SlideShare a Scribd company logo
1 of 126
Download to read offline
Konferensi Regional : Perlindungan Hukum untuk anak korban eksploitasi seksual di Asia tenggara 
1
Regional Conference on Legal Protection for Child Victims of Sexual Exploitation in Southeast Asia 
2
Konferensi Regional : Perlindungan Hukum untuk anak korban eksploitasi seksual di Asia tenggara 
3
Regional Conference on Legal Protection for Child Victims of Sexual Exploitation in Southeast Asia 
4 
TABLE OF CONTENTS 
Foreword 
Acknowledgement 
Introduction 
The Objectives 
Expected Results 
Executive Summary 
Material Presentation 
• The important knowledge 
about child victims of sexual 
crime that law enforcers 
should know 
• International legal standards 
in the protection of child 
victims of sexual crime 
• Best practices of the law and 
by law enforcers in protecting 
child victims of sexual crime 
• Legal mechanisms within 
Southeast Asia countries in 
protecting child victims of 
sexual crime and its best 
practices in implementation 
• The role of institutions in the 
protection of witnesses and 
child victims of sexual crime 
• Mechanisms of restitution and 
compensation in fulfilling 
the rights of child victims of 
sexual crimes 
Conclusions and Key 
Recommendation 
The Committee 
DAFTAR ISI 
Kata Pengantar 
Ucapan Terima Kasih 
Pendahuluan 
Tujuan 
Hasil yang diharapkan 
Rangkuman Pelaksanaan 
Materi Presentasi 
• Pengetahuan penting tentang 
korban kejahatan seksual terhadap 
anak yang harus diketahui oleh 
penegak hukum 
• Standar Internasional tentang 
perlindungan hukum bagi anak 
korban kejahatan seksual 
• Pengalaman terbaik dalam 
penerapan hukum dan oleh aparat 
penegak hukum dalam melindungi 
korban kejahatan seksual terhadap 
anak 
• Mekanisme hukum negara-negara Asia 
Tenggara dalam melindungi anak korban 
kejahatan seksual dan pengalaman 
terbaik dalam penerapannya 
• Peran lembaga perlindungan saksi 
dan korban dalam melindungi 
korban kejahatan seksual terhadap 
anak 
• Mekanisme restitusi dan 
kompensasi dalam memenuhi hak 
korban kejahatan seksual terhadap 
anak 
Ringkasan dan Rekomendasi 
Kunci 
Panitia 
5 
9 
13 
17 
18 
19 
25 
27 
41 
57 
69 
79 
97 
105 
124 
5 
9 
13 
17 
18 
19 
25 
27 
41 
57 
69 
79 
97 
105 
124
Konferensi Regional : Perlindungan Hukum untuk anak korban eksploitasi seksual di Asia tenggara 
5 
FOREWORD 
Ladies, Gentlemen, 
You will find in these following pages 
the general report of the annual 
regional conference upon fight against 
child abuse, organized by the French 
Embassy and ECPAT Indonesia. 
This meeting is now well-known, gives 
each year the opportunity to judges, 
law enforcement agencies and NGOs 
from all countries of the area to meet, 
share practices, learn from each other, 
and build a strong network. 
After having talked about the sexual 
exploitation through Internet and the 
social networks, last year in Jakarta, 
the issue chosen this year, in Bali, has 
been “The place of the victim in the 
penal process and the legal protection”. 
Indeed, for the police officers, judges, NGOs, 
it seems important to remind and honor 
the basic reason of a strong involvement 
in folders and cases which are among the 
heaviest, most often painful for the victims 
and for the adults who help them? 
They probably will never have a real 
reward for the energy and strength 
they put into folders. Honors, media 
and rapid promotions will often not 
exist for them. Nobody will ever really 
KATA PENGANTAR 
Ladies, Gentlemen, 
Anda akan menemukan laporan konferensi 
regional tahunan tentang ‘memerangi 
kekerasan terhadap anak’, yang 
diselenggarakan oleh Kedutaan Prancis dan 
ECPAT Indonesia. 
Konferensi ini setiap tahunnya 
memberikan kesempatan kepada hakim, 
lembaga penegak hukum, dan LSM dari 
berbagai negara untuk bertemu, berbagi 
pengalaman, saling belajar dan membuat 
jaringan yang kuat. 
Setelah berbicara mengenai eksploitasi 
seksual melalui internet dan sosial 
media tahun lalu di Jakarta, isu yang 
dipilih tahun ini, di Bali, adalah “posisi 
korban pada proses persidangan dan 
perlindungan hukum”. 
Isu ini sangat penting untuk polisi, hakim, 
dan LSM, dalam mempertimbangkan posisi 
korban [anak] dalam keterlibatannya 
selama proses hukum yang panjang, 
dalam kasus yang berat, dan menyakitkan 
untuk mereka. Lalu siapa yang akan 
menolong mereka ? 
Anak-anak tersebut mungkin tidak 
mendapatkan penghargaan atas usaha 
dan kekuatan yang mereka berikan pada 
sebuah kasus. Tanda jasa, media, atau
Regional Conference on Legal Protection for Child Victims of Sexual Exploitation in Southeast Asia 
6 
understand how these issues affect 
them, beyond their mission, intimately 
and personally, sometimes damaging 
their faith in humanity itself. 
But they do it, precisely because 
there are victims, Human beings who 
have absolutely no way to protect 
themselves, which require and deserve 
that an adult helps, listens, and shows 
them they are not alone, that their 
painful experience is not the norm of 
the society which host them. 
The African proverb says it takes a 
whole village to raise a child. It takes 
above all members of the village, now 
worldwide, to accept to look in the 
darkest side, in the pain, to dive into 
the gloomiest part of humans, and keep 
the energy and the will to continue work 
to save those who suffer, and all the 
village’s future, they promise. 
They do it, because a child saved, 
protected, sometimes only smiling, is 
enough to keep them rewarded. 
Placing the victim at the center of our 
concerns is remembering all that. It is 
claiming that we do not accept that the 
future of these children, which is also 
that of the Humanity, is tainted and 
corrupted by the darkness of a small 
number. Today is also an opportunity 
for me to thank them warmly for their 
work, often ignored, so essential to our 
societies. 
France consider itself as a democratic 
nation, deeply attached to individual 
freedom, carrying universal values, 
and it is precisely because it intends 
to defend these values, including when 
pun promosi yang cepat sering tidak ada 
bagi mereka. Tak seorangpun akan benar-benar 
mengerti bagaimana masalah ini 
bisa mempengaruhi mereka, diluar misi 
mereka, sangat pribadi, kadang-kadang 
merusak keyakinan mereka mengenai 
kemanusian itu sendiri. 
Tapi mereka melakukannya, justru 
karena anak-anak tersebut adalah 
korban, Manusia yang sama sekali tidak 
memiliki cara untuk melindungi diri 
mereka sendiri, yang membutuhkan 
pertolongan orang dewasa untuk 
mendengarkan dan menunjukan jika 
mereka tidak sendirian dan bahwa 
pengalaman yang menyakitkan ini 
bukan termasuk norma masyarakat 
dimana mereka berada. 
Pepatah afrika mengatakan, dibutuhkan 
seluruh penduduk desa untuk 
membesarkan anak. Dibutuhkan semua 
anggota desa, bahkan kini seluruh 
dunia, untuk menerima, melihat sisi 
paling gelap, sakit, dan menyelam 
ke bagian tergelap manusia, dan 
menjaga energi dan kemauan untuk 
terus bekerja menyelamatkan mereka 
yang menderita dan masa depan desa, 
mereka berjanji. 
Mereka melakukannya, karena seorang 
anak yang diselamatkan, dilindungi, 
kadang-kadang hanya tersenyum, hal 
tersebut sudah cukup untuk membuat 
mereka merasa dihargai. 
Menempatkan korban [anak] dalam 
keprihatinan kami adalah mengingat 
semua itu. hal tersebut menegaskan 
bahwa kami tidak menerima masa depan 
mereka, yang juga merupakan bagian
Konferensi Regional : Perlindungan Hukum untuk anak korban eksploitasi seksual di Asia tenggara 
7 
dari kemanusiaan yang tercemar oleh 
kegelapan dalam jumlah kecil. Ini juga 
merupakan kesempatan bagi saya untuk 
berterima kasih kepada mereka atas 
usahanya, sering diabaikan, sehingga 
penting untuk masyarakat kita. 
Perancis mengganggap dirinya sebagai 
bangsa yang demokratis, sangat melekat 
pada kebebasan individu, dan justru 
karena itu bermaksud untuk membela 
nilai-nilai individu, termasuk ketika 
dilanggar oleh warganya sendiri, mereka 
akan menjadi yang terdepan dalam 
memerangi kekerasan terhadap anak, 
dan orang akan menemukan kami berada 
disisinya dalam hal ini. 
Terima kasih atas dukungannya yang 
anda buktikan dengan keikutsertaannya 
dalam isu ini. 
Duta Besar Corinne BREUZÉ 
they are violated by its own nationals, 
that it will forefront in the fight against 
violence to children, and anyone will 
find us at his side in this fight. 
Thank you for the support you’re 
proving by sharing our involvement. 
Ambassador Corinne BREUZÉ
Regional Conference on Legal Protection for Child Victims of Sexual Exploitation in Southeast Asia 
8
Konferensi Regional : Perlindungan Hukum untuk anak korban eksploitasi seksual di Asia tenggara 
9 
ACKNOWLEDGEMENT 
Child exploitation for sexual purposes 
in South East Asia, especially girls is 
a phenomenon that required serious 
attention from various parties. 
Perpetrators not only come from 
domestic but also from foreign 
countries. Therefore, Regional 
Conference on Legal Protection for 
victims of sexual exploitation against 
children in South East Asia is held 
in cooperation between the French 
Embassy and ECPAT Indonesia. The 
conference is held in Nusa Dua, Bali 
on 23-24 October 2013 and attended 
by 95 participants from ten countries 
who expert in law, observer, police, 
child and victims protection NGOs, 
and supported by Witness And Victim 
Protection Agency (LPSK), PBB 
agencies such as UNICEF and UNODC, 
and academia. Discussion, exchange 
of information, best practices, and 
networking in this two-day conference 
are success and gratify. 
