmasi
dan Paradoks Burung Gagak
Tugas mata kuliah Filsafat Abad XX sebagai pengganti UTS
Semester Genap 2008/2009
Dosen: Vincensius Y. Jolasa, Ph.D
Oleh: Satrio Arismunandar
NPM: 0806401916
Program S3 Ilmu Filsafat, Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Indonesia
Maret 2009
1
2. I. Pengantar
Carl Gustav Hempel (1905-1997), filsuf kelahiran Jerman yang berimigrasi ke
Amerika, adalah salah satu filsuf sains terkemuka pada abad ke-20. Paradoks burung
gagaknya (Raven’s Paradox) –sebagai ilustrasi paradoks-paradoks konfirmasi—telah
menjadi tantangan tetap terhadap teori-teori konfirmasi.
Bersama Paul Oppenheim, ia mengusulkan perhitungan kuantitatif terhadap
derajat konfirmasi hipotesis lewat pembuktian. Model nomologis-deduktif yang
diajukannya bagi eksplanasi (penjelasan) ilmiah menempatkan eksplanasi pada
landasan logis yang sama seperti prediksi; yakni keduanya adalah argumen-argumen
deduktif.
Perbedaannya adalah soal pragmatis, katakanlah bahwa dalam sebuah
eksplanasi, konklusi argumen dimaksudkan agar dianggap benar. Sedangkan, dalam
prediksi, tujuannya adalah untuk menghadirkan kasus yang meyakinkan untuk
konklusi. Hempel juga mengusulkan ukuran kuantitatif bagi kekuatan teori untuk
mensistematisasikan datanya.
Dalam kehidupannya kemudian, Hempel meninggalkan proyek logika
induktif. Ia juga menekankan problem-problem dengan positivisme logis (empirisme
logis), khususnya yang berkaitan dengan kriteria kebisaan untuk diverifikasikan
(verifiability). Hempel akhirnya meninggalkan analisis positivis logis terhadap sains,
dan berpaling ke arah analisis yang lebih empiris dalam peristilahan sosiologi sains.
Hempel belajar matematika, fisika, dan filsafat di Gottingen, Heidelberg,
Vienna, dan Berlin. Di Vienna, ia menghadiri beberapa pertemuan Lingkaran Vienna.
Dengan pertolongan Rudolf Carnap, ia dapat meninggalkan Eropa sebelum Perang
Dunia II, dan ia datang ke Chicago dengan hibah riset yang diusahakan oleh Carnap.
Hempel kemudian mengajar di Universitas Kota New York, Universitas Yale, dan
Universitas Princeton.
II. Riwayat Singkat dan Filsuf-filsuf yang Mempengaruhinya
Hempel lahir di
Oranienburg, Jerman, pada 1905.
Ia belajar
di
Realgymnasium di Berlin, dan pada 1923 ia diterima di Universitas Gottingen, di
mana ia belajar matematika bersama David Hilbert dan Edmund Landau, serta belajar
logika simbolis bersama Heinrich Behmann.
2
3. Hempel sangat terkesan pada program Hilbert untuk membuktikan konsistensi
matematika dengan cara metode-metode elementer. Ia juga belajar filsafat, namun
merasakan bahwa logika matematis lebih menarik daripada logika tradisional.
Pada tahun yang sama, ia pindah ke Universitas Heidelberg, di mana ia belajar
matematika, fisika, dan filsafat. Dari 1924, Hempel belajar di Berlin, di mana ia
bertemu Reichenbach yang memperkenalkannya ke Lingkaran Berlin. Hempel
menghadiri kursus-kursus Reichenbach tentang logika matematis, filsafat ruang dan
waktu, dan teori probabilitas. Ia belajar fisika bersama Max Planck dan belajar logika
bersama von Neumann.
Pada 1929, Hempel ikut serta dalam kongres pertama filsafat ilmiah yang
diselenggarakan oleh penganut positivis logis. Ia bertemu Rudolf Carnap dan sangat
terkesan pada Carnap, sehingga ia pindah ke Vienna. Di sana ia menghadiri tiga
kursus bersama Carnap, Schlick, dan Waismann, dan ambil bagian dalam pertemuan –
pertemuan Lingkaran Vienna.
