SlideShare a Scribd company logo
1 of 8
Fenomenologi - Document Transcript
  1. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sejak awal kelahirannya, kegiatan
     berfilsafat sendiri didorong oleh rasa cinta akan kebijaksanaan. Kata Philosophia
     sendiri secara harfiah berarti cinta akan kebijaksanaan, karena kata yunani philo
     atau kata kerjanya philein adalah mencintai. Sedangkan sophia adalah
     kebijaksanaani. Dalam perspektif pencarian kebijaksanaan kegiatan manusia
     untuk condong kepada hal ingin tahu adalah salah satu hal yang tidak mungkin
     terpisahkan dari manusia itu sendiri. Berangkat dari tujuan rasa ingin tahu tadi,
     maka perkembangan yang terjadi diharapkan bisa memberikan hasil untuk
     berbuat secara lebih tepat dalam beriteraksi dengan dunia, masyarakat sekitar, dan
     bahkan antara diri sendiri dengan tuhannya. Maka ketika seseorang memperoleh
     pengetahuan tentang wujud atau memetik pelajaran darinya, jika dia memahami
     sendiri gagasan-gagasan tentang wujud itu dengan inteleknya, dan
     pembenarannya atas gagasan tersebut dilakukan dengan bantuan demonstrasi
     tertentu, maka ilmu yang tersusun dari pengetahuan-pengetahuan ini disebut
     filsafat. Ilmu filsafat memiliki obyek material dan obyek formal. Obyek material
     adalah apa yang dipelajari dan dikupas sebagai bahan (materi) pembicaraan.
     Obyek formal adalah cara pendekatan yang dipakai atas obyek material, yang
     sedemikian khas sehingga mencirikan atau mengkhususkan bidang kegiatan yang
  2. bersangkutan. Jika cara pendekatan itu logis, konsisten dan efisien, maka
     dihasilkanlah sistem filsafat. Filsafat berangkat dari pengalaman konkret manusia
     dalam dunianya. Pengalaman manusia yang sungguh kaya dengan segala sesuatu
     yang tersirat ingin dinyatakan secara tersurat. Dalam proses itu intuisi (merupakan
     hal yang ada dalam setiap pengalaman) menjadi basis bagi proses abstraksi,
     sehingga yang tersirat dapat diungkapkan menjadi tersurat. Jika ditinjau dari segi
     historis tentang sejarah perkembangan filsafat maka Kita bisa membaginya ke
     dalam empat periodeii: 1. Masa Yunani Kuno (Abad 6 SM – Akhir Abad 3 SM).
     Di masa ini pembahasan akan keingintahuan manusia telah mulai dibahas secara
     menyeluruh sehingga memunculkan istilah-istilah dalam aspek ilmu filsafat
     seperti aspek Ontology (being, what, who), aspek Epistemologi (why, how), dan
     aspek Aksiologi (for what/untuk apa, apa nilainya). Sedangkan tokoh-tokohnya
     yg terkenal adalah seperti Heraklitos dengan teorinya bahwa hakikat kenyataan
     adalah perubahan yang kemudian walaupun teori ini ditentang oleh Parmanides
     yang berpendapat bahwa hakikat kenyataan adalah yang tetapiii. Plato (427 – 347
     SM) berusaha mengkompromikan wacana ini dengan cara mengakomodir
     keduanya. Baginya hakikat kenyataan ada dua yaitu yang tetap (alam ide) dan
     yang berubah (alam nyata). Plato sendiri berpihak kepada alam yang tetap yaitu
     alam ide sebagai hakikat kenyataan yang
  3. sesungguhnya. Sedangkan alam yang berubah yaitu alam nyata hanyalah
     bayangan saja. Akan tetapi hal ini dikritik oleh Aristoteles (384 – 322 SM) yang
     juga disebut sebagai Guru Pertama sekaligus murid dari Plato, yang juga mencoba
     memecahkan masalah ini, hanya saja Dia berpihak pada yang berubah. Aristoteles
     membedakan antara materi dan bentuk. Materi merupakan kemungkinan,
     sedangkan bentuk yang menentukan kemungkinan itu. Sebagai contoh ia
     mengatakan bahwa kayu sebagai materi mengandung banyak kemungkinan:
menjadi kursi, lemari dan sebagainya. Kemungkinan itu barulah terlaksana
     menjadi suatu kenyataan kalau diberi bentuk. Misalnya bentuk kursi, lemari, meja
     dan sebagainyaiv. 2. Masa Abad Pertengahan (Akhir Abad 3 SM – Awal Abad 15
     M). Di masa ini Filsafat Yunani Kuno diambil alih oleh bangsa Mesir yang mana
     dipimpin oleh Ratu Cleopatra (69-30 SM). Kemudian ±5 abad kemudian ketika
     masa kekuasaan Kaisar Justianus di Kerajaan Romawi ±529 M. Filsafat dilarang
     dan semua bentuk pemikiran dikembalikan ke Dogma Gereja. Yang pada
     akhirnya akan memunculkan para ktitikus- kritikus yang menolak Dogma-Dogma
     Gereja ini, yang menganggap bahwa agama terlalu membatasi pikiran manusia
     untuk memjadi lebih maju. Yang mana seiring dengan berjalannya waktu akan
     memunculkan
4.   aliran-aliran baru seperti aliran Neo-Platonisme (± abad ke 13) yaitu Platonisme
     manunggal dengan Dogma Gereja. dengan tokohnya Thomas Aquines (1225 M –
     1274 M). 3. Masa Modern (Akhir Abad 15 M – Abad 19 M). Di tandai dengan: a.
     Gerakan Renaissance (kelahiran kembali) untuk membentuk mentalitas individual
     – kebebasan, persamaan, emansipasi, serta otonomi diri. b. Revolusi Copernicus
     (1473 M – 1543 M) dengan teorinya bahwa Matahari merupakan pusat alam
     semesta, serta teori Metode induktif – experimental. c. Zaman Aufklarung
     (pencerahan / abad 18 M) Menggunakan akal budi dengan inti : 1) Ajaran
     Rasionalisme (Rene Descartes, 1596 M - 1650 M). 2) Ajaran Empirisme (Francis
     Bacon, 1561 M - 1626 M). 3) Ajaran Kritisisme (Immanuel Kant, 1724
5.   M - 1804 M). 4) Filsafat Pragmatisme (William James, 1842 M - 1910 M). d.
     Filsafat Fenomenologi (Edmund Husserl, 1859 M - 1938 M) dengan teori
     kebenaran adalah kenyataan benda itu sendiri. Ada tiga tahap dalam metode
     fenomenologis yaitu : 1) Reduksi Fenomenologis. 2) Reduksi Eidetis. 3) Reduksi
     Transendental. e. Filsafat Eksistensialisme (S. Kierkegaard, 1813 M - 1855 M). 4.
     Masa Kontemporer (Abad 20 M). a. Filsafat Analitik (Ludwig Wittgenstein, 1889
     M - 1951 M). b. Filsafat Eksistensialisme (Jean Paul Sarte, 1905 M – 1980 M). •
     Ia
6.   mengangga p manusia bebas memilih moralitas yang diinginkan hingga
     menciptaka n eksistensi dirinya. Manusia melakukan kebaikan, pendidikan bagi
     keturunann ya dan hidup bermasyara kat. • Ia juga mengangga
7.   p Tuhan tidak ada dan manusia dapat memeranka n peranan Tuhan (Vincent
     Martin). c. Ethics and Limits of Philosophy (Bernard Williams). Dengan luasnya
     wacana filsafat dari ranah filsafat kuno hingga kontemporer, maka penulis
     berusaha membatasi pokok-pokok bahasannya hanya dalam ranah filsafat periode
     masa modern dengan spesifikasi Filsafat Fenomenologi dengan tokohnya yang
     terkenal yaitu Edmund Husserl. BAB II PEMBAHASAN A. Biografi Edmund
     Husserl (1859 M - 1938 M). Fenomenologi adalah gerakan filsafat yang
     dipelopori oleh Edmund
8.   Husserl. Salah satu arus pemikiran yang paling berpengaruh pada abad ke-20. Ia
     mulai karirnya sebagai ahli matematika, kemudian pindah ke bidang filsafat.
     Husserl membedakan antara dunia yang dikenal dalam sains dan dunia di mana
     Kita hidup. Selanjutnya Ia juga mendiskusikan tentang kesadaran dan perhatian
     terhadap dunia di mana Kita hidup. Kita dapat menganggap sepi objek apapun
     tetapi Kita tidak dapat menganggap sepi kesadaran Kita. Eksistensi kesadaran
adalah satu-satunya benda yang tidak dapat dianggap sepi. Pengkajian tentang
    dunia yang Kita hayati serta pengalaman Kita yang langsung tentang dunia
    tersebut adalah pusat perhatian fenomenologi. Pandangan Husserl tentang
    perhatian dan intuisi telah memberikan pengaruh kuat terhadap filsafat, khususnya
    di Jerman dan Perancisv. Edmund Gustav Albrecht Husserl dilahirkan pada
    tanggal 8 April 1859 di Prostějov, Moravia, Ceko. Ia adalah seorang filsuf Jerman
    yang dikenal sebagai Bapak Fenomenologi. Karyanya meninggalkan orientasi
    yang murni positivis dalam sains dan filsafat pada masanya, dan mengutamakan
    pengalaman subyektif sebagai sumber dari semua pengetahuan Kita tentang
    fenomena obyektif. Husserl adalah murid Franz Brentano dan Carl Stumpf. Karya
    filsafatnya mempengaruhi karya-karya yang muncul setelahnya, antara lain, Edith
    Stein (St. Teresa Benedicta dari Salib), Eugen Fink, Max Scheler, Martin
    Heidegger, Jean-Paul Sartre, Emmanuel Lévinas, Rudolf Carnap, Hermann Weyl,
    Maurice Merleau-Ponty, dan Roman Ingarden. Pada tahun 1886 dia mempelajari
    psikologi dan banyak menulis tentang fenomenologi. Tahun 1887 Husserl
    berpindah agama menjadi Kristen dan bergabung dengan Gereja Lutheran. Ia
9. mengajar filsafat di Halle sebagai seorang tutor (Privatdozent) di tahun 1887, lalu
    di Göttingen sebagai profesor di tahun 1901, dan di Freiburg im Breisgau dari
    tahun 1916 hingga ia pensiun pada tahun 1928. Setelah itu, ia melanjutkan
    penelitiannya dan menulis dengan menggunakan perpustakaan di Freiburg, hingga
    kemudian Ia dilarang menggunakan perpustakaan tersebut oleh Rektor setempat -
    karena ia keturunan Yahudi - akibat pengaruh dari bekas muridnya, yang juga