One of the concerns of this conference 
is the process of restitution and 
compensation for victims of sexual 
exploitation is still weak in South 
East Asia so concrete steps is 
UCAPAN TERIMA KASIH 
Eksploitasi terhadap anak untuk tujuan 
seksual di kawasan Asia Tenggara, 
terutama anak perempuan, merupakan 
fenomena yang membutuhkan perhatian 
serius dari berbagai pihak. Pelaku 
kejahatan seksual ini tidak hanya 
berasal dari aktor-aktor lokal/domestik, 
tetapi juga dari mancanegara. Oleh 
karena itu, Konferensi Regional Asia 
Tenggara dengan tema perlindungan 
hukum terhadap anak korban 
eksploitasi seksual di Asia Tenggara 
diselenggarakan atas kerjasama antara 
Kedutaan Besar Republik Perancis 
dengan ECPAT Indonesia. Pertemuan 
yang diselenggarakan di Nusa Dua, 
Bali pada tanggal 23-24 Oktober 2013 
ini dihadiri oleh 95 peserta dari 10 
negara yang terdiri atas para ahli di 
bidang hukum, para pemerhati, aparat 
kepolisian, ahli bidang anak, program 
psikososial, praktisi berbasis LSM 
perlindungan anak dan korban, serta 
didukung oleh Lembaga Perlindungan 
Saksi dan Korban, lembaga PBB seperti 
UNICEF dan UNODC, serta akademisi. 
Diskusi, tukar informasi, pengalaman 
terbaik, dan networking yang berlangsung 
selama dua hari berjalan lancar dan
needed to reform and harmonize 
the legislation in order to have more 
respect for children’s rights before 
the law, especially when children 
are victims of sexual exploitation. 
Important recommendations are 
generated in this conference include 
regional cooperation to continue the 
exchange of information, trans-border 
cooperation, research, and establish 
a joint mechanism to combat crimes 
against children and ensure protection 
for child victims anywhere. 
On this occasion ECPAT Indonesia would 
like to thank to the French Embassy, 
which has given belief to keep working 
together to protect children in 
Indonesia especially and in Southeast 
Asia generally from sexual crimes that 
endanger their future. 
Thanks and highest appreciations also 
give to all parties who contributed to 
this event, namely: 
DONOR AND SPONSOR: 
Terre des Hommes Netherland, UNICEF, 
The Australian Federal Police, Mensen 
met een Missie, Kinder Nothilfe, The 
United State Departement of Justice, 
Institute Francais d’Indonesie, The 
Body Shop Indonesia, ACCOR and 
Mercure Nusa Dua, Bali. 
MEDIA PARTNERS: 
Radio Republik Indonesia and Forum 
Keadilan. 
Regional Conference on Legal Protection for Child Victims of Sexual Exploitation in Southeast Asia 
10 
menyenangkan. 
Salah satu perhatian Konferensi ini adalah 
masih lemahnya praktek restitusi dan 
kompensasi terhadap korban eksploitasi 
seksual di kawasan Asia Tenggara sehingga 
diperlukan langkah-langkah konkrit untuk 
melakukan reformasi dan harmonisasi 
undang-undang agar lebih menghormati 
hak asasi anak dihadapan hukum, terutama 
ketika anak menjadi korban eksplotasi 
seksual. Rekomendasi penting yang 
dihasilkan dalam konferensi ini antara lain 
adalah meneruskan kerjasama regional 
dengan pertukaran informasi, kerjasama 
lintas batas, penelitian, serta membangun 
mekanisme bersama dalam memerangi 
kejahatan terhadap anak dan memastikan 
perlidungan terhadap korban di manapun 
anak sebagai korban berada. 
Dalam kesempatan ini ECPAT Indonesia 
mengucapkan Terima Kasih kepada 
Kedutaan Republik Prancis, yang telah 
memberikan kepercayaan untuk tetap 
bekerja sama dalam melindungi anak-anak 
di Indonesia khususnya dan di kawasan Asia 
Tenggara umumnya dari kejahatan seksual 
yang membahayakan masa depan mereka. 
Ucapan terima kasih dan apresiasi setinggi-tingginya 
juga kami berikan kepada segenap 
pihak yang turut mendukung acara ini, yaitu: 
DONOR AND SPONSOR: 
Terre des Hommes Belanda, UNICEF, 
Australian Federal Police, Mensen met een 
Missie, Kinder Nothilfe, The United State 
Departement of Justice, Institute Francais 
Indonesia, Body Shop Indonesia, ACCOR 
dan Mercure Nusa Dua Bali.
HONORARY VIP SPEAKERS: 
H.E. Ambassador Corinne BREUZÉ 
(the French Embassy), Prof. Irwanto, 
Ph.D. (President of ECPAT Indonesia), 
Brigjen Pol. Drs. HerryPrastowo, SH, 
MSI (Director of General Crimes), Ms. 
Lenny Kling (Representative of Terre 
des Homes Netherlands Regional 
Office Southeast Asia),Mr. Marc 
Lucet (UNICEF Indonesia), Mr. Ade 
Noerwenda (ACCOR Indonesia), Dr. 
Heru Kasidi, M.Sc. (Representative of 
Minister of Women Empowerment and 
Child Protection). 
HONORARY KEYNOTE SPEAKERS: 
Prof. Datuk Dr. Chiam HengKeng (ACWC 
Indonesia), Ms. Junita Upadhyay (Deputy 
Director of ECPAT International) 
THE DISTINGUISH SPEAKERS: 
Anjan Bose (ECPAT International), Mr. Seila 
Samleang (Action Pour Les Enfants), Mr. 
Tim Dwyer (United States Department of 
Homeland Security), Mr. Ali Aulia Ramly 
(UNICEF), Ms. Caroline Charpentier (French 
Magistrate), Federal Agent Lana Palmer 
(Child Protection Advisor Australia Federal 
Police), Mr. John Carr (Global Advisor on the 
ICT and on-line Protection Programme), Ms. 
Margaret Akullo (UNODC), Mr. Muhammad 
Jailani (Asia ACT), Ms. JoDee Neil (Legal 
Advisor of Safe Childhoods Foundation), 
Ms. Lili Pintauli Siregar (Institution for the 
Protection of Witness and Victim (LPSK) 
Indonesia), Federal Agent Sandra Booth 
(Australian Federal Police), Ms. Cristina 
Konferensi Regional : Perlindungan Hukum untuk anak korban eksploitasi seksual di Asia tenggara 
11 
MEDIA PARTNER: 
Radio Republik Indonesia dan Forum 
Keadilan. 
YANG TERHORMAT PARA PEMBICARA VIP: 
H.E. Ambassador Corinne BREUZÉ 
(Kedutaan Besar Prancis), Prof. Irwanto 
Ph.D (Presiden ECPAT Indonesia), Brigjen 
Pol. Drs. Herry Prastowo, SH, MSI (Direktur 
Tindak Pidana Umum), Lenny Kling 
(Perwakilan Terre des Homes Belanda 
kantor Regional Asia Tenggara), Marc 
Lucet (UNICEF Indonesia), Ade Noerwenda 
(ACCOR Indonesia), Dr. Heru Kasidi, M.Sc 
(Perwakilan Kementrian Pemberdayaan 
Perempuan dan Perlindungan Anak ). 
YANG TERHORMAT PARA PEMBICARA 
KUNCI: 
Prof. Datuk Dr. Chiam Heng Keng 
(ACWC Indonesia), Ibu Junita Upadhyay 
(Deputi Direktur ECAT International) 
YANG TERHORMAT PARA PEMBICARA: 
Anjan Bose (ECPAT International), Seila 
Samleang (Action Pour Les Enfants), 
Tim Dwyer (United States Department 
of Homeland Security), Ali Aulia Ramly 
(UNICEF), Caroline Charpentier (Hakim 
Prancis), Agen Federal Lana Palmer 
(Penasehat Perlindungan Anak AFP), John 
Carr (Penasehat Global ICT dan Program 
Perlindungan Online), Margaret Akullo 
(UNODC), Muhammad Jailani (Asia ACT), 
JoDee Neil (Penasehat Hukum Childhoods 
Foundation), Lili Pintauli Siregar (Lembaga
Sevilla (ECPAT Philippines Lawyer), Mr. 
Muhammad Irfan Jaya (Indonesian Attorney 
General Office), Mr. Wanchai Roujanavong 
(Director General, International Affairs 
Department, The Office of the Attorney 
General of Thailand), Ms. Chairul Bariah 
(Faculty of Law from University of North 
Sumatera) 
THE MODERATORS: 
Prof. Irwanto, Ph.D. (ECPAT Indonesia), 
Ahmad Marzuki (ECPAT Indonesia), Mr. Jean 
Philippe Roth (French Security Attaché), 
Ali Aulia Ramly (UNICEF Indonesia), Anjan 
Bose (ECPAT International), Ms. Cristina 
Sevilla (ECPAT Philippines Lawyer). 
THE PARTICIPANTS: 
All distinguish invited participants who 
have actively participated through the 
whole two days regional conference from 
multi sectors and countries. For many other 
parties and/or individuals not mentioned 
here, we extend our biggest thanks and 
appreciation. 
Thereby the report of Regional Conference 
on Legal Protection for Victims of Sexual 
Exploitation against Children in Southeast 
Asia. The report also includes conclusion 
and key recommendations. Hopefully, the 
networking and the cooperation that has 
existed are viable to combat sexual crime 
against children in Southeast Asia for the 
interest of our children. 
Regional Conference on Legal Protection for Child Victims of Sexual Exploitation in Southeast Asia 
12 
Jakarta, 2 December 2013 
Prof. Irwanto, Ph.D. 
Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK 
Indonesia), Agen Federal Sandra Booth 
(Australian Federal Police), Cristina Sevilla 
(Pengacara ECPAT Philippines), Muhammad 
Irfan Jaya (Kejaksaan Agung Republik 
Indonesia), Wanchai ROUJANAVONG 
(Direktur General, Departemen Hubungan 
Internasional, Kejaksaan Agung Thailan), 
Ibu Chairul Bariah (Fakultas Hukum 
Universitas Sumatra Utara). 
PARA MODERATOR: 
Prof. Irwanto, Ph.D (ECPAT Indonesia), Ahmad 
Marzuki (ECPAT Indonesia), Bapak Jean 
Philippe ROTH (Atase Keamanan Prancis), 
Ali Aulia Ramly (UNICEF Indonesia), Anjan 
Bose (ECPAT International), Ibu Cristina 
Sevilla (Pengacara ECPAT Philippines). 
PARA PESERTA: 
Para peserta yang terhormat dari berbagai 
bidang dan negara yang telah berpartisipasi 
secara aktif pada konferensi dua hari. 
Dan untuk semua pihak yang tidak bisa 
kami sebutkan satu per satu disini, kami 
menyampaikan ucapan terima kasih dan 
apresiasi yang sebesar-besarnya. 
Akhir kata, dalam Laporan ini kami sampaikan 
beberapa Rangkuman dan Rekomendasi 
Kunci. Semoga networking dan kerjasama 
yang telah terjalin dapat terus berjalan 
dan semakin erat agar kejahatan seksual 
terhadap anak di kawasan Asia Tenggara 
dapat teratasi dengan sebaik-baiknya demi 
kepentingan terbaik anak-anak kita. 
Jakarta, 2 Desember 2013 
Prof. Irwanto, Ph.D.
Konferensi Regional : Perlindungan Hukum untuk anak korban eksploitasi seksual di Asia tenggara 
13 
INTRODUCTION 
Criminal and crime syndicates organize 
the trafficking of vulnerable children for 
commercial sexual exploitation. These 
criminal elements service an ever-growing 
demand in a market dominated by male 
customers who seek unlawful sexual 
gratification with children. Corruption and 
collusion, absence of and/or inadequate laws, 
lax legal measures, and limited sensitization 
of law enforcement personnel to the 
harmful impact on children, are all further 
factors which lead, directly or indirectly, 
to the commercial sexual exploitation of 
children. It may involve the acts of a single 
individual, or be organized on a small scale 
(e.g., family and acquaintances) or a large 
scale (e.g., criminal network).1 
Sexual exploitation crimes against children 
not only occur in a particular region but 
also operates transnationally. Numbers of 
child victims of sexual exploitation have 
considerably increased in both its scale and 
intensity around the world, particularly 
PENDAHULUAN 
Pelaku dan jaringan kejahatannya 
sangat berperan dalam pengadaan 
dan penyaluran anak-anak yang 
rentan terhadap eksploitasi seksual 
komersial dan melanggengkan segala 
bentuk eksploitasi. Elemen kejahatan 
ini memenuhi permintaan di pasar 
seks yang diciptakan oleh pelanggan, 
terutama pria, yang mencari 
kepuasan seksual yang melanggar 
hukum dengan anak-anak. Korupsi dan 
kolusi, kekosongan dan/atau hukum 
yang tidak memadai, penegakan 
hukum lemah, dan terbatasnya 
sensitisasi aparat penegak hukum 
terhadap dampak berbahaya pada 
anak-anak, merupakan faktor-faktor 
yang mengarah baik langsung atau 
tidak langsung pada eksploitasi 
seksual komersial anak. Hal ini dapat 
melibatkan tindakan satu orang, atau 
diatur dalam skala kecil (misalnya, 
keluarga dan kenalan) atau skala 
besar (misalnya,jaringan kriminal).1 
Kejahatan seksual dan eksploitasi 
terhadap anak tidak hanya terjadi di suatu 
wilayah atau negara tetapi sering juga 
beroperasi secara lintas negara. Jumlah 
korban eksploitasi seksual anak telah 
jauh meningkat baik dalam skala maupun 
intensitasnya di kawasan Asia Tenggara. 
Banyak berita serta laporan dari lembaga 
1. Stockholm Declaration (ECPAT International 
Report of the World Congress III Against Sexual 
Exploitation of Children and Adolescents, 
September 2009) 
1. Stockholm Declaration (ECPAT International 
Report of the World Congress III Against Sexual 
Exploitation of Children and Adolescents, 
September 2009)
due to new technology. 
It is difficult to estimate how many 
children in Southeast Asian countries – 
in fact, around the world - are victims 
of commercial sexual exploitation, 
even more so to disaggregate how 
many are victimized through child 
sex tourism, child pornography, child 
prostitution or sex trafficking. A 
majority of child sexual abuse cases 
are unreported and undetected. For 
decades, child sex abuse perpetrators 
have targeted children in countries 
within the Southeast Asian region. 
Thailand and the Philippines, partly 
due to their existing ‘sex industries’, 
have been frequently associated with 
child sex tourism. However, other 
countries have emerged as prime child 
sex tourist destinations: Cambodia and 
Vietnam have suffered an influx of child 
sex tourists as a result of increased 
efforts to combat the issue in Thailand. 
Indonesia has also witnessed a growth 
in the abuse of children by tourists, 
showing that sexual exploitation of 
children in tourism shifts as political, 
economic and social development 
Regional Conference on Legal Protection for Child Victims of Sexual Exploitation in Southeast Asia 
14 
resmi dapat menjadi referensi statistik 
untuk melihat fakta di wilayah Asia 
Tenggara terkait isu ini. 
Sulit untuk memperkirakan berapa 
banyak anak-anak di negara-negara 
Asia Tenggara menjadi korban 
eksploitasi seksual komersial, 
bahkan untuk menguraikan berapa 
banyak yang menjadi korban melalui 
pariwisata seks anak, pornografi anak, 
prostitusi anak atau perdagangan 
seks. Asia Tenggara telah lama 
menjadi target kejahatan seks pada 
anak oleh wisatawan. Thailand dan 
Filipina, terlepas karena adanya 
‘industri seks’ di negera tersebut, 
sering kali dikaitkan dengan 
pariwisata seks anak, Namun, negara-negara 
lain telah muncul sebagai 
tujuan utama wisata seks anak: 
Kamboja dan Vietnam dikatakan telah 
mengalami masuknya wisatawan seks 
anak sebagai hasil dari meningkatnya 
upaya untuk memerangi masalah ini 
di Thailand. Negara-negara seperti 
Indonesia juga telah menyaksikan 
peningkatan kejahatan terhadap anak 
oleh wisatawan, menunjukkan bahwa 
eksploitasi seksual terhadap anak-anak 
dalam dunia pariwisata bergeser 
karena terjadi perkembangan politik, 
ekonomi dan sosial.2 
Di Negara-negara Asia Tenggara sendiri, 
undang-undang tentang perlindungan 
korban eksploitasi seksual terhadap 
anak-anak belum beroperasi pada tingkat 
yang sama dari satu negara ke negara 
2. ECPAT International, “Combating Child Sex 
Tourism”, 2008 
2. ECPAT International, “Combating Child Sex 
Tourism”, 2008
occurs.2 
In Southeast Asia, domestic legislation 
on the protection of victims of sexual 
exploitation against children differs 
from one country to the other. Some 
countries have delivered very good 
protection to victims by providing 
compensation and restitution. Some 
fail to pay any attention to the 
victims. 
The United Nation’s Resolution No.40/34 
on Declaration of Basic Principles 
of Justice for Victims of Crime and 
Abuse of Power states that a country 
is obliged to consider compensation 
and restitution for the victims of a 
crime. The Optional Protocol on Sale of 
Children, Child Prostitution and Child 
Pornography (OPSC) also delivers more 
specific considerations to the obligation 
of a country on providing compensation, 
restitution and rehabilitation for victims 
of sexual crimes against children. 
France, South America and Australia have 
improved on their existing regulations 
and the provision of compensation to 
victims once punishment is meted out 
to child sexual crime offenders. 
Through this two-day regional conference 
in Bali, held on 23-24 October 2013, a 
Konferensi Regional : Perlindungan Hukum untuk anak korban eksploitasi seksual di Asia tenggara 
15 
lain. Beberapa negara telah memberikan 
perlindungan yang sangat baik untuk para 
korban dengan memberikan kompensasi 
dan restitusi dari negara, tetapi di 
sisi lain beberapa negara bahkan tidak 
memperhatikan korban. 
Resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa 
No.40/34 pada Deklarasi Prinsip-prinsip 
Dasar Keadilan bagi Korban Kejahatan 
dan Penyalahgunaan Kekuasaan 
menyatakan bahwa negara wajib 
untuk mempertimbangkan kompensasi dan 
restitusi bagi korban kejahatan. Protokol 
Opsional tentang Penjualan Anak, Prostitusi 
Anak dan Pornografi Anak (OPSC) juga 
memberikan pertimbangan yang lebih 
spesifik untuk kewajiban suatu negara dalam 
memberikan kompensasi dan restitusi 
Deklarasi Stockholm ECPAT International, 
“Combating Child Sex Tourism”, 2008 
rehabilitasi bagi korban kejahatan seksual 
terhadap anak. Beberapa negara seperti 
Perancis, Amerika Selatan, Australia 
telah membuat perbaikan hukum dan 
pemberian kompensasi kepada korban 
setelah hukuman kepada pelaku kejahatan 
seksual anak dijatuhkan. 
Melalui konferensi regional dua hari 
ini di Bali, yang diselenggarakan pada 
Oktober 2013, pemahaman yang lebih 
mendalam tentang sistem hukum,
deeper understanding about the legal 
systems, strengths and weaknesses to 
providing protection of child victims in 
countries such as Indonesia, Thailand, 
Philippines, Australia, France and the 
USA will be learnt. Identifying obstacles 
on multilateral work in the region and 
how to build cooperation with countries 
whose experiences and legal systems do 
effectively address such issues will be 
communicated in detail. 