Pada tahun-tahun yang sama, Hempel dianggap layak sebagai guru sekolah
menengah, dan akhirnya pada 1934, ia meraih doktor filsafat di Berlin, dengan
disertasi tentang teori probabilitas.
Pada tahun yang sama, ia berimigrasi ke Belgia, berkat pertolongan seorang
rekan Reichenbach, Paul Oppenheim (Reichenbach memperkenalkan Hempel dengan
Oppenheim pada 1930). Dua tahun kemudian, Hempel dan Oppenheim menerbitkan
buku Der Typusbegriff im Lichte der neuen Logik tentang teori logis konsep-konsep
ilmiah metrik, komparatif, dan pengklasifikasi.
Pada 1937, Hempel diundang—dengan bantuan Carnap—ke Universitas
Chicago sebagai Pendamping Riset bidang filsafat. Sesudah sempat tinggal lagi
sebentar di Belgia, Hempel berimigrasi ke Amerika pada 1939. Ia mengajar di New
York, di City College (1939-1940) dan Queens College (1940-1948).
III. Permasalahan dan Fokus Perhatian Hempel
Pemikiran Hempel tampaknya erat berkaitan dengan filsafat sains. Filsafat
sains merangkul seluruh pertanyaan yang muncul dari refleksi terhadap sains. Sains
secara meluas diyakini sebagai cara terbaik yang tersedia untuk memperoleh
pengetahuan. Selain itu, teori-teori ilmiah tampaknya memberi kita banyak masukan
3
4. tentang hakikat dan bagaimana berfungsinya dunia. Maka filsafat sains terasa saling
tumpang tindih dengan epistemologi dan metafisika.
Pertanyaan yang paling mendasar bagi filsafat sains adalah: Apakah sains itu?
(walaupun sejumlah filsuf beranggapan bahwa pertanyaan ini salah arah, karena tidak
ada ciri-ciri yang sama pada semua hal yang kita sebut sebagai sains).
Pertanyaan penting lain adalah: Apakah ada metode tunggal dengan mana
seluruh sains memperoleh kemajuan (progress)? Apakah yang dinamakan teori ilmiah
itu? Derajat kepercayaan seperti apa yang patut kita berikan pada teori-teori ilmiah?
Apa hubungan antara teori-teori dalam sains-sains yang berbeda? Dan lain-lain.
Banyak diskusi dalam filsafat sains berkaitan dengan hubungan antara teori
dan bukti. Kita biasanya berasumsi bahwa jika sebuah teori memprediksi beberapa
hasil (result) bagi sebuah eksperimen tertentu, dan hasil itu kemudian diamati, maka
pengamatan itu adalah bukti positif bagi kebenaran teori, dan teori itu
dikonfirmasikan olehnya.
Bagaimanapun, problem induksi (lihat epistemologi) adalah tak ada jumlah
bukti bagi generalisasi universal tertentu
(sebut saja, misalnya ―semua angsa
berwarna putih‖) yang tidak konsisten dengan satu bukti yang menolaknya
(katakanlah, angsa berikutnya yang diobservasi berwarna hitam).
Karl Popper telah mencoba menghindari problem ini dengan menyebutkan
bahwa teori-teori tidak pernah dikonfirmasikan oleh bukti, tapi hanya difalsifikasi.
Sejauh suatu teori belum difalsifikasi, walaupun kita sudah berusaha sekeras mungkin
untuk memfalsifikasinya, maka kita punya alasan untuk terus menggunakan teori
tersebut. Namun, kita tidak boleh pernah berpikir bahwa teori itu sudah didukung
secara induktif.
Filsuf-filsuf lain telah berargumentasi bahwa problem induksi muncul kembali
pada teori Popper tentang metodologi ilmiah (yang disebut falsifikasionisme), dan
bahwa kita tidak dapat berbuat tanpa semacam teori konfirmasi.
