SlideShare a Scribd company logo
1 of 63
Download to read offline
Ketidakadilan,
Kesenjangan, dan Ketimpangan:
Jalan Panjang Menuju Pembangunan Berkelanjutan
Pasca-2015
Ketidakadilan,
Kesenjangan, dan Ketimpangan:
Jalan Panjang Menuju Pembangunan Berkelanjutan
Pasca-2015
Editor:
Aris Santoso
Kontributor:
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Agenda Pembangunan
Pasca-2015
Tim Penulis:
Agung Wasono, Yenny Sucipto, Titik Hartini | Good
Governance: Minimnya Transparansi, Akuntabilitas, dan
Kompetensi
Sita Aripurnami, Laura Hukom, Rahayuningtyas, Christiana
Widimulyani, Repelita Tambunan | Ketimpangan Akses
Kesehatan
Oslan Purba, Iwan Nurdin, Tejo Wahyu Djatmiko |
Lingkungan
Ruby Khalifah, Ahmad Qisai, Boedhi Wijardjo, Mohamad
Miqdad | Konflik dan Kerentanan
Sigit Wijayanta, M. Firdaus, Dian Kartikasari, Jonna
Damanik, Erickson Sidjabat | Mengatasi Kesenjangan
Ah. Maftuhan, Sugeng Bahagijo | Pembiayaan
Pembangunan
Mike Verawati | Pencapaian MDGs
Dicetak oleh: INSISTPress
Jalan Raya Kaliurang Km.18, Dukuh Sempu, Pakembinangun,
Sleman, Yogyakarta 55582, Indonesia
Tel: +62 274 8594 244. Faks:: +62 274 896 403.
Email: press@insist.or.id | Web: http://blog.insist.or.id/insistpress
Ketidakadilan, Kesenjangan, dan Ketimpangan: Jalan Panjang
Menuju Pembangunan Berkelanjutan Pasca-2015
Tim Penulis: Agung Wasono, Yenny Sucipto, Titik Hartini, Sita
Aripurnami, Laura Hukom, Rahayuningtyas, Christiana Widimulyani,
Repelita Tambunan, Oslan Purba, Iwan Nurdin, Tejo Wahyu Djatmiko,
Ruby Khalifah, Ahmad Qisai, Boedhi Wijardjo, Mohamad Miqdad,
Sigit Wijayanta, M. Firdaus, Dian Kartikasari, Jonna Damanik,
Erickson Sidjabat, Ah. Maftuhan, Sugeng Bahagijo, dan Mike Verawati
Editor: Aris Santoso
Perancang isi: Handoko
Perancang sampul: Bakkar Wibowo
PERPUSTAKAAN NASIONAL. Katalog Dalam Terbitan (KDT)
ISBN 978-602-8384-61-2
13 x 19 cm; x + 112 halaman,
© Kemitraan, Jakarta, Cetakan pertama, Maret 2013
Diterbitkan oleh:
Kemitraan (The Partnership for Governance Reform)
Jl. Wolter Monginsidi No.3 Kebayoran Baru, Jakarta Selatan 12110
Tel: +62 21-7279-9566 Fax: +62 21-720-5260/720-4916
Website: http://www.kemitraan.or.id
INFID (International NGO Forum on Indonesian Development)
Jl. Jatipadang Raya Kav.3 No.105 Pasar Minggu.
Jakarta Selatan, 12540 Indonesia.
Tel: +62 21 7819734, 7819735 Fax : +62 21 78844703
Website: http://www.infid.org/
v
KATA PENGANTAR
Millennium Development Goals (MDGs) sebagai
agenda pembangunan dunia jangka panjang yang dimulai
sejak tahun 2000 akan segera berakhir tahun 2015 atau
tinggal 2 tahun lagi. Pada tahun 2012, Sekjend Perserikatan
Bangsa Bangsa (PBB) Ban Ki Moon telah menunjuk 3
orang sebagai ketua bersama untuk menyusun Agenda
Pembangunan Pasca-MDGs yakni Perdana Menteri Inggris
David Cameron, Presiden Indonesia Susilo Bambang
Yudhoyono, dan Presiden Liberia Ellen Jhonson
Sirleaf. Ketiga ketua ini akan memimpin 23 High Level
Panel Eminent Persons (HLPEP) yang terdiri dari pakar
dibidangnya masing-masing dari seluruh dunia untuk
bersama-sama menyusun agenda pembangunan pasca-
MDGs (Post-2015 Development Agenda).
Penulisan paper masyarakat sipil Indonesia
untuk Agenda Pembangunan Pasca-2015 bertajuk
”Ketidakadilan, Kesenjangan dan Ketimpangan: Jalan
Panjang Menuju Pembangunan Berkelanjutan Pasca 2015”
ini dilatarbelakangi kenyataan bahwa masyarakat sipil di
Indonesia telah dan terus bekerja pada bidangnya masing-
masing untuk mendukung percepatan pencapaian MDGs
vi
maupun pada sektor lain yang tidak secara langsung terkait
dengan MDGs namun sangat berpengaruh terhadap
pencapaian MDGs di Indonesia.
Selain hal tersebut, dalam beberapa kali LaporanTujuan
Pembangunan Milenium (MDGs) yang dikeluarkan
oleh Pemerintah Republik Indonesia selalu memberikan
klaim bahwa upaya pembangunan milenium berada
pada jalur yang sudah benar (on the track), seperti dapat
dilihat dalam Laporan Pencapaian MDGs tahun 2004,
2007, 2009, 2010 dan 2011. Namun laporan lembaga
internasional juga seringkali memberikan warning kepada
Indonesia. Salah satunya adalah Laporan UNESCAP
tahun 2006 yang menyatakan bahwa Indonesia termasuk
10 negara di kawasan Asia Pasifik yang berada pada posisi
mengkhawatirkan dalam pencapaian MDGs. Dalam
laporan Human Development Report, peringkat Human
Development Index Indonesia makin memburuk. Jika
di tahun 2006, Indonesia berada pada peringkat 107, di
tahun 2007-2008 merosot ke peringkat 109, tahun 2009
berada di peringkat 111, pada tahun 2010 naik menjadi
108, namun pada tahun 2011 turun lagi menjadi 124.
Hal ini menunjukkan bahwa betapa berat langkah menuju
pencapaian MDGs di tahun 2015.
Terkait dengan Agenda Pembangunan Pasca-2015,
Kemitraan bersama dengan INFID telah diberikan
mandat oleh Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan
dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) untuk menjadi
convener dalam pelibatan secara lebih luas suara dari
vii
masyarakat sipil di Indonesia. Sebagai salah satu upaya
menindaklanjuti hal tersebut, Koalisi Masyarakat Sipil
Indonesia untuk Agenda Pembangunan Pasca-2015 telah
menyusun kertas posisi sebagai usulan dari masyarakat
sipil di Indonesia untuk Agenda Pembangunan Pasca-2015
terutama pada bidang-bidang: Ketimpangan, Kesehatan,
Konflik dan Kerawanan Sosial, Lingkungan Hidup,
Demokrasi dan Tata Pemerintahan yang Baik, dan
Pembiayaan Pembangunan.
Kertas Posisi yang ada dihadapan para pembaca ini
adalah kerjasama dari berbagai pihak yang tidak bisa kami
sebutsatupersatu.Kepadaparapenuliskamiucapkanbenyak
terimakasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya atas
pengorbanan waktu, tenaga, dan pikiran untuk menyajikan
tulisan terbaiknya bagi laporan masyarakat sipil ini
Semoga buku yang disusun berdasarkan bukti-bukti
nyata dilapangan dan temuan-temuan dari masyarakat sipil
ini berguna dan mampu menghadirkan sudut pandang yang
berbeda dan bermanfaat pula sebagai salah satu sumber
dalam penyusunan Agenda Pembangunan Pasca-2015 guna
pemenuhan hak dasar warga negara di Indonesia.
Jakarta, Maret 2013
Wicaksono Sarosa, Ph.D
Direktur Eksekutif Kemitraan
viii ix
DAFTAR ISI
Daftar Isi ~ix
Kata Pengantar ~v
Pendahuluan ~1
I. Good Governance: Minimnya Transparansi,
Akuntabilitas, dan Kompetensi ~7
II. Ketimpangan Akses Kesehatan ~19
III. Lingkungan: Bencana Ekologis dan Konflik
Berkepanjangan ~41
IV. Konflik dan Kerentanan : Konflik Sosial Berlarut
dan Jalan Panjang Perdamamaian ~73
V. Mengatasai Kesenjangan: Menggapai Keadilan
Bagi Kelompok Rentan ~75
VI. Pembiayaan: Melipatgandakan Alokasi Bagi
Kelompok Rentan ~93
x 1
Ketidakadilan,
Kesenjangan dan Ketimpangan:
Jalan Panjang Menuju
Pembangunan Berkelanjutan Pasca 2015
Pendahuluan
Pada tahun 2000 telah disepakati deklarasi yang
ditandatangani 198 negara, yang menyatakan rangkaian
keamanan, Hak Asasi Manusia (HAM), termasuk berkaitan
dengan pembangunan dan lingkungan, yang kemudian
menelurkan delapan target Milenium Development Goals
(MDGs). Dapat dikatakan MDGs merupakan kesepakatan
yang belum sempurna, namun tetap memberi dampak
besar bagi negara dan masyarakat dunia, misalnya untuk
meningkatkan akses pendidikan dan kesehatan.1
Dikatakan
tidak sempurna karena dalam penyusunannya kurang
memperhatikan kebutuhan dan permasalahan yang secara
riil dihadapi masyarakat.
Adapun Millenium Development Goals (MDGs)
sendiri terdiri dari delapan tujuan besar pembangunan,
yaitu: (1) Memberantas kemiskinan kelaparan (2)
Mewujudkan pendidikan dasar (3) Mendorong kesetaraan
gender dan pemberdayaan perempuan (4) Menurunkan
1 Heru Prasetyo, Deputi I Pengawasan Pengendalian Inisiatif Perubahan
Iklim dan Pembangunan Berkelanjutan UKP4, disampaikan pada Seminar
dan Pemutaran Film WRI, Desember 2012
2
angka kematian anak (5) Meningkatkan kesehatan ibu (6)
Memerangi HIV/AIDS, malaria dan penyakit menular
lainnya (7) Memastikan pelestarian lingkungan (8)
Mendorong pembangunan berkelanjutan
Masyarakat internasional telah menetapkan 2015
sebagai tenggat waktu bagi MDGs, dengan sasaran
pokoknya adalah pengentasan kemiskinan global.
Target utama tersebut telah diprioritaskan oleh banyak
pemerintah, lembaga pembangunan, donor dan aktor-
aktor pembangunan lainnya sejak tahun 2000. Gugus tugas
PBB untuk pasca 2015 mengusulkan peta jalan menuju
Pembangunan Pasca 2015 yang baru. Hampir semua upaya
yang sedang berlangsung dirancang untuk mengumpulkan
masukan yang akan memberi input langsung pada
perumusankerangkakerjapembangunanglobalpasca2015,
yang kemungkinan akan diadopsi dan diimplementasikan
oleh semua negara. Tetapi tidak ada upaya konkrit untuk
memastikan atau mendorong proses di level negara yang
akan mendukung kerangka pembangunan global pasca
2015.2
Pada bulan Maret 2013, Indonesia akan menjadi tuan
rumah bagi pertemuan HLP (High Level Panel). Output dari
2 Pada bulan Juli 2013, Sekretaris Jenderal PBB menunjuk sebuah panel
beranggotakan 26 orang yang akan memberikan masukan dan nasihat
terkait dengan agenda pembangunan global pasca-2015. Para panelis
berasal dari pemerintah, sektor swasta, akademisi dan masyarakat sipil, yang
menjadi anggota dalam kapasitas pribadi mereka. Panel tersebut diketuai
bersama oleh Presiden Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono, Presiden
Liberia Ellen Johnson Sirleaf, dan Inggris Perdana Menteri David Cameron.
Panel ini disebut High-Level Panel of Eminent Persons on the Post-2015
Development Agenda (HLP).
3
HLP ini akan menjadi laporan kepada Sekretaris Jenderal
PBB yang merekomendasikan visi dan bentuk agenda
pembangunan pasca 2015. HLP akan mempertimbangkan
temuan dari berbagai konsultasi yang dikoordinasikan oleh
PBB dalam menulis laporannya. HLP akan didukung oleh
tim independen yang direkrut melalui konsultasi langsung
dengan tiga co-chairs dari Panel. Laporan akan disampaikan
pada Sidang Majelis Umum PBB ke-68, September 2013.
Pertanyaannya sekarang: model pembangunan seperti apa
yang akan dipromosikan oleh pemerintah (Indonesia) pada
skema pembangunan berkelanjutan pasca-2015?
Dekade-dekade pembangunan di Indonesia selama ini
menunjukkan bahwa model pembangunan yang dipilih
oleh pemerintah Indonesia adalah model pembangunan
yang eksploitatif dan merusak, serta berbasis pada
pemberian konsesi-konsesi usaha kepada korporasi yang
seringkali menyebabkan munculnya berbagai konflik sosial.
Makalah bersama CSO ini diperuntukkan sebagai salah
satu bahan advokasi Kelompok Masyarakat Sipil Indonesia
untuk Pembangunan Pasca-MDGs. Kelompok ini akan
secara rutin mengkampanyekan ke berbagai kalangan
dan menyampaikan hasil-hasil kajian kepada Unit Kerja
Presiden Bidang Pengawasan dan Percepatan Pembangunan
(UKP4) Indonesia dan kepada Co-Chair High Level Panel
of Eminent Person (HLPEP) for Post 2015 Development
Agenda. Di dalam HLPEP inilah, Presiden Indonesia
bersama Perdana Menteri Inggris David Cameron dan
Presiden Liberia Ellen Johnson Sirleaf duduk sebagai co-
4
chair di HLPEP yang ditunjukkan oleh UN.
Selama ini pemerintah Indonesia selalu menyatakan
optimisme mengenai pembangunan dengan indikator-
indikator kuantitatif. Keberhasilan Indonesia memper-
tahankan pertumbuhan ekonomi di atas 6 persen saat
krisis finansial global diakui oleh institusi keuangan
internasional sebagai bentuk kokohnya fundamental
ekonomi Indonesia. Dalam dua tahun terakhir ini, tingkat
investasi juga menjadi kata kunci yang selalu disampaikan
oleh pemerintah Indonesia untuk memperlihatkan
keberhasilan pembangunan. Namun gambaran cerah
tentang pembangunan di Indonesia, belum mencerminkan
realitas yang sebenarnya.
Masyarakat sipil (CSO) Indonesia tidak menemukan
bukti-bukti yang memadai bahwa pertumbuhan yang
inklusif dan menjamin pemerataan telah terjadi. Fakta-fakta
peningkatan kekayaan segelintir orang dan kesenjangan
yang ekstrim, telah memberi keyakinan, bahwa harus ada
perubahan dalam orientasi pembangunan. Pada semua
aspek dan sektor kehidupan masyarakat, yang menonjol
adalahkesenjangan/ketimpanganyangterutamadisebabkan
oleh paradigma pembangunan yang dianut, buruknya tata
kelola pemerintahan, serta praktik demokrasi yang parsial
(prosedural, transaksional, elitis).
Ketimpangan adalah bukti kegagalan konsep pem-
bangunan yang berorientasi pertumbuhan. Oleh karena
itu, semua upaya dan langkah pembangunan mesti
5
dimaksudkan untuk menghapus ketimpangan ini. CSO
mendesak agar perspektif pembangunan yang berorientasi
pada pertumbuhan mesti beralih pada pembangunan
berkelanjutan dengan tujuan mengakhiri ketimpangan.
Tata kelola pemerintahan yang baik (Good Governance)
merupakan komponen penting dalam menentukan
pencapaian Millennium Development Goals (MDGs)
baik di tingkat nasional maupun lokal. Secara sederhana,
Good Governance ini dimaknai sebagai pengelolaan
pemerintahan yang menjunjung tinggi transparansi,
akuntabilitas dan rule of law serta bersifat responsif dan
partisipatoris. Aktualisasi Good Governance ini akan
menjamin penyelenggaraan pemerintahan yang efektif,
pada gilirannya akan mempercepat proses pencapaian
tujuan negara, yaitu menyejahterakan rakyat.
Di sisi lain, Good Governance ini juga merupakan
perwujudan prinsip kedaulatan rakyat (dari, oleh dan untuk
rakyat). Oleh karenanya Good Governance seharusnya
menjamin, melindungi serta memperkuat hak-hak rakyat.
Singkatnya, Good Governance merupakan prasyarat utama
bagi tercapainya MDGs di Indonesia, sebagai negara
yang masuk dalam kategori tingkat korupsi tinggi. Good
Governance menjadi tantangan utama baik di tingkat
nasional mau pun daerah.
Untuk mewujudkan Good Governance, diperlukan
sumber daya aparatur birokrasi pemerintah yang berdedikasi
dan berkualitas. Tetapi sayangnya, sumber daya aparatur
6
birokrasi pemerintah dalam melakukan pengintegrasian
MDGs, melalui mekanisme perencanaan teknokratis
masih terbatas dalam hal kemampuan. Antara lain adalah
keterbatasan kemampuan mereka dalam mengakomodir
aspirasi masyarakat, menyesuaikan diri dengan perubahan
yang terjadi, mendefinisikan permasalahan, merumuskan
berbagai kebijakan publik yang sesuai kebutuhan
masyarakat, menciptakan birokrasi yang efisien dan efektif,
mengimplementasikan kebijakan dan peraturan, serta
berempati dalam melayani kepentingan publik.
Keterbatasan kapasitas aparatur birokrasi ini juga
berakibat pada terjadinya alokasi sumber daya yang tidak
efektif. Masih banyak alokasi anggaran yang tidak diarahkan
untuk program atau kegiatan yang dapat menjawab akar
masalah kemiskinan. Selain memang dalam pengalokasian
anggaran,proporsibelanjalangsungmasihjauhlebihrendah
dibandingkan dengan belanja tidak langsung. Sehingga
program/kegiatan yang disusun pemerintah belum mampu
mendukung untuk tercapainya target-target MDGs.
Komitmen pemerintah untuk mendorong upaya
percepatan MDGs, secara nyata bisa diukur dari ketersedian
pembiayaan dalam APBD, bagi masyarakat miskin, rentan
dan perempuan. Oleh karena itu, budget tracking atau
penelusuran anggaran menjadi penting untuk mengenali
masalah-masalah dalam penganggaran. Penelusuran
anggaran dilakukan untuk menghasilkan analisis data
yang dapat menggambarkan informasi anggaran yang
tersedia bagi  para pihak untuk melihat secara jelas dari
7
mana anggaran berasal dan bagaimana anggaran tersebut
dibelanjakan. Tujuan lainnya, memastikan realisasi
kebijakan alokasi anggaran sesuai dengan prosedur, regulasi
dan efisien secara teknis dan efektif secara operasional atau
sesuai dengan tujuan pada saat perencanaan anggaran di
susun untuk peruntukan pada kegiatan dan program.
Menyoal berbagai kendala dalam pencapaian MDGs di
Indonesia selama ini, seringkali dihadapkan pada persoalan
lemahnya pengarusutamaan program-program berkait
MDGs antarkementerian/lembaga, serta terbatasnya alokasi
anggaran yang membiayainya. Sehingga untuk beberapa
target MDGs di Indonesia, misalnya pada sektor kesehatan
(kematian ibu dan anak) dan penanggulangan HIV/AIDS
akan sulit dicapai pada tahun 2015.
I. Good Governance: Minimnya Transparansi,
Akuntabilitas, dan Kompetensi
Bagian ini akan mengulas kondisi terkini yang terjadi
di Indonesia terkait dengan problematika pelaksanaan
demokrasi prosedural dan pemenuhan demokrasi
substansial. Kemitraan melalui Partnership Governance
Index (PGI) pada tahun 2008 melakuan survei terhadap
33 provinsi di tingkat provinsi dengan melibatkan enam
prinsip good governance, yaitu participation, fairness,
accountability, transparency, efficiency dan effectiveness di
empat arena, yaitu pemerintah (political office), birokrasi,
masyarakat ekonomi dan masyarakat sipil. Secara umum
rata-rata nilai PGI di 33 provinsi adalah 5,11 dengan
8
masing-masing skor rata-rata per arena adalah 4,95 untuk
pemerintah, 5,61 untuk birokrasi, 4,97 untuk masyarakat
sipil dan 4,79 untuk masyarakat ekonomi.
Berdasar dimensi prinsip good governance yang
berkaitan dengan tingkat keterbukaan pemerintah (Open
Government), pemerintah memperoleh skor 5,04 untuk
partisipasi, 6,69 untuk akuntabilitas dan 4,26 untuk
transparansi. Sementara birokrasi memperoleh skor 3,78
untuk partisipasi, 6,55 untuk akuntabilitas dan 3,79
untuk transparansi. Di antara ketiga prinsip tersebut,
yang cenderung memperoleh skor kurang bagus adalah
transparansi sehingga menunjukkan bahwa tingkat
transparansi pemerintah dan birokrasi Indonesia senantiasa
harus selalu ditingkatkan.
Sementara itu, skor akuntabilitas terlihat terbaik
di antara prinsip lain. Hal ini dikarenakan PGI hanya
menggunakan indikator akuntabilitas secara prosedural,
seperti audit BPK yang secara umum telah dipatuhi oleh
sebagian besar provinsi meskipun berada dalam kualitas
cukup.
Survei Failed State Index/FSI atau Index Negara Gagal
2012, yang dipublikasikan oleh Fund for Peace menetapkan
Indonesia sebagai “warning” beresiko sebagai negara gagal.
Indonesia memang menunjukkan perkembangan ke arah
membaik, apabila dibandingkan FSI Index pada tahun
2011. Dalam survei tersebut Indonesia menduduki
peringkat ke-63 dari 177 negara yang sebelumnya pada
9
tahun 2011 Indonesia menempati peringkat ke-64 dari 177
negara.
Dalam kategori tersebut, Indonesia masuk kategori
negara-negara yang dalam bahaya menuju negara gagal.
Indonesiamemangtidaksendiri,bahkannegarasepertiCina
dan India berada kelompok “warning” seperti Indonesia di
urutan 76 dan 78. Sedangkan negara Asia Tenggara yang
berada pada kelompok “warning” adalah Filipina urutan 58
Malaysia urutan 111 sedangkan Thailand pada urutan 84.
Kemudian Fund for Peace juga mengadakan penelitian
berdasarkan 13 indikator, yang merupakan rincian dari
kondisi politik, ekonomi, dan sosial di negara tersebut.
Berdasarkan 13 indikator itu hasilnya dibagi menjadi
empat kriteria yakni negara-negara yang masuk kategori
alert, warning, moderate, dan sustainable. Negara-negara
yang masuk kategori alert adalah Somalia, Congo, Sudan,
Zimbabwe, dan Afganistan. Untuk Asia Tenggara yang
masuk kategori ini adalah Myanmar dan Timor Leste.
Evaluasi yang dilakukan oleh Menteri Pemberdayaan
Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Azwar Abu Bakar,
menyimpulkan bahwa mayoritas pegawai negeri sipil tak
memiliki kompetensi yang memadai. “Dari 4,7 juta PNS
yang ada, hanya lima persen yang memiliki kompetensi.
PNS di Indonesia sebenarnya terbagi dalam dua kelompok,
yaitu struktural dan fungsional. Sayangnya, kelompok
fungsional ini tak diisi oleh tenaga ahli di bidangnya”.
Kritik lebih keras juga datang dari Prof. Dr. Eko
10
Prasodjo (Wakil Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara
dan Reformasi Birokrasi), bahwa dari hasil pengamatannya
selama berkecimpung dalam praktik keilmuan birokrasi
di Indonesia, “Saya bisa katakan 80 persen PNS kita tidak
berkompeten dan bermoral rusak. Ini kenyataan,” kata Eko
Prasodjo.
Pada era reformasi ini, perubahan sistem sudah
dilakukan meskipun belum tuntas. Di antaranya dengan
sistem renumerasi, penggajian berdasarkan kinerja,
kompetensi, dan bidang kerja. Perubahan ini diberlakukan
di Kementerian Keuangan terutama di Direktorat penghasil
pendapatan negara seperti, Bea- Cukai dan Pajak. Tapi
ternyata masih ada juga pegawai pajak yang masih korup,
meskipun gaji resminya bahkan 10 kali lipat dari PNS biasa.
Di sisi lain, jabatan fungsional umum di lingkungan
pemerintahan dinilai masih banyak diisi orang-orang
yang tidak kompeten. Hal ini dapat terjadi tidak lain
karena rekrutmen dan promosi jabatan didasarkan pada
faktor politis dan pertemanan dan bukan melihat pada
kompetensinya. Untuk meningkatkan kompetensi pegawai
tersebut, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara
dan Reformasi Birokrasi menyusun 10 langkah reformasi
birokrasi yang diantaranya menyelenggarakan Uji
Kompetensi PNS secara nasional untuk menyaring PNS
yang kompeten.
Selain masalah pengarusutamaan program dan
keterbatasan anggaran, sebenarnya masalah besar yang
11
lebih sulit dihadapi Indonesia saat ini mengenai efektivitas
program dan anggaran yang berkait dengan MDGs itu
sendiri. Sebab jika dilihat dari trend anggaran bagi program-
program MDGs di tiap kementerian –walaupun belum
sebanding dengan tantangan yang harus diselesaikan–
kecenderungannya selalu meningkat dari tahun ke tahun.
Misalnya bidang kesehatan, rata-rata pertumbuhan
anggaran khususnya Kesehatan Ibu dan Anak sebesar 14
persen selama periode 2006-2012, bahkan 2010-2011
sempat mencapai pertumbuhan tertinggi sebesar 38,6
persen.3
Sayangnya walaupun kecenderungan alokasi
anggarannya naik, hasilnya terlihat tetap stagnan dan
tidak ada kemajuan berarti, sehingga terkesan anggaran
yang telah digelontorkan untuk program-program MDGs
terkesan terbuang sia-sia.
Menyoal efektivitas anggaran memang sangat
ditentukan pada bagaimana cara pemerintah sebagai
pengelola anggaran dalam mengelola keuangan negara,
yang dalam berbagai konteks selalu dikaitkan dengan
good governance. Dan jika menyoal good governance, cukup
menarik meminjam pemikiran Meuthia Ghani yang
memahami governance sebagai tradisi dan institusi yang
menjalankan kekuasaan dalam suatu negara, termasuk
(1) proses pemerintah dipilih, dipantau, dan digantikan,
(2) kapasitas pemerintah untuk memformulasikan dan
melaksanakan kebijakan secara efektif, dan (3) pengakuan
3 Lihat Koalisi Masyarakat Sipil untuk APBN Kesejahteraan, Rancangan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Alternatif 2013, Menuju
Anggaran Konstitusional.
12
rakyat dan negara terhadap berbagai institusi yang mengatur
interaksi antara mereka.
Unsur yang terakhir biasa dilakukan melalui tiga
struktur komunikasi, yaitu kewenangan, legitimasi, dan
representasi. Kewenangan adalah hak pemerintah untuk
membuat keputusan di bidang tertentu. Walaupun
ini merupakan hak dari suatu pemerintah modern,
namun yang terpenting adalah bagaimana melibatkan
persepsi rakyat tentang tindakan yang perlu dilakukan
pemerintah. Legitimasi diperoleh karena rakyat mengakui
bahwa pemerintah telah menjalankan perannya dengan
baik. Representasi diartikan sebagai hak untuk mewakili
pengambilan keputusan bagi kepentingan golongan lain
dalam kaitannya dengan alokasi sumber daya.4
Good governance pada akhirnya tidak terbatas pada
menjalankan wewenang dengan baik semata, yang lebih
penting adalah bagaimana masyarakat dapat berpartisipasi
dan mengontrol pemerintah untuk menjalankan wewenang
tersebut dengan baik (accountable). Oleh karenanya, konsep
good governance akan selalu didasarkan pada tiga pilar, yaitu
transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi.5
Dalam konteks pengelolaan keuangan negara, ketiga
pilar tersebut sebenarnya secara tersirat telah tertuang di
4 Meuthia Ganie, Good Governance dan Tiga Struktur Komunikasi Rakyat
dan Pemerintah, makalah yang disajikan pada Seminar “Good Governance
dan Reformasi Hukum” di Jakarta, Agustus 1998.
5 Ibid. Lihat juga Loina Lalolo Krina, Indikator dan Alat Ukur Prinsip
Akuntabilitas, Transparansi dan Partisipas (Sekretariat Good Public
Governance Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Jakarta: 2003),
hal.3
13
dalam Konstitusi Indonesia khususnya Pasal 23 Ayat (1)
UUD 1945 karena konstitusi mensyaratkan pembahasan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) harus
dilaksanakan secara terbuka dan bertanggungjawab untuk
sebesar-besar kemakmuran rakyat. Keterbukaan tersebut
oleh pemerintah dijawab dengan diterbitkannya UU No.14
Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU
KIP).
Sebagaimana yang menjadi amanat konstitusi,
tujuan utama UU KIP menjamin hak masyarakat untuk
mengetahui setiap rencana pembuatan kebijakan publik,
program kebijakan publik,  dan proses pengambilan
keputusanpublik,sertaalasanpengambilansuatukeputusan
publik. Lebih jauh daripada itu diharapkan UU tersebut
akan mendorong partisipasi masyarakat dalam proses
pengambilan kebijakan publik, serta meningkatkan peran
aktif masyarakat dalam pengambilan kebijakan publik. Bagi
pemerintah diharapkan akan mewujudkan penyelenggaraan
negara yang baik, yaitu yang transparan, efektif dan efisien,
akuntabel  serta  dapat dipertanggungjawabkan.6
Bagi banyak pihak, menuntut keterbukaan informasi
khususnya menyangkut pengelolaan keuangan negara/
daerah kepada pemerintah adalah pekerjaan yang sulit dan
hampir mustahil walaupun konstitusi dan undang-undang
telah menjaminnya, mengingat birokrasi yang terbangun di
Indonesia masih kental dengan kultur feodal-kolonial yang
6 Lihat Ketentuan Umum Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang
Keterbukaan Informasi Publik.
14
berkarakter dilayani, bukan melayani. Apalagi dokumen
anggaran baik di tingkat pusat (kementerian/lembaga)
maupun daerah masih banyak yang menilainya sebagai
dokumen rahasia yang “diharamkan” dibagi ke publik.
Ketertutupan akses terhadap dokumen anggaran
tersebut sampai saat ini memang masih menjadi akar tidak
efektifnya program-program pembangunan di Indonesia
(termasuk program-program MDGs). Sebab masyarakat
sama sekali tidak dapat melakukan kontrol terhadap setiap
program yang disusun dan dilaksanakan pemerintah. Wajar
jika dari tahun ke tahun wajah APBN Indonesia masih
tersandera oleh kepentingan elit dan birokrasi. Bagaimana
tidak, dari tahun ke tahun sebagian besar anggaran masih
dihabiskan untuk membiayai kebutuhan aparat (birokrasi)
mulai dari perjalanan dinas, tunjangan, vakasi, fasilitas
perkantoran dan kendaraan, dan lain-lain.7
Ambil contoh
salah satu program MDGs, khususnya menyangkut
kematian ibu dan anak yang ada di Kementerian Kesehatan,
hampir sebagian besar anggaran (sekitar 75 persen) hanya
dihabiskan untuk belanja perjalanan dinas (pertemuan
koordinasi, sosialisasi, fasilitasi, monev, dan seterusnya).8
7 Lihat Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran, Catatan Akhir Tahun
Anggaran 2012, Anggaran Tersandera Birokrasi dan Elit Politik.
8 Sebagaimana yang diungkap Yenny Sucipto dalam Catatan Akhir Tahun
FITRA 2012 menyatakan: ...program pembinaan KIA dan reproduksi
masih satu atap di dalam Direktorat Jenderal Bina Gizi dan Kesehatan
Ibu dan Anak. Dalam rencana anggaran Kementerian Kesehatan, hanya
dialokasikan sebesar Rp 30 milyar untuk program pelayanan kesehatan
anak, dan Rp 31,59 milyar untuk program pembinaan pelayanan kesehatan
dan reproduksi. Sungguh ironis, dengan alokasi yang hanya sebesar Rp 30
milyar pada program pelayanan kesehatan anak sebagian besar habis untuk
belanja perjalanan dinas (pertemuan koordinasi, sosialisasi, fasilitasi, monev,
dll) hingga mencapai Rp 21,5 milyar (72persen dari total anggaran program
15
Selain rendahnya keterbukaan, problem partisipasi
juga menjadi salah satu kendala tidak efektifnya program
pembangunan. Penyebabnya ruang partisipasi yang
dibangun cenderung formalitas dan diskontinyu. Satu-
satunya wahana partisipasi masyarakat yang diakui
pemerintah hanyalah forum musyawarah rencana
pembangunan (musrenbang). Sekilas forum ini cukup
partisipatif karena masyarakat diberikan hak untuk
mengusulkan program/kegiatan sekaligus kritik, saran dan
masukan terhadap kinerja pemerintah. Namun ternyata
hanya bersifat formalitas dan palsu karena usulan, kritik
dan saran masyarakat akhirnya diamputasi ketika proses
penganggaran memasuki internal elit, sebab dalam forum
tersebut semuanya sudah bersifat tertutup, sehingga tidak
bisa diikuti bahkan dihadiri masyarakat secara langsung.
Dari proses tersebut sudah dapat diketahui jika derajat
partisipasi yang ditawarkan dalam forum musrenbang
sangatlah lemah sebab forum yang dibangun hanyalah
sebatas forum sosialisasi belaka, bukan forum konsultasi
terlebih negosiasi.9
Selain tertutupnya ruang partisipasi yang disediakan
pelyanan kesehatan anak). Begitu juga yang terjadi pada program pelayanan
kesehatan ibu dan reproduksi Rp 31,59 milyar habis untuk perjalanan
dinas mencapai Rp 24 milyar (76persen). Program untuk pengembangan
anak hanya dialokasikan sebesar Rp 1 milyar yang meliputi kegiatan
pengembangan Centre of Excellent RBM, Yankes Anak Minoritas dan
terisolasi, dan Surveilans Kesehatan Anak.
9 Dari hasil penelitian FITRA di 48 kabupaten/kota yang menunjukkan
derajat partisipasi masyarakat di tingkat musrembang selalu tinggi, namun
melemah ketika memasuki tahapan lebih tinggi.Lihat Forum Indonesia
untuk Transparansi Anggaran, Local Budget Index and Local Budget Study
2010-2011.
16
oleh pemerintah, masalah rendahnya derajat partisipasi
masyarakat juga berangkat dari ketidaktahuan atau
rendahnya pemahaman masyarakat terhadap anggaran
itu sendiri. Hal ini menjadi hal yang sangat krusial yang
belum pernah di sikapi oleh pemerintah. Dari hasil studi
Open Budget Index, dinyatakan bahwa rendahnya derajat
transparansi Indonesia karena salah satunya tidak adanya
Citizen’s Budget sebagai salah satu produk untuk “melek
anggaran” kepada masyarakat dalam mendorong partisipasi
masyarakat dalam penyusunan anggaran.
Dari pengalaman melakukan penelusuran anggaran
di 8 (delapan) wilayah program pencapaian MDGs
melalui Good Governance yang di laksanakan oleh tiga
lembaga, yaitu ACE, Kapal Perempuan dan JARI10
yang di
dukung oleh Kemitraan, tergambar bahwa ketidaktepatan
dalam kebijakan, perencanaan dan penganggaran daerah
akan berpengaruh langsung pada tingkat keberhasilan
pencapaian MDGs di wilayah tersebut. Sumber Pendapatan
daerah (seperti di Kebumen, Maros dan Lombok Timur)
dari tahun 2009 - 2011, selalu didominasi oleh Dana
Perimbangan, hal ini menandakan kemandirian fiskal
daerah rendah atau ketergantungan pemerintah daerah
terhadap pemerintah pusat sangat tinggi. Seumpama
dana perimbangan dihilangkan atau dikurangi dengan
10 Program Pencapaian MDGs melalui Good Goverment (Januari 2010-Juni
2012) di laksanakan oleh ACE, Kapal Perempuan dan JARI di dukung oleh
kemitraan, di 8 Kabupaten/ kota, di 8 Propinsi (Kebumen-Jawa Tengah,
Kupang-Nusa Tenggara Timur, Barito Kuala-Kalimantan Selatan, Padang
Panjang-Sumatera Barat,Mamuju- Sulawesi Barat, Kubu Raya-Kalimantan
Barat, Lombok Timu-Nusa Tenggara Barat, Maros-Sulawesi Selatan)
17
signifikan, hampir pasti stabilitas perjalanan pembangunan
daerah akan sangat terganggu.
Selain juga ditemukan alokasi anggaran di pemerintah
daerah masih jauh dari mencukupi untuk upaya-upaya
pencapaian MDGs, kemampuan dalam membiayai
kegiatan untuk pencapaian MDGs sangat kecil. Karena
Pendapatan daerah dari Dana Perimbangan seperti Dana
Alokasi Umum lebih banyak dialokasikan untuk membayar
belanja pegawai, lalu Dana Alokasi Khusus kegiatannya
sudah ditentukan oleh pemerintah pusat.
Analisis FORMASI Kebumen menyatakan bahwa :
“Anggaran Kabupaten belum berpihak kepada masyarakat
hal ini terlihat dari komponen belanja yang didominasi oleh
belanja tidak langsung yang tidak terkait langsung dengan
program dan kegiatan untuk masyarakat sedang belanja
tidak langsung alokasinya lebih banyak didominasi untuk
membayar gaji / belanja pegawai, maka tergambarkan
bahwa anggaran lebih banyak untuk membayar gaji
birokrasi dari pada untuk melaksanakan pembangunan”
Rekomendasi
Dalam konteks transparansi dan akuntabilitas, idealnya
sudah menjadi hak konstitusional rakyat untuk mengetahui
dan memperoleh semua informasi mengenai semua pos-
pos anggaran di APBN. Informasi yang tidak sekedar data/
angka makro, melainkan terperinci sebagaimana yang
terdokumentasi dalam dokumen “satuan 3”11
.Langkah
11 Satuan 3 adalah dokumen anggaran yang memuat deskripsi program dan
rincian alokasi pagu anggaran per Program, berdasarkan Unit Eselon I , dan
18
ini bisa dilakukan pemerintah dengan mengumumkan
semuapos anggaran yang tercantum dalam APBN melalui
media secara terbuka yang bisa diakses publik.Langkah
semacam ini akan dapat meningkatkan akuntabilitas dan
transparansi pelaksanaan anggaran. Sebab, rakyat bisa
secara langsung menilai, mengawasi, dan mengevaluasi
penggunaan semua pos mengenai kemana sesungguhnya
uang rakyat tersebut dibelanjakan, siapa pengguna
anggarannya, dan sejauh mana hasil yang dicapai.
Dalam konteks partisipasi, Pemerintah seharusnya
menyediakan ruang-ruang keterlibatan masyarakat selama
proses penyusunan anggaran, misalnya dengan meng-
agendakan rapat dengar pendapat (hearing) dengan berbagai
kelompok atau komponen dalam masyarakat secara rutin
dan kontinyu. Dalam praktik selama ini, keterlibatan
masyarakat dalam proses penyusunan anggaran adalah
nihil, demikian pula dalam hal pengawasan pelaksanaan
anggaran. Padahal masyarakat berhak untuk tahu anggaran
dalam suatu kementerian, ke mana saja anggaran itu
diarahkan dan siapa pelaksana proyek anggaran, dan apakah
pelaksanaan anggaran sudah sesuai aturan.
Dalam konteks akuntabilitas, pengawasan anggaran
yang dimiliki oleh DPR juga tidak mempunyai kekuatan
mekanisme tindak lanjut atas hasil pemeriksaan keuangan
BPK dan hasil temuan lapangan baik daerah maupun pusat.
Praktek yang terjadi selama ini, seringkali hasil pemeriksaan
keuangan cenderung disalurkan DPR melalui mekanisme
Iingkup Satuan Kerja lingkup Kementerian/Lembaga Negara.
19
internal di institusi sendiri. Dan problem politis, dimana
independensi anggota DPR dalam melaksanakan fungsi
kontrol anggaran masih sangat ditentukan oleh arah
kebijakan fraksi/partai politik yang menaunginya.
II. Ketimpangan Akses Kesehatan
Dalam tinjauan sektor kesehatan selalu digunakan
perspektif Hak Asasi Manusia (HAM) dan gender.
Perspektif HAM merujuk pada hak-hak dasar yang dimiliki
manusia yang bersifat universal. HAM tidak tergantung
dari pengakuan manusia lain, masyarakat lain, atau bahkan
negara lain. HAM adalah hak dasar yang dimiliki manusia
sebagai anugerah Tuhan dan melekat pada diri manusia,