Regional Conference on Legal Protection for Child Victims of Sexual Exploitation in Southeast Asia 
16 
kekuatan dan kelemahan dalam 
menyediakan perlindungan bagi korban 
anak-anak di negara-negara seperti 
Indonesia, Thailand, Filipina, Australia, 
Perancis dan Amerika Serikat akan 
dipelajari. Mengidentifikasi hambatan 
pada pekerjaan multerateral di kawasan 
tersebut dan bagaimana menbangun 
kerjasama dengan negara-negara yang 
berpengalaman dan sistem hukum dalam 
menangani isu-isu tersebut secara 
efektif akan dikomunikasikan secara 
rinci.
Konferensi Regional : Perlindungan Hukum untuk anak korban eksploitasi seksual di Asia tenggara 
17 
THE OBJECTIVES 
1. To recognize deeper the available 
legal system regulating the 
protection of victims of sexual 
crimes against children in 
Southeast Asia Countries; 
2. To recognize the achieved progresses 
as well as weaknesses and obstacles 
in employing the legal system to 
the protection of victims of sexual 
crimes against children in Southeast 
Asia Countries; 
3. To deliver lesson learnt on best 
practices of countries which have 
been practicing protection for 
victims of sexual crimes against 
children through restitution and 
compensation mechanism; 
4. To build cooperation in improving 
legal system of countries in 
Southeast Asia which have not 
delivered protection for victims 
of sexual crimes against children; 
5. To depict visual pictures the 
situation of sexual exploitation 
against children through journalist 
photos exhibition. 
TUJUAN 
1. Untuk mengenali lebih jauh sistem 
hukum yang ada yang mengatur 
tentang perlindungan bagi korban 
kejahatan seksual terhadap anak 
di negara-negara Asia Tenggara. 
2. Untuk mengenali kemajuan yang ada 
begitu pula kelemahan dan kendala 
yang dihadapi dalam penerapan sistem 
hukum tentang perlindungan bagi 
korban kejahatan seksual terhadap 
anak di negara-negara Asia Tenggara 
3. Untuk memberi pembelajaran tentang 
pengalaman terbaik dari negara-negara 
yang telah menerapkan 
perlindungan bagi korban kejahatan 
seksual terhadap anak melalui 
mekanisme restitusi dan kompensasi 
4. Membangun kerjasama dalam 
memperbaiki sistem hukum negara-negara 
di Asia Tenggara yang belum 
menerapkan perlindungan bagi korban 
kejahatan seksual terhadap anak. 
5. Menggambarkan secara visual situasi 
eksploitasi seksual terhadap anak 
melalui pameran foto jurnalis.
Regional Conference on Legal Protection for Child Victims of Sexual Exploitation in Southeast Asia 
18 
EXPECTED RESULTS 
1. Participants recognize deeper the 
available legal system regulating 
the protection of victims of 
sexual crimes against children in 
Southeast Asia Countries; 
2. Participants recognize the 
achieved progresses as well as 
weaknesses and obstacles in 
employing the legal system to 
the protection of victims of 
sexual crimes against children in 
Southeast Asia Countries; 
3. Participant obtain lesson learnt on 
best practices of countries which 
have been practicing protection 
for victims of sexual crimes against 
children through restitution and 
compensation mechanism; 
4. Participants who are from 
Southeast Asia countries can build 
communication and cooperation 
efforts among countries in 
improving their legal system to 
the protection of victims of sexual 
crimes against children; 
5. The situation of sexual exploitation 
against children is depicted visually 
and gives broader perspective to 
the situation faced through photo 
journalist exhibition. 
HASIL YANG DIHARAPKAN 
1. Peserta mengenali lebih jauh sistem 
hukum yang ada yang mengatur tentang 
perlindungan bagi korban kejahatan 
seksual terhadap anak di negara-negara 
Asia Tenggara 
2. Peserta mengenali kemajuan yang 
dicapai begitu pula kelemahan 
dan kendala yang dihadapi dalam 
penerapan sistem hukum tentang 
perlindungan bagi korban kejahatan 
seksual terhadap anak di negara-negara 
Asia Tenggara 
3. Peserta mendapat pembelajaran 
tentang pengalaman terbaik dari 
negara-negara yang telah menerapkan 
perlindungan bagi korban kejahatan 
seksual terhadap anak melalui 
mekanisme restitusi dan kompensasi 
4. Peserta yang berasal dari negara-negara 
di Asia Tenggara dapat 
saling membangun komunikasi 
dan upaya-upaya kerjasama antar 
negara dalam memperbaiki sistem 
hukum perlindungan bagi korban 
kejahatan seksual terhadap anak. 
5. Situasi eksploitasi seksual terhadap 
anak tergambarkan secara visual 
dan memberikan pandangan yang 
lebih luas terhadap situasi yang 
dihadapi melalui pameran photo 
jurnalis
Konferensi Regional : Perlindungan Hukum untuk anak korban eksploitasi seksual di Asia tenggara 
19 
EXECUTIVE SUMMARY 
The Regional Conference on Legal 
Protection for Child Victims of 
Sexual Exploitation in Southeast 
Asia was held in Bali, Indonesia, on 
23-24 October 2013. This two-day 
conference, which covered a lot of 
ground on premeditated behavior 
leading to, and the consequences of, 
the commercial sexual exploitation 
of children [CSEC], was organized by 
ECPAT Indonesia in collaboration with 
the French Embassy. Global experts 
from various fields – law enforcement 
within the ASEAN region, France, the 
USA and Australia, child protection 
NGOs, experts in social psychology, 
Indonesian government institutions, 
UNICEF, UNODC and lecturers of law 
– participated to highlight critical 
questions on the methods applied by 
perpetrators today to sexually exploit 
children through new technology; 
what constitutes as sexual crimes 
against children; what role do law 
enforcers play in the rescue, recovery 
and protection of child victims of 
sexual abuse. 
Beside that, there were 95 participants 
from 10 countries - Malaysia, France, 
Thailand, Cambodia, the Philippines, 
Vietnam, Timor Leste, Brunei 
Darussalam, Singapore - participated in 
the conference. Those who participated 
actively in the conference comprised 
of co-partners such as the Australian 
Federal Police [AFP], the Indonesian 
RANGKUMAN PELAKSANAAN 
Konferensi Regional tentang Perlindungan 
Hukum untuk Anak Korban Eksploitasi 
Seksual di Asia Tenggara telah 
diselenggarakan di Bali, pada tanggal 
23-24 oktober 2013. Konferensi dua hari 
yang membahas banyak hal mengenai 
kecenderungan perilaku akibat dari 
eksploitasi seksual komersial anak 
(ESKA) ini, telah dilaksanakan oleh 
ECPAT Indonesia yang bekerjasama 
dengan Kedutaan Prancis untuk 
Indonesia. Para ahli dari berbagai 
bidang – penegak hukum dari Asia 
Tenggara, Prancis, Amerika Serikat, dan 
Australia, LSM perlindungan anak, ahli 
psikologi sosial, institusi pemerintah 
Indonesia, UNICEF, UNODC, dan Dosen 
hukum – berpartisipasi untuk menyoroti 
pentanyaan kritis mengenai metode 
yang dipakai pelaku sekarang untuk 
mengeksploitasi seksual anak melalui 
teknologi baru; apa yang dianggap 
sebagai kejahatan seksual terhadap 
anak-anak, apa peran penegak hukum 
dalam penyembuhan, pemulihan, 
dan perlindungan terhadap korban 
kekerasan seksual. 
Disamping itu, ada 95 peserta dari 10 
negara -Malaysia, Prancis, Thailand, 
Kamboja, Filipina, Vietnam, Timor 
leste, Brunei Darussalam, Singapore – 
berpartisipasi aktif dalam konferensi 
tersebut. Mereka berperan aktif dalam 
konferensi ini, diantaranya, Australian 
Federal Police [AFP], MABES POLRI, 
UNICEF, TDH Belanda, dan lainnya.
Police Headquarters [MABES POLRI], 
UNICEF, TDH Netherlands, etc. A total of 
19 speakers graced six thematic panels. 
An interesting exchange of knowledge 
on child victims of sexual crimes, the 
best practices of the law to protect 
these victims and the legal mechanisms 
available in Southeast Asian nations, 
Australia, the USA and France took 
place. Brief recommendations were 
made on how to tackle certain issues in 
view of its current manifestations. 
Interesting issues raised by the panel 
speakers included discussion on whether 
or not child victims need to undergo 
interviews linked to their ordeal over 
and over again - first by the police and 
then in a courtroom trial - when there 
are permanent records in the form of 
photo or video documentation; what 
constitutes as child abuse images; and 
in what forms can legal mechanisms 
and legal institutions offer protection 
to child victims of sexual abuse. 
CSEC, the conference panel speakers 
underlined, can and will cause severe 
psychological consequences for child 
victims, including depression, low self-esteem, 
restlessness, concentration 
difficulties, aggressive behaviours and 
repressed anger. They might experience 
difficulties with trusting people. Their 
role boundaries may be blurred. Child 
victims of CSEC need to obtain judicial 
remedies in the form of conviction 
of the perpetrator and financial 
compensation, but they also need to 
access assistance and support under 
child protection legislation recovery. 
Regional Conference on Legal Protection for Child Victims of Sexual Exploitation in Southeast Asia 
20 
Sebanyak 19 pembicara menyampaikan 
materinya dalam 6 panel. Media berbagi 
pengetahuan yang menarik mengenai 
anak korban eksploitasi seksual, pelatihan 
hukum terbaik untuk melindungi korban 
dan mekanisme hukum di Asia Tenggara, 
Australia, Amerika Serikat, Prancis. 
Rekomendasi singkat telah dibuat 
mengenai bagaimana menangani isu-isu 
tertentu dalam pandangan manifestasi 
saat ini. 
Hal menarik yang digarisbawahi oleh 
pembicara adalah diskusi apakah korban 
[anak] benar-benar harus melakukan 
wawancara dan mengalami penderitaan 
yang berulang-ulang, pertama oleh 
polisi dan kemudian di ruang pengadilan, 
ketika ada dokumentasi berupa foto 
atau video; apa yang dimaksud dengan 
gambar kekerasan anak; dan dalam 
bentuk apa mekanisme dan institusi 
hukum dapat melindungi anak korban 
ekploitasi seksual. 