    anak emasnya, Martin Heidegger. Husserl meninggal dunia di Freiburg pada
    tanggal 27 April 1938 dalam usia 79 tahun akibat penyakit pneumoniavi. B.
    Pengertian Fenomenologi. Kata fenomenologi berasal dari bahasa Yunani,
    phainomenon, dari phainesthai / phainomai / phainein yang artinya menampakkan
    atau memperlihatkanvii. dan terbentuk dari akar kata fantasi, fantom, dan fosfor
    yang artinya sinar atau cahaya. Dari kata itu terbentuk kata kerja tampak, terlihat
    karena bercahaya. Dalam bahasa Indonesia biasa dipakai istilah gejala, yaitu suatu
    hal yang tidak nyata dan semu, kebalikan kenyataan, juga dapat diartikan sebagai
    ungkapan kejadian yang dapat diamati lewat indera. Atau Secara harfiah
    fenomena diartikan sebagai gejala atau sesuatu yang menampakkan. Dan yang
    lebih penting dalam filsafat fenomenologi adalah sebagai sumber berpikir yang
    kritisviii. Fenomenologi juga berarti ilmu pengetahuan (logos) tentang apa yang
10. tampak (phainomenon). Jadi, fenomenologi itu mempelajari apa yang tampak atau
    apa yang menampakkan diriix. Lebih lanjut dijelaskan bahwa fenomena
    dipandang dari dua sudut. Pertama, fenomena selalu “menunjuk ke luar” atau
    berhubungan dengan realitas di luar pikiran. Kedua, fenomena dari sudut
    kesadaran Kita, karena selalu berada dalam kesadaran Kita. Maka dalam
    memandang fenomena harus terlebih dahulu melihat “penyaringan” (ratio),
    sehingga mendapatkan kesadaran yang murni. Fenomenologi menghendaki ilmu
    pengetahuan secara sadar mengarahkan untuk memperhatikan contoh tertentu
    tanpa prasangka teoritis lewat pengalaman- pengalaman yang berbeda dan bukan
    lewat koleksi data yang besar untuk suatu teori umum di luar substansi
    sesungguhnyax. Fenomenologi adalah ilmu tentang esensi-esensi kesadaran dan
    esensi ideal dari obyek-obyek sebagai korelasi kesadaranxi, Pertanyaannya adalah
bagaimana caranya agar esensi-esensi tersebut tetap pada kemurniannya, karena
    sesungguhmya Fenomenologi menghendaki ilmu pengetahuan secara sadar
    mengarahkan untuk memperhatikan contoh tertentu tanpa prasangka teoritis lewat
    pengalaman-pengalaman yang berbeda dan bukan lewat koleksi data yang besar
    untuk suatu teori umum di luar substansi sesungguhnya, dan tanpa terkontaminasi
    kecenderungan psikologisme dan naturalisme. Husserl mengajukan satu prosedur
    yang dinamakan epoche (penundaan semua asumsi tentang kenyataan demi
    memunculkan esensi). Tanpa penundaan asumsi naturalisme dan psikolgisme,
    Kita akan terjebak pada dikotomixii (subyek-obyek yang menyesatkan atau
    bertentangan satu sama lain).
11. Contohnya, saat mengambil gelas, Kita tidak memikirkan secara teoritis (tinggi,
    berat, dan lebar) melainkan menghayatinya sebagai wadah penampung air untuk
    diminum. Ini yang hilang dari pengalaman Kita kalau Kita menganut asumsi
    naturalisme. Dan ini yang kembali dimunculkan oleh Husserl. Akar filosofis
    fenomenologi Husserl ialah dari pemikiran gurunya, Franz Brentano. Dari
    Brentano-lah Husserl mengambil konsep filsafat sebagai ilmu yang rigorisxiii
    (sikap pikiran di mana dalam pertentangan pendapat mengenai boleh tidaknya
    suatu tindakan atau bersikeras mempertahankan pandangan yang sempit dan
    ketat). Sebagaimana juga bahwa filsafat terdiri atas deskripsi dan bukan
    penjelasan kausal. Karena baginya fenomenologi bukan hanya sebagai filsafat
    tetapi juga sebagai metode, karena dalam fenomenologi Kita memperoleh
    langkah-langkah dalam menuju suatu fenomena yang murni. C. Intensionalitas
    Menurut Husserl “prinsip segala prinsip” ialah bahwa hanya intuisi langsung
    (dengan tidak menggunakan pengantara apapun juga) dapat dipakai sebagai
    kriteria terakhir dibidang Filsafat. Hanya saja apa yang secara langsung diberikan
    kepada Kita dalam pengalaman dapat dianggap benar “sejauh diberikan”. Dari
    situ Husserl menyimpulkan bahwa kesadaran harus menjadi dasar filsafat.
    Alasannya ialah bahwa hanya kesadaran yang diberikan secara langsung kepada
    Kita sebagai subjekxiv. “Fenomen” merupakan realitas sendiri yang tampak, tidak
    ada selubung
12. yang memisahkan realitas dari Kita .Kesadaran menurut kodratnya mengarah
    pada realitas. Kesadaran selalu berarti kesadaran akan sesuatu. Kesadaran
    menurut kodratnya bersifat intensionalitas, karena intensionalitas merupakan
    unsur hakiki kesadaran. Dan justru karena kesadaran ditandai oleh intensionalitas,
    fenomen harus dimengerti sebagai sesuatu hal yang menampakkan diri. Maka
    sebagai hasil dari metode fenomenologi Husserl ialah perhatian baru untuk
    intensionalitas kesadaranxv. Kesadaran Kita tidak dapat dibayangkan tanpa
    sesuatu yang disadari. Supaya ada kesadaran, diandalkan tiga hal, yaitu bahwa ada
    suatu subyek yang terbuka untuk obyek-obyek yang ada. Fakta bahwa kesadaran
    selalu terarah kepada obyek-obyek disebut intensionalitas, Kiranya tidak tepat
    mengatakan bahwa kesadaran mempunyai “intensionalitas”, karena kesadaran itu
    justru adalah intensionalitas itu sendiri. Entah Kita sungguh- sungguh melihat
    suatu pemandangan itu atau tidak, tetapi bila Kita masih menyadari perbedaan
    antara kedua kemungkinan ini maka Kita tetap menyadari sesuatu. Kesadaran
    tidak pernah pasif. Karena menyadari sesuatu berarti mengubah sesuatu.
    Kesadaran itu bukan berarti suatu cermin atau foto. Kesadaran itu suatu tindakan.
Artinya terdapat interaksi antara tindakan kesadaran dengan obyek kesadaran.
    Namun interaksi ini tidak boleh dianggap sebagai kerjasama antara dua unsur
    yang sama penting. Karena akhirnya, hanya ada kesadaran, obyek yang disadari
    itu hanyalah suatu ciptaan kesadaran. Pengalaman subyek harus selalu dipandang
    sebagai pengalaman yang terlibat secara aktif dengan dunia. Kesadaran tidak
    tertutup dari dunia, tetapi selalu menuju, mengarah dan membuka pada dunia.
    Oleh karena itu Kita tidak
13. boleh memikirkan pengalaman dalam kesadaran manusia seperti obyek “dalam
    kardus”. Pengalaman bukanlah sebuah “celah” yang mana, dunia hadir terpisah
    darinya, menerobos masuk. Itu tidak sama halnya dengan menarik sesuatu yang
    asing ke dalam kesadaran. Pengalaman adalah pagelaran, yang mana bagi Kita,
    sosok yang mengalami. Wujud yang dialami ‘ada di sana’ dan di sana
    sebagaimana adanya dengan seluruh muatannya dan modus berada di mana
    pengalaman sendiri, Lewat intensionalitas, yang melekatkannyaxvi. Ada beberapa
    aspek yang penting dalam intensionalitas Husserl, yakni: 1. Lewat intensionalitas
    terjadi objektivikasi. Artinya bahwa unsur-unsur dalam arus kesadaran menunjuk
    kepada suatu objek, terhimpun pada suatu objek tertentu. 2. Lewat intensionalitas
    terjadilah identifikasi. Hal ini merupakan akibat objektivikasi tadi, dalam arti
    bahwa berbagai data yang tampil pada peristiwa-peristiwa kemudian masih pula
    dapat dihimpun pada objek sebagai hasil objektivikasi tersebut. 3. Intensionalitas
    juga saling menghubungkan segi-segi suatu objek dengan segi-segi yang
    mendampinginya. 4. Intensionalitas mengadakan pula konstitusixvii.
14. “Konstitusi” merupakan proses munculnya fenomen-fenomen kepada kesadaran.
    Fenomen mengkonstitusi diri dalam kesadaran. Karena terdapat korelasi antara
    kesadaran dan realitas, maka dapat dikatakan konstitusi adalah aktivitas kesadaran
    yang memungkinkan tampaknya realitas. Tidak ada kebenaran pada dirinya yang
    lepas dari kesadaran. Kebenaran hanya mungkin ada dalam korelasi dengan
    kesadaran. Dan karena yang disebut realitas itu tidak lain daripada dunia sejauh
    dianggap benar, maka realitas harus dikonstitusi oleh kesadaran. Konstitusi ini
    berlangsung dalam proses penampakkan yang dialami oleh dunia ketika menjadi
    fenomen bagi kesadaran intensionalxviii. Sebagai contoh dari konstitusi: “Kita
    melihat suatu gelas, tetapi sebenarnya yang Kita lihat merupakan suatu perspektif
    dari gelas tersebut, Kita melihat gelas itu dari depan, belakang, kanan, kiri, atas,
    dan seterusnya”. Tetapi bagi persepsi, gelas adalah sintesa semua perspektif itu.
    Dalam prespektif objek telah dikonstitusi. Pada akhirnya Husserl selalu
    mementingkan dimensi historis dalam kesadaran dan dalam realita. Suatu
    fenomen tidak pernah merupakan sesuatu yang statis, arti suatu fenomen
    tergantung pada sejarahnya. Ini berlaku bagi sejarah pribadi umat manusia,
    maupun bagi keseluruhan sejarah umat manusia. Sejarah Kita selalu hadir dalam
    cara Kita menghadapi realitas. Karena itu konstitusi dalam filsafat Husserl selalu
    diartikan sebagai “konstitusi genetis”. Proses yang mengakibatkan suatu fenomen
    menjadi nyata dalam kesadaran, adalah merupakan suatu aspek historis.
