Fenomenologi merupakan aliran filsafat yang diperkenalkan oleh Edmund Husserl. Husserl membedakan antara dunia yang dikenal dalam sains dan dunia di mana kita hidup, serta menganggap kesadaran sebagai satu-satunya benda yang tidak dapat dianggap sepi. Fenomenologi mempelajari apa yang tampak atau menampakkan diri melalui pengalaman subyektif sebagai sumber pengetahuan tentang fenomena obyektif.
1. Fenomenologi - Document Transcript
1. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sejak awal kelahirannya, kegiatan
berfilsafat sendiri didorong oleh rasa cinta akan kebijaksanaan. Kata Philosophia
sendiri secara harfiah berarti cinta akan kebijaksanaan, karena kata yunani philo
atau kata kerjanya philein adalah mencintai. Sedangkan sophia adalah
kebijaksanaani. Dalam perspektif pencarian kebijaksanaan kegiatan manusia
untuk condong kepada hal ingin tahu adalah salah satu hal yang tidak mungkin
terpisahkan dari manusia itu sendiri. Berangkat dari tujuan rasa ingin tahu tadi,
maka perkembangan yang terjadi diharapkan bisa memberikan hasil untuk
berbuat secara lebih tepat dalam beriteraksi dengan dunia, masyarakat sekitar, dan
bahkan antara diri sendiri dengan tuhannya. Maka ketika seseorang memperoleh
pengetahuan tentang wujud atau memetik pelajaran darinya, jika dia memahami
sendiri gagasan-gagasan tentang wujud itu dengan inteleknya, dan
pembenarannya atas gagasan tersebut dilakukan dengan bantuan demonstrasi
tertentu, maka ilmu yang tersusun dari pengetahuan-pengetahuan ini disebut
filsafat. Ilmu filsafat memiliki obyek material dan obyek formal. Obyek material
adalah apa yang dipelajari dan dikupas sebagai bahan (materi) pembicaraan.
Obyek formal adalah cara pendekatan yang dipakai atas obyek material, yang
sedemikian khas sehingga mencirikan atau mengkhususkan bidang kegiatan yang
2. bersangkutan. Jika cara pendekatan itu logis, konsisten dan efisien, maka
dihasilkanlah sistem filsafat. Filsafat berangkat dari pengalaman konkret manusia
dalam dunianya. Pengalaman manusia yang sungguh kaya dengan segala sesuatu
yang tersirat ingin dinyatakan secara tersurat. Dalam proses itu intuisi (merupakan
hal yang ada dalam setiap pengalaman) menjadi basis bagi proses abstraksi,
sehingga yang tersirat dapat diungkapkan menjadi tersurat. Jika ditinjau dari segi
historis tentang sejarah perkembangan filsafat maka Kita bisa membaginya ke
dalam empat periodeii: 1. Masa Yunani Kuno (Abad 6 SM – Akhir Abad 3 SM).