ESKA, pembicara mengatakan, dapat 
dan akan mengakibatkan penderitaan 
psikologis untuk mereka, seperti depresi, 
rendah diri, resah, sulit berkonsentrasi, 
prilaku yang agresif dan menahan 
marah. Mereka mungkin mengalami 
kesulitan dalam mempercayai orang. 
Batasan peran mereka mungkin menjadi 
kabur. Anak korban ESKA perlu untuk 
mendapatkan remedi yudisial dalam 
bentuk kepastian pelaku dan kompensasi 
finansial, tapi mereka juga perlu untuk 
mengakses bantuan dan dukungan 
pemulihan dibawah UU perlidungan 
anak.
One primary recommendation was 
that priority needs to be given 
to victim identification, rescue 
and protection, including from 
hardships during the course of an 
ongoing investigation into the crime. 
Appropriate therapeutic facilities are 
required to support victims after they 
have been rescued. Recommendations 
were also made for the need of a 
clear and a strong legal framework 
that is consistent with international 
standards. And the possession of 
offline and online child abuse images 
be made an offence irrespective of 
one’s intent to distribute. 
On the note of questioning child 
victims, panel speakers reiterated 
the need that law enforcement should 
have officers trained in “child-friendly” 
interview techniques when 
dealing with child victims of sexual 
abuse, and time and efforts need to 
be put in to educate law enforcement 
officers, so that a suitable 
environment is created where the 
victim feels comfortable enough to 
speak up to the law officers. 
Konferensi Regional : Perlindungan Hukum untuk anak korban eksploitasi seksual di Asia tenggara 
21 
Salah satu rekomendasi utama adalah 
bahwa prioritas harus diberikan kepada 
identifikasi korban, penyelamatan 
dan perlindungan, termasuk dari 
kesulitan selama penyelidikan 
yang sedang berlangsung. Fasilitas 
terapi yang tepat diperlukan untuk 
mendukung korban setelah mereka 
telah diselamatkan. Rekomendasi 
juga telah dibuat untuk kebutuhan 
kerangka hukum yang jelas dan 
kuat yang sesuai dengan standar 
internasional. Dan kepemilikan 
gambar pelecehan anak termasuk 
pelanggaran, terlepas dari niat untuk 
mendistribusikannya. 
Salah satu catatan mengenai wawancara 
terhadap korban [anak], para 
pembicara menyatakan bahwa penegak 
hukum harus dilatih menggunakan 
tehnik wawancarwa ‘ramah anak’ 
ketika berurusan dengan anak korban 
kekerasan seksual, waktu dan usaha 
memang diperlukan untuk mendidik 
aparat penegak hukum, oleh karena 
itu lingkungan yang sesuai diciptakan 
dimana korban merasa cukup nyaman 
untuk berbicara kepada petugas.
Notable contributions to the conference 
also came from a number of participants 
who posed thoughtful questions to panel 
speakers. An activist from Bali pointed 
out that there were zero shelters or 
drop-in centers for child victims of 
abuse located in far-flung villages in 
Bali itself - some inaccessible by road, 
while others located about 3 hours from 
Denpasar, the capital of Bali. This activist 
ended up housing the child victim in 
her home, and she posed the question - 
what can activists do about providing a 
protective home for child victims, when 
there are no special drop-in centers 
to house them? Another came from a 
policewoman who alerted audiences 
and provided them with a reminder: 
poor communities will and do fiercely 
protect suspected pedophiles - both 
foreigners and locals alike - who spend 
money and provide these communities 
with schooling, homes and clothing. She 
cited a case where Bali Police officers 
had to go to a community in search of 
information on a suspected pedophile, 
and failing to extract any information 
from the community because they were 
protective over the suspected man. 
Another participant asked: 
How can a child receives adequate 
protection and justice, when there are 
no witnesses to the crime and the only 
ones who actually know what transpired 
exactly, whether the suspect or the 
child victim? 
Reminders were raised to the effect 
that when a child is interviewed, 
Regional Conference on Legal Protection for Child Victims of Sexual Exploitation in Southeast Asia 
22 
Khususnya masukan untuk konferensi 
juga datang dari beberapa peserta yang 
mengemukanan pertanyaan cerdas 
kepada pembicara. Seorang aktivis 
dari Bali menyatakan bahwa tidak ada 
shelter untuk anak korban kekerasan 
seksual yang berlokasi didesa-desa 
yang jauh di bali – beberapa tidak 
bisa dijangkau, sementara yang lain 
berlokasi sekitar 3 jam dari Denpasar. 
Aktivis ini akhirnya menampung korban 
[anak] di rumahnya, dan dia bertanya 
- apa yang bisa saya lakukan ketika 
tidak ada rumah penampungan korban? 
pertanyaan lainnya datang dari seorang 
polwan dari bali yang memperingatkan 
peserta dan mengingatkan mereka: 
masyarakat miskin akan sangat 
melindungi tersangka pedopil – baik 
orang asing maupun pribumi yang 
menghabiskan uang mereka untuk 
menyediakan kebutuhan sekolah, 
rumah dan pakaian mereka. Dia 
menyebutkan sebuah kasus dimana 
Polisi Bali harus pergi ke masyarakat 
untuk mencari informasi tersangka 
pedopil, dan gagal mendapatkan 
informasi dari mereka karena mereka 
sangat melindungi tersangka tersebut. 
PESERTA LAINNYA BERTANYA: 
Bagaimana seorang anak mendapatkan 
perlindungan dan keadilan yang cukup, 
ketika tidak ada saksi atas kejahatan 
tersebut dan tidak ada satu pun yang 
benar-benar tahu yang sebenarnya terjadi, 
apakah pelaku atau korban? 
Kita juga diingatkan detail ketika 
mewawancarai anak. Istilah “dia
every detail matters. The “He Said, 
She Said” fallacy was pointed out as a 
case where the only witnesses are the 
complainant and the suspect. The logic 
behind this fallacy - and it is a fallacy 
applied by law enforcement officers in 
child abuse cases - is that one of the 
witnesses is always lying, and since it 
could be either the complainant or the 
suspect, both are presumed unreliable 
witnesses. Mentions were made for 
the need of a forensic interview which 
involves a short recording between 
the interviewer and the child, and 
questions asked are non-leading. 
Aspects such as body language of the 
child during the interview are to be 
noted. Also, special care needs to be 
taken to analyze what a child does not say. 
In terms of restitution and compensation 
for the child victim, examples were cited 
in the case of Thailand, for instance, 
before the year 2003 - focus was more 
on punishing the abuser rather than on 
providing restitution and compensation 
for the victim of a crime. However, after 
2003, the country’s Criminal Procedure 
Code was amended to allow victims 
to file a motion to the court trying the 
criminal case, forcing the accuser to pay 
the restitution to the victim. Obstacles 
however remain in terms of the execution 
of the judgment in court and the 
confiscating the assets of the offenders so 
that payment can be made. In Indonesia, 
meanwhile, even as there are regulations 
that allow for payment of restitution, the 
technical aspect in terms of implementing 
the execution of payment for child victims 
is not available. 
Konferensi Regional : Perlindungan Hukum untuk anak korban eksploitasi seksual di Asia tenggara 
23 
berkata,” sebuah kekeliruan yang telah 
dikemukakan bahwa kasus dimana hanya 
saksi, pengadu dan tersangka. Logika 
dibalik kekeliruan ini – dan kekeliruan ini 
diterapkan oleh penegak hukum dalam 
kasus kekerasan anak – adalah salah 
satu saksi yang selalu berbohong, dan 
bisa jadi pengadu dan tersangka, kedua-duanya 
merupakan saksi yang tidak bisa 
diandalkan. Pernyataan telah dibuat 
untuk kebutuhan wawancara forensik 
yang melibatkan rekaman pendek antara 
pewawancara dan anak, dan pertanyaan 
bukan hal utama. Aspek seperti bahasa 
tubuh si anak selama wawancara harus 
dicatat. Juga, treatment khusus harus 
diambil untuk menganalisis apa yang 
tidak dikatakan oleh anak. 
Dalam hal restetusi dan kompensasi 
untuk korban [anak], contohnya telah 
dikemukakan hari ini pada kasus di 
Thailand, misalnya, sebelum tahun 2003 
– fokus lebih kepada menghukum pelaku 
pelecehan daripada menyediakan 
restetusi dan komensasi terhadap 
korban kejahatan. Bagaimanapun, 
setelah tahun 2003, KUHP negara telah 
diubah untuk mengijinkan korban untuk 
mengajukan mosi kepada pengadilan, 
memaksa pelaku untuk membayar ganti 
rugi restetusi kepada korban. Hakim di 
Pengadilan menyita asset tersangka, 
sehingga pembayaran dapat dilakukan. 
Di Indonesia, meskipun ada regulasi 
yang mengijinkan pembayaran restetusi, 
tekhnik pembayarannya tidak tersedia. 
Laporan Konferensi ini merupakan 
versi ringkas dari diskusi yang telah 
diselenggarakan. Konferensi ini 
dimulai dan berakhir dengan sebuah
This conference report will provide 
a summarized version of discussions 
held. The conference began with and 
ended on an underlying note that 
served as a reminder throughout the 
discussions: there are many reasons 
why a majority of sexual abuses go 
undetected and unreported. Among 
them are a deeply embedded culture 
of silence that lasts for years; not 
understanding the legal procedures 
that need to be taken to report a case 
and see it brought to court; children 
experiencing deep embarrassment of 
not being taken seriously by parents; 
and above all, fear of a child’s safety. 
Regional Conference on Legal Protection for Child Victims of Sexual Exploitation in Southeast Asia 
24 
Bali, 23-24 October 2013 
catatan yang berfungsi sebagai 
pengingat: ada banyak alasan mengapa 
sebagian besar pelanggaran seksual 
tidak terdeteksi dan tidak dilaporkan. 
