Modul Ajar Biologi Kelas 11 Fase F Kurikulum Merdeka [abdiera.com]
Teori-Teori HI
1. Teori-Teori Hubungan Internasional
Teori-teori Utama Foreign policy adalah Realisme Neorealisme Idealisme Liberalisme
Neoliberalisme Marxisme Teori dependensi Teori kritis Konstruksivisme Fungsionalisme
Neofungsiionalisme
Secara garis besar teori-teori foreign policy dapat dibagi menjadi dua pandangan epistemologis
“positivis” dan “pasca-positivis”. Teori-teori positivis bertujuan mereplikasi metode-metode ilmu-ilmu
sosial dengan menganalisis dampak kekuatan-kekuatan material. Teori-teori ini biasanya
berfokus berbagai aspek seperti interaksi negara-negara, ukuran kekuatan-kekuatan militer,
keseimbangan kekuasaaan dan lain-lain. Epistemologi pasca-positivis menolak ide bahwa dunia sosial
dapat dipelajari dengan cara yang objektif dan bebas-nilai. Epistemologi ini menolak ide-ide sentral
tentang neo-realisme/liberalisme, seperti teori pilihan rasional, dengan alasan bahwa metode ilmiah
tidak dapat diterapkan ke dalam dunia sosial dan bahwa suatu “ilmu” foreign policy adalah tidak
mungkin.
Perbedaan kunci antara kedua pandangan tersebut adalah bahwa sementara teori-teori positivis,
seperti neo-realisme, menawarkan berbagai penjelasan yang bersifat sebab-akibat (seperti mengapa
dan bagaimana kekuasaan diterapkan), teori pasca-positivis pasca-positivis berfokus pada pertanyaan-pertanyaan
konstitutif, sebagai contoh apa yang dimaksudkan dengan “kekuasaan”; hal-hal apa
sajakah yang membentuknya, bagaimana kekuasaan dialami dan bagaimana kekuasaan direproduksi.
Teori-teori pasca-positivs secara eksplisit sering mempromosikan pendekatan normatif terhadap
foreign policy, dengan mempertimbangkan etika. Hal ini merupakan sesuatu yang sering diabaikan
dalam foreign policy “tradisional” karena teori-teori positivis membuat perbedaan antara “fakta-fakta”
dan penilaian-penilaian normatif, atau “nilai-nilai”. Selama periode akforeign policyr 1980-an/1990
perdebatan antara para pendukung teori-teori positivis dan para pendukung teori-teori pasca-positivis
menjadi perdebatan yang dominan dan disebut sebagai “Perdebatan Terbesar” Ketiga.
Pengertian Konstruktivisme (Sosial konstruktivisme)
Konstruktivis memberikan perhatiannya pada kepentingan dan identitas negara sebagai produk
yang dapat dibentuk dari proses sejarah yang khusus. Mereka memberi perhatian pada wacana umum
yang ada ditengah masyarakat karena wacana merefleksikan dan membentuk keyakinan dan
kepentingan, dan mempertahankan norma-norma yang menjadi landasan bertindak masyarakat
(accepted norms of behavior),sedangkan konstruktivisme sosial muncul sebagai sebuah bentuk
perlawanan intelektual atas neorealisme dan liberalisme. Teori ini muncul sebagai penjembatan antara
perbedaan tajam teori-teori rasionalis seperti neorealisme dan neoliberal dengan teori-teori reflektifis
seperti postmodernisme, feminisme, critical theori.
2. Konstruktivisme sosial berada pada posisi tengah antara meanstream utama realisme,
neorealisme, liberalisme di satu sisi dengan kajian critical theory. Dalam penggunaan teori,
konstruktivisme berada di tengah-tengah antara teori rational choice dengan postmodernisme.
Konstruktivisme berperan penting dalam menjembatani perbedaan sudut pandang antara kaum
rasionalis dan reflektivis (Zehfuss : 252). Dengan demikian, konstruktivisme sebenarnya mencoba
memposisikan dunia material tidak independen tetapi selalu berinteraksi dengan dunia sosial dalam
konteks sentral intersubyektivitas dalam memposisikan mazhabnya sebagai penengah dari berbagai
teori HI.
Konstruktivisme muncul untuk memberikan suatu pandangan bahwa realitas sosial tidak bisa
dilihat sebagai suatu yang secara alamiah ada dengan sendirinya dan independen dari interaksi
(rasionalis) dan sebaliknya tidak bisa juga dilihat sebagai sesuatu yang nihil atau tidak ada dan
semata-mata hanya dilihat sebagai refleksi ide-ide manusia. Asumsi yang berbeda secara mendasar
tersebut dalam pandangan konstruktivis pada dasarnya bisa dipertemukan dalam satu titik temu yaitu
dengan argumennya bahwa realitas sosial tidak sepenuhnya alamiah dan tidak juga sepenuhnya nihil.