Setiap teori konfirmasi harus menghindari apa yang dinamakan paradoksparadoks konfirmasi, yang muncul jika kita mengadopsi sebuah teori yang jelas bagi
konfirmasi, yang menyiapkan intuisi-intuisi.
IV. Karya-karya Hempel
4
5. Pada tahun-tahun sekitar 1939-1948, Hempel tertarik pada teori konfirmasi
dan eksplanasi, dan menerbitkan beberapa artikel dengan topik tersebut: "A Purely
Syntactical Definition of Confirmation‖ (The Journal of Symbolic Logic, 8, 1943);
"Studies in the Logic of Confirmation" (Mind, 54, 1945); "A Definition of Degree of
Confirmation" (dengan P. Oppenheim, di Philosophy of Science, 12, 1945); "A Note
on the Paradoxes of Confirmation" (Mind, 55, 1946); dan "Studies in the Logic of
Explanation" (dengan P. Oppenheim di Philosophy of Science, 15, 1948).
Antara 1948 dan 1955, Hempel mengajar di Universitas Yale. Karyanya
Fundamentals of Concept Formation in Empirical Science diterbitkan pada 1952 di
International Encyclopedia of Unified Science. Dari 1955, ia mengajar di Universitas
Princeton. Aspects of Scientific Explanation and Philosophy of Natural Science
diterbitkan pada 1965 dan 1966 berturut-turut. Sesudah usia pensiun, ia terus
mengajar di Berkley, Irvine, Jerusalem, dan dari 1976 hingga 1985, di Pittsburgh.
Sementara itu, perspektif filsafatnya berubah dan ia berpaling dari positivisme
logis: "The Meaning of Theoretical Terms: A Critique of the Standard Empiricist
Construal" (dalam Logic, Methodology and Philosophy of Science IV, disunting oleh
Patrick Suppes, 1973); "Valuation and Objectivity in Science" (dalam Physics,
Philosophy and Psychoanalysis, disunting oleh R. S. Cohen dan L. Laudan, 1983);
"Provisoes: A Problem Concerning the Inferential Function of Scientific Theories"
(dalam Erkenntnis, 28, 1988).
Bagaimanapun, ia tetap setia bergabung dengan empirisme logis. Pada 1975,
ia menjabat sebagai redaksi (bersama W. Stegmüller dan W. K. Essler) pada seri baru
jurnal Erkenntnis. Hempel meninggal pada 9 November 1997 di kotapraja Princeton,
New Jersey.
V. Eksplanasi Ilmiah
Bersama Paul Oppenheim, pada 1948 Hempel mengembangkan teori persis
logis, yang dikenal sebagai Model Nomologis-Deduktif (Deductive-Nomological
Model) atau Model Hukum yang Mencakup (Covering-Law Model) bagi eksplanasi.
Eksplanasi ilmiah dari sebuah fakta adalah deduksi dari sebuah pernyataan
(disebut explanandum), yang menggambarkan fakta yang ingin kita jelaskan; premispremis (disebut explanans), yaitu hukum-hukum ilmiah; dan kondisi-kondisi awal
yang cocok. Agar eksplanasi bisa diterima, explanans itu harus benar.
5
6. Menurut model nomologis-deduktif, eksplanasi sebuah fakta dengan demikian
direduksi menjadi hubungan logis antara pernyataan-pernyataan.
Explanandum
adalah konsekuensi dari explanans. Ini adalah metode yang umum dalam filsafat
positivisme logis. Aspek-aspek pragmatis dari eksplanasi tidak dipertimbangkan.
Penjabaran lainnya adalah bahwa sebuah eksplanasi mensyaratkan adanya
hukum-hukum ilmiah; fakta-fakta dijelaskan ketika mereka digolongkan di dalam
hukum-hukum. Maka, pertanyaan pun muncul tentang hakikat suatu hukum ilmiah.
Menurut Hempel dan Oppenheim, sebuah teori fundamental dirumuskan
sebagai pernyataan yang benar, di mana pembilang-pembilangnya (quantifiers) tidak
dapat dicabut (sebagai contoh, sebuah teori fundamental tidaklah sama dengan sebuah
pernyataan tanpa pembilang), dan tidak mengandung konstanta individual.
Setiap pernyataan yang digeneralisasikan (generalized statement), yang
merupakan konsekuensi logis dari sebuah teori fundamental, adalah teori turunan
(derived theory). Gagasan yang mendasari perumusan ini adalah bahwa sebuah teori
ilmiah berurusan dengan properti umum, yang diekspresikan oleh pernyataanpernyataan universal.
Rujukan terhadap kawasan ruang-waktu spesifik atau terhadap hal-hal
individual tidaklah diizinkan. Misalnya, hukum Newton adalah benar untuk semua
benda di setiap waktu dan setiap ruang. Namun, terdapat hukum-hukum (misalnya,
hukum-hukum Kepler awal) yang sah (valid) di bawah kondisi terbatas dan merujuk
ke obyek-obyek spesifik, seperti matahari dan planet-planetnya.
Karenanya, ada pembedaan antara sebuah teori fundamental, yang bersifat
universal tanpa pembatasan, dengan sebuah teori turunan yang dapat mengandung
rujukan terhadap obyek-obyek individual. Perlu dicatat, di sini dipersyaratkan bahwa
teori-teori itu benar. Secara tersirat, ini berarti hukum-hukum ilmiah bukanlah alat
untuk membuat prediksi, namun hukum-hukum itu merupakan pernyataan sejati yang
menggambarkan dunia –sebuah sudut pandang yang realistis.
Ada karakteristik menarik lain dari model Hempel-Oppenheim, yaitu bahwa
eksplanasi dan prediksi memiliki struktur logis yang persis sama. Sebuah eksplanasi
dapat digunakan untuk memprakirakan, dan sebuah prakiraan adalah sebuah
eksplanasi yang sah.
Akhirnya, model nomologis-deduktif juga berhubungan dengan eksplanasi
hukum-hukum. Dalam kasus demikian, explanandum adalah hukum ilmiah dan dapat
dibuktikan dengan bantuan hukum-hukum ilmiah lainnya.
6
7. Aspects of Scientific Explanation (1965), menghadapi problem eksplanasi
induktif, di mana explanans mencakup hukum-hukum statistik. Menurut Hempel,
dalam eksplanasi semacam itu, explanans hanya memberi derajat probabilitas yang
tinggi pada explanandum, yang bukan merupakan konsekuensi logis dari premispremis bersangkutan.
Patut dicatat bahwa eksplanasi induktif menuntut suatu hukum yang
mencakup (covering law); di mana fakta dijelaskan lewat sarana hukum-hukum
ilmiah. Namun sekarang, hukum-hukum itu tidak deterministik; hukum-hukum
statistik juga diterima. Bagaimanapun, dalam banyak hal, eksplanasi induktif itu mirip
dengan eksplanasi deduktif.
Baik eksplanasi deduktif maupun induktif bersifat nomologis (maka, mereka
memerlukan hukum-hukum universal).
Fakta yang relevan adalah relasi logis antara explanans dan explanandum.
Dalam eksplanasi deduktif, explanandum merupakan konsekuensi logis dari
explanans. Sedangkan dalam eksplanasi induktif, hubungan itu bersifat
induktif. Namun di masing-masing model, hanya aspek-aspek logis yang
dianggap relevan. Hal-hal pragmatis tidak diperhitungkan.
Simetri antara eksplanasi dan prediksi dipertahankan.
Explanans itu harus benar.
VI. Pembentukan Konsep dalam Ilmu Empiris
Dalam monografnya, Fundamentals of Concept Formation in Empirical
Science (1952), Hempel menjabarkan metode-metode, yang digunakan untuk
merumuskan kuantitas-kuantitas fisik. Hempel menggunakan contoh pengukuran
massa.
Sebuah timbangan berlengan sama panjang digunakan untuk menentukan
apakah dua benda memiliki massa yang sama, dan apakah massa salah satu benda
lebih besar daripada massa benda yang lain. Dua benda itu memiliki massa yang sama
jika –ketika dua benda itu masing-masing ditaruh di lengan timbangan—
keseimbangan tetap merata (equilibrium).