Diantaranya adalah budaya diam 
telah tertanam dan berlangsung 
selama bertahun-tahun; kurang 
memahami prosedur hukum yang perlu 
diambil untuk melaporkan kasus dan 
membawanya ke pengadilan; anak-anak 
merasa sangat malu datang ke 
pengadilan, dan hal itu tidak dianggap 
serius oleh orang tua; dan di atas itu 
semua, takut akan keselamatan anak. 
Bali, 23-24 Oktober 2013
Konferensi Regional : Perlindungan Hukum untuk anak korban eksploitasi seksual di Asia tenggara 
25
Regional Conference on Legal Protection for Child Victims of Sexual Exploitation in Southeast Asia 
26
Konferensi Regional : Perlindungan Hukum untuk anak korban eksploitasi seksual di Asia tenggara 
27 
PENGETAHUAN PENTING 
TENTANG anak korban 
KEJAHATAN SEKSUAL YANG 
HARUS DIKETAHUI OLEH 
PENEGAK HUKUM 
Presentasi dari: 
Chiam Heng Keng, Junita Upadhyay 
dan Heru Kasidi 
Chiam Heng Keng, 
Perwakilan Malaysia untuk ACWC 
Apa yang dimaksud kejahatan seksual 
terhadap anak ? Kebanyakan penegak 
hukum mengasosiasikan kejahatan 
seksual sebagai pemerkosaan dan 
penganiayaan. Lebih banyak lagi 
sebenarnya, namun anak korban 
pelecehan seksual semakin merajalela, 
terutama melalui teknologi informasi 
dan komunikasi, online, komunikasi 
telepon, dan berbagai kegiatan 
eksploitatif lainnya – dari yang tanpa 
kekerasan; merusak psikologis secara 
mendalam, dan tindakan kasar yang 
berakibat kerusakan fisik dan psikis 
korban. Contoh terkini adalah 27 pria 
dikenakan biaya untuk berhubungan 
sex dengan seorang gadis berusia 
17 tahun yang menawarkan dirinya 
di intenet. Selain itu, seorang pria 
tua melakukan sex dengan anak 13 
tahun, yang dimulai dengan sms. Dan 
kemudian dia melangkah ke kejahatan 
perdagangan orang yang terorganisir. 
Penegak hukum bagaimanapun harus 
mengetahui makna kejahatan seksual. 
Kenapa? Meraka adalah orang pertama 
yang menerima laporan kejahatan 
THE IMPORTANT 
KNOWLEDGE ABOUT CHILD 
VICTIMS OF SEXUAL CRIME 
THAT LAW ENFORCERS 
SHOULD KNOW 
Presentations By: 
Chiam Heng Keng, Junita Upadhyay 
and Heru Kasidi 
Chiam Heng Keng, 
Malaysia’s Representative to ACWC 
What constitutes as sexual crimes 
against children? Most law enforcers 
associate sexual crimes to principally 
rape and molestation. More and more 
however, child sexual molestation 
is becoming rampant, particularly 
through ICTs, online and phone-based 
communication, and encompasses a 
broad range of exploitative activities 
– from the non-abusive which imposes 
profound psychological damage to a 
child, to abusive acts that contribute 
to both physical and psychological 
damage to the victim. One recent 
example is of 27 men being charged 
for having sex with a 17-year-old girl 
who offered herself on the internet. 
Another is of an older man conducting 
sex with a 13-year-old, an act 
preceded by exchanges of messages 
through mobile phone texting. And 
then it goes on to steps taken toward 
organized crime - trafficking. 
Law enforcers therefore must know 
what constitutes as sexual crimes. 
Why? They are the first ones who 
receive reports of sexual crimes, and
they carry out the investigations of 
those crimes. To protect children 
effectively, law enforcers need to 
comprehend the psychological and 
physical impact on child victims of 
sexual abuse. Such abuse includes 
non-violent acts like fondling, or 
children being paid a certain sum to 
undress themselves. The extent of 
physical or psychological damage can 
depend on the duration of the abuse 
[long or short period of time]. 
A majority of sexual abuse cases 
involving child victims go undetected. 
Firstly, there is a culture of silence 
due to deep shame on the part of the 
victim. Secondly, because of how these 
acts are carried out by perpetrators – 
including binding the child to secrecy, 
sometimes under threat - it is very 
difficult to find out how many children 
have been abused. Also, perpetrators 
offer child victims gifts. They build a 
rapport with the victim first, before 
engaging in sexual relations. This is 
referred to as grooming. It could also 
involve supplying the child with drugs 
or alcohol before the abuse begins. 
Another common form of sexual crime 
is the transaction of indecent images 
of children through webcams or social 
networking sites. Then, there is online 
chatting between an adult and a child 
which leads to sex chats on the net, and 
then meeting up for sexual purposes. 
The child could also be tricked into 
producing indecent images of himself 
or herself. Through this method, the 
perpetrator can sexual exploit a large 
number of victims. 
Regional Conference on Legal Protection for Child Victims of Sexual Exploitation in Southeast Asia 
28 
seksual dan mereka yang melakukan 
penyelidikan atas kejahatan tersebut. 
Untuk menjaga anak secara efektif, 
penegak hukum perlu untuk memahami 
dampak psikologis dan fisik anak 
korban pelecehan seksual. Pelecehan 
tersebut termasuk tindakan tanpa 
kekerasan seperti belaian, atau anak-anak 
dibayar untuk menanggalkan 
pakaiannya sendiri. Tingkat kerusakan 
fisik dan psikologis anak dapat 
bergantung kepada waktu pelecehan 
tersebut [lama atau sebentar]. 
Sebagian besar kasus pelecehan 
seksual melibatkan korban yang tak 
terdeteksi. Pertama, adanya budaya 
diam karena korban merasa sangat 
malu. Kedua, karena perlakuan si 
pelaku seperti mengikat anak untuk 
diam, kadang-kadang memberi 
ancaman – sangat sulit untuk 
mengetahui berapa banyak anak-anak 
yang mengalami pelecehan. Dan juga, 
pelaku menawarkan anak hadiah. 
Mereka membangun hubungan dengan 
korban terlebih dahulu sebelum 
terlibat dalam hubungan seksual. Hal 
ini disebut perawatan (grooming) 
. Bisa juga memasok obat-obatan atau 
alkohol ke anak sebelum pelecehan 
dimulai. 
Bentuk umum lain dari kejahatan 
seksual adalah transaksi gambar 
vulgar anak-anak melaui webcam atau 
situs jejaring sosial. Lalu chatting 
yang mengarah kepada obrolan seks di 
internet antar orang dewasa dan anak 
yang mengarah kepada obrolan seks 
di internet, dan kemudian bertemu 
untuk tujuan seksual. Anak juga
Due to the profound effects of this 
abuse, social integration and the well-being 
of the child victim is severely 
compromised. The victim may suffer 
from headaches, sleeplessness, 
anxiety, stomachaches, low self-esteem, 
rage and repressed anger. 
They could suffer from an inability 
to form relationships all their lives 
if their psychological health goes 
untreated. On one end, some could 
isolate themselves. On the other, they 
could exhibit promiscuous behavior 
and are sexually advanced. 
Sexual abuse can also lead to psychosis 
in the victims. Manifestations of these 
physical and psychological problems 
can include self-mutilation, extreme 
promiscuity, overeating, loss of 
appetite and suicidal attempts. 
Law enforcers can either protect 
child victims from suffering further 
physical and psychological hardships, 
or cause greater harm physically and 
psychologically as child victims seek 
for protection and justice. 
Konferensi Regional : Perlindungan Hukum untuk anak korban eksploitasi seksual di Asia tenggara 
29 
bisa tertipu dan membuat gambar 
vulgarnya sendiri. Melalui metode 
ini, pelaku dapat mengeksploitasi 
lebih banyak korban. 
Karena efek yang mendalam dari 
pelecehan ini, integrasi sosial dan 
kesejahteraan korban terancam. Korban 
mungkin menderita sakit kepala, susah 
tidur, cemas, sakit perut, rendah diri, 
marah, menekan kemarahan. Mereka 
mungkin menderita ketidakmampuan 
membangun hubungan selama hidupnya 
jika kesehatan psikologisnya tidak 
teratasi. Pada akhirnya, mungkin 
mereka akan mengisolasi diri sendiri, 
atau mereka bisa menunjukan prilaku 
pergaulan bebas. 
Pelecehan seksual juga dapat memicu 
penyakit jiwa. Perwujudan dari masalah 
fisik dan psikologis ini juga termasuk 
melukai diri sendiri, pergaulan yang 
ekstrim, makan berlebihan, kehilangan 
nafsu makan dan upaya bunuh diri. 
Para penegak hukum dapat melindungi 
korban dari penderitaan psikis dan fisik, 
atau menyebabkan kerugian fisik dan
Protection of the privacy of child 
victims is of utmost importance. 
Measures must be taken from exposing 
to the public the identity of the victims 
to protect them from being ridiculed, 
shamed, ostracized, labelled by 
classmates, friends, neighbors or the 
general public. 
Where medical examinations are 
needed, care should be exercised for 
it to be minimally intrusive. Medical 
examinations that are capable of 
offending the child’s modesty should 
be carried out only when absolutely 
necessary. The child should have the 
right to choose the gender of the 
medical staff. The child has the right for 
a parent, guardian or a trusted adult to 
be present at the medical examination. 
Law enforcers should identify and 
convey to child victims or their legal 
representatives at the first encounter 
relevant information pertaining to 
available assistance and access to 
justice. The information is to be given 
in a child-friendly manner, adapted to 
the age and the capacity of the child 
victim.**** 
Regional Conference on Legal Protection for Child Victims of Sexual Exploitation in Southeast Asia 
30 
psikis yang lebih besar sebagai korban 
[anak] yang mencari perlindungan dan 
keadilan. 