Di masa ini pembahasan akan keingintahuan manusia telah mulai dibahas secara
menyeluruh sehingga memunculkan istilah-istilah dalam aspek ilmu filsafat
seperti aspek Ontology (being, what, who), aspek Epistemologi (why, how), dan
aspek Aksiologi (for what/untuk apa, apa nilainya). Sedangkan tokoh-tokohnya
yg terkenal adalah seperti Heraklitos dengan teorinya bahwa hakikat kenyataan
adalah perubahan yang kemudian walaupun teori ini ditentang oleh Parmanides
yang berpendapat bahwa hakikat kenyataan adalah yang tetapiii. Plato (427 – 347
SM) berusaha mengkompromikan wacana ini dengan cara mengakomodir
keduanya. Baginya hakikat kenyataan ada dua yaitu yang tetap (alam ide) dan
yang berubah (alam nyata). Plato sendiri berpihak kepada alam yang tetap yaitu
alam ide sebagai hakikat kenyataan yang
3. sesungguhnya. Sedangkan alam yang berubah yaitu alam nyata hanyalah
bayangan saja. Akan tetapi hal ini dikritik oleh Aristoteles (384 – 322 SM) yang
juga disebut sebagai Guru Pertama sekaligus murid dari Plato, yang juga mencoba
memecahkan masalah ini, hanya saja Dia berpihak pada yang berubah. Aristoteles
membedakan antara materi dan bentuk. Materi merupakan kemungkinan,
sedangkan bentuk yang menentukan kemungkinan itu. Sebagai contoh ia
mengatakan bahwa kayu sebagai materi mengandung banyak kemungkinan:
2. menjadi kursi, lemari dan sebagainya. Kemungkinan itu barulah terlaksana
menjadi suatu kenyataan kalau diberi bentuk. Misalnya bentuk kursi, lemari, meja
dan sebagainyaiv. 2. Masa Abad Pertengahan (Akhir Abad 3 SM – Awal Abad 15
M). Di masa ini Filsafat Yunani Kuno diambil alih oleh bangsa Mesir yang mana
dipimpin oleh Ratu Cleopatra (69-30 SM). Kemudian ±5 abad kemudian ketika
masa kekuasaan Kaisar Justianus di Kerajaan Romawi ±529 M. Filsafat dilarang
dan semua bentuk pemikiran dikembalikan ke Dogma Gereja. Yang pada
akhirnya akan memunculkan para ktitikus- kritikus yang menolak Dogma-Dogma
Gereja ini, yang menganggap bahwa agama terlalu membatasi pikiran manusia
untuk memjadi lebih maju. Yang mana seiring dengan berjalannya waktu akan
memunculkan
4. aliran-aliran baru seperti aliran Neo-Platonisme (± abad ke 13) yaitu Platonisme
manunggal dengan Dogma Gereja. dengan tokohnya Thomas Aquines (1225 M –
1274 M). 3. Masa Modern (Akhir Abad 15 M – Abad 19 M). Di tandai dengan: a.
Gerakan Renaissance (kelahiran kembali) untuk membentuk mentalitas individual
– kebebasan, persamaan, emansipasi, serta otonomi diri. b. Revolusi Copernicus
(1473 M – 1543 M) dengan teorinya bahwa Matahari merupakan pusat alam
semesta, serta teori Metode induktif – experimental. c. Zaman Aufklarung
(pencerahan / abad 18 M) Menggunakan akal budi dengan inti : 1) Ajaran
Rasionalisme (Rene Descartes, 1596 M - 1650 M). 2) Ajaran Empirisme (Francis
Bacon, 1561 M - 1626 M). 3) Ajaran Kritisisme (Immanuel Kant, 1724
5. M - 1804 M). 4) Filsafat Pragmatisme (William James, 1842 M - 1910 M). d.
Filsafat Fenomenologi (Edmund Husserl, 1859 M - 1938 M) dengan teori
kebenaran adalah kenyataan benda itu sendiri. Ada tiga tahap dalam metode
fenomenologis yaitu : 1) Reduksi Fenomenologis. 2) Reduksi Eidetis. 3) Reduksi
Transendental. e. Filsafat Eksistensialisme (S. Kierkegaard, 1813 M - 1855 M). 4.
Masa Kontemporer (Abad 20 M). a. Filsafat Analitik (Ludwig Wittgenstein, 1889
M - 1951 M). b. Filsafat Eksistensialisme (Jean Paul Sarte, 1905 M – 1980 M). •
Ia
6. mengangga p manusia bebas memilih moralitas yang diinginkan hingga
menciptaka n eksistensi dirinya. Manusia melakukan kebaikan, pendidikan bagi
keturunann ya dan hidup bermasyara kat. • Ia juga mengangga
7. p Tuhan tidak ada dan manusia dapat memeranka n peranan Tuhan (Vincent
Martin). c. Ethics and Limits of Philosophy (Bernard Williams). Dengan luasnya
wacana filsafat dari ranah filsafat kuno hingga kontemporer, maka penulis
berusaha membatasi pokok-pokok bahasannya hanya dalam ranah filsafat periode
masa modern dengan spesifikasi Filsafat Fenomenologi dengan tokohnya yang
terkenal yaitu Edmund Husserl. BAB II PEMBAHASAN A. Biografi Edmund
Husserl (1859 M - 1938 M). Fenomenologi adalah gerakan filsafat yang
dipelopori oleh Edmund
8. Husserl. Salah satu arus pemikiran yang paling berpengaruh pada abad ke-20. Ia
mulai karirnya sebagai ahli matematika, kemudian pindah ke bidang filsafat.