Jika salah satu ujung lengan timbangan turun, sedangkan ujung yang lain naik,
maka benda di sisi yang paling rendah memiliki massa yang lebih besar. Dari sudut
7
9. VII. Perkembangan Pemikiran Hempel
Hempel melihat, tugas sains adalah menunjukkan fenomena
sebagai
konsekuensi hukum yang tak terbantahkan. Implikasi utamanya adalah model hukum
yang mencakup (covering-law) tentang pengertian ilmiah, dengan penekanan bahwa
terdapat simetri antara eksplanasi dan prediksi, di mana satu-satunya perbedaan
adalah soal temporal.
Dalam kasus eksplanasi, apa yang kita terangkan adalah sesuatu yang sudah
terjadi. Sedangkan dalam kasus prediksi, sesuatu yang kita prediksi itu belum terjadi.
Namun, kita melihat kini pergeseran dari filsafat sains yang preskriptif ke posisi yang
lebih deskriptif. Juga, dari keprihatinan eksklusif terhadap ilmu-ilmu fisik ke minat
yang lebih umum di bidang seperti biologi dan psikologi.
Dalam The Meaning of Theoretical Terms (1973), Hempel mengritik sebuah
aspek teori positivisme logis tentang sains: pembedaan antara term observasional dan
teoretis, dan problem yang berkaitan tentang makna term-term teoretis.
Menurut Hempel, terdapat asumsi tersirat dalam analisis neopositivis terhadap
sains, katakanlah bahwa makna term teoretis dapat dijelaskan lewat metode-metode
linguistik. Karena itu, problem utamanya adalah bagaimana seperangkat pernyataan
dapat ditentukan sehingga memberi makna pada term-term teoretis. Hempel
menganalisis berbagai teori yang diusulkan oleh positivisme logis.
Menurut Schlick, makna konsep-konsep teoretis ditentukan oleh dalil-dalil
(aksioma) teori. Jadi, dalil-dalil itu memainkan peran sebagai definisi tersirat.
Karenanya, term-term teoretis harus ditafsirkan dengan suatu cara yang membuat
teori itu benar.
Hempel menyatakan keberatan, karena berdasarkan penafsiran semacam itu
sebuah teori ilmiah akan selalu benar, teori itu benar secara konvensi, dan setiap teori
ilmiah adalah secara a priori benar. Kata Hempel, ini adalah bukti bahwa penafsiran
Schlick tentang makna term-term teoretis tidak dapat dipertahankan.
Solusi lain terhadap problem makna term-term teoretis adalah didasarkan pada
aturan-aturan korespondensi (rules of correspondence), yang juga dikenal sebagai
postulat-postulat makna. Term-term teoretis dengan demikian memperoleh penafsiran
parsial lewat term-term observasional.
Hempel mengajukan dua keberatan terhadap teori ini. Pertama, ia menegaskan
bahwa konsep-konsep observasional tidaklah eksis. Ketika sebuah teori ilmiah
9
10. memperkenalkan term-term teoretis yang baru, term-term itu terkait dengan term-term
teoretis lama, yang biasanya menjadi bagian dari teori ilmiah terkonsolidasi yang
sudah ada. Karena itu, penafsiran term-term teoretis baru itu tidaklah didasarkan pada
term-term observasional, namun diberikan oleh term-term teoretis yang lain.
Sehingga, dalam arti tertentu, ini dirasakan lebih familiar daripada yang baru.
Keberatan
kedua,
menyangkut
hakikat
konvensional
dari
aturan
korespondensi. Suatu postulat makna merumuskan makna sebuah konsep dan karena
itu –dari sudut pandang logis—itu haruslah benar. Namun, setiap pernyataan dalam
teori ilmiah berpotensi bisa dibuktikan kekeliruannya (falsifiable).