Perlindungan privasi korban [anak] sangat 
penting.Tidak boleh mengekspos identitas 
korban ke publik untuk melindungi mereka 
dari ejekan, dipermalukan, dikucilkan, 
atau diberi label oleh temannya, tetangga 
atau masyarakat umum. 
Dimana pemeriksaan medis diperlukan, 
perawatan harus dilakukan untuk 
meminimalisir gangguan. Pemeriksaan 
medis bisa menyinggung harga diri anak, 
sehingga seharusnya dilakukan hanya 
bila benar-benar perlu. Anak memiliki 
hak untuk memilih jenis kelamin petugas 
kesehatan. Anak memiliki hak untuk orang 
tua, wali atau orang yang dipercaya untuk 
hadir pada saat pemeriksaan. 
Ketika pertemuan pertama, Penegak 
hukum harus mengidentifikasi dan 
menyampaikan kepada korban [anak] atau 
kuasa hukumnya mengenai bantuan yang 
tersedia dan akses terhadap keadilan itu 
sendiri. Informasi ini diberikan dengan 
cara yang ramah, disesuaikan dengan usia 
dan kapasitas korban [anak]. ****
Konferensi Regional : Perlindungan Hukum untuk anak korban eksploitasi seksual di Asia tenggara 
31 
Junita Upadhyay, 
ECPAT International Deputy Director 
for Programs 
Why is it important to protect victims of 
CSEC? It is firstly the duty of the state to 
protect who it fails to protect. This duty is 
in accordance with international, regional 
and national legislative instruments 
- Trafficking Protocol, Convention on 
the Rights of the Child and Optional 
Protocol. Also, the ASEAN Declaration 
against Trafficking in Persons Particularly 
Women and Children, and the numerous 
Memorandum of Understandings (MOU) 
between countries in the region. The 
more victims are protected by the state, 
the more they will collaborate with the 
state during the prosecution stage, and 
ideally, the more convictions will be 
issued. 
So who should know more about this 
issue? All the law enforcers: the police, 
public prosecutors, judges and lawyers. 
Those also in the know should include 
psychologists and the social welfare 
workers involved. 
NON-CRIMINALISATION: 
Child victims are often arrested, 
detained, charged and sometimes 
prosecuted for unlawful activities 
related to trafficking such as illegal 
entry into the country and engaging in 
prostitution. Child victims should not be 
criminalised as a result of being subjected 
to CSEC crimes. Criminalisation of 
trafficking victims is also prohibited by 
the Trafficking Principles and Guidelines 
Junita Upadhyay, 
Direktur Deputi Program ECPAT 
International 
Kenapa melindungi korban ESKA itu sangat 
penting? Pertama, karena memang sudah 
menjadi tugas negara untuk melindungi 
siapa saja warga negaranya. Kewajiban 
ini sesuai dengan instrument legislatif 
internasional, regional dan nasional – 
Protokol Perdagangan, Konvensi Hak 
Anak dan Protokol Opsional. Juga, 
Deklarasi ASEAN Anti Perdagangan Orang 
Khususnya Perempuan dan Anak, dan 
berbagai Memorandum of Understanding 
(MOU) antara negara-negara di wilayah 
tersebut. Semakin banyak korban 
dilindungi oleh negara, semakin mereka 
akan berkerjasama dengan negara pada 
tahap penuntutan, dan idealnya, semakin 
banyak kepercayaan akan tercipta. 
JADI SIAPA YANG HARUSNYA LEBIH 
MENGETAHUI TENTANG MASALAH INI? 
Semua penegak hukum: polisi, jaksa 
penuntut, hakim, pengacara, termasuk 
psikolog dan pekerja sosial yang terlibat. 
NON-KRIMINALISASI: 
korban anak sering ditangkap, ditahan, 
dituntut dan kadang-kadang dituntut 
untuk kegiatan yang melanggar hukum 
terkait dengan perdagangan seperti masuk 
secara ilegal ke negara itu dan terlibat 
dalam prostitusi. Korban anak tidak boleh 
dikriminalisasi karena menjadi sasaran 
kejahatan ESKA. Kriminalisasi korban 
trafficking juga dilarang oleh Prinsip
2002 (Guideline 5), the 2005 European 
Trafficking Protocol (Article 26), and by 
the 2011 European Trafficking Directive 
(Article 8). It is imperative that when 
children report commercial sexual 
exploitation and trafficking to police, 
they are protected from prosecution 
themselves. 
VICTIM IDENTIFICATION: 
Prompt victim identification is a primary 
method of avoiding criminalization. 
Furthermore, identification of the 
victims protects his/her rights. The 
UNODC, in its “On Line Toolkit to Combat 
Trafficking in Person” developed 
strategy for the identification of the 
victims. UNODC underlined the actions 
that all states, intergovernmental 
and non-governmental organizations 
should follow, including to produce 
guidelines and procedures for state 
authority and officials to permit for 
a rapid and accurate identification. 
The police and social workers 
should be trained on and be able to 
identify the so called “indicators” of 
different potential crimes related to 
child sexual abuse - from trafficking 
to prostitution, child sexual abuse 
material, neglect, or sexual violence. 
MEDICAL TREATMENT: 
Immediate medical assistance should 
include, at a minimum, health screening 
aimed at identifying the possible necessary 
care to be subsequently pursued. It is 
important to know which kind of traumas 
Regional Conference on Legal Protection for Child Victims of Sexual Exploitation in Southeast Asia 
32 
dan Pedoman traffiking 2002 (Pedoman 
5), Protokol Perdagangan Manusia Eropa 
2005 (Pasal 26), dan pada 2011 Intruksi 
Perdagangan Orang Eropa (Pasal 8). 
Selain itu, juga sangat penting bahwa 
ketika anak-anak melaporkan eksploitasi 
seksual komersial dan perdagangan ke 
polisi, mereka dilindungi dari penuntutan 
itu sendiri. 
IDENTIFIKASI KORBAN: 
Identifikasi korban dengan cepat adalah 
metode utama untuk menghindari 
kriminalisasi. Selain itu, identifikasi 
para korban juga untuk melindungi 
haknya. UNODC, dalam “Peralatan 
online untuk Memberantas Perdagangan 
Orang” mengembangkan strategi yang 
untuk identifikasi korban. UNODC 
menggarisbawahi tindakan semua negara, 
pemerintah maupun organisasi non-pemerintah 
harus terlibat, termasuk 
untuk menghasilkan pedoman dan 
prosedur otoritas negara dan pejabat yang 
memungkinkan untuk identifikasi cepat dan 
akurat. Para polisi dan pekerja sosial harus 
dilatih agar mampu mengidentifikasi apa 
yang disebut sebagai “indikator” kejahatan 
potensial terkait dengan pelecehan seksual 
anak - dari perdagangan, prostitusi, 
pelecehan seksual anak, kelalaian, atau 
kekerasan seksual. 
PERAWATAN MEDIS: 
bantuan medis yang cepat harus mencakup, 
minimal, pemeriksaan kesehatan yang 
bertujuan untuk mengidentifikasi 
perawatan yang diperlukan. Penting untuk
the victim may have suffered to be ready 
to assist the child with appropriate 
support. Particular attention should be 
paid to the nature of the crime under 
consideration: as a sexual crimes’ victim, 
the child should undergo specific analysis 
intended to exclude sexually transmitted 
diseases (STD). Furthermore, preliminary 
psychological support should begin. 
SAFE ACCOMMODATION: 
The location selected to accommodate a 
child victim who comes forward must be a 
secure place, where the victim is protected 
from the accused persons and other 
potential traumatic dangers. Recovery 
programs should start as soon as possible. 
CHILD-FRIENDLY INTERVIEWS, DATA 
COLLECTION AND PSYCHOLOGICAL 
ASSISTANCE: 
In a criminal law context, there is 
a need for child friendly procedures 
for taking evidence from CSEC 
victims - from when they report the 
crime, to when evidence is given 
Konferensi Regional : Perlindungan Hukum untuk anak korban eksploitasi seksual di Asia tenggara 
33 
mengetahui jenis trauma korban, sehingga 
bisa langsung ditangani dengan perawatan 
yang tepat. Kasus-kasus tertentu 
membutuhkan perhatian khusus seperti: 
sebagai korban kejahatan seksual, anak 
harus menjalani analisis spesifik untuk 
mengidentifikasi penyakit menular seksual 
(PMS). Selain itu, dukungan psikologis 
harus dimulai dari awal. 
PENAMPUNGAN YANG AMAN: 
Lokasi yang dipilih untuk menampung anak 
korban kejahatan seksual harus menjadi 
tempat yang aman, di mana korban 
dilindungi dari terdakwa dan potensi bahaya 
traumatis lainnya. Program pemulihan 
harus dimulai sesegera mungkin. 
TEKNIK WAWANCARA RAMAH 
ANAK, PENDATAAN DAN BANTUAN 
PSIKOLOGIS: 
Dalam konteks hukum pidana, ada 
kebutuhan untuk prosedur yang ramah 
anak dalam mengambil bukti dari korban 
ESKA – semenjak mereka melaporkan 
kejahatan, hingga ketika bukti-
in court. Interrogations during the 
investigation phase must follow 
specific rules for the protection of 
the child victims (eg. female police 
officers, psychologist assisting 
the interrogation, no repeated 
questioning of the victim, use of 
child-friendly rooms and techniques 
of interrogation). The video recording 
of the interrogation might be helpful 
for future use in court, in order to 
prevent the child from having to re-testify 
Regional Conference on Legal Protection for Child Victims of Sexual Exploitation in Southeast Asia 
34 
in person during trial. 
PROTECTED PARTICIPATION: 
Child sensitive procedures must be set 
during the trial phase, in particular 
during the hearing. The child’s particular 
vulnerability, associated with the 
potential risk of intimidation, impose 
the adoption of all possible measures 
to limit psychological damages (also 
related to the sight of the accused 
person). Material and legal techniques 
can range from the equipment of the 
interview room specifically designed 
for children, to the use of closed-circuit 
television or video conference 
during the testimony and the use of 
witness pre-trial statement instead of 
court testimony. 