15. D. Tiga Jenis Reduksi Benda-benada tidaklah secara langsung memperlihatkan
    hakikat dirinya. Apa yang Kita temui pada benda-benda itu dalam pemikiran biasa
    bukanlah hakikat. Hakikat benda itu ada dibalik yang kelihatan itu. Karena
    pemikiran pertama (first look) tidak membuka tabir yang menutupi hakikat, maka
diperlukan pemikiran kedua (second look). Alat yang digunakan untuk
    menemukan hakikat pada pemikiran kedua ini adalah intuisi. Dalam usaha untuk
    melihat hakikat dengan intuisi, Husserl memperkenalkan pendekatan Reduksi,
    yaitu penundaan segala ilmu pengetahuan yang ada tentang objek, sebelum
    pengamatan intuitif dilakukan. Reduksi juga dapat diartikan penyaringan atau
    pengecilan. Istilah lain yang digunakan Husserl adalah epoche yang artinya
    sebagai penempatan sesuatu di antara dua kurung (metode bracketing).
    Maksudnya adalah melupakan pengertian-pengertian tentang objek untuk
    sementara, dan berusaha melihat objek secara langsung dengan intuisi tanpa
    bantuan pengertian-pengertian yang ada sebelumnya. Dengan kata lain reduksi
    berarti kembali pada dunia pengalaman. Pengalaman adalah tanah dari mana
    dapat tumbuh segala makna dan kebenaranxix. Ada 3 macam reduksi yang
    ditempuh untuk mencapai realitas fenomen dalam pendekatan fenomenologi itu,
    yaitu Reduksi Fenomenologis, Reduksi Eidetis, dan Reduksi Fenomenologi
    Transedental.
16. 1. Reduksi Fenomenologis. Menyingkirkan segala sesuatu yang subyektif. Sikap
    Kita harus obyektif, terbuka untuk gejala-gejala yang harus “diajak bicara”.
    Walaupun demikian, fenomen itu memang merupakan data, sebab sama sekali
    tidak disangkal eksistensinya, hanya tidak diperhatikan. Namun obyek yang
    diteliti hanya yang sejauh Kita sadari. Hal yang dilakukan oleh Husserl dalam
    Reduksi Fenomenologis ini adalahxx: a. Dengan “mengurung” atau bracketing
    yaitu meminggirkan keyakinan Kita akan totalitas obyek- obyek dan segala hal
    yang Kita terlibat dengannya dari pendirian alamiah ataupun bahkan pengalaman
    Kita tentangnya. b. Menjelaskan struktur dari apa yang tetap ada setelah
    dilakukan “pengurungan”. 2. Reduksi Eidetis. Adalah menyingkirkan seluruh
    pengetahuan tentang obyek yang diselidiki dan diperoleh dari sumber lain.
    Maksud reduksi ini ingin menemukan eidos (intisari), atau sampai kepada wesen-
    nya (hakikat). Karena itu, reduksi ini juga disebut wesenchau, artinya di sini, Kita
    melihat hakikat sesuatu. Hakikat yang dimaksud Husserl bukan dalam arti umum,
    misalnya, “manusia adalah hakikatnya dapat mati”, bukan
17. suatu inti yang tersembunyi, misalnya, “hakikat hidup”, bukan pula hakikat
    seperti yang dimaksud Aristoteles, seperti, “manusia adalah binatang yang
    berakal”. Hakikat yang dimaksud Husserl adalah struktur dasariah, yang meliputi
    isi fundamental, ditambah semua sifat hakiki, lalu ditambah pula semua relasi
    hakiki dengan kesadaran serta objek lain yang disadarixxi. Tujuan sebenarnya
    dari reduksi adalah untuk mengungkap struktur dasar (esensi, eidos, atau hakikat)
    dari suatu fenomena (gejala) murni atau yang telah dimurnikan. Oleh karena itu,
    dalam reduksi eidetis yang harus dilakukan adalah jangan dulu
    mempertimbangkan atau mengindahkan apa yang sifatnya aksidental atau
    eksistensial. Dan caranya adalah dengan “menunda dalam tanda kurung”. Dengan
    reduksi eidetis ini, dimana dalam khayalan semua perbedaan- perbedaan dari
    sejumlah item dihilangkan sehingga tinggal suatu esensi saja. 3. Reduksi
    Fenomenologis Transedental. Adalah dengan menyingkirkan seluruh reduksi
    pengetahuan. Segala sesuatu yang sudah dikatakan oleh orang lain harus untuk
    sementara dilupakan. Kalau reduksi-reduksi ini berhasil, maka gejala tersebut
    dapat memperlihatkan diri menjadi fenomen. Dalam reduksi yang ketiga ini sudah
bukan lagi mengenai objek atau fenomen, tetapi khusus pengarahan
    intensionalitas ke subjek mengenai akar-akar kesadaran, yakni mengenai
    kesadaran sendiri yang bersifat transedental. Fenomenologi harus menganalisis
    dan menggambarkan cara berjalannya
18. kesadaran transedentalxxii. Yang menarik dan sangat penting dari metode
    fenomenologi Edmund Husserl ini adalah bahwa setiap orang jangan cepat-cepat
    mengambil kesimpulan sebelum mendialogkan masalah yang dihadapi dengan
    secermat-cermatnya. Dalam metode bracketing dengan berbagai reduksi-reduksi
    yang Husserl ungkapkan, bukti-bukti nyata belumlah dipandang cukup untuk
    menetapkan sebuah eksistensi atau kebenaran. Kebenaran tidak saja ditetapkan
    berdasarkan bukti-bukti empiris, tetapi masih diperlukan kepada berbagai
    pengalaman “supra- empiris” lewat intuisi yang bersifat apriori. Husserl agaknya
    telah mampu mensintetesiskan sekaligus mengapresiasikan kedua aliran filsafat
    yang sangat bertolak belakang, yaitu idealisme dan naturalisme. Ini dapat dilihat,
    di satu pihak Ia menafikan sama sekali eksistensi objek pengalaman dunia nyata,
    dan di pihak lain ia juga tidak menerima bahwa eksistensi kebenaran itu di luar
    jangkauan akal manusia. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kebenaran
    transedental sebagai kebenaran tertinggi. Metode fenomenologi mulai dengan
    orang yang mengetahui dan yang mengalami, yakni orang yang melakukan
    persepsi. Fenomenologi dijelaskan sebagai kembali kepada benda, sebagai lawan
    dari ilusi atau susunan pikiran, justru karena benda adalah objek kesadaran yang
    langsung dalam bentuknya yang murni.
19. E. Relevansi Pada milenium ketiga ini, banyak fenomena-fenomena yang terjadi.
    Baik secara langsung Kita sadari, maupun yang tidak Kita sadari. Fenomena-
    fenomena yang “masih panas” dan menjadi persoalan yang kerapkali
    diperbincangkan dalam media masa, salah satunya adalah tentang “Global
    Warming”. Adapun fenomena yang baru saja Kita alami yakni bencana alam,
    semisal gempa bumi ataupun tsunami, khususnya di Indonesia Kita dapat melihat
    fenomena-fenomena alam yang sering menimpa negeri Kita ini. Fenomena alam
    yang tidak diketahui kapan dan apa yang menyebabkannya terjadi, antara lain
    misalnya saja meluapnya lumpur Lapindo di Sidoarjo dan gelombang Tsunami di
    Aceh. Memang Kita yakin bahwa penyebabnya ialah keserakahan dan
    ketidakpuasan manusia akan sumber daya alam. Dalam hal ini, ketidakpuasan dari
    manusia akan kebutuhan hidup. Menurut hemat penulis, baik global warming
    maupun fenomena- fenomena alam lainnya merupakan fenomena yang sangat
    menarik dan masih aktual untuk diperbincangkan dalam pembahasan
    fenomenologi. Karena Kita harus mulai belajar untuk menyikapi fenomena-
    kenomena alam bukan saja dari luarnya, tapi dari fenomena itu sendiri. “Biarkan
    Fenomena yang berbicara pada Kita”. BAB III PENUTUP
20. Kesimpulan Sebagai penutup tulisan ini, penulis mencoba menyimpulkan,
    walaupun masih jauh dari sempurna. Di mana ciri khas pemikiran Husserl tentang
    bagaimana semestinya menemukan kebenaran dalam filsafat terangkai dalam satu
    kalimat “Nach den sachen selbst” (kembalilah kepada benda-benda itu sendiri).
    Dengan pernyataan ini Husserl menghantar Kita untuk memahami realitas itu apa
    adanya serta mendeskripsikan seperti apa dan bagaimana realitas itu
    menampakkan diri kepada Kita. Namun sesungguhnya, usaha untuk kembali pada
benda-benda itu sendiri, bagi Husserl adalah kembali kepada realitas itu
    sebagaimana dia tampil dalam keasadaran Kita. Apa yang tampil kepada Kita
    itulah yang disebut fenomena. Fenomenologi secara khusus berbicara tentang
    kesadaran dan strukturnya, atau cara-cara bagaimana fenomena muncul pada Kita.
    Karena kesadaran semestinya merupakan apa, di mana segala sesuatu menyatakan
    dirinya, dan fenomenologi adalah studi tentang kesadaran, maka fenomenologi
    merupakan filsafat utama. Eksistensialisme berhubungan erat dengan
    fenomenologi. Fenomenologi lebih suatu metode filsafat daripada suatu ajaran.
    Metode fenomenologi Husserl kemudian dikembangkan oleh muridnya antara
    lain, M. Scheler dan Merleau- Ponty. Fenomenologi mengatakan bahwa Kita
    harus memperkenalkan gejala- gejala dengan menggunakan intuisi. Kenyataan
    tidak harus didekati dengan
21. argumen-argumen, konsep-konsep, dan teori umum. Setiap benda mempunyai
    “hakekat-hakekatnya” dan “hakekat” ini berbicara kepada Kita kalau Kita
    membuka diri untuknya. Kita harus “mengabstrahir” dari semua hal yang tidak
    hakiki. Kalau segala sesuatu yang tidak hakiki sudah dilepaskan, lalu semua hal
    yang ingin Kita selidiki, mulai berbicara. Dan “bahasa” ini akan dapat dimengerti
    berkat intuisi Kita. Oleh karena itu, metode fenomenologis telah membuktikan
    manfaatnya untuk epistemologi, psikologi, antropologi, studi agama-agama dan
    etika.