bersifat kodrati, universal dan abadi, berkaitan dengan
harkat dan martabat manusia. Setiap manusia diakui
dan dihormati mempunyai hak asasi yang sama tanpa
membedakan jenis kelamin, warna kulit, kebangsaan,
agama, usia, pandangan politik, status sosial dan bahasa
serta status lain.
Sedangkan perspekti gender akan membantu kita
melihat secara jelas perbedaan-perbedaan, serta mampu
menunjukkan hubungan antara konsep gender equity dan
gender equality. Gender equity adalah sebuah konsep yang
menunjukkan adanya proses yang sama bagi perempuan
dan laki-laki, serta memastikan adanya kesamaan dalam
perlakuan (fairness) terhadap perempuan dan laki-laki.
Gender equality adalah sebuah konsep yang menunjukkan
bahwa perempuan dan laki-laki memiliki kondisi setara
20
untuk mengaktualisasikan hak-hak dan potensinya sebagai
manusia agar dapat menyumbangkan serta mendapatkan
manfaat dari program-program yang tersedia serta
kebijakan-kebijakan yang ada.
Gender equality merupakan bentuk pengakuan terhadap
perbedaan perempuan dan laki-laki, serta menghargai
peran yang mereka lakukan. Dengan demikian, gender
equity adalah strategi yang digunakan untuk memperoleh
gender equality. Gender equity adalah sebuah cara untuk
mencapai hasil, sementara gender equality adalah hasil yang
ingin dicapai.
Dalam hubungannya dengan perspektif gender,
Pemerintah Indonesia telah meratifikasi Konvensi
Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap
Perempuanpadatahun1984menjadiUUno.7tahun198412
.
Pengaturan ini diperkuat lagi pada tahun 1992, melalui
sidang ke-11 Komite Penghapusan Diskriminasi Terhadap
Perempuan (CEDAW) yang melahirkan Rekomendasi
Umum Nomor 19 yang menyatakan : “Kekerasan
berbasis gender adalah suatu bentuk diskriminasi yang
merupakan hambatan serius bagi kemampuan perempuan
untuk menikmati hak-hak dan kebebasannya atas dasar
persamaan hak dengan laki-laki. Rekomendasi umum ini
juga secara resmi memperluas larangan atas diskriminasi
berdasarkan gender dan merumuskan tindak kekerasan
berbasis gender sebagai: tindak kekerasan yang secara
12 Bahan ajar tentang hak perempuan: UU no. 7 tahun 1984 Pengesahan
Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap
Wanita, Yayasan Obor, 2007.
21
langsung ditujukan kepada perempuan karena ia berjenis
kelamin perempuan atau mempengaruhi perempuan
secara proposional. Termasuk di dalamnya tindakan yang
mengakibatkan kerugian atau penderitaan fisik, mental
dan seksual, ancaman untuk melakukan tindakan-tindakan
tersebut, pemaksaan dan bentuk-bentuk perampasan hak
kebebasan lainnya”.
Rekomendasi tersebut di atas menunjukkan ketim-
pangan terhadap perempuan adalah sebuah pelanggaran
HAM. Hal ini sesuai dengan Deklarasi dan Program Aksi
Wina13
(Tahun1993:Bagian1,Ayat18)yangmenyebutkan: 
“Hak Asasi Perempuan dan anak perempuan merupakan
bagian yang melekat, menyatu dan tidak terpisahkan dari
hak asasi manusia yang universal. Partisipasi perempuan
sepenuhnya dan sama dalam kehidupan politik, sipil
dan ekonomi, sosial dan budaya pada tingkat nasional,
regional dan international, serta pembasmian segala bentuk
diskriminasi atas dasar jenis kelamin merupakan tujuan
yang mendapat prioritas pada masyarakat internasional”.
Permasalahan kesehatan akan dilihat dengan kerangka
berpikir yang menggunakan perspektif HAM dan gender
agar bisa diperoleh gambaran yang utuh mengenai
bagaimana kondisi kesehatan dan pengaruh upaya-upaya
yang telah dilakukan bagi kehidupan masyarakat, baik laki-
laki maupun perempuan di Indonesia.
Kesehatan sangat penting bagi pembangunan, karena
merupakan prasyarat serta indikator sekaligus hasil sebuah
13 Ibid
22
capaian kemajuan dalam pembangunan sebuah negara.
Perhatian terhadap masalah kesehatan dengan menghargai
danmelindungihakasasisetiapwarga,baiklaki-lakimaupun
perempuan, dapat menjadi kekuatan yang berpotensi
mendorong kemajuan dalam upaya memenuhi prioritas
pembangunan, termasuk disini penyelesaian permasalahan
ketimpangan gender, kesehatan, ketahanan pangan dan
ketersediaan air serta anggaran seluruh aspek kesehatan agar
dapat mencapai tujuan kesejahteraan masyarakat.
Dengan demikian, tulisan atau ulasan mengenai
kesehatan adalah perlu karena sesuai dengan pasal 12
International Covenant on Economic, Social & Cultural Rights
(1966)14
, bahwa kesehatan (termasuk kesehatan reproduksi
dan seksualitas) sangat penting dalam pengembangan
potensi manusia serta pembangunan dan diakui sebagai
hak-hakasasiyangwajibdipenuhi.Selamamasihditemukan
permasalahan yang berhubungan dengan kesehatan, seperti
belum terselenggaranya dengan baik pelayanan kesehatan
bagi masyarakat atau belum terpenuhinya bagi semua
warga pengadaan air bersih, maka pembahasan mengenai
permasalahan kesehatan di Indonesia masih sangat relevan
dan beralasan kuat untuk menjadi perhatian dalam agenda
Paska 2015.
Indonesia sendiri telah berhasil menurunkan tingkat
kemiskinan sebagaimana diukur oleh garis kemiskinan
nasional sebesar 13,33 persen (2010) menuju target
14 Diambil dari web site Office of the United Nations High Commissioner for
Human Rights http://www2.ohchr.org/english/law/cescr.htm
23
8-10 persen pada tahun 2014.15
Harapannya dengan
berkurangnya tingkat kemiskinan dapat memberi dampak
pada perbaikan gizi masyarakat Indonesia. Prevalensi
kekurangan gizi pada balita telah menurun dari 31 persen
pada tahun 1989, menjadi 18,4 persen pada tahun 2007
sehingga Indonesia diperkirakan dapat mencapai target
MDG sebesar 15,5 persen pada tahun 2015.16
Dalam dua dasawarsa terakhir Indonesia telah membuat
kemajuan yang bermakna dalam upaya perbaikan gizi yang
ditunjukkan dengan menurunnya prevalensi kekurangan
gizi pada anak balita dari 31 persen pada tahun 1989
menjadi 21,6 persen pada tahun 2000. Angka prevalensi
tersebut meningkat kembali menjadi 24,5 persen pada
tahun 2005, namun pada tahun 2007 angka prevalensi
anak balita kekurangan gizi kembali menurun menjadi
18,4 persen.17
Data Riskesdas 2010 menunjukkan terjadinya
penurunan prevalensi kekurangan gizi pada anak balita
menjadi 17,9 persen.18
Dengan melihat kecenderungan ini
diharapkan target MDG sebesar 15,5 persen dapat tercapai
pada tahun 2015. Berdasarkan hal tersebut, sasaran yang
ditetapkan pemerintah dalam Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2010-2014
adalah menurunnya prevalensi kekurangan gizi (terdiri
dari gizi-kurang dan gizi-buruk) menjadi kurang dari 15
15 Laporan MDGs Bappenas, 2010, hal.5
16 Ibid
17 Riskesdas 2007
18 Riskesdas 2010
24
persen.19
Gizi buruk juga menjadi penyebab utama kematian
bayi. Separuh kematian bayi dan balita didasari oleh
keadaan gizi yang buruk. Dimana anak kurang memiliki
daya tahan tubuh sehingga mudah terserang penyakit
infeksi misalnya ISPA dan diare. Dampak langsung lainnya
adalah generasi gagal tumbuh. Kekurangan gizi yang terjadi
sejak masa janin dan masa balita akan menyebabkan berat
bayi lahir rendah, anak kecil, pendek dan kurus.
Disamping gagal tumbuh, anak yang memiliki status
gizi kurang atau buruk dan pendek atau sangat pendek
(stunting) berdasarkan pengukuran tinggi badan terhadap
umur (TB/U) yang sangat rendah dibanding standar
WHO mempunyai resiko kehilangan tingkat kecerdasan
atau intelligence quotient (IQ) sebesar 10-15 poin. Dimana
ini akan mempengaruhi prestasi sekolah dan keberhasilan
pendidikan.
Dalam jangka panjang, masalah gizi pada awal
kehidupan akan menurunkan produktivitas. Literatur
terkini mengungkapkan bahwa kekurangan dan kelebihan
gizi pada usia dini akan menyebabkan gangguan metabolik,
khususnya metabolisme lemak, karbohidrat, dan protein.
Ini merupakan faktor risiko utama penyakit tidak menular
seperti penyakit jantung koroner, diabetes melitus type 2
dan stroke pada usia dewasa.
Dalam Undang-Undang Nomor 36/ 2009 tentang
19 Ibid
25
Kesehatan, secara eksplisit disebutkan bahwa tujuan
pembinaan gizi adalah tercapainya mutu gizi perorangan
dan masyarakat melalui: perbaikan pola konsumsi makanan
yang sesuai dengan gizi seimbang, perbaikan perilaku sadar
gizi, aktivitas fisik, dan PHBS ( perilaku hidup bersih
dan sehat ), serta peningkatan akses dan mutu pelayanan
gizi yang sesuai dengan kemajuan ilmu dan teknologi.
Pemerintah memiliki tanggung jawab atas pemenuhan
kecukupan gizi pada keluarga miskin.
Walaupun secara nasional terjadi penurunan prevalensi
masalah gizi pada balita, tetapi masih terdapat kesenjangan
antarprovinsi dan antara desa-kota. Terdapat 18 provinsi
yang memiliki prevalensi gizi kurang dan buruk diatas
prevalensi nasional. Masih ada 15 provinsi dimana
prevalensi anak pendek di atas angka nasional, dan untuk
prevalensi anak kurus.
Kondisi gizi balita di desa cenderung lebih buruk
daripada kota. Masalah kekurangan konsumsi energi dan
protein terjadi pada semua kelompok umur, terutama pada
anak usia sekolah (6–12 tahun), usia pra remaja (13–15
tahun), usia remaja (16–18 tahun), dan kelompok ibu
hamil, khususnya ibu hamil di pedesaan.
Akar masalah gizi adalah kemiskinan yang sangat
terkait dengan ketersediaan bahan pangan, pola makan dan
kurangnya pengetahuan tentang gizi seimbang serta belum
optimalnya program yang ada dalam mengatasi penyebab
masalah gizi kurang, stunting20
, maupun gizi lebih.
20 Stunting adalah Kondisi dimana seorang anak memiliti tinggi badan
26
Dengan berbagai pendekatan dan proyek, pemerintah
telah berupaya untuk mengatasi beberapa masalah gizi dan
memenuhi ketercukupan gizi orang miskin. Namun masih
juga ditemukan banyak kasus gizi buruk, kesenjangan
antara antar provinsi maupun antara desa-kota. Beberapa
tantangan yang dapat diungkap adalah sebagai berikut:
1. Sempitnya pemahaman tentang masalah gizi baik di
pemerintahan maupun di masyarakat umum sehingga
program penanggulangan gizi buruk cenderung kurang
strategis. Hal ini dibuktikan dengan pilihan program
dalam rencana aksi daerah pangan dan gizi cenderung
ditentukan oleh sektor yang mengkoordinasikan
pembuatan rencana aksi daerah tersebut.
2. Koordinasi dan kolaborasi pemerintah pusat dengan
pemerintah daerah masih belum berjalan baik sehingga
perencanaan, implementasi dan pemantauan program
tidak berjalan lancar.
3. Ketidaksesuaian antara dokumen rencana aksi pangan
dan gizi terutama di tingkat provinsi dengan dokumen
perencanaan pembangunan yang lain seperti RPJMD,
rencana strategis daerah, rencana kerja tahunan dan
anggaran.
4. Kurangnnya sistem pemantauan dan evaluasi terkait
implementasi kebijakan tentang gizi misalnya UU 36
tentang Kesehatan 2009 dan PP 33 / 2012 tentang
Pemberian ASI Eksklusif.
dibawah normal anak seusianya akibat kekurangan asupan gizi.
27
5. Pendekatan keproyekan di bidang gizi yang kurang
terintegrasi di tingkat desa menjadi kendala dalam
mendorong partisipasi dan kemandirian warga untuk
mengambil peranan tingkat akar-rumput.
6. Pembinaan terhadap posyandu termasuk kadernya
yang dianggap strategis dalam program perbaikan
gizi ibu dan anak belum mendapat perhatian dalam
rencana aksi nasional maupun daerah
Hambatan dan tantangan yang ada memang cukup
memberi dampak pada pencapaian target MDGs. Berikut
rekomendasi untuk mencapai taget pemenuhan gizi
seimbang untuk masyarakat antara lain:
1. Penguatan program gizi yang sudah ada mulai dari
perencanaan, implementasi dan pemantauan untuk
setiap komponen program (input – proses – output –
outcome) di setiap tingkatan administrasi (mulai dari
tingkat nasional hingga desa).
2. Integrasi pembangunan gizi menjadi bagian dari
pembangunan di tingkat desa dalam kerangka
pemberdayaan daripada keproyekan.
3. Melibatkanpartisipasimasyarakatsipildalammengawal
perencanaan dan pengganggaran pembangunan gizi
pemerintah.
4. Pemerintahperlumengembangkankonseppemantauan
efektivitas kebijakan yang lebih independen yang
melibatkan masyarakat sipil misalnya LSM dan
28
perguruan tinggi.
5. Integrasi pembinaan yang bisa dilakukan oleh Pokjanal
posyandu perlu diaktifkan dengan melibatkan sektor
pemerintah terkait secara lebih luas.
6. Membangun koordinasi dan kolaborasi yang lebih baik
antara pusat dan daerah , antar instansi, sektor dan
program agar memberikan dampak yang signifikan.
7. Pendidikan bagi para kader posyandu tentang gizi
yang utuh termasuk pemantauan dan penimbangan
ibu hamil, sangat penting untuk ditingkatkan terus-
menerus.
Sejak deklarasi Hak Asasi Manusia (HAM) tahun 1948,
bangsa-bangsa di dunia sepakat untuk menjamin standar
hidup dan hak hidup yang sama kepada semua bangsa dan
setiap orang. Artinya setiap manusia, termasuk manusia
yang baru lahir, berhak untuk dijamin kesehatannya dan
mendapatkan hidup yang layak. Hal ini menjadi landasan
dimasukannya target penurunan Angka Kematian Bayi
(AKB) ke dalam salah satu target MDGs.
Angka Kematian Bayi (AKB) dan Angka Kematian
Balita (AKABA) di Indonesia masih cukup tinggi dimana
lebih dari 500 balita (0-5 tahun) meninggal setiap harinya
secara rata-rata. Tahun 1990 AKB sebesar 68 per 1000
kelahiran hidup (KH). Menurut data terakhir, AKB
menjadi 34/1000 KH dan AKBa 44/1000 KH.21
Meskipun
ada penurunan sejak tahun 1990, penurunan ini masih jauh
21 SDKI 2007
29
dari target MDG tahun 2015 dimana AKB diharapkan
turun menjadi 23 dan AKA AKABA 32 per 1000 kelahiran
hidup. Sebagian besar dari penyebab kematian bayi dan
balita terjadi pada bayi baru lahir / neonatal ( umur 0 –
28 hari ). Masalah neonatal ini biasanya meliputi asfiksia
( kesulitan bernapas saat lahir ), bayi berat lahir rendah (
BBLR ), diare dan komplikasi prenatal.
Jika diperbandingkan dengan negara tetangga, kasus
kematian balita di Indonesia pertahun sangat tinggi
yakni berjumlah 200.000 per tahun. Bandingkan dengan
Malaysia yang hanya 3.694 dan Filipina yang memiliki
85.400 kasus kematian balita. Penyebab kematian utama
anak balita di Indonesia adalah: diare, pneumonia, malaria
( di daerah endemis malaria ) dan campak. Sebenarnya,
penyebab kematian ini bisa dicegah dengan imunisasi,
deteksi dini, perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) serta
penanganan yang cepat dan tepat.
Akar masalah dari rendahnya kualitas hidup bidang
kesehatan adalah kemiskinan yang menyebabkan sulitnya
mengakses layanan kesehatan, kondisi hidup yang kurang
layak, ketersediaan pangan dan tingkat pengetahuan yang
kurang memadai.
Komplikasi ini harusnya dapat dicegah, namun ter-
kendala banyaknya tantangan dan hambatan, diantaranya:
1. Tidak adanya sistem pencatatan kelahiran, kematian,
penyebab kematian yang baik.
2. Masyarakat kurang mampu tidak dapat mengakses
30
pelayanan kesehatan dasar. Terlambat mendapat
penanganan medis menyebabkan hampir 70persen
kematian anak balita.
3. Kurangnya cakupan imunisasi yang dapat mencegah
sebagian besar penyakit menular.
4. Kesenjangan fasilitas dan layanan kesehatan antar
wilayah di Indonesia menimbulkan perbedaan
signifikan dalam upaya penurunan AKB.
5. Kurangnnya sistem pemantauan dan evaluasi terkait
implementasi kebijakan tentang kesehatan anak.
6. Rendahnya kesadaran orang tua untuk mencari
pertolongan tenaga kesehatan
7. Berbagai kebijakan tentang perbaikan kesehatan gizi,
diantaranya UU Kesehatan No.36 / 2009 pasal 142
serta PP 33/2012 tentang Pemberian ASI Eksklusif,
belum mampu melindungi kepentingan ibu dan bayi.
Untuk mempercepat pencapaian target penurunan
AKB di Indonesia, beberapa solusi dan rekomendasi yang
dapat dilakukan, antara lain:
1. Perlunya strategi kebijakan jangka pendek dan jangka
panjang, termasuk anggaran pembangunan bidang
ekonomi, pangan dan gizi, kesehatan, pendidikan, dan
keluarga berencana untuk meningkatkan status gizi
masyarakat.
2. Adanya sistem pencatatan bagi setiap kelahiran dan
31
kematian yang mampu diimplementasikan oleh staf
pemerintah di tingkat daerah.
3. Mendorong program imunisasi dan pola hidup sehat
untuk mencegah penularan penyakit
4. Pemerataan pembangunan kesehatan di wilayah
terpencil.
5. Ketersedian layanan kesehatan yang memadai dan
mudah dijangkau oleh ibu dan balita.
6. Memastikan adanya 1 bidan yang tinggal di 1 desa
terutama di wilayah terpencil.
7. Pemerintahperlumengembangkankonseppemantauan
efektivitas kebijakan yang lebih independen yang
melibatkan masyarakat sipil misalnya LSM dan
perguruan tinggi.
Dari semua target MDGs, kinerja penurunan angka
kematian ibu secara global masih rendah. Di Indonesia,
Angka Kematian Ibu (AKI/MMR, Maternal Mortality
Rate) menurun dari 390 pada tahun 1991 menjadi 228
per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 2007. Target
pencapaian MDGs pada tahun 2015 adalah sebesar 102
per 100.000 kelahiran hidup, sehingga diperlukan kerja
keras untuk mencapai target tersebut. Walaupun pelayanan
antenatal dan pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan
telah cukup tinggi, beberapa faktor seperti risiko tinggi
pada saat kehamilan dan aborsi perlu mendapat perhatian.22
22 Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium Indonesia 2010.
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, 2010, hal. 66
32
Berdasarkanangkadiatasdiketahuibahwatargetpenurunan
AKI di Indonesia bahkan belum mencapai setengah angka
yang diharapkan.
Pertolongan persalinan dengan bantuan tenaga
kesehatan terlatih merupakan salah satu cara yang paling
efektif untuk menurunkan AKI di Indonesia. Persentase
persalinan yang ditolong oleh tenaga kesehatan terlatih
meningkat dari 66,7 persen pada tahun 2002 menjadi
77,34 persen pada tahun 2009 (Susenas). Angka tersebut
terus meningkat menjadi 82,3 persen pada tahun 2010
(Riskesdas, 2010). Disparitas pertolongan persalinan oleh
tenaga terlatih antarwilayah masih merupakan masalah.
Data Susenas tahun 2009 menunjukkan capaian tertinggi
sebesar 98,14 persen di DKI Jakarta sedangkan terendah
sebesar 42,48 persen di Maluku.23
Untuk memastikan kesehatan ibu selama kehamilan,
diperlukan pelayanan antenatal (antenatal care/ANC), yang
juga akan menjamin ibu dalam melakukan persalinan di
fasiltas kesehatan. Sekitar 93 persen ibu hamil memperoleh
pelayanan antenatal dari tenaga kesehatan profesional
selama masa kehamilan. Terdapat 81,5 persen ibu hamil
yang melakukan paling sedikit empat kali kunjungan
pemeriksaan selama masa kehamilan, namun baru 65,5
persen yang melakukan empat kali kunjungan sesuai jadwal
yang dianjurkan.
Dari data yang dijelaskan di atas, ternyata masih
banyak ditemukan tantangan dan kendala selama proses
23 Ibid, hal. 67
33
penurunan AKI di Indonesia :
1. Terbatasnya akses masyarakat terhadap fasilitas pelayan-
an kesehatan yang berkualitas, terutama bagi penduduk
miskin di daerah tertinggal, terpencil, perbatasan dan
kepulauan (DTPK).
2. Terbatasnya ketersediaan tenaga kesehatan baik dari
segi jumlah, kualitas dan persebarannya, terutama
bidan.
3. Masih rendahnya pengetahuan dan kesadaran masya-
rakat akan pentingnya menjaga kesehatan dan kese-
lamatan ibu.
4. Masih rendahnya status gizi dan kesehatan ibu hamil.
5. Masih rendahnya angka pemakaian kontrasepsi dan
tingginya unmet need.
6. Pengukuran AKI masih belum tepat, karena sistem pen-
catatan penyebab kematian ibu masih belum adekuat
Selanjutnya pemerintah juga kurang memperhatikan
kebutuhan remaja untuk mendapatkan pelayanan
kesehatan reproduksi. Dalam pelayanan promosi
kesehatan dan pemberdayaan masyarakat, dikatakan
target pemenuhannya hanyalah cakupan desa siaga aktif,
padahal banyak kebutuhan promosi kesehatan yang
menjadi kebutuhan masyarakat, khususnya remaja dalam
mendapatkan pendidikan kesehatan. Promosi kesehatan
yang menjadi salah satu pelayanan mulai dari Puskesmas
belum memiliki kewajiban untuk menyediakan pelayanan
34
kesehatan reproduksi remaja.
Kurangnya pengetahuan tentang kesehatan reproduksi
ternyata berdampak positif terhadap tingginya kasus KTD
(kelahiran tidak diinginkan), baik oleh remaja maupun
perempuan yang telah menikah.24
Ketidaktahuan ini
berlanjut dengan proses pemulihan haid dengan cara yang
tidak aman. Sebagai contoh mereka mengkonsumsi jamu,
obat, atau minuman tradisional untuk pemulihan haid.
Tidaksedikityangmenggunakancarafisiksepertimelompat
dan sejenisnya untuk menggugurkan kandungan, sebagian
bahkan memilih melakukan aborsi yang tidak aman untuk
mengakhiri KTD dan tidak mengetahui cara terbaik.
Belum adanya layanan pemulihan haid yang aman
dari pemerintah memunculkan banyak praktik aborsi
tidak aman, di samping tidak adanya fasilitas bagi remaja
atau ibu yang mengalami KTD dan ingin konsultasi
untuk mengakhiri dengan cara aman. Stigma masyarakat,
bahkan petugas kesehatan, justru memojokkan posisi
dan kondisi ibu yang mengalami KTD, padahal bisa jadi
mereka yang mengalaminya merupakan korban yang
tidak menghendaki kehamilan tersebut. Jika diteliti lebih
dalam, praktik pemulihan haid dan aborsi yang tidak aman
akan menimbulkan kerugian bagi kesehatan reproduksi
perempuan, lebih parah lagi mereka bisa sampai mengalami
kematian. Tidak heran jika di Indonesia Angka Kematian
Ibu (AKI) masih cukup tinggi karena minimnya fasilitas
24 Hasil Penelitian PKBI Pusat, Fakta Kebutuhan Perempuan Terhadap
Layanan Pemulihan Haid di 13 Kota tahun 2008 – 2011. Dipresentasikan
saat Diseminasi hasil penelitian PKBI tanggal 18 Desember 2012
35
untuk mendapatkan pelayanan kesehatan reproduksi untuk
perempuan.
Terkait isu HIV/AIDS, Indonesia termasuk salah satu
negara di Asia yang pertumbuhan kasus HIV dan AIDS
relatif cepat, hal ini diungkapkan oleh UNAIDS dalam
laporannya HIV in the ASIA and the Pacific “Getting to
Zero”, pada tahun 2011. Kasus HIV/AIDS di Indonesia
pertama kali ditemukan pada tahun 1987. Sampai dengan
September 2012 kasus HIV/AIDS tersebar di 341 dari 497
kabupaten/kota di seluruh (33) provinsi di Indonesia (atau
sekitar 71 persen). Provinsi pertama yang menemukan
kasus HIV/AIDS adalah Bali di tahun 1987, sedangkan
provinsi terbaru yang terakhir melaporkan adanya kasus
HIV adalah Provinsi Sulawesi Barat pada tahun 2011.25
Tahun 2005 jumlah kasus HIV di Indonesia yang
dilaporkan sebanyak 859 kasus dan hampir selalu
meningkat setiap tahunnya, hingga tahun 2012 menjadi
15.372 kasus. Jumlah kumulatif kasus HIV yang dilaporkan
sampai dengan September 2012 sebanyak 92.251 kasus.
Jumlah kasus HIV tertinggi di DKI Jakarta (21.775 kasus),
diikuti Jawa Timur (11.994 kasus), Papua (9.447 kasus),
Jawa Barat (6.640), dan Sumatera Utara (5.935 kasus).
Kementerian Kesehatan juga memilah kasus AIDS dari
tahun 2005 jumlah kasus AIDS yang dilaporkan sebanyak
(4.774 kasus), tahun 2006 (3.439 kasus), tahun 2007
(4.434 kasus), tahun 2008 (5.134 kasus), tahun 2009
(5.458 kasus), tahun 2010 (6.476 kasus). Jumlah kumulatif
25 KEMENKES, Laporan HIV/AIDS Twiwulan III, 2012.
36
kasus AIDS dari tahun 1987 sampai dengan September
2012 sebanyak 39.434 kasus.26
Selanjutnya Kementerian Kesehatan RI melaporkan
kasus HIV tersebut dari kategori usia dan jenis kelamin.
Dari Juli sampai dengan September 2012 jumlah kasus baru
HIV yang dilaporkan sebanyak 5.489 kasus. Prosentase
kasus HIV tertinggi dilaporkan pada kelompok umur 25-
49 tahun (73,7persen), diikuti 20-24 tahun (15,0persen)
dan umur kurang lebih 50 tahun (4.5persen). Rasio kasus
HIV antara laki-laki dan perempuan adalah 1:1. Prosentase
heteroseksual (50,8persen), penggunaan jarum suntik
tidak steril pada Penasun (9,4persen), dan laki laki yang
berhubungan seksual dengan laki-laki lain (7 persen).
Untuk kasus AIDS sejak Juli sampai September 2012
jumlah kasus baru yang dilaporkan sebanyak 1.317 kasus.
Prosentase tertinggi pada kelompok umur 30-39 tahun
(40,7persen), diikuti 20-29 tahun (29,0persen) dan 40-49
tahun (17,3persen). Rasio kasus AIDS antara laki-laki dan
perempuan adalah 2.1. Jumlah kasus tertinggi terjadi di
Provinsi DKI Jakarta (648), Jawa Tengah (140), Bali (102),
Jawa Barat (80) and Kepulauan Riau (78). Prosentase faktor
resiko AIDS tertinggi adalah hubungan seks tidak aman
pada heteroseksual (81,9persen), pengguna jarum suntik
tidak steril pada penasun (7.2persen), dari ibu (positif
HIV) ke anak (4,6persen), dan lelaki yang berhubungan
seks dengan lelaki lain (2,8persen).27
26 Ibid.
27 KEMENKES, Laporan HIV/AIDS Twiwulan III, 2012
37
Dari data tersebut di atas dapat dibaca bahwa kasus
HIV/AIDS meningkat setiap tahunnya. Tidak hanya pada
kaum laki-laki tetapi juga pada perempuan. Kerentanan
perempuan terhadap HIV disebabkan oleh berbagai faktor,
di antaranya ketimpangan gender yang berakibat pada
ketidakmampuan perempuan untuk mengontrol perilaku
seksual suami atau pasangan seksualnya. Kurangnya
pengetahuan serta akses untuk mendapatkan informasi
dan pelayanan pengobatan kesehatan seksual, kesehatan
reproduksi serta HIV/AIDS juga menjadi penyebab
tingginya kasus pada perempuan.
Upaya mencegah penularan HIV dilakukan dengan
program Preventing Mother To Child Transmission
(PMTCT), ditujukan kepada ibu rumah tangga,
perempuan pekerja seks, perempuan pengguna narkoba
suntik dan buruh migran dengan memperhatikan HAM
dan layanan yang sensitif gender. Layanan PMTCT terdiri
dari empat strategi, yaitu: (a) mencegah penularan HIV
pada perempuan usia produktif, (b) mencegah kehamilan
yang tidak direncanakan pada perempuan HIV positif,
(c) mencegah penularan HIV dari ibu hamil HIV positif
ke bayi yang dikandungnya, (d) memberikan dukungan
psikologis, sosial dan perawatan kepada ibu HIV positif
beserta bayi dan keluarga.28
Hingga akhir tahun 2011, layanan PMTCT telah
tersedia di 90 rumah sakit rujukan yang terdapat di ibukota
provinsi dan kota-kota besar, serta telah diakses oleh 1.862
28 Laporan HIV/AIDS, KEMENKES, 2011.
38
perempuan dengan HIV di Indonesia. Namun demikian
rumah sakit yang merupakan rujukan layanan PMTCT
belum semua melakukan penatalaksanaan medis dan
manajemen yang baik kepada perempuan terinfeksi HIV.
Dalam Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan
Millenium Indonesia (MDGs) tahun 2010 disebutkan
terjadi peningkatan jumlah infeksi HIV baru. Sepanjang
periode 1996 sampai dengan 2006, angka kasus HIV
meningkat sebesar 17,5persen dan diperkirakan bahwa ada
sekitar 193.000 orang yang saat ini hidup dengan HIV
di Indonesia. Epidemi AIDS umumnya terkonsentrasi
pada populasi berisiko tinggi di sebagian besar wilayah
Indonesia dengan estimasi nasional untuk prevalensi orang
dewasa dengan AIDS 0,22persen pada tahun 2008. Papua
dan Papua Barat mengalami pergeseran ke generalized
epidemic dengan prevalensi 2,4persen pada usia 15-49
tahun. Sementara itu, jumlah kumulatif kasus AIDS terus
meningkat. Ditemukan 19.973 kasus pada tahun 2009,
artinya lebih dari dua kali lipat jumlah kumulatif pada
tahun 2006 sebesar 8.194.29
Kemudian berkenaan dengan air dan sanitasi, bahwa
tujuan tujuh target ke-10 dalam MDGs ialah menurunkan
hingga separuhnya proporsi penduduk tanpa akses
terhadap sumber air minum yang aman dan berkelanjutan,
serta fasilitas sanitasi dasar pada 2015. Dalam upaya
pencapaian target MDGs tersebut, Pemerintah Indonesia
29 Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan
Pembangunan Nasional (BAPPENAS), 2010,
39
dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional
(RPJMN) bidang Air Minum dan Penyehatan Lingkungan
(AMPL) 2010-2014 memiliki target untuk meningkatkan
akses air minum bagi 70 persen penduduk pada akhir 2014.
Selain itu pemerintah juga menargetkan untuk
kondisi stop BABS (Buang Air Besar Sembarangan) dan
menyediakan akses sistem pengelolaan limbah untuk
90 persen penduduk. Dalam hal pengelolaan sampah,
pemerintah memiliki target 80 persen rumah tangga di
perkotaan memiliki akses terhadap pengelolaan sampah
serta menurunkan luas genangan (potensi banjir) sebesar
22.500 hektar di 100 kawasan strategis kota.30
Proporsi rumah tangga dengan akses air minum layak
meningkat dari 37,73 persen pada tahun 1993 menjadi
47,71 persen pada tahun 2009. Sementara itu, proporsi
rumah tangga dengan akses sanitasi layak meningkat dari
24,81persen (1993) menjadi 51,19 persen (2009). Pada
praktiknya, pencapaian penyediaan sarana air bersih dan
sanitasi belum mampu dicapai, baik dalam target MDGs
maupun RPJMN. Hingga tahun 2012 capaian sarana air
minum masih di angka 44,19 persen dan cakupan akses
pengelolaan air limbah masih 55,53persen. Hal yang sama
juga terjadi untuk drainase (55 persen dari target 100
persen) dan pengelolaan sampah (42,9 persen dari target 80
persen).31
(lihat lampiran, grafik 7: Target dan Pencapaian
Infrastruktur Air Minum dan Sanitasi).
30 RPJMN 2010 - 2014
31 Bappenas, 2012
40
Kondisi diatas terjadi karena beberapa faktor,
diantaranya: (1) belum memadainya perangkat peraturan
yang mendukung penyediaan air minum dan pengelolaan
sanitasi (2) masih terbatasnya lembaga yang kredibel dan
profesional (3) kualitas perencanaan penyediaan layanan
air minum dan pengelolaan sanitasi masih rendah, serta (4)
terbatasnya pendanaan untuk mendukung seluruh aspek
penyediaan air minum dan pengelolaan sanitasi.32
Rekomendasi bagi pelayanan kesehatan pasca 2015:
1. Memasukan fasilitas pelayanan kesehatan reproduksi
(melalui pendidikan kesehatan reproduksi) terlebih
untuk perempuan, kelompok difable (berkebutuhan
khusus), ODHA (Orang Dengan HIV/AIDS), dan
mereka yang berada di Daerah Terpencil Kepulauan
dan Perbatasan (DTPK) ke dalam indicator SPM
2. Mengupayakan tersedianya layanan kesehatan
reproduksi di Puskesmas untuk semua warga, termasuk
fasilitas konsultasi KTD hingga pelayanan pemulihan
haid yang aman
3. Membentuk peer conseling untuk remaja di setiap
jenjang pendidikan terkait kesehatan reproduksi
4. Menghapus praktik aborsi tidak aman karena akan
meningkatkan peluang tingginya AKI di Indonesia
5. Melakukan pendekatan cultural kepada masyarakat
untuk bisa merubah pola pikir agar menganggap
32 Lampiran Pidato Kenegaraan Presiden RI dalam HUT Proklamasi
Kemerdekaan RI ke-67, 2012
41
permasalahan kespro, khususnya kespro remaja
merupakan masalah bersama sehingga tidak lagi
menekannya sebagai hal yang tabu untuk dibicarakan
III. Lingkungan: Bencana Ekologis dan Konflik
Berkepanjangan
Persoalan atau krisis lingkungan hidup dan sumber daya
alam yang terjadi di level nasional tidak dapat dilepaskan
dari sistem ekonomi politik global dimana korporasi,
lembaga keuangan, termasuk negara di dalamnya saling
berkolaborasi demi pelanggengan kekuasaannya. KTT
Pembangunan Berkelanjutan di Rio de Janeiro (Rio +20)
dan KTT Perubahan Iklim COP 18 di Doha menegaskan,
bagaimana pengaruh korporasi semakin menguat dalam
penentuan berbagai kebijakan negara yang seharusnya
bertanggung jawab melindungi warga negara dan
lingkungan hidupnya.
KTT Rio +20 menjadi titik balik yang mengecewakan
bagi masyarakat sipil dunia dan menjadi satu catatan
sejarah terburuk inkosistensi pemerintahan negara-negara,
yang pada dua dekade sebelumnya, telah mencanangkan
upaya global mewujudkan dunia yang lebih adil dan
berkelanjutan.KTTRio+20menampilkanketidakpedulian
para pemimpin-pemimpin negara maju dalam mendorong
agenda pembangunan berkelanjutan.33
33 Para pemimpin tersebut menyerahkan kepemimpinan untuk agenda
pembangunan berkelanjutan ini kepada korporasi. Dalam pertemuan
KTT Rio +20 ini lebih dari 1000 perwakilan bisnis besar hadir dan
dengan kekuatan lobby yang luar biasa berhasil memasukkan kepentingan-
kepentingan mereka dalam KTT ini.
42
Sementara Pertemuan COP ke-18 dari United Nations
Framework Conference on Climate Change (UNFCCC) -
KTT Perubahan Iklim di penghujung tahun 2012 lalu juga
masih menunjukkan hal yang mengecewakan. Perjanjian
iklim global kali ini diselenggarakan di tengah pesimisme,
bahwa proses negosiasi akan membawa resolusi untuk
mengatasi perubahan iklim secara adil, terutama bagi
negara-negara miskin dan berkembang yang paling rentan
dan tidak siap menghadapi dampak perubahan iklim.
Salah satu hal yang menjadi pembahasan utama
adalah perdebatan mengenai perdagangan karbon (offset),
dimana negara-negara industri Annex-1 dengan gencarnya
mendorong perdagangan karbon dengan skema offset
sementara negara-negara non-Annex-1 menolak dengan
tegas.34
PemerintahIndonesiadalamkonferensikaliinijustru
mengambil langkah mendukung penuh mekanisme pasar
dengan skema offset (perdagangan karbon) sebagaimana
yang diinginkan oleh negara-negara industri.35
Negara-
negara industri tanpa keraguan menunjukkan keengganan
melaksanakan kewajiban penurunan emisi, padahal untuk
mencegah memburuknya dampak perubahan iklim
terutama bagi negara-negara berkembang dan miskin,
penurunan emisi oleh negara-negara industri maju adalah
suatu keharusan.
Tantangan ini membutuhkan strategi baru untuk
pembangunan pasca 2015. Kita harus mendapatkan
34 atau setidaknya tidak menyatakan dukungan secara eksplisit.
35 Lihat: http://www.mongabay.co.id/2012/12/05/lupakan-masalah-
kehutanan-ri-malah-dagang-karbon-di-doha/
43
suatu visi baru pembangunan secara menyeluruh,
berdasarkan pada filosofi yang selaras dengan alam.
Hal ini membutuhkan suatu transformasi sosial yang
mendalam yang mengharuskan redistribusi radikal atas
kepemilikan, akses dan kontrol atas sumber daya produktif
dalam mencapai kehidupan yang lebih bermartabat. Juga
dibutuhkan reorientasi produksi dan konsumsi untuk
memenuhi kebutuhan masyarakat dan potensi manusia
dalam batas-batas lingkungan ketimbang memaksimalkan
keuntungan jangka pendek.
Pembaharuan tata kelola sumber-sumber kehidupan
dan ruang hidup harus disertai dengan perubahan yang
mendasar pada sistem pendukungan dan desentralisasi
kewenangan. Tata kelola sumber daya alam kepulauan
Indonesia dalam konsepsi pembangunan berkelanjutan,
harus bisa menjamin kedaulatan pangan, kecukupan air,
kemandirian energi dan keberlanjutan mata pencaharian
dalam kerentanan perubahan iklim dan bencana ekologi.
Pembangunan harus mampu menjamin keadilan
sosio-lanskap, penghormatan terhadap keberagaman,
kemandirian dan kemartabatan budaya komunitas.
Pembangunan berkelanjutan harus diletakkan sebagai
kebutuhandanaspirasimanusiakinidanmasadepan.Karena
itu prinsip HAM seperti hak-hak ekonomi, sosial, budaya,
dan hak atas pembangunan dapat membantu memperjelas
arah dan orientasi perumusan konsep pembangunan yang
berkelanjutan. Secara lebih kongkrit tidak bisa disangkal
bahwa hak manusia atas lingkungan hidup yang sehat dan
44
baik, menjadi kebutuhan mendesak sebagai bagian dari
HAM. Hak atas pembangunan tidak lepas dari ketentuan
bahwa proses pembangunan haruslah memajukan
martabat manusia, dan tujuan pembangunan adalah demi
kemajuan yang terus menerus secara berkelanjutan untuk
kesejahteraan manusia secara adil merata
Pendekatan pembangunan selama ini cenderung
mengutamakan kawasan perkotaan dari pedesaan, sehingga
kawasan pedesaan tertinggal jauh dari pembangunan
perkotaan. Pendekatan pembangunan juga cenderung
mengutamakan wilayah daratan dari lautan, sehingga
pembangunan kelautan sangat tertinggal dan cenderung
menjadi obyek penyelesaian masalah darat (misalnya
sampah dan limbah). Bagi masyarakat lokal, tata kelola
sumberdaya alam (laut dan daratan) tidak sekedar
bagaimana mereka mengelola sumber kebutuhan fisik,
melainkan juga terkait dengan ruang hidup dan sumber
inspirasi dalam membangun kebudayaan dan peradaban
mereka.
Pengelolaan SDA yang terkotak-kotak dalam wilayah
administrasiyangkecil-kecilseringkalilebihsempitdaripada
ekosistem serta menimbulkan konflik antardaerah. Padahal
daya dukung SDA per daerah administratif tidak mampu
mendukung pembangunan dan kehidupan jangka panjang,
sehingga diperlukan kerjasama antardaerah untuk mencapai
kesejahteraan bersama dan keberlanjutan sistem penyangga
kehidupan. Begitu juga pendekatan pengelolaan SDA
yang sektoral seperti pertanian, kehutanan, pertambangan,
45
industri dan kelautan, penyebab terjadinya perebutan SDA,
dan tumpang tindihnya kebijakan di antara sektor-sektor
tersebut.
Dari segi keadilan sosial, kebijakan-kebijakan yang ada
bersifat atas-bawah (top-down) dan tidak memperhatikan
budaya setempat. Kebijakan pengelolaan SDA selama ini
cenderung bersifat sentralistik, elitis, paternalistik dan
eksploitatif, sehingga menimbulkan kerusakan SDA dan
lingkungan hidup serta kesenjangan ekonomi dan sosial
antar pusat dan daerah, antara kelompok masyarakat,
antarsektor dan antarkawasan.
Terkotak-kotaknya wilayah ekosistem ke dalam wilayah
administrasi dan sektoral menyebabkan banyak kelompok
masyarakat setempat terganggu kehidupan ekonominya.36
Pendekatan pembangunan saat ini cenderung seragam,
sementara kemajemukan sosial budaya adalah kenyataan,
sehingga pembangunan tidak sesuai dengan kebutuhan dan
karakteristik lokal. Hal ini menyebabkan pembangunan
tidak efektif, tidak efisien dan boros, serta menimbulkan
banyak konflik sosial.
Negara tidak mengakui dan memberi ruang bagi
penguasaan SDA oleh masyarakat, baik secara individual
maupun komunal, khususnya kepemilikan pada hutan
alam, sumber daya mineral dan kawasan perairan laut.
Hal ini menyebabkan konflik akibat klaim negara atas
36 Seperti masyarakat pemburu dan peramu, peladang berpindah dan nelayan
tradisional; serta terganggu kebudayaannya seperti sistem pengetahuan,
mata pencarian hidup, teknologi, religi, institusi dan norma-norma
sosialnya.
46
penguasaan SDA dengan masyarakat secara individual
maupun komunal. Padahal model pengelolaan SDA yang
selama ini dipraktikkan oleh rezim yang mengakibatkan
kerusakan lingkungan hidup yang dirasakan oleh semua
makhluk hidup.
Keadaan ini semakin diperparah karena UU terkait
sumber daya alam dan lingkungan hidup di Indonesia saling
bertentangandantidaksinkron,baikdenganperaturanyang
lebih tinggi maupun dengan sesama UU maupun peraturan
di bawah UU. Sedikitnya ada lima undang-undang yang
secara sistematis telah memberikan kewenangan yang
luas, bahkan terlampau luas, kepada pemerintah atas
sumber-sumber agraria, namun kewenangan yang ada
tidak dibarengi dengan semangat Undang-undang Dasar
1945 dan Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) 1960,
yaitu; Undang-undang No. 41/1999 tentang Kehutanan,
Undang-undang No. 18/2003 tentang Perkebunan,
Undang-undang No. 7/2004 Sumber Daya Air, Undang-
undang No. 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir
dan Pulau-Pulau Kecil, dan Undang-undang No. 4/2009
tentang Mineral dan Batubara.
Di tengah situasi carut-marutnya kebijakan tersebut
kemudian hadir Perpres 3/2011 tentang Masterplan
Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi
Indonesia (MP3EI) sebagai kelanjutan dari pertemuan
Infrastructur Summit di Bali yang masih mengutamakan
ekstraksiSDAdimanaternyatatidakmemilikisafeguarddan
sangat membahayakan bagi lingkungan dan keselamatan
47
rakyat. MP3EI tidak disusun untuk mengkoreksi
berbagai kebijakan dan memperbaiki berbagai persoalan
kerusakan dan kejahatan lingkungan yang diakibatkan oleh
pembangunan.37
Hal ini bukan saja bertentangan dengan
komitmen pemerintah.
Dalam MP3EI tidak terlihat visi nasionalismenya, dan
kepentingansiapayangdiusungkarenatidakmencerminkan
kebutuhan rakyat. Untuk menopang MP3EI kemudian
pemerintah mengeluarkan berbagai kebijakan seperti: UU
PengadaanTanah untuk Pembangunan, Perpres No. 3/2012
tentang Rencana Tataruang Pulau Kalimantan dan Perpres
No. 13/2012 tentang Rencana Tataruang Pulau Sumatera.
Regulasi ini mengindikasikan semakin kuatnya tekanan
modal dan negara dalam upaya menggunakan sumber
daya alam guna kepentingan ekonomi semata dan kurang
menempatkan posisi masyarakat maupun implikasinya
bagi masyarakat dalam kawasan dan sekitar kawasan hutan.
Lebih dari 91 persen konflik sumber daya alam di
Indonesia terjadi antara masyarakat dengan perusahaan.
Pemicu utamanya adalah pertentangan klaim wilayah
antara masyarakat dengan pemegang izin. Tidak hanya
menelan harta, konflik perebutan sumber daya alam telah
merenggut korban jiwa dan sumber kehidupan utama
masyarakat. Konflik sumber daya alam sebagai salah satu
wilayah dengan pelanggaran HAM yang paling serius
di Indonesia. Hingga saat ini, para pelaku kekerasan dan
37 sementara UU 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup diabaikan
48
pembunuhan tidak tersentuh oleh proses hukum yang
memadai.
Penghancuranlingkunganjugadisebabkanolehindustri
tambang. Hal ini disebabkan oleh adanya pelemahan
regulasi di sektor tambang. Upaya perlindungan dari
ancaman pertambangan hanya menjadi diskursus di meja
diskusi dan seminar, sementara rakyat lingkar tambang
terus menjadi korban. Bukti pelemahan regulasi tersebut,
misalnya, dibiarkannya Newmont membuang limbah
tailing ke laut yang secara fakta telah merusak ribuan mata
pencarian nelayan diTeluk Senunu. Padahal secara legal izin
pembuangan tailing sudah berakhir, namun Pemerintah
melalui KLH memperpanjang izin pembuangan limbah.38
Tidak diprosesnya secara hukum oleh KLH berbagai
tindakan kejahatan lingkungan hidup: Informasi AMDAL
palsu, penimbunan limbah B3 dekat sawah di Kerawang,
impor limbah B3, dan seterusnya.
Ditengah aturan dan penegakan hukum lingkungan
hidup yang lemah, Kementerian Lingkungan Hidup
pada tahun 2012 kembali mengeluarkan Proper (Program
Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan). Penilaian lebih
banyak mengandalkan data swapantau perusahaan
(Dokumen Rencana Pengelolaan-Pemantuan Lingkungan).
Perusahaan perusak lingkungan mendapatkan peringkat
38 Hal ini diperkuat dengan diperbolehkannya perusahaan membuang
limbah tambang ke laut Teluk Senunu oleh putusan PTUN Jakarta Pusat.
Sementara Oseanografi LIPI, tidak mau mengungkapkan hasil penelitian
di bawah laut tersebut. Alasan penelitian dibiayai dan hak cipta jadi milik
perusahaan tambang.
49
baik (emas, hijau, biru) karena aturan yang mengatur
kejahatan lingkungan lemah dan mengandalkan informasi
sepihak pelaku yang dinilai. Dan bila masyarakat
menggugat perusahaan atas tindak pengerusakan
lingkungan, perusahaan akan menunjukkan surat
keterangan berkelakukan baik atau PROPER tersebut
untuk membungkam kritik.
Sampai hari ini, 121.74 juta hektar (setara 88 persen)
kawasan hutan belum dipastikan batasnya. Dengan
demikian, dapat disimpulkan bahwa kawasan hutan yang
ada selama ini, yang dijadian alasan pemerintah untuk
mengusir rakyat, adalah ilegal dan tidak sesuai dengan
ketentuan yang berlaku. Padahal ada masalah besar, sebab
dalam kawasan hutan yang ditunjuk secara sepihak tersebut,
terdapat sedikitnya 33.000 desa yang penduduknya setiap
hari rawan mengalami kriminalisasi, penggusuran dan
pengusiran paksa dengan dalih kawasan hutan.
Kerusakan lingkungan sangat terkait dengan
pengelolaan hutan dan perkebunan yang menjadi masalah
perusaklingkunganyangtertinggi.Haltersebutdikarenakan
kebijakan di tingkat nasional antara lain dengan keluarnya
PP Nomor 60 dan PP Nomor 61 tahun 2012 tentang tata
cara perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan.
Kedua PP ini menjadi alat pemutihan atas izin-izin yang
terlanjur diberikan untuk usaha pertambangan dan usaha
perkebunan yang melanggar tata ruang dan peraturan
kehutanan.39
Selain pemberian izin perambahan hutan
39 Saat ini PP tersebut sedang dalam proses untuk diajukanan dalam judicial
50
yang mencapai 30 juta hektar (per juni 2012), Kementerian
Kehutanan juga memproses pelepasan kawasan hutan
mencapai 12 juta hektar di 22 provinsi yang menjadi
sasaran ekspansi perkebunan kelapa sawit dan tambang.40
Sumber: Forest Watch Indonesia 2011
Pelepasan kawasan hutan besar-besaran di Riau,
Kalteng, Maluku dan beberapa provinsi lain disamarkan
dengan penunjukan kawasan hutan di Papua yang mencapai
6 juta hektar. Tidak berlebihan bila kecurigaan muncul
bahwa penataan ruang yang diwajibkan kepada seluruh
daerah ditunggangi oleh pengusaha perkebunan dan
review ke Mahkamah Agung
40 Ada hal yang menarik pada review kawasan hutan ini, dimana luas pelepasan
kawasan hutan yang diajukan oleh 22 gubernur dengan dalih penyesuaian
tata ruang ini sama persis dengan jumlah kawasan hutan yang beralih fungsi
yakni seluas 12.357.071 hektar. Persamaan luas yang persis pada perubahan
fungsi dan peruntukan ini, menunjukan bahwa pengeluaran keputusan
tersebut tidak berdasarkan pertimbangan dampak penting dan daya dukung
lingkungan melainkan permainan angka tabulasi oleh kelompok tertentu
dalam kementerian kehutanan atau bersama DPR RI, ketika merumuskan
rekomendasi keputusan pelepasan kawasan hutan.
51
pertambangan untuk meloloskan kepentingannya melalui
usulan review kawasan hutan ini. Selain modus operandi
dengan memanfaatkan proses tata ruang, Kementerian
Kehutanan juga telah melepaskan kawasan hutan untuk
perkebunan secara langsung hingga 5 juta hektar dan proses
izin prinsip untuk perkebunan pada kawasan HPK sebesar
1 juta hektar serta izin pinjam pakai untuk pertambangan
yang mencapai 3 juta hektar meliputi izin eksplorasi,
prinsip dan produksi. Bila dicermati pada pemberian izin
pengelolaan hutan, pelepasan dan pinjam pakai, maka
pemerintah Indonesia telah mengalokasikan peruntukan
kawasan hutan Indonesia kepada pengusaha hingga 50,4
juta hektar atau 38.4 persen dari luas hutan Indonesia.41
Politik pengelolaan hutan yang transaksional oleh
rejim SBY-Boediono melalui moratorium kawasan hutan
melalui penerbitan PIPIB (peta indikatif penerbitan izin
baru) yang setiap 6 bulan mengalami revisi. Pada modus
ini kita melihat bahwa proses moratorium yang seharusnya
dijalankan untuk menertibkan pengelolaan kawasan hutan
dan penyelesaian konflik, justru mengalami penyimpangan
dengan dikeluarkannya beberapa wilayah dari PIPIB pada
setiap revisinya. Setidaknya selama tiga kali revisi PIPIB,
Menteri Kehutanan telah mengakui pengelolaan oleh pihak
ketiga terhadap kawasan hutan seluas 4,2 juta hektar, justru
mengabaikan kewajibannya untuk melakukan penegakan
hukum dan sanksi kepada pihak ketiga yang sudah berada
dalam kawasan hutan.
41 Lihat Environmental Outlook WALHI 2013
52
Menariknya, moratorium selama dua tahun yang
menjadi andalan pemerintah ini, terbukti tidak mampu
mengatasi carut marutnya pengelolaan sumber daya alam
di sektor kehutanan. Moratorium yang sangat singkat ini
dinilai oleh WALHI dan organisasi lingkungan lainnya
menjadi kemubaziran karena dia tidak dapat menyelesaikan
problem pokok kehutanan yakni tata kelola kehutanan yang
tidak berpihak kepada rakyat dan lingkungan, dan konflik
tenurial di sektor kehutanan yang tidak terselesaikan.
Tingginya konflik kehutanan menunjukan bahwa
buruknya tatakelola hutan di Indonesia. Ini juga bisa
diartikan bahwa, tata kelola kehutanan Indonesia masih
berpihak kepada kepentingan pemodal, bukan rakyat yang
sumber kehidupannya salah satunya ada di hutan.
Bencana Ekologis dari tahun ke tahun juga terus
meningkat. Bencana ekologis merupakan sebuah bencana
yang diakibatkan oleh salah urusnya negara dalam
pengelolaan sumber daya alam. Tahun 2012, WALHI
mencatat telah terjadi 503 kali banjir dan longsor yang
menewaskan 125 orang. Sedangkan kebakaran hutan
dan lahan yang terjadi sepanjang tahun 2012 telah
memusnahkan hutan, kebun dan lahan seluas 11.385
Hektar.
Pencemaran dan pengrusakan lingkungan, ditambah
dengan land use change (alih fungsi lahan) semakin
menghabisi sumber pangan petani. Degradasi dan
ancaman keberlangsungan produksi pangan terjadi di
53
berbagai daerah oleh berbagai faktor. WALHI mencatat
bahwa ancaman terhadap sumber-sumber pangan rakyat
terjadi akibat alih fungsi lahan, pencemaran, degradasi dan
kerusakan lingkungan. Hal ini disebabkan oleh pembukaan
pertambangan, perkebunan besar, pariwisata, industri dan
pembangunan infrasturuktur di areal tanaman pangan dan
atau daerah penyangganya.
Jawa sebagai produsen pangan terbesar terancam oleh
maraknya industri, infrastruktur besar dan perumahan
yang dibangun di atas lahan pertanian. Hal ini seperti
terjadi dibasis pertanian rakyat di Bekasi, Karawang,
Subang (industri dan pemukiman dan infrastruktur),
Bogor (perumahan mewah, vila dan pariwisata), Sukabumi
(industri dan pemukiman), dan Sumedang (Waduk). Hal
serupa banyak terjadi di Banten, Jawa Tengah, Jogjakarta
dan JawaTimur. Di luar Jawa, jumlah lahan terkonversi dan
atau kehilangan daya dukung lingkungannya disebabkan
oleh izin dan usaha pertambangan (Maluku Utara, NTT,
Bengkulu, Sumatera barat, Kalimantan Timur, Kalimantan
Selatan, Aceh, Bangka Belitung). Selain konversi lahan,
trend perubahan jenis tanaman pangan kepada jenis
tanaman perkebunan seperti sawit dan tanaman kayu
industri juga marak terjadi.
Akibat pengutamaan penggunaan SDA kepada
pengusaha juga berakibat merebaknya konflik agraria
dan SDA. Di Indonesia, konflik agraria telah membuat
keprihatinan banyak pihak karena seringkali konflik
tersebut menimbulkan jatuhnya korban jiwa. Dalam
54
setiap penanganan konflik agraria yang ada, pemerintah
lebih banyak berkutat pada unsur-unsur pidana dalam
penanganan konflik, namun akar persoalannya tertinggal
jauh di belakang tanpa penyelesaian sehingga konflik setiap
saat dapat meletup kembali. Kejadian konflik agraria yang
berulang dan meluas dengan jumlah korban yang terus
meningkat telah memberikan kesaksian kepada publik
bahwa konflik agraria adalah konflik yang paling tinggi
frekuensinya di Indonesia.
Dalam tiga tahun terakhir ini, grafik kejadian konflik
agraria di tanah air terus menunjukkan peningkatan. Jika
di tahun 2010 terdapat sedikitnya 106 konflik agraria
di berbagai wilayah, kemudian di tahun 2011 terjadi
peningkatan drastis, yaitu 163 konflik agraria, yang ditandai
dengan tewasnya 22 petani/warga di wilayah konflik
tersebut, maka sepanjang tahun 2012 ini, KPA mencatat
terdapat 198 konflik agraria di seluruh Indonesia. Luasan
areal konflik mencapai lebih dari 963.411,2 hektar, serta
melibatkan 141.915 kepala keluarga (KK) dalam konflik-
konflik yang terjadi.
Sementara catatan kekerasan terhadap petani sepanjang
tahun2012,adalah156petaniditahan,55orangmengalami
luka-luka dan penganiayaan, 25 petani tertembak, dan
tercatat 3 orang telah tewas dalam konflik agraria.
Dari 198 kasus yang terjadi di tahun 2012, terdapat 90
kasus terjadi di sektor perkebunan (45 persen); 60 kasus
di sektor pembangunan infrastruktur (30 persen); 21 kasus
55
di sektor pertambangan (11 persen); 20 kasus di sektor
kehutanan (4persen); 5 kasus di sektor pertanian tambak/
pesisir (3persen); dan 2 kasus di sektor kelautan dan wilayah
pesisir pantai (1 persen).
Dengan melihat pada catatan KPA, sepanjang
pemerintahan Presiden SBY, sejak tahun 2004 hingga
sekarang, telah terjadi 618 konflik agraria di seluruh
wilayah tanah air. Konflik ini telah menewaskan 44 orang,
areal konflik seluas 2.399.314,49 hektar, dan melibatkan
731.342 KK. Dalam sepanjang kekuasaannya tercatat
941 orang ditahan, 396 luka-luka dan 63 diantaranya
mengalami luka serius karena peluru aparat.
56
Sumber: Diolah dari dokumentasi WALHI, 2012
Mengenai siapa aktor perusak lingkungan, berdasarkan
analisis yang dilakukan WALHI, bahwa aktor perusak
lingkungan hidup yang tertinggi adalah korporasi terutama
yang berinvestasi di sektor tambang dan perkebunan.
Kedua, adalah pemerintah. Dan ketiga adalah kombinasi
antara korporasi dan pemerintah, serta terakhir adalah dari
masyarakat.
Temuan ini juga semakin memperkuat CSO untuk
terus mendesak tanggungjawab korporasi terhadap
kejahatan lingkungan yang telah dilakukan. Dari data di
atas terlihat adanya kolaborasi korporasi dan pengurus
negara yang memperkuat analisis sebelumnya bahwa
persoalan lingkungan tidak bisa dilepaskan dari keterikatan
atau konsolidasi yang semakin menguat antara kepentingan
modal dengan kekuasaan. Sedangkan masyarakat sebagai
pelaku ditemukan pada tambang-tambang inkonvensional
57
dengan tingkat resiko yang tinggi, dan proses pembiaran
yang dilakukan oleh pemerintah tanpa memberikan
alternatif sumber penghidupan yang lain.
Sumber: Diolah dari dokumentasi WALHI, 2012
Data ini sekaligus mematahkan asumsi atau stigma
bahwa aktor perusak lingkungan adalah orang miskin,
bahwa kemiskinan sebagai penyebab dari kerusakan
lingkungan.
Masih berdasarkan hasil riset media dari WALHI,
disebutkan, bahwa sasaran protes yang dilakukan oleh
masyarakat sipil yang sebagian besar dilakukan oleh LSM/
NGO dan masyarakat adalah pemerintah, hal ini terkait
dengan berbagai kebijakan yang dikeluarkan pengurus
58
negara baik di tingkat nasional maupun daerah. Desakan
perubahan menjadi agenda utama yang terus didorong
oleh aksi protes masyarakat. Hal ini menunjukkan relasi
antara kebijakan yang dikeluarkan negara dengan persoalan
lingkungan yang dihadapi oleh masyarakat. Kebijakan
justru menjadi legitimasi bagi korporasi untuk melakukan
kejahatan dengan “stempel” dari pemerintah melalui
perundang-undangan, regulasi dan pemberian izin.
Sasaran protes berikutnya adalah korporasi atau
perusahaan di wilayah konsesinya, yang menjadi sasaran
protes warga. Ini menunjukkan bahwa sesungguhnya
masyarakat mulai “melek” dengan hak-haknya dan juga
mulai mengerti dengan hukum, dan mulai paham dengan
akar persoalan yang dialami, juga mengetahui siapa aktor
dan kepentingannya.42
Ini tidak bisa dilepaskan dari kerja-
kerja yang dilakukan oleh masyarakat sipil untuk terus
menerus melakukan pendidikan kritis kepada masyarakat
melalui pengorganisasian di kampung-kampung.
Melihat dari fakta-fakta krisis dan berbagai peristiwa
bencana ekologis yang terjadi, kita tidak mungkin
menunggu waktu yang lebih lama untuk menghentikan
42 Dengan informasi yang semakin terbuka, rakyat juga semakin tahu dengan
hak-haknya, termasuk hak atas lingkungan. karena itulah, dimana-mana
dari ujung timur sampai ujung barat negeri ini, perlawanan rakyat terjadi
untuk menyuarakan keadilannya, termasuk didalamnya keadilan ekologis.
Menariknya, semangat perlawanan para pembela lingkungan dan hak asasi
manusiaitujugatidakberkurangditengahlemahnyanegaramelindungipara
pembela lingkungan dan HAM. dalam catatan WALHI misalnya, selama
tahun 2012, tidak kurang dari tujuh orang aktifis dikriminalisasi,mendapat
tindak kekerasan dan lain-lain, ini belum termasuk dengan pembela
lingkungan yang berasal dari masyarakat korban.
59
jatuhnya korban yang semakin banyak dan meluas. Krisis
ini harus segera dipulihkan di tengah negara yang abai dan
kejahatan korporasi yang semakin menguat berkelindan
dengan penguasa. Angka-angka kerusakan lingkungan,
korban bencana ekologis dan korban pembangunan
bukanlah sekedar angka-angka statistik. Angka-angka
tersebut merepresentasikan wajah korban, wajah warga
negara yang dicerabut hak-haknya, bahkan oleh pemimpin
negaranya sendiri. Kerusakan lingkungan telah merampas
hak hidup manusia. Bencana ekologis dan kerusakan
lingkungan hidup telah menurunkan kualitas hidup
manusia. Tingginya angka kemiskinan akibat hilangnya
sumber-sumber kehidupan akibat bencana ekologis tersebut
atau bencana yang ditimbulkan, akibat salah urusnya
pengelolaan lingkungan hidup dan sumber daya alam.
WALHI mendefinisikan keadilan ekologis sebagai
sebuah hak untuk mendapatkan keadilan antargenerasi
yang memperhatikan prinsip keadilan gender, prinsip
keselamatan rakyat, keberlanjutan jasa pelayanan alam dan
perlindungan produktivitas rakyat, dimana semua generasi
baik sekarang maupun mendatang, laki-laki maupun
perempuan, berhak terselamatkan dari ancaman dan
dampak krisis, serta penghancuran lingkungann hidup dan
sumber-sumber kehidupan rakyat. Keadilan ekologis adalah
sebuah perjuangan keseimbangan alam dan manusia tanpa
penguasaan untuk kepentingan intra dan antargenerasi.
Hak atas lingkungan hidup menekankan pentingnya
tanggungjawab negara untuk memberikan jaminan
60
terhadap penghormatan, perlindungan dan pemenuhan
terhadap penegakan hukum dan kemauan politiknya.
Perwujudan hak atas lingkungan hidup akan menjadi
prasyarat penting bagi upaya perlindungan keberlanjutan
sumber-sumber kehidupan rakyat. Hak atas lingkungan
juga harus dibarengi dengan penghormatan terhadap
hak dasar lainnya seperti hak partisipasi politik, hak
mendapatkan informasi, hak menentukan nasib sendiri dan
hak kebebasan berekspresi dan menyampaikan pendapat,
tanpa itu penegakan terhadap hak atas lingkungan sebagai
hak asasi rakyat akan menjadi mustahil.
Isu lingkungan saat ini sudah dipromosikan oleh
banyak pihak, termasuk oleh pelaku perusak lingkungan
sendiri seperti dengan menggunakan isu pembangunan
berkelanjutan. Saat ini isu penyelamatan lingkungan hidup
telah dibajak oleh sistem ekonomi kapitalisme melalui
berbagai kebijakan negara, yang tetap mengacu dan berbasis
pasar yang semakin menyingkirkan hak-hak dasar rakyat.
Isu perubahan iklim dan krisis global lainnya kemudian
justru mendorong isu lingkungan hidup menjadi sebuah
“oppotunity” bagi korporasi dengan tetap berbasiskan
pada sistem perdagangan internasional yang akan semakin
memperkuat perampasan tanah-tanah rakyat.
Jika Indonesia ingin keluar dari krisis lingkungan
dan krisis kedaulatan, maka pada seluruh cerita model
pengelolaan sumber daya alam di Indonesia harusnya
menggunakan tiga hal mendasar dan semuanya harus
didefinisikan menurut korban terbesar dan siapa yang
61
paling tersubordinasi dalam pembangunan yaitu; (1).
bagaimana jaminan keselamatan rakyatnya (2). bagaimana
jaminan atas kesejahteraan dan produktivitasnya, dan (3).
bagaimana jaminan atas keberlanjutan dari fungsi pelayanan
alamnya. Negara harusnya mengambil peran aktif untuk
menuntut tanggungjawab atas kejahatan lingkungan dan
kemanusiaan yang dilakukan oleh aktor di luar negara. Ini
mensyaratkan negara tidak boleh lagi ada didalam kendali
aktor besar di luar negara (non state actor).
Rekomendasi
Dalam berbagai kesempatan selalu disebutkan bahwa
kepentingan rakyat merupakan salah satu hal yang
diperjuangkan pemerintah dalam pembangunan, namun
melihat dari berbagai regulasi dan kenyataan yang ada,
fasilitasi kepentingan rakyat yang masih sangat minim.
Pengalaman menginisiasi Sistem Hutan Kerakyatan (SHK),
memfasilitasi beberapa desa untuk mengakses skema kelola
hutan desa memberikan gambaran betapa lemahnya
dukungan aparatus di tingkat pemerintah terhadap
hal ini. Alasan utama yang hampir selalu terlontar dari
aparatus kehutanan adalah ketidakpercayaan mereka akan
kemampuan masyarakat untuk mengelola hutan, mereka
lebih yakin bahwa apabila hutan dikelola oleh perusahaan
maka akan mendatangkan keuntungan besar, dan rakyat
cukup hanya menjadi buruh-buruh di perusahaan-
perusahaan tersebut.
Jika melihat dari isu secara nasional maupun wilayah,
62
selama tidak ada perubahan fundamental dari arah dan
model pembangunan, maka fakta krisis lingkungan hidup
yang terjadi pada tahun 2012 di Indonesia, masih akan
terus berlangsung pada tahun 2013 dan seterusnya. Prediksi
ini bukan tanpa argumentasi yang kuat, namun dilandasi
atas situasi politik dan penegakan hukum lingkungan yang
sampai saat ini masih jauh dari harapan.
Sebagai bagian dari agenda transformatif maka
pemerintah dan lembaga-lembaga internasional ditantang
untuk melepaskan diri dari model pembangunan saat
ini dan melakukan reformasi yang lebih berarti yang
benar-benar memenuhi kebutuhan generasi sekarang
dan mendatang. Berkomitmen untuk menjalankan
pembangunan berkelanjutan sejati yang diletakkan pada
prinsip-prinsip hak asasi manusia, kesetaraan, penentuan
nasib sendiri, dan sosial, gender dan keadilan ekologis.
Saat ini, kerangka kerja pembangunan Paska 2015
sebagai kelanjutan dari MDGs, sedang disiapkan oleh
berbagai pihak termasuk pemerintah, kelompok masyarakat
sipil dan PBB. Belajar dari pengalaman MDGs, kerangka
kerja Paska 2015 membutuhkan perubahan paradigma
pembangunan baik dari sisi proses maupun substansi.
Paling tidak, pembangunan pasca 2015 harus memenuhi
kriteria:
Kebijakan yang mendukung Sistem Hutan Kerakyatan:
memberdayakan masyarakat sekitar hutan, revitalisasi
industri kehutanan berbasis komunitas/masyarakat
63
Pola produksi dan konsumsi yang berkelanjutan dalam
rangka mengurangi emisi gas rumah kaca menata
ulang hubungan Indonesia dengan negara maju
Meminta negara-negara maju untuk memenuhi
komitmen Monterrey Consensus dan Doha Declaration
terkait dengan target ODA yaitu 0,7 persen GNI dan
mematok sebesar 0,15 – 0,20persen untuk dialokasikan
ke negara kurang berkembang (LDCs/less developed
countries) selambat-lambatnya tahun 2015.
Pemerintah Indonesia (5 tahun ke depan) harus
mencapai tax ratio rata-rata negara berpenghasilan
menengah ke bawah (lower middle income country) yaitu
20-24 persen terhadap PDB. Dengan ini Indonesia
akan mampu membiayai pembangunan tanpa banyak
bergantung dengan utang dan ODA.
Perubahan untuk dan memperluas penggunaan energi
terbarukan
III. Konflik dan Kerentanan : Konflik Sosial
Berlarut dan Jalan Panjang Perdamamaian
Bagian ini bertujuan untuk memberikan analisis
penerapan framework MDGs sebagai model pembangunan
di Indonesia yang tidak mempertimbangkan faktor
kerawanan geografis, sosial dan politik. Klaim kesuksesan
pencapaian MDGs seperti yang dilaporkan oleh
Kementrian Perencanaan Pembangunan Nasional, telah
berhasil meningkatkan pendapatan GDP lebih dari 1 dollar
64
sehari, namun mengapa enam rangking utama kemiskinan
justru berada di daerah rawan konflik seperti Papua
(32persen), Papua Barat (31,9persen), NTB (19,7persen),
pascakonflik Maluku (23 persen), NTT (21,2persen), dan
Aceh (19,6persen), yang memiliki sejarah konflik kekerasan
seperti persoalan determinasi diri, otonomi khusus,
kebebasan beragama, dan konflik antar kampung.
Penyebab konflik pada umumnya tidak tunggal.
Persoalan hubungan antar etnik dan agama, kesenjangan
ekonomi, krisis kelembagaan politik, krisis keamanan,
dan degradasi nilai sosial budaya, diduga berkontribusi
pada terjadinya konflik di Maluku, Poso, Kalimantan
Barat, Aceh dan Papua. Sebuah intervensi pembangunan
pada daerah yang pernah mengalami konflik tentu harus
mempertimbangkan situasi konflik dan perdamaian,
bagaimana program intervensi pembangunan dijalankan,
dan kebijakan-kebijakan baik ditingkat nasional dan daerah
peka terhadap konflik.
Secara sederhana konflik di Indonesia dikategorikan
menjadi dua, yaitu konflik sumber daya alam (SDA) dan
konfliksosial.KonflikSDAbiasajugadisebutsebagaikonflik
agraria yang meliputi wilayah perkebunan, perhutanan, dan
perkotaan dan pembangunan infrastruktur, sudah dibahas
di bagian sebelumnya. Sementara konflik sosial meliputi
konflik bernuansa agama dan etnik, tawuran, pertikaian
antar kampung, konflik sumber ekonomi.
Dalam mengatasi berbagai konflik di atas pemerintah
65
menjadikan isu penanganan konflik ini bagian dari agenda
visi dan misi pembangunan Indonesia yang damai dan
berkeadilan yang tertuang dalam dokumen Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN)
tahun 2009-2014 dengan menjadikan penanganan pasca
konflik menjadi salah satu prioritas pembangunan nasional.
Alih-alih menyelesaikan konflik, sepanjang tahun
2008-2010, berdasarkan hasil monitoring Institut Titian
Perdamaian, insiden konflik dan kekerasan semakin banyak
yaitu 4.021 kali. Jika dibagi pertahun, terjadi sekitar
1.340 insiden setiap tahunnya, yang berarti jika dirata-
rata, terjadi 3,6 kali insiden setiap harinya. Kekerasan
rutin seperti tawuran, pengeroyokan, serta penghakiman
massa menempati rangking paling tinggi dengan total 62,
1 persen dari total konflik dan kekerasan yang terjadi di
Indonesia. Disusul konflik berbasis isu politik sebesar 13,
9 persen, konflik berbasis isu sumberdaya ekonomi 8,3
persen, konflik berbasis isu sumberdaya alam 7,8 persen,
konflik berbasis isu agama dan etnis 2,2persen, dan
konflik antaraparat negara 0,8 persen (Tim Institut Titian
Perdamaian, 2011).
Pada tahun 2011, tidak terjadi pergeseran secara
signifikan mengenai ranking konflik dan varian kekerasan
yang paling tinggi. Tahun 2011, kekerasan rutin mencapai
1310 kali, atau 74 persen insiden dari total 1767 insiden
konflik kekerasan yang terjadi di Indonesia. Yang cukup
mengejutkan, tawuran menyumbang angka yang cukup
fantastis, yaitu 501 kali insiden atau 28persen. Berdasarkan
66
pihak yang terlibat, kelompok terpelajar yang diwakili oleh
mahasiswa dan siswa sekolah, menjadi aktor kekerasan yang
paling banyak. Basis data monitoring ini adalah sumber
berita media massa di 33 provinsi yang dikomparasikan
dengan enam media nasional.
Lebihdarisatudasawarsayanglalu,kekerasanrutinselalu
tampil sebagai penanda bagi konflik komunal yang sangat
massif. Dalam berbagai konflik komunal yang terjadi, pada
mulanya didahului kekerasan rutin yang dianggap lumrah.
Di Kalimantan Barat, perkelahian sekelompok pemuda
Dayak dan Madura meluas menjadi konflik komunal.
Di Poso dan Ambon, dibuka dengan perkelahian antar
pemuda, yang sebelumnya juga biasa terjadi, namun secara
cepat meningkatkan level mobilisasi orang, pada suatu
momen dan ruang yang sudah sedemikian dimungkinkan
oleh ketersediaan prasyarat konflik kekerasan.
Masalahnya, artikulasi politik kita belum secara
meyakinkan mengalami pergeseran pola patronase dan
solidaritastradisionalkeikatanyangkontraktualdandewasa.
Momen-momen elektoral dalam pilkada di berbagai daerah
masih banyak menampilkan kekerasan sebagai ekspresi
konflik, hal yang menjelaskan mengapa konflik berbasis
isu politik menempati ranking tinggi dalam monitoring
konflik dan kekerasan berbagai lembaga selama ini. Dasar
pemikiran ini pula yang dijadikan sebagian kalangan
untuk mengevaluasi, bahkan cenderung mengusulkan
ditiadakannya pemilihan langsung kepala daerah. Salah
satu daerah yang pernah menjadi narasi konflik politik
67
cukup lama adalah Maluku Utara, yang imbasnya masih
terasa dengan maraknya tawuran antarkampung di Ternate
sebagai sentral kekuasaan.
Patut dicatat, konflik sangat berpengaruh pada
meningkatnya angka kekerasan terhadap perempuan.
Kekerasan terhadap perempuan yang berhasil
didokumentasikan oleh Komnas Perempuan pada kurun
waktu 1998-2010 mencatat sejumlah 1.503 kasus kekerasan
seksual dari 3.283 kasus kekerasan terhadap perempuan di
wilayah konflik seperti Aceh, Poso, Maluku, Papua, Timor
Leste, Tragedi 65, dan Mei 1998. Sampai sekarang korban
kekerasan seksual di daerah konflik kurang mendapatkan
perhatian dari pemerintah, serta cenderung dilupakan. Kasus
kekerasanseksualmerambahkedaerahyanglebihluas.Catatan
tahunan Komnas Perempuan tahun 2011, menemukan
110.468 kasus kekerasan terjadi pada perempuan dalam
ikatan pernikahan dan ada 1.405 kasus kekerasan dalam
pacaran. Tingginya angka kekerasan pada perempuan
tentu saja akan menjadi penghalang pencapaian gol ketiga
dalam MDGs, yaitu mendorong kesetaraan gender dan
pemberdayaan perempuan.
Konflik-konflik kekerasan yang terjadi selama ini di
Indonesia juga menunjukkan adanya aspek kesejarahan dan
memiliki korelasi yang kuat dengan proses pembangunan
dan perkembangan arus modal, terutama di sektor
eksploitasi sumber daya alam. Petaka kemanusiaan ini
juga telah berdampak pada kerugian yang tak terhitung,
baik secara material maupun non-material. Ribuan nyawa
Ketidakadilan, Kesenjangan, dan Ketimpangan: Jalan Panjang Menuju Pembangunan Berkelanjutan Pasca-2015
Ketidakadilan, Kesenjangan, dan Ketimpangan: Jalan Panjang Menuju Pembangunan Berkelanjutan Pasca-2015
Ketidakadilan, Kesenjangan, dan Ketimpangan: Jalan Panjang Menuju Pembangunan Berkelanjutan Pasca-2015
Ketidakadilan, Kesenjangan, dan Ketimpangan: Jalan Panjang Menuju Pembangunan Berkelanjutan Pasca-2015
Ketidakadilan, Kesenjangan, dan Ketimpangan: Jalan Panjang Menuju Pembangunan Berkelanjutan Pasca-2015
Ketidakadilan, Kesenjangan, dan Ketimpangan: Jalan Panjang Menuju Pembangunan Berkelanjutan Pasca-2015
Ketidakadilan, Kesenjangan, dan Ketimpangan: Jalan Panjang Menuju Pembangunan Berkelanjutan Pasca-2015
Ketidakadilan, Kesenjangan, dan Ketimpangan: Jalan Panjang Menuju Pembangunan Berkelanjutan Pasca-2015
Ketidakadilan, Kesenjangan, dan Ketimpangan: Jalan Panjang Menuju Pembangunan Berkelanjutan Pasca-2015
Ketidakadilan, Kesenjangan, dan Ketimpangan: Jalan Panjang Menuju Pembangunan Berkelanjutan Pasca-2015
Ketidakadilan, Kesenjangan, dan Ketimpangan: Jalan Panjang Menuju Pembangunan Berkelanjutan Pasca-2015
Ketidakadilan, Kesenjangan, dan Ketimpangan: Jalan Panjang Menuju Pembangunan Berkelanjutan Pasca-2015
Ketidakadilan, Kesenjangan, dan Ketimpangan: Jalan Panjang Menuju Pembangunan Berkelanjutan Pasca-2015
Ketidakadilan, Kesenjangan, dan Ketimpangan: Jalan Panjang Menuju Pembangunan Berkelanjutan Pasca-2015
Ketidakadilan, Kesenjangan, dan Ketimpangan: Jalan Panjang Menuju Pembangunan Berkelanjutan Pasca-2015
Ketidakadilan, Kesenjangan, dan Ketimpangan: Jalan Panjang Menuju Pembangunan Berkelanjutan Pasca-2015
Ketidakadilan, Kesenjangan, dan Ketimpangan: Jalan Panjang Menuju Pembangunan Berkelanjutan Pasca-2015
Ketidakadilan, Kesenjangan, dan Ketimpangan: Jalan Panjang Menuju Pembangunan Berkelanjutan Pasca-2015
Ketidakadilan, Kesenjangan, dan Ketimpangan: Jalan Panjang Menuju Pembangunan Berkelanjutan Pasca-2015
Ketidakadilan, Kesenjangan, dan Ketimpangan: Jalan Panjang Menuju Pembangunan Berkelanjutan Pasca-2015
Ketidakadilan, Kesenjangan, dan Ketimpangan: Jalan Panjang Menuju Pembangunan Berkelanjutan Pasca-2015
Ketidakadilan, Kesenjangan, dan Ketimpangan: Jalan Panjang Menuju Pembangunan Berkelanjutan Pasca-2015
Ketidakadilan, Kesenjangan, dan Ketimpangan: Jalan Panjang Menuju Pembangunan Berkelanjutan Pasca-2015