Tidak ada pernyataan ilmiah yang berada di luar yurisdiksi pengalaman
(experience). Jadi, sebuah postulat makna juga dapat keliru. Maka, ini tidak bersifat
konvensional dan tidak merumuskan makna sebuah konsep, melainkan benar-benar
hipotesis yang bersifat fisik. Postulat makna tidaklah eksis.
VIII. Paradoks Burung Gagak (Raven’s Paradox)
Semua ilmuwan menggunakan penalaran dan logika pada beberapa tahap,
untuk menciptakan hipotesis dan merancang eksperimen-eksperimen yang kuat.
Secara indah dan anggun, pada 1965, Hempel menunjukkan bahwa terdapat cacatcacat dalam proses ilmiah yang sudah lama mapan tersebut. Paradoks Burung Gagak
yang dikemukakan Hempel mempertanyakan proses penalaran induktif, generalisasi,
dan falsifiabilitas (falsifiability) yang sudah mapan tersebut.
8.1. Hipotesis Induktif
Bayangkanlah bahwa seorang ilmuwan, sesudah bertahun-tahun berjalan ke
berbagai penjuru lokasi, mengamati bahwa setiap gagak yang pernah ia temui
berwarna hitam. Sebagai peneliti yang patuh pada aturan, ia menggunakan penalaran
induktif untuk mendalilkan sebuah hipotesis: ―Semua gagak berwarna hitam.‖
Ini adalah hipotesis kondisional yang secara sempurna bisa diterima. Pertama,
hipotesis ini bisa diuji, karena kita dapat membuat sampel populasi gagak dan
membuktikan bahwa gagak-gagak itu berwarna hitam. Pernyataan ini juga bisa
dibuktikan jika keliru (falsifiable), karena cukup dengan ditemukannya satu ekor
10
11. gagak berwarna tidak-hitam di antara populasi yang dijadikan sampel, akan
membantah hipotesis tersebut.
Seluruh sains sejauh ini mengikuti metode penalaran induktif yang sudah
mapan. Peneliti bahkan dapat merancang eksperimen untuk membuat sampel dari
populasi gagak, dengan ribuan ekor gagak diamati.
Jika semua burung gagak itu hitam, berarti hipotesis ini didukung dan masuk
akal. Dengan berlalunya waktu, eksperimen dan pengamatan yang berulang-ulang
juga lebih jauh mengkonfirmasikan hal ini, dan hipotesis itu pun diterima sebagai
hukum.
8.2. Problem Generalisasi dan Falsifiabilitas
Bagian pertama dari proposal Paradoks Burung Gagak mempertanyakan
proses generalisasi tersebut. Secara praktis, tidaklah mungkin untuk mengambil
sampel terhadap setiap burung gagak di dunia, dan mungkin saja ada beberapa gagak
yang berwarna tidak-hitam. Hempel tidak mencooba berkomentar tentang sains
eksakta, namun sebagai informasi sampingan yang menarik, sekitar 1 dari 10.000
telur gagak mengandung sebagian atau seluruhnya burung albino.
Sebagian besar burung albino lebih jelas terlihat oleh pemangsa (predator),
menderita problem kesehatan, dan mungkin merupakan fenomena yang sangat lokal.
Maka kemungkinan menemui atau melihat seekor gagak albino sangat tipis. Seorang
peneliti bisa membuat sampel atas ribuan gagak, dan tidak melihat satu pun gagak
putih, walaupun gagak berwarna putih itu ada.
Maka, gagasan falsifiabilitas itu dipertanyakan dan dirusak oleh Paradoks
Burung Gagak. Walaupun hipotesis awalnya secara teknis bisa difalsifikasikan, dalam
pendekatan praktis sangatlah sulit untuk menolak hipotesis tersebut. Karena peluang
melihat seekor gagak putih sangat tipis. Bahkan jika kita mengambil sampel seluruh
populasi gagak yang diketahui, mungkin saja ada kelompok gagak yang belum
ditemukan, yang sebagian anggotanya tidak-hitam.