LEGAL ASSISTANCE: 
To ensure that child victims are 
informed, their views heard and taken 
into account, and their best interests 
respected in the legal process, legal 
assistance should be provided. The legal 
guardian has several responsibilities 
including appointing a lawyer, acting as 
bukti sudah diberikan ke pengadilan. 
Interogasi selama tahap penyelidikan 
juga harus mengikuti aturan khusus 
untuk perlindungan korban [anak] 
(misalnya polisi wanita, psikolog yang 
membantu interogasi, pertanyaan 
tidak diulang-ulang, penggunaan ruang 
ramah anak dan teknik interogasi). 
Rekaman video interograsi mungkin 
bisa membantu untuk digunakan di 
pengadilan nantinya, untuk mencegah 
anak dari keharusan bersaksi lagi 
selama persidangan. 
PARTISIPASI YANG DILINDUNGI: 
Prosedur sensitif Anak harus diatur 
selama fase uji coba, khususnya 
selama sidang. Kerentanan anak, 
dikaitkan dengan risiko potensi 
intimidasi, memaksakan penerapan 
semua tindakan yang mungkin untuk 
membatasi kerusakan psikologis (juga 
terkait dengan tatapan terdakwa). 
Bahan dan teknik hukum dapat berkisar 
dari peralatan di ruang wawancara yang 
khusus dirancang untuk anak-anak, 
penggunaan televisi tertutup atau 
video conference selama kesaksian 
dan penggunaan penyataan saksi pra-sidang 
bukan kesaksian pengadilan. 
BANTUAN HUKUM: 
harus dipastikan bahwa korban [anak] 
mendapatkan informasi, pendapat 
mereka didengar dan diperhitungkan, 
dan kepentingan terbaik mereka 
dihormati dalam proses hukum, dan 
harus diberikannya bantuan hukum.
a legal representative in all proceedings, 
assisting the child during the hearing/ 
interview, explaining the judicial 
decisions to the child and ensuring the 
child fully understands all processes. *** 
Konferensi Regional : Perlindungan Hukum untuk anak korban eksploitasi seksual di Asia tenggara 
35 
Heru Kasidi, 
Representative from the Indonesian 
Ministry of Women Empowerment and 
Child Protection 
The potential for violence against 
children exists at every phase. In 
the poorest families it stems from 
the hardships of life and social 
environmental conditions that 
allow for violence against children. 
Children who grow up in depraved 
families and are accustomed to 
experiencing violence may behave 
the same way in their adulthood. 
They may turn to become very 
aggressive adults. 
Meanwhile in better-off families, 
abuse takes the form of maltreatment 
by providing children with excessive 
material possession and depriving 
them of personal, healthy guidance. 
Various surveys and media analysis 
showed that violence against 
children have been increasing, both 
in quality and quantity. Poor social 
and economic environment also 
leave children vulnerable to all sorts 
of violence, bullying, rape and other 
forms of abuse. 
Involvement of children in prostitution 
is no longer a myth but a fact. They 
are not only trafficked for purposes 
Wali hukum memiliki beberapa tanggung 
jawab termasuk menunjuk pengacara, 
bertindak sebagai kuasa hukum dalam 
semua proses, membantu anak selama 
sidang / wawancara, menjelaskan 
keputusan pengadilan kepada anak dan 
memastikan bahwa anak sepenuhnya 
memahami semua proses. *** 
Heru Kasidi, 
Perwakilan dari Kementrian 
Pemberdayaan Perempuan dan 
Perlindungan Anak 
Potensi kekerasan terhadap anak ada 
pada setiap tahap. Pada keluarga 
termiskin yang berasal dari sulitnya 
hidup dan kondisi lingkungan sosial 
yang memungkinkan terjadinya 
kekerasan terhadap anak. Anak-anak 
yang tumbuh dalam keluarga bejat 
dan terbiasa mengalami kekerasan 
dapat berperilaku dengan cara yang 
sama di masa dewasa mereka. Mereka 
bisa berubah menjadi orang dewasa 
yang sangat agresif. 
Sementara di keluarga yang lebih 
baik, bentuk penganiayaannya 
adalah dengan cara memfasilitasi 
anak-anak secara berlebihan serta 
menghilangkan privasi dan bimbingan 
kesehatan. Berbagai survei dan 
analisis media menunjukkan bahwa 
kekerasan terhadap anak-anak telah 
meningkat, baik secara kualitas 
maupun kuantitas. Lingkungan 
sosial dan ekonomi yang buruk 
juga menjadikan anak-anak rentan 
terhadap berbagai macam kekerasan
of prostitution but also as objects of 
pornography, for purposes of begging 
on the streets, domestic workers and 
other exploitative occupations. 
Various violent behaviors against 
children and teens are a result of the 
process of imitating behaviors of elders, 
peers, external and internal influences. 
The problem is immaturity, and an 
inability to separate the good and the 
bad from the various information that 
they receive. A critical point from 
this imitating phase in children is the 
lack of a strong figure in their family 
and community for the adoption of 
noble, moral and ethical values. The 
more dominant information that most 
children receive and watch is those that 
feature violence, direct or indirect, via 
media presentation and video games. 
Various studies indicate that information 
that contains elements of violence can 
lead to more aggressive minds, emotions 
and behaviors in children. Living in a 
harsh and aggressive condition from a 
young age can cultivate the perception 
that violence is a form of problem 
solving. 
The increase of violence against 
children and women is an indicator 
of poor public mental health and 
psychological factors influenced by 
economic, social, political and cultural 
conditions. Children suffer various 
multidimensional crises causing a lot 
of stress and anxiety. 
Poverty and ignorance are the bane of a 
society. This is compounded by cultural 
norms and tradition, where children 
Regional Conference on Legal Protection for Child Victims of Sexual Exploitation in Southeast Asia 
36 
seperti bullying, pemerkosaan, dan 
bentuk pelecehan lainnya. 
Keterlibatan anak-anak dalam 
prostitusi bukan lagi sebuah mitos 
tapi kenyataan. Mereka tidak 
hanya diperdagangkan untuk tujuan 
prostitusi tetapi juga sebagai objek 
pornografi, mengemis dijalanan, 
pembantu rumah tangga, dan 
pekerjaan eksploitatif lainnya. 
Berbagai perilaku kekerasan terhadap 
anak-anak dan remaja adalah 
hasil dari proses meniru perilaku 
orang tua, teman sebaya, pengaruh 
eksternal dan pengaruh internal. 
Masalahnya adalah ketidakdewasaan, 
dan ketidakmampuan mereka untuk 
memisahkan yang baik dan yang 
buruk dari berbagai informasi yang 
mereka terima. Sebuah titik kritis 
dari tahap meniru ini pada anak-anak 
adalah kurangnya sosok kuat dalam 
keluarga dan komunitas mereka 
untuk mengadopsi nilai-nilai luhur, 
moral dan etika. Informasi yang 
dominan adalah kebanyakan anak-anak 
menerima dan menonton orang-orang 
yang melakukan kekerasan 
secara langsung, melalui media 
ataupun video game. 
Berbagai penelitian menunjukkan 
bahwa informasi yang mengandung 
unsur kekerasan dapat menyebabkan 
pikiran lebih agresif, emosi dan 
perilaku pada anak-anak. Hidup 
dalam kondisi yang keras dan agresif 
dari usia muda dapat menumbuhkan 
presepsi bahwa kekerasan adalah 
suatu bentuk pemecahan masalah.
are considered as the property of their 
parents where parents have the right to do 
anything, even conduct violence towards 
their children. Meanwhile, there is the 
lack of proper parenting and an education 
system that tends to limit a child’s 
freedom to express creatively in a healthy 
environment, which has contributed to 
the creation of an unsafe, uncomfortable 
environment for a child’s growth and 
development. 
Therefore, it is often that the child will 
run away from home and tends to be 
easily influenced and vulnerable. We have 
also lost a lot of playgrounds and public 
space used for sport gatherings for teens 
and children where they can channel their 
happiness on the field. We have forgotten 
to channel children’s participation in 
various decision-making processes through 
public spaces. 
According to a public census in 2010, 34.6 
per cent of the Indonesian population is 
comprised of children. The national survey 
data in 2009 showed that 28 per cent of 
children live in the poorest families, 23 
per cent in second poorest income bracket 
households, and just 13 per cent lived in 
the society’s richest families. 
More than half of Indonesian children 
are living in a violence-prone condition. 
A mapping done by the Ministry of 
Women Empowerment and Children 
Protection in 2010 also showed an 
astonishing fact: in several locations 
across Indonesia like Tasikmalaya, 
Pare-Pare and North Sumatra, children 
considered victims of abuse ran in the 
hundreds in every region. 
Konferensi Regional : Perlindungan Hukum untuk anak korban eksploitasi seksual di Asia tenggara 
37 
Peningkatan kekerasan terhadap 
anak dan perempuan merupakan 
indicator bahwa kesehatan mental 
dan psikologis masyarakat yang 
buruk ini dipengaruhi oleh kondisi 
ekonomi, sosial, politik dan budaya. 
Anak-anak menderita berbagai krisis 
multidimensi yang menyebabkan 
stres dan kecemasan. 
Kemiskinan dan kebodohan adalah 
kutukan dari masyarakat. Hal ini 
diperparah oleh norma-norma budaya 
dan tradisi, dimana anak-anak dianggap 
sebagai milik orang tua di mana orang 
tua memiliki hak untuk melakukan 
apa pun, bahkan melakukan kekerasan 
terhadap anak-anaknya sendiri. 
Sementara itu, kurangnya pengasuhan 
yang tepat dan sistem pendidikan 
yang cenderung membatasi kebebasan 
anak untuk mengekspresikan diri 
secara kreatif dalam lingkungan yang 
sehat, telah memberikan kontribusi 
terhadap penciptaan rasa tidak aman 
dan lingkungan yang tidak nyaman bagi 
pertumbuhan dan perkembangan anak. 
Oleh karena itu, anak sering lari 
dari rumah dan cenderung mