•Judul: Ketidakadilan, Kesenjangan, dan Ketimpangan: Jalan Panjang Menuju Pembangunan Berkelanjutan Pasca-2015 •Penulis: Koalisi Masyarakat Sipil untuk Agenda Pembangunan Pasca-2015 •Editor: Aris Santoso •Penerbit: Kemitraan dan INFID •ISBN: 978-602-8384-61-2 •Edisi: I, Maret 2013 •Kolasi: 13 x 19 cm; x + 112 halaman.
3. Ketidakadilan,
Kesenjangan, dan Ketimpangan:
Jalan Panjang Menuju Pembangunan Berkelanjutan
Pasca-2015
Editor:
Aris Santoso
Kontributor:
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Agenda Pembangunan
Pasca-2015
Tim Penulis:
Agung Wasono, Yenny Sucipto, Titik Hartini | Good
Governance: Minimnya Transparansi, Akuntabilitas, dan
Kompetensi
Sita Aripurnami, Laura Hukom, Rahayuningtyas, Christiana
Widimulyani, Repelita Tambunan | Ketimpangan Akses
Kesehatan
Oslan Purba, Iwan Nurdin, Tejo Wahyu Djatmiko |
Lingkungan
Ruby Khalifah, Ahmad Qisai, Boedhi Wijardjo, Mohamad
Miqdad | Konflik dan Kerentanan
Sigit Wijayanta, M. Firdaus, Dian Kartikasari, Jonna
Damanik, Erickson Sidjabat | Mengatasi Kesenjangan
Ah. Maftuhan, Sugeng Bahagijo | Pembiayaan
Pembangunan
Mike Verawati | Pencapaian MDGs
5. vi
maupun pada sektor lain yang tidak secara langsung terkait
dengan MDGs namun sangat berpengaruh terhadap
pencapaian MDGs di Indonesia.
Selain hal tersebut, dalam beberapa kali LaporanTujuan
Pembangunan Milenium (MDGs) yang dikeluarkan
oleh Pemerintah Republik Indonesia selalu memberikan
klaim bahwa upaya pembangunan milenium berada
pada jalur yang sudah benar (on the track), seperti dapat
dilihat dalam Laporan Pencapaian MDGs tahun 2004,
2007, 2009, 2010 dan 2011. Namun laporan lembaga
internasional juga seringkali memberikan warning kepada
Indonesia. Salah satunya adalah Laporan UNESCAP
tahun 2006 yang menyatakan bahwa Indonesia termasuk
10 negara di kawasan Asia Pasifik yang berada pada posisi
mengkhawatirkan dalam pencapaian MDGs. Dalam
laporan Human Development Report, peringkat Human
Development Index Indonesia makin memburuk. Jika
di tahun 2006, Indonesia berada pada peringkat 107, di
tahun 2007-2008 merosot ke peringkat 109, tahun 2009
berada di peringkat 111, pada tahun 2010 naik menjadi
108, namun pada tahun 2011 turun lagi menjadi 124.
Hal ini menunjukkan bahwa betapa berat langkah menuju
pencapaian MDGs di tahun 2015.
Terkait dengan Agenda Pembangunan Pasca-2015,
Kemitraan bersama dengan INFID telah diberikan
mandat oleh Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan
dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) untuk menjadi
convener dalam pelibatan secara lebih luas suara dari
vii
masyarakat sipil di Indonesia. Sebagai salah satu upaya
menindaklanjuti hal tersebut, Koalisi Masyarakat Sipil
Indonesia untuk Agenda Pembangunan Pasca-2015 telah
menyusun kertas posisi sebagai usulan dari masyarakat
sipil di Indonesia untuk Agenda Pembangunan Pasca-2015
terutama pada bidang-bidang: Ketimpangan, Kesehatan,
Konflik dan Kerawanan Sosial, Lingkungan Hidup,
Demokrasi dan Tata Pemerintahan yang Baik, dan
Pembiayaan Pembangunan.
Kertas Posisi yang ada dihadapan para pembaca ini
adalah kerjasama dari berbagai pihak yang tidak bisa kami
sebutsatupersatu.Kepadaparapenuliskamiucapkanbenyak
terimakasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya atas
pengorbanan waktu, tenaga, dan pikiran untuk menyajikan
tulisan terbaiknya bagi laporan masyarakat sipil ini
Semoga buku yang disusun berdasarkan bukti-bukti
nyata dilapangan dan temuan-temuan dari masyarakat sipil
ini berguna dan mampu menghadirkan sudut pandang yang
berbeda dan bermanfaat pula sebagai salah satu sumber
dalam penyusunan Agenda Pembangunan Pasca-2015 guna
pemenuhan hak dasar warga negara di Indonesia.
Jakarta, Maret 2013
Wicaksono Sarosa, Ph.D
Direktur Eksekutif Kemitraan
6. viii ix
DAFTAR ISI
Daftar Isi ~ix
Kata Pengantar ~v
Pendahuluan ~1
I. Good Governance: Minimnya Transparansi,
Akuntabilitas, dan Kompetensi ~7
II. Ketimpangan Akses Kesehatan ~19
III. Lingkungan: Bencana Ekologis dan Konflik
Berkepanjangan ~41
IV. Konflik dan Kerentanan : Konflik Sosial Berlarut
dan Jalan Panjang Perdamamaian ~73
V. Mengatasai Kesenjangan: Menggapai Keadilan
Bagi Kelompok Rentan ~75
VI. Pembiayaan: Melipatgandakan Alokasi Bagi
Kelompok Rentan ~93
7. x 1
Ketidakadilan,
Kesenjangan dan Ketimpangan:
Jalan Panjang Menuju
Pembangunan Berkelanjutan Pasca 2015
Pendahuluan
Pada tahun 2000 telah disepakati deklarasi yang
ditandatangani 198 negara, yang menyatakan rangkaian
keamanan, Hak Asasi Manusia (HAM), termasuk berkaitan
dengan pembangunan dan lingkungan, yang kemudian
menelurkan delapan target Milenium Development Goals
(MDGs). Dapat dikatakan MDGs merupakan kesepakatan
yang belum sempurna, namun tetap memberi dampak
besar bagi negara dan masyarakat dunia, misalnya untuk
meningkatkan akses pendidikan dan kesehatan.1
Dikatakan
tidak sempurna karena dalam penyusunannya kurang
memperhatikan kebutuhan dan permasalahan yang secara
riil dihadapi masyarakat.
Adapun Millenium Development Goals (MDGs)
sendiri terdiri dari delapan tujuan besar pembangunan,
yaitu: (1) Memberantas kemiskinan kelaparan (2)
Mewujudkan pendidikan dasar (3) Mendorong kesetaraan
gender dan pemberdayaan perempuan (4) Menurunkan
1 Heru Prasetyo, Deputi I Pengawasan Pengendalian Inisiatif Perubahan
Iklim dan Pembangunan Berkelanjutan UKP4, disampaikan pada Seminar
dan Pemutaran Film WRI, Desember 2012
8. 2
angka kematian anak (5) Meningkatkan kesehatan ibu (6)
Memerangi HIV/AIDS, malaria dan penyakit menular
lainnya (7) Memastikan pelestarian lingkungan (8)
Mendorong pembangunan berkelanjutan
Masyarakat internasional telah menetapkan 2015
sebagai tenggat waktu bagi MDGs, dengan sasaran
pokoknya adalah pengentasan kemiskinan global.
Target utama tersebut telah diprioritaskan oleh banyak
pemerintah, lembaga pembangunan, donor dan aktor-
aktor pembangunan lainnya sejak tahun 2000. Gugus tugas
PBB untuk pasca 2015 mengusulkan peta jalan menuju
Pembangunan Pasca 2015 yang baru. Hampir semua upaya
yang sedang berlangsung dirancang untuk mengumpulkan
masukan yang akan memberi input langsung pada
perumusankerangkakerjapembangunanglobalpasca2015,
yang kemungkinan akan diadopsi dan diimplementasikan
oleh semua negara. Tetapi tidak ada upaya konkrit untuk
memastikan atau mendorong proses di level negara yang
akan mendukung kerangka pembangunan global pasca
2015.2
Pada bulan Maret 2013, Indonesia akan menjadi tuan
rumah bagi pertemuan HLP (High Level Panel). Output dari
2 Pada bulan Juli 2013, Sekretaris Jenderal PBB menunjuk sebuah panel
beranggotakan 26 orang yang akan memberikan masukan dan nasihat
terkait dengan agenda pembangunan global pasca-2015. Para panelis
berasal dari pemerintah, sektor swasta, akademisi dan masyarakat sipil, yang
menjadi anggota dalam kapasitas pribadi mereka. Panel tersebut diketuai
bersama oleh Presiden Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono, Presiden
Liberia Ellen Johnson Sirleaf, dan Inggris Perdana Menteri David Cameron.
Panel ini disebut High-Level Panel of Eminent Persons on the Post-2015
Development Agenda (HLP).
3
HLP ini akan menjadi laporan kepada Sekretaris Jenderal
PBB yang merekomendasikan visi dan bentuk agenda
pembangunan pasca 2015. HLP akan mempertimbangkan
temuan dari berbagai konsultasi yang dikoordinasikan oleh
PBB dalam menulis laporannya. HLP akan didukung oleh
tim independen yang direkrut melalui konsultasi langsung
dengan tiga co-chairs dari Panel. Laporan akan disampaikan
pada Sidang Majelis Umum PBB ke-68, September 2013.
Pertanyaannya sekarang: model pembangunan seperti apa
yang akan dipromosikan oleh pemerintah (Indonesia) pada
skema pembangunan berkelanjutan pasca-2015?
Dekade-dekade pembangunan di Indonesia selama ini
menunjukkan bahwa model pembangunan yang dipilih
oleh pemerintah Indonesia adalah model pembangunan
yang eksploitatif dan merusak, serta berbasis pada
pemberian konsesi-konsesi usaha kepada korporasi yang
seringkali menyebabkan munculnya berbagai konflik sosial.
Makalah bersama CSO ini diperuntukkan sebagai salah
satu bahan advokasi Kelompok Masyarakat Sipil Indonesia
untuk Pembangunan Pasca-MDGs. Kelompok ini akan
secara rutin mengkampanyekan ke berbagai kalangan
dan menyampaikan hasil-hasil kajian kepada Unit Kerja
Presiden Bidang Pengawasan dan Percepatan Pembangunan
(UKP4) Indonesia dan kepada Co-Chair High Level Panel
of Eminent Person (HLPEP) for Post 2015 Development
Agenda. Di dalam HLPEP inilah, Presiden Indonesia
bersama Perdana Menteri Inggris David Cameron dan
Presiden Liberia Ellen Johnson Sirleaf duduk sebagai co-
9. 4
chair di HLPEP yang ditunjukkan oleh UN.
Selama ini pemerintah Indonesia selalu menyatakan
optimisme mengenai pembangunan dengan indikator-
indikator kuantitatif. Keberhasilan Indonesia memper-
tahankan pertumbuhan ekonomi di atas 6 persen saat
krisis finansial global diakui oleh institusi keuangan
internasional sebagai bentuk kokohnya fundamental
ekonomi Indonesia. Dalam dua tahun terakhir ini, tingkat
investasi juga menjadi kata kunci yang selalu disampaikan
oleh pemerintah Indonesia untuk memperlihatkan
keberhasilan pembangunan. Namun gambaran cerah
tentang pembangunan di Indonesia, belum mencerminkan
realitas yang sebenarnya.
Masyarakat sipil (CSO) Indonesia tidak menemukan
bukti-bukti yang memadai bahwa pertumbuhan yang
inklusif dan menjamin pemerataan telah terjadi. Fakta-fakta
peningkatan kekayaan segelintir orang dan kesenjangan
yang ekstrim, telah memberi keyakinan, bahwa harus ada
perubahan dalam orientasi pembangunan. Pada semua
aspek dan sektor kehidupan masyarakat, yang menonjol
adalahkesenjangan/ketimpanganyangterutamadisebabkan
oleh paradigma pembangunan yang dianut, buruknya tata
kelola pemerintahan, serta praktik demokrasi yang parsial
(prosedural, transaksional, elitis).
Ketimpangan adalah bukti kegagalan konsep pem-
bangunan yang berorientasi pertumbuhan. Oleh karena
itu, semua upaya dan langkah pembangunan mesti
5
dimaksudkan untuk menghapus ketimpangan ini. CSO
mendesak agar perspektif pembangunan yang berorientasi
pada pertumbuhan mesti beralih pada pembangunan
berkelanjutan dengan tujuan mengakhiri ketimpangan.
Tata kelola pemerintahan yang baik (Good Governance)
merupakan komponen penting dalam menentukan
pencapaian Millennium Development Goals (MDGs)
baik di tingkat nasional maupun lokal. Secara sederhana,
Good Governance ini dimaknai sebagai pengelolaan
pemerintahan yang menjunjung tinggi transparansi,
akuntabilitas dan rule of law serta bersifat responsif dan
partisipatoris. Aktualisasi Good Governance ini akan
menjamin penyelenggaraan pemerintahan yang efektif,
pada gilirannya akan mempercepat proses pencapaian
tujuan negara, yaitu menyejahterakan rakyat.
Di sisi lain, Good Governance ini juga merupakan
perwujudan prinsip kedaulatan rakyat (dari, oleh dan untuk
rakyat). Oleh karenanya Good Governance seharusnya
menjamin, melindungi serta memperkuat hak-hak rakyat.
Singkatnya, Good Governance merupakan prasyarat utama
bagi tercapainya MDGs di Indonesia, sebagai negara
yang masuk dalam kategori tingkat korupsi tinggi. Good
Governance menjadi tantangan utama baik di tingkat
nasional mau pun daerah.
Untuk mewujudkan Good Governance, diperlukan
sumber daya aparatur birokrasi pemerintah yang berdedikasi
dan berkualitas. Tetapi sayangnya, sumber daya aparatur
10. 6
birokrasi pemerintah dalam melakukan pengintegrasian
MDGs, melalui mekanisme perencanaan teknokratis
masih terbatas dalam hal kemampuan. Antara lain adalah
keterbatasan kemampuan mereka dalam mengakomodir
aspirasi masyarakat, menyesuaikan diri dengan perubahan
yang terjadi, mendefinisikan permasalahan, merumuskan
berbagai kebijakan publik yang sesuai kebutuhan
masyarakat, menciptakan birokrasi yang efisien dan efektif,
mengimplementasikan kebijakan dan peraturan, serta
berempati dalam melayani kepentingan publik.