8.3. Cacat-cacat dalam Proses Penalaran Induktif
Bagian berikutnya dari Paradoks Burung Gagak mempertanyakan proses
penalaran dan deduksi, yang menjadi bagian integral dari proses ilmiah. Ketika
11
12. seorang peneliti menyatakan bahwa ―semua gagak berwarna hitam,‖ hukum logika
menuntut bahwa pernyataan kondisional ini memiliki pernyataan kontrapositif.
Karena itu, menurut penalaran induktif, ―segala sesuatu yang tidak-hitam
bukanlah burung gagak.‖ Ini berarti setiap obyek tidak-hitam yang diamati, yang
bukan gagak, secara setara memperkuat hipotesis. Padahal tidak terhitung jumlahnya
benda-benda tidak-hitam yang ada di alam semesta ini!
Untuk mengembangkan analogi lebih jauh, seorang peneliti lain di bagian lain
dunia, secara kebetulan, mungkin hanya pernah melihat seekor gagak sepanjang
hidupnya, dan kebetulan gagak itu berwarna putih. Hipotesis lewat deduksi yang
dilakukannya mungkin menyatakan, ―semua gagak berwarna putih.‖
Jadi, setiap obyek tidak-putih, yang bukan burung gagak, memperkuat
hipotesis ini yang bertentangan dengan hipotesis sebelumnya (yang mengatakan,
―semua gagak berwarna hitam‖). Inilah yang dinamakan Paradoks Burung Gagak.
IX. Arti Penting Pemikiran Hempel dan Konteks Indonesia
Lalu, apa arti keberadaan paradoks ini? Apakah dunia sains lantas runtuh
begitu saja? Jawabannya: tidak. Paradoks Burung Gagak adalah observasi filosofis
yang bermanfaat, dan membantu memastikan bahwa kita secara terus-menerus
mengamati dan menguji langkah-langkah proses ilmiah yang sudah mapan. Contohcontoh yang diberikan dalam paradoks ini bersifat simplistik dan tampaknya tak akan
terjadi. Itu hanya berfungsi sebagai latihan untuk menguji batas-batas filsafat sains.
Dalam kenyataan, pada sebagian besar kasus, cara Hempel tidak membuat
perbedaan. Penalaran normal dan proses rancangan eksperimental bekerja cukup
sempurna. Paradoks itu tidak lari dari sains, tetapi mengembangkannya, dengan
mencegah para ilmuwan dari kepercayaan bahwa mereka telah membuktikan sesuatu
yang di luar keraguan.
Paradoks Burung Gagak sepatutnya mengingatkan para ilmuwan tentang
bahaya generalisasi, dan bahwa mereka harus memastikan agar semua hipotesis
secara realistis bisa difalsifikasi. Jika seorang peneliti mengatakan, ―semua burung
gagak di Pulau Jawa berwarna hitam,‖ ini lebih realistis karena para ahli ilmu burung
(Ornitologi) secara layak dapat mengamati setiap gagak di Pulau Jawa.
Bahkan teori-teori yang sudah bertahan lama, yang menjadi mapan sebagai
hukum dan paradigma yang tidak bisa digeser, suatu waktu dapat dibuktikan keliru.
12
13. Sains sebenarnya adalah soal menguji probabilitas dan asumsi. Jika sesuatu memiliki
99% peluang untuk benar, maka itu sebaiknya diterima sebagai eksplanasi yang pas.
Peluang seseorang hanya melihat seekor gagak dalam hidupnya, di mana
kebetulan gagak yang dilihat itu adalah gagak putih, sangatlah kecil. Meski
peluangnya sangat kecil, itu bukan berarti tidak mungkin, dan kemungkinan itu tidak
boleh diabaikan. Inilah sebabnya mengapa semua eksperimen harus secara ketat
divalidasi dan ditinjau sebelum memperoleh penerimaan secara meluas, untuk
meminimalisir dampak Paradoks Burung Gagak.
Misalnya, hukum-hukum Newton telah diterima sebagai kebenaran, sampai
teori-teori Einstein meruntuhkannya. Pada gilirannya, teori Relativitas Umum
Einstein bukanlah jawaban terhadap fisika fundamental dan telah dilampaui oleh
teori-teori lain.