More Related Content

What's hot

Materi Kuliah Metodologi Penelitian Pertemuan ke 3
Materi Kuliah Metodologi Penelitian Pertemuan ke 3Materi Kuliah Metodologi Penelitian Pertemuan ke 3
Materi Kuliah Metodologi Penelitian Pertemuan ke 3Namin AB Ibnu Solihin
 
Pertemuan 9 teknik sampling
Pertemuan 9 teknik samplingPertemuan 9 teknik sampling
Pertemuan 9 teknik samplingAyu Sefryna sari
 
Pengertian Korelasi
Pengertian KorelasiPengertian Korelasi
Pengertian Korelasiguest44990b
 
Standar penilaian (komparasi ktsp dan kur 2013)
Standar penilaian (komparasi ktsp dan kur 2013)Standar penilaian (komparasi ktsp dan kur 2013)
Standar penilaian (komparasi ktsp dan kur 2013)Sukiman Fitk
 
Social Learning Theory
Social Learning TheorySocial Learning Theory
Social Learning Theorymankoma2012
 
R & D (Research and Development)
R & D (Research and Development)R & D (Research and Development)
R & D (Research and Development)Adina Widi Astuti
 
KONSELING KELOMPOK (PENDEKATAN BEHAVIORAL)
KONSELING KELOMPOK (PENDEKATAN BEHAVIORAL)KONSELING KELOMPOK (PENDEKATAN BEHAVIORAL)
KONSELING KELOMPOK (PENDEKATAN BEHAVIORAL)Donny kurnianto
 
Perhitungan kalori harian arham
Perhitungan kalori harian arhamPerhitungan kalori harian arham
Perhitungan kalori harian arhamMuhammad Arham
 
Teori Kepribadian Eksistensial Rollo May.pptx
Teori Kepribadian Eksistensial Rollo May.pptxTeori Kepribadian Eksistensial Rollo May.pptx
Teori Kepribadian Eksistensial Rollo May.pptxBellaDwiLestari2
 
6. satuan percobaan, dan percobaan satu faktor
6. satuan percobaan, dan percobaan satu faktor6. satuan percobaan, dan percobaan satu faktor
6. satuan percobaan, dan percobaan satu faktorEmi Suhaemi
 

What's hot (20)

Materi Kuliah Metodologi Penelitian Pertemuan ke 3
Materi Kuliah Metodologi Penelitian Pertemuan ke 3Materi Kuliah Metodologi Penelitian Pertemuan ke 3
Materi Kuliah Metodologi Penelitian Pertemuan ke 3
 
Pertemuan 9 teknik sampling
Pertemuan 9 teknik samplingPertemuan 9 teknik sampling
Pertemuan 9 teknik sampling
 
Uji tukey & Uji scheffe
Uji tukey & Uji scheffeUji tukey & Uji scheffe
Uji tukey & Uji scheffe
 
BAB III PEMBAHASAN SKRIPSI
BAB III PEMBAHASAN SKRIPSIBAB III PEMBAHASAN SKRIPSI
BAB III PEMBAHASAN SKRIPSI
 
Pengertian Korelasi
Pengertian KorelasiPengertian Korelasi
Pengertian Korelasi
 
Pertemuan ke-9 Erich Fromm
Pertemuan ke-9 Erich FrommPertemuan ke-9 Erich Fromm
Pertemuan ke-9 Erich Fromm
 
Standar penilaian (komparasi ktsp dan kur 2013)
Standar penilaian (komparasi ktsp dan kur 2013)Standar penilaian (komparasi ktsp dan kur 2013)
Standar penilaian (komparasi ktsp dan kur 2013)
 
Sejarah statistik
Sejarah statistikSejarah statistik
Sejarah statistik
 
Social Learning Theory
Social Learning TheorySocial Learning Theory
Social Learning Theory
 
R & D (Research and Development)
R & D (Research and Development)R & D (Research and Development)
R & D (Research and Development)
 
Contoh uji homogenitas levene
Contoh uji homogenitas leveneContoh uji homogenitas levene
Contoh uji homogenitas levene
 
Uji perbedaan uji t
Uji perbedaan uji tUji perbedaan uji t
Uji perbedaan uji t
 
KONSELING KELOMPOK (PENDEKATAN BEHAVIORAL)
KONSELING KELOMPOK (PENDEKATAN BEHAVIORAL)KONSELING KELOMPOK (PENDEKATAN BEHAVIORAL)
KONSELING KELOMPOK (PENDEKATAN BEHAVIORAL)
 
Teori Belajar Albert Bandura
Teori Belajar Albert BanduraTeori Belajar Albert Bandura
Teori Belajar Albert Bandura
 
Tabel f-0-05
Tabel f-0-05Tabel f-0-05
Tabel f-0-05
 
Perhitungan kalori harian arham
Perhitungan kalori harian arhamPerhitungan kalori harian arham
Perhitungan kalori harian arham
 
TOEFL (Reading)
TOEFL (Reading)TOEFL (Reading)
TOEFL (Reading)
 
Tabel f-0-01
Tabel f-0-01Tabel f-0-01
Tabel f-0-01
 
Teori Kepribadian Eksistensial Rollo May.pptx
Teori Kepribadian Eksistensial Rollo May.pptxTeori Kepribadian Eksistensial Rollo May.pptx
Teori Kepribadian Eksistensial Rollo May.pptx
 
6. satuan percobaan, dan percobaan satu faktor
6. satuan percobaan, dan percobaan satu faktor6. satuan percobaan, dan percobaan satu faktor
6. satuan percobaan, dan percobaan satu faktor
 

Viewers also liked

Laporan Akhir EKPD 2009 Aceh - UNSYIAH
Laporan Akhir EKPD 2009 Aceh - UNSYIAHLaporan Akhir EKPD 2009 Aceh - UNSYIAH
Laporan Akhir EKPD 2009 Aceh - UNSYIAHEKPD
 
Syarifudin, fenomenologi
Syarifudin, fenomenologiSyarifudin, fenomenologi
Syarifudin, fenomenologiSyarifudin Amq
 
Chua khenghoemfp
Chua khenghoemfpChua khenghoemfp
Chua khenghoemfpGV Vaani
 
Pendekatan fenomenologis perbandingan agama
Pendekatan fenomenologis   perbandingan agamaPendekatan fenomenologis   perbandingan agama
Pendekatan fenomenologis perbandingan agamaRifatin Aprilia
 
Fenomenologi
FenomenologiFenomenologi
Fenomenologianmeyshie
 
Studi Kualitatif Fenomenologi mengenai Konsep Diri Perokok Berhijab
Studi Kualitatif Fenomenologi mengenai Konsep Diri Perokok BerhijabStudi Kualitatif Fenomenologi mengenai Konsep Diri Perokok Berhijab
Studi Kualitatif Fenomenologi mengenai Konsep Diri Perokok BerhijabCommunication Management
 
Metodologi penelitian kualitatif (mirza shahreza) final
Metodologi penelitian kualitatif (mirza shahreza) finalMetodologi penelitian kualitatif (mirza shahreza) final
Metodologi penelitian kualitatif (mirza shahreza) finalMirza Shahreza
 
Questions n responses
Questions n responsesQuestions n responses
Questions n responsesnorlelanasir
 
24490926 teori-sosiologi
24490926 teori-sosiologi24490926 teori-sosiologi
24490926 teori-sosiologiYolanda Sitepu
 