More Related Content

What's hot

Sejarah (sarekat islam)
Sejarah (sarekat islam)Sejarah (sarekat islam)
Sejarah (sarekat islam)
Nisa Ghaisani
 
Nilai nilai pancasila pada masa pergerakan nasional
Nilai   nilai pancasila pada masa pergerakan nasionalNilai   nilai pancasila pada masa pergerakan nasional
Nilai nilai pancasila pada masa pergerakan nasional
YABES HULU
 
Partai nasional indonesia
Partai nasional indonesiaPartai nasional indonesia
Partai nasional indonesia
Nisa Ghaisani
 
Sejarah politik di indonesia
Sejarah politik di indonesiaSejarah politik di indonesia
Sejarah politik di indonesia
Dian Ulfa
 
Laporan percobaan enzim katalase
Laporan percobaan enzim katalase Laporan percobaan enzim katalase
Laporan percobaan enzim katalase
DaPiDaBi
 

What's hot (20)

Sejarah 12 masa pemerintahan sby (makalah)
Sejarah 12   masa pemerintahan sby (makalah)Sejarah 12   masa pemerintahan sby (makalah)
Sejarah 12 masa pemerintahan sby (makalah)
 
Sejarah (sarekat islam)
Sejarah (sarekat islam)Sejarah (sarekat islam)
Sejarah (sarekat islam)
 
masa Pemerintahan SBY - Jokowi
masa Pemerintahan SBY - Jokowi masa Pemerintahan SBY - Jokowi
masa Pemerintahan SBY - Jokowi
 
MASA REFORMASI DI INDONESIA (1998 - Sekarang)
MASA REFORMASI DI INDONESIA (1998 - Sekarang)MASA REFORMASI DI INDONESIA (1998 - Sekarang)
MASA REFORMASI DI INDONESIA (1998 - Sekarang)
 
Organisasi konferensi islam
Organisasi konferensi islamOrganisasi konferensi islam
Organisasi konferensi islam
 
Nilai nilai pancasila pada masa pergerakan nasional
Nilai   nilai pancasila pada masa pergerakan nasionalNilai   nilai pancasila pada masa pergerakan nasional
Nilai nilai pancasila pada masa pergerakan nasional
 
Ppt halogen
Ppt halogenPpt halogen
Ppt halogen
 
Kebijakan pada Masa Pemerintahan Megawati
Kebijakan pada Masa Pemerintahan MegawatiKebijakan pada Masa Pemerintahan Megawati
Kebijakan pada Masa Pemerintahan Megawati
 
Demokrasi Terpimpin
Demokrasi TerpimpinDemokrasi Terpimpin
Demokrasi Terpimpin
 
Perkembangan politik indonesia pada awal kemerdekaan
Perkembangan politik indonesia pada awal kemerdekaanPerkembangan politik indonesia pada awal kemerdekaan
Perkembangan politik indonesia pada awal kemerdekaan
 
Partai nasional indonesia
Partai nasional indonesiaPartai nasional indonesia
Partai nasional indonesia
 
Kimia Unsur - Periode 3
Kimia Unsur - Periode 3Kimia Unsur - Periode 3
Kimia Unsur - Periode 3
 
Sejarah politik di indonesia
Sejarah politik di indonesiaSejarah politik di indonesia
Sejarah politik di indonesia
 
Unsur golongan ii a (logam alkali tanah)
Unsur golongan ii a (logam alkali tanah)Unsur golongan ii a (logam alkali tanah)
Unsur golongan ii a (logam alkali tanah)
 
SIKLUS SULFUR ATAU BELERANG
SIKLUS SULFUR ATAU BELERANGSIKLUS SULFUR ATAU BELERANG
SIKLUS SULFUR ATAU BELERANG
 
Pemberontakan PKI Madiun 1948
Pemberontakan PKI Madiun 1948Pemberontakan PKI Madiun 1948
Pemberontakan PKI Madiun 1948
 
Golongan VIIA (HALOGEN)
Golongan VIIA (HALOGEN)Golongan VIIA (HALOGEN)
Golongan VIIA (HALOGEN)
 
Laporan percobaan enzim katalase
Laporan percobaan enzim katalase Laporan percobaan enzim katalase
Laporan percobaan enzim katalase
 
Ppt kimia ( unsur unsur transisi perioda 4 )
Ppt kimia ( unsur unsur transisi perioda 4 )Ppt kimia ( unsur unsur transisi perioda 4 )
Ppt kimia ( unsur unsur transisi perioda 4 )
 
Pemerintahan Megawati Soekarno Putri
Pemerintahan Megawati Soekarno PutriPemerintahan Megawati Soekarno Putri
Pemerintahan Megawati Soekarno Putri
 

Similar to Ketidakadilan, Kesenjangan, dan Ketimpangan: Jalan Panjang Menuju Pembangunan Berkelanjutan Pasca-2015

Bonus_Demografi_dan_Visi_Indonesia Emas_2045.pdf
Bonus_Demografi_dan_Visi_Indonesia Emas_2045.pdfBonus_Demografi_dan_Visi_Indonesia Emas_2045.pdf
Bonus_Demografi_dan_Visi_Indonesia Emas_2045.pdf
Afrizal61
 

Similar to Ketidakadilan, Kesenjangan, dan Ketimpangan: Jalan Panjang Menuju Pembangunan Berkelanjutan Pasca-2015 (20)

MDGs 3 penyetaraan gender
MDGs 3 penyetaraan genderMDGs 3 penyetaraan gender
MDGs 3 penyetaraan gender
 
Profile-tentang-INFID
Profile-tentang-INFIDProfile-tentang-INFID
Profile-tentang-INFID
 
PPT KELOMPOK 2 MPI.pptx
PPT KELOMPOK 2 MPI.pptxPPT KELOMPOK 2 MPI.pptx
PPT KELOMPOK 2 MPI.pptx
 
2015 02 (bi) un in indonesia_newsletter
2015 02 (bi) un in indonesia_newsletter2015 02 (bi) un in indonesia_newsletter
2015 02 (bi) un in indonesia_newsletter
 
Id mdgr2007 bahasa
Id mdgr2007 bahasaId mdgr2007 bahasa
Id mdgr2007 bahasa
 
Stop inequality
Stop inequalityStop inequality
Stop inequality
 
FIX PP BARU.pptx
FIX PP BARU.pptxFIX PP BARU.pptx
FIX PP BARU.pptx
 
IBNU YAHYA SAPUTRA PEMBANGUNAN MANUSIA.pptx
IBNU YAHYA SAPUTRA PEMBANGUNAN MANUSIA.pptxIBNU YAHYA SAPUTRA PEMBANGUNAN MANUSIA.pptx
IBNU YAHYA SAPUTRA PEMBANGUNAN MANUSIA.pptx
 
100067054 makalah-mdgs
100067054 makalah-mdgs100067054 makalah-mdgs
100067054 makalah-mdgs
 
PEMBANGUNAN MANUSIA-IBNU YAHYA SAPUTRA.pdf
PEMBANGUNAN MANUSIA-IBNU YAHYA SAPUTRA.pdfPEMBANGUNAN MANUSIA-IBNU YAHYA SAPUTRA.pdf
PEMBANGUNAN MANUSIA-IBNU YAHYA SAPUTRA.pdf
 
ppt raull teori pembangunan.pptx
ppt raull teori pembangunan.pptxppt raull teori pembangunan.pptx
ppt raull teori pembangunan.pptx
 
Jumlah Penduduk Yang Besar Menjadi Penghambat Pembangunan
Jumlah Penduduk Yang Besar Menjadi Penghambat PembangunanJumlah Penduduk Yang Besar Menjadi Penghambat Pembangunan
Jumlah Penduduk Yang Besar Menjadi Penghambat Pembangunan
 
Bonus_Demografi_dan_Visi_Indonesia Emas_2045.pdf
Bonus_Demografi_dan_Visi_Indonesia Emas_2045.pdfBonus_Demografi_dan_Visi_Indonesia Emas_2045.pdf
Bonus_Demografi_dan_Visi_Indonesia Emas_2045.pdf
 
Bab i
Bab iBab i
Bab i
 
Lks kurikulum 2013 widy
Lks kurikulum 2013 widyLks kurikulum 2013 widy
Lks kurikulum 2013 widy
 
RAMADHONIWATI.PEMBANGUNANMANUSIA.pptx
RAMADHONIWATI.PEMBANGUNANMANUSIA.pptxRAMADHONIWATI.PEMBANGUNANMANUSIA.pptx
RAMADHONIWATI.PEMBANGUNANMANUSIA.pptx
 
Gender dan kel 1
Gender dan kel 1Gender dan kel 1
Gender dan kel 1
 
Sistem Monitoring dan Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah
Sistem Monitoring dan Evaluasi Kinerja Pembangunan DaerahSistem Monitoring dan Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah
Sistem Monitoring dan Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah
 
PEMERATAAN PEMBANGUNAN DAN BERKEADILAN.pptx
PEMERATAAN PEMBANGUNAN DAN BERKEADILAN.pptxPEMERATAAN PEMBANGUNAN DAN BERKEADILAN.pptx
PEMERATAAN PEMBANGUNAN DAN BERKEADILAN.pptx
 
Pertumbuhan & kemiskinan
Pertumbuhan & kemiskinanPertumbuhan & kemiskinan
Pertumbuhan & kemiskinan
 

More from INSISTPress

More from INSISTPress (7)

Dunia Tanpa Hak Cipta
Dunia Tanpa Hak CiptaDunia Tanpa Hak Cipta
Dunia Tanpa Hak Cipta
 
Injustice, Gap and Inequality: Long Road to post-2015 Sustainable Development
Injustice, Gap and Inequality: Long Road to post-2015 Sustainable DevelopmentInjustice, Gap and Inequality: Long Road to post-2015 Sustainable Development
Injustice, Gap and Inequality: Long Road to post-2015 Sustainable Development
 
Ikhtiar & Harapan: Pelatihan BOS & Persekolahan di Indonesia
Ikhtiar & Harapan: Pelatihan BOS & Persekolahan di IndonesiaIkhtiar & Harapan: Pelatihan BOS & Persekolahan di Indonesia
Ikhtiar & Harapan: Pelatihan BOS & Persekolahan di Indonesia
 
IMAGES OF HOPE: BOS Training and Indonesia's Schools
IMAGES OF HOPE: BOS Training and Indonesia's SchoolsIMAGES OF HOPE: BOS Training and Indonesia's Schools
IMAGES OF HOPE: BOS Training and Indonesia's Schools
 
Sehat Itu Hak/ Roem Topatimasang (ed.)/ INSISTPress, 2005
Sehat Itu Hak/ Roem Topatimasang (ed.)/ INSISTPress, 2005Sehat Itu Hak/ Roem Topatimasang (ed.)/ INSISTPress, 2005
Sehat Itu Hak/ Roem Topatimasang (ed.)/ INSISTPress, 2005
 
Mansour Fakih: Kitab Yang Selalu Terbuka. obituari untuk seorang kawan (Manso...
Mansour Fakih: Kitab Yang Selalu Terbuka. obituari untuk seorang kawan (Manso...Mansour Fakih: Kitab Yang Selalu Terbuka. obituari untuk seorang kawan (Manso...
Mansour Fakih: Kitab Yang Selalu Terbuka. obituari untuk seorang kawan (Manso...
 
Dinamika Wacana Perubahan Iklim dan Keterkaitannya dengan Hukum dan Tenurial ...
Dinamika Wacana Perubahan Iklim dan Keterkaitannya dengan Hukum dan Tenurial ...Dinamika Wacana Perubahan Iklim dan Keterkaitannya dengan Hukum dan Tenurial ...
Dinamika Wacana Perubahan Iklim dan Keterkaitannya dengan Hukum dan Tenurial ...
 

Recently uploaded

Membuat Komik Digital Berisi Kritik Sosial.docx
Membuat Komik Digital Berisi Kritik Sosial.docxMembuat Komik Digital Berisi Kritik Sosial.docx
Membuat Komik Digital Berisi Kritik Sosial.docx
NurindahSetyawati1
 
1.3.a.3. Mulai dari Diri - Modul 1.3 Refleksi 1 Imajinasiku tentang Murid di ...
1.3.a.3. Mulai dari Diri - Modul 1.3 Refleksi 1 Imajinasiku tentang Murid di ...1.3.a.3. Mulai dari Diri - Modul 1.3 Refleksi 1 Imajinasiku tentang Murid di ...
1.3.a.3. Mulai dari Diri - Modul 1.3 Refleksi 1 Imajinasiku tentang Murid di ...
MetalinaSimanjuntak1
 
PPT PERUBAHAN LINGKUNGAN MATA PELAJARAN BIOLOGI KELAS X.pptx
PPT PERUBAHAN LINGKUNGAN MATA PELAJARAN BIOLOGI KELAS X.pptxPPT PERUBAHAN LINGKUNGAN MATA PELAJARAN BIOLOGI KELAS X.pptx
PPT PERUBAHAN LINGKUNGAN MATA PELAJARAN BIOLOGI KELAS X.pptx
dpp11tya
 

Recently uploaded (20)

Kontribusi Islam Dalam Pengembangan Peradaban Dunia - KELOMPOK 1.pptx
Kontribusi Islam Dalam Pengembangan Peradaban Dunia - KELOMPOK 1.pptxKontribusi Islam Dalam Pengembangan Peradaban Dunia - KELOMPOK 1.pptx
Kontribusi Islam Dalam Pengembangan Peradaban Dunia - KELOMPOK 1.pptx
 
Hiperlipidemiaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa
HiperlipidemiaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaHiperlipidemiaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa
Hiperlipidemiaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa
 
Refleksi Mandiri Modul 1.3 - KANVAS BAGJA.pptx.pptx
Refleksi Mandiri Modul 1.3 - KANVAS BAGJA.pptx.pptxRefleksi Mandiri Modul 1.3 - KANVAS BAGJA.pptx.pptx
Refleksi Mandiri Modul 1.3 - KANVAS BAGJA.pptx.pptx
 
Modul Ajar Pendidikan Pancasila Kelas 5 Fase C
Modul Ajar Pendidikan Pancasila Kelas 5 Fase CModul Ajar Pendidikan Pancasila Kelas 5 Fase C
Modul Ajar Pendidikan Pancasila Kelas 5 Fase C
 
Membuat Komik Digital Berisi Kritik Sosial.docx
Membuat Komik Digital Berisi Kritik Sosial.docxMembuat Komik Digital Berisi Kritik Sosial.docx
Membuat Komik Digital Berisi Kritik Sosial.docx
 
CAPACITY BUILDING Materi Saat di Lokakarya 7
CAPACITY BUILDING Materi Saat di Lokakarya 7CAPACITY BUILDING Materi Saat di Lokakarya 7
CAPACITY BUILDING Materi Saat di Lokakarya 7
 
Pendidikan-Bahasa-Indonesia-di-SD MODUL 3 .pptx
Pendidikan-Bahasa-Indonesia-di-SD MODUL 3 .pptxPendidikan-Bahasa-Indonesia-di-SD MODUL 3 .pptx
Pendidikan-Bahasa-Indonesia-di-SD MODUL 3 .pptx
 
vIDEO kelayakan berita untuk mahasiswa.ppsx
vIDEO kelayakan berita untuk mahasiswa.ppsxvIDEO kelayakan berita untuk mahasiswa.ppsx
vIDEO kelayakan berita untuk mahasiswa.ppsx
 
AKSI NYATA BERBAGI PRAKTIK BAIK MELALUI PMM
AKSI NYATA BERBAGI PRAKTIK BAIK MELALUI PMMAKSI NYATA BERBAGI PRAKTIK BAIK MELALUI PMM
AKSI NYATA BERBAGI PRAKTIK BAIK MELALUI PMM
 
MODUL AJAR MATEMATIKA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA
MODUL AJAR MATEMATIKA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKAMODUL AJAR MATEMATIKA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA
MODUL AJAR MATEMATIKA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA
 
1.3.a.3. Mulai dari Diri - Modul 1.3 Refleksi 1 Imajinasiku tentang Murid di ...
1.3.a.3. Mulai dari Diri - Modul 1.3 Refleksi 1 Imajinasiku tentang Murid di ...1.3.a.3. Mulai dari Diri - Modul 1.3 Refleksi 1 Imajinasiku tentang Murid di ...
1.3.a.3. Mulai dari Diri - Modul 1.3 Refleksi 1 Imajinasiku tentang Murid di ...
 
Sesi 1_PPT Ruang Kolaborasi Modul 1.3 _ ke 1_PGP Angkatan 10.pptx
Sesi 1_PPT Ruang Kolaborasi Modul 1.3 _ ke 1_PGP Angkatan 10.pptxSesi 1_PPT Ruang Kolaborasi Modul 1.3 _ ke 1_PGP Angkatan 10.pptx
Sesi 1_PPT Ruang Kolaborasi Modul 1.3 _ ke 1_PGP Angkatan 10.pptx
 
Keterampilan menyimak kelas bawah tugas UT
Keterampilan menyimak kelas bawah tugas UTKeterampilan menyimak kelas bawah tugas UT
Keterampilan menyimak kelas bawah tugas UT
 
PPT AKSI NYATA KOMUNITAS BELAJAR .ppt di SD
PPT AKSI NYATA KOMUNITAS BELAJAR .ppt di SDPPT AKSI NYATA KOMUNITAS BELAJAR .ppt di SD
PPT AKSI NYATA KOMUNITAS BELAJAR .ppt di SD
 
PERAN PERAWAT DALAM PEMERIKSAAN PENUNJANG.pptx
PERAN PERAWAT DALAM PEMERIKSAAN PENUNJANG.pptxPERAN PERAWAT DALAM PEMERIKSAAN PENUNJANG.pptx
PERAN PERAWAT DALAM PEMERIKSAAN PENUNJANG.pptx
 
(NEW) Template Presentasi UGM 2 (2).pptx
(NEW) Template Presentasi UGM 2 (2).pptx(NEW) Template Presentasi UGM 2 (2).pptx
(NEW) Template Presentasi UGM 2 (2).pptx
 
PELAKSANAAN + Link2 Materi BimTek _PTK 007 Rev-5 Thn 2023 (PENGADAAN) & Perhi...
PELAKSANAAN + Link2 Materi BimTek _PTK 007 Rev-5 Thn 2023 (PENGADAAN) & Perhi...PELAKSANAAN + Link2 Materi BimTek _PTK 007 Rev-5 Thn 2023 (PENGADAAN) & Perhi...
PELAKSANAAN + Link2 Materi BimTek _PTK 007 Rev-5 Thn 2023 (PENGADAAN) & Perhi...
 
PPT PERUBAHAN LINGKUNGAN MATA PELAJARAN BIOLOGI KELAS X.pptx
PPT PERUBAHAN LINGKUNGAN MATA PELAJARAN BIOLOGI KELAS X.pptxPPT PERUBAHAN LINGKUNGAN MATA PELAJARAN BIOLOGI KELAS X.pptx
PPT PERUBAHAN LINGKUNGAN MATA PELAJARAN BIOLOGI KELAS X.pptx
 
Contoh Laporan Observasi Pembelajaran Rekan Sejawat.pdf
Contoh Laporan Observasi Pembelajaran Rekan Sejawat.pdfContoh Laporan Observasi Pembelajaran Rekan Sejawat.pdf
Contoh Laporan Observasi Pembelajaran Rekan Sejawat.pdf
 
ppt-modul-6-pend-seni-di sd kelompok 2 ppt
ppt-modul-6-pend-seni-di sd kelompok 2 pptppt-modul-6-pend-seni-di sd kelompok 2 ppt
ppt-modul-6-pend-seni-di sd kelompok 2 ppt
 

Ketidakadilan, Kesenjangan, dan Ketimpangan: Jalan Panjang Menuju Pembangunan Berkelanjutan Pasca-2015

  • 1.
  • 2. Ketidakadilan, Kesenjangan, dan Ketimpangan: Jalan Panjang Menuju Pembangunan Berkelanjutan Pasca-2015
  • 3. Ketidakadilan, Kesenjangan, dan Ketimpangan: Jalan Panjang Menuju Pembangunan Berkelanjutan Pasca-2015 Editor: Aris Santoso Kontributor: Koalisi Masyarakat Sipil untuk Agenda Pembangunan Pasca-2015 Tim Penulis: Agung Wasono, Yenny Sucipto, Titik Hartini | Good Governance: Minimnya Transparansi, Akuntabilitas, dan Kompetensi Sita Aripurnami, Laura Hukom, Rahayuningtyas, Christiana Widimulyani, Repelita Tambunan | Ketimpangan Akses Kesehatan Oslan Purba, Iwan Nurdin, Tejo Wahyu Djatmiko | Lingkungan Ruby Khalifah, Ahmad Qisai, Boedhi Wijardjo, Mohamad Miqdad | Konflik dan Kerentanan Sigit Wijayanta, M. Firdaus, Dian Kartikasari, Jonna Damanik, Erickson Sidjabat | Mengatasi Kesenjangan Ah. Maftuhan, Sugeng Bahagijo | Pembiayaan Pembangunan Mike Verawati | Pencapaian MDGs
  • 4. Dicetak oleh: INSISTPress Jalan Raya Kaliurang Km.18, Dukuh Sempu, Pakembinangun, Sleman, Yogyakarta 55582, Indonesia Tel: +62 274 8594 244. Faks:: +62 274 896 403. Email: press@insist.or.id | Web: http://blog.insist.or.id/insistpress Ketidakadilan, Kesenjangan, dan Ketimpangan: Jalan Panjang Menuju Pembangunan Berkelanjutan Pasca-2015 Tim Penulis: Agung Wasono, Yenny Sucipto, Titik Hartini, Sita Aripurnami, Laura Hukom, Rahayuningtyas, Christiana Widimulyani, Repelita Tambunan, Oslan Purba, Iwan Nurdin, Tejo Wahyu Djatmiko, Ruby Khalifah, Ahmad Qisai, Boedhi Wijardjo, Mohamad Miqdad, Sigit Wijayanta, M. Firdaus, Dian Kartikasari, Jonna Damanik, Erickson Sidjabat, Ah. Maftuhan, Sugeng Bahagijo, dan Mike Verawati Editor: Aris Santoso Perancang isi: Handoko Perancang sampul: Bakkar Wibowo PERPUSTAKAAN NASIONAL. Katalog Dalam Terbitan (KDT) ISBN 978-602-8384-61-2 13 x 19 cm; x + 112 halaman, © Kemitraan, Jakarta, Cetakan pertama, Maret 2013 Diterbitkan oleh: Kemitraan (The Partnership for Governance Reform) Jl. Wolter Monginsidi No.3 Kebayoran Baru, Jakarta Selatan 12110 Tel: +62 21-7279-9566 Fax: +62 21-720-5260/720-4916 Website: http://www.kemitraan.or.id INFID (International NGO Forum on Indonesian Development) Jl. Jatipadang Raya Kav.3 No.105 Pasar Minggu. Jakarta Selatan, 12540 Indonesia. Tel: +62 21 7819734, 7819735 Fax : +62 21 78844703 Website: http://www.infid.org/ v KATA PENGANTAR Millennium Development Goals (MDGs) sebagai agenda pembangunan dunia jangka panjang yang dimulai sejak tahun 2000 akan segera berakhir tahun 2015 atau tinggal 2 tahun lagi. Pada tahun 2012, Sekjend Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) Ban Ki Moon telah menunjuk 3 orang sebagai ketua bersama untuk menyusun Agenda Pembangunan Pasca-MDGs yakni Perdana Menteri Inggris David Cameron, Presiden Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono, dan Presiden Liberia Ellen Jhonson Sirleaf. Ketiga ketua ini akan memimpin 23 High Level Panel Eminent Persons (HLPEP) yang terdiri dari pakar dibidangnya masing-masing dari seluruh dunia untuk bersama-sama menyusun agenda pembangunan pasca- MDGs (Post-2015 Development Agenda). Penulisan paper masyarakat sipil Indonesia untuk Agenda Pembangunan Pasca-2015 bertajuk ”Ketidakadilan, Kesenjangan dan Ketimpangan: Jalan Panjang Menuju Pembangunan Berkelanjutan Pasca 2015” ini dilatarbelakangi kenyataan bahwa masyarakat sipil di Indonesia telah dan terus bekerja pada bidangnya masing- masing untuk mendukung percepatan pencapaian MDGs
  • 5. vi maupun pada sektor lain yang tidak secara langsung terkait dengan MDGs namun sangat berpengaruh terhadap pencapaian MDGs di Indonesia. Selain hal tersebut, dalam beberapa kali LaporanTujuan Pembangunan Milenium (MDGs) yang dikeluarkan oleh Pemerintah Republik Indonesia selalu memberikan klaim bahwa upaya pembangunan milenium berada pada jalur yang sudah benar (on the track), seperti dapat dilihat dalam Laporan Pencapaian MDGs tahun 2004, 2007, 2009, 2010 dan 2011. Namun laporan lembaga internasional juga seringkali memberikan warning kepada Indonesia. Salah satunya adalah Laporan UNESCAP tahun 2006 yang menyatakan bahwa Indonesia termasuk 10 negara di kawasan Asia Pasifik yang berada pada posisi mengkhawatirkan dalam pencapaian MDGs. Dalam laporan Human Development Report, peringkat Human Development Index Indonesia makin memburuk. Jika di tahun 2006, Indonesia berada pada peringkat 107, di tahun 2007-2008 merosot ke peringkat 109, tahun 2009 berada di peringkat 111, pada tahun 2010 naik menjadi 108, namun pada tahun 2011 turun lagi menjadi 124. Hal ini menunjukkan bahwa betapa berat langkah menuju pencapaian MDGs di tahun 2015. Terkait dengan Agenda Pembangunan Pasca-2015, Kemitraan bersama dengan INFID telah diberikan mandat oleh Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) untuk menjadi convener dalam pelibatan secara lebih luas suara dari vii masyarakat sipil di Indonesia. Sebagai salah satu upaya menindaklanjuti hal tersebut, Koalisi Masyarakat Sipil Indonesia untuk Agenda Pembangunan Pasca-2015 telah menyusun kertas posisi sebagai usulan dari masyarakat sipil di Indonesia untuk Agenda Pembangunan Pasca-2015 terutama pada bidang-bidang: Ketimpangan, Kesehatan, Konflik dan Kerawanan Sosial, Lingkungan Hidup, Demokrasi dan Tata Pemerintahan yang Baik, dan Pembiayaan Pembangunan. Kertas Posisi yang ada dihadapan para pembaca ini adalah kerjasama dari berbagai pihak yang tidak bisa kami sebutsatupersatu.Kepadaparapenuliskamiucapkanbenyak terimakasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya atas pengorbanan waktu, tenaga, dan pikiran untuk menyajikan tulisan terbaiknya bagi laporan masyarakat sipil ini Semoga buku yang disusun berdasarkan bukti-bukti nyata dilapangan dan temuan-temuan dari masyarakat sipil ini berguna dan mampu menghadirkan sudut pandang yang berbeda dan bermanfaat pula sebagai salah satu sumber dalam penyusunan Agenda Pembangunan Pasca-2015 guna pemenuhan hak dasar warga negara di Indonesia. Jakarta, Maret 2013 Wicaksono Sarosa, Ph.D Direktur Eksekutif Kemitraan
  • 6. viii ix DAFTAR ISI Daftar Isi ~ix Kata Pengantar ~v Pendahuluan ~1 I. Good Governance: Minimnya Transparansi, Akuntabilitas, dan Kompetensi ~7 II. Ketimpangan Akses Kesehatan ~19 III. Lingkungan: Bencana Ekologis dan Konflik Berkepanjangan ~41 IV. Konflik dan Kerentanan : Konflik Sosial Berlarut dan Jalan Panjang Perdamamaian ~73 V. Mengatasai Kesenjangan: Menggapai Keadilan Bagi Kelompok Rentan ~75 VI. Pembiayaan: Melipatgandakan Alokasi Bagi Kelompok Rentan ~93
  • 7. x 1 Ketidakadilan, Kesenjangan dan Ketimpangan: Jalan Panjang Menuju Pembangunan Berkelanjutan Pasca 2015 Pendahuluan Pada tahun 2000 telah disepakati deklarasi yang ditandatangani 198 negara, yang menyatakan rangkaian keamanan, Hak Asasi Manusia (HAM), termasuk berkaitan dengan pembangunan dan lingkungan, yang kemudian menelurkan delapan target Milenium Development Goals (MDGs). Dapat dikatakan MDGs merupakan kesepakatan yang belum sempurna, namun tetap memberi dampak besar bagi negara dan masyarakat dunia, misalnya untuk meningkatkan akses pendidikan dan kesehatan.1 Dikatakan tidak sempurna karena dalam penyusunannya kurang memperhatikan kebutuhan dan permasalahan yang secara riil dihadapi masyarakat. Adapun Millenium Development Goals (MDGs) sendiri terdiri dari delapan tujuan besar pembangunan, yaitu: (1) Memberantas kemiskinan kelaparan (2) Mewujudkan pendidikan dasar (3) Mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan (4) Menurunkan 1 Heru Prasetyo, Deputi I Pengawasan Pengendalian Inisiatif Perubahan Iklim dan Pembangunan Berkelanjutan UKP4, disampaikan pada Seminar dan Pemutaran Film WRI, Desember 2012
  • 8. 2 angka kematian anak (5) Meningkatkan kesehatan ibu (6) Memerangi HIV/AIDS, malaria dan penyakit menular lainnya (7) Memastikan pelestarian lingkungan (8) Mendorong pembangunan berkelanjutan Masyarakat internasional telah menetapkan 2015 sebagai tenggat waktu bagi MDGs, dengan sasaran pokoknya adalah pengentasan kemiskinan global. Target utama tersebut telah diprioritaskan oleh banyak pemerintah, lembaga pembangunan, donor dan aktor- aktor pembangunan lainnya sejak tahun 2000. Gugus tugas PBB untuk pasca 2015 mengusulkan peta jalan menuju Pembangunan Pasca 2015 yang baru. Hampir semua upaya yang sedang berlangsung dirancang untuk mengumpulkan masukan yang akan memberi input langsung pada perumusankerangkakerjapembangunanglobalpasca2015, yang kemungkinan akan diadopsi dan diimplementasikan oleh semua negara. Tetapi tidak ada upaya konkrit untuk memastikan atau mendorong proses di level negara yang akan mendukung kerangka pembangunan global pasca 2015.2 Pada bulan Maret 2013, Indonesia akan menjadi tuan rumah bagi pertemuan HLP (High Level Panel). Output dari 2 Pada bulan Juli 2013, Sekretaris Jenderal PBB menunjuk sebuah panel beranggotakan 26 orang yang akan memberikan masukan dan nasihat terkait dengan agenda pembangunan global pasca-2015. Para panelis berasal dari pemerintah, sektor swasta, akademisi dan masyarakat sipil, yang menjadi anggota dalam kapasitas pribadi mereka. Panel tersebut diketuai bersama oleh Presiden Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono, Presiden Liberia Ellen Johnson Sirleaf, dan Inggris Perdana Menteri David Cameron. Panel ini disebut High-Level Panel of Eminent Persons on the Post-2015 Development Agenda (HLP). 3 HLP ini akan menjadi laporan kepada Sekretaris Jenderal PBB yang merekomendasikan visi dan bentuk agenda pembangunan pasca 2015. HLP akan mempertimbangkan temuan dari berbagai konsultasi yang dikoordinasikan oleh PBB dalam menulis laporannya. HLP akan didukung oleh tim independen yang direkrut melalui konsultasi langsung dengan tiga co-chairs dari Panel. Laporan akan disampaikan pada Sidang Majelis Umum PBB ke-68, September 2013. Pertanyaannya sekarang: model pembangunan seperti apa yang akan dipromosikan oleh pemerintah (Indonesia) pada skema pembangunan berkelanjutan pasca-2015? Dekade-dekade pembangunan di Indonesia selama ini menunjukkan bahwa model pembangunan yang dipilih oleh pemerintah Indonesia adalah model pembangunan yang eksploitatif dan merusak, serta berbasis pada pemberian konsesi-konsesi usaha kepada korporasi yang seringkali menyebabkan munculnya berbagai konflik sosial. Makalah bersama CSO ini diperuntukkan sebagai salah satu bahan advokasi Kelompok Masyarakat Sipil Indonesia untuk Pembangunan Pasca-MDGs. Kelompok ini akan secara rutin mengkampanyekan ke berbagai kalangan dan menyampaikan hasil-hasil kajian kepada Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Percepatan Pembangunan (UKP4) Indonesia dan kepada Co-Chair High Level Panel of Eminent Person (HLPEP) for Post 2015 Development Agenda. Di dalam HLPEP inilah, Presiden Indonesia bersama Perdana Menteri Inggris David Cameron dan Presiden Liberia Ellen Johnson Sirleaf duduk sebagai co-
  • 9. 4 chair di HLPEP yang ditunjukkan oleh UN. Selama ini pemerintah Indonesia selalu menyatakan optimisme mengenai pembangunan dengan indikator- indikator kuantitatif. Keberhasilan Indonesia memper- tahankan pertumbuhan ekonomi di atas 6 persen saat krisis finansial global diakui oleh institusi keuangan internasional sebagai bentuk kokohnya fundamental ekonomi Indonesia. Dalam dua tahun terakhir ini, tingkat investasi juga menjadi kata kunci yang selalu disampaikan oleh pemerintah Indonesia untuk memperlihatkan keberhasilan pembangunan. Namun gambaran cerah tentang pembangunan di Indonesia, belum mencerminkan realitas yang sebenarnya. Masyarakat sipil (CSO) Indonesia tidak menemukan bukti-bukti yang memadai bahwa pertumbuhan yang inklusif dan menjamin pemerataan telah terjadi. Fakta-fakta peningkatan kekayaan segelintir orang dan kesenjangan yang ekstrim, telah memberi keyakinan, bahwa harus ada perubahan dalam orientasi pembangunan. Pada semua aspek dan sektor kehidupan masyarakat, yang menonjol adalahkesenjangan/ketimpanganyangterutamadisebabkan oleh paradigma pembangunan yang dianut, buruknya tata kelola pemerintahan, serta praktik demokrasi yang parsial (prosedural, transaksional, elitis). Ketimpangan adalah bukti kegagalan konsep pem- bangunan yang berorientasi pertumbuhan. Oleh karena itu, semua upaya dan langkah pembangunan mesti 5 dimaksudkan untuk menghapus ketimpangan ini. CSO mendesak agar perspektif pembangunan yang berorientasi pada pertumbuhan mesti beralih pada pembangunan berkelanjutan dengan tujuan mengakhiri ketimpangan. Tata kelola pemerintahan yang baik (Good Governance) merupakan komponen penting dalam menentukan pencapaian Millennium Development Goals (MDGs) baik di tingkat nasional maupun lokal. Secara sederhana, Good Governance ini dimaknai sebagai pengelolaan pemerintahan yang menjunjung tinggi transparansi, akuntabilitas dan rule of law serta bersifat responsif dan partisipatoris. Aktualisasi Good Governance ini akan menjamin penyelenggaraan pemerintahan yang efektif, pada gilirannya akan mempercepat proses pencapaian tujuan negara, yaitu menyejahterakan rakyat. Di sisi lain, Good Governance ini juga merupakan perwujudan prinsip kedaulatan rakyat (dari, oleh dan untuk rakyat). Oleh karenanya Good Governance seharusnya menjamin, melindungi serta memperkuat hak-hak rakyat. Singkatnya, Good Governance merupakan prasyarat utama bagi tercapainya MDGs di Indonesia, sebagai negara yang masuk dalam kategori tingkat korupsi tinggi. Good Governance menjadi tantangan utama baik di tingkat nasional mau pun daerah. Untuk mewujudkan Good Governance, diperlukan sumber daya aparatur birokrasi pemerintah yang berdedikasi dan berkualitas. Tetapi sayangnya, sumber daya aparatur
  • 10. 6 birokrasi pemerintah dalam melakukan pengintegrasian MDGs, melalui mekanisme perencanaan teknokratis masih terbatas dalam hal kemampuan. Antara lain adalah keterbatasan kemampuan mereka dalam mengakomodir aspirasi masyarakat, menyesuaikan diri dengan perubahan yang terjadi, mendefinisikan permasalahan, merumuskan berbagai kebijakan publik yang sesuai kebutuhan masyarakat, menciptakan birokrasi yang efisien dan efektif, mengimplementasikan kebijakan dan peraturan, serta berempati dalam melayani kepentingan publik. Keterbatasan kapasitas aparatur birokrasi ini juga berakibat pada terjadinya alokasi sumber daya yang tidak efektif. Masih banyak alokasi anggaran yang tidak diarahkan untuk program atau kegiatan yang dapat menjawab akar masalah kemiskinan. Selain memang dalam pengalokasian anggaran,proporsibelanjalangsungmasihjauhlebihrendah dibandingkan dengan belanja tidak langsung. Sehingga program/kegiatan yang disusun pemerintah belum mampu mendukung untuk tercapainya target-target MDGs. Komitmen pemerintah untuk mendorong upaya percepatan MDGs, secara nyata bisa diukur dari ketersedian pembiayaan dalam APBD, bagi masyarakat miskin, rentan dan perempuan. Oleh karena itu, budget tracking atau penelusuran anggaran menjadi penting untuk mengenali masalah-masalah dalam penganggaran. Penelusuran anggaran dilakukan untuk menghasilkan analisis data yang dapat menggambarkan informasi anggaran yang tersedia bagi  para pihak untuk melihat secara jelas dari 7 mana anggaran berasal dan bagaimana anggaran tersebut dibelanjakan. Tujuan lainnya, memastikan realisasi kebijakan alokasi anggaran sesuai dengan prosedur, regulasi dan efisien secara teknis dan efektif secara operasional atau sesuai dengan tujuan pada saat perencanaan anggaran di susun untuk peruntukan pada kegiatan dan program. Menyoal berbagai kendala dalam pencapaian MDGs di Indonesia selama ini, seringkali dihadapkan pada persoalan lemahnya pengarusutamaan program-program berkait MDGs antarkementerian/lembaga, serta terbatasnya alokasi anggaran yang membiayainya. Sehingga untuk beberapa target MDGs di Indonesia, misalnya pada sektor kesehatan (kematian ibu dan anak) dan penanggulangan HIV/AIDS akan sulit dicapai pada tahun 2015. I. Good Governance: Minimnya Transparansi, Akuntabilitas, dan Kompetensi Bagian ini akan mengulas kondisi terkini yang terjadi di Indonesia terkait dengan problematika pelaksanaan demokrasi prosedural dan pemenuhan demokrasi substansial. Kemitraan melalui Partnership Governance Index (PGI) pada tahun 2008 melakuan survei terhadap 33 provinsi di tingkat provinsi dengan melibatkan enam prinsip good governance, yaitu participation, fairness, accountability, transparency, efficiency dan effectiveness di empat arena, yaitu pemerintah (political office), birokrasi, masyarakat ekonomi dan masyarakat sipil. Secara umum rata-rata nilai PGI di 33 provinsi adalah 5,11 dengan
  • 11. 8 masing-masing skor rata-rata per arena adalah 4,95 untuk pemerintah, 5,61 untuk birokrasi, 4,97 untuk masyarakat sipil dan 4,79 untuk masyarakat ekonomi. Berdasar dimensi prinsip good governance yang berkaitan dengan tingkat keterbukaan pemerintah (Open Government), pemerintah memperoleh skor 5,04 untuk partisipasi, 6,69 untuk akuntabilitas dan 4,26 untuk transparansi. Sementara birokrasi memperoleh skor 3,78 untuk partisipasi, 6,55 untuk akuntabilitas dan 3,79 untuk transparansi. Di antara ketiga prinsip tersebut, yang cenderung memperoleh skor kurang bagus adalah transparansi sehingga menunjukkan bahwa tingkat transparansi pemerintah dan birokrasi Indonesia senantiasa harus selalu ditingkatkan. Sementara itu, skor akuntabilitas terlihat terbaik di antara prinsip lain. Hal ini dikarenakan PGI hanya menggunakan indikator akuntabilitas secara prosedural, seperti audit BPK yang secara umum telah dipatuhi oleh sebagian besar provinsi meskipun berada dalam kualitas cukup. Survei Failed State Index/FSI atau Index Negara Gagal 2012, yang dipublikasikan oleh Fund for Peace menetapkan Indonesia sebagai “warning” beresiko sebagai negara gagal. Indonesia memang menunjukkan perkembangan ke arah membaik, apabila dibandingkan FSI Index pada tahun 2011. Dalam survei tersebut Indonesia menduduki peringkat ke-63 dari 177 negara yang sebelumnya pada 9 tahun 2011 Indonesia menempati peringkat ke-64 dari 177 negara. Dalam kategori tersebut, Indonesia masuk kategori negara-negara yang dalam bahaya menuju negara gagal. Indonesiamemangtidaksendiri,bahkannegarasepertiCina dan India berada kelompok “warning” seperti Indonesia di urutan 76 dan 78. Sedangkan negara Asia Tenggara yang berada pada kelompok “warning” adalah Filipina urutan 58 Malaysia urutan 111 sedangkan Thailand pada urutan 84. Kemudian Fund for Peace juga mengadakan penelitian berdasarkan 13 indikator, yang merupakan rincian dari kondisi politik, ekonomi, dan sosial di negara tersebut. Berdasarkan 13 indikator itu hasilnya dibagi menjadi empat kriteria yakni negara-negara yang masuk kategori alert, warning, moderate, dan sustainable. Negara-negara yang masuk kategori alert adalah Somalia, Congo, Sudan, Zimbabwe, dan Afganistan. Untuk Asia Tenggara yang masuk kategori ini adalah Myanmar dan Timor Leste. Evaluasi yang dilakukan oleh Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Azwar Abu Bakar, menyimpulkan bahwa mayoritas pegawai negeri sipil tak memiliki kompetensi yang memadai. “Dari 4,7 juta PNS yang ada, hanya lima persen yang memiliki kompetensi. PNS di Indonesia sebenarnya terbagi dalam dua kelompok, yaitu struktural dan fungsional. Sayangnya, kelompok fungsional ini tak diisi oleh tenaga ahli di bidangnya”. Kritik lebih keras juga datang dari Prof. Dr. Eko
  • 12. 10 Prasodjo (Wakil Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi), bahwa dari hasil pengamatannya selama berkecimpung dalam praktik keilmuan birokrasi di Indonesia, “Saya bisa katakan 80 persen PNS kita tidak berkompeten dan bermoral rusak. Ini kenyataan,” kata Eko Prasodjo. Pada era reformasi ini, perubahan sistem sudah dilakukan meskipun belum tuntas. Di antaranya dengan sistem renumerasi, penggajian berdasarkan kinerja, kompetensi, dan bidang kerja. Perubahan ini diberlakukan di Kementerian Keuangan terutama di Direktorat penghasil pendapatan negara seperti, Bea- Cukai dan Pajak. Tapi ternyata masih ada juga pegawai pajak yang masih korup, meskipun gaji resminya bahkan 10 kali lipat dari PNS biasa. Di sisi lain, jabatan fungsional umum di lingkungan pemerintahan dinilai masih banyak diisi orang-orang yang tidak kompeten. Hal ini dapat terjadi tidak lain karena rekrutmen dan promosi jabatan didasarkan pada faktor politis dan pertemanan dan bukan melihat pada kompetensinya. Untuk meningkatkan kompetensi pegawai tersebut, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi menyusun 10 langkah reformasi birokrasi yang diantaranya menyelenggarakan Uji Kompetensi PNS secara nasional untuk menyaring PNS yang kompeten. Selain masalah pengarusutamaan program dan keterbatasan anggaran, sebenarnya masalah besar yang 11 lebih sulit dihadapi Indonesia saat ini mengenai efektivitas program dan anggaran yang berkait dengan MDGs itu sendiri. Sebab jika dilihat dari trend anggaran bagi program- program MDGs di tiap kementerian –walaupun belum sebanding dengan tantangan yang harus diselesaikan– kecenderungannya selalu meningkat dari tahun ke tahun. Misalnya bidang kesehatan, rata-rata pertumbuhan anggaran khususnya Kesehatan Ibu dan Anak sebesar 14 persen selama periode 2006-2012, bahkan 2010-2011 sempat mencapai pertumbuhan tertinggi sebesar 38,6 persen.3 Sayangnya walaupun kecenderungan alokasi anggarannya naik, hasilnya terlihat tetap stagnan dan tidak ada kemajuan berarti, sehingga terkesan anggaran yang telah digelontorkan untuk program-program MDGs terkesan terbuang sia-sia. Menyoal efektivitas anggaran memang sangat ditentukan pada bagaimana cara pemerintah sebagai pengelola anggaran dalam mengelola keuangan negara, yang dalam berbagai konteks selalu dikaitkan dengan good governance. Dan jika menyoal good governance, cukup menarik meminjam pemikiran Meuthia Ghani yang memahami governance sebagai tradisi dan institusi yang menjalankan kekuasaan dalam suatu negara, termasuk (1) proses pemerintah dipilih, dipantau, dan digantikan, (2) kapasitas pemerintah untuk memformulasikan dan melaksanakan kebijakan secara efektif, dan (3) pengakuan 3 Lihat Koalisi Masyarakat Sipil untuk APBN Kesejahteraan, Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Alternatif 2013, Menuju Anggaran Konstitusional.
  • 13. 12 rakyat dan negara terhadap berbagai institusi yang mengatur interaksi antara mereka. Unsur yang terakhir biasa dilakukan melalui tiga struktur komunikasi, yaitu kewenangan, legitimasi, dan representasi. Kewenangan adalah hak pemerintah untuk membuat keputusan di bidang tertentu. Walaupun ini merupakan hak dari suatu pemerintah modern, namun yang terpenting adalah bagaimana melibatkan persepsi rakyat tentang tindakan yang perlu dilakukan pemerintah. Legitimasi diperoleh karena rakyat mengakui bahwa pemerintah telah menjalankan perannya dengan baik. Representasi diartikan sebagai hak untuk mewakili pengambilan keputusan bagi kepentingan golongan lain dalam kaitannya dengan alokasi sumber daya.4 Good governance pada akhirnya tidak terbatas pada menjalankan wewenang dengan baik semata, yang lebih penting adalah bagaimana masyarakat dapat berpartisipasi dan mengontrol pemerintah untuk menjalankan wewenang tersebut dengan baik (accountable). Oleh karenanya, konsep good governance akan selalu didasarkan pada tiga pilar, yaitu transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi.5 Dalam konteks pengelolaan keuangan negara, ketiga pilar tersebut sebenarnya secara tersirat telah tertuang di 4 Meuthia Ganie, Good Governance dan Tiga Struktur Komunikasi Rakyat dan Pemerintah, makalah yang disajikan pada Seminar “Good Governance dan Reformasi Hukum” di Jakarta, Agustus 1998. 5 Ibid. Lihat juga Loina Lalolo Krina, Indikator dan Alat Ukur Prinsip Akuntabilitas, Transparansi dan Partisipas (Sekretariat Good Public Governance Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Jakarta: 2003), hal.3 13 dalam Konstitusi Indonesia khususnya Pasal 23 Ayat (1) UUD 1945 karena konstitusi mensyaratkan pembahasan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) harus dilaksanakan secara terbuka dan bertanggungjawab untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Keterbukaan tersebut oleh pemerintah dijawab dengan diterbitkannya UU No.14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP). Sebagaimana yang menjadi amanat konstitusi, tujuan utama UU KIP menjamin hak masyarakat untuk mengetahui setiap rencana pembuatan kebijakan publik, program kebijakan publik,  dan proses pengambilan keputusanpublik,sertaalasanpengambilansuatukeputusan publik. Lebih jauh daripada itu diharapkan UU tersebut akan mendorong partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan kebijakan publik, serta meningkatkan peran aktif masyarakat dalam pengambilan kebijakan publik. Bagi pemerintah diharapkan akan mewujudkan penyelenggaraan negara yang baik, yaitu yang transparan, efektif dan efisien, akuntabel  serta  dapat dipertanggungjawabkan.6 Bagi banyak pihak, menuntut keterbukaan informasi khususnya menyangkut pengelolaan keuangan negara/ daerah kepada pemerintah adalah pekerjaan yang sulit dan hampir mustahil walaupun konstitusi dan undang-undang telah menjaminnya, mengingat birokrasi yang terbangun di Indonesia masih kental dengan kultur feodal-kolonial yang 6 Lihat Ketentuan Umum Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.
  • 14. 14 berkarakter dilayani, bukan melayani. Apalagi dokumen anggaran baik di tingkat pusat (kementerian/lembaga) maupun daerah masih banyak yang menilainya sebagai dokumen rahasia yang “diharamkan” dibagi ke publik. Ketertutupan akses terhadap dokumen anggaran tersebut sampai saat ini memang masih menjadi akar tidak efektifnya program-program pembangunan di Indonesia (termasuk program-program MDGs). Sebab masyarakat sama sekali tidak dapat melakukan kontrol terhadap setiap program yang disusun dan dilaksanakan pemerintah. Wajar jika dari tahun ke tahun wajah APBN Indonesia masih tersandera oleh kepentingan elit dan birokrasi. Bagaimana tidak, dari tahun ke tahun sebagian besar anggaran masih dihabiskan untuk membiayai kebutuhan aparat (birokrasi) mulai dari perjalanan dinas, tunjangan, vakasi, fasilitas perkantoran dan kendaraan, dan lain-lain.7 Ambil contoh salah satu program MDGs, khususnya menyangkut kematian ibu dan anak yang ada di Kementerian Kesehatan, hampir sebagian besar anggaran (sekitar 75 persen) hanya dihabiskan untuk belanja perjalanan dinas (pertemuan koordinasi, sosialisasi, fasilitasi, monev, dan seterusnya).8 7 Lihat Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran, Catatan Akhir Tahun Anggaran 2012, Anggaran Tersandera Birokrasi dan Elit Politik. 8 Sebagaimana yang diungkap Yenny Sucipto dalam Catatan Akhir Tahun FITRA 2012 menyatakan: ...program pembinaan KIA dan reproduksi masih satu atap di dalam Direktorat Jenderal Bina Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak. Dalam rencana anggaran Kementerian Kesehatan, hanya dialokasikan sebesar Rp 30 milyar untuk program pelayanan kesehatan anak, dan Rp 31,59 milyar untuk program pembinaan pelayanan kesehatan dan reproduksi. Sungguh ironis, dengan alokasi yang hanya sebesar Rp 30 milyar pada program pelayanan kesehatan anak sebagian besar habis untuk belanja perjalanan dinas (pertemuan koordinasi, sosialisasi, fasilitasi, monev, dll) hingga mencapai Rp 21,5 milyar (72persen dari total anggaran program 15 Selain rendahnya keterbukaan, problem partisipasi juga menjadi salah satu kendala tidak efektifnya program pembangunan. Penyebabnya ruang partisipasi yang dibangun cenderung formalitas dan diskontinyu. Satu- satunya wahana partisipasi masyarakat yang diakui pemerintah hanyalah forum musyawarah rencana pembangunan (musrenbang). Sekilas forum ini cukup partisipatif karena masyarakat diberikan hak untuk mengusulkan program/kegiatan sekaligus kritik, saran dan masukan terhadap kinerja pemerintah. Namun ternyata hanya bersifat formalitas dan palsu karena usulan, kritik dan saran masyarakat akhirnya diamputasi ketika proses penganggaran memasuki internal elit, sebab dalam forum tersebut semuanya sudah bersifat tertutup, sehingga tidak bisa diikuti bahkan dihadiri masyarakat secara langsung. Dari proses tersebut sudah dapat diketahui jika derajat partisipasi yang ditawarkan dalam forum musrenbang sangatlah lemah sebab forum yang dibangun hanyalah sebatas forum sosialisasi belaka, bukan forum konsultasi terlebih negosiasi.9 Selain tertutupnya ruang partisipasi yang disediakan pelyanan kesehatan anak). Begitu juga yang terjadi pada program pelayanan kesehatan ibu dan reproduksi Rp 31,59 milyar habis untuk perjalanan dinas mencapai Rp 24 milyar (76persen). Program untuk pengembangan anak hanya dialokasikan sebesar Rp 1 milyar yang meliputi kegiatan pengembangan Centre of Excellent RBM, Yankes Anak Minoritas dan terisolasi, dan Surveilans Kesehatan Anak. 9 Dari hasil penelitian FITRA di 48 kabupaten/kota yang menunjukkan derajat partisipasi masyarakat di tingkat musrembang selalu tinggi, namun melemah ketika memasuki tahapan lebih tinggi.Lihat Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran, Local Budget Index and Local Budget Study 2010-2011.
  • 15. 16 oleh pemerintah, masalah rendahnya derajat partisipasi masyarakat juga berangkat dari ketidaktahuan atau rendahnya pemahaman masyarakat terhadap anggaran itu sendiri. Hal ini menjadi hal yang sangat krusial yang belum pernah di sikapi oleh pemerintah. Dari hasil studi Open Budget Index, dinyatakan bahwa rendahnya derajat transparansi Indonesia karena salah satunya tidak adanya Citizen’s Budget sebagai salah satu produk untuk “melek anggaran” kepada masyarakat dalam mendorong partisipasi masyarakat dalam penyusunan anggaran. Dari pengalaman melakukan penelusuran anggaran di 8 (delapan) wilayah program pencapaian MDGs melalui Good Governance yang di laksanakan oleh tiga lembaga, yaitu ACE, Kapal Perempuan dan JARI10 yang di dukung oleh Kemitraan, tergambar bahwa ketidaktepatan dalam kebijakan, perencanaan dan penganggaran daerah akan berpengaruh langsung pada tingkat keberhasilan pencapaian MDGs di wilayah tersebut. Sumber Pendapatan daerah (seperti di Kebumen, Maros dan Lombok Timur) dari tahun 2009 - 2011, selalu didominasi oleh Dana Perimbangan, hal ini menandakan kemandirian fiskal daerah rendah atau ketergantungan pemerintah daerah terhadap pemerintah pusat sangat tinggi. Seumpama dana perimbangan dihilangkan atau dikurangi dengan 10 Program Pencapaian MDGs melalui Good Goverment (Januari 2010-Juni 2012) di laksanakan oleh ACE, Kapal Perempuan dan JARI di dukung oleh kemitraan, di 8 Kabupaten/ kota, di 8 Propinsi (Kebumen-Jawa Tengah, Kupang-Nusa Tenggara Timur, Barito Kuala-Kalimantan Selatan, Padang Panjang-Sumatera Barat,Mamuju- Sulawesi Barat, Kubu Raya-Kalimantan Barat, Lombok Timu-Nusa Tenggara Barat, Maros-Sulawesi Selatan) 17 signifikan, hampir pasti stabilitas perjalanan pembangunan daerah akan sangat terganggu. Selain juga ditemukan alokasi anggaran di pemerintah daerah masih jauh dari mencukupi untuk upaya-upaya pencapaian MDGs, kemampuan dalam membiayai kegiatan untuk pencapaian MDGs sangat kecil. Karena Pendapatan daerah dari Dana Perimbangan seperti Dana Alokasi Umum lebih banyak dialokasikan untuk membayar belanja pegawai, lalu Dana Alokasi Khusus kegiatannya sudah ditentukan oleh pemerintah pusat. Analisis FORMASI Kebumen menyatakan bahwa : “Anggaran Kabupaten belum berpihak kepada masyarakat hal ini terlihat dari komponen belanja yang didominasi oleh belanja tidak langsung yang tidak terkait langsung dengan program dan kegiatan untuk masyarakat sedang belanja tidak langsung alokasinya lebih banyak didominasi untuk membayar gaji / belanja pegawai, maka tergambarkan bahwa anggaran lebih banyak untuk membayar gaji birokrasi dari pada untuk melaksanakan pembangunan” Rekomendasi Dalam konteks transparansi dan akuntabilitas, idealnya sudah menjadi hak konstitusional rakyat untuk mengetahui dan memperoleh semua informasi mengenai semua pos- pos anggaran di APBN. Informasi yang tidak sekedar data/ angka makro, melainkan terperinci sebagaimana yang terdokumentasi dalam dokumen “satuan 3”11 .Langkah 11 Satuan 3 adalah dokumen anggaran yang memuat deskripsi program dan rincian alokasi pagu anggaran per Program, berdasarkan Unit Eselon I , dan
  • 16. 18 ini bisa dilakukan pemerintah dengan mengumumkan semuapos anggaran yang tercantum dalam APBN melalui media secara terbuka yang bisa diakses publik.Langkah semacam ini akan dapat meningkatkan akuntabilitas dan transparansi pelaksanaan anggaran. Sebab, rakyat bisa secara langsung menilai, mengawasi, dan mengevaluasi penggunaan semua pos mengenai kemana sesungguhnya uang rakyat tersebut dibelanjakan, siapa pengguna anggarannya, dan sejauh mana hasil yang dicapai. Dalam konteks partisipasi, Pemerintah seharusnya menyediakan ruang-ruang keterlibatan masyarakat selama proses penyusunan anggaran, misalnya dengan meng- agendakan rapat dengar pendapat (hearing) dengan berbagai kelompok atau komponen dalam masyarakat secara rutin dan kontinyu. Dalam praktik selama ini, keterlibatan masyarakat dalam proses penyusunan anggaran adalah nihil, demikian pula dalam hal pengawasan pelaksanaan anggaran. Padahal masyarakat berhak untuk tahu anggaran dalam suatu kementerian, ke mana saja anggaran itu diarahkan dan siapa pelaksana proyek anggaran, dan apakah pelaksanaan anggaran sudah sesuai aturan. Dalam konteks akuntabilitas, pengawasan anggaran yang dimiliki oleh DPR juga tidak mempunyai kekuatan mekanisme tindak lanjut atas hasil pemeriksaan keuangan BPK dan hasil temuan lapangan baik daerah maupun pusat. Praktek yang terjadi selama ini, seringkali hasil pemeriksaan keuangan cenderung disalurkan DPR melalui mekanisme Iingkup Satuan Kerja lingkup Kementerian/Lembaga Negara. 19 internal di institusi sendiri. Dan problem politis, dimana independensi anggota DPR dalam melaksanakan fungsi kontrol anggaran masih sangat ditentukan oleh arah kebijakan fraksi/partai politik yang menaunginya. II. Ketimpangan Akses Kesehatan Dalam tinjauan sektor kesehatan selalu digunakan perspektif Hak Asasi Manusia (HAM) dan gender. Perspektif HAM merujuk pada hak-hak dasar yang dimiliki manusia yang bersifat universal. HAM tidak tergantung dari pengakuan manusia lain, masyarakat lain, atau bahkan negara lain. HAM adalah hak dasar yang dimiliki manusia sebagai anugerah Tuhan dan melekat pada diri manusia, bersifat kodrati, universal dan abadi, berkaitan dengan harkat dan martabat manusia. Setiap manusia diakui dan dihormati mempunyai hak asasi yang sama tanpa membedakan jenis kelamin, warna kulit, kebangsaan, agama, usia, pandangan politik, status sosial dan bahasa serta status lain. Sedangkan perspekti gender akan membantu kita melihat secara jelas perbedaan-perbedaan, serta mampu menunjukkan hubungan antara konsep gender equity dan gender equality. Gender equity adalah sebuah konsep yang menunjukkan adanya proses yang sama bagi perempuan dan laki-laki, serta memastikan adanya kesamaan dalam perlakuan (fairness) terhadap perempuan dan laki-laki. Gender equality adalah sebuah konsep yang menunjukkan bahwa perempuan dan laki-laki memiliki kondisi setara
  • 17. 20 untuk mengaktualisasikan hak-hak dan potensinya sebagai manusia agar dapat menyumbangkan serta mendapatkan manfaat dari program-program yang tersedia serta kebijakan-kebijakan yang ada. Gender equality merupakan bentuk pengakuan terhadap perbedaan perempuan dan laki-laki, serta menghargai peran yang mereka lakukan. Dengan demikian, gender equity adalah strategi yang digunakan untuk memperoleh gender equality. Gender equity adalah sebuah cara untuk mencapai hasil, sementara gender equality adalah hasil yang ingin dicapai. Dalam hubungannya dengan perspektif gender, Pemerintah Indonesia telah meratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuanpadatahun1984menjadiUUno.7tahun198412 . Pengaturan ini diperkuat lagi pada tahun 1992, melalui sidang ke-11 Komite Penghapusan Diskriminasi Terhadap Perempuan (CEDAW) yang melahirkan Rekomendasi Umum Nomor 19 yang menyatakan : “Kekerasan berbasis gender adalah suatu bentuk diskriminasi yang merupakan hambatan serius bagi kemampuan perempuan untuk menikmati hak-hak dan kebebasannya atas dasar persamaan hak dengan laki-laki. Rekomendasi umum ini juga secara resmi memperluas larangan atas diskriminasi berdasarkan gender dan merumuskan tindak kekerasan berbasis gender sebagai: tindak kekerasan yang secara 12 Bahan ajar tentang hak perempuan: UU no. 7 tahun 1984 Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita, Yayasan Obor, 2007. 21 langsung ditujukan kepada perempuan karena ia berjenis kelamin perempuan atau mempengaruhi perempuan secara proposional. Termasuk di dalamnya tindakan yang mengakibatkan kerugian atau penderitaan fisik, mental dan seksual, ancaman untuk melakukan tindakan-tindakan tersebut, pemaksaan dan bentuk-bentuk perampasan hak kebebasan lainnya”. Rekomendasi tersebut di atas menunjukkan ketim- pangan terhadap perempuan adalah sebuah pelanggaran HAM. Hal ini sesuai dengan Deklarasi dan Program Aksi Wina13 (Tahun1993:Bagian1,Ayat18)yangmenyebutkan:  “Hak Asasi Perempuan dan anak perempuan merupakan bagian yang melekat, menyatu dan tidak terpisahkan dari hak asasi manusia yang universal. Partisipasi perempuan sepenuhnya dan sama dalam kehidupan politik, sipil dan ekonomi, sosial dan budaya pada tingkat nasional, regional dan international, serta pembasmian segala bentuk diskriminasi atas dasar jenis kelamin merupakan tujuan yang mendapat prioritas pada masyarakat internasional”. Permasalahan kesehatan akan dilihat dengan kerangka berpikir yang menggunakan perspektif HAM dan gender agar bisa diperoleh gambaran yang utuh mengenai bagaimana kondisi kesehatan dan pengaruh upaya-upaya yang telah dilakukan bagi kehidupan masyarakat, baik laki- laki maupun perempuan di Indonesia. Kesehatan sangat penting bagi pembangunan, karena merupakan prasyarat serta indikator sekaligus hasil sebuah 13 Ibid
  • 18. 22 capaian kemajuan dalam pembangunan sebuah negara. Perhatian terhadap masalah kesehatan dengan menghargai danmelindungihakasasisetiapwarga,baiklaki-lakimaupun perempuan, dapat menjadi kekuatan yang berpotensi mendorong kemajuan dalam upaya memenuhi prioritas pembangunan, termasuk disini penyelesaian permasalahan ketimpangan gender, kesehatan, ketahanan pangan dan ketersediaan air serta anggaran seluruh aspek kesehatan agar dapat mencapai tujuan kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian, tulisan atau ulasan mengenai kesehatan adalah perlu karena sesuai dengan pasal 12 International Covenant on Economic, Social & Cultural Rights (1966)14 , bahwa kesehatan (termasuk kesehatan reproduksi dan seksualitas) sangat penting dalam pengembangan potensi manusia serta pembangunan dan diakui sebagai hak-hakasasiyangwajibdipenuhi.Selamamasihditemukan permasalahan yang berhubungan dengan kesehatan, seperti belum terselenggaranya dengan baik pelayanan kesehatan bagi masyarakat atau belum terpenuhinya bagi semua warga pengadaan air bersih, maka pembahasan mengenai permasalahan kesehatan di Indonesia masih sangat relevan dan beralasan kuat untuk menjadi perhatian dalam agenda Paska 2015. Indonesia sendiri telah berhasil menurunkan tingkat kemiskinan sebagaimana diukur oleh garis kemiskinan nasional sebesar 13,33 persen (2010) menuju target 14 Diambil dari web site Office of the United Nations High Commissioner for Human Rights http://www2.ohchr.org/english/law/cescr.htm 23 8-10 persen pada tahun 2014.15 Harapannya dengan berkurangnya tingkat kemiskinan dapat memberi dampak pada perbaikan gizi masyarakat Indonesia. Prevalensi kekurangan gizi pada balita telah menurun dari 31 persen pada tahun 1989, menjadi 18,4 persen pada tahun 2007 sehingga Indonesia diperkirakan dapat mencapai target MDG sebesar 15,5 persen pada tahun 2015.16 Dalam dua dasawarsa terakhir Indonesia telah membuat kemajuan yang bermakna dalam upaya perbaikan gizi yang ditunjukkan dengan menurunnya prevalensi kekurangan gizi pada anak balita dari 31 persen pada tahun 1989 menjadi 21,6 persen pada tahun 2000. Angka prevalensi tersebut meningkat kembali menjadi 24,5 persen pada tahun 2005, namun pada tahun 2007 angka prevalensi anak balita kekurangan gizi kembali menurun menjadi 18,4 persen.17 Data Riskesdas 2010 menunjukkan terjadinya penurunan prevalensi kekurangan gizi pada anak balita menjadi 17,9 persen.18 Dengan melihat kecenderungan ini diharapkan target MDG sebesar 15,5 persen dapat tercapai pada tahun 2015. Berdasarkan hal tersebut, sasaran yang ditetapkan pemerintah dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2010-2014 adalah menurunnya prevalensi kekurangan gizi (terdiri dari gizi-kurang dan gizi-buruk) menjadi kurang dari 15 15 Laporan MDGs Bappenas, 2010, hal.5 16 Ibid 17 Riskesdas 2007 18 Riskesdas 2010
  • 19. 24 persen.19 Gizi buruk juga menjadi penyebab utama kematian bayi. Separuh kematian bayi dan balita didasari oleh keadaan gizi yang buruk. Dimana anak kurang memiliki daya tahan tubuh sehingga mudah terserang penyakit infeksi misalnya ISPA dan diare. Dampak langsung lainnya adalah generasi gagal tumbuh. Kekurangan gizi yang terjadi sejak masa janin dan masa balita akan menyebabkan berat bayi lahir rendah, anak kecil, pendek dan kurus. Disamping gagal tumbuh, anak yang memiliki status gizi kurang atau buruk dan pendek atau sangat pendek (stunting) berdasarkan pengukuran tinggi badan terhadap umur (TB/U) yang sangat rendah dibanding standar WHO mempunyai resiko kehilangan tingkat kecerdasan atau intelligence quotient (IQ) sebesar 10-15 poin. Dimana ini akan mempengaruhi prestasi sekolah dan keberhasilan pendidikan. Dalam jangka panjang, masalah gizi pada awal kehidupan akan menurunkan produktivitas. Literatur terkini mengungkapkan bahwa kekurangan dan kelebihan gizi pada usia dini akan menyebabkan gangguan metabolik, khususnya metabolisme lemak, karbohidrat, dan protein. Ini merupakan faktor risiko utama penyakit tidak menular seperti penyakit jantung koroner, diabetes melitus type 2 dan stroke pada usia dewasa. Dalam Undang-Undang Nomor 36/ 2009 tentang 19 Ibid 25 Kesehatan, secara eksplisit disebutkan bahwa tujuan pembinaan gizi adalah tercapainya mutu gizi perorangan dan masyarakat melalui: perbaikan pola konsumsi makanan yang sesuai dengan gizi seimbang, perbaikan perilaku sadar gizi, aktivitas fisik, dan PHBS ( perilaku hidup bersih dan sehat ), serta peningkatan akses dan mutu pelayanan gizi yang sesuai dengan kemajuan ilmu dan teknologi. Pemerintah memiliki tanggung jawab atas pemenuhan kecukupan gizi pada keluarga miskin. Walaupun secara nasional terjadi penurunan prevalensi masalah gizi pada balita, tetapi masih terdapat kesenjangan antarprovinsi dan antara desa-kota. Terdapat 18 provinsi yang memiliki prevalensi gizi kurang dan buruk diatas prevalensi nasional. Masih ada 15 provinsi dimana prevalensi anak pendek di atas angka nasional, dan untuk prevalensi anak kurus. Kondisi gizi balita di desa cenderung lebih buruk daripada kota. Masalah kekurangan konsumsi energi dan protein terjadi pada semua kelompok umur, terutama pada anak usia sekolah (6–12 tahun), usia pra remaja (13–15 tahun), usia remaja (16–18 tahun), dan kelompok ibu hamil, khususnya ibu hamil di pedesaan. Akar masalah gizi adalah kemiskinan yang sangat terkait dengan ketersediaan bahan pangan, pola makan dan kurangnya pengetahuan tentang gizi seimbang serta belum optimalnya program yang ada dalam mengatasi penyebab masalah gizi kurang, stunting20 , maupun gizi lebih. 20 Stunting adalah Kondisi dimana seorang anak memiliti tinggi badan
  • 20. 26 Dengan berbagai pendekatan dan proyek, pemerintah telah berupaya untuk mengatasi beberapa masalah gizi dan memenuhi ketercukupan gizi orang miskin. Namun masih juga ditemukan banyak kasus gizi buruk, kesenjangan antara antar provinsi maupun antara desa-kota. Beberapa tantangan yang dapat diungkap adalah sebagai berikut: 1. Sempitnya pemahaman tentang masalah gizi baik di pemerintahan maupun di masyarakat umum sehingga program penanggulangan gizi buruk cenderung kurang strategis. Hal ini dibuktikan dengan pilihan program dalam rencana aksi daerah pangan dan gizi cenderung ditentukan oleh sektor yang mengkoordinasikan pembuatan rencana aksi daerah tersebut. 2. Koordinasi dan kolaborasi pemerintah pusat dengan pemerintah daerah masih belum berjalan baik sehingga perencanaan, implementasi dan pemantauan program tidak berjalan lancar. 3. Ketidaksesuaian antara dokumen rencana aksi pangan dan gizi terutama di tingkat provinsi dengan dokumen perencanaan pembangunan yang lain seperti RPJMD, rencana strategis daerah, rencana kerja tahunan dan anggaran. 4. Kurangnnya sistem pemantauan dan evaluasi terkait implementasi kebijakan tentang gizi misalnya UU 36 tentang Kesehatan 2009 dan PP 33 / 2012 tentang Pemberian ASI Eksklusif. dibawah normal anak seusianya akibat kekurangan asupan gizi. 27 5. Pendekatan keproyekan di bidang gizi yang kurang terintegrasi di tingkat desa menjadi kendala dalam mendorong partisipasi dan kemandirian warga untuk mengambil peranan tingkat akar-rumput. 6. Pembinaan terhadap posyandu termasuk kadernya yang dianggap strategis dalam program perbaikan gizi ibu dan anak belum mendapat perhatian dalam rencana aksi nasional maupun daerah Hambatan dan tantangan yang ada memang cukup memberi dampak pada pencapaian target MDGs. Berikut rekomendasi untuk mencapai taget pemenuhan gizi seimbang untuk masyarakat antara lain: 1. Penguatan program gizi yang sudah ada mulai dari perencanaan, implementasi dan pemantauan untuk setiap komponen program (input – proses – output – outcome) di setiap tingkatan administrasi (mulai dari tingkat nasional hingga desa). 2. Integrasi pembangunan gizi menjadi bagian dari pembangunan di tingkat desa dalam kerangka pemberdayaan daripada keproyekan. 3. Melibatkanpartisipasimasyarakatsipildalammengawal perencanaan dan pengganggaran pembangunan gizi pemerintah. 4. Pemerintahperlumengembangkankonseppemantauan efektivitas kebijakan yang lebih independen yang melibatkan masyarakat sipil misalnya LSM dan
  • 21. 28 perguruan tinggi. 5. Integrasi pembinaan yang bisa dilakukan oleh Pokjanal posyandu perlu diaktifkan dengan melibatkan sektor pemerintah terkait secara lebih luas. 6. Membangun koordinasi dan kolaborasi yang lebih baik antara pusat dan daerah , antar instansi, sektor dan program agar memberikan dampak yang signifikan. 7. Pendidikan bagi para kader posyandu tentang gizi yang utuh termasuk pemantauan dan penimbangan ibu hamil, sangat penting untuk ditingkatkan terus- menerus. Sejak deklarasi Hak Asasi Manusia (HAM) tahun 1948, bangsa-bangsa di dunia sepakat untuk menjamin standar hidup dan hak hidup yang sama kepada semua bangsa dan setiap orang. Artinya setiap manusia, termasuk manusia yang baru lahir, berhak untuk dijamin kesehatannya dan mendapatkan hidup yang layak. Hal ini menjadi landasan dimasukannya target penurunan Angka Kematian Bayi (AKB) ke dalam salah satu target MDGs. Angka Kematian Bayi (AKB) dan Angka Kematian Balita (AKABA) di Indonesia masih cukup tinggi dimana lebih dari 500 balita (0-5 tahun) meninggal setiap harinya secara rata-rata. Tahun 1990 AKB sebesar 68 per 1000 kelahiran hidup (KH). Menurut data terakhir, AKB menjadi 34/1000 KH dan AKBa 44/1000 KH.21 Meskipun ada penurunan sejak tahun 1990, penurunan ini masih jauh 21 SDKI 2007 29 dari target MDG tahun 2015 dimana AKB diharapkan turun menjadi 23 dan AKA AKABA 32 per 1000 kelahiran hidup. Sebagian besar dari penyebab kematian bayi dan balita terjadi pada bayi baru lahir / neonatal ( umur 0 – 28 hari ). Masalah neonatal ini biasanya meliputi asfiksia ( kesulitan bernapas saat lahir ), bayi berat lahir rendah ( BBLR ), diare dan komplikasi prenatal. Jika diperbandingkan dengan negara tetangga, kasus kematian balita di Indonesia pertahun sangat tinggi yakni berjumlah 200.000 per tahun. Bandingkan dengan Malaysia yang hanya 3.694 dan Filipina yang memiliki 85.400 kasus kematian balita. Penyebab kematian utama anak balita di Indonesia adalah: diare, pneumonia, malaria ( di daerah endemis malaria ) dan campak. Sebenarnya, penyebab kematian ini bisa dicegah dengan imunisasi, deteksi dini, perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) serta penanganan yang cepat dan tepat. Akar masalah dari rendahnya kualitas hidup bidang kesehatan adalah kemiskinan yang menyebabkan sulitnya mengakses layanan kesehatan, kondisi hidup yang kurang layak, ketersediaan pangan dan tingkat pengetahuan yang kurang memadai. Komplikasi ini harusnya dapat dicegah, namun ter- kendala banyaknya tantangan dan hambatan, diantaranya: 1. Tidak adanya sistem pencatatan kelahiran, kematian, penyebab kematian yang baik. 2. Masyarakat kurang mampu tidak dapat mengakses
  • 22. 30 pelayanan kesehatan dasar. Terlambat mendapat penanganan medis menyebabkan hampir 70persen kematian anak balita. 3. Kurangnya cakupan imunisasi yang dapat mencegah sebagian besar penyakit menular. 4. Kesenjangan fasilitas dan layanan kesehatan antar wilayah di Indonesia menimbulkan perbedaan signifikan dalam upaya penurunan AKB. 5. Kurangnnya sistem pemantauan dan evaluasi terkait implementasi kebijakan tentang kesehatan anak. 6. Rendahnya kesadaran orang tua untuk mencari pertolongan tenaga kesehatan 7. Berbagai kebijakan tentang perbaikan kesehatan gizi, diantaranya UU Kesehatan No.36 / 2009 pasal 142 serta PP 33/2012 tentang Pemberian ASI Eksklusif, belum mampu melindungi kepentingan ibu dan bayi. Untuk mempercepat pencapaian target penurunan AKB di Indonesia, beberapa solusi dan rekomendasi yang dapat dilakukan, antara lain: 1. Perlunya strategi kebijakan jangka pendek dan jangka panjang, termasuk anggaran pembangunan bidang ekonomi, pangan dan gizi, kesehatan, pendidikan, dan keluarga berencana untuk meningkatkan status gizi masyarakat. 2. Adanya sistem pencatatan bagi setiap kelahiran dan 31 kematian yang mampu diimplementasikan oleh staf pemerintah di tingkat daerah. 3. Mendorong program imunisasi dan pola hidup sehat untuk mencegah penularan penyakit 4. Pemerataan pembangunan kesehatan di wilayah terpencil. 5. Ketersedian layanan kesehatan yang memadai dan mudah dijangkau oleh ibu dan balita. 6. Memastikan adanya 1 bidan yang tinggal di 1 desa terutama di wilayah terpencil. 7. Pemerintahperlumengembangkankonseppemantauan efektivitas kebijakan yang lebih independen yang melibatkan masyarakat sipil misalnya LSM dan perguruan tinggi. Dari semua target MDGs, kinerja penurunan angka kematian ibu secara global masih rendah. Di Indonesia, Angka Kematian Ibu (AKI/MMR, Maternal Mortality Rate) menurun dari 390 pada tahun 1991 menjadi 228 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 2007. Target pencapaian MDGs pada tahun 2015 adalah sebesar 102 per 100.000 kelahiran hidup, sehingga diperlukan kerja keras untuk mencapai target tersebut. Walaupun pelayanan antenatal dan pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan telah cukup tinggi, beberapa faktor seperti risiko tinggi pada saat kehamilan dan aborsi perlu mendapat perhatian.22 22 Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium Indonesia 2010. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, 2010, hal. 66
  • 23. 32 Berdasarkanangkadiatasdiketahuibahwatargetpenurunan AKI di Indonesia bahkan belum mencapai setengah angka yang diharapkan. Pertolongan persalinan dengan bantuan tenaga kesehatan terlatih merupakan salah satu cara yang paling efektif untuk menurunkan AKI di Indonesia. Persentase persalinan yang ditolong oleh tenaga kesehatan terlatih meningkat dari 66,7 persen pada tahun 2002 menjadi 77,34 persen pada tahun 2009 (Susenas). Angka tersebut terus meningkat menjadi 82,3 persen pada tahun 2010 (Riskesdas, 2010). Disparitas pertolongan persalinan oleh tenaga terlatih antarwilayah masih merupakan masalah. Data Susenas tahun 2009 menunjukkan capaian tertinggi sebesar 98,14 persen di DKI Jakarta sedangkan terendah sebesar 42,48 persen di Maluku.23 Untuk memastikan kesehatan ibu selama kehamilan, diperlukan pelayanan antenatal (antenatal care/ANC), yang juga akan menjamin ibu dalam melakukan persalinan di fasiltas kesehatan. Sekitar 93 persen ibu hamil memperoleh pelayanan antenatal dari tenaga kesehatan profesional selama masa kehamilan. Terdapat 81,5 persen ibu hamil yang melakukan paling sedikit empat kali kunjungan pemeriksaan selama masa kehamilan, namun baru 65,5 persen yang melakukan empat kali kunjungan sesuai jadwal yang dianjurkan. Dari data yang dijelaskan di atas, ternyata masih banyak ditemukan tantangan dan kendala selama proses 23 Ibid, hal. 67 33 penurunan AKI di Indonesia : 1. Terbatasnya akses masyarakat terhadap fasilitas pelayan- an kesehatan yang berkualitas, terutama bagi penduduk miskin di daerah tertinggal, terpencil, perbatasan dan kepulauan (DTPK). 2. Terbatasnya ketersediaan tenaga kesehatan baik dari segi jumlah, kualitas dan persebarannya, terutama bidan. 3. Masih rendahnya pengetahuan dan kesadaran masya- rakat akan pentingnya menjaga kesehatan dan kese- lamatan ibu. 4. Masih rendahnya status gizi dan kesehatan ibu hamil. 5. Masih rendahnya angka pemakaian kontrasepsi dan tingginya unmet need. 6. Pengukuran AKI masih belum tepat, karena sistem pen- catatan penyebab kematian ibu masih belum adekuat Selanjutnya pemerintah juga kurang memperhatikan kebutuhan remaja untuk mendapatkan pelayanan kesehatan reproduksi. Dalam pelayanan promosi kesehatan dan pemberdayaan masyarakat, dikatakan target pemenuhannya hanyalah cakupan desa siaga aktif, padahal banyak kebutuhan promosi kesehatan yang menjadi kebutuhan masyarakat, khususnya remaja dalam mendapatkan pendidikan kesehatan. Promosi kesehatan yang menjadi salah satu pelayanan mulai dari Puskesmas belum memiliki kewajiban untuk menyediakan pelayanan
  • 24. 34 kesehatan reproduksi remaja. Kurangnya pengetahuan tentang kesehatan reproduksi ternyata berdampak positif terhadap tingginya kasus KTD (kelahiran tidak diinginkan), baik oleh remaja maupun perempuan yang telah menikah.24 Ketidaktahuan ini berlanjut dengan proses pemulihan haid dengan cara yang tidak aman. Sebagai contoh mereka mengkonsumsi jamu, obat, atau minuman tradisional untuk pemulihan haid. Tidaksedikityangmenggunakancarafisiksepertimelompat dan sejenisnya untuk menggugurkan kandungan, sebagian bahkan memilih melakukan aborsi yang tidak aman untuk mengakhiri KTD dan tidak mengetahui cara terbaik. Belum adanya layanan pemulihan haid yang aman dari pemerintah memunculkan banyak praktik aborsi tidak aman, di samping tidak adanya fasilitas bagi remaja atau ibu yang mengalami KTD dan ingin konsultasi untuk mengakhiri dengan cara aman. Stigma masyarakat, bahkan petugas kesehatan, justru memojokkan posisi dan kondisi ibu yang mengalami KTD, padahal bisa jadi mereka yang mengalaminya merupakan korban yang tidak menghendaki kehamilan tersebut. Jika diteliti lebih dalam, praktik pemulihan haid dan aborsi yang tidak aman akan menimbulkan kerugian bagi kesehatan reproduksi perempuan, lebih parah lagi mereka bisa sampai mengalami kematian. Tidak heran jika di Indonesia Angka Kematian Ibu (AKI) masih cukup tinggi karena minimnya fasilitas 24 Hasil Penelitian PKBI Pusat, Fakta Kebutuhan Perempuan Terhadap Layanan Pemulihan Haid di 13 Kota tahun 2008 – 2011. Dipresentasikan saat Diseminasi hasil penelitian PKBI tanggal 18 Desember 2012 35 untuk mendapatkan pelayanan kesehatan reproduksi untuk perempuan. Terkait isu HIV/AIDS, Indonesia termasuk salah satu negara di Asia yang pertumbuhan kasus HIV dan AIDS relatif cepat, hal ini diungkapkan oleh UNAIDS dalam laporannya HIV in the ASIA and the Pacific “Getting to Zero”, pada tahun 2011. Kasus HIV/AIDS di Indonesia pertama kali ditemukan pada tahun 1987. Sampai dengan September 2012 kasus HIV/AIDS tersebar di 341 dari 497 kabupaten/kota di seluruh (33) provinsi di Indonesia (atau sekitar 71 persen). Provinsi pertama yang menemukan kasus HIV/AIDS adalah Bali di tahun 1987, sedangkan provinsi terbaru yang terakhir melaporkan adanya kasus HIV adalah Provinsi Sulawesi Barat pada tahun 2011.25 Tahun 2005 jumlah kasus HIV di Indonesia yang dilaporkan sebanyak 859 kasus dan hampir selalu meningkat setiap tahunnya, hingga tahun 2012 menjadi 15.372 kasus. Jumlah kumulatif kasus HIV yang dilaporkan sampai dengan September 2012 sebanyak 92.251 kasus. Jumlah kasus HIV tertinggi di DKI Jakarta (21.775 kasus), diikuti Jawa Timur (11.994 kasus), Papua (9.447 kasus), Jawa Barat (6.640), dan Sumatera Utara (5.935 kasus). Kementerian Kesehatan juga memilah kasus AIDS dari tahun 2005 jumlah kasus AIDS yang dilaporkan sebanyak (4.774 kasus), tahun 2006 (3.439 kasus), tahun 2007 (4.434 kasus), tahun 2008 (5.134 kasus), tahun 2009 (5.458 kasus), tahun 2010 (6.476 kasus). Jumlah kumulatif 25 KEMENKES, Laporan HIV/AIDS Twiwulan III, 2012.
  • 25. 36 kasus AIDS dari tahun 1987 sampai dengan September 2012 sebanyak 39.434 kasus.26 Selanjutnya Kementerian Kesehatan RI melaporkan kasus HIV tersebut dari kategori usia dan jenis kelamin. Dari Juli sampai dengan September 2012 jumlah kasus baru HIV yang dilaporkan sebanyak 5.489 kasus. Prosentase kasus HIV tertinggi dilaporkan pada kelompok umur 25- 49 tahun (73,7persen), diikuti 20-24 tahun (15,0persen) dan umur kurang lebih 50 tahun (4.5persen). Rasio kasus HIV antara laki-laki dan perempuan adalah 1:1. Prosentase heteroseksual (50,8persen), penggunaan jarum suntik tidak steril pada Penasun (9,4persen), dan laki laki yang berhubungan seksual dengan laki-laki lain (7 persen). Untuk kasus AIDS sejak Juli sampai September 2012 jumlah kasus baru yang dilaporkan sebanyak 1.317 kasus. Prosentase tertinggi pada kelompok umur 30-39 tahun (40,7persen), diikuti 20-29 tahun (29,0persen) dan 40-49 tahun (17,3persen). Rasio kasus AIDS antara laki-laki dan perempuan adalah 2.1. Jumlah kasus tertinggi terjadi di Provinsi DKI Jakarta (648), Jawa Tengah (140), Bali (102), Jawa Barat (80) and Kepulauan Riau (78). Prosentase faktor resiko AIDS tertinggi adalah hubungan seks tidak aman pada heteroseksual (81,9persen), pengguna jarum suntik tidak steril pada penasun (7.2persen), dari ibu (positif HIV) ke anak (4,6persen), dan lelaki yang berhubungan seks dengan lelaki lain (2,8persen).27 26 Ibid. 27 KEMENKES, Laporan HIV/AIDS Twiwulan III, 2012 37 Dari data tersebut di atas dapat dibaca bahwa kasus HIV/AIDS meningkat setiap tahunnya. Tidak hanya pada kaum laki-laki tetapi juga pada perempuan. Kerentanan perempuan terhadap HIV disebabkan oleh berbagai faktor, di antaranya ketimpangan gender yang berakibat pada ketidakmampuan perempuan untuk mengontrol perilaku seksual suami atau pasangan seksualnya. Kurangnya pengetahuan serta akses untuk mendapatkan informasi dan pelayanan pengobatan kesehatan seksual, kesehatan reproduksi serta HIV/AIDS juga menjadi penyebab tingginya kasus pada perempuan. Upaya mencegah penularan HIV dilakukan dengan program Preventing Mother To Child Transmission (PMTCT), ditujukan kepada ibu rumah tangga, perempuan pekerja seks, perempuan pengguna narkoba suntik dan buruh migran dengan memperhatikan HAM dan layanan yang sensitif gender. Layanan PMTCT terdiri dari empat strategi, yaitu: (a) mencegah penularan HIV pada perempuan usia produktif, (b) mencegah kehamilan yang tidak direncanakan pada perempuan HIV positif, (c) mencegah penularan HIV dari ibu hamil HIV positif ke bayi yang dikandungnya, (d) memberikan dukungan psikologis, sosial dan perawatan kepada ibu HIV positif beserta bayi dan keluarga.28 Hingga akhir tahun 2011, layanan PMTCT telah tersedia di 90 rumah sakit rujukan yang terdapat di ibukota provinsi dan kota-kota besar, serta telah diakses oleh 1.862 28 Laporan HIV/AIDS, KEMENKES, 2011.
  • 26. 38 perempuan dengan HIV di Indonesia. Namun demikian rumah sakit yang merupakan rujukan layanan PMTCT belum semua melakukan penatalaksanaan medis dan manajemen yang baik kepada perempuan terinfeksi HIV. Dalam Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Millenium Indonesia (MDGs) tahun 2010 disebutkan terjadi peningkatan jumlah infeksi HIV baru. Sepanjang periode 1996 sampai dengan 2006, angka kasus HIV meningkat sebesar 17,5persen dan diperkirakan bahwa ada sekitar 193.000 orang yang saat ini hidup dengan HIV di Indonesia. Epidemi AIDS umumnya terkonsentrasi pada populasi berisiko tinggi di sebagian besar wilayah Indonesia dengan estimasi nasional untuk prevalensi orang dewasa dengan AIDS 0,22persen pada tahun 2008. Papua dan Papua Barat mengalami pergeseran ke generalized epidemic dengan prevalensi 2,4persen pada usia 15-49 tahun. Sementara itu, jumlah kumulatif kasus AIDS terus meningkat. Ditemukan 19.973 kasus pada tahun 2009, artinya lebih dari dua kali lipat jumlah kumulatif pada tahun 2006 sebesar 8.194.29 Kemudian berkenaan dengan air dan sanitasi, bahwa tujuan tujuh target ke-10 dalam MDGs ialah menurunkan hingga separuhnya proporsi penduduk tanpa akses terhadap sumber air minum yang aman dan berkelanjutan, serta fasilitas sanitasi dasar pada 2015. Dalam upaya pencapaian target MDGs tersebut, Pemerintah Indonesia 29 Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS), 2010, 39 dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) bidang Air Minum dan Penyehatan Lingkungan (AMPL) 2010-2014 memiliki target untuk meningkatkan akses air minum bagi 70 persen penduduk pada akhir 2014. Selain itu pemerintah juga menargetkan untuk kondisi stop BABS (Buang Air Besar Sembarangan) dan menyediakan akses sistem pengelolaan limbah untuk 90 persen penduduk. Dalam hal pengelolaan sampah, pemerintah memiliki target 80 persen rumah tangga di perkotaan memiliki akses terhadap pengelolaan sampah serta menurunkan luas genangan (potensi banjir) sebesar 22.500 hektar di 100 kawasan strategis kota.30 Proporsi rumah tangga dengan akses air minum layak meningkat dari 37,73 persen pada tahun 1993 menjadi 47,71 persen pada tahun 2009. Sementara itu, proporsi rumah tangga dengan akses sanitasi layak meningkat dari 24,81persen (1993) menjadi 51,19 persen (2009). Pada praktiknya, pencapaian penyediaan sarana air bersih dan sanitasi belum mampu dicapai, baik dalam target MDGs maupun RPJMN. Hingga tahun 2012 capaian sarana air minum masih di angka 44,19 persen dan cakupan akses pengelolaan air limbah masih 55,53persen. Hal yang sama juga terjadi untuk drainase (55 persen dari target 100 persen) dan pengelolaan sampah (42,9 persen dari target 80 persen).31 (lihat lampiran, grafik 7: Target dan Pencapaian Infrastruktur Air Minum dan Sanitasi). 30 RPJMN 2010 - 2014 31 Bappenas, 2012
  • 27. 40 Kondisi diatas terjadi karena beberapa faktor, diantaranya: (1) belum memadainya perangkat peraturan yang mendukung penyediaan air minum dan pengelolaan sanitasi (2) masih terbatasnya lembaga yang kredibel dan profesional (3) kualitas perencanaan penyediaan layanan air minum dan pengelolaan sanitasi masih rendah, serta (4) terbatasnya pendanaan untuk mendukung seluruh aspek penyediaan air minum dan pengelolaan sanitasi.32 Rekomendasi bagi pelayanan kesehatan pasca 2015: 1. Memasukan fasilitas pelayanan kesehatan reproduksi (melalui pendidikan kesehatan reproduksi) terlebih untuk perempuan, kelompok difable (berkebutuhan khusus), ODHA (Orang Dengan HIV/AIDS), dan mereka yang berada di Daerah Terpencil Kepulauan dan Perbatasan (DTPK) ke dalam indicator SPM 2. Mengupayakan tersedianya layanan kesehatan reproduksi di Puskesmas untuk semua warga, termasuk fasilitas konsultasi KTD hingga pelayanan pemulihan haid yang aman 3. Membentuk peer conseling untuk remaja di setiap jenjang pendidikan terkait kesehatan reproduksi 4. Menghapus praktik aborsi tidak aman karena akan meningkatkan peluang tingginya AKI di Indonesia 5. Melakukan pendekatan cultural kepada masyarakat untuk bisa merubah pola pikir agar menganggap 32 Lampiran Pidato Kenegaraan Presiden RI dalam HUT Proklamasi Kemerdekaan RI ke-67, 2012 41 permasalahan kespro, khususnya kespro remaja merupakan masalah bersama sehingga tidak lagi menekannya sebagai hal yang tabu untuk dibicarakan III. Lingkungan: Bencana Ekologis dan Konflik Berkepanjangan Persoalan atau krisis lingkungan hidup dan sumber daya alam yang terjadi di level nasional tidak dapat dilepaskan dari sistem ekonomi politik global dimana korporasi, lembaga keuangan, termasuk negara di dalamnya saling berkolaborasi demi pelanggengan kekuasaannya. KTT Pembangunan Berkelanjutan di Rio de Janeiro (Rio +20) dan KTT Perubahan Iklim COP 18 di Doha menegaskan, bagaimana pengaruh korporasi semakin menguat dalam penentuan berbagai kebijakan negara yang seharusnya bertanggung jawab melindungi warga negara dan lingkungan hidupnya. KTT Rio +20 menjadi titik balik yang mengecewakan bagi masyarakat sipil dunia dan menjadi satu catatan sejarah terburuk inkosistensi pemerintahan negara-negara, yang pada dua dekade sebelumnya, telah mencanangkan upaya global mewujudkan dunia yang lebih adil dan berkelanjutan.KTTRio+20menampilkanketidakpedulian para pemimpin-pemimpin negara maju dalam mendorong agenda pembangunan berkelanjutan.33 33 Para pemimpin tersebut menyerahkan kepemimpinan untuk agenda pembangunan berkelanjutan ini kepada korporasi. Dalam pertemuan KTT Rio +20 ini lebih dari 1000 perwakilan bisnis besar hadir dan dengan kekuatan lobby yang luar biasa berhasil memasukkan kepentingan- kepentingan mereka dalam KTT ini.
  • 28. 42 Sementara Pertemuan COP ke-18 dari United Nations Framework Conference on Climate Change (UNFCCC) - KTT Perubahan Iklim di penghujung tahun 2012 lalu juga masih menunjukkan hal yang mengecewakan. Perjanjian iklim global kali ini diselenggarakan di tengah pesimisme, bahwa proses negosiasi akan membawa resolusi untuk mengatasi perubahan iklim secara adil, terutama bagi negara-negara miskin dan berkembang yang paling rentan dan tidak siap menghadapi dampak perubahan iklim. Salah satu hal yang menjadi pembahasan utama adalah perdebatan mengenai perdagangan karbon (offset), dimana negara-negara industri Annex-1 dengan gencarnya mendorong perdagangan karbon dengan skema offset sementara negara-negara non-Annex-1 menolak dengan tegas.34 PemerintahIndonesiadalamkonferensikaliinijustru mengambil langkah mendukung penuh mekanisme pasar dengan skema offset (perdagangan karbon) sebagaimana yang diinginkan oleh negara-negara industri.35 Negara- negara industri tanpa keraguan menunjukkan keengganan melaksanakan kewajiban penurunan emisi, padahal untuk mencegah memburuknya dampak perubahan iklim terutama bagi negara-negara berkembang dan miskin, penurunan emisi oleh negara-negara industri maju adalah suatu keharusan. Tantangan ini membutuhkan strategi baru untuk pembangunan pasca 2015. Kita harus mendapatkan 34 atau setidaknya tidak menyatakan dukungan secara eksplisit. 35 Lihat: http://www.mongabay.co.id/2012/12/05/lupakan-masalah- kehutanan-ri-malah-dagang-karbon-di-doha/ 43 suatu visi baru pembangunan secara menyeluruh, berdasarkan pada filosofi yang selaras dengan alam. Hal ini membutuhkan suatu transformasi sosial yang mendalam yang mengharuskan redistribusi radikal atas kepemilikan, akses dan kontrol atas sumber daya produktif dalam mencapai kehidupan yang lebih bermartabat. Juga dibutuhkan reorientasi produksi dan konsumsi untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dan potensi manusia dalam batas-batas lingkungan ketimbang memaksimalkan keuntungan jangka pendek. Pembaharuan tata kelola sumber-sumber kehidupan dan ruang hidup harus disertai dengan perubahan yang mendasar pada sistem pendukungan dan desentralisasi kewenangan. Tata kelola sumber daya alam kepulauan Indonesia dalam konsepsi pembangunan berkelanjutan, harus bisa menjamin kedaulatan pangan, kecukupan air, kemandirian energi dan keberlanjutan mata pencaharian dalam kerentanan perubahan iklim dan bencana ekologi. Pembangunan harus mampu menjamin keadilan sosio-lanskap, penghormatan terhadap keberagaman, kemandirian dan kemartabatan budaya komunitas. Pembangunan berkelanjutan harus diletakkan sebagai kebutuhandanaspirasimanusiakinidanmasadepan.Karena itu prinsip HAM seperti hak-hak ekonomi, sosial, budaya, dan hak atas pembangunan dapat membantu memperjelas arah dan orientasi perumusan konsep pembangunan yang berkelanjutan. Secara lebih kongkrit tidak bisa disangkal bahwa hak manusia atas lingkungan hidup yang sehat dan
  • 29. 44 baik, menjadi kebutuhan mendesak sebagai bagian dari HAM. Hak atas pembangunan tidak lepas dari ketentuan bahwa proses pembangunan haruslah memajukan martabat manusia, dan tujuan pembangunan adalah demi kemajuan yang terus menerus secara berkelanjutan untuk kesejahteraan manusia secara adil merata Pendekatan pembangunan selama ini cenderung mengutamakan kawasan perkotaan dari pedesaan, sehingga kawasan pedesaan tertinggal jauh dari pembangunan perkotaan. Pendekatan pembangunan juga cenderung mengutamakan wilayah daratan dari lautan, sehingga pembangunan kelautan sangat tertinggal dan cenderung menjadi obyek penyelesaian masalah darat (misalnya sampah dan limbah). Bagi masyarakat lokal, tata kelola sumberdaya alam (laut dan daratan) tidak sekedar bagaimana mereka mengelola sumber kebutuhan fisik, melainkan juga terkait dengan ruang hidup dan sumber inspirasi dalam membangun kebudayaan dan peradaban mereka. Pengelolaan SDA yang terkotak-kotak dalam wilayah administrasiyangkecil-kecilseringkalilebihsempitdaripada ekosistem serta menimbulkan konflik antardaerah. Padahal daya dukung SDA per daerah administratif tidak mampu mendukung pembangunan dan kehidupan jangka panjang, sehingga diperlukan kerjasama antardaerah untuk mencapai kesejahteraan bersama dan keberlanjutan sistem penyangga kehidupan. Begitu juga pendekatan pengelolaan SDA yang sektoral seperti pertanian, kehutanan, pertambangan, 45 industri dan kelautan, penyebab terjadinya perebutan SDA, dan tumpang tindihnya kebijakan di antara sektor-sektor tersebut. Dari segi keadilan sosial, kebijakan-kebijakan yang ada bersifat atas-bawah (top-down) dan tidak memperhatikan budaya setempat. Kebijakan pengelolaan SDA selama ini cenderung bersifat sentralistik, elitis, paternalistik dan eksploitatif, sehingga menimbulkan kerusakan SDA dan lingkungan hidup serta kesenjangan ekonomi dan sosial antar pusat dan daerah, antara kelompok masyarakat, antarsektor dan antarkawasan. Terkotak-kotaknya wilayah ekosistem ke dalam wilayah administrasi dan sektoral menyebabkan banyak kelompok masyarakat setempat terganggu kehidupan ekonominya.36 Pendekatan pembangunan saat ini cenderung seragam, sementara kemajemukan sosial budaya adalah kenyataan, sehingga pembangunan tidak sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik lokal. Hal ini menyebabkan pembangunan tidak efektif, tidak efisien dan boros, serta menimbulkan banyak konflik sosial. Negara tidak mengakui dan memberi ruang bagi penguasaan SDA oleh masyarakat, baik secara individual maupun komunal, khususnya kepemilikan pada hutan alam, sumber daya mineral dan kawasan perairan laut. Hal ini menyebabkan konflik akibat klaim negara atas 36 Seperti masyarakat pemburu dan peramu, peladang berpindah dan nelayan tradisional; serta terganggu kebudayaannya seperti sistem pengetahuan, mata pencarian hidup, teknologi, religi, institusi dan norma-norma sosialnya.
  • 30. 46 penguasaan SDA dengan masyarakat secara individual maupun komunal. Padahal model pengelolaan SDA yang selama ini dipraktikkan oleh rezim yang mengakibatkan kerusakan lingkungan hidup yang dirasakan oleh semua makhluk hidup. Keadaan ini semakin diperparah karena UU terkait sumber daya alam dan lingkungan hidup di Indonesia saling bertentangandantidaksinkron,baikdenganperaturanyang lebih tinggi maupun dengan sesama UU maupun peraturan di bawah UU. Sedikitnya ada lima undang-undang yang secara sistematis telah memberikan kewenangan yang luas, bahkan terlampau luas, kepada pemerintah atas sumber-sumber agraria, namun kewenangan yang ada tidak dibarengi dengan semangat Undang-undang Dasar 1945 dan Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) 1960, yaitu; Undang-undang No. 41/1999 tentang Kehutanan, Undang-undang No. 18/2003 tentang Perkebunan, Undang-undang No. 7/2004 Sumber Daya Air, Undang- undang No. 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, dan Undang-undang No. 4/2009 tentang Mineral dan Batubara. Di tengah situasi carut-marutnya kebijakan tersebut kemudian hadir Perpres 3/2011 tentang Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) sebagai kelanjutan dari pertemuan Infrastructur Summit di Bali yang masih mengutamakan ekstraksiSDAdimanaternyatatidakmemilikisafeguarddan sangat membahayakan bagi lingkungan dan keselamatan 47 rakyat. MP3EI tidak disusun untuk mengkoreksi berbagai kebijakan dan memperbaiki berbagai persoalan kerusakan dan kejahatan lingkungan yang diakibatkan oleh pembangunan.37 Hal ini bukan saja bertentangan dengan komitmen pemerintah. Dalam MP3EI tidak terlihat visi nasionalismenya, dan kepentingansiapayangdiusungkarenatidakmencerminkan kebutuhan rakyat. Untuk menopang MP3EI kemudian pemerintah mengeluarkan berbagai kebijakan seperti: UU PengadaanTanah untuk Pembangunan, Perpres No. 3/2012 tentang Rencana Tataruang Pulau Kalimantan dan Perpres No. 13/2012 tentang Rencana Tataruang Pulau Sumatera. Regulasi ini mengindikasikan semakin kuatnya tekanan modal dan negara dalam upaya menggunakan sumber daya alam guna kepentingan ekonomi semata dan kurang menempatkan posisi masyarakat maupun implikasinya bagi masyarakat dalam kawasan dan sekitar kawasan hutan. Lebih dari 91 persen konflik sumber daya alam di Indonesia terjadi antara masyarakat dengan perusahaan. Pemicu utamanya adalah pertentangan klaim wilayah antara masyarakat dengan pemegang izin. Tidak hanya menelan harta, konflik perebutan sumber daya alam telah merenggut korban jiwa dan sumber kehidupan utama masyarakat. Konflik sumber daya alam sebagai salah satu wilayah dengan pelanggaran HAM yang paling serius di Indonesia. Hingga saat ini, para pelaku kekerasan dan 37 sementara UU 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup diabaikan
  • 31. 48 pembunuhan tidak tersentuh oleh proses hukum yang memadai. Penghancuranlingkunganjugadisebabkanolehindustri tambang. Hal ini disebabkan oleh adanya pelemahan regulasi di sektor tambang. Upaya perlindungan dari ancaman pertambangan hanya menjadi diskursus di meja diskusi dan seminar, sementara rakyat lingkar tambang terus menjadi korban. Bukti pelemahan regulasi tersebut, misalnya, dibiarkannya Newmont membuang limbah tailing ke laut yang secara fakta telah merusak ribuan mata pencarian nelayan diTeluk Senunu. Padahal secara legal izin pembuangan tailing sudah berakhir, namun Pemerintah melalui KLH memperpanjang izin pembuangan limbah.38 Tidak diprosesnya secara hukum oleh KLH berbagai tindakan kejahatan lingkungan hidup: Informasi AMDAL palsu, penimbunan limbah B3 dekat sawah di Kerawang, impor limbah B3, dan seterusnya. Ditengah aturan dan penegakan hukum lingkungan hidup yang lemah, Kementerian Lingkungan Hidup pada tahun 2012 kembali mengeluarkan Proper (Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan). Penilaian lebih banyak mengandalkan data swapantau perusahaan (Dokumen Rencana Pengelolaan-Pemantuan Lingkungan). Perusahaan perusak lingkungan mendapatkan peringkat 38 Hal ini diperkuat dengan diperbolehkannya perusahaan membuang limbah tambang ke laut Teluk Senunu oleh putusan PTUN Jakarta Pusat. Sementara Oseanografi LIPI, tidak mau mengungkapkan hasil penelitian di bawah laut tersebut. Alasan penelitian dibiayai dan hak cipta jadi milik perusahaan tambang. 49 baik (emas, hijau, biru) karena aturan yang mengatur kejahatan lingkungan lemah dan mengandalkan informasi sepihak pelaku yang dinilai. Dan bila masyarakat menggugat perusahaan atas tindak pengerusakan lingkungan, perusahaan akan menunjukkan surat keterangan berkelakukan baik atau PROPER tersebut untuk membungkam kritik. Sampai hari ini, 121.74 juta hektar (setara 88 persen) kawasan hutan belum dipastikan batasnya. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kawasan hutan yang ada selama ini, yang dijadian alasan pemerintah untuk mengusir rakyat, adalah ilegal dan tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Padahal ada masalah besar, sebab dalam kawasan hutan yang ditunjuk secara sepihak tersebut, terdapat sedikitnya 33.000 desa yang penduduknya setiap hari rawan mengalami kriminalisasi, penggusuran dan pengusiran paksa dengan dalih kawasan hutan. Kerusakan lingkungan sangat terkait dengan pengelolaan hutan dan perkebunan yang menjadi masalah perusaklingkunganyangtertinggi.Haltersebutdikarenakan kebijakan di tingkat nasional antara lain dengan keluarnya PP Nomor 60 dan PP Nomor 61 tahun 2012 tentang tata cara perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan. Kedua PP ini menjadi alat pemutihan atas izin-izin yang terlanjur diberikan untuk usaha pertambangan dan usaha perkebunan yang melanggar tata ruang dan peraturan kehutanan.39 Selain pemberian izin perambahan hutan 39 Saat ini PP tersebut sedang dalam proses untuk diajukanan dalam judicial
  • 32. 50 yang mencapai 30 juta hektar (per juni 2012), Kementerian Kehutanan juga memproses pelepasan kawasan hutan mencapai 12 juta hektar di 22 provinsi yang menjadi sasaran ekspansi perkebunan kelapa sawit dan tambang.40 Sumber: Forest Watch Indonesia 2011 Pelepasan kawasan hutan besar-besaran di Riau, Kalteng, Maluku dan beberapa provinsi lain disamarkan dengan penunjukan kawasan hutan di Papua yang mencapai 6 juta hektar. Tidak berlebihan bila kecurigaan muncul bahwa penataan ruang yang diwajibkan kepada seluruh daerah ditunggangi oleh pengusaha perkebunan dan review ke Mahkamah Agung 40 Ada hal yang menarik pada review kawasan hutan ini, dimana luas pelepasan kawasan hutan yang diajukan oleh 22 gubernur dengan dalih penyesuaian tata ruang ini sama persis dengan jumlah kawasan hutan yang beralih fungsi yakni seluas 12.357.071 hektar. Persamaan luas yang persis pada perubahan fungsi dan peruntukan ini, menunjukan bahwa pengeluaran keputusan tersebut tidak berdasarkan pertimbangan dampak penting dan daya dukung lingkungan melainkan permainan angka tabulasi oleh kelompok tertentu dalam kementerian kehutanan atau bersama DPR RI, ketika merumuskan rekomendasi keputusan pelepasan kawasan hutan. 51 pertambangan untuk meloloskan kepentingannya melalui usulan review kawasan hutan ini. Selain modus operandi dengan memanfaatkan proses tata ruang, Kementerian Kehutanan juga telah melepaskan kawasan hutan untuk perkebunan secara langsung hingga 5 juta hektar dan proses izin prinsip untuk perkebunan pada kawasan HPK sebesar 1 juta hektar serta izin pinjam pakai untuk pertambangan yang mencapai 3 juta hektar meliputi izin eksplorasi, prinsip dan produksi. Bila dicermati pada pemberian izin pengelolaan hutan, pelepasan dan pinjam pakai, maka pemerintah Indonesia telah mengalokasikan peruntukan kawasan hutan Indonesia kepada pengusaha hingga 50,4 juta hektar atau 38.4 persen dari luas hutan Indonesia.41 Politik pengelolaan hutan yang transaksional oleh rejim SBY-Boediono melalui moratorium kawasan hutan melalui penerbitan PIPIB (peta indikatif penerbitan izin baru) yang setiap 6 bulan mengalami revisi. Pada modus ini kita melihat bahwa proses moratorium yang seharusnya dijalankan untuk menertibkan pengelolaan kawasan hutan dan penyelesaian konflik, justru mengalami penyimpangan dengan dikeluarkannya beberapa wilayah dari PIPIB pada setiap revisinya. Setidaknya selama tiga kali revisi PIPIB, Menteri Kehutanan telah mengakui pengelolaan oleh pihak ketiga terhadap kawasan hutan seluas 4,2 juta hektar, justru mengabaikan kewajibannya untuk melakukan penegakan hukum dan sanksi kepada pihak ketiga yang sudah berada dalam kawasan hutan. 41 Lihat Environmental Outlook WALHI 2013
  • 33. 52 Menariknya, moratorium selama dua tahun yang menjadi andalan pemerintah ini, terbukti tidak mampu mengatasi carut marutnya pengelolaan sumber daya alam di sektor kehutanan. Moratorium yang sangat singkat ini dinilai oleh WALHI dan organisasi lingkungan lainnya menjadi kemubaziran karena dia tidak dapat menyelesaikan problem pokok kehutanan yakni tata kelola kehutanan yang tidak berpihak kepada rakyat dan lingkungan, dan konflik tenurial di sektor kehutanan yang tidak terselesaikan. Tingginya konflik kehutanan menunjukan bahwa buruknya tatakelola hutan di Indonesia. Ini juga bisa diartikan bahwa, tata kelola kehutanan Indonesia masih berpihak kepada kepentingan pemodal, bukan rakyat yang sumber kehidupannya salah satunya ada di hutan. Bencana Ekologis dari tahun ke tahun juga terus meningkat. Bencana ekologis merupakan sebuah bencana yang diakibatkan oleh salah urusnya negara dalam pengelolaan sumber daya alam. Tahun 2012, WALHI mencatat telah terjadi 503 kali banjir dan longsor yang menewaskan 125 orang. Sedangkan kebakaran hutan dan lahan yang terjadi sepanjang tahun 2012 telah memusnahkan hutan, kebun dan lahan seluas 11.385 Hektar. Pencemaran dan pengrusakan lingkungan, ditambah dengan land use change (alih fungsi lahan) semakin menghabisi sumber pangan petani. Degradasi dan ancaman keberlangsungan produksi pangan terjadi di 53 berbagai daerah oleh berbagai faktor. WALHI mencatat bahwa ancaman terhadap sumber-sumber pangan rakyat terjadi akibat alih fungsi lahan, pencemaran, degradasi dan kerusakan lingkungan. Hal ini disebabkan oleh pembukaan pertambangan, perkebunan besar, pariwisata, industri dan pembangunan infrasturuktur di areal tanaman pangan dan atau daerah penyangganya. Jawa sebagai produsen pangan terbesar terancam oleh maraknya industri, infrastruktur besar dan perumahan yang dibangun di atas lahan pertanian. Hal ini seperti terjadi dibasis pertanian rakyat di Bekasi, Karawang, Subang (industri dan pemukiman dan infrastruktur), Bogor (perumahan mewah, vila dan pariwisata), Sukabumi (industri dan pemukiman), dan Sumedang (Waduk). Hal serupa banyak terjadi di Banten, Jawa Tengah, Jogjakarta dan JawaTimur. Di luar Jawa, jumlah lahan terkonversi dan atau kehilangan daya dukung lingkungannya disebabkan oleh izin dan usaha pertambangan (Maluku Utara, NTT, Bengkulu, Sumatera barat, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Aceh, Bangka Belitung). Selain konversi lahan, trend perubahan jenis tanaman pangan kepada jenis tanaman perkebunan seperti sawit dan tanaman kayu industri juga marak terjadi. Akibat pengutamaan penggunaan SDA kepada pengusaha juga berakibat merebaknya konflik agraria dan SDA. Di Indonesia, konflik agraria telah membuat keprihatinan banyak pihak karena seringkali konflik tersebut menimbulkan jatuhnya korban jiwa. Dalam
  • 34. 54 setiap penanganan konflik agraria yang ada, pemerintah lebih banyak berkutat pada unsur-unsur pidana dalam penanganan konflik, namun akar persoalannya tertinggal jauh di belakang tanpa penyelesaian sehingga konflik setiap saat dapat meletup kembali. Kejadian konflik agraria yang berulang dan meluas dengan jumlah korban yang terus meningkat telah memberikan kesaksian kepada publik bahwa konflik agraria adalah konflik yang paling tinggi frekuensinya di Indonesia. Dalam tiga tahun terakhir ini, grafik kejadian konflik agraria di tanah air terus menunjukkan peningkatan. Jika di tahun 2010 terdapat sedikitnya 106 konflik agraria di berbagai wilayah, kemudian di tahun 2011 terjadi peningkatan drastis, yaitu 163 konflik agraria, yang ditandai dengan tewasnya 22 petani/warga di wilayah konflik tersebut, maka sepanjang tahun 2012 ini, KPA mencatat terdapat 198 konflik agraria di seluruh Indonesia. Luasan areal konflik mencapai lebih dari 963.411,2 hektar, serta melibatkan 141.915 kepala keluarga (KK) dalam konflik- konflik yang terjadi. Sementara catatan kekerasan terhadap petani sepanjang tahun2012,adalah156petaniditahan,55orangmengalami luka-luka dan penganiayaan, 25 petani tertembak, dan tercatat 3 orang telah tewas dalam konflik agraria. Dari 198 kasus yang terjadi di tahun 2012, terdapat 90 kasus terjadi di sektor perkebunan (45 persen); 60 kasus di sektor pembangunan infrastruktur (30 persen); 21 kasus 55 di sektor pertambangan (11 persen); 20 kasus di sektor kehutanan (4persen); 5 kasus di sektor pertanian tambak/ pesisir (3persen); dan 2 kasus di sektor kelautan dan wilayah pesisir pantai (1 persen). Dengan melihat pada catatan KPA, sepanjang pemerintahan Presiden SBY, sejak tahun 2004 hingga sekarang, telah terjadi 618 konflik agraria di seluruh wilayah tanah air. Konflik ini telah menewaskan 44 orang, areal konflik seluas 2.399.314,49 hektar, dan melibatkan 731.342 KK. Dalam sepanjang kekuasaannya tercatat 941 orang ditahan, 396 luka-luka dan 63 diantaranya mengalami luka serius karena peluru aparat.
  • 35. 56 Sumber: Diolah dari dokumentasi WALHI, 2012 Mengenai siapa aktor perusak lingkungan, berdasarkan analisis yang dilakukan WALHI, bahwa aktor perusak lingkungan hidup yang tertinggi adalah korporasi terutama yang berinvestasi di sektor tambang dan perkebunan. Kedua, adalah pemerintah. Dan ketiga adalah kombinasi antara korporasi dan pemerintah, serta terakhir adalah dari masyarakat. Temuan ini juga semakin memperkuat CSO untuk terus mendesak tanggungjawab korporasi terhadap kejahatan lingkungan yang telah dilakukan. Dari data di atas terlihat adanya kolaborasi korporasi dan pengurus negara yang memperkuat analisis sebelumnya bahwa persoalan lingkungan tidak bisa dilepaskan dari keterikatan atau konsolidasi yang semakin menguat antara kepentingan modal dengan kekuasaan. Sedangkan masyarakat sebagai pelaku ditemukan pada tambang-tambang inkonvensional 57 dengan tingkat resiko yang tinggi, dan proses pembiaran yang dilakukan oleh pemerintah tanpa memberikan alternatif sumber penghidupan yang lain. Sumber: Diolah dari dokumentasi WALHI, 2012 Data ini sekaligus mematahkan asumsi atau stigma bahwa aktor perusak lingkungan adalah orang miskin, bahwa kemiskinan sebagai penyebab dari kerusakan lingkungan. Masih berdasarkan hasil riset media dari WALHI, disebutkan, bahwa sasaran protes yang dilakukan oleh masyarakat sipil yang sebagian besar dilakukan oleh LSM/ NGO dan masyarakat adalah pemerintah, hal ini terkait dengan berbagai kebijakan yang dikeluarkan pengurus
  • 36. 58 negara baik di tingkat nasional maupun daerah. Desakan perubahan menjadi agenda utama yang terus didorong oleh aksi protes masyarakat. Hal ini menunjukkan relasi antara kebijakan yang dikeluarkan negara dengan persoalan lingkungan yang dihadapi oleh masyarakat. Kebijakan justru menjadi legitimasi bagi korporasi untuk melakukan kejahatan dengan “stempel” dari pemerintah melalui perundang-undangan, regulasi dan pemberian izin. Sasaran protes berikutnya adalah korporasi atau perusahaan di wilayah konsesinya, yang menjadi sasaran protes warga. Ini menunjukkan bahwa sesungguhnya masyarakat mulai “melek” dengan hak-haknya dan juga mulai mengerti dengan hukum, dan mulai paham dengan akar persoalan yang dialami, juga mengetahui siapa aktor dan kepentingannya.42 Ini tidak bisa dilepaskan dari kerja- kerja yang dilakukan oleh masyarakat sipil untuk terus menerus melakukan pendidikan kritis kepada masyarakat melalui pengorganisasian di kampung-kampung. Melihat dari fakta-fakta krisis dan berbagai peristiwa bencana ekologis yang terjadi, kita tidak mungkin menunggu waktu yang lebih lama untuk menghentikan 42 Dengan informasi yang semakin terbuka, rakyat juga semakin tahu dengan hak-haknya, termasuk hak atas lingkungan. karena itulah, dimana-mana dari ujung timur sampai ujung barat negeri ini, perlawanan rakyat terjadi untuk menyuarakan keadilannya, termasuk didalamnya keadilan ekologis. Menariknya, semangat perlawanan para pembela lingkungan dan hak asasi manusiaitujugatidakberkurangditengahlemahnyanegaramelindungipara pembela lingkungan dan HAM. dalam catatan WALHI misalnya, selama tahun 2012, tidak kurang dari tujuh orang aktifis dikriminalisasi,mendapat tindak kekerasan dan lain-lain, ini belum termasuk dengan pembela lingkungan yang berasal dari masyarakat korban. 59 jatuhnya korban yang semakin banyak dan meluas. Krisis ini harus segera dipulihkan di tengah negara yang abai dan kejahatan korporasi yang semakin menguat berkelindan dengan penguasa. Angka-angka kerusakan lingkungan, korban bencana ekologis dan korban pembangunan bukanlah sekedar angka-angka statistik. Angka-angka tersebut merepresentasikan wajah korban, wajah warga negara yang dicerabut hak-haknya, bahkan oleh pemimpin negaranya sendiri. Kerusakan lingkungan telah merampas hak hidup manusia. Bencana ekologis dan kerusakan lingkungan hidup telah menurunkan kualitas hidup manusia. Tingginya angka kemiskinan akibat hilangnya sumber-sumber kehidupan akibat bencana ekologis tersebut atau bencana yang ditimbulkan, akibat salah urusnya pengelolaan lingkungan hidup dan sumber daya alam. WALHI mendefinisikan keadilan ekologis sebagai sebuah hak untuk mendapatkan keadilan antargenerasi yang memperhatikan prinsip keadilan gender, prinsip keselamatan rakyat, keberlanjutan jasa pelayanan alam dan perlindungan produktivitas rakyat, dimana semua generasi baik sekarang maupun mendatang, laki-laki maupun perempuan, berhak terselamatkan dari ancaman dan dampak krisis, serta penghancuran lingkungann hidup dan sumber-sumber kehidupan rakyat. Keadilan ekologis adalah sebuah perjuangan keseimbangan alam dan manusia tanpa penguasaan untuk kepentingan intra dan antargenerasi. Hak atas lingkungan hidup menekankan pentingnya tanggungjawab negara untuk memberikan jaminan
  • 37. 60 terhadap penghormatan, perlindungan dan pemenuhan terhadap penegakan hukum dan kemauan politiknya. Perwujudan hak atas lingkungan hidup akan menjadi prasyarat penting bagi upaya perlindungan keberlanjutan sumber-sumber kehidupan rakyat. Hak atas lingkungan juga harus dibarengi dengan penghormatan terhadap hak dasar lainnya seperti hak partisipasi politik, hak mendapatkan informasi, hak menentukan nasib sendiri dan hak kebebasan berekspresi dan menyampaikan pendapat, tanpa itu penegakan terhadap hak atas lingkungan sebagai hak asasi rakyat akan menjadi mustahil. Isu lingkungan saat ini sudah dipromosikan oleh banyak pihak, termasuk oleh pelaku perusak lingkungan sendiri seperti dengan menggunakan isu pembangunan berkelanjutan. Saat ini isu penyelamatan lingkungan hidup telah dibajak oleh sistem ekonomi kapitalisme melalui berbagai kebijakan negara, yang tetap mengacu dan berbasis pasar yang semakin menyingkirkan hak-hak dasar rakyat. Isu perubahan iklim dan krisis global lainnya kemudian justru mendorong isu lingkungan hidup menjadi sebuah “oppotunity” bagi korporasi dengan tetap berbasiskan pada sistem perdagangan internasional yang akan semakin memperkuat perampasan tanah-tanah rakyat. Jika Indonesia ingin keluar dari krisis lingkungan dan krisis kedaulatan, maka pada seluruh cerita model pengelolaan sumber daya alam di Indonesia harusnya menggunakan tiga hal mendasar dan semuanya harus didefinisikan menurut korban terbesar dan siapa yang 61 paling tersubordinasi dalam pembangunan yaitu; (1). bagaimana jaminan keselamatan rakyatnya (2). bagaimana jaminan atas kesejahteraan dan produktivitasnya, dan (3). bagaimana jaminan atas keberlanjutan dari fungsi pelayanan alamnya. Negara harusnya mengambil peran aktif untuk menuntut tanggungjawab atas kejahatan lingkungan dan kemanusiaan yang dilakukan oleh aktor di luar negara. Ini mensyaratkan negara tidak boleh lagi ada didalam kendali aktor besar di luar negara (non state actor). Rekomendasi Dalam berbagai kesempatan selalu disebutkan bahwa kepentingan rakyat merupakan salah satu hal yang diperjuangkan pemerintah dalam pembangunan, namun melihat dari berbagai regulasi dan kenyataan yang ada, fasilitasi kepentingan rakyat yang masih sangat minim. Pengalaman menginisiasi Sistem Hutan Kerakyatan (SHK), memfasilitasi beberapa desa untuk mengakses skema kelola hutan desa memberikan gambaran betapa lemahnya dukungan aparatus di tingkat pemerintah terhadap hal ini. Alasan utama yang hampir selalu terlontar dari aparatus kehutanan adalah ketidakpercayaan mereka akan kemampuan masyarakat untuk mengelola hutan, mereka lebih yakin bahwa apabila hutan dikelola oleh perusahaan maka akan mendatangkan keuntungan besar, dan rakyat cukup hanya menjadi buruh-buruh di perusahaan- perusahaan tersebut. Jika melihat dari isu secara nasional maupun wilayah,
  • 38. 62 selama tidak ada perubahan fundamental dari arah dan model pembangunan, maka fakta krisis lingkungan hidup yang terjadi pada tahun 2012 di Indonesia, masih akan terus berlangsung pada tahun 2013 dan seterusnya. Prediksi ini bukan tanpa argumentasi yang kuat, namun dilandasi atas situasi politik dan penegakan hukum lingkungan yang sampai saat ini masih jauh dari harapan. Sebagai bagian dari agenda transformatif maka pemerintah dan lembaga-lembaga internasional ditantang untuk melepaskan diri dari model pembangunan saat ini dan melakukan reformasi yang lebih berarti yang benar-benar memenuhi kebutuhan generasi sekarang dan mendatang. Berkomitmen untuk menjalankan pembangunan berkelanjutan sejati yang diletakkan pada prinsip-prinsip hak asasi manusia, kesetaraan, penentuan nasib sendiri, dan sosial, gender dan keadilan ekologis. Saat ini, kerangka kerja pembangunan Paska 2015 sebagai kelanjutan dari MDGs, sedang disiapkan oleh berbagai pihak termasuk pemerintah, kelompok masyarakat sipil dan PBB. Belajar dari pengalaman MDGs, kerangka kerja Paska 2015 membutuhkan perubahan paradigma pembangunan baik dari sisi proses maupun substansi. Paling tidak, pembangunan pasca 2015 harus memenuhi kriteria: Kebijakan yang mendukung Sistem Hutan Kerakyatan: memberdayakan masyarakat sekitar hutan, revitalisasi industri kehutanan berbasis komunitas/masyarakat 63 Pola produksi dan konsumsi yang berkelanjutan dalam rangka mengurangi emisi gas rumah kaca menata ulang hubungan Indonesia dengan negara maju Meminta negara-negara maju untuk memenuhi komitmen Monterrey Consensus dan Doha Declaration terkait dengan target ODA yaitu 0,7 persen GNI dan mematok sebesar 0,15 – 0,20persen untuk dialokasikan ke negara kurang berkembang (LDCs/less developed countries) selambat-lambatnya tahun 2015. Pemerintah Indonesia (5 tahun ke depan) harus mencapai tax ratio rata-rata negara berpenghasilan menengah ke bawah (lower middle income country) yaitu 20-24 persen terhadap PDB. Dengan ini Indonesia akan mampu membiayai pembangunan tanpa banyak bergantung dengan utang dan ODA. Perubahan untuk dan memperluas penggunaan energi terbarukan III. Konflik dan Kerentanan : Konflik Sosial Berlarut dan Jalan Panjang Perdamamaian Bagian ini bertujuan untuk memberikan analisis penerapan framework MDGs sebagai model pembangunan di Indonesia yang tidak mempertimbangkan faktor kerawanan geografis, sosial dan politik. Klaim kesuksesan pencapaian MDGs seperti yang dilaporkan oleh Kementrian Perencanaan Pembangunan Nasional, telah berhasil meningkatkan pendapatan GDP lebih dari 1 dollar
  • 39. 64 sehari, namun mengapa enam rangking utama kemiskinan justru berada di daerah rawan konflik seperti Papua (32persen), Papua Barat (31,9persen), NTB (19,7persen), pascakonflik Maluku (23 persen), NTT (21,2persen), dan Aceh (19,6persen), yang memiliki sejarah konflik kekerasan seperti persoalan determinasi diri, otonomi khusus, kebebasan beragama, dan konflik antar kampung. Penyebab konflik pada umumnya tidak tunggal. Persoalan hubungan antar etnik dan agama, kesenjangan ekonomi, krisis kelembagaan politik, krisis keamanan, dan degradasi nilai sosial budaya, diduga berkontribusi pada terjadinya konflik di Maluku, Poso, Kalimantan Barat, Aceh dan Papua. Sebuah intervensi pembangunan pada daerah yang pernah mengalami konflik tentu harus mempertimbangkan situasi konflik dan perdamaian, bagaimana program intervensi pembangunan dijalankan, dan kebijakan-kebijakan baik ditingkat nasional dan daerah peka terhadap konflik. Secara sederhana konflik di Indonesia dikategorikan menjadi dua, yaitu konflik sumber daya alam (SDA) dan konfliksosial.KonflikSDAbiasajugadisebutsebagaikonflik agraria yang meliputi wilayah perkebunan, perhutanan, dan perkotaan dan pembangunan infrastruktur, sudah dibahas di bagian sebelumnya. Sementara konflik sosial meliputi konflik bernuansa agama dan etnik, tawuran, pertikaian antar kampung, konflik sumber ekonomi. Dalam mengatasi berbagai konflik di atas pemerintah 65 menjadikan isu penanganan konflik ini bagian dari agenda visi dan misi pembangunan Indonesia yang damai dan berkeadilan yang tertuang dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2009-2014 dengan menjadikan penanganan pasca konflik menjadi salah satu prioritas pembangunan nasional. Alih-alih menyelesaikan konflik, sepanjang tahun 2008-2010, berdasarkan hasil monitoring Institut Titian Perdamaian, insiden konflik dan kekerasan semakin banyak yaitu 4.021 kali. Jika dibagi pertahun, terjadi sekitar 1.340 insiden setiap tahunnya, yang berarti jika dirata- rata, terjadi 3,6 kali insiden setiap harinya. Kekerasan rutin seperti tawuran, pengeroyokan, serta penghakiman massa menempati rangking paling tinggi dengan total 62, 1 persen dari total konflik dan kekerasan yang terjadi di Indonesia. Disusul konflik berbasis isu politik sebesar 13, 9 persen, konflik berbasis isu sumberdaya ekonomi 8,3 persen, konflik berbasis isu sumberdaya alam 7,8 persen, konflik berbasis isu agama dan etnis 2,2persen, dan konflik antaraparat negara 0,8 persen (Tim Institut Titian Perdamaian, 2011). Pada tahun 2011, tidak terjadi pergeseran secara signifikan mengenai ranking konflik dan varian kekerasan yang paling tinggi. Tahun 2011, kekerasan rutin mencapai 1310 kali, atau 74 persen insiden dari total 1767 insiden konflik kekerasan yang terjadi di Indonesia. Yang cukup mengejutkan, tawuran menyumbang angka yang cukup fantastis, yaitu 501 kali insiden atau 28persen. Berdasarkan
  • 40. 66 pihak yang terlibat, kelompok terpelajar yang diwakili oleh mahasiswa dan siswa sekolah, menjadi aktor kekerasan yang paling banyak. Basis data monitoring ini adalah sumber berita media massa di 33 provinsi yang dikomparasikan dengan enam media nasional. Lebihdarisatudasawarsayanglalu,kekerasanrutinselalu tampil sebagai penanda bagi konflik komunal yang sangat massif. Dalam berbagai konflik komunal yang terjadi, pada mulanya didahului kekerasan rutin yang dianggap lumrah. Di Kalimantan Barat, perkelahian sekelompok pemuda Dayak dan Madura meluas menjadi konflik komunal. Di Poso dan Ambon, dibuka dengan perkelahian antar pemuda, yang sebelumnya juga biasa terjadi, namun secara cepat meningkatkan level mobilisasi orang, pada suatu momen dan ruang yang sudah sedemikian dimungkinkan oleh ketersediaan prasyarat konflik kekerasan. Masalahnya, artikulasi politik kita belum secara meyakinkan mengalami pergeseran pola patronase dan solidaritastradisionalkeikatanyangkontraktualdandewasa. Momen-momen elektoral dalam pilkada di berbagai daerah masih banyak menampilkan kekerasan sebagai ekspresi konflik, hal yang menjelaskan mengapa konflik berbasis isu politik menempati ranking tinggi dalam monitoring konflik dan kekerasan berbagai lembaga selama ini. Dasar pemikiran ini pula yang dijadikan sebagian kalangan untuk mengevaluasi, bahkan cenderung mengusulkan ditiadakannya pemilihan langsung kepala daerah. Salah satu daerah yang pernah menjadi narasi konflik politik 67 cukup lama adalah Maluku Utara, yang imbasnya masih terasa dengan maraknya tawuran antarkampung di Ternate sebagai sentral kekuasaan. Patut dicatat, konflik sangat berpengaruh pada meningkatnya angka kekerasan terhadap perempuan. Kekerasan terhadap perempuan yang berhasil didokumentasikan oleh Komnas Perempuan pada kurun waktu 1998-2010 mencatat sejumlah 1.503 kasus kekerasan seksual dari 3.283 kasus kekerasan terhadap perempuan di wilayah konflik seperti Aceh, Poso, Maluku, Papua, Timor Leste, Tragedi 65, dan Mei 1998. Sampai sekarang korban kekerasan seksual di daerah konflik kurang mendapatkan perhatian dari pemerintah, serta cenderung dilupakan. Kasus kekerasanseksualmerambahkedaerahyanglebihluas.Catatan tahunan Komnas Perempuan tahun 2011, menemukan 110.468 kasus kekerasan terjadi pada perempuan dalam ikatan pernikahan dan ada 1.405 kasus kekerasan dalam pacaran. Tingginya angka kekerasan pada perempuan tentu saja akan menjadi penghalang pencapaian gol ketiga dalam MDGs, yaitu mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan. Konflik-konflik kekerasan yang terjadi selama ini di Indonesia juga menunjukkan adanya aspek kesejarahan dan memiliki korelasi yang kuat dengan proses pembangunan dan perkembangan arus modal, terutama di sektor eksploitasi sumber daya alam. Petaka kemanusiaan ini juga telah berdampak pada kerugian yang tak terhitung, baik secara material maupun non-material. Ribuan nyawa