2. Kelompok 4
1. Ajra Adzima Banjaro (228530161)
2. Azoura Wulan Ramandytha P (228530037)
3. Nurul salsabila Lubis (228530041)
4. Yessa Friscila Napitupulu (228530148)
3. Paradigma Fakta Sosial
Dalam Perkembangan khazanah pengetahuan manusia dewasa ini, berbagai hal
yang dijadikan sumber acuan atau sudut pandang dari pemecahan suatu persoalan
kerap juga disebut “paradigma” , seperti yang lazim kita dengar, “paradigma
pembangunan” atau “paradigma belajar” dan sebagainya. Sebutan dan penggunaan
kata “paradigma” semacam ini dapat menimbulkan berbagai macam interpretasi,
karena konteksnya sangat situasional. Tetapi apa yang dimaksud oleh Paradigma
dalam konteks ilmu sosial khususnya sosiologi, sebaiknya kita mengacu pada konsep
dan pemikitan Thomas S. Khundi dalam bukunya yang terkenal, berjudul The
Structure Of Scientific Revolutions (1962). Menurut Tomas Khun, paradigma adalah
pandangan yang mendasar tentang apa yang menjadi pokok persoalan dalam ilmu
pengetahuan (sosial) tertentu. Dengan ungkapan lain dapat dikatakan, bahwa sebuah
paradigma adalah jendela keilmuan yang dapat digunakan untung “melihat” dunia
sosial.
4. Persoalannya adalah jernih tidaknya sebuah “jendela ilmu” yang
digunakan akan sangat memengaruhi pemahaman seseorang
tentang apa dan bagaimana sesungguhnya dunia sosial itu, baik
menurut fakta subjektif maupun fakta objektif. Tetapi yang jelas,
bertitik tolak dari satu paradigma tertentu, seorang ilmuan dapat
memusatkan dan merumuskan permasalahan objek kajian yang
menjadi sasaran bidang ilmunya, lalu memilih dan menetapkan
teori dalam rumpun paradigma itu yang relevan dengan persoalan
yang tengah dikaji, serta menetapkan metode penelitian untuk
mencari dan menemukan jawaban atau bukti-bukti empirisnya di
lapangan.
5. Paradigma Fakta Sosial ini melihat masyarakat manusia dari sudut
pandang makro strukturnya. Menurut paradigma ini, kehidupan
masyarakat dilihat sebagai realitas yang berdiri sendiri, lepas dari
persoalan apakah individu-individu anggota masyarakat itu suka
atau tidak suka, setuju atau tidak setuju. Masyarakat jika dilihat dari
struktur sosialnya (dalam bentuk perorganisasiannya) tentulah
memiliki seperangkat aturan (apakah itu undang-undang, hierarki
kekuasaan dan wewenang, sistem peraadilan, serangkaian peran
sosial, nilai dan norma, pranata sosial, atau pendek kata
kebudayaan) yang secara analitis merupakan fakta yang terpisah
dari individu warga masyarakat akan tetapi dapat memengaruhi
perilaku kesehariannya.
6. Teori-Teori Dalam Lingkup Paradigma Fakta Sosial
Teori-teori besar yang berada dalam lingkup paradigma fakta sosial, antara
lain :
Teori struktural sungsional, Teori struktural konflik, atau kerap disebut juga
teori konflik, teori sistem, dan teori-teoori sosiologi makro lainnya. Teori-
teori ini pada dasarnya mneganalilis peran dan pengaruh dari struktur
sosial terhadap individu dalam masyarakat, seperti : pranata-pranata sosial,
nama sosial, kelas sosial, social control, atau kekuasaan danain; yang
tampak berada di luar individu, akan tetapi dapat memengaruhi
kelangsungan dan mungkin juga perubahan dalam masyarakat yang
bersangkutan.
7. Paradigma Definisi Sosial
Berbeda dengan Paradigma fakta sosial, paradigma definisi sosial tidak
berangkat dari sudut pandang fakta sosial yang objektif, seperti
struktur-struktur makro dan pranata-pranata sosial yang ada dalam
masyarakat. Paradigma definisi sosial justru bertolak dari proses
berpikir masnusia itu sendiri sebagai individu. Dalam merancang dan
mendefinisikan makna dan interaksi sosial, individu dilihat sebagai
pelaku tindakan yang bebas tetapi tetap bertanggung jawab. Atrinya, di
dalam bertindak atau berinteraksi itu, seseorang tetap di bawah
pengaruh bayang-bayang struktur sosial dan pranata-pranata dalam
masyarakat, tetapi fokus perhatian paradigma ini tetap pada individu
dengan tindakannya itu.
8. Menurut paradigma ini, proses-proses aksi dan interaksi yang
bersumber pada kemauan individu itulah yang menjadi pokok
persoalan dari paradigma ini. Paradigma ini memandang, bahwa
hakikat dari realitas sosial itu (dalam banyak hal) lebih bersifat
subjektif dibandingkan objektif menyangkut keinginan dan
tindakan individual. Dengan kata lain,realita sosial itu, lebih
didasarkan kepada definisi subjektif dari pelaku-pelaku individual.
Jadi, menurut paradigma ini tindakan sosial tidak pertama-tama
menunjuk kepada struktur-struktur sosial, tetapi sebaliknya,
bahwa struktur sosial itu merujuk pada makna tindakan yang
telah dilakukan oleh individu-individu anggota masyarakat itu.
9. TEORI SOSIAL DALAM LINGKUP PARADIGMA DEFINISI SOSIAL
Teori-teori yang berada dalam lingkup paradigma definisi sosial antara
lain :
1) Teori analisis tindakan sosial yang lebih dikenal de ngan teori social
action oleh Max Weber
2) Teori konstruksi sosial Peter Ludwig Berger dan Thomas Luckmann
3) Teori Interaksionisme Simbolis George Herbert Mead dan Herbert
Blumer
4) Teori Fenomenologi Edmund Husserl
5) Teori Etnometodologi
6) Teori eksistensialisme.
10. PARADIGMA PERILAKU SOSIAL
Berbeda dengan paradigma definisi sosial yang sudah dijelaskan di muka,
maka di dalam paradigma perilaku sosial ini sangat menekankan pada
pendekatan yang bersifat objektif empiris. Meskipun sama-sama berangkat
dari pusat perhatian yang sama, yakni “interaksi antarmanusia,” tetapi
paradigma perilaku sosial menggunakan sudut pandang “perilaku sosial yang
teramati dan dapat dipelajari.” Jadi, dalam paradigma ini perilaku sosial itulah
yang menjadi persoalan utama, karena dapat diamati dan dipelajari secara
empiris. Sementara apa yang ada di balik perilaku itu (misalnya saja: maksud
dari perilaku tertentu, motivasi di balik perilaku itu, kebebasan, tanggung
jawab) berada di luar sudut pandang paradigma perilaku sosial ini.
11. Sebagaimana dijelaskan oleh George Ritzer (1980) dan dalam Ritzer
dan Douglas J. Goodman, (2008), bahwa sosiologi menerima
paradigma ini karena paradigma perilaku sosial memusatkan
perhatian pada persoalan tingkah laku dan pengulangan tingkah
laku tertentu sebagai pokok persoalan. Dalam paradigma ini,
perilaku manusia dalam interaksi sosial itu dilihat sebagai respons
atau tanggapan (reaksi mekanis yang bersifat otomatis) dari
sejumlah stimulus atau rangsangan yang muncul dalam interaksi
tersebut. Reaksi mekanis dan otomatis seperti itu kerap terjadi
dalam interaksi antar-individu tertentu.
12. Dalam dunia politik, pihak-pihak yang berkepentingan dalam Pemilu
sebagai contoh, kerap kali menaruh perhatian besar pada teknik-
teknik yang memastikan perilaku rakyat—memilih figur yang
diinginkan. Di negara-negara totaliter umumnya mendukung
paradigma ini, karena manusia dipandang sebagai individu yang
perilakunya bersifat deterministik, sehingga mudah dimanipulasi
baik melalui indoktrinasi, brain-washing, maupun dalam bentuk
aksi-aksi propaganda sepihak. Adakalanya perilaku manusia tidak
berbeda jauh dengan perilaku binatang, meskipun kita tahu
manusia mampu berpikir dalam bertindak, tetapi pikirannya itu
kerap mengikuti pola tertentu yang kurang lebih sama.
13. Tokoh utama yang bernaung di balik paradigma perilaku sosial ini
dapatlah disebutkan nama George C. Homans, yang telah
memperkenalkan teori pertukaran sosial (Exchange theory).
Manusia digambarkan sebagai individu yang bertindak selalu atas
dasar kepentingan-kepentingan tertentu, dan oleh karenanya
masalah utama sosiologi (menurut paradigma ini) adalah mencari
dan menelaah kepentingan-kepentingan itu. Sebaliknya, untuk
mengetahui cita-cita, keyakinan, dan kebebasan individu, di balik
perilakunya (dalam paradigma ini) hanya dipandang sebagai mitos
atau day dreaming yang sulit dibuktikan secara empiris.
14. Ketiga, paradigma yang baru saja dijelaskan di muka semuanya
masuk akal, dan demikian pula dengan teori-teori yang dibangun di
atasnya. Masing-masing mengungkapkan sebagian kebenaran,
dengan asumsi-asumsi teoretis dan sudut pandang tertentu dalam
memahami dunia sosial yang kompleks dan luas itu. Sudah barang
tentu bangunanbangunan teori dari masing-masing paradigma itu
dengan sendirinya memiliki sejumlah kelebihan dan sekaligus pula
sejumlah kelemahan menurut sudut pandang tertentu, apalagi
sudut pandang itu memang berbeda. Para sosiolog besar seperti
Emile Durkheim, Max Weber, atau Talcott Parsons pun tidak pernah
menyatakan bahwa paradigma yang mereka bangun adalah
paradigma yang absolut benar dalam sosiologi.