TEDx Manchester: AI & The Future of Work
TEDx Manchester: AI & The Future of WorkTEDx Manchester: AI & The Future of Work
TEDx Manchester: AI & The Future of WorkVolker Hirsch
 

Viewers also liked (15)

Fenomenologi
FenomenologiFenomenologi
Fenomenologi
 
Laporan Akhir EKPD 2009 Aceh - UNSYIAH
Laporan Akhir EKPD 2009 Aceh - UNSYIAHLaporan Akhir EKPD 2009 Aceh - UNSYIAH
Laporan Akhir EKPD 2009 Aceh - UNSYIAH
 
Syarifudin, fenomenologi
Syarifudin, fenomenologiSyarifudin, fenomenologi
Syarifudin, fenomenologi
 
Chua khenghoemfp
Chua khenghoemfpChua khenghoemfp
Chua khenghoemfp
 
Pendekatan fenomenologis perbandingan agama
Pendekatan fenomenologis   perbandingan agamaPendekatan fenomenologis   perbandingan agama
Pendekatan fenomenologis perbandingan agama
 
Fenomenologi
FenomenologiFenomenologi
Fenomenologi
 
Desai Penelitian Kualitatif : Fenomenologi
Desai Penelitian Kualitatif : FenomenologiDesai Penelitian Kualitatif : Fenomenologi
Desai Penelitian Kualitatif : Fenomenologi
 
Studi Kualitatif Fenomenologi mengenai Konsep Diri Perokok Berhijab
Studi Kualitatif Fenomenologi mengenai Konsep Diri Perokok BerhijabStudi Kualitatif Fenomenologi mengenai Konsep Diri Perokok Berhijab
Studi Kualitatif Fenomenologi mengenai Konsep Diri Perokok Berhijab
 
Metodologi penelitian kualitatif (mirza shahreza) final
Metodologi penelitian kualitatif (mirza shahreza) finalMetodologi penelitian kualitatif (mirza shahreza) final
Metodologi penelitian kualitatif (mirza shahreza) final
 
Spe Bab1
Spe Bab1Spe Bab1
Spe Bab1
 
Paradigma & ragam penelitian kualitatif
Paradigma & ragam penelitian kualitatifParadigma & ragam penelitian kualitatif
Paradigma & ragam penelitian kualitatif
 
Places
PlacesPlaces
Places
 
Questions n responses
Questions n responsesQuestions n responses
Questions n responses
 
24490926 teori-sosiologi
24490926 teori-sosiologi24490926 teori-sosiologi
24490926 teori-sosiologi
 
TEDx Manchester: AI & The Future of Work
TEDx Manchester: AI & The Future of WorkTEDx Manchester: AI & The Future of Work
TEDx Manchester: AI & The Future of Work
 

Similar to Fenomenologi

Filsafat ppt resa sevia putri
Filsafat ppt resa sevia putriFilsafat ppt resa sevia putri
Filsafat ppt resa sevia putriResaSevia
 
Bab iii pembahasan
Bab iii pembahasanBab iii pembahasan
Bab iii pembahasanCindar Tyas
 
PPT Filsafat Ilmu (Sejarah Filsafat Barat)
PPT Filsafat Ilmu (Sejarah Filsafat Barat)PPT Filsafat Ilmu (Sejarah Filsafat Barat)
PPT Filsafat Ilmu (Sejarah Filsafat Barat)AldiwaPandu
 
FILSAFAT MANUSIA ( MODERN, KUNO, KONTEMPORER)
FILSAFAT MANUSIA ( MODERN, KUNO, KONTEMPORER)FILSAFAT MANUSIA ( MODERN, KUNO, KONTEMPORER)
FILSAFAT MANUSIA ( MODERN, KUNO, KONTEMPORER)arunnitaadzemi
 
RAHMAN bab 1.pptx.pptx
RAHMAN bab 1.pptx.pptxRAHMAN bab 1.pptx.pptx
RAHMAN bab 1.pptx.pptxsmkyapis4
 
Makalah filsafat umum
Makalah filsafat umumMakalah filsafat umum
Makalah filsafat umumAyah Abeeb
 
Filsafat dan Sejarah Keilmuan MIPA
Filsafat dan Sejarah Keilmuan MIPAFilsafat dan Sejarah Keilmuan MIPA
Filsafat dan Sejarah Keilmuan MIPAChristian Lokas
 
Filsafat Modern dan Pembahasan Pendidikan
Filsafat Modern dan Pembahasan PendidikanFilsafat Modern dan Pembahasan Pendidikan
Filsafat Modern dan Pembahasan PendidikanAna Safrida
 
Rasionalisme
RasionalismeRasionalisme
Rasionalismeaini_26
 
Fenomenologi transendental edmund husserl
Fenomenologi transendental edmund husserlFenomenologi transendental edmund husserl
Fenomenologi transendental edmund husserlMuhsin Hariyanto
 
Filsafat dan Etika Komunikasi
Filsafat dan Etika KomunikasiFilsafat dan Etika Komunikasi
Filsafat dan Etika KomunikasiAfril Wibisono
 
Taksonomi Ilmu Pengetahuan Kelompok 5.pdf
Taksonomi Ilmu Pengetahuan Kelompok 5.pdfTaksonomi Ilmu Pengetahuan Kelompok 5.pdf
Taksonomi Ilmu Pengetahuan Kelompok 5.pdfherzanetti
 
Hubungan Filsafat, Ilmu, dan Agama
Hubungan Filsafat, Ilmu, dan AgamaHubungan Filsafat, Ilmu, dan Agama
Hubungan Filsafat, Ilmu, dan AgamaAcintyaNasywa
 

Similar to Fenomenologi (20)

Filsafat ppt resa sevia putri
Filsafat ppt resa sevia putriFilsafat ppt resa sevia putri
Filsafat ppt resa sevia putri
 
Filsafat manusia
Filsafat manusiaFilsafat manusia
Filsafat manusia
 
Bab iii pembahasan
Bab iii pembahasanBab iii pembahasan
Bab iii pembahasan
 
PPT Filsafat Ilmu (Sejarah Filsafat Barat)
PPT Filsafat Ilmu (Sejarah Filsafat Barat)PPT Filsafat Ilmu (Sejarah Filsafat Barat)
PPT Filsafat Ilmu (Sejarah Filsafat Barat)
 
FILSAFAT MANUSIA ( MODERN, KUNO, KONTEMPORER)
FILSAFAT MANUSIA ( MODERN, KUNO, KONTEMPORER)FILSAFAT MANUSIA ( MODERN, KUNO, KONTEMPORER)
FILSAFAT MANUSIA ( MODERN, KUNO, KONTEMPORER)
 
RAHMAN bab 1.pptx.pptx
RAHMAN bab 1.pptx.pptxRAHMAN bab 1.pptx.pptx
RAHMAN bab 1.pptx.pptx
 
Makalah filsafat umum
Makalah filsafat umumMakalah filsafat umum
Makalah filsafat umum
 
Filsafat dan Sejarah Keilmuan MIPA
Filsafat dan Sejarah Keilmuan MIPAFilsafat dan Sejarah Keilmuan MIPA
Filsafat dan Sejarah Keilmuan MIPA
 
Filsafat Modern dan Pembahasan Pendidikan
Filsafat Modern dan Pembahasan PendidikanFilsafat Modern dan Pembahasan Pendidikan
Filsafat Modern dan Pembahasan Pendidikan
 
Tugas Filsafat
Tugas FilsafatTugas Filsafat
Tugas Filsafat
 
Sejarah filsafat
Sejarah filsafatSejarah filsafat
Sejarah filsafat
 
Filsafat manusia
Filsafat manusiaFilsafat manusia
Filsafat manusia
 
Rasionalisme
RasionalismeRasionalisme
Rasionalisme
 
Fenomenologi transendental edmund husserl
Fenomenologi transendental edmund husserlFenomenologi transendental edmund husserl
Fenomenologi transendental edmund husserl
 
Makalahku filsafat modern
Makalahku filsafat modernMakalahku filsafat modern
Makalahku filsafat modern
 
Filsafat Moderen
Filsafat ModerenFilsafat Moderen
Filsafat Moderen
 
Filsafat dan Etika Komunikasi
Filsafat dan Etika KomunikasiFilsafat dan Etika Komunikasi
Filsafat dan Etika Komunikasi
 
Taksonomi Ilmu Pengetahuan Kelompok 5.pdf
Taksonomi Ilmu Pengetahuan Kelompok 5.pdfTaksonomi Ilmu Pengetahuan Kelompok 5.pdf
Taksonomi Ilmu Pengetahuan Kelompok 5.pdf
 
Iad ppt
Iad pptIad ppt
Iad ppt
 
Hubungan Filsafat, Ilmu, dan Agama
Hubungan Filsafat, Ilmu, dan AgamaHubungan Filsafat, Ilmu, dan Agama
Hubungan Filsafat, Ilmu, dan Agama
 

Fenomenologi

  • 1. Fenomenologi - Document Transcript 1. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sejak awal kelahirannya, kegiatan berfilsafat sendiri didorong oleh rasa cinta akan kebijaksanaan. Kata Philosophia sendiri secara harfiah berarti cinta akan kebijaksanaan, karena kata yunani philo atau kata kerjanya philein adalah mencintai. Sedangkan sophia adalah kebijaksanaani. Dalam perspektif pencarian kebijaksanaan kegiatan manusia untuk condong kepada hal ingin tahu adalah salah satu hal yang tidak mungkin terpisahkan dari manusia itu sendiri. Berangkat dari tujuan rasa ingin tahu tadi, maka perkembangan yang terjadi diharapkan bisa memberikan hasil untuk berbuat secara lebih tepat dalam beriteraksi dengan dunia, masyarakat sekitar, dan bahkan antara diri sendiri dengan tuhannya. Maka ketika seseorang memperoleh pengetahuan tentang wujud atau memetik pelajaran darinya, jika dia memahami sendiri gagasan-gagasan tentang wujud itu dengan inteleknya, dan pembenarannya atas gagasan tersebut dilakukan dengan bantuan demonstrasi tertentu, maka ilmu yang tersusun dari pengetahuan-pengetahuan ini disebut filsafat. Ilmu filsafat memiliki obyek material dan obyek formal. Obyek material adalah apa yang dipelajari dan dikupas sebagai bahan (materi) pembicaraan. Obyek formal adalah cara pendekatan yang dipakai atas obyek material, yang sedemikian khas sehingga mencirikan atau mengkhususkan bidang kegiatan yang 2. bersangkutan. Jika cara pendekatan itu logis, konsisten dan efisien, maka dihasilkanlah sistem filsafat. Filsafat berangkat dari pengalaman konkret manusia dalam dunianya. Pengalaman manusia yang sungguh kaya dengan segala sesuatu yang tersirat ingin dinyatakan secara tersurat. Dalam proses itu intuisi (merupakan hal yang ada dalam setiap pengalaman) menjadi basis bagi proses abstraksi, sehingga yang tersirat dapat diungkapkan menjadi tersurat. Jika ditinjau dari segi historis tentang sejarah perkembangan filsafat maka Kita bisa membaginya ke dalam empat periodeii: 1. Masa Yunani Kuno (Abad 6 SM – Akhir Abad 3 SM). Di masa ini pembahasan akan keingintahuan manusia telah mulai dibahas secara menyeluruh sehingga memunculkan istilah-istilah dalam aspek ilmu filsafat seperti aspek Ontology (being, what, who), aspek Epistemologi (why, how), dan aspek Aksiologi (for what/untuk apa, apa nilainya). Sedangkan tokoh-tokohnya yg terkenal adalah seperti Heraklitos dengan teorinya bahwa hakikat kenyataan adalah perubahan yang kemudian walaupun teori ini ditentang oleh Parmanides yang berpendapat bahwa hakikat kenyataan adalah yang tetapiii. Plato (427 – 347 SM) berusaha mengkompromikan wacana ini dengan cara mengakomodir keduanya. Baginya hakikat kenyataan ada dua yaitu yang tetap (alam ide) dan yang berubah (alam nyata). Plato sendiri berpihak kepada alam yang tetap yaitu alam ide sebagai hakikat kenyataan yang 3. sesungguhnya. Sedangkan alam yang berubah yaitu alam nyata hanyalah bayangan saja. Akan tetapi hal ini dikritik oleh Aristoteles (384 – 322 SM) yang juga disebut sebagai Guru Pertama sekaligus murid dari Plato, yang juga mencoba memecahkan masalah ini, hanya saja Dia berpihak pada yang berubah. Aristoteles membedakan antara materi dan bentuk. Materi merupakan kemungkinan, sedangkan bentuk yang menentukan kemungkinan itu. Sebagai contoh ia mengatakan bahwa kayu sebagai materi mengandung banyak kemungkinan:
  • 2. menjadi kursi, lemari dan sebagainya. Kemungkinan itu barulah terlaksana menjadi suatu kenyataan kalau diberi bentuk. Misalnya bentuk kursi, lemari, meja dan sebagainyaiv. 2. Masa Abad Pertengahan (Akhir Abad 3 SM – Awal Abad 15 M). Di masa ini Filsafat Yunani Kuno diambil alih oleh bangsa Mesir yang mana dipimpin oleh Ratu Cleopatra (69-30 SM). Kemudian ±5 abad kemudian ketika masa kekuasaan Kaisar Justianus di Kerajaan Romawi ±529 M. Filsafat dilarang dan semua bentuk pemikiran dikembalikan ke Dogma Gereja. Yang pada akhirnya akan memunculkan para ktitikus- kritikus yang menolak Dogma-Dogma Gereja ini, yang menganggap bahwa agama terlalu membatasi pikiran manusia untuk memjadi lebih maju. Yang mana seiring dengan berjalannya waktu akan memunculkan 4. aliran-aliran baru seperti aliran Neo-Platonisme (± abad ke 13) yaitu Platonisme manunggal dengan Dogma Gereja. dengan tokohnya Thomas Aquines (1225 M – 1274 M). 3. Masa Modern (Akhir Abad 15 M – Abad 19 M). Di tandai dengan: a. Gerakan Renaissance (kelahiran kembali) untuk membentuk mentalitas individual – kebebasan, persamaan, emansipasi, serta otonomi diri. b. Revolusi Copernicus (1473 M – 1543 M) dengan teorinya bahwa Matahari merupakan pusat alam semesta, serta teori Metode induktif – experimental. c. Zaman Aufklarung (pencerahan / abad 18 M) Menggunakan akal budi dengan inti : 1) Ajaran Rasionalisme (Rene Descartes, 1596 M - 1650 M). 2) Ajaran Empirisme (Francis Bacon, 1561 M - 1626 M). 3) Ajaran Kritisisme (Immanuel Kant, 1724 5. M - 1804 M). 4) Filsafat Pragmatisme (William James, 1842 M - 1910 M). d. Filsafat Fenomenologi (Edmund Husserl, 1859 M - 1938 M) dengan teori kebenaran adalah kenyataan benda itu sendiri. Ada tiga tahap dalam metode fenomenologis yaitu : 1) Reduksi Fenomenologis. 2) Reduksi Eidetis. 3) Reduksi Transendental. e. Filsafat Eksistensialisme (S. Kierkegaard, 1813 M - 1855 M). 4. Masa Kontemporer (Abad 20 M). a. Filsafat Analitik (Ludwig Wittgenstein, 1889 M - 1951 M). b. Filsafat Eksistensialisme (Jean Paul Sarte, 1905 M – 1980 M). • Ia 6. mengangga p manusia bebas memilih moralitas yang diinginkan hingga menciptaka n eksistensi dirinya. Manusia melakukan kebaikan, pendidikan bagi keturunann ya dan hidup bermasyara kat. • Ia juga mengangga 7. p Tuhan tidak ada dan manusia dapat memeranka n peranan Tuhan (Vincent Martin). c. Ethics and Limits of Philosophy (Bernard Williams). Dengan luasnya wacana filsafat dari ranah filsafat kuno hingga kontemporer, maka penulis berusaha membatasi pokok-pokok bahasannya hanya dalam ranah filsafat periode masa modern dengan spesifikasi Filsafat Fenomenologi dengan tokohnya yang terkenal yaitu Edmund Husserl. BAB II PEMBAHASAN A. Biografi Edmund Husserl (1859 M - 1938 M). Fenomenologi adalah gerakan filsafat yang dipelopori oleh Edmund 8. Husserl. Salah satu arus pemikiran yang paling berpengaruh pada abad ke-20. Ia mulai karirnya sebagai ahli matematika, kemudian pindah ke bidang filsafat. Husserl membedakan antara dunia yang dikenal dalam sains dan dunia di mana Kita hidup. Selanjutnya Ia juga mendiskusikan tentang kesadaran dan perhatian terhadap dunia di mana Kita hidup. Kita dapat menganggap sepi objek apapun tetapi Kita tidak dapat menganggap sepi kesadaran Kita. Eksistensi kesadaran
  • 3. adalah satu-satunya benda yang tidak dapat dianggap sepi. Pengkajian tentang dunia yang Kita hayati serta pengalaman Kita yang langsung tentang dunia tersebut adalah pusat perhatian fenomenologi. Pandangan Husserl tentang perhatian dan intuisi telah memberikan pengaruh kuat terhadap filsafat, khususnya di Jerman dan Perancisv. Edmund Gustav Albrecht Husserl dilahirkan pada tanggal 8 April 1859 di Prostějov, Moravia, Ceko. Ia adalah seorang filsuf Jerman yang dikenal sebagai Bapak Fenomenologi. Karyanya meninggalkan orientasi yang murni positivis dalam sains dan filsafat pada masanya, dan mengutamakan pengalaman subyektif sebagai sumber dari semua pengetahuan Kita tentang fenomena obyektif. Husserl adalah murid Franz Brentano dan Carl Stumpf. Karya filsafatnya mempengaruhi karya-karya yang muncul setelahnya, antara lain, Edith Stein (St. Teresa Benedicta dari Salib), Eugen Fink, Max Scheler, Martin Heidegger, Jean-Paul Sartre, Emmanuel Lévinas, Rudolf Carnap, Hermann Weyl, Maurice Merleau-Ponty, dan Roman Ingarden. Pada tahun 1886 dia mempelajari psikologi dan banyak menulis tentang fenomenologi. Tahun 1887 Husserl berpindah agama menjadi Kristen dan bergabung dengan Gereja Lutheran. Ia 9. mengajar filsafat di Halle sebagai seorang tutor (Privatdozent) di tahun 1887, lalu di Göttingen sebagai profesor di tahun 1901, dan di Freiburg im Breisgau dari tahun 1916 hingga ia pensiun pada tahun 1928. Setelah itu, ia melanjutkan penelitiannya dan menulis dengan menggunakan perpustakaan di Freiburg, hingga kemudian Ia dilarang menggunakan perpustakaan tersebut oleh Rektor setempat - karena ia keturunan Yahudi - akibat pengaruh dari bekas muridnya, yang juga anak emasnya, Martin Heidegger. Husserl meninggal dunia di Freiburg