Husserl membedakan antara dunia yang dikenal dalam sains dan dunia di mana
Kita hidup. Selanjutnya Ia juga mendiskusikan tentang kesadaran dan perhatian
terhadap dunia di mana Kita hidup. Kita dapat menganggap sepi objek apapun
tetapi Kita tidak dapat menganggap sepi kesadaran Kita. Eksistensi kesadaran
3. adalah satu-satunya benda yang tidak dapat dianggap sepi. Pengkajian tentang
dunia yang Kita hayati serta pengalaman Kita yang langsung tentang dunia
tersebut adalah pusat perhatian fenomenologi. Pandangan Husserl tentang
perhatian dan intuisi telah memberikan pengaruh kuat terhadap filsafat, khususnya
di Jerman dan Perancisv. Edmund Gustav Albrecht Husserl dilahirkan pada
tanggal 8 April 1859 di Prostějov, Moravia, Ceko. Ia adalah seorang filsuf Jerman
yang dikenal sebagai Bapak Fenomenologi. Karyanya meninggalkan orientasi
yang murni positivis dalam sains dan filsafat pada masanya, dan mengutamakan
pengalaman subyektif sebagai sumber dari semua pengetahuan Kita tentang
fenomena obyektif. Husserl adalah murid Franz Brentano dan Carl Stumpf. Karya
filsafatnya mempengaruhi karya-karya yang muncul setelahnya, antara lain, Edith
Stein (St. Teresa Benedicta dari Salib), Eugen Fink, Max Scheler, Martin
Heidegger, Jean-Paul Sartre, Emmanuel Lévinas, Rudolf Carnap, Hermann Weyl,
Maurice Merleau-Ponty, dan Roman Ingarden. Pada tahun 1886 dia mempelajari
psikologi dan banyak menulis tentang fenomenologi. Tahun 1887 Husserl
berpindah agama menjadi Kristen dan bergabung dengan Gereja Lutheran. Ia
9. mengajar filsafat di Halle sebagai seorang tutor (Privatdozent) di tahun 1887, lalu
di Göttingen sebagai profesor di tahun 1901, dan di Freiburg im Breisgau dari
tahun 1916 hingga ia pensiun pada tahun 1928. Setelah itu, ia melanjutkan
penelitiannya dan menulis dengan menggunakan perpustakaan di Freiburg, hingga
kemudian Ia dilarang menggunakan perpustakaan tersebut oleh Rektor setempat -
karena ia keturunan Yahudi - akibat pengaruh dari bekas muridnya, yang juga
anak emasnya, Martin Heidegger. Husserl meninggal dunia di Freiburg pada
tanggal 27 April 1938 dalam usia 79 tahun akibat penyakit pneumoniavi. B.