Inilah bagaimana sains berkembang, dengan menantang dan mengadaptasi
paradigma dan hukum-hukum yang sudah mapan. Penciptaan Teori Chaos adalah
contoh sempurna dari ilmuwan-ilmuwan ―pemberontak‖ yang mengikis hukumhukum yang sudah mapan, sampai teori baru itu tak bisa lagi diabaikan. Teori itu
akhirnya hadir dalam kesadaran publik, dan model-model fractal dari Teori Chaos
muncul dalam bentuk desain-desain unik di T-shirt.
Paradoks Burung Gagak dari Hempel hadir untuk mengingatkan kita bahwa
tidak ada teori, seberapa mapan pun, yang kebal terhadap tantangan dan debat. Ketika
bukti baru terungkap, sains harus beradaptasi dan berubah untuk menyesuaikan diri
dengan data yang baru.
Bagi para filsuf, pemikir, dan ilmuwan di Indonesia, pemikiran Hempel masih
sangat relevan dan bermanfaat. Tradisi ilmiah dan semangat pencarian kebenaran
lewat keilmuan masih belum cukup kuat dan berakar di negeri ini. Oleh karena itu,
pemikiran dan semangat Hempel sepatutnya memberi inspirasi pada para ilmuwan,
pemikir, dan filsuf Indonesia, untuk giat menggali ilmu dan pemikiran.
Sedangkan, pada saat yang sama, para ilmuwan, pemikir, dan filsuf Indonesia
juga harus cermat, teliti, hati-hati, dan waspada terhadap potensi sesat pemikiran dan
kekeliruan penalaran, akibat kurang dikuasainya metode berpikir yang benar. Inilah
signifikansi sumbangan pemikiran Hempel untuk konteks filsafat dan dunia keilmuan
Indonesia. ***
Depok, Maret 2009
13
14. Referensi:
1. Hempel, Carl G. 1945. ―On the Nature of Mathematical Truth,‖ American
Mathematical Monthly 52. Dicetak ulang di Feigl, H., dan W. Sellars (ed.).
1949. Readings in Philosophical Analysis. New York: Appleton-CenturyCrofts. Dicetak ulang di Newman, James R. 1956. The World of Mathematics,
vol. III. New York: Simon and Shuster. Dituliskan ke format hypertext oleh
Andrew Chrucky, 4 Feb 2001.
2. Hempel, Carl G. 1945. ―Geometry and Empirical Science,‖ American
Mathematical Monthly 52. Dicetak ulang di Feigl, H., dan W. Sellars (ed.).
1949. Readings in Philosophical Analysis. New York: Appleton-CenturyCrofts. Dicetak ulang di Newman, James R. 1956. The World of Mathematics,
vol. III. New York: Simon and Shuster. Dituliskan ke format hypertext oleh
Andrew Chrucky, 7 Feb 2001.
3. Hempel, Carl G. 1950. ―Problems and Changes in the Empiricist Criterion of
Meaning.‖ dalam 11 Rev. Intern: de Philos. 41, halaman 41-63.
4. http://www.iep.utm.edu/h/hempel.htm
5. http://articlesbase.com/science-articles/the-raven-paradox-how-hempelstreatise-led-to-questioning-of-the-inductive-reasoning-process-559856.html
6. www.experiment-resources.com
7. www.amethyst-web.net
8. Kearney, Richard (ed.). 2006. Twentieth-Century Continental Philosophy.
Knowledge History of Philosophy Volume VIII. New York: Routledge.
9. Goldstein, Laurence. 1990. The Philosopher’s Habitat: An Introduction to
Investigations in, and Applications of, Modern Philosophy. New York:
Routledge.
10. Honderich, Ted. 1995. The Oxford Companion to Philosophy. Oxford/New
York: Oxford University Press.
11. Russell, Bertrand. 1948. History of Western Philosophy and Its Connection
with Political and Social Circumstances from the Earliest Times to the Present
Day. London: George Allen and Unwin Ltd.
14