pada tanggal 27 April 1938 dalam usia 79 tahun akibat penyakit pneumoniavi. B. Pengertian Fenomenologi. Kata fenomenologi berasal dari bahasa Yunani, phainomenon, dari phainesthai / phainomai / phainein yang artinya menampakkan atau memperlihatkanvii. dan terbentuk dari akar kata fantasi, fantom, dan fosfor yang artinya sinar atau cahaya. Dari kata itu terbentuk kata kerja tampak, terlihat karena bercahaya. Dalam bahasa Indonesia biasa dipakai istilah gejala, yaitu suatu hal yang tidak nyata dan semu, kebalikan kenyataan, juga dapat diartikan sebagai ungkapan kejadian yang dapat diamati lewat indera. Atau Secara harfiah fenomena diartikan sebagai gejala atau sesuatu yang menampakkan. Dan yang lebih penting dalam filsafat fenomenologi adalah sebagai sumber berpikir yang kritisviii. Fenomenologi juga berarti ilmu pengetahuan (logos) tentang apa yang 10. tampak (phainomenon). Jadi, fenomenologi itu mempelajari apa yang tampak atau apa yang menampakkan diriix. Lebih lanjut dijelaskan bahwa fenomena dipandang dari dua sudut. Pertama, fenomena selalu “menunjuk ke luar” atau berhubungan dengan realitas di luar pikiran. Kedua, fenomena dari sudut kesadaran Kita, karena selalu berada dalam kesadaran Kita. Maka dalam memandang fenomena harus terlebih dahulu melihat “penyaringan” (ratio), sehingga mendapatkan kesadaran yang murni. Fenomenologi menghendaki ilmu pengetahuan secara sadar mengarahkan untuk memperhatikan contoh tertentu tanpa prasangka teoritis lewat pengalaman- pengalaman yang berbeda dan bukan lewat koleksi data yang besar untuk suatu teori umum di luar substansi sesungguhnyax. Fenomenologi adalah ilmu tentang esensi-esensi kesadaran dan esensi ideal dari obyek-obyek sebagai korelasi kesadaranxi, Pertanyaannya adalah
  • 4. bagaimana caranya agar esensi-esensi tersebut tetap pada kemurniannya, karena sesungguhmya Fenomenologi menghendaki ilmu pengetahuan secara sadar mengarahkan untuk memperhatikan contoh tertentu tanpa prasangka teoritis lewat pengalaman-pengalaman yang berbeda dan bukan lewat koleksi data yang besar untuk suatu teori umum di luar substansi sesungguhnya, dan tanpa terkontaminasi kecenderungan psikologisme dan naturalisme. Husserl mengajukan satu prosedur yang dinamakan epoche (penundaan semua asumsi tentang kenyataan demi memunculkan esensi). Tanpa penundaan asumsi naturalisme dan psikolgisme, Kita akan terjebak pada dikotomixii (subyek-obyek yang menyesatkan atau bertentangan satu sama lain). 11. Contohnya, saat mengambil gelas, Kita tidak memikirkan secara teoritis (tinggi, berat, dan lebar) melainkan menghayatinya sebagai wadah penampung air untuk diminum. Ini yang hilang dari pengalaman Kita kalau Kita menganut asumsi naturalisme. Dan ini yang kembali dimunculkan oleh Husserl. Akar filosofis fenomenologi Husserl ialah dari pemikiran gurunya, Franz Brentano. Dari Brentano-lah Husserl mengambil konsep filsafat sebagai ilmu yang rigorisxiii (sikap pikiran di mana dalam pertentangan pendapat mengenai boleh tidaknya suatu tindakan atau bersikeras mempertahankan pandangan yang sempit dan ketat). Sebagaimana juga bahwa filsafat terdiri atas deskripsi dan bukan penjelasan kausal. Karena baginya fenomenologi bukan hanya sebagai filsafat tetapi juga sebagai metode, karena dalam fenomenologi Kita memperoleh langkah-langkah dalam menuju suatu fenomena yang murni. C. Intensionalitas Menurut Husserl “prinsip segala prinsip” ialah bahwa hanya intuisi langsung (dengan tidak menggunakan pengantara apapun juga) dapat dipakai sebagai kriteria terakhir dibidang Filsafat. Hanya saja apa yang secara langsung diberikan kepada Kita dalam pengalaman dapat dianggap benar “sejauh diberikan”. Dari situ Husserl menyimpulkan bahwa kesadaran harus menjadi dasar filsafat. Alasannya ialah bahwa hanya kesadaran yang diberikan secara langsung kepada Kita sebagai subjekxiv. “Fenomen” merupakan realitas sendiri yang tampak, tidak ada selubung 12. yang memisahkan realitas dari Kita .Kesadaran menurut kodratnya mengarah pada realitas. Kesadaran selalu berarti kesadaran akan sesuatu. Kesadaran menurut kodratnya bersifat intensionalitas, karena intensionalitas merupakan unsur hakiki kesadaran. Dan justru karena kesadaran ditandai oleh intensionalitas, fenomen harus dimengerti sebagai sesuatu hal yang menampakkan diri. Maka sebagai hasil dari metode fenomenologi Husserl ialah perhatian baru untuk intensionalitas kesadaranxv. Kesadaran Kita tidak dapat dibayangkan tanpa sesuatu yang disadari. Supaya ada kesadaran, diandalkan tiga hal, yaitu bahwa ada suatu subyek yang terbuka untuk obyek-obyek yang ada. Fakta bahwa kesadaran selalu terarah kepada obyek-obyek disebut intensionalitas, Kiranya tidak tepat mengatakan bahwa kesadaran mempunyai “intensionalitas”, karena kesadaran itu justru adalah intensionalitas itu sendiri. Entah Kita sungguh- sungguh melihat suatu pemandangan itu atau tidak, tetapi bila Kita masih menyadari perbedaan antara kedua kemungkinan ini maka Kita tetap menyadari sesuatu. Kesadaran tidak pernah pasif. Karena menyadari sesuatu berarti mengubah sesuatu. Kesadaran itu bukan berarti suatu cermin atau foto. Kesadaran itu suatu tindakan.
  • 5. Artinya terdapat interaksi antara tindakan kesadaran dengan obyek kesadaran. Namun interaksi ini tidak boleh dianggap sebagai kerjasama antara dua unsur yang sama penting. Karena akhirnya, hanya ada kesadaran, obyek yang disadari itu hanyalah suatu ciptaan kesadaran. Pengalaman subyek harus selalu dipandang sebagai pengalaman yang terlibat secara aktif dengan dunia. Kesadaran tidak tertutup dari dunia, tetapi selalu menuju, mengarah dan membuka pada dunia. Oleh karena itu Kita tidak 13. boleh memikirkan pengalaman dalam kesadaran manusia seperti obyek “dalam kardus”. Pengalaman bukanlah sebuah “celah” yang mana, dunia hadir terpisah darinya, menerobos masuk. Itu tidak sama halnya dengan menarik sesuatu yang asing ke dalam kesadaran. Pengalaman adalah pagelaran, yang mana bagi Kita, sosok yang mengalami. Wujud yang dialami ‘ada di sana’ dan di sana sebagaimana adanya dengan seluruh muatannya dan modus berada di mana pengalaman sendiri, Lewat intensionalitas, yang melekatkannyaxvi. Ada beberapa aspek yang penting dalam intensionalitas Husserl, yakni: 1. Lewat intensionalitas terjadi objektivikasi. Artinya bahwa unsur-unsur dalam arus kesadaran menunjuk kepada suatu objek, terhimpun pada suatu objek tertentu. 2. Lewat intensionalitas terjadilah identifikasi. Hal ini merupakan akibat objektivikasi tadi, dalam arti bahwa berbagai data yang tampil pada peristiwa-peristiwa kemudian masih pula dapat dihimpun pada objek sebagai hasil objektivikasi tersebut. 3. Intensionalitas juga saling menghubungkan segi-segi suatu objek dengan segi-segi yang mendampinginya. 4. Intensionalitas mengadakan pula konstitusixvii. 14. “Konstitusi” merupakan proses munculnya fenomen-fenomen kepada kesadaran. Fenomen mengkonstitusi diri dalam kesadaran. Karena terdapat korelasi antara kesadaran dan realitas, maka dapat dikatakan konstitusi adalah aktivitas kesadaran yang memungkinkan tampaknya realitas. Tidak ada kebenaran pada dirinya yang lepas dari kesadaran. Kebenaran hanya mungkin ada dalam korelasi dengan kesadaran. Dan karena yang disebut realitas itu tidak lain daripada dunia sejauh dianggap benar, maka realitas harus dikonstitusi oleh kesadaran. Konstitusi ini berlangsung dalam proses penampakkan yang dialami oleh dunia ketika menjadi fenomen bagi kesadaran intensionalxviii. Sebagai contoh dari konstitusi: “Kita melihat suatu gelas, tetapi sebenarnya yang Kita lihat merupakan suatu perspektif dari gelas tersebut, Kita melihat gelas itu dari depan, belakang, kanan, kiri, atas, dan seterusnya”. Tetapi bagi persepsi, gelas adalah sintesa semua perspektif itu. Dalam prespektif objek telah dikonstitusi. Pada akhirnya Husserl selalu mementingkan dimensi historis dalam kesadaran dan dalam realita. Suatu fenomen tidak pernah merupakan sesuatu yang statis, arti suatu fenomen tergantung pada sejarahnya. Ini berlaku bagi sejarah pribadi umat manusia, maupun bagi keseluruhan sejarah umat manusia. Sejarah Kita selalu hadir dalam cara Kita menghadapi realitas. Karena itu konstitusi dalam filsafat Husserl selalu diartikan sebagai “konstitusi genetis”. Proses yang mengakibatkan suatu fenomen menjadi nyata dalam kesadaran, adalah merupakan suatu aspek historis. 15. D. Tiga Jenis Reduksi Benda-benada tidaklah secara langsung memperlihatkan hakikat dirinya. Apa yang Kita temui pada benda-benda itu dalam pemikiran biasa bukanlah hakikat. Hakikat benda itu ada dibalik yang kelihatan itu. Karena pemikiran pertama (first look) tidak membuka tabir yang menutupi hakikat, maka