Pengertian Fenomenologi. Kata fenomenologi berasal dari bahasa Yunani,
phainomenon, dari phainesthai / phainomai / phainein yang artinya menampakkan
atau memperlihatkanvii. dan terbentuk dari akar kata fantasi, fantom, dan fosfor
yang artinya sinar atau cahaya. Dari kata itu terbentuk kata kerja tampak, terlihat
karena bercahaya. Dalam bahasa Indonesia biasa dipakai istilah gejala, yaitu suatu
hal yang tidak nyata dan semu, kebalikan kenyataan, juga dapat diartikan sebagai
ungkapan kejadian yang dapat diamati lewat indera. Atau Secara harfiah
fenomena diartikan sebagai gejala atau sesuatu yang menampakkan. Dan yang
lebih penting dalam filsafat fenomenologi adalah sebagai sumber berpikir yang
kritisviii. Fenomenologi juga berarti ilmu pengetahuan (logos) tentang apa yang
10. tampak (phainomenon). Jadi, fenomenologi itu mempelajari apa yang tampak atau
apa yang menampakkan diriix. Lebih lanjut dijelaskan bahwa fenomena
dipandang dari dua sudut. Pertama, fenomena selalu “menunjuk ke luar” atau
berhubungan dengan realitas di luar pikiran. Kedua, fenomena dari sudut
kesadaran Kita, karena selalu berada dalam kesadaran Kita. Maka dalam
memandang fenomena harus terlebih dahulu melihat “penyaringan” (ratio),
sehingga mendapatkan kesadaran yang murni. Fenomenologi menghendaki ilmu
pengetahuan secara sadar mengarahkan untuk memperhatikan contoh tertentu
tanpa prasangka teoritis lewat pengalaman- pengalaman yang berbeda dan bukan
lewat koleksi data yang besar untuk suatu teori umum di luar substansi
sesungguhnyax. Fenomenologi adalah ilmu tentang esensi-esensi kesadaran dan
esensi ideal dari obyek-obyek sebagai korelasi kesadaranxi, Pertanyaannya adalah
4. bagaimana caranya agar esensi-esensi tersebut tetap pada kemurniannya, karena
sesungguhmya Fenomenologi menghendaki ilmu pengetahuan secara sadar
mengarahkan untuk memperhatikan contoh tertentu tanpa prasangka teoritis lewat
pengalaman-pengalaman yang berbeda dan bukan lewat koleksi data yang besar
untuk suatu teori umum di luar substansi sesungguhnya, dan tanpa terkontaminasi
kecenderungan psikologisme dan naturalisme. Husserl mengajukan satu prosedur
yang dinamakan epoche (penundaan semua asumsi tentang kenyataan demi
memunculkan esensi). Tanpa penundaan asumsi naturalisme dan psikolgisme,
Kita akan terjebak pada dikotomixii (subyek-obyek yang menyesatkan atau
bertentangan satu sama lain).
11. Contohnya, saat mengambil gelas, Kita tidak memikirkan secara teoritis (tinggi,
berat, dan lebar) melainkan menghayatinya sebagai wadah penampung air untuk
diminum. Ini yang hilang dari pengalaman Kita kalau Kita menganut asumsi
naturalisme. Dan ini yang kembali dimunculkan oleh Husserl. Akar filosofis
fenomenologi Husserl ialah dari pemikiran gurunya, Franz Brentano. Dari
Brentano-lah Husserl mengambil konsep filsafat sebagai ilmu yang rigorisxiii
(sikap pikiran di mana dalam pertentangan pendapat mengenai boleh tidaknya
suatu tindakan atau bersikeras mempertahankan pandangan yang sempit dan
ketat). Sebagaimana juga bahwa filsafat terdiri atas deskripsi dan bukan
penjelasan kausal. Karena baginya fenomenologi bukan hanya sebagai filsafat
tetapi juga sebagai metode, karena dalam fenomenologi Kita memperoleh
langkah-langkah dalam menuju suatu fenomena yang murni. C. Intensionalitas
Menurut Husserl “prinsip segala prinsip” ialah bahwa hanya intuisi langsung
(dengan tidak menggunakan pengantara apapun juga) dapat dipakai sebagai
kriteria terakhir dibidang Filsafat. Hanya saja apa yang secara langsung diberikan
kepada Kita dalam pengalaman dapat dianggap benar “sejauh diberikan”. Dari
situ Husserl menyimpulkan bahwa kesadaran harus menjadi dasar filsafat.
Alasannya ialah bahwa hanya kesadaran yang diberikan secara langsung kepada
Kita sebagai subjekxiv. “Fenomen” merupakan realitas sendiri yang tampak, tidak
ada selubung
12. yang memisahkan realitas dari Kita .Kesadaran menurut kodratnya mengarah
pada realitas. Kesadaran selalu berarti kesadaran akan sesuatu. Kesadaran
menurut kodratnya bersifat intensionalitas, karena intensionalitas merupakan
unsur hakiki kesadaran. Dan justru karena kesadaran ditandai oleh intensionalitas,
fenomen harus dimengerti sebagai sesuatu hal yang menampakkan diri. Maka
sebagai hasil dari metode fenomenologi Husserl ialah perhatian baru untuk
intensionalitas kesadaranxv. Kesadaran Kita tidak dapat dibayangkan tanpa
sesuatu yang disadari. Supaya ada kesadaran, diandalkan tiga hal, yaitu bahwa ada
suatu subyek yang terbuka untuk obyek-obyek yang ada. Fakta bahwa kesadaran
selalu terarah kepada obyek-obyek disebut intensionalitas, Kiranya tidak tepat
mengatakan bahwa kesadaran mempunyai “intensionalitas”, karena kesadaran itu
justru adalah intensionalitas itu sendiri. Entah Kita sungguh- sungguh melihat
suatu pemandangan itu atau tidak, tetapi bila Kita masih menyadari perbedaan
antara kedua kemungkinan ini maka Kita tetap menyadari sesuatu. Kesadaran
tidak pernah pasif. Karena menyadari sesuatu berarti mengubah sesuatu.
Kesadaran itu bukan berarti suatu cermin atau foto. Kesadaran itu suatu tindakan.
5. Artinya terdapat interaksi antara tindakan kesadaran dengan obyek kesadaran.
Namun interaksi ini tidak boleh dianggap sebagai kerjasama antara dua unsur
yang sama penting. Karena akhirnya, hanya ada kesadaran, obyek yang disadari
itu hanyalah suatu ciptaan kesadaran. Pengalaman subyek harus selalu dipandang
sebagai pengalaman yang terlibat secara aktif dengan dunia. Kesadaran tidak
tertutup dari dunia, tetapi selalu menuju, mengarah dan membuka pada dunia.
Oleh karena itu Kita tidak
13. boleh memikirkan pengalaman dalam kesadaran manusia seperti obyek “dalam
kardus”. Pengalaman bukanlah sebuah “celah” yang mana, dunia hadir terpisah
darinya, menerobos masuk. Itu tidak sama halnya dengan menarik sesuatu yang
asing ke dalam kesadaran. Pengalaman adalah pagelaran, yang mana bagi Kita,
sosok yang mengalami. Wujud yang dialami ‘ada di sana’ dan di sana
sebagaimana adanya dengan seluruh muatannya dan modus berada di mana
pengalaman sendiri, Lewat intensionalitas, yang melekatkannyaxvi. Ada beberapa
aspek yang penting dalam intensionalitas Husserl, yakni: 1. Lewat intensionalitas
terjadi objektivikasi. Artinya bahwa unsur-unsur dalam arus kesadaran menunjuk
kepada suatu objek, terhimpun pada suatu objek tertentu. 2. Lewat intensionalitas
terjadilah identifikasi. Hal ini merupakan akibat objektivikasi tadi, dalam arti
bahwa berbagai data yang tampil pada peristiwa-peristiwa kemudian masih pula
dapat dihimpun pada objek sebagai hasil objektivikasi tersebut. 3. Intensionalitas
juga saling menghubungkan segi-segi suatu objek dengan segi-segi yang
mendampinginya. 4. Intensionalitas mengadakan pula konstitusixvii.
14. “Konstitusi” merupakan proses munculnya fenomen-fenomen kepada kesadaran.