Keterbatasan kapasitas aparatur birokrasi ini juga
berakibat pada terjadinya alokasi sumber daya yang tidak
efektif. Masih banyak alokasi anggaran yang tidak diarahkan
untuk program atau kegiatan yang dapat menjawab akar
masalah kemiskinan. Selain memang dalam pengalokasian
anggaran,proporsibelanjalangsungmasihjauhlebihrendah
dibandingkan dengan belanja tidak langsung. Sehingga
program/kegiatan yang disusun pemerintah belum mampu
mendukung untuk tercapainya target-target MDGs.
Komitmen pemerintah untuk mendorong upaya
percepatan MDGs, secara nyata bisa diukur dari ketersedian
pembiayaan dalam APBD, bagi masyarakat miskin, rentan
dan perempuan. Oleh karena itu, budget tracking atau
penelusuran anggaran menjadi penting untuk mengenali
masalah-masalah dalam penganggaran. Penelusuran
anggaran dilakukan untuk menghasilkan analisis data
yang dapat menggambarkan informasi anggaran yang
tersedia bagi para pihak untuk melihat secara jelas dari
7
mana anggaran berasal dan bagaimana anggaran tersebut
dibelanjakan. Tujuan lainnya, memastikan realisasi
kebijakan alokasi anggaran sesuai dengan prosedur, regulasi
dan efisien secara teknis dan efektif secara operasional atau
sesuai dengan tujuan pada saat perencanaan anggaran di
susun untuk peruntukan pada kegiatan dan program.
Menyoal berbagai kendala dalam pencapaian MDGs di
Indonesia selama ini, seringkali dihadapkan pada persoalan
lemahnya pengarusutamaan program-program berkait
MDGs antarkementerian/lembaga, serta terbatasnya alokasi
anggaran yang membiayainya. Sehingga untuk beberapa
target MDGs di Indonesia, misalnya pada sektor kesehatan
(kematian ibu dan anak) dan penanggulangan HIV/AIDS
akan sulit dicapai pada tahun 2015.
I. Good Governance: Minimnya Transparansi,
Akuntabilitas, dan Kompetensi
Bagian ini akan mengulas kondisi terkini yang terjadi
di Indonesia terkait dengan problematika pelaksanaan
demokrasi prosedural dan pemenuhan demokrasi
substansial. Kemitraan melalui Partnership Governance
Index (PGI) pada tahun 2008 melakuan survei terhadap
33 provinsi di tingkat provinsi dengan melibatkan enam
prinsip good governance, yaitu participation, fairness,
accountability, transparency, efficiency dan effectiveness di
empat arena, yaitu pemerintah (political office), birokrasi,
masyarakat ekonomi dan masyarakat sipil. Secara umum
rata-rata nilai PGI di 33 provinsi adalah 5,11 dengan
11. 8
masing-masing skor rata-rata per arena adalah 4,95 untuk
pemerintah, 5,61 untuk birokrasi, 4,97 untuk masyarakat
sipil dan 4,79 untuk masyarakat ekonomi.
Berdasar dimensi prinsip good governance yang
berkaitan dengan tingkat keterbukaan pemerintah (Open
Government), pemerintah memperoleh skor 5,04 untuk
partisipasi, 6,69 untuk akuntabilitas dan 4,26 untuk
transparansi. Sementara birokrasi memperoleh skor 3,78
untuk partisipasi, 6,55 untuk akuntabilitas dan 3,79
untuk transparansi. Di antara ketiga prinsip tersebut,
yang cenderung memperoleh skor kurang bagus adalah
transparansi sehingga menunjukkan bahwa tingkat
transparansi pemerintah dan birokrasi Indonesia senantiasa
harus selalu ditingkatkan.
Sementara itu, skor akuntabilitas terlihat terbaik
di antara prinsip lain. Hal ini dikarenakan PGI hanya
menggunakan indikator akuntabilitas secara prosedural,
seperti audit BPK yang secara umum telah dipatuhi oleh
sebagian besar provinsi meskipun berada dalam kualitas
cukup.
Survei Failed State Index/FSI atau Index Negara Gagal
2012, yang dipublikasikan oleh Fund for Peace menetapkan
Indonesia sebagai “warning” beresiko sebagai negara gagal.
Indonesia memang menunjukkan perkembangan ke arah
membaik, apabila dibandingkan FSI Index pada tahun
2011. Dalam survei tersebut Indonesia menduduki
peringkat ke-63 dari 177 negara yang sebelumnya pada
9
tahun 2011 Indonesia menempati peringkat ke-64 dari 177
negara.
Dalam kategori tersebut, Indonesia masuk kategori
negara-negara yang dalam bahaya menuju negara gagal.
Indonesiamemangtidaksendiri,bahkannegarasepertiCina
dan India berada kelompok “warning” seperti Indonesia di
urutan 76 dan 78. Sedangkan negara Asia Tenggara yang
berada pada kelompok “warning” adalah Filipina urutan 58
Malaysia urutan 111 sedangkan Thailand pada urutan 84.
Kemudian Fund for Peace juga mengadakan penelitian
berdasarkan 13 indikator, yang merupakan rincian dari
kondisi politik, ekonomi, dan sosial di negara tersebut.
Berdasarkan 13 indikator itu hasilnya dibagi menjadi
empat kriteria yakni negara-negara yang masuk kategori
alert, warning, moderate, dan sustainable. Negara-negara
yang masuk kategori alert adalah Somalia, Congo, Sudan,
Zimbabwe, dan Afganistan. Untuk Asia Tenggara yang
masuk kategori ini adalah Myanmar dan Timor Leste.
Evaluasi yang dilakukan oleh Menteri Pemberdayaan
Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Azwar Abu Bakar,
menyimpulkan bahwa mayoritas pegawai negeri sipil tak
memiliki kompetensi yang memadai. “Dari 4,7 juta PNS
yang ada, hanya lima persen yang memiliki kompetensi.
PNS di Indonesia sebenarnya terbagi dalam dua kelompok,
yaitu struktural dan fungsional. Sayangnya, kelompok
fungsional ini tak diisi oleh tenaga ahli di bidangnya”.
Kritik lebih keras juga datang dari Prof. Dr. Eko
12. 10
Prasodjo (Wakil Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara
dan Reformasi Birokrasi), bahwa dari hasil pengamatannya
selama berkecimpung dalam praktik keilmuan birokrasi
di Indonesia, “Saya bisa katakan 80 persen PNS kita tidak
berkompeten dan bermoral rusak. Ini kenyataan,” kata Eko
Prasodjo.
Pada era reformasi ini, perubahan sistem sudah
dilakukan meskipun belum tuntas. Di antaranya dengan
sistem renumerasi, penggajian berdasarkan kinerja,
kompetensi, dan bidang kerja. Perubahan ini diberlakukan
di Kementerian Keuangan terutama di Direktorat penghasil
pendapatan negara seperti, Bea- Cukai dan Pajak. Tapi
ternyata masih ada juga pegawai pajak yang masih korup,
meskipun gaji resminya bahkan 10 kali lipat dari PNS biasa.
Di sisi lain, jabatan fungsional umum di lingkungan
pemerintahan dinilai masih banyak diisi orang-orang
yang tidak kompeten. Hal ini dapat terjadi tidak lain
karena rekrutmen dan promosi jabatan didasarkan pada
faktor politis dan pertemanan dan bukan melihat pada
kompetensinya. Untuk meningkatkan kompetensi pegawai
tersebut, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara
dan Reformasi Birokrasi menyusun 10 langkah reformasi
birokrasi yang diantaranya menyelenggarakan Uji
Kompetensi PNS secara nasional untuk menyaring PNS
yang kompeten.
Selain masalah pengarusutamaan program dan
keterbatasan anggaran, sebenarnya masalah besar yang
11
lebih sulit dihadapi Indonesia saat ini mengenai efektivitas
program dan anggaran yang berkait dengan MDGs itu
sendiri. Sebab jika dilihat dari trend anggaran bagi program-
program MDGs di tiap kementerian –walaupun belum
sebanding dengan tantangan yang harus diselesaikan–
kecenderungannya selalu meningkat dari tahun ke tahun.
Misalnya bidang kesehatan, rata-rata pertumbuhan
anggaran khususnya Kesehatan Ibu dan Anak sebesar 14
persen selama periode 2006-2012, bahkan 2010-2011
sempat mencapai pertumbuhan tertinggi sebesar 38,6
persen.3
Sayangnya walaupun kecenderungan alokasi
anggarannya naik, hasilnya terlihat tetap stagnan dan
tidak ada kemajuan berarti, sehingga terkesan anggaran
yang telah digelontorkan untuk program-program MDGs
terkesan terbuang sia-sia.
Menyoal efektivitas anggaran memang sangat
ditentukan pada bagaimana cara pemerintah sebagai
pengelola anggaran dalam mengelola keuangan negara,
yang dalam berbagai konteks selalu dikaitkan dengan
good governance. Dan jika menyoal good governance, cukup
menarik meminjam pemikiran Meuthia Ghani yang
memahami governance sebagai tradisi dan institusi yang
menjalankan kekuasaan dalam suatu negara, termasuk
(1) proses pemerintah dipilih, dipantau, dan digantikan,
(2) kapasitas pemerintah untuk memformulasikan dan
melaksanakan kebijakan secara efektif, dan (3) pengakuan
3 Lihat Koalisi Masyarakat Sipil untuk APBN Kesejahteraan, Rancangan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Alternatif 2013, Menuju
Anggaran Konstitusional.
13. 12
rakyat dan negara terhadap berbagai institusi yang mengatur
interaksi antara mereka.
Unsur yang terakhir biasa dilakukan melalui tiga
struktur komunikasi, yaitu kewenangan, legitimasi, dan
representasi. Kewenangan adalah hak pemerintah untuk
membuat keputusan di bidang tertentu. Walaupun
ini merupakan hak dari suatu pemerintah modern,
namun yang terpenting adalah bagaimana melibatkan
persepsi rakyat tentang tindakan yang perlu dilakukan
pemerintah. Legitimasi diperoleh karena rakyat mengakui
bahwa pemerintah telah menjalankan perannya dengan
baik. Representasi diartikan sebagai hak untuk mewakili
pengambilan keputusan bagi kepentingan golongan lain
dalam kaitannya dengan alokasi sumber daya.4
Good governance pada akhirnya tidak terbatas pada
menjalankan wewenang dengan baik semata, yang lebih
penting adalah bagaimana masyarakat dapat berpartisipasi
dan mengontrol pemerintah untuk menjalankan wewenang
tersebut dengan baik (accountable). Oleh karenanya, konsep
good governance akan selalu didasarkan pada tiga pilar, yaitu
transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi.5
Dalam konteks pengelolaan keuangan negara, ketiga
pilar tersebut sebenarnya secara tersirat telah tertuang di
4 Meuthia Ganie, Good Governance dan Tiga Struktur Komunikasi Rakyat
dan Pemerintah, makalah yang disajikan pada Seminar “Good Governance
dan Reformasi Hukum” di Jakarta, Agustus 1998.
5 Ibid. Lihat juga Loina Lalolo Krina, Indikator dan Alat Ukur Prinsip
Akuntabilitas, Transparansi dan Partisipas (Sekretariat Good Public
Governance Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Jakarta: 2003),
hal.3
13
dalam Konstitusi Indonesia khususnya Pasal 23 Ayat (1)
UUD 1945 karena konstitusi mensyaratkan pembahasan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) harus
dilaksanakan secara terbuka dan bertanggungjawab untuk
sebesar-besar kemakmuran rakyat. Keterbukaan tersebut
oleh pemerintah dijawab dengan diterbitkannya UU No.14
Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU
KIP).
Sebagaimana yang menjadi amanat konstitusi,
tujuan utama UU KIP menjamin hak masyarakat untuk
mengetahui setiap rencana pembuatan kebijakan publik,
program kebijakan publik, dan proses pengambilan
keputusanpublik,sertaalasanpengambilansuatukeputusan
publik. Lebih jauh daripada itu diharapkan UU tersebut
akan mendorong partisipasi masyarakat dalam proses
pengambilan kebijakan publik, serta meningkatkan peran
aktif masyarakat dalam pengambilan kebijakan publik. Bagi
pemerintah diharapkan akan mewujudkan penyelenggaraan
negara yang baik, yaitu yang transparan, efektif dan efisien,
akuntabel serta dapat dipertanggungjawabkan.6
Bagi banyak pihak, menuntut keterbukaan informasi
khususnya menyangkut pengelolaan keuangan negara/
daerah kepada pemerintah adalah pekerjaan yang sulit dan
hampir mustahil walaupun konstitusi dan undang-undang
telah menjaminnya, mengingat birokrasi yang terbangun di
Indonesia masih kental dengan kultur feodal-kolonial yang
6 Lihat Ketentuan Umum Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang
Keterbukaan Informasi Publik.
14. 14
berkarakter dilayani, bukan melayani. Apalagi dokumen
anggaran baik di tingkat pusat (kementerian/lembaga)
maupun daerah masih banyak yang menilainya sebagai
dokumen rahasia yang “diharamkan” dibagi ke publik.
Ketertutupan akses terhadap dokumen anggaran
tersebut sampai saat ini memang masih menjadi akar tidak
efektifnya program-program pembangunan di Indonesia
(termasuk program-program MDGs). Sebab masyarakat
sama sekali tidak dapat melakukan kontrol terhadap setiap
program yang disusun dan dilaksanakan pemerintah. Wajar
jika dari tahun ke tahun wajah APBN Indonesia masih
tersandera oleh kepentingan elit dan birokrasi. Bagaimana
tidak, dari tahun ke tahun sebagian besar anggaran masih
dihabiskan untuk membiayai kebutuhan aparat (birokrasi)
mulai dari perjalanan dinas, tunjangan, vakasi, fasilitas
perkantoran dan kendaraan, dan lain-lain.7
Ambil contoh
salah satu program MDGs, khususnya menyangkut
kematian ibu dan anak yang ada di Kementerian Kesehatan,
hampir sebagian besar anggaran (sekitar 75 persen) hanya
dihabiskan untuk belanja perjalanan dinas (pertemuan
koordinasi, sosialisasi, fasilitasi, monev, dan seterusnya).8
7 Lihat Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran, Catatan Akhir Tahun
Anggaran 2012, Anggaran Tersandera Birokrasi dan Elit Politik.
8 Sebagaimana yang diungkap Yenny Sucipto dalam Catatan Akhir Tahun
FITRA 2012 menyatakan: ...program pembinaan KIA dan reproduksi
masih satu atap di dalam Direktorat Jenderal Bina Gizi dan Kesehatan
Ibu dan Anak. Dalam rencana anggaran Kementerian Kesehatan, hanya
dialokasikan sebesar Rp 30 milyar untuk program pelayanan kesehatan
anak, dan Rp 31,59 milyar untuk program pembinaan pelayanan kesehatan
dan reproduksi. Sungguh ironis, dengan alokasi yang hanya sebesar Rp 30
milyar pada program pelayanan kesehatan anak sebagian besar habis untuk
belanja perjalanan dinas (pertemuan koordinasi, sosialisasi, fasilitasi, monev,
dll) hingga mencapai Rp 21,5 milyar (72persen dari total anggaran program
15
Selain rendahnya keterbukaan, problem partisipasi
juga menjadi salah satu kendala tidak efektifnya program
pembangunan. Penyebabnya ruang partisipasi yang
dibangun cenderung formalitas dan diskontinyu. Satu-
satunya wahana partisipasi masyarakat yang diakui
pemerintah hanyalah forum musyawarah rencana
pembangunan (musrenbang). Sekilas forum ini cukup
partisipatif karena masyarakat diberikan hak untuk
mengusulkan program/kegiatan sekaligus kritik, saran dan
masukan terhadap kinerja pemerintah. Namun ternyata
hanya bersifat formalitas dan palsu karena usulan, kritik
dan saran masyarakat akhirnya diamputasi ketika proses
penganggaran memasuki internal elit, sebab dalam forum
tersebut semuanya sudah bersifat tertutup, sehingga tidak
bisa diikuti bahkan dihadiri masyarakat secara langsung.
Dari proses tersebut sudah dapat diketahui jika derajat
partisipasi yang ditawarkan dalam forum musrenbang
sangatlah lemah sebab forum yang dibangun hanyalah
sebatas forum sosialisasi belaka, bukan forum konsultasi
terlebih negosiasi.9
Selain tertutupnya ruang partisipasi yang disediakan
pelyanan kesehatan anak). Begitu juga yang terjadi pada program pelayanan
kesehatan ibu dan reproduksi Rp 31,59 milyar habis untuk perjalanan
dinas mencapai Rp 24 milyar (76persen). Program untuk pengembangan
anak hanya dialokasikan sebesar Rp 1 milyar yang meliputi kegiatan
pengembangan Centre of Excellent RBM, Yankes Anak Minoritas dan
terisolasi, dan Surveilans Kesehatan Anak.
9 Dari hasil penelitian FITRA di 48 kabupaten/kota yang menunjukkan
derajat partisipasi masyarakat di tingkat musrembang selalu tinggi, namun
melemah ketika memasuki tahapan lebih tinggi.Lihat Forum Indonesia
untuk Transparansi Anggaran, Local Budget Index and Local Budget Study
2010-2011.
15. 16
oleh pemerintah, masalah rendahnya derajat partisipasi
masyarakat juga berangkat dari ketidaktahuan atau
rendahnya pemahaman masyarakat terhadap anggaran
itu sendiri. Hal ini menjadi hal yang sangat krusial yang
belum pernah di sikapi oleh pemerintah. Dari hasil studi
Open Budget Index, dinyatakan bahwa rendahnya derajat
transparansi Indonesia karena salah satunya tidak adanya
Citizen’s Budget sebagai salah satu produk untuk “melek
anggaran” kepada masyarakat dalam mendorong partisipasi
masyarakat dalam penyusunan anggaran.
Dari pengalaman melakukan penelusuran anggaran
di 8 (delapan) wilayah program pencapaian MDGs
melalui Good Governance yang di laksanakan oleh tiga
lembaga, yaitu ACE, Kapal Perempuan dan JARI10
yang di
dukung oleh Kemitraan, tergambar bahwa ketidaktepatan
dalam kebijakan, perencanaan dan penganggaran daerah
akan berpengaruh langsung pada tingkat keberhasilan
pencapaian MDGs di wilayah tersebut. Sumber Pendapatan
daerah (seperti di Kebumen, Maros dan Lombok Timur)
dari tahun 2009 - 2011, selalu didominasi oleh Dana
Perimbangan, hal ini menandakan kemandirian fiskal
daerah rendah atau ketergantungan pemerintah daerah
terhadap pemerintah pusat sangat tinggi. Seumpama
dana perimbangan dihilangkan atau dikurangi dengan
10 Program Pencapaian MDGs melalui Good Goverment (Januari 2010-Juni
2012) di laksanakan oleh ACE, Kapal Perempuan dan JARI di dukung oleh
kemitraan, di 8 Kabupaten/ kota, di 8 Propinsi (Kebumen-Jawa Tengah,
Kupang-Nusa Tenggara Timur, Barito Kuala-Kalimantan Selatan, Padang
Panjang-Sumatera Barat,Mamuju- Sulawesi Barat, Kubu Raya-Kalimantan
Barat, Lombok Timu-Nusa Tenggara Barat, Maros-Sulawesi Selatan)
17
signifikan, hampir pasti stabilitas perjalanan pembangunan
daerah akan sangat terganggu.
Selain juga ditemukan alokasi anggaran di pemerintah
daerah masih jauh dari mencukupi untuk upaya-upaya
pencapaian MDGs, kemampuan dalam membiayai
kegiatan untuk pencapaian MDGs sangat kecil. Karena
Pendapatan daerah dari Dana Perimbangan seperti Dana
Alokasi Umum lebih banyak dialokasikan untuk membayar
belanja pegawai, lalu Dana Alokasi Khusus kegiatannya
sudah ditentukan oleh pemerintah pusat.
Analisis FORMASI Kebumen menyatakan bahwa :
“Anggaran Kabupaten belum berpihak kepada masyarakat
hal ini terlihat dari komponen belanja yang didominasi oleh
belanja tidak langsung yang tidak terkait langsung dengan
program dan kegiatan untuk masyarakat sedang belanja
tidak langsung alokasinya lebih banyak didominasi untuk
membayar gaji / belanja pegawai, maka tergambarkan
bahwa anggaran lebih banyak untuk membayar gaji
birokrasi dari pada untuk melaksanakan pembangunan”
Rekomendasi
Dalam konteks transparansi dan akuntabilitas, idealnya
sudah menjadi hak konstitusional rakyat untuk mengetahui
dan memperoleh semua informasi mengenai semua pos-
pos anggaran di APBN. Informasi yang tidak sekedar data/
angka makro, melainkan terperinci sebagaimana yang
terdokumentasi dalam dokumen “satuan 3”11
.Langkah
11 Satuan 3 adalah dokumen anggaran yang memuat deskripsi program dan
rincian alokasi pagu anggaran per Program, berdasarkan Unit Eselon I , dan
16. 18
ini bisa dilakukan pemerintah dengan mengumumkan
semuapos anggaran yang tercantum dalam APBN melalui
media secara terbuka yang bisa diakses publik.Langkah
semacam ini akan dapat meningkatkan akuntabilitas dan
transparansi pelaksanaan anggaran. Sebab, rakyat bisa
secara langsung menilai, mengawasi, dan mengevaluasi
penggunaan semua pos mengenai kemana sesungguhnya
uang rakyat tersebut dibelanjakan, siapa pengguna
anggarannya, dan sejauh mana hasil yang dicapai.
Dalam konteks partisipasi, Pemerintah seharusnya
menyediakan ruang-ruang keterlibatan masyarakat selama
proses penyusunan anggaran, misalnya dengan meng-
agendakan rapat dengar pendapat (hearing) dengan berbagai
kelompok atau komponen dalam masyarakat secara rutin
dan kontinyu. Dalam praktik selama ini, keterlibatan
masyarakat dalam proses penyusunan anggaran adalah
nihil, demikian pula dalam hal pengawasan pelaksanaan
anggaran. Padahal masyarakat berhak untuk tahu anggaran
dalam suatu kementerian, ke mana saja anggaran itu
diarahkan dan siapa pelaksana proyek anggaran, dan apakah
pelaksanaan anggaran sudah sesuai aturan.
Dalam konteks akuntabilitas, pengawasan anggaran
yang dimiliki oleh DPR juga tidak mempunyai kekuatan
mekanisme tindak lanjut atas hasil pemeriksaan keuangan
BPK dan hasil temuan lapangan baik daerah maupun pusat.
Praktek yang terjadi selama ini, seringkali hasil pemeriksaan
keuangan cenderung disalurkan DPR melalui mekanisme
Iingkup Satuan Kerja lingkup Kementerian/Lembaga Negara.
19
internal di institusi sendiri. Dan problem politis, dimana
independensi anggota DPR dalam melaksanakan fungsi
kontrol anggaran masih sangat ditentukan oleh arah
kebijakan fraksi/partai politik yang menaunginya.
II. Ketimpangan Akses Kesehatan
Dalam tinjauan sektor kesehatan selalu digunakan
perspektif Hak Asasi Manusia (HAM) dan gender.
Perspektif HAM merujuk pada hak-hak dasar yang dimiliki
manusia yang bersifat universal. HAM tidak tergantung
dari pengakuan manusia lain, masyarakat lain, atau bahkan
negara lain. HAM adalah hak dasar yang dimiliki manusia
sebagai anugerah Tuhan dan melekat pada diri manusia,
bersifat kodrati, universal dan abadi, berkaitan dengan
harkat dan martabat manusia. Setiap manusia diakui
dan dihormati mempunyai hak asasi yang sama tanpa
membedakan jenis kelamin, warna kulit, kebangsaan,
agama, usia, pandangan politik, status sosial dan bahasa
serta status lain.
Sedangkan perspekti gender akan membantu kita
melihat secara jelas perbedaan-perbedaan, serta mampu
menunjukkan hubungan antara konsep gender equity dan
gender equality. Gender equity adalah sebuah konsep yang
menunjukkan adanya proses yang sama bagi perempuan
dan laki-laki, serta memastikan adanya kesamaan dalam
perlakuan (fairness) terhadap perempuan dan laki-laki.
Gender equality adalah sebuah konsep yang menunjukkan
bahwa perempuan dan laki-laki memiliki kondisi setara
17. 20
untuk mengaktualisasikan hak-hak dan potensinya sebagai
manusia agar dapat menyumbangkan serta mendapatkan
manfaat dari program-program yang tersedia serta
kebijakan-kebijakan yang ada.
Gender equality merupakan bentuk pengakuan terhadap
perbedaan perempuan dan laki-laki, serta menghargai
peran yang mereka lakukan. Dengan demikian, gender
equity adalah strategi yang digunakan untuk memperoleh
gender equality. Gender equity adalah sebuah cara untuk
mencapai hasil, sementara gender equality adalah hasil yang
ingin dicapai.
Dalam hubungannya dengan perspektif gender,
Pemerintah Indonesia telah meratifikasi Konvensi
Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap
Perempuanpadatahun1984menjadiUUno.7tahun198412
.
Pengaturan ini diperkuat lagi pada tahun 1992, melalui
sidang ke-11 Komite Penghapusan Diskriminasi Terhadap
Perempuan (CEDAW) yang melahirkan Rekomendasi
Umum Nomor 19 yang menyatakan : “Kekerasan
berbasis gender adalah suatu bentuk diskriminasi yang
merupakan hambatan serius bagi kemampuan perempuan
untuk menikmati hak-hak dan kebebasannya atas dasar
persamaan hak dengan laki-laki. Rekomendasi umum ini
juga secara resmi memperluas larangan atas diskriminasi
berdasarkan gender dan merumuskan tindak kekerasan
berbasis gender sebagai: tindak kekerasan yang secara
12 Bahan ajar tentang hak perempuan: UU no. 7 tahun 1984 Pengesahan
Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap
Wanita, Yayasan Obor, 2007.
21
langsung ditujukan kepada perempuan karena ia berjenis
kelamin perempuan atau mempengaruhi perempuan
secara proposional. Termasuk di dalamnya tindakan yang
mengakibatkan kerugian atau penderitaan fisik, mental
dan seksual, ancaman untuk melakukan tindakan-tindakan
tersebut, pemaksaan dan bentuk-bentuk perampasan hak
kebebasan lainnya”.
Rekomendasi tersebut di atas menunjukkan ketim-
pangan terhadap perempuan adalah sebuah pelanggaran
HAM. Hal ini sesuai dengan Deklarasi dan Program Aksi
Wina13
(Tahun1993:Bagian1,Ayat18)yangmenyebutkan:
“Hak Asasi Perempuan dan anak perempuan merupakan
bagian yang melekat, menyatu dan tidak terpisahkan dari
hak asasi manusia yang universal. Partisipasi perempuan
sepenuhnya dan sama dalam kehidupan politik, sipil
dan ekonomi, sosial dan budaya pada tingkat nasional,
regional dan international, serta pembasmian segala bentuk
diskriminasi atas dasar jenis kelamin merupakan tujuan
yang mendapat prioritas pada masyarakat internasional”.
Permasalahan kesehatan akan dilihat dengan kerangka
berpikir yang menggunakan perspektif HAM dan gender
agar bisa diperoleh gambaran yang utuh mengenai
bagaimana kondisi kesehatan dan pengaruh upaya-upaya
yang telah dilakukan bagi kehidupan masyarakat, baik laki-
laki maupun perempuan di Indonesia.
Kesehatan sangat penting bagi pembangunan, karena
merupakan prasyarat serta indikator sekaligus hasil sebuah
13 Ibid
18. 22
capaian kemajuan dalam pembangunan sebuah negara.
Perhatian terhadap masalah kesehatan dengan menghargai
danmelindungihakasasisetiapwarga,baiklaki-lakimaupun
perempuan, dapat menjadi kekuatan yang berpotensi
mendorong kemajuan dalam upaya memenuhi prioritas
pembangunan, termasuk disini penyelesaian permasalahan
ketimpangan gender, kesehatan, ketahanan pangan dan
ketersediaan air serta anggaran seluruh aspek kesehatan agar
dapat mencapai tujuan kesejahteraan masyarakat.
Dengan demikian, tulisan atau ulasan mengenai
kesehatan adalah perlu karena sesuai dengan pasal 12
International Covenant on Economic, Social & Cultural Rights
(1966)14
, bahwa kesehatan (termasuk kesehatan reproduksi
dan seksualitas) sangat penting dalam pengembangan
potensi manusia serta pembangunan dan diakui sebagai
hak-hakasasiyangwajibdipenuhi.Selamamasihditemukan
permasalahan yang berhubungan dengan kesehatan, seperti
belum terselenggaranya dengan baik pelayanan kesehatan
bagi masyarakat atau belum terpenuhinya bagi semua
warga pengadaan air bersih, maka pembahasan mengenai
permasalahan kesehatan di Indonesia masih sangat relevan
dan beralasan kuat untuk menjadi perhatian dalam agenda
Paska 2015.
Indonesia sendiri telah berhasil menurunkan tingkat
kemiskinan sebagaimana diukur oleh garis kemiskinan
nasional sebesar 13,33 persen (2010) menuju target
14 Diambil dari web site Office of the United Nations High Commissioner for
Human Rights http://www2.ohchr.org/english/law/cescr.htm
23
8-10 persen pada tahun 2014.15
Harapannya dengan
berkurangnya tingkat kemiskinan dapat memberi dampak
pada perbaikan gizi masyarakat Indonesia. Prevalensi
kekurangan gizi pada balita telah menurun dari 31 persen
pada tahun 1989, menjadi 18,4 persen pada tahun 2007
sehingga Indonesia diperkirakan dapat mencapai target
MDG sebesar 15,5 persen pada tahun 2015.16
Dalam dua dasawarsa terakhir Indonesia telah membuat
kemajuan yang bermakna dalam upaya perbaikan gizi yang
ditunjukkan dengan menurunnya prevalensi kekurangan
gizi pada anak balita dari 31 persen pada tahun 1989
menjadi 21,6 persen pada tahun 2000. Angka prevalensi
tersebut meningkat kembali menjadi 24,5 persen pada
tahun 2005, namun pada tahun 2007 angka prevalensi
anak balita kekurangan gizi kembali menurun menjadi
18,4 persen.17
Data Riskesdas 2010 menunjukkan terjadinya
penurunan prevalensi kekurangan gizi pada anak balita
menjadi 17,9 persen.18
Dengan melihat kecenderungan ini
diharapkan target MDG sebesar 15,5 persen dapat tercapai
pada tahun 2015. Berdasarkan hal tersebut, sasaran yang
ditetapkan pemerintah dalam Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2010-2014
adalah menurunnya prevalensi kekurangan gizi (terdiri
dari gizi-kurang dan gizi-buruk) menjadi kurang dari 15
15 Laporan MDGs Bappenas, 2010, hal.5
16 Ibid
17 Riskesdas 2007
18 Riskesdas 2010
19. 24
persen.19
Gizi buruk juga menjadi penyebab utama kematian
bayi. Separuh kematian bayi dan balita didasari oleh
keadaan gizi yang buruk. Dimana anak kurang memiliki
daya tahan tubuh sehingga mudah terserang penyakit
infeksi misalnya ISPA dan diare. Dampak langsung lainnya
adalah generasi gagal tumbuh. Kekurangan gizi yang terjadi
sejak masa janin dan masa balita akan menyebabkan berat
bayi lahir rendah, anak kecil, pendek dan kurus.
Disamping gagal tumbuh, anak yang memiliki status
gizi kurang atau buruk dan pendek atau sangat pendek
(stunting) berdasarkan pengukuran tinggi badan terhadap
umur (TB/U) yang sangat rendah dibanding standar
WHO mempunyai resiko kehilangan tingkat kecerdasan
atau intelligence quotient (IQ) sebesar 10-15 poin. Dimana
ini akan mempengaruhi prestasi sekolah dan keberhasilan
pendidikan.
Dalam jangka panjang, masalah gizi pada awal
kehidupan akan menurunkan produktivitas. Literatur
terkini mengungkapkan bahwa kekurangan dan kelebihan
gizi pada usia dini akan menyebabkan gangguan metabolik,
khususnya metabolisme lemak, karbohidrat, dan protein.
Ini merupakan faktor risiko utama penyakit tidak menular
seperti penyakit jantung koroner, diabetes melitus type 2
dan stroke pada usia dewasa.
Dalam Undang-Undang Nomor 36/ 2009 tentang
19 Ibid
25
Kesehatan, secara eksplisit disebutkan bahwa tujuan
pembinaan gizi adalah tercapainya mutu gizi perorangan
dan masyarakat melalui: perbaikan pola konsumsi makanan
yang sesuai dengan gizi seimbang, perbaikan perilaku sadar
gizi, aktivitas fisik, dan PHBS ( perilaku hidup bersih
dan sehat ), serta peningkatan akses dan mutu pelayanan
gizi yang sesuai dengan kemajuan ilmu dan teknologi.
Pemerintah memiliki tanggung jawab atas pemenuhan
kecukupan gizi pada keluarga miskin.
Walaupun secara nasional terjadi penurunan prevalensi
masalah gizi pada balita, tetapi masih terdapat kesenjangan
antarprovinsi dan antara desa-kota. Terdapat 18 provinsi
yang memiliki prevalensi gizi kurang dan buruk diatas
prevalensi nasional. Masih ada 15 provinsi dimana
prevalensi anak pendek di atas angka nasional, dan untuk
prevalensi anak kurus.
Kondisi gizi balita di desa cenderung lebih buruk
daripada kota. Masalah kekurangan konsumsi energi dan
protein terjadi pada semua kelompok umur, terutama pada
anak usia sekolah (6–12 tahun), usia pra remaja (13–15
tahun), usia remaja (16–18 tahun), dan kelompok ibu
hamil, khususnya ibu hamil di pedesaan.
Akar masalah gizi adalah kemiskinan yang sangat
terkait dengan ketersediaan bahan pangan, pola makan dan
kurangnya pengetahuan tentang gizi seimbang serta belum
optimalnya program yang ada dalam mengatasi penyebab
masalah gizi kurang, stunting20
, maupun gizi lebih.
20 Stunting adalah Kondisi dimana seorang anak memiliti tinggi badan
20. 26
Dengan berbagai pendekatan dan proyek, pemerintah
telah berupaya untuk mengatasi beberapa masalah gizi dan
memenuhi ketercukupan gizi orang miskin. Namun masih
juga ditemukan banyak kasus gizi buruk, kesenjangan
antara antar provinsi maupun antara desa-kota. Beberapa
tantangan yang dapat diungkap adalah sebagai berikut:
1. Sempitnya pemahaman tentang masalah gizi baik di
pemerintahan maupun di masyarakat umum sehingga
program penanggulangan gizi buruk cenderung kurang
strategis. Hal ini dibuktikan dengan pilihan program
dalam rencana aksi daerah pangan dan gizi cenderung
ditentukan oleh sektor yang mengkoordinasikan
pembuatan rencana aksi daerah tersebut.
2. Koordinasi dan kolaborasi pemerintah pusat dengan
pemerintah daerah masih belum berjalan baik sehingga
perencanaan, implementasi dan pemantauan program
tidak berjalan lancar.
3. Ketidaksesuaian antara dokumen rencana aksi pangan
dan gizi terutama di tingkat provinsi dengan dokumen
perencanaan pembangunan yang lain seperti RPJMD,
rencana strategis daerah, rencana kerja tahunan dan
anggaran.
4. Kurangnnya sistem pemantauan dan evaluasi terkait
implementasi kebijakan tentang gizi misalnya UU 36
tentang Kesehatan 2009 dan PP 33 / 2012 tentang
Pemberian ASI Eksklusif.
dibawah normal anak seusianya akibat kekurangan asupan gizi.
27
5. Pendekatan keproyekan di bidang gizi yang kurang
terintegrasi di tingkat desa menjadi kendala dalam
mendorong partisipasi dan kemandirian warga untuk
mengambil peranan tingkat akar-rumput.
6. Pembinaan terhadap posyandu termasuk kadernya
yang dianggap strategis dalam program perbaikan
gizi ibu dan anak belum mendapat perhatian dalam
rencana aksi nasional maupun daerah
Hambatan dan tantangan yang ada memang cukup
memberi dampak pada pencapaian target MDGs. Berikut
rekomendasi untuk mencapai taget pemenuhan gizi
seimbang untuk masyarakat antara lain:
1. Penguatan program gizi yang sudah ada mulai dari
perencanaan, implementasi dan pemantauan untuk
setiap komponen program (input – proses – output –
outcome) di setiap tingkatan administrasi (mulai dari
tingkat nasional hingga desa).
2. Integrasi pembangunan gizi menjadi bagian dari
pembangunan di tingkat desa dalam kerangka
pemberdayaan daripada keproyekan.
3. Melibatkanpartisipasimasyarakatsipildalammengawal
perencanaan dan pengganggaran pembangunan gizi
pemerintah.
4. Pemerintahperlumengembangkankonseppemantauan
efektivitas kebijakan yang lebih independen yang
melibatkan masyarakat sipil misalnya LSM dan
21. 28
perguruan tinggi.
5. Integrasi pembinaan yang bisa dilakukan oleh Pokjanal
posyandu perlu diaktifkan dengan melibatkan sektor
pemerintah terkait secara lebih luas.
6. Membangun koordinasi dan kolaborasi yang lebih baik
antara pusat dan daerah , antar instansi, sektor dan
program agar memberikan dampak yang signifikan.
7. Pendidikan bagi para kader posyandu tentang gizi
yang utuh termasuk pemantauan dan penimbangan
ibu hamil, sangat penting untuk ditingkatkan terus-
menerus.
Sejak deklarasi Hak Asasi Manusia (HAM) tahun 1948,
bangsa-bangsa di dunia sepakat untuk menjamin standar
hidup dan hak hidup yang sama kepada semua bangsa dan
setiap orang. Artinya setiap manusia, termasuk manusia
yang baru lahir, berhak untuk dijamin kesehatannya dan
mendapatkan hidup yang layak. Hal ini menjadi landasan
dimasukannya target penurunan Angka Kematian Bayi
(AKB) ke dalam salah satu target MDGs.
Angka Kematian Bayi (AKB) dan Angka Kematian
Balita (AKABA) di Indonesia masih cukup tinggi dimana
lebih dari 500 balita (0-5 tahun) meninggal setiap harinya
secara rata-rata. Tahun 1990 AKB sebesar 68 per 1000
kelahiran hidup (KH). Menurut data terakhir, AKB
menjadi 34/1000 KH dan AKBa 44/1000 KH.21
Meskipun
ada penurunan sejak tahun 1990, penurunan ini masih jauh
21 SDKI 2007
29
dari target MDG tahun 2015 dimana AKB diharapkan
turun menjadi 23 dan AKA AKABA 32 per 1000 kelahiran
hidup. Sebagian besar dari penyebab kematian bayi dan
balita terjadi pada bayi baru lahir / neonatal ( umur 0 –
28 hari ). Masalah neonatal ini biasanya meliputi asfiksia
( kesulitan bernapas saat lahir ), bayi berat lahir rendah (
BBLR ), diare dan komplikasi prenatal.
Jika diperbandingkan dengan negara tetangga, kasus
kematian balita di Indonesia pertahun sangat tinggi
yakni berjumlah 200.000 per tahun. Bandingkan dengan
Malaysia yang hanya 3.694 dan Filipina yang memiliki
85.400 kasus kematian balita. Penyebab kematian utama
anak balita di Indonesia adalah: diare, pneumonia, malaria
( di daerah endemis malaria ) dan campak. Sebenarnya,
penyebab kematian ini bisa dicegah dengan imunisasi,
deteksi dini, perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) serta
penanganan yang cepat dan tepat.
Akar masalah dari rendahnya kualitas hidup bidang
kesehatan adalah kemiskinan yang menyebabkan sulitnya
mengakses layanan kesehatan, kondisi hidup yang kurang
layak, ketersediaan pangan dan tingkat pengetahuan yang
kurang memadai.
Komplikasi ini harusnya dapat dicegah, namun ter-
kendala banyaknya tantangan dan hambatan, diantaranya:
1. Tidak adanya sistem pencatatan kelahiran, kematian,
penyebab kematian yang baik.
2. Masyarakat kurang mampu tidak dapat mengakses
22. 30
pelayanan kesehatan dasar. Terlambat mendapat
penanganan medis menyebabkan hampir 70persen
kematian anak balita.
3. Kurangnya cakupan imunisasi yang dapat mencegah
sebagian besar penyakit menular.
4. Kesenjangan fasilitas dan layanan kesehatan antar
wilayah di Indonesia menimbulkan perbedaan
signifikan dalam upaya penurunan AKB.
5. Kurangnnya sistem pemantauan dan evaluasi terkait
implementasi kebijakan tentang kesehatan anak.
6. Rendahnya kesadaran orang tua untuk mencari
pertolongan tenaga kesehatan
7. Berbagai kebijakan tentang perbaikan kesehatan gizi,
diantaranya UU Kesehatan No.36 / 2009 pasal 142
serta PP 33/2012 tentang Pemberian ASI Eksklusif,
belum mampu melindungi kepentingan ibu dan bayi.
Untuk mempercepat pencapaian target penurunan
AKB di Indonesia, beberapa solusi dan rekomendasi yang
dapat dilakukan, antara lain:
1. Perlunya strategi kebijakan jangka pendek dan jangka
panjang, termasuk anggaran pembangunan bidang
ekonomi, pangan dan gizi, kesehatan, pendidikan, dan
keluarga berencana untuk meningkatkan status gizi
masyarakat.
2. Adanya sistem pencatatan bagi setiap kelahiran dan
31
kematian yang mampu diimplementasikan oleh staf
pemerintah di tingkat daerah.
3. Mendorong program imunisasi dan pola hidup sehat
untuk mencegah penularan penyakit
4. Pemerataan pembangunan kesehatan di wilayah
terpencil.
5. Ketersedian layanan kesehatan yang memadai dan
mudah dijangkau oleh ibu dan balita.
6. Memastikan adanya 1 bidan yang tinggal di 1 desa
terutama di wilayah terpencil.
7. Pemerintahperlumengembangkankonseppemantauan
efektivitas kebijakan yang lebih independen yang
melibatkan masyarakat sipil misalnya LSM dan
perguruan tinggi.
Dari semua target MDGs, kinerja penurunan angka
kematian ibu secara global masih rendah. Di Indonesia,
Angka Kematian Ibu (AKI/MMR, Maternal Mortality
Rate) menurun dari 390 pada tahun 1991 menjadi 228
per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 2007. Target
pencapaian MDGs pada tahun 2015 adalah sebesar 102
per 100.000 kelahiran hidup, sehingga diperlukan kerja
keras untuk mencapai target tersebut. Walaupun pelayanan
antenatal dan pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan
telah cukup tinggi, beberapa faktor seperti risiko tinggi
pada saat kehamilan dan aborsi perlu mendapat perhatian.22
22 Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium Indonesia 2010.
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, 2010, hal. 66
23. 32
Berdasarkanangkadiatasdiketahuibahwatargetpenurunan
AKI di Indonesia bahkan belum mencapai setengah angka
yang diharapkan.
Pertolongan persalinan dengan bantuan tenaga
kesehatan terlatih merupakan salah satu cara yang paling
efektif untuk menurunkan AKI di Indonesia. Persentase
persalinan yang ditolong oleh tenaga kesehatan terlatih
meningkat dari 66,7 persen pada tahun 2002 menjadi
77,34 persen pada tahun 2009 (Susenas). Angka tersebut
terus meningkat menjadi 82,3 persen pada tahun 2010
(Riskesdas, 2010). Disparitas pertolongan persalinan oleh
tenaga terlatih antarwilayah masih merupakan masalah.
Data Susenas tahun 2009 menunjukkan capaian tertinggi
sebesar 98,14 persen di DKI Jakarta sedangkan terendah
sebesar 42,48 persen di Maluku.23
Untuk memastikan kesehatan ibu selama kehamilan,
diperlukan pelayanan antenatal (antenatal care/ANC), yang
juga akan menjamin ibu dalam melakukan persalinan di
fasiltas kesehatan. Sekitar 93 persen ibu hamil memperoleh
pelayanan antenatal dari tenaga kesehatan profesional
selama masa kehamilan. Terdapat 81,5 persen ibu hamil
yang melakukan paling sedikit empat kali kunjungan
pemeriksaan selama masa kehamilan, namun baru 65,5
persen yang melakukan empat kali kunjungan sesuai jadwal
yang dianjurkan.
Dari data yang dijelaskan di atas, ternyata masih
banyak ditemukan tantangan dan kendala selama proses
23 Ibid, hal. 67
33
penurunan AKI di Indonesia :
1. Terbatasnya akses masyarakat terhadap fasilitas pelayan-
an kesehatan yang berkualitas, terutama bagi penduduk
miskin di daerah tertinggal, terpencil, perbatasan dan
kepulauan (DTPK).
2. Terbatasnya ketersediaan tenaga kesehatan baik dari
segi jumlah, kualitas dan persebarannya, terutama
bidan.
3. Masih rendahnya pengetahuan dan kesadaran masya-
rakat akan pentingnya menjaga kesehatan dan kese-
lamatan ibu.
4. Masih rendahnya status gizi dan kesehatan ibu hamil.
5. Masih rendahnya angka pemakaian kontrasepsi dan
tingginya unmet need.
6. Pengukuran AKI masih belum tepat, karena sistem pen-
catatan penyebab kematian ibu masih belum adekuat
Selanjutnya pemerintah juga kurang memperhatikan
kebutuhan remaja untuk mendapatkan pelayanan
kesehatan reproduksi. Dalam pelayanan promosi
kesehatan dan pemberdayaan masyarakat, dikatakan
target pemenuhannya hanyalah cakupan desa siaga aktif,
padahal banyak kebutuhan promosi kesehatan yang
menjadi kebutuhan masyarakat, khususnya remaja dalam
mendapatkan pendidikan kesehatan. Promosi kesehatan
yang menjadi salah satu pelayanan mulai dari Puskesmas
belum memiliki kewajiban untuk menyediakan pelayanan
24. 34
kesehatan reproduksi remaja.
Kurangnya pengetahuan tentang kesehatan reproduksi
ternyata berdampak positif terhadap tingginya kasus KTD
(kelahiran tidak diinginkan), baik oleh remaja maupun
perempuan yang telah menikah.24
Ketidaktahuan ini
berlanjut dengan proses pemulihan haid dengan cara yang
tidak aman. Sebagai contoh mereka mengkonsumsi jamu,
obat, atau minuman tradisional untuk pemulihan haid.
Tidaksedikityangmenggunakancarafisiksepertimelompat
dan sejenisnya untuk menggugurkan kandungan, sebagian
bahkan memilih melakukan aborsi yang tidak aman untuk
mengakhiri KTD dan tidak mengetahui cara terbaik.
Belum adanya layanan pemulihan haid yang aman
dari pemerintah memunculkan banyak praktik aborsi
tidak aman, di samping tidak adanya fasilitas bagi remaja
atau ibu yang mengalami KTD dan ingin konsultasi
untuk mengakhiri dengan cara aman. Stigma masyarakat,
bahkan petugas kesehatan, justru memojokkan posisi
dan kondisi ibu yang mengalami KTD, padahal bisa jadi
mereka yang mengalaminya merupakan korban yang
tidak menghendaki kehamilan tersebut. Jika diteliti lebih
dalam, praktik pemulihan haid dan aborsi yang tidak aman
akan menimbulkan kerugian bagi kesehatan reproduksi
perempuan, lebih parah lagi mereka bisa sampai mengalami
kematian. Tidak heran jika di Indonesia Angka Kematian
Ibu (AKI) masih cukup tinggi karena minimnya fasilitas
24 Hasil Penelitian PKBI Pusat, Fakta Kebutuhan Perempuan Terhadap
Layanan Pemulihan Haid di 13 Kota tahun 2008 – 2011. Dipresentasikan
saat Diseminasi hasil penelitian PKBI tanggal 18 Desember 2012
35
untuk mendapatkan pelayanan kesehatan reproduksi untuk
perempuan.
Terkait isu HIV/AIDS, Indonesia termasuk salah satu
negara di Asia yang pertumbuhan kasus HIV dan AIDS
relatif cepat, hal ini diungkapkan oleh UNAIDS dalam
laporannya HIV in the ASIA and the Pacific “Getting to
Zero”, pada tahun 2011. Kasus HIV/AIDS di Indonesia
pertama kali ditemukan pada tahun 1987. Sampai dengan
September 2012 kasus HIV/AIDS tersebar di 341 dari 497
kabupaten/kota di seluruh (33) provinsi di Indonesia (atau
sekitar 71 persen). Provinsi pertama yang menemukan
kasus HIV/AIDS adalah Bali di tahun 1987, sedangkan
provinsi terbaru yang terakhir melaporkan adanya kasus
HIV adalah Provinsi Sulawesi Barat pada tahun 2011.25
Tahun 2005 jumlah kasus HIV di Indonesia yang
dilaporkan sebanyak 859 kasus dan hampir selalu
meningkat setiap tahunnya, hingga tahun 2012 menjadi
15.372 kasus. Jumlah kumulatif kasus HIV yang dilaporkan
sampai dengan September 2012 sebanyak 92.251 kasus.
Jumlah kasus HIV tertinggi di DKI Jakarta (21.775 kasus),
diikuti Jawa Timur (11.994 kasus), Papua (9.447 kasus),
Jawa Barat (6.640), dan Sumatera Utara (5.935 kasus).
Kementerian Kesehatan juga memilah kasus AIDS dari
tahun 2005 jumlah kasus AIDS yang dilaporkan sebanyak
(4.774 kasus), tahun 2006 (3.439 kasus), tahun 2007
(4.434 kasus), tahun 2008 (5.134 kasus), tahun 2009
(5.458 kasus), tahun 2010 (6.476 kasus). Jumlah kumulatif
25 KEMENKES, Laporan HIV/AIDS Twiwulan III, 2012.
25. 36
kasus AIDS dari tahun 1987 sampai dengan September
2012 sebanyak 39.434 kasus.26
Selanjutnya Kementerian Kesehatan RI melaporkan
kasus HIV tersebut dari kategori usia dan jenis kelamin.
Dari Juli sampai dengan September 2012 jumlah kasus baru
HIV yang dilaporkan sebanyak 5.489 kasus. Prosentase
kasus HIV tertinggi dilaporkan pada kelompok umur 25-
49 tahun (73,7persen), diikuti 20-24 tahun (15,0persen)
dan umur kurang lebih 50 tahun (4.5persen). Rasio kasus
HIV antara laki-laki dan perempuan adalah 1:1. Prosentase
heteroseksual (50,8persen), penggunaan jarum suntik
tidak steril pada Penasun (9,4persen), dan laki laki yang
berhubungan seksual dengan laki-laki lain (7 persen).
Untuk kasus AIDS sejak Juli sampai September 2012
jumlah kasus baru yang dilaporkan sebanyak 1.317 kasus.
Prosentase tertinggi pada kelompok umur 30-39 tahun
(40,7persen), diikuti 20-29 tahun (29,0persen) dan 40-49
tahun (17,3persen). Rasio kasus AIDS antara laki-laki dan
perempuan adalah 2.1. Jumlah kasus tertinggi terjadi di
Provinsi DKI Jakarta (648), Jawa Tengah (140), Bali (102),
Jawa Barat (80) and Kepulauan Riau (78). Prosentase faktor
resiko AIDS tertinggi adalah hubungan seks tidak aman
pada heteroseksual (81,9persen), pengguna jarum suntik
tidak steril pada penasun (7.2persen), dari ibu (positif
HIV) ke anak (4,6persen), dan lelaki yang berhubungan
seks dengan lelaki lain (2,8persen).27
26 Ibid.
27 KEMENKES, Laporan HIV/AIDS Twiwulan III, 2012
37
Dari data tersebut di atas dapat dibaca bahwa kasus
HIV/AIDS meningkat setiap tahunnya. Tidak hanya pada
kaum laki-laki tetapi juga pada perempuan. Kerentanan
perempuan terhadap HIV disebabkan oleh berbagai faktor,
di antaranya ketimpangan gender yang berakibat pada
ketidakmampuan perempuan untuk mengontrol perilaku
seksual suami atau pasangan seksualnya. Kurangnya
pengetahuan serta akses untuk mendapatkan informasi
dan pelayanan pengobatan kesehatan seksual, kesehatan
reproduksi serta HIV/AIDS juga menjadi penyebab
tingginya kasus pada perempuan.
Upaya mencegah penularan HIV dilakukan dengan
program Preventing Mother To Child Transmission
(PMTCT), ditujukan kepada ibu rumah tangga,
perempuan pekerja seks, perempuan pengguna narkoba
suntik dan buruh migran dengan memperhatikan HAM
dan layanan yang sensitif gender. Layanan PMTCT terdiri
dari empat strategi, yaitu: (a) mencegah penularan HIV
pada perempuan usia produktif, (b) mencegah kehamilan
yang tidak direncanakan pada perempuan HIV positif,
(c) mencegah penularan HIV dari ibu hamil HIV positif
ke bayi yang dikandungnya, (d) memberikan dukungan
psikologis, sosial dan perawatan kepada ibu HIV positif
beserta bayi dan keluarga.28
Hingga akhir tahun 2011, layanan PMTCT telah
tersedia di 90 rumah sakit rujukan yang terdapat di ibukota
provinsi dan kota-kota besar, serta telah diakses oleh 1.862
28 Laporan HIV/AIDS, KEMENKES, 2011.
26. 38
perempuan dengan HIV di Indonesia. Namun demikian
rumah sakit yang merupakan rujukan layanan PMTCT
belum semua melakukan penatalaksanaan medis dan
manajemen yang baik kepada perempuan terinfeksi HIV.
Dalam Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan
Millenium Indonesia (MDGs) tahun 2010 disebutkan
terjadi peningkatan jumlah infeksi HIV baru. Sepanjang
periode 1996 sampai dengan 2006, angka kasus HIV
meningkat sebesar 17,5persen dan diperkirakan bahwa ada
sekitar 193.000 orang yang saat ini hidup dengan HIV
di Indonesia. Epidemi AIDS umumnya terkonsentrasi
pada populasi berisiko tinggi di sebagian besar wilayah
Indonesia dengan estimasi nasional untuk prevalensi orang
dewasa dengan AIDS 0,22persen pada tahun 2008. Papua
dan Papua Barat mengalami pergeseran ke generalized
epidemic dengan prevalensi 2,4persen pada usia 15-49
tahun. Sementara itu, jumlah kumulatif kasus AIDS terus
meningkat. Ditemukan 19.973 kasus pada tahun 2009,
artinya lebih dari dua kali lipat jumlah kumulatif pada
tahun 2006 sebesar 8.194.29
Kemudian berkenaan dengan air dan sanitasi, bahwa
tujuan tujuh target ke-10 dalam MDGs ialah menurunkan
hingga separuhnya proporsi penduduk tanpa akses
terhadap sumber air minum yang aman dan berkelanjutan,
serta fasilitas sanitasi dasar pada 2015. Dalam upaya
pencapaian target MDGs tersebut, Pemerintah Indonesia
29 Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan
Pembangunan Nasional (BAPPENAS), 2010,
39
dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional
(RPJMN) bidang Air Minum dan Penyehatan Lingkungan
(AMPL) 2010-2014 memiliki target untuk meningkatkan
akses air minum bagi 70 persen penduduk pada akhir 2014.
Selain itu pemerintah juga menargetkan untuk
kondisi stop BABS (Buang Air Besar Sembarangan) dan
menyediakan akses sistem pengelolaan limbah untuk
90 persen penduduk. Dalam hal pengelolaan sampah,
pemerintah memiliki target 80 persen rumah tangga di
perkotaan memiliki akses terhadap pengelolaan sampah
serta menurunkan luas genangan (potensi banjir) sebesar
22.500 hektar di 100 kawasan strategis kota.30
Proporsi rumah tangga dengan akses air minum layak
meningkat dari 37,73 persen pada tahun 1993 menjadi
47,71 persen pada tahun 2009. Sementara itu, proporsi
rumah tangga dengan akses sanitasi layak meningkat dari
24,81persen (1993) menjadi 51,19 persen (2009). Pada
praktiknya, pencapaian penyediaan sarana air bersih dan
sanitasi belum mampu dicapai, baik dalam target MDGs
maupun RPJMN. Hingga tahun 2012 capaian sarana air
minum masih di angka 44,19 persen dan cakupan akses
pengelolaan air limbah masih 55,53persen. Hal yang sama
juga terjadi untuk drainase (55 persen dari target 100
persen) dan pengelolaan sampah (42,9 persen dari target 80
persen).31
(lihat lampiran, grafik 7: Target dan Pencapaian
Infrastruktur Air Minum dan Sanitasi).
30 RPJMN 2010 - 2014
31 Bappenas, 2012
27. 40
Kondisi diatas terjadi karena beberapa faktor,
diantaranya: (1) belum memadainya perangkat peraturan
yang mendukung penyediaan air minum dan pengelolaan
sanitasi (2) masih terbatasnya lembaga yang kredibel dan
profesional (3) kualitas perencanaan penyediaan layanan
air minum dan pengelolaan sanitasi masih rendah, serta (4)
terbatasnya pendanaan untuk mendukung seluruh aspek
penyediaan air minum dan pengelolaan sanitasi.32
Rekomendasi bagi pelayanan kesehatan pasca 2015:
1. Memasukan fasilitas pelayanan kesehatan reproduksi
(melalui pendidikan kesehatan reproduksi) terlebih
untuk perempuan, kelompok difable (berkebutuhan
khusus), ODHA (Orang Dengan HIV/AIDS), dan
mereka yang berada di Daerah Terpencil Kepulauan
dan Perbatasan (DTPK) ke dalam indicator SPM
2. Mengupayakan tersedianya layanan kesehatan
reproduksi di Puskesmas untuk semua warga, termasuk
fasilitas konsultasi KTD hingga pelayanan pemulihan
haid yang aman
3. Membentuk peer conseling untuk remaja di setiap
jenjang pendidikan terkait kesehatan reproduksi
4. Menghapus praktik aborsi tidak aman karena akan
meningkatkan peluang tingginya AKI di Indonesia
5. Melakukan pendekatan cultural kepada masyarakat
untuk bisa merubah pola pikir agar menganggap
32 Lampiran Pidato Kenegaraan Presiden RI dalam HUT Proklamasi
Kemerdekaan RI ke-67, 2012
41
permasalahan kespro, khususnya kespro remaja
merupakan masalah bersama sehingga tidak lagi
menekannya sebagai hal yang tabu untuk dibicarakan
III. Lingkungan: Bencana Ekologis dan Konflik
Berkepanjangan
Persoalan atau krisis lingkungan hidup dan sumber daya
alam yang terjadi di level nasional tidak dapat dilepaskan
dari sistem ekonomi politik global dimana korporasi,
lembaga keuangan, termasuk negara di dalamnya saling
berkolaborasi demi pelanggengan kekuasaannya. KTT
Pembangunan Berkelanjutan di Rio de Janeiro (Rio +20)
dan KTT Perubahan Iklim COP 18 di Doha menegaskan,
bagaimana pengaruh korporasi semakin menguat dalam
penentuan berbagai kebijakan negara yang seharusnya
bertanggung jawab melindungi warga negara dan
lingkungan hidupnya.
KTT Rio +20 menjadi titik balik yang mengecewakan
bagi masyarakat sipil dunia dan menjadi satu catatan
sejarah terburuk inkosistensi pemerintahan negara-negara,
yang pada dua dekade sebelumnya, telah mencanangkan
upaya global mewujudkan dunia yang lebih adil dan
berkelanjutan.KTTRio+20menampilkanketidakpedulian
para pemimpin-pemimpin negara maju dalam mendorong
agenda pembangunan berkelanjutan.33
33 Para pemimpin tersebut menyerahkan kepemimpinan untuk agenda
pembangunan berkelanjutan ini kepada korporasi. Dalam pertemuan
KTT Rio +20 ini lebih dari 1000 perwakilan bisnis besar hadir dan
dengan kekuatan lobby yang luar biasa berhasil memasukkan kepentingan-
kepentingan mereka dalam KTT ini.
28. 42
Sementara Pertemuan COP ke-18 dari United Nations
Framework Conference on Climate Change (UNFCCC) -
KTT Perubahan Iklim di penghujung tahun 2012 lalu juga
masih menunjukkan hal yang mengecewakan. Perjanjian
iklim global kali ini diselenggarakan di tengah pesimisme,
bahwa proses negosiasi akan membawa resolusi untuk
mengatasi perubahan iklim secara adil, terutama bagi
negara-negara miskin dan berkembang yang paling rentan
dan tidak siap menghadapi dampak perubahan iklim.
Salah satu hal yang menjadi pembahasan utama
adalah perdebatan mengenai perdagangan karbon (offset),
dimana negara-negara industri Annex-1 dengan gencarnya
mendorong perdagangan karbon dengan skema offset
sementara negara-negara non-Annex-1 menolak dengan
tegas.34
PemerintahIndonesiadalamkonferensikaliinijustru
mengambil langkah mendukung penuh mekanisme pasar
dengan skema offset (perdagangan karbon) sebagaimana
yang diinginkan oleh negara-negara industri.35
Negara-
negara industri tanpa keraguan menunjukkan keengganan
melaksanakan kewajiban penurunan emisi, padahal untuk
mencegah memburuknya dampak perubahan iklim
terutama bagi negara-negara berkembang dan miskin,
penurunan emisi oleh negara-negara industri maju adalah
suatu keharusan.
Tantangan ini membutuhkan strategi baru untuk
pembangunan pasca 2015. Kita harus mendapatkan
34 atau setidaknya tidak menyatakan dukungan secara eksplisit.
35 Lihat: http://www.mongabay.co.id/2012/12/05/lupakan-masalah-
kehutanan-ri-malah-dagang-karbon-di-doha/
43
suatu visi baru pembangunan secara menyeluruh,
berdasarkan pada filosofi yang selaras dengan alam.
Hal ini membutuhkan suatu transformasi sosial yang
mendalam yang mengharuskan redistribusi radikal atas
kepemilikan, akses dan kontrol atas sumber daya produktif
dalam mencapai kehidupan yang lebih bermartabat. Juga
dibutuhkan reorientasi produksi dan konsumsi untuk
memenuhi kebutuhan masyarakat dan potensi manusia
dalam batas-batas lingkungan ketimbang memaksimalkan
keuntungan jangka pendek.
Pembaharuan tata kelola sumber-sumber kehidupan
dan ruang hidup harus disertai dengan perubahan yang
mendasar pada sistem pendukungan dan desentralisasi
kewenangan. Tata kelola sumber daya alam kepulauan
Indonesia dalam konsepsi pembangunan berkelanjutan,
harus bisa menjamin kedaulatan pangan, kecukupan air,
kemandirian energi dan keberlanjutan mata pencaharian
dalam kerentanan perubahan iklim dan bencana ekologi.
Pembangunan harus mampu menjamin keadilan
sosio-lanskap, penghormatan terhadap keberagaman,
kemandirian dan kemartabatan budaya komunitas.
Pembangunan berkelanjutan harus diletakkan sebagai
kebutuhandanaspirasimanusiakinidanmasadepan.Karena
itu prinsip HAM seperti hak-hak ekonomi, sosial, budaya,
dan hak atas pembangunan dapat membantu memperjelas
arah dan orientasi perumusan konsep pembangunan yang
berkelanjutan. Secara lebih kongkrit tidak bisa disangkal
bahwa hak manusia atas lingkungan hidup yang sehat dan
29. 44
baik, menjadi kebutuhan mendesak sebagai bagian dari
HAM. Hak atas pembangunan tidak lepas dari ketentuan
bahwa proses pembangunan haruslah memajukan
martabat manusia, dan tujuan pembangunan adalah demi
kemajuan yang terus menerus secara berkelanjutan untuk
kesejahteraan manusia secara adil merata
Pendekatan pembangunan selama ini cenderung
mengutamakan kawasan perkotaan dari pedesaan, sehingga
kawasan pedesaan tertinggal jauh dari pembangunan
perkotaan. Pendekatan pembangunan juga cenderung
mengutamakan wilayah daratan dari lautan, sehingga
pembangunan kelautan sangat tertinggal dan cenderung
menjadi obyek penyelesaian masalah darat (misalnya
sampah dan limbah). Bagi masyarakat lokal, tata kelola
sumberdaya alam (laut dan daratan) tidak sekedar
bagaimana mereka mengelola sumber kebutuhan fisik,
melainkan juga terkait dengan ruang hidup dan sumber
inspirasi dalam membangun kebudayaan dan peradaban
mereka.
Pengelolaan SDA yang terkotak-kotak dalam wilayah
administrasiyangkecil-kecilseringkalilebihsempitdaripada
ekosistem serta menimbulkan konflik antardaerah. Padahal
daya dukung SDA per daerah administratif tidak mampu
mendukung pembangunan dan kehidupan jangka panjang,
sehingga diperlukan kerjasama antardaerah untuk mencapai
kesejahteraan bersama dan keberlanjutan sistem penyangga
kehidupan. Begitu juga pendekatan pengelolaan SDA
yang sektoral seperti pertanian, kehutanan, pertambangan,
45
industri dan kelautan, penyebab terjadinya perebutan SDA,
dan tumpang tindihnya kebijakan di antara sektor-sektor
tersebut.
Dari segi keadilan sosial, kebijakan-kebijakan yang ada
bersifat atas-bawah (top-down) dan tidak memperhatikan
budaya setempat. Kebijakan pengelolaan SDA selama ini
cenderung bersifat sentralistik, elitis, paternalistik dan
eksploitatif, sehingga menimbulkan kerusakan SDA dan
lingkungan hidup serta kesenjangan ekonomi dan sosial
antar pusat dan daerah, antara kelompok masyarakat,
antarsektor dan antarkawasan.
Terkotak-kotaknya wilayah ekosistem ke dalam wilayah
administrasi dan sektoral menyebabkan banyak kelompok
masyarakat setempat terganggu kehidupan ekonominya.36
Pendekatan pembangunan saat ini cenderung seragam,
sementara kemajemukan sosial budaya adalah kenyataan,
sehingga pembangunan tidak sesuai dengan kebutuhan dan
karakteristik lokal. Hal ini menyebabkan pembangunan
tidak efektif, tidak efisien dan boros, serta menimbulkan
banyak konflik sosial.
Negara tidak mengakui dan memberi ruang bagi
penguasaan SDA oleh masyarakat, baik secara individual
maupun komunal, khususnya kepemilikan pada hutan
alam, sumber daya mineral dan kawasan perairan laut.
Hal ini menyebabkan konflik akibat klaim negara atas
36 Seperti masyarakat pemburu dan peramu, peladang berpindah dan nelayan
tradisional; serta terganggu kebudayaannya seperti sistem pengetahuan,
mata pencarian hidup, teknologi, religi, institusi dan norma-norma
sosialnya.
30. 46
penguasaan SDA dengan masyarakat secara individual
maupun komunal. Padahal model pengelolaan SDA yang
selama ini dipraktikkan oleh rezim yang mengakibatkan
kerusakan lingkungan hidup yang dirasakan oleh semua
makhluk hidup.
Keadaan ini semakin diperparah karena UU terkait
sumber daya alam dan lingkungan hidup di Indonesia saling
bertentangandantidaksinkron,baikdenganperaturanyang
lebih tinggi maupun dengan sesama UU maupun peraturan
di bawah UU. Sedikitnya ada lima undang-undang yang
secara sistematis telah memberikan kewenangan yang
luas, bahkan terlampau luas, kepada pemerintah atas
sumber-sumber agraria, namun kewenangan yang ada
tidak dibarengi dengan semangat Undang-undang Dasar
1945 dan Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) 1960,
yaitu; Undang-undang No. 41/1999 tentang Kehutanan,
Undang-undang No. 18/2003 tentang Perkebunan,
Undang-undang No. 7/2004 Sumber Daya Air, Undang-
undang No. 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir
dan Pulau-Pulau Kecil, dan Undang-undang No. 4/2009
tentang Mineral dan Batubara.
Di tengah situasi carut-marutnya kebijakan tersebut
kemudian hadir Perpres 3/2011 tentang Masterplan
Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi
Indonesia (MP3EI) sebagai kelanjutan dari pertemuan
Infrastructur Summit di Bali yang masih mengutamakan
ekstraksiSDAdimanaternyatatidakmemilikisafeguarddan
sangat membahayakan bagi lingkungan dan keselamatan
47
rakyat. MP3EI tidak disusun untuk mengkoreksi
berbagai kebijakan dan memperbaiki berbagai persoalan
kerusakan dan kejahatan lingkungan yang diakibatkan oleh
pembangunan.37
Hal ini bukan saja bertentangan dengan
komitmen pemerintah.
Dalam MP3EI tidak terlihat visi nasionalismenya, dan
kepentingansiapayangdiusungkarenatidakmencerminkan
kebutuhan rakyat. Untuk menopang MP3EI kemudian
pemerintah mengeluarkan berbagai kebijakan seperti: UU
PengadaanTanah untuk Pembangunan, Perpres No. 3/2012
tentang Rencana Tataruang Pulau Kalimantan dan Perpres
No. 13/2012 tentang Rencana Tataruang Pulau Sumatera.
Regulasi ini mengindikasikan semakin kuatnya tekanan
modal dan negara dalam upaya menggunakan sumber
daya alam guna kepentingan ekonomi semata dan kurang
menempatkan posisi masyarakat maupun implikasinya
bagi masyarakat dalam kawasan dan sekitar kawasan hutan.
Lebih dari 91 persen konflik sumber daya alam di
Indonesia terjadi antara masyarakat dengan perusahaan.
Pemicu utamanya adalah pertentangan klaim wilayah
antara masyarakat dengan pemegang izin. Tidak hanya
menelan harta, konflik perebutan sumber daya alam telah
merenggut korban jiwa dan sumber kehidupan utama
masyarakat. Konflik sumber daya alam sebagai salah satu
wilayah dengan pelanggaran HAM yang paling serius
di Indonesia. Hingga saat ini, para pelaku kekerasan dan
37 sementara UU 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup diabaikan
31. 48
pembunuhan tidak tersentuh oleh proses hukum yang
memadai.
Penghancuranlingkunganjugadisebabkanolehindustri
tambang. Hal ini disebabkan oleh adanya pelemahan
regulasi di sektor tambang. Upaya perlindungan dari
ancaman pertambangan hanya menjadi diskursus di meja
diskusi dan seminar, sementara rakyat lingkar tambang
terus menjadi korban. Bukti pelemahan regulasi tersebut,
misalnya, dibiarkannya Newmont membuang limbah
tailing ke laut yang secara fakta telah merusak ribuan mata
pencarian nelayan diTeluk Senunu. Padahal secara legal izin
pembuangan tailing sudah berakhir, namun Pemerintah
melalui KLH memperpanjang izin pembuangan limbah.38
Tidak diprosesnya secara hukum oleh KLH berbagai
tindakan kejahatan lingkungan hidup: Informasi AMDAL
palsu, penimbunan limbah B3 dekat sawah di Kerawang,
impor limbah B3, dan seterusnya.
Ditengah aturan dan penegakan hukum lingkungan
hidup yang lemah, Kementerian Lingkungan Hidup
pada tahun 2012 kembali mengeluarkan Proper (Program
Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan). Penilaian lebih
banyak mengandalkan data swapantau perusahaan
(Dokumen Rencana Pengelolaan-Pemantuan Lingkungan).
Perusahaan perusak lingkungan mendapatkan peringkat
38 Hal ini diperkuat dengan diperbolehkannya perusahaan membuang
limbah tambang ke laut Teluk Senunu oleh putusan PTUN Jakarta Pusat.
Sementara Oseanografi LIPI, tidak mau mengungkapkan hasil penelitian
di bawah laut tersebut. Alasan penelitian dibiayai dan hak cipta jadi milik
perusahaan tambang.
49
baik (emas, hijau, biru) karena aturan yang mengatur
kejahatan lingkungan lemah dan mengandalkan informasi
sepihak pelaku yang dinilai. Dan bila masyarakat
menggugat perusahaan atas tindak pengerusakan
lingkungan, perusahaan akan menunjukkan surat
keterangan berkelakukan baik atau PROPER tersebut
untuk membungkam kritik.
Sampai hari ini, 121.74 juta hektar (setara 88 persen)
kawasan hutan belum dipastikan batasnya. Dengan
demikian, dapat disimpulkan bahwa kawasan hutan yang
ada selama ini, yang dijadian alasan pemerintah untuk
mengusir rakyat, adalah ilegal dan tidak sesuai dengan
ketentuan yang berlaku. Padahal ada masalah besar, sebab
dalam kawasan hutan yang ditunjuk secara sepihak tersebut,
terdapat sedikitnya 33.000 desa yang penduduknya setiap
hari rawan mengalami kriminalisasi, penggusuran dan
pengusiran paksa dengan dalih kawasan hutan.
Kerusakan lingkungan sangat terkait dengan
pengelolaan hutan dan perkebunan yang menjadi masalah
perusaklingkunganyangtertinggi.Haltersebutdikarenakan
kebijakan di tingkat nasional antara lain dengan keluarnya
PP Nomor 60 dan PP Nomor 61 tahun 2012 tentang tata
cara perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan.
Kedua PP ini menjadi alat pemutihan atas izin-izin yang
terlanjur diberikan untuk usaha pertambangan dan usaha
perkebunan yang melanggar tata ruang dan peraturan
kehutanan.39
Selain pemberian izin perambahan hutan
39 Saat ini PP tersebut sedang dalam proses untuk diajukanan dalam judicial
32. 50
yang mencapai 30 juta hektar (per juni 2012), Kementerian
Kehutanan juga memproses pelepasan kawasan hutan
mencapai 12 juta hektar di 22 provinsi yang menjadi
sasaran ekspansi perkebunan kelapa sawit dan tambang.40
Sumber: Forest Watch Indonesia 2011
Pelepasan kawasan hutan besar-besaran di Riau,
Kalteng, Maluku dan beberapa provinsi lain disamarkan
dengan penunjukan kawasan hutan di Papua yang mencapai
6 juta hektar. Tidak berlebihan bila kecurigaan muncul
bahwa penataan ruang yang diwajibkan kepada seluruh
daerah ditunggangi oleh pengusaha perkebunan dan
review ke Mahkamah Agung
40 Ada hal yang menarik pada review kawasan hutan ini, dimana luas pelepasan
kawasan hutan yang diajukan oleh 22 gubernur dengan dalih penyesuaian
tata ruang ini sama persis dengan jumlah kawasan hutan yang beralih fungsi
yakni seluas 12.357.071 hektar. Persamaan luas yang persis pada perubahan
fungsi dan peruntukan ini, menunjukan bahwa pengeluaran keputusan
tersebut tidak berdasarkan pertimbangan dampak penting dan daya dukung
lingkungan melainkan permainan angka tabulasi oleh kelompok tertentu
dalam kementerian kehutanan atau bersama DPR RI, ketika merumuskan
rekomendasi keputusan pelepasan kawasan hutan.
51
pertambangan untuk meloloskan kepentingannya melalui
usulan review kawasan hutan ini. Selain modus operandi
dengan memanfaatkan proses tata ruang, Kementerian
Kehutanan juga telah melepaskan kawasan hutan untuk
perkebunan secara langsung hingga 5 juta hektar dan proses
izin prinsip untuk perkebunan pada kawasan HPK sebesar
1 juta hektar serta izin pinjam pakai untuk pertambangan
yang mencapai 3 juta hektar meliputi izin eksplorasi,
prinsip dan produksi. Bila dicermati pada pemberian izin
pengelolaan hutan, pelepasan dan pinjam pakai, maka
pemerintah Indonesia telah mengalokasikan peruntukan
kawasan hutan Indonesia kepada pengusaha hingga 50,4
juta hektar atau 38.4 persen dari luas hutan Indonesia.41
Politik pengelolaan hutan yang transaksional oleh
rejim SBY-Boediono melalui moratorium kawasan hutan
melalui penerbitan PIPIB (peta indikatif penerbitan izin
baru) yang setiap 6 bulan mengalami revisi. Pada modus
ini kita melihat bahwa proses moratorium yang seharusnya
dijalankan untuk menertibkan pengelolaan kawasan hutan
dan penyelesaian konflik, justru mengalami penyimpangan
dengan dikeluarkannya beberapa wilayah dari PIPIB pada
setiap revisinya. Setidaknya selama tiga kali revisi PIPIB,
Menteri Kehutanan telah mengakui pengelolaan oleh pihak
ketiga terhadap kawasan hutan seluas 4,2 juta hektar, justru
mengabaikan kewajibannya untuk melakukan penegakan
hukum dan sanksi kepada pihak ketiga yang sudah berada
dalam kawasan hutan.
41 Lihat Environmental Outlook WALHI 2013
33. 52
Menariknya, moratorium selama dua tahun yang
menjadi andalan pemerintah ini, terbukti tidak mampu
mengatasi carut marutnya pengelolaan sumber daya alam
di sektor kehutanan. Moratorium yang sangat singkat ini
dinilai oleh WALHI dan organisasi lingkungan lainnya
menjadi kemubaziran karena dia tidak dapat menyelesaikan
problem pokok kehutanan yakni tata kelola kehutanan yang
tidak berpihak kepada rakyat dan lingkungan, dan konflik
tenurial di sektor kehutanan yang tidak terselesaikan.
Tingginya konflik kehutanan menunjukan bahwa
buruknya tatakelola hutan di Indonesia. Ini juga bisa
diartikan bahwa, tata kelola kehutanan Indonesia masih
berpihak kepada kepentingan pemodal, bukan rakyat yang
sumber kehidupannya salah satunya ada di hutan.
Bencana Ekologis dari tahun ke tahun juga terus
meningkat. Bencana ekologis merupakan sebuah bencana
yang diakibatkan oleh salah urusnya negara dalam
pengelolaan sumber daya alam. Tahun 2012, WALHI
mencatat telah terjadi 503 kali banjir dan longsor yang
menewaskan 125 orang. Sedangkan kebakaran hutan
dan lahan yang terjadi sepanjang tahun 2012 telah
memusnahkan hutan, kebun dan lahan seluas 11.385
Hektar.
Pencemaran dan pengrusakan lingkungan, ditambah
dengan land use change (alih fungsi lahan) semakin
menghabisi sumber pangan petani. Degradasi dan
ancaman keberlangsungan produksi pangan terjadi di
53
berbagai daerah oleh berbagai faktor. WALHI mencatat
bahwa ancaman terhadap sumber-sumber pangan rakyat
terjadi akibat alih fungsi lahan, pencemaran, degradasi dan
kerusakan lingkungan. Hal ini disebabkan oleh pembukaan
pertambangan, perkebunan besar, pariwisata, industri dan
pembangunan infrasturuktur di areal tanaman pangan dan
atau daerah penyangganya.
Jawa sebagai produsen pangan terbesar terancam oleh
maraknya industri, infrastruktur besar dan perumahan
yang dibangun di atas lahan pertanian. Hal ini seperti
terjadi dibasis pertanian rakyat di Bekasi, Karawang,
Subang (industri dan pemukiman dan infrastruktur),
Bogor (perumahan mewah, vila dan pariwisata), Sukabumi
(industri dan pemukiman), dan Sumedang (Waduk). Hal
serupa banyak terjadi di Banten, Jawa Tengah, Jogjakarta
dan JawaTimur. Di luar Jawa, jumlah lahan terkonversi dan
atau kehilangan daya dukung lingkungannya disebabkan
oleh izin dan usaha pertambangan (Maluku Utara, NTT,
Bengkulu, Sumatera barat, Kalimantan Timur, Kalimantan
Selatan, Aceh, Bangka Belitung). Selain konversi lahan,
trend perubahan jenis tanaman pangan kepada jenis
tanaman perkebunan seperti sawit dan tanaman kayu
industri juga marak terjadi.
Akibat pengutamaan penggunaan SDA kepada
pengusaha juga berakibat merebaknya konflik agraria
dan SDA. Di Indonesia, konflik agraria telah membuat
keprihatinan banyak pihak karena seringkali konflik
tersebut menimbulkan jatuhnya korban jiwa. Dalam
34. 54
setiap penanganan konflik agraria yang ada, pemerintah
lebih banyak berkutat pada unsur-unsur pidana dalam
penanganan konflik, namun akar persoalannya tertinggal
jauh di belakang tanpa penyelesaian sehingga konflik setiap
saat dapat meletup kembali. Kejadian konflik agraria yang
berulang dan meluas dengan jumlah korban yang terus
meningkat telah memberikan kesaksian kepada publik
bahwa konflik agraria adalah konflik yang paling tinggi
frekuensinya di Indonesia.
Dalam tiga tahun terakhir ini, grafik kejadian konflik
agraria di tanah air terus menunjukkan peningkatan. Jika
di tahun 2010 terdapat sedikitnya 106 konflik agraria
di berbagai wilayah, kemudian di tahun 2011 terjadi
peningkatan drastis, yaitu 163 konflik agraria, yang ditandai
dengan tewasnya 22 petani/warga di wilayah konflik
tersebut, maka sepanjang tahun 2012 ini, KPA mencatat
terdapat 198 konflik agraria di seluruh Indonesia. Luasan
areal konflik mencapai lebih dari 963.411,2 hektar, serta
melibatkan 141.915 kepala keluarga (KK) dalam konflik-
konflik yang terjadi.
Sementara catatan kekerasan terhadap petani sepanjang
tahun2012,adalah156petaniditahan,55orangmengalami
luka-luka dan penganiayaan, 25 petani tertembak, dan
tercatat 3 orang telah tewas dalam konflik agraria.
Dari 198 kasus yang terjadi di tahun 2012, terdapat 90
kasus terjadi di sektor perkebunan (45 persen); 60 kasus
di sektor pembangunan infrastruktur (30 persen); 21 kasus
55
di sektor pertambangan (11 persen); 20 kasus di sektor
kehutanan (4persen); 5 kasus di sektor pertanian tambak/
pesisir (3persen); dan 2 kasus di sektor kelautan dan wilayah
pesisir pantai (1 persen).
Dengan melihat pada catatan KPA, sepanjang
pemerintahan Presiden SBY, sejak tahun 2004 hingga
sekarang, telah terjadi 618 konflik agraria di seluruh
wilayah tanah air. Konflik ini telah menewaskan 44 orang,
areal konflik seluas 2.399.314,49 hektar, dan melibatkan
731.342 KK. Dalam sepanjang kekuasaannya tercatat
941 orang ditahan, 396 luka-luka dan 63 diantaranya
mengalami luka serius karena peluru aparat.
35. 56
Sumber: Diolah dari dokumentasi WALHI, 2012
Mengenai siapa aktor perusak lingkungan, berdasarkan
analisis yang dilakukan WALHI, bahwa aktor perusak
lingkungan hidup yang tertinggi adalah korporasi terutama
yang berinvestasi di sektor tambang dan perkebunan.
Kedua, adalah pemerintah. Dan ketiga adalah kombinasi
antara korporasi dan pemerintah, serta terakhir adalah dari
masyarakat.
Temuan ini juga semakin memperkuat CSO untuk
terus mendesak tanggungjawab korporasi terhadap
kejahatan lingkungan yang telah dilakukan. Dari data di
atas terlihat adanya kolaborasi korporasi dan pengurus
negara yang memperkuat analisis sebelumnya bahwa
persoalan lingkungan tidak bisa dilepaskan dari keterikatan
atau konsolidasi yang semakin menguat antara kepentingan
modal dengan kekuasaan. Sedangkan masyarakat sebagai
pelaku ditemukan pada tambang-tambang inkonvensional
57
dengan tingkat resiko yang tinggi, dan proses pembiaran
yang dilakukan oleh pemerintah tanpa memberikan
alternatif sumber penghidupan yang lain.
Sumber: Diolah dari dokumentasi WALHI, 2012
Data ini sekaligus mematahkan asumsi atau stigma
bahwa aktor perusak lingkungan adalah orang miskin,
bahwa kemiskinan sebagai penyebab dari kerusakan
lingkungan.
Masih berdasarkan hasil riset media dari WALHI,
disebutkan, bahwa sasaran protes yang dilakukan oleh
masyarakat sipil yang sebagian besar dilakukan oleh LSM/
NGO dan masyarakat adalah pemerintah, hal ini terkait
dengan berbagai kebijakan yang dikeluarkan pengurus
36. 58
negara baik di tingkat nasional maupun daerah. Desakan
perubahan menjadi agenda utama yang terus didorong
oleh aksi protes masyarakat. Hal ini menunjukkan relasi
antara kebijakan yang dikeluarkan negara dengan persoalan
lingkungan yang dihadapi oleh masyarakat. Kebijakan
justru menjadi legitimasi bagi korporasi untuk melakukan
kejahatan dengan “stempel” dari pemerintah melalui
perundang-undangan, regulasi dan pemberian izin.
Sasaran protes berikutnya adalah korporasi atau
perusahaan di wilayah konsesinya, yang menjadi sasaran
protes warga. Ini menunjukkan bahwa sesungguhnya
masyarakat mulai “melek” dengan hak-haknya dan juga
mulai mengerti dengan hukum, dan mulai paham dengan
akar persoalan yang dialami, juga mengetahui siapa aktor
dan kepentingannya.42
Ini tidak bisa dilepaskan dari kerja-
kerja yang dilakukan oleh masyarakat sipil untuk terus
menerus melakukan pendidikan kritis kepada masyarakat
melalui pengorganisasian di kampung-kampung.
Melihat dari fakta-fakta krisis dan berbagai peristiwa
bencana ekologis yang terjadi, kita tidak mungkin
menunggu waktu yang lebih lama untuk menghentikan
42 Dengan informasi yang semakin terbuka, rakyat juga semakin tahu dengan
hak-haknya, termasuk hak atas lingkungan. karena itulah, dimana-mana
dari ujung timur sampai ujung barat negeri ini, perlawanan rakyat terjadi
untuk menyuarakan keadilannya, termasuk didalamnya keadilan ekologis.
Menariknya, semangat perlawanan para pembela lingkungan dan hak asasi
manusiaitujugatidakberkurangditengahlemahnyanegaramelindungipara
pembela lingkungan dan HAM. dalam catatan WALHI misalnya, selama
tahun 2012, tidak kurang dari tujuh orang aktifis dikriminalisasi,mendapat
tindak kekerasan dan lain-lain, ini belum termasuk dengan pembela
lingkungan yang berasal dari masyarakat korban.
59
jatuhnya korban yang semakin banyak dan meluas. Krisis
ini harus segera dipulihkan di tengah negara yang abai dan
kejahatan korporasi yang semakin menguat berkelindan
dengan penguasa. Angka-angka kerusakan lingkungan,
korban bencana ekologis dan korban pembangunan
bukanlah sekedar angka-angka statistik. Angka-angka
tersebut merepresentasikan wajah korban, wajah warga
negara yang dicerabut hak-haknya, bahkan oleh pemimpin
negaranya sendiri. Kerusakan lingkungan telah merampas
hak hidup manusia. Bencana ekologis dan kerusakan
lingkungan hidup telah menurunkan kualitas hidup
manusia. Tingginya angka kemiskinan akibat hilangnya
sumber-sumber kehidupan akibat bencana ekologis tersebut
atau bencana yang ditimbulkan, akibat salah urusnya
pengelolaan lingkungan hidup dan sumber daya alam.
WALHI mendefinisikan keadilan ekologis sebagai
sebuah hak untuk mendapatkan keadilan antargenerasi
yang memperhatikan prinsip keadilan gender, prinsip
keselamatan rakyat, keberlanjutan jasa pelayanan alam dan
perlindungan produktivitas rakyat, dimana semua generasi
baik sekarang maupun mendatang, laki-laki maupun
perempuan, berhak terselamatkan dari ancaman dan
dampak krisis, serta penghancuran lingkungann hidup dan
sumber-sumber kehidupan rakyat. Keadilan ekologis adalah
sebuah perjuangan keseimbangan alam dan manusia tanpa
penguasaan untuk kepentingan intra dan antargenerasi.
Hak atas lingkungan hidup menekankan pentingnya
tanggungjawab negara untuk memberikan jaminan
37. 60
terhadap penghormatan, perlindungan dan pemenuhan
terhadap penegakan hukum dan kemauan politiknya.
Perwujudan hak atas lingkungan hidup akan menjadi
prasyarat penting bagi upaya perlindungan keberlanjutan
sumber-sumber kehidupan rakyat. Hak atas lingkungan
juga harus dibarengi dengan penghormatan terhadap
hak dasar lainnya seperti hak partisipasi politik, hak
mendapatkan informasi, hak menentukan nasib sendiri dan
hak kebebasan berekspresi dan menyampaikan pendapat,
tanpa itu penegakan terhadap hak atas lingkungan sebagai
hak asasi rakyat akan menjadi mustahil.
Isu lingkungan saat ini sudah dipromosikan oleh
banyak pihak, termasuk oleh pelaku perusak lingkungan
sendiri seperti dengan menggunakan isu pembangunan
berkelanjutan. Saat ini isu penyelamatan lingkungan hidup
telah dibajak oleh sistem ekonomi kapitalisme melalui
berbagai kebijakan negara, yang tetap mengacu dan berbasis
pasar yang semakin menyingkirkan hak-hak dasar rakyat.
Isu perubahan iklim dan krisis global lainnya kemudian
justru mendorong isu lingkungan hidup menjadi sebuah
“oppotunity” bagi korporasi dengan tetap berbasiskan
pada sistem perdagangan internasional yang akan semakin
memperkuat perampasan tanah-tanah rakyat.
Jika Indonesia ingin keluar dari krisis lingkungan
dan krisis kedaulatan, maka pada seluruh cerita model
pengelolaan sumber daya alam di Indonesia harusnya
menggunakan tiga hal mendasar dan semuanya harus
didefinisikan menurut korban terbesar dan siapa yang
61
paling tersubordinasi dalam pembangunan yaitu; (1).
bagaimana jaminan keselamatan rakyatnya (2). bagaimana
jaminan atas kesejahteraan dan produktivitasnya, dan (3).
bagaimana jaminan atas keberlanjutan dari fungsi pelayanan
alamnya. Negara harusnya mengambil peran aktif untuk
menuntut tanggungjawab atas kejahatan lingkungan dan
kemanusiaan yang dilakukan oleh aktor di luar negara. Ini
mensyaratkan negara tidak boleh lagi ada didalam kendali
aktor besar di luar negara (non state actor).
Rekomendasi
Dalam berbagai kesempatan selalu disebutkan bahwa
kepentingan rakyat merupakan salah satu hal yang
diperjuangkan pemerintah dalam pembangunan, namun
melihat dari berbagai regulasi dan kenyataan yang ada,
fasilitasi kepentingan rakyat yang masih sangat minim.
Pengalaman menginisiasi Sistem Hutan Kerakyatan (SHK),
memfasilitasi beberapa desa untuk mengakses skema kelola
hutan desa memberikan gambaran betapa lemahnya
dukungan aparatus di tingkat pemerintah terhadap
hal ini. Alasan utama yang hampir selalu terlontar dari
aparatus kehutanan adalah ketidakpercayaan mereka akan
kemampuan masyarakat untuk mengelola hutan, mereka
lebih yakin bahwa apabila hutan dikelola oleh perusahaan
maka akan mendatangkan keuntungan besar, dan rakyat
cukup hanya menjadi buruh-buruh di perusahaan-
perusahaan tersebut.
Jika melihat dari isu secara nasional maupun wilayah,
38. 62
selama tidak ada perubahan fundamental dari arah dan
model pembangunan, maka fakta krisis lingkungan hidup
yang terjadi pada tahun 2012 di Indonesia, masih akan
terus berlangsung pada tahun 2013 dan seterusnya. Prediksi
ini bukan tanpa argumentasi yang kuat, namun dilandasi
atas situasi politik dan penegakan hukum lingkungan yang
sampai saat ini masih jauh dari harapan.
Sebagai bagian dari agenda transformatif maka
pemerintah dan lembaga-lembaga internasional ditantang
untuk melepaskan diri dari model pembangunan saat
ini dan melakukan reformasi yang lebih berarti yang
benar-benar memenuhi kebutuhan generasi sekarang
dan mendatang. Berkomitmen untuk menjalankan
pembangunan berkelanjutan sejati yang diletakkan pada
prinsip-prinsip hak asasi manusia, kesetaraan, penentuan
nasib sendiri, dan sosial, gender dan keadilan ekologis.
Saat ini, kerangka kerja pembangunan Paska 2015
sebagai kelanjutan dari MDGs, sedang disiapkan oleh
berbagai pihak termasuk pemerintah, kelompok masyarakat
sipil dan PBB. Belajar dari pengalaman MDGs, kerangka
kerja Paska 2015 membutuhkan perubahan paradigma
pembangunan baik dari sisi proses maupun substansi.
Paling tidak, pembangunan pasca 2015 harus memenuhi
kriteria:
Kebijakan yang mendukung Sistem Hutan Kerakyatan:
memberdayakan masyarakat sekitar hutan, revitalisasi
industri kehutanan berbasis komunitas/masyarakat
63
Pola produksi dan konsumsi yang berkelanjutan dalam
rangka mengurangi emisi gas rumah kaca menata
ulang hubungan Indonesia dengan negara maju
Meminta negara-negara maju untuk memenuhi
komitmen Monterrey Consensus dan Doha Declaration
terkait dengan target ODA yaitu 0,7 persen GNI dan
mematok sebesar 0,15 – 0,20persen untuk dialokasikan
ke negara kurang berkembang (LDCs/less developed
countries) selambat-lambatnya tahun 2015.
Pemerintah Indonesia (5 tahun ke depan) harus
mencapai tax ratio rata-rata negara berpenghasilan
menengah ke bawah (lower middle income country) yaitu
20-24 persen terhadap PDB. Dengan ini Indonesia
akan mampu membiayai pembangunan tanpa banyak
bergantung dengan utang dan ODA.
Perubahan untuk dan memperluas penggunaan energi
terbarukan
III. Konflik dan Kerentanan : Konflik Sosial
Berlarut dan Jalan Panjang Perdamamaian
Bagian ini bertujuan untuk memberikan analisis
penerapan framework MDGs sebagai model pembangunan
di Indonesia yang tidak mempertimbangkan faktor
kerawanan geografis, sosial dan politik. Klaim kesuksesan
pencapaian MDGs seperti yang dilaporkan oleh
Kementrian Perencanaan Pembangunan Nasional, telah
berhasil meningkatkan pendapatan GDP lebih dari 1 dollar
39. 64
sehari, namun mengapa enam rangking utama kemiskinan
justru berada di daerah rawan konflik seperti Papua
(32persen), Papua Barat (31,9persen), NTB (19,7persen),
pascakonflik Maluku (23 persen), NTT (21,2persen), dan
Aceh (19,6persen), yang memiliki sejarah konflik kekerasan
seperti persoalan determinasi diri, otonomi khusus,
kebebasan beragama, dan konflik antar kampung.
Penyebab konflik pada umumnya tidak tunggal.
Persoalan hubungan antar etnik dan agama, kesenjangan
ekonomi, krisis kelembagaan politik, krisis keamanan,
dan degradasi nilai sosial budaya, diduga berkontribusi
pada terjadinya konflik di Maluku, Poso, Kalimantan
Barat, Aceh dan Papua. Sebuah intervensi pembangunan
pada daerah yang pernah mengalami konflik tentu harus
mempertimbangkan situasi konflik dan perdamaian,
bagaimana program intervensi pembangunan dijalankan,
dan kebijakan-kebijakan baik ditingkat nasional dan daerah
peka terhadap konflik.
Secara sederhana konflik di Indonesia dikategorikan
menjadi dua, yaitu konflik sumber daya alam (SDA) dan
konfliksosial.KonflikSDAbiasajugadisebutsebagaikonflik
agraria yang meliputi wilayah perkebunan, perhutanan, dan
perkotaan dan pembangunan infrastruktur, sudah dibahas
di bagian sebelumnya. Sementara konflik sosial meliputi
konflik bernuansa agama dan etnik, tawuran, pertikaian
antar kampung, konflik sumber ekonomi.
Dalam mengatasi berbagai konflik di atas pemerintah
65
menjadikan isu penanganan konflik ini bagian dari agenda
visi dan misi pembangunan Indonesia yang damai dan
berkeadilan yang tertuang dalam dokumen Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN)
tahun 2009-2014 dengan menjadikan penanganan pasca
konflik menjadi salah satu prioritas pembangunan nasional.
Alih-alih menyelesaikan konflik, sepanjang tahun
2008-2010, berdasarkan hasil monitoring Institut Titian
Perdamaian, insiden konflik dan kekerasan semakin banyak
yaitu 4.021 kali. Jika dibagi pertahun, terjadi sekitar
1.340 insiden setiap tahunnya, yang berarti jika dirata-
rata, terjadi 3,6 kali insiden setiap harinya. Kekerasan
rutin seperti tawuran, pengeroyokan, serta penghakiman
massa menempati rangking paling tinggi dengan total 62,
1 persen dari total konflik dan kekerasan yang terjadi di
Indonesia. Disusul konflik berbasis isu politik sebesar 13,
9 persen, konflik berbasis isu sumberdaya ekonomi 8,3
persen, konflik berbasis isu sumberdaya alam 7,8 persen,
konflik berbasis isu agama dan etnis 2,2persen, dan
konflik antaraparat negara 0,8 persen (Tim Institut Titian
Perdamaian, 2011).
Pada tahun 2011, tidak terjadi pergeseran secara
signifikan mengenai ranking konflik dan varian kekerasan
yang paling tinggi. Tahun 2011, kekerasan rutin mencapai
1310 kali, atau 74 persen insiden dari total 1767 insiden
konflik kekerasan yang terjadi di Indonesia. Yang cukup
mengejutkan, tawuran menyumbang angka yang cukup
fantastis, yaitu 501 kali insiden atau 28persen. Berdasarkan
40. 66
pihak yang terlibat, kelompok terpelajar yang diwakili oleh
mahasiswa dan siswa sekolah, menjadi aktor kekerasan yang
paling banyak. Basis data monitoring ini adalah sumber
berita media massa di 33 provinsi yang dikomparasikan
dengan enam media nasional.
Lebihdarisatudasawarsayanglalu,kekerasanrutinselalu
tampil sebagai penanda bagi konflik komunal yang sangat
massif. Dalam berbagai konflik komunal yang terjadi, pada
mulanya didahului kekerasan rutin yang dianggap lumrah.
Di Kalimantan Barat, perkelahian sekelompok pemuda
Dayak dan Madura meluas menjadi konflik komunal.
Di Poso dan Ambon, dibuka dengan perkelahian antar
pemuda, yang sebelumnya juga biasa terjadi, namun secara
cepat meningkatkan level mobilisasi orang, pada suatu
momen dan ruang yang sudah sedemikian dimungkinkan
oleh ketersediaan prasyarat konflik kekerasan.
Masalahnya, artikulasi politik kita belum secara
meyakinkan mengalami pergeseran pola patronase dan
solidaritastradisionalkeikatanyangkontraktualdandewasa.
Momen-momen elektoral dalam pilkada di berbagai daerah
masih banyak menampilkan kekerasan sebagai ekspresi
konflik, hal yang menjelaskan mengapa konflik berbasis
isu politik menempati ranking tinggi dalam monitoring
konflik dan kekerasan berbagai lembaga selama ini. Dasar
pemikiran ini pula yang dijadikan sebagian kalangan
untuk mengevaluasi, bahkan cenderung mengusulkan
ditiadakannya pemilihan langsung kepala daerah. Salah
satu daerah yang pernah menjadi narasi konflik politik
67
cukup lama adalah Maluku Utara, yang imbasnya masih
terasa dengan maraknya tawuran antarkampung di Ternate
sebagai sentral kekuasaan.
Patut dicatat, konflik sangat berpengaruh pada
meningkatnya angka kekerasan terhadap perempuan.
Kekerasan terhadap perempuan yang berhasil
didokumentasikan oleh Komnas Perempuan pada kurun
waktu 1998-2010 mencatat sejumlah 1.503 kasus kekerasan
seksual dari 3.283 kasus kekerasan terhadap perempuan di
wilayah konflik seperti Aceh, Poso, Maluku, Papua, Timor
Leste, Tragedi 65, dan Mei 1998. Sampai sekarang korban
kekerasan seksual di daerah konflik kurang mendapatkan
perhatian dari pemerintah, serta cenderung dilupakan. Kasus
kekerasanseksualmerambahkedaerahyanglebihluas.Catatan
tahunan Komnas Perempuan tahun 2011, menemukan
110.468 kasus kekerasan terjadi pada perempuan dalam
ikatan pernikahan dan ada 1.405 kasus kekerasan dalam
pacaran. Tingginya angka kekerasan pada perempuan
tentu saja akan menjadi penghalang pencapaian gol ketiga
dalam MDGs, yaitu mendorong kesetaraan gender dan
pemberdayaan perempuan.
Konflik-konflik kekerasan yang terjadi selama ini di
Indonesia juga menunjukkan adanya aspek kesejarahan dan
memiliki korelasi yang kuat dengan proses pembangunan
dan perkembangan arus modal, terutama di sektor
eksploitasi sumber daya alam. Petaka kemanusiaan ini
juga telah berdampak pada kerugian yang tak terhitung,
baik secara material maupun non-material. Ribuan nyawa