Konstruktivis melihat relitas dunia ini sebagai sesuatu yang didasarkan oleh fakta yang secara materil
bisa ditangkap ataupun tidak oleh panca indera namun fakta tersebut tidak menuntun/tidak
menentukan bagaimana kita melihat realitas sosial. Sebaliknya realitas sosial menurut konstruktivis
adalah hasil konstruksi manusia (konstruksi sosial).
Kritik Konstruktivisme terhadap Neoliberal & Neorealis
Kritik terhadap neoliberalisme
Dalam kelanjutannya mengenai teori konstruktivisme, kritik terhadap rasionalisme tentu secara
tidak langsung turut membantu konstruktivisme dalam mebangun dan mengembangkan teorinya.
Kritik terhadap salah satu teori yang rasional, yaitu neoliberalisme. Secara mendasar, ada tiga asumsi
orang-orang neoliberal yang dipersoalkan oleh orang-orang konstruktivis. Asumsi-asumsi itu adalah,
pertama, neoliberalisme menerima bahwa identitas dan kepentingan adalah sesuatu yang given,
karena neoliberalis hanya mengakui perubahan didalam perilaku negara dan bukan perubahan didalam
negara itu sendiri. Yang kedua adalah bahwa neoliberalisme menerima bahwa kepentingan dan
identitas suatu negara ter-generasikan oleh sistem anarki internasional. Yang ketiga adalah bahwa
neoliberalisme membatasi pengertian secara teoritis dari perubahan dalam agen dan struktur, sebab
neoliberalisme hanya mengkaji perubahan dalam perilaku, tetapi tidak dalam identitas dan
kepentingan aktor
3. Kritik terhadap neorealisme
Neorealisme menurut pandangan Konstruktivisme adalah matrealistis,yang dimaksudkan disini
adalah power (kekuatan militer) dan kekuatan ekonomi yang dimiliki oleh suatu negara sebagai
pembentukan identitas yang dimiliki, tentu hal ini sangat bertentangan dengan konstruktivisme.
Konstruktivis memberikan perhatian kajiannya pada persoalan-persoalan bagaimana ide dan identitas
dibentuk, bagaimana ide dan identitas tersebut berkembang dan bagaimana ide dan identitas
membentuk pemahaman negara dan merespon kondisi di sekitarnya. Menurut Wendt, bagi neo-realis
maupun neoliberalis identitas dan kepentingan merupakan sesuatu yang given, sesuatu yang sudah ada
begitu saja. Wendt tidak mempercayainya demikian, ia melihat bahwa identitas dan kepentingan
merupakan hasil dari praktek inter-subjektif di antara aktor-aktor. Dengan kata lain identitas dan
kepentingan merupakan hasil dari sebuah proses interaksi. Walaupun neorealis dan neoliberalis
mengakui bahwa proses interaksi mempengaruhi perilaku aktor-aktor namun tidak bagi identitas dan
kepentingan
Asumsi dasar Konstruktivisme
Pandangan tentang negara
Menurut konstruktivisme, setiap tindakan negara didasarkan pada meanings yang muncul dari
interaksinya dengan lingkungan internasional. Setiap bentuk tindakan negara misalnya melakukan
perang atau menjalin hubungan baik, ataupun memutuskan hubungan dan bahkan tidak melakukan
hubungan dengan negara lain, semuanya didasarkan oleh meanings yang muncul dari interaksinya
dengan negara-negara atau lingkungan internasionalnya. Tindakan negara terhadap musuhnya
tentulah berbeda dengan tindakan terhadap temannya. Negara akan memberikan ancaman terhadap
musuhnya dan tentu tidak terhadap rekannya.
Tindakan negara dalam pandangan konstruktivisme memberikan pengaruh terhadap bentuk
sistem internasional, sebaliknya sistem tersebut juga memberikan pengaruh pada perilaku negara-negara.
Dalam proses saling mempengaruhi itu terbentuklah apa yang disebut dengan collective
meanings. Collective meanings itulah yang menjadi dasar terbentuknya intersubyektifitas dan
kemudian membentuk struktur dan pada akhirnya mengatur tindakan negara-negara.
Pandangan Konstruktivisme mengenai negara menurut Alexander Wendt adalah sebagai berikut :
(1) Negara merupakan unit analisis prinsipil bagi teori politik internasional
(2) Struktur utama dalam sistem negara lebih bersifat intersubyektif, daripada bersifat material
(3) Identitas dan kepentingan negara lebih membangun struktur-struktur sosial tersebut, dari
pada diserahkan secara eksogen pada sistem oleh sifat dasar manusia atau politik domestik.
4. Pandangan anarki dalam sistem Internasional
“Anarki adalah hal yang diciptakan oleh negara-negara dari hal tersebut”. Yang dimaksudkannya
adalah bahwa struktur anarkis yang diklaim oleh para pendukung neo-realis sebagai mengatur
interaksi negara pada kenyataannya merupakan fenomena yang secara sosial dikonstruksi dan
direproduksi oleh negara-negara. Sebagai contoh, jika sistem internasional didominasi oleh negara-negara
yang melihat anarki sebagai situasi hidup dan mati (diistilahkan oleh Wendt sebagai anarki
“Hobbesian”) maka sistem tersebut akan dikarakterkan dengan peperangan. Jika pada pihak lain
anarki dilihat sebagai dibatasi (anarki “Lockean”) maka sistem yang lebih damai akan eksis. Anarki
menurut pandangan ini dibentuk oleh interaksi negara, bukan diterima sebagai aspek yang alami dan
tidak mudah berubah dalam kehidupan internasional seperti menurut pendapat para pakar HI non-realis.
Para pendukung pasca-positivis mengatakan bahwa fokus terhadap negara dengan
mengorbankan etnisitas/ras/jender menjadikan konstrukstivisme sosial sebagai teori positivis yang
lain.Bagi Wendt, tidak ada logika anarki, tetapi anarki adalah sebuah efek dari praktik pemikiran
konstruktivis reguler “anarki adalah sesuatu yang dibuat oleh negara”
Peranan Ide dalam Hubungan Internasional
Bagi perkembangan hubungan internasional teori mengenai konstruktivisme memberikan suatu
“brainstorming” bagi teori-teori yang lainnya. Kehadiran konstruktivisme yang sering disebut sebagai
perantara antara teori-teori rasionalis dengan reflektivis telah memberikan arah baru bagi penemuan
cara pandang baru atas realitas hubungan internasional. Pendekatan konstruktivis memberikan cara
pandang yang lebih tepat terkait dengan isu-isu hubungan internasional yang semakin kompleks.
Kehadiran konstruktivis dalam banyak hal menjadi alternatif tool of analysis yang cukup
diperhitungkan ketika pada saat yang sama teori-teori rasionalis tidak bisa menjelaskan banyak hal
yang terkait dengan perilaku negara.
Pandangan tentang perang dan damai
Konstruktivisme memberikan sumbangan untuk mengkaji persoalan-persoalan bagaimana ide
dan identitas tersebut berkembang dan memberikan pemahaman bagi negara untuk merespon kondisi
sekitarnya. Konstruktivisme beranggapan bahwa perang terjadi akibat adanya pilihan secara sadar dari
suatu negara.Interaksi yang terjadi antar negara saling mempengaruhi sistem internasional.Perang
tetap dapat terjadi atas dasar keputusan negara,sedangkan keputusan yang telah dibuat negara
dipengaruhi oleh identitas dan kepentingan yang dimiliki oleh negara tersebut. Faktor penyebab
perang datang dari berbagai aspek mulai dari ekonomi,politik dan sosial
5. Pandangan tentang Individu
Dalam teori Konstruktivisme Manusia adalah mahluk individual yang dikonstruksikan melalui
realitas sosial. Konstruksi atas manusia akan melahirkan paham intersubyektivitas. Hanya dalam
proses interaksi sosial, manusia akan saling memahaminya. Interaksi sosial antar individu akan
menciptakan lingkungan atau realitas sosial yang diinginkan. Dengan kata lain, sesungguhnya realitas
sosial merupakan hasil konstruksi atau bentukan dari proses interaksi tersebut. Hakekat manusia
menurut konsepsi konstruktivisme lebih bersifat bebas dan terhormat karena dapat menolak atau
menerima sistem internasional, membentuk kembali model relasi yang saling menguntungkan, atau
yang diinginkan berdasarkan peraturan, strukturasi dan verstehen dalam speech acts.
Varian-varian Konstruktivisme
Sekalipun berangkat dari posisi ontologis bersama, konstruktivisme berkembang melalui tiga
varian pemikiran yang berbeda: sistemik, level unit dan holistik.
Konstruktivis sistemik, dengan tokohnya Alexander Wendt, memiliki kesamaan dengan neorealis
dalam artian keduanya memberikan perhatian hanya pada interaksi antar negara sebagai aktor-aktor
tunggal dan mengabaikan semua proses yang berlangsung di dalam masing-masing aktor tersebut.
Memahami politik internasional, dalam pemikiran konstruktivis sistemik, berarti semata-mata
memahami bagaimana negara berhubungan satu sama lain dalam ruang eksternal atau internasional.
Seperti halnya dengan neorealisme, anarkhi dalam politik internasional menjadi sebuah konsep yang
penting dalam varian konstruktivisme ini. Hanya saja, berbeda dengan neorealist yang melihat negara
berhubungan satu sama lain dalam konteks anarkhi, konstruktivis memahami anarkhi justru sebagai
produk hubungan antar negaraa. (Alexander Wendt, Anarchy is what states make of it ,1992).
Konstruktivisme Level unit berusaha melihat hubungan pengaruh norma-norma sosial dan legal di
tingkat domestik bagi identitas, dan oleh karenanya, kepentingan-kepentingan negara. Peter
Katzenstein merupakan salah figur penting konstruktivisme dari varian ini, Katzenstein berusaha
menunjukkan bagaimana kedua negara dengan pengalaman yang sama, sebagai negara yang kalah
perang, mengalami pendudukan asing dan berubah dari otoritarian menuju demokrasi, memiliki
kebijakan-kebijakan pertahanan internal dan external yang sangat berbeda. Menurut Katzenstein,
perbedaan ini mencerminkan institusionalisasi norma-norma sosial dan legal yang berbeda di tingkat
nasional kedua negara tersebut. Sekalipun tidak mengabaikan peran peran norma internasional dalam
membentuk identitas dan kepentingan negara, penekanan yang berlebihan pada aspek domestik
menempatkan konstruktivisme (dalam varian ini) pada posisi yang sulit untuk menjelaskan
munculnya kesamaan-kesamaan antar negara ataupun adanya pola-pola konvergensi idetitas dan
kepentingan negara-negara yang berbeda.( Peter Katzenstein, Cultural Norms and National Security:
Police and Military in Changing Japan (1996) dan Tamed Power: Germany in Europa (1999))
6. konstruktivisme holistik berusaha menjembatani kedua posisi dua varian konstruktivisme yang
bertolak belakang di atas dengan jalan melihat domestik dan internasional sebagai dua aspek berbeda
dari tatanan sosial dan politik yang sama. Konstruktivis holistik berusaha menjelaskan dinamika
perubahan global terutama dalam kaitannya dnegan muncul dan hancurnya negara berdaulat melalui
hubungan timbal balik antara negara dan tatanan global tersebut. Hubungan ini ditunjukkan dengan
dua cara yang berbeda. John Gerard Ruggie, misalnya, berusaha menjelaskan perubahan dalam politik
internasional akibat munculnya negara berdaulat dari puing-puing feodalisme Eropa dengan
menekankan pada pentingnya perubahan dalam episteme sosial atau kerangka pengetahuan (1986,
1993). Cara yang kedua diwakili oleh karya Friedrich Kratochwil mengenai berakhirnya Perang
Dingin, dengan menekankan pada perubahan dalam gagasan mengenai tatanan dan keamanan
internasional. Karena besarnya perhatian terhadap transformasi-transformasi yang bersifat global dan
besar, varian konstruktivisme cenderung bersifat strukturalis dan mengabaikan aspek agency sebagai
salah satu preposisi ontologis konstruktivisme. Dalam artian ini, gagasan, norma maupun budaya
dipahami memiliki peran yang sangat penting dalam sebuah transformasi, tetapi terlepas dari
keinginan, pilihan ataupun tindakan manusia.
Realisme dan Neorealisme
Realisme sebagaimana seperti sebuah teori yang lain, memiliki landasan pemikiran yang
mendasar. Realisme sejak pertama muncul sebagai sebuah teori terus mangalami perubahan, terutama
perubahan dalam memahami konsep dasar, mulai dari teori realisme klasik yang dikemukakan oleh
Thucydides pada tahun 430-400 sebelum masehi sampai dengan teori neorealisme yang dipopulerkan
oleh Kenneth Waltz pada tahun 1979 masehi.
Seiring perkembangan dalam studi Hubungan Internasional, maka terjadi pula perkembangan
atau mungkin juga perubahan dalam teori realisme. Realisme klasik sebagai teori realisme yang
pertama muncul secara perlahan kemudian berkembang dan berubah menjadi teori neorealisme.
Dalam realisme klasik dan neoklasik, pandangan subjektif dari para pemimpin negara merupakan
pusat perhatiannya. Realisme klasik begitu menekankan pada asumsi dasar manusia yang bersifat
pesimis dan skeptis. Bahkan Morgenthau merincikannya bahwa manusia itu jauh lebih mementingkan
dirinya sendiri. Namun sebuah teori realisme baru pada tahun 1979 muncul dengan pendekatan yang
berebeda dari realisme klasik dan neoklasik. Teori itu dinamakan teori neorealisme yang dipopulerkan
oleh Kenneth Waltz. Kenneth Waltz memfokuskan pada struktur sistem dan bukan pada manusia
sebagai pencipta dan pengoperasi sistem.
Inti dari ajaran realisme adalah mengenai keamanan dan kelangsungan hidup negara dimana hal
ini semua dirangkum dalam satu kata yang disebut “power”. Perbedaan pendekatan mengenai
gambaran power inilah yang akhirnya membedakan aliran teori realis. Ketika para penganut teori
7. realisme klasik dan neoklasik berpendapat bahwa sesungguhnya power itu adalah kekuatan militer,
maka pro kontra mucul sebagai bagian dari kritik terhadap realisme klasik dan neoklasik. Perkara
mengenai kekuatan militer sebagai power tidak dibenarkan seluruhnya oleh para penganut realisme
lain. Neorealisme muncul sebagai pembenahan dari pendekatan realis klasik mengenai power
tersebut. Neorealisme melihat power bukan hanya sekedar kekuatan sumber daya militer tetapi juga
dengan kemampuan memaksa dan mengontrol negara lain yang berada dalam sistem, Adapun
perbedaan mendasar lainnya antara realisme klasik dan kontemporer, yaitu sikap negara menghadapi
kondisi anarkis. Bagi realis klasik, sistemlah yang akhirnya menciptakan kondisi anarkis tersebut.
Namun sangat berbeda dengan neorealis yang melihat bahwa kondisi anarkis itu adalah sistem itu
sendiri. Maksudnya seperti ini, dalam persepsi realis klasik, interaksi yang tercipta dan diciptakan
oleh aktor-aktor hubungan internasional -seperti negara dan pelaksana berwenangnya, NGO, MNC,
dll- telah melahirkan sebuah sistem. Sistem inilah yang akhirnya menciptakan kondisi anarki. Padahal
kondisi anarki internasional menurut realisme klasik yaitu tidak ada kekuatan (negara) yang mengatur
dunia ini sebab tidak boleh ada kekuasaan yang berlebihan. Namun semua kembali kepada sifat dasar
manusia yang selalu merasa cemas akan keamanan negara serta kepentingan nasionalnya, maka
sistem yang diciptakan manusia tersebut menjadi anarkis sebab banyak terjadi pengabaian dalam
pelaksanaan sistem tersebut. Namun bagi neorealisme, negara-negara adalah para pencari kekuasaan
dan sadar keamanan, bukan karena sifat dasar manusia tetapi lebih disebabkan karena struktur sistem
internasional mendorong mereka melakukan demikian. Sejak dimulainya pemikiran mengenai
tatakelola hubungan antar negara terutama ketika teori realisme lahir, sebuah agenda utama telah
ditetapkan secara tidak langsung, yakni keamanan nasional dan kelangsungan hidup negara. Agenda
itu masih tetap dipertahankan oleh seluruh saliran realisme, entah itu realisme klasik maupun
neorealisme. Mungkin terdapat sedikit perbedaan dari cara melihat akar permasalahan serta
kesimpulan yang diambil.
Perspektif-perspektif dalam Hubungan Internasional
Secara kolektif kelompok idealis memiliki keyakinan yang sama seperti :
1. Yakin bahwa fitrah manusia adalah “baik”. Oleh karena itulah manusia mampu saling membantu
dan bekerja sama.
2. Perhatian fundamental manusia terhadap perang memungkinkan terjadinya kemajuan.
Pendapat ini seperti keyakinan kaum Pencerahan tentang kemungkinan perbaikan peradaban.
3. Perilaku buruk manusia adalah produk, bukan manusianya yang jahat tetapi lembaganya
yang buruk dan pengaturan struktural yang memotivasi orang untuk bertindak egois dan merusak
yang lainnya, termasuk perang.
8. 4. Perang bukan tidak terhindarkan dan sering dapat dicegah dengan menghapuskan lembaga
yang mendorongnya.
5. Perang adalah masalah internasional yang memerlukan usaha
kolektif atau multilateral dan bukannya usaha nasional saja, oleh
sebab itulah
6. Masyarakat internasional harys mengakui usaha untuk menghapus
institusi yang mendorong terjadinya perang.
III. REALISME POLITIK
Perspektif Realisme lahir dari kegagalan membendung Perang Dunia I dan II. Aliran ini semakin
kuat setelah Perang Dunia II, terutama di Amerika Serikat. Pacuan senjata yang marak ketika Perang
Dingin semakin mengukuhkan perspektif Realisme. Pandangan-pandangan yang jadi fundasi aliran ini
posisinya berseberangan dengan mereka yang menganut idealisme. Misalnya, perspektif ini
berkeyakinan bahwa manusia itu jahat, berambisi untuk berkuasa, berperang dan tidak mau kerja
sama.
I. CURRENT HISTORY
Hubungan internasional sebagai ladang penyelidikan intelektual sebagian besar dipengaruhi
fenomena abad ke-20. Akar-akar sejarah disiplin ini terletak pada sejarah diplomatik.
Sejarah diplomatik merupakan salah satu pendekatan untuk memahami HI yang berfokus pada
deskripsi kejadian-kejadian sejarah, bukan eksplanasi teori. Untuk kemudahan, aliran ini disebut
pendekatan Current History terhadap studi HI. Lingkungan pada awal abad ketika lahirnya studi HI
dimulai dengan optimisme. Banyak orang yakin bahwa perdamaian dan kemakmuran akan hadir.
Hukum internasional menguat dan konferensi perdamaian Den Haag 1899 dan 1907 dipicu oleh
harapan bahwa persenjataan bisa diawasi dan Eropa takkan mengalami perang lagi.
Namun harapan itu hancur karena Perang Dunia I yang pecah mulai 1914. Pengalaman menyakitkan
ini melahirkan pencarian pengetahuan mengenai sebab-sebab perang, misalnya, dalam konteks teori.
Oleh karena itulah para pengambil kebijakan dan pakar memerlukan sebuah
teori untuk meramalkan pecahnya perang dan bagaimana mencegahnya.
IDEALISME POLITIK
Perang Dunia I membuka pintu terhadap revolusi paradigma dalam studi HI. Sejumlah perspektif
HI berusaha menarik perhatian para peminatnya pada periode ini. Meskipun demikian aliran current
history masih memiliki pengikutnya.
9. Secara kolektif kelompok idealis memiliki keyakinan yang sama seperti :
1. Yakin bahwa fitrah manusia adalah “baik”. Oleh karena itulah manusia mampu saling membantu
dan bekerja sama.
2. Perhatian fundamental manusia terhadap perang memungkinkan terjadinya kemajuan.
Pendapat ini seperti keyakinan kaum Pencerahan tentang kemungkinan perbaikan peradaban.
3. Perilaku buruk manusia adalah produk, bukan manusianya yang jahat tetapi lembaganya
yang buruk dan pengaturan struktural yang memotivasi orang untuk bertindak egois dan merusak
yang lainnya, termasuk perang.
4. Perang bukan tidak terhindarkan dan sering dapat dicegah dengan menghapuskan lembaga
yang mendorongnya.
5. Perang adalah masalah internasional yang memerlukan usaha
kolektif atau multilateral dan bukannya usaha nasional saja, oleh
sebab itulah
6. Masyarakat internasional harus mengakui usaha untuk menghapus
institusi yang mendorong terjadinya perang.
REALISME POLITIK
Perspektif Realisme lahir dari kegagalan membendung Perang Dunia I dan II. Aliran ini semakin
kuat setelah Perang Dunia II, terutama di Amerika Serikat. Pacuan senjata yang marak ketika Perang
Dingin semakin mengukuhkan perspektif Realisme.
Pandangan-pandangan yang jadi fundasi aliran ini posisinya berseberangan dengan mereka yang
menganut idealisme. Misalnya, perspektif ini berkeyakinan bahwa manusia itu jahat, berambisi untuk
berkuasa, berperang dan tidak mau kerja sama.
PENDEKATAN PERILAKU (THE BEHAVIORAL APPROACH)
Aliran realisme klasik menyiapkan secara serius pemikiran teoritis mengenai kondisi global dan
kaitan empiris. Namun demikian ketidakpuasan karena kurangnya data, reaksi tandingan, kesulitan
dalam peristilahan dan metode, mendapatkan momentum pada tahun 1960-an dan awal 1970-an.
Disebabkan pendekatan perilaku terhadap studi hubungan internasional maka banyak mempengaruhi
pendekatan terhadap teori dan logika serta metode penelitian. Aliran Perilaku dalam hubungan
internasional bagian dari gerakan besar yang menyebar dalam ilmu-ilmu sosial secara umum. Sering
10. disebut pendekatan ilmiah (scientific approach), behavioralisme menantang model-model yang ada
dalam mempelajari perilaku manusia dan basis teori-teorinya yang disebut tradisionalisme.
Perdebatan panas sering mewarnai para ilmuwan mengenai prinsip-prinsip dan prosedur yang paling
tepat dalam meneliti hasil-hasil fenomena internasional. Debat itu berpusat pada makan teori dan
syarat-syarat teori yang memadai dan metode terbaik yang tepat untuk pengujian teori.
Sebagian besar perdebatan berlangsung antara penganut perilaku dan kubu tradisionalis sangat hangat.
Memang benar “berteori mengenai teori” dan berteori tentang hubungan internasional sering
bercirikan perdebatan. Literatur pada periode ini diwarnai dengan isu-isu metodologis, bukannya
masalah substantif.
Asumsi yang sama dan preskripsi analitik merupakan ini dari gerakan perilaku. Aliran Perilaku
mengusahakan generalisasi seperti hukum mengenai fenomena internasional. Yakni, pernyataan
mengenai pola-pola dan keteraturan melintasi waktu dan tempat. Ilmu, kata kaum penganut perilaku,
adalah aktivitas membuat generalisasi. Oleh sebab itu tujuan penelitian ilmiah adalah menemukan
pola-pola ajeg perilaku antar negara dan penyebab-penyebabnya.
Bertolak dari perspektif ini sebuah teori hubungan internasional harus berisi pernyataan
hubungan antar dua atau lebih variabel, khusus untuk kondisi dimana hubungan berlangsung dan
menjelaskan mengapa hubungan itu bisa berlangsung. Untuk menemukan teori-teori itu, penganut
perilaku condong kepada analisa komparatif lintas nasional tak hanya sekedar studi kasus negara
tertentu dalam waktu tertentu seperti terlihat dalam pendekatan Current History.
Kubu perilaku juga menekankan perlunya mengumpulkan data mengenai karakteristik negara dan
bagaiman berhubungan satu sama lain. Oleh sebab itulah gerakan perilaku ini diwarani dengan studi
kuantitatif hubungan internasional.
PENDEKATAN NEOREALISME STRUKTURAL (THE NEOREALIST STRUCTURAL
APPROACH)
Pendekatan realisme politik masih penting sebagai perspektif teoritis yang mendasari analisa
masalah keamanan nasional. Namun juga mendapat popularitasnya setelah terbentuk dalam teori
umum politik internasional yang disebut neorealisme atau realisme struktural.
Neorealisme membedakan antara eksplanasi peristiwa politik internasional di tingkat nasional seperti
negara yang diketahui sebagai politik luar negeri dengan eksplanasi peristiwa di tingkat sistem
internasional yang disebut sistem atau teori sistem.
Apa yang neorealis inginkan adalah “mensistemasikan realisme politik kedalam teoris sistem
yang kuat, deduktif dari politik internasional.”
11. Seperti dikemukakan Kenneth M Waltz dalam bukunya yang berpengaruh Theory of
International Politics (1979) dan dianggap sebagai karya utama pemikiran neorealis, “struktur
internasional muncul dari intreraksi negara dan kemudian hambatan yang dihadapi dalam mengambil
tindakan tertentu saat terdorong ke negara lain.” Seperti dalam realisme klasik, anarki dan ketiadaaan
lembaga sentral (sebuah pemerintah) menjadi ciri struktur sistem. Negara masih menjadi aktor utama.
Mereka bertindak sesuai dengan prinsip menolong diri sendiri dan semuanya mengusahakan agar bisa
bertahan. Oleh karena itu menurut realisme struktural, negara tak berbeda dalam tugas-tugasnya yang
dihadapinya. Yang berbeda adalah kapabilitasnya. Kapabilitas mendefinisikan posisi negara dalam
sistem dan distribusi kapabilitas mendefinisikan sistem struktur.
Demikian pula perubahan dalam distribusi kapabilitas merangsang perubahan dalam struktur
sistem seperti dari konfigurasi kekuatan multipolar ke bipolar atau dari bipolar menuju unipolar.
Kekuatan juga masih menjadi konsep sentral realisme struktural. Namun demikian, masalah merebut
kekuasaan tak lagi dianggap tujuan seperti dalam realisme klasik. Hal itu juga tidak dilihat sebagai
karakter manusia. Seperti dijelaskan Waltz, “negara berusaha dalam cara yang lebih kurang masuk
akal menggunakan cara yang ada untuk mencapai tujuan yang terjangkau”. Cara-cara itu digolongkan
dalam dua kategori yakni usaha internal seperti meningkatkan kemampuan ekonomi, kekuatan militer,
mengembangkan strategi yang lebih pintar serta usaha eksternal seperti memperkuat dan memperluas
aliansi atau memperlemah dan membubarkan aliansi musuhnya. Keseimbangan kekuatan (balance of
power) muncul lebih kurang secara otomatis dari instink untuk bertahan. “Kencenderungan
keseimbangan kekuatan untuk membentuk apakah sejumlah negara semua negara secara sadar
bertujuan membentuk dan mempertahankan keseimbangan atau apakah sejumlah atau beberapa
negara bertujuan dominasi universal,” tulis Waltz (1979).
Sekali sistem internasional terbentuk, sistem itu “akan menjadi kekuatan yang dimana unit-unit
didalamnya tak mampu mengontrol, sistem itu membatasi perilaku mereka dan menempatkan mereka
antara niat mereka dan hasil dari tindakan mereka.”
INSTITUSIONALISME NEOLIBERAL
Seperti halnya neorealis, institusionalis neoliberal menggunakan teori struktural politik
internasional. Mereka terutama berkonsentrasi kepada sistem internasional, bukannya karakteristik
unit atau sub unit didalamnya. Namun mereka memberi lebih banyak perhatian cara lembaga
internasional dan aktor non negara lainnya mempromosikan kerja sama internasional.
Daripada hanya menggambarkan dunia dimana negara-negara di dalamnya enggan bekerja sama
karena masing-masing merasa tidak aman dan terancam oleh yang lainnya, institusionalis neoliberal
membuktikan syarat-syarat kerja sama yang mungkin dihasilkan dari kepentingan yang tumpang
tindih diantara entitas politik yang berdaulat.
12. Sebagai tambahan dari idealisme klasik, akar intelektual pendekatan yang biasa disebut pula
neoliberalisme dapat dilacak dari studi integrasi regional yang mulai merebak pada tahun 1950-an dan
tahun 1960-an saat para pakar berusaha memahami proses dimana unifikasi politik negara bedaulat
mungkin bisa dicapai.
Untuk mengkaji konsep dalam pemikiran neoliberalis, perlu kita
lihat tiga perspektif yang berdekatan dengannya. Interdependensi yang kompleks (Complex
Interdependence) sebagai sebuah Pandangan Dunia, sebagai sebuah perspektif analitik yang eksplisit,
inderdendensi kompleks (complex interdependence) muncul pada tahun 1970-an untuk menantang
asumsi-asumsi kunci kerangka teoritis saingannya, khususnya realisme klasik.
Pertama, menantang asumsi yang ada bahwa negara bangsa hanya satu-satunya aktor penting
dalam politik dunia. Lalu mereka memperlakukan aktor lain seperti perusahaan multinasional dan
bank-bank transnasional sebagai “penting bukan karena hanya kegiatannya dalam mengejar
kepentingan mereka, namun juga karena mereka bertindak sabuk transmisi sehingga membuat
kebijakan pemerintah di sejumlah negara lebih sensitif terhadap negara lain (Keohane dan Nye, 1988).
Dalam pengertian ini, interdependensi kompleks sebagai sebuah “holistik”, konsepsi sistem yang
melukiskan politik dunia sebagai jumlah interaksi banyak bagian dalam “masyarakat global” (Holsti,
1988).
Kedua, intedependen kompleks mempertanyakan apakah isu keamanan nasional mendominasi
agenda keputusan negara bangsa. Berdasarkan kondisi interdependensi, agenda politik luar negeri
menjadi “semakin luas dan beragam” karena jangkauan luas kebijakan “pemerintah”, meskipun
sebelumnya dipandang sebagai kebijakan domestik.
Ketiga, perspektif yang dipertikaikan dalam konsep populer bahwa kekuatan militer satu-satunya
alat dominan dalam menggunakan pengaruh di politik internasioal, khsusnya diantara negara industri
dan masyarakat demokratis di Eropa dan Amerika Utara.
2. Rejim-Rejim Internasional
Meskipun sistem internasional masih memiliki karakter anarkis, sifatnya dapat lebih
dikonseptualisasikan sebagai anarki yang tertib dan sistem secara keseluruhan sebagai “masyarakat
anarkis” karena kerja sama, bukan konflik, sering hasil yang dapat diamati dalam hubungan antar
negara.
Karena realitas ini, masalah baru muncul : bagaimana prosedur dan aturan yang terlembagakan
untuk manajemen kolektif masalah kebijakan global dapat dibentuk dan dipertahankan ? Kepentingan
13. dalam masalah itu muncul dari dua tujuan motivasi kebanyakan analis neoliberal. Pertama, “keinginan
memahami seberapa jauh hambatan bersama mempengaruhi perilaku negara”. Kedua, kepentingan
dalam merancang strategi untuk menciptakan “tatanan dunia” yang lebih tertib.
Menuru sebuah definisi, rejim adalah sistem terlembaga kerja sama dalam isu-isu tertentu. Krasner
(1982) menjelaskan, “ini adalah pemasukan perilaku dengan prinsip dan norma yang membedakan
aktivitas rejim yang diperintah dalam sistem internasional dari aktivitas yang lebih konvensional oleh
kepentingan sempit yang terukur”. Oleh karena itu esensi dari sebuah rejim adalah terdiri dari “sistem
aturan perilaku internasional”.
Sistem moneter global dan sistem perdagangan yang tercipta setelah Perang Dunia II merupakan
ekspresi jelas dari rejim-rejim internasional.
Teori Stabilitas Hegemoni
Seperti ditekankan oleh perspektif institusionalis neoliberal, aktor-aktor non negara memainkan
peran penting dalam kerja sama internasional yang menjadi karakter Tatanan Ekonomi Internasional
Liberal.
Perspektif ini juga mengajak memperhatikan peran menentukan kekuatan besar Amerika Serikat
dalam mempromosikan stabilitas dan operasi efektif rejim moneter dan perdagangan pasca Perang
Dunia II.
Masalah yang muncul adalah: Apa pengaruh menurunnya kekuasaan AS seperti dipersepsikan
banyak pihak tehadap lembaga rancangannya untuk mendorong kerja sama internasional ? Apakah
menurunnya pengaruh itu bisa menjelaskan ketidaktertiban tatanan ekonomi global yang muncul sejak
1970-an ? Masalah-masalah inilah yang jadi perhatian khusus bagi analis yang tertarik pada stabilitas
hegemoni.
Teoritisi stabilitas hegemoni membedakan definisi hegemoni dengan menekankan kapasitas
kekuatan militer untuk mengendalikan tatanan dunia dan kapasitas kekuatan ekonomi untuk
menentukan dan mendikte aturan yang mengendalikan perdagangan, keuangan dan investasi
internasional.
Dalam konteks institusionalisme neoliberal, teori stabilitas hegemoni didedikasikan terutama
pada tugas menjelaskan bukan perang dan damai namun menerangkan mengapa negara-negara
penting (hegemonik) di hirarki tertinggi (seperti AS setelah Perang Dunia II) termotivasi
mempromosikan rejim internasional yang menguntungkan yang tak hanya menguntungkan diri tapi
juga negara lain.