Fenomen mengkonstitusi diri dalam kesadaran. Karena terdapat korelasi antara
kesadaran dan realitas, maka dapat dikatakan konstitusi adalah aktivitas kesadaran
yang memungkinkan tampaknya realitas. Tidak ada kebenaran pada dirinya yang
lepas dari kesadaran. Kebenaran hanya mungkin ada dalam korelasi dengan
kesadaran. Dan karena yang disebut realitas itu tidak lain daripada dunia sejauh
dianggap benar, maka realitas harus dikonstitusi oleh kesadaran. Konstitusi ini
berlangsung dalam proses penampakkan yang dialami oleh dunia ketika menjadi
fenomen bagi kesadaran intensionalxviii. Sebagai contoh dari konstitusi: “Kita
melihat suatu gelas, tetapi sebenarnya yang Kita lihat merupakan suatu perspektif
dari gelas tersebut, Kita melihat gelas itu dari depan, belakang, kanan, kiri, atas,
dan seterusnya”. Tetapi bagi persepsi, gelas adalah sintesa semua perspektif itu.
Dalam prespektif objek telah dikonstitusi. Pada akhirnya Husserl selalu
mementingkan dimensi historis dalam kesadaran dan dalam realita. Suatu
fenomen tidak pernah merupakan sesuatu yang statis, arti suatu fenomen
tergantung pada sejarahnya. Ini berlaku bagi sejarah pribadi umat manusia,
maupun bagi keseluruhan sejarah umat manusia. Sejarah Kita selalu hadir dalam
cara Kita menghadapi realitas. Karena itu konstitusi dalam filsafat Husserl selalu
diartikan sebagai “konstitusi genetis”. Proses yang mengakibatkan suatu fenomen
menjadi nyata dalam kesadaran, adalah merupakan suatu aspek historis.
15. D. Tiga Jenis Reduksi Benda-benada tidaklah secara langsung memperlihatkan
hakikat dirinya. Apa yang Kita temui pada benda-benda itu dalam pemikiran biasa
bukanlah hakikat. Hakikat benda itu ada dibalik yang kelihatan itu. Karena
pemikiran pertama (first look) tidak membuka tabir yang menutupi hakikat, maka
6. diperlukan pemikiran kedua (second look). Alat yang digunakan untuk
menemukan hakikat pada pemikiran kedua ini adalah intuisi. Dalam usaha untuk
melihat hakikat dengan intuisi, Husserl memperkenalkan pendekatan Reduksi,
yaitu penundaan segala ilmu pengetahuan yang ada tentang objek, sebelum
pengamatan intuitif dilakukan. Reduksi juga dapat diartikan penyaringan atau
pengecilan. Istilah lain yang digunakan Husserl adalah epoche yang artinya
sebagai penempatan sesuatu di antara dua kurung (metode bracketing).
Maksudnya adalah melupakan pengertian-pengertian tentang objek untuk
sementara, dan berusaha melihat objek secara langsung dengan intuisi tanpa
bantuan pengertian-pengertian yang ada sebelumnya. Dengan kata lain reduksi
berarti kembali pada dunia pengalaman. Pengalaman adalah tanah dari mana
dapat tumbuh segala makna dan kebenaranxix. Ada 3 macam reduksi yang
ditempuh untuk mencapai realitas fenomen dalam pendekatan fenomenologi itu,
yaitu Reduksi Fenomenologis, Reduksi Eidetis, dan Reduksi Fenomenologi
Transedental.
16. 1. Reduksi Fenomenologis. Menyingkirkan segala sesuatu yang subyektif. Sikap
Kita harus obyektif, terbuka untuk gejala-gejala yang harus “diajak bicara”.
Walaupun demikian, fenomen itu memang merupakan data, sebab sama sekali
tidak disangkal eksistensinya, hanya tidak diperhatikan. Namun obyek yang
diteliti hanya yang sejauh Kita sadari. Hal yang dilakukan oleh Husserl dalam
Reduksi Fenomenologis ini adalahxx: a. Dengan “mengurung” atau bracketing
yaitu meminggirkan keyakinan Kita akan totalitas obyek- obyek dan segala hal
yang Kita terlibat dengannya dari pendirian alamiah ataupun bahkan pengalaman
Kita tentangnya. b. Menjelaskan struktur dari apa yang tetap ada setelah
dilakukan “pengurungan”. 2. Reduksi Eidetis. Adalah menyingkirkan seluruh
pengetahuan tentang obyek yang diselidiki dan diperoleh dari sumber lain.