  • 6. diperlukan pemikiran kedua (second look). Alat yang digunakan untuk menemukan hakikat pada pemikiran kedua ini adalah intuisi. Dalam usaha untuk melihat hakikat dengan intuisi, Husserl memperkenalkan pendekatan Reduksi, yaitu penundaan segala ilmu pengetahuan yang ada tentang objek, sebelum pengamatan intuitif dilakukan. Reduksi juga dapat diartikan penyaringan atau pengecilan. Istilah lain yang digunakan Husserl adalah epoche yang artinya sebagai penempatan sesuatu di antara dua kurung (metode bracketing). Maksudnya adalah melupakan pengertian-pengertian tentang objek untuk sementara, dan berusaha melihat objek secara langsung dengan intuisi tanpa bantuan pengertian-pengertian yang ada sebelumnya. Dengan kata lain reduksi berarti kembali pada dunia pengalaman. Pengalaman adalah tanah dari mana dapat tumbuh segala makna dan kebenaranxix. Ada 3 macam reduksi yang ditempuh untuk mencapai realitas fenomen dalam pendekatan fenomenologi itu, yaitu Reduksi Fenomenologis, Reduksi Eidetis, dan Reduksi Fenomenologi Transedental. 16. 1. Reduksi Fenomenologis. Menyingkirkan segala sesuatu yang subyektif. Sikap Kita harus obyektif, terbuka untuk gejala-gejala yang harus “diajak bicara”. Walaupun demikian, fenomen itu memang merupakan data, sebab sama sekali tidak disangkal eksistensinya, hanya tidak diperhatikan. Namun obyek yang diteliti hanya yang sejauh Kita sadari. Hal yang dilakukan oleh Husserl dalam Reduksi Fenomenologis ini adalahxx: a. Dengan “mengurung” atau bracketing yaitu meminggirkan keyakinan Kita akan totalitas obyek- obyek dan segala hal yang Kita terlibat dengannya dari pendirian alamiah ataupun bahkan pengalaman Kita tentangnya. b. Menjelaskan struktur dari apa yang tetap ada setelah dilakukan “pengurungan”. 2. Reduksi Eidetis. Adalah menyingkirkan seluruh pengetahuan tentang obyek yang diselidiki dan diperoleh dari sumber lain. Maksud reduksi ini ingin menemukan eidos (intisari), atau sampai kepada wesen- nya (hakikat). Karena itu, reduksi ini juga disebut wesenchau, artinya di sini, Kita melihat hakikat sesuatu. Hakikat yang dimaksud Husserl bukan dalam arti umum, misalnya, “manusia adalah hakikatnya dapat mati”, bukan 17. suatu inti yang tersembunyi, misalnya, “hakikat hidup”, bukan pula hakikat seperti yang dimaksud Aristoteles, seperti, “manusia adalah binatang yang berakal”. Hakikat yang dimaksud Husserl adalah struktur dasariah, yang meliputi isi fundamental, ditambah semua sifat hakiki, lalu ditambah pula semua relasi hakiki dengan kesadaran serta objek lain yang disadarixxi. Tujuan sebenarnya dari reduksi adalah untuk mengungkap struktur dasar (esensi, eidos, atau hakikat) dari suatu fenomena (gejala) murni atau yang telah dimurnikan. Oleh karena itu, dalam reduksi eidetis yang harus dilakukan adalah jangan dulu mempertimbangkan atau mengindahkan apa yang sifatnya aksidental atau eksistensial. Dan caranya adalah dengan “menunda dalam tanda kurung”. Dengan reduksi eidetis ini, dimana dalam khayalan semua perbedaan- perbedaan dari sejumlah item dihilangkan sehingga tinggal suatu esensi saja. 3. Reduksi Fenomenologis Transedental. Adalah dengan menyingkirkan seluruh reduksi pengetahuan. Segala sesuatu yang sudah dikatakan oleh orang lain harus untuk sementara dilupakan. Kalau reduksi-reduksi ini berhasil, maka gejala tersebut dapat memperlihatkan diri menjadi fenomen. Dalam reduksi yang ketiga ini sudah
  • 7. bukan lagi mengenai objek atau fenomen, tetapi khusus pengarahan intensionalitas ke subjek mengenai akar-akar kesadaran, yakni mengenai kesadaran sendiri yang bersifat transedental. Fenomenologi harus menganalisis dan menggambarkan cara berjalannya 18. kesadaran transedentalxxii. Yang menarik dan sangat penting dari metode fenomenologi Edmund Husserl ini adalah bahwa setiap orang jangan cepat-cepat mengambil kesimpulan sebelum mendialogkan masalah yang dihadapi dengan secermat-cermatnya. Dalam metode bracketing dengan berbagai reduksi-reduksi yang Husserl ungkapkan, bukti-bukti nyata belumlah dipandang cukup untuk menetapkan sebuah eksistensi atau kebenaran. Kebenaran tidak saja ditetapkan berdasarkan bukti-bukti empiris, tetapi masih diperlukan kepada berbagai pengalaman “supra- empiris” lewat intuisi yang bersifat apriori. Husserl agaknya telah mampu mensintetesiskan sekaligus mengapresiasikan kedua aliran filsafat yang sangat bertolak belakang, yaitu idealisme dan naturalisme. Ini dapat dilihat, di satu pihak Ia menafikan sama sekali eksistensi objek pengalaman dunia nyata, dan di pihak lain ia juga tidak menerima bahwa eksistensi kebenaran itu di luar jangkauan akal manusia. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kebenaran transedental sebagai kebenaran tertinggi. Metode fenomenologi mulai dengan orang yang mengetahui dan yang mengalami, yakni orang yang melakukan persepsi. Fenomenologi dijelaskan sebagai kembali kepada benda, sebagai lawan dari ilusi atau susunan pikiran, justru karena benda adalah objek kesadaran yang langsung dalam bentuknya yang murni. 19. E. Relevansi Pada milenium ketiga ini, banyak fenomena-fenomena yang terjadi. Baik secara langsung Kita sadari, maupun yang tidak Kita sadari. Fenomena- fenomena yang “masih panas” dan menjadi persoalan yang kerapkali diperbincangkan dalam media masa, salah satunya adalah tentang “Global Warming”. Adapun fenomena yang baru saja Kita alami yakni bencana alam, semisal gempa bumi ataupun tsunami, khususnya di Indonesia Kita dapat melihat fenomena-fenomena alam yang sering menimpa negeri Kita ini. Fenomena alam yang tidak diketahui kapan dan apa yang menyebabkannya terjadi, antara lain misalnya saja meluapnya lumpur Lapindo di Sidoarjo dan gelombang Tsunami di Aceh. Memang Kita yakin bahwa penyebabnya ialah keserakahan dan ketidakpuasan manusia akan sumber daya alam. Dalam hal ini, ketidakpuasan dari manusia akan kebutuhan hidup. Menurut hemat penulis, baik global warming maupun fenomena- fenomena alam lainnya merupakan fenomena yang sangat menarik dan masih aktual untuk diperbincangkan dalam pembahasan fenomenologi. Karena Kita harus mulai belajar untuk menyikapi fenomena- kenomena alam bukan saja dari luarnya, tapi dari fenomena itu sendiri. “Biarkan Fenomena yang berbicara pada Kita”. BAB III PENUTUP 20. Kesimpulan Sebagai penutup tulisan ini, penulis mencoba menyimpulkan, walaupun masih jauh dari sempurna. Di mana ciri khas pemikiran Husserl tentang bagaimana semestinya menemukan kebenaran dalam filsafat terangkai dalam satu kalimat “Nach den sachen selbst” (kembalilah kepada benda-benda itu sendiri). Dengan pernyataan ini Husserl menghantar Kita untuk memahami realitas itu apa adanya serta mendeskripsikan seperti apa dan bagaimana realitas itu menampakkan diri kepada Kita. Namun sesungguhnya, usaha untuk kembali pada
  • 8. benda-benda itu sendiri, bagi Husserl adalah kembali kepada realitas itu sebagaimana dia tampil dalam keasadaran Kita. Apa yang tampil kepada Kita itulah yang disebut fenomena. Fenomenologi secara khusus berbicara tentang kesadaran dan strukturnya, atau cara-cara bagaimana fenomena muncul pada Kita. Karena kesadaran semestinya merupakan apa, di mana segala sesuatu menyatakan dirinya, dan fenomenologi adalah studi tentang kesadaran, maka fenomenologi merupakan filsafat utama. Eksistensialisme berhubungan erat dengan fenomenologi. Fenomenologi lebih suatu metode filsafat daripada suatu ajaran. Metode fenomenologi Husserl kemudian dikembangkan oleh muridnya antara lain, M. Scheler dan Merleau- Ponty. Fenomenologi mengatakan bahwa Kita harus memperkenalkan gejala- gejala dengan menggunakan intuisi. Kenyataan tidak harus didekati dengan 21. argumen-argumen, konsep-konsep, dan teori umum. Setiap benda mempunyai “hakekat-hakekatnya” dan “hakekat” ini berbicara kepada Kita kalau Kita membuka diri untuknya. Kita harus “mengabstrahir” dari semua hal yang tidak hakiki. Kalau segala sesuatu yang tidak hakiki sudah dilepaskan, lalu semua hal yang ingin Kita selidiki, mulai berbicara. Dan “bahasa” ini akan dapat dimengerti berkat intuisi Kita. Oleh karena itu, metode fenomenologis telah membuktikan manfaatnya untuk epistemologi, psikologi, antropologi, studi agama-agama dan etika.