Maksud reduksi ini ingin menemukan eidos (intisari), atau sampai kepada wesen-
nya (hakikat). Karena itu, reduksi ini juga disebut wesenchau, artinya di sini, Kita
melihat hakikat sesuatu. Hakikat yang dimaksud Husserl bukan dalam arti umum,
misalnya, “manusia adalah hakikatnya dapat mati”, bukan
17. suatu inti yang tersembunyi, misalnya, “hakikat hidup”, bukan pula hakikat
seperti yang dimaksud Aristoteles, seperti, “manusia adalah binatang yang
berakal”. Hakikat yang dimaksud Husserl adalah struktur dasariah, yang meliputi
isi fundamental, ditambah semua sifat hakiki, lalu ditambah pula semua relasi
hakiki dengan kesadaran serta objek lain yang disadarixxi. Tujuan sebenarnya
dari reduksi adalah untuk mengungkap struktur dasar (esensi, eidos, atau hakikat)
dari suatu fenomena (gejala) murni atau yang telah dimurnikan. Oleh karena itu,
dalam reduksi eidetis yang harus dilakukan adalah jangan dulu
mempertimbangkan atau mengindahkan apa yang sifatnya aksidental atau
eksistensial. Dan caranya adalah dengan “menunda dalam tanda kurung”. Dengan
reduksi eidetis ini, dimana dalam khayalan semua perbedaan- perbedaan dari
sejumlah item dihilangkan sehingga tinggal suatu esensi saja. 3. Reduksi
Fenomenologis Transedental. Adalah dengan menyingkirkan seluruh reduksi
pengetahuan. Segala sesuatu yang sudah dikatakan oleh orang lain harus untuk
sementara dilupakan. Kalau reduksi-reduksi ini berhasil, maka gejala tersebut
dapat memperlihatkan diri menjadi fenomen. Dalam reduksi yang ketiga ini sudah
7. bukan lagi mengenai objek atau fenomen, tetapi khusus pengarahan
intensionalitas ke subjek mengenai akar-akar kesadaran, yakni mengenai
kesadaran sendiri yang bersifat transedental. Fenomenologi harus menganalisis
dan menggambarkan cara berjalannya
18. kesadaran transedentalxxii. Yang menarik dan sangat penting dari metode
fenomenologi Edmund Husserl ini adalah bahwa setiap orang jangan cepat-cepat
mengambil kesimpulan sebelum mendialogkan masalah yang dihadapi dengan
secermat-cermatnya. Dalam metode bracketing dengan berbagai reduksi-reduksi
yang Husserl ungkapkan, bukti-bukti nyata belumlah dipandang cukup untuk
menetapkan sebuah eksistensi atau kebenaran. Kebenaran tidak saja ditetapkan
berdasarkan bukti-bukti empiris, tetapi masih diperlukan kepada berbagai
pengalaman “supra- empiris” lewat intuisi yang bersifat apriori. Husserl agaknya
telah mampu mensintetesiskan sekaligus mengapresiasikan kedua aliran filsafat
yang sangat bertolak belakang, yaitu idealisme dan naturalisme. Ini dapat dilihat,
di satu pihak Ia menafikan sama sekali eksistensi objek pengalaman dunia nyata,
dan di pihak lain ia juga tidak menerima bahwa eksistensi kebenaran itu di luar
jangkauan akal manusia. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kebenaran
transedental sebagai kebenaran tertinggi. Metode fenomenologi mulai dengan
orang yang mengetahui dan yang mengalami, yakni orang yang melakukan
persepsi. Fenomenologi dijelaskan sebagai kembali kepada benda, sebagai lawan
dari ilusi atau susunan pikiran, justru karena benda adalah objek kesadaran yang
langsung dalam bentuknya yang murni.
19. E. Relevansi Pada milenium ketiga ini, banyak fenomena-fenomena yang terjadi.
Baik secara langsung Kita sadari, maupun yang tidak Kita sadari. Fenomena-
fenomena yang “masih panas” dan menjadi persoalan yang kerapkali
diperbincangkan dalam media masa, salah satunya adalah tentang “Global
Warming”. Adapun fenomena yang baru saja Kita alami yakni bencana alam,
semisal gempa bumi ataupun tsunami, khususnya di Indonesia Kita dapat melihat
fenomena-fenomena alam yang sering menimpa negeri Kita ini. Fenomena alam
yang tidak diketahui kapan dan apa yang menyebabkannya terjadi, antara lain
misalnya saja meluapnya lumpur Lapindo di Sidoarjo dan gelombang Tsunami di
Aceh. Memang Kita yakin bahwa penyebabnya ialah keserakahan dan
ketidakpuasan manusia akan sumber daya alam. Dalam hal ini, ketidakpuasan dari
manusia akan kebutuhan hidup. Menurut hemat penulis, baik global warming
maupun fenomena- fenomena alam lainnya merupakan fenomena yang sangat
menarik dan masih aktual untuk diperbincangkan dalam pembahasan
fenomenologi. Karena Kita harus mulai belajar untuk menyikapi fenomena-
kenomena alam bukan saja dari luarnya, tapi dari fenomena itu sendiri. “Biarkan
Fenomena yang berbicara pada Kita”. BAB III PENUTUP
20. Kesimpulan Sebagai penutup tulisan ini, penulis mencoba menyimpulkan,
walaupun masih jauh dari sempurna. Di mana ciri khas pemikiran Husserl tentang
bagaimana semestinya menemukan kebenaran dalam filsafat terangkai dalam satu
kalimat “Nach den sachen selbst” (kembalilah kepada benda-benda itu sendiri).
Dengan pernyataan ini Husserl menghantar Kita untuk memahami realitas itu apa
adanya serta mendeskripsikan seperti apa dan bagaimana realitas itu
menampakkan diri kepada Kita. Namun sesungguhnya, usaha untuk kembali pada
8. benda-benda itu sendiri, bagi Husserl adalah kembali kepada realitas itu
sebagaimana dia tampil dalam keasadaran Kita. Apa yang tampil kepada Kita
itulah yang disebut fenomena. Fenomenologi secara khusus berbicara tentang
kesadaran dan strukturnya, atau cara-cara bagaimana fenomena muncul pada Kita.
Karena kesadaran semestinya merupakan apa, di mana segala sesuatu menyatakan
dirinya, dan fenomenologi adalah studi tentang kesadaran, maka fenomenologi
merupakan filsafat utama. Eksistensialisme berhubungan erat dengan
fenomenologi. Fenomenologi lebih suatu metode filsafat daripada suatu ajaran.
Metode fenomenologi Husserl kemudian dikembangkan oleh muridnya antara
lain, M. Scheler dan Merleau- Ponty. Fenomenologi mengatakan bahwa Kita
harus memperkenalkan gejala- gejala dengan menggunakan intuisi. Kenyataan
tidak harus didekati dengan
21. argumen-argumen, konsep-konsep, dan teori umum. Setiap benda mempunyai
“hakekat-hakekatnya” dan “hakekat” ini berbicara kepada Kita kalau Kita
membuka diri untuknya. Kita harus “mengabstrahir” dari semua hal yang tidak
hakiki. Kalau segala sesuatu yang tidak hakiki sudah dilepaskan, lalu semua hal
yang ingin Kita selidiki, mulai berbicara. Dan “bahasa” ini akan dapat dimengerti
berkat intuisi Kita. Oleh karena itu, metode fenomenologis telah membuktikan
manfaatnya untuk epistemologi, psikologi, antropologi, studi agama-agama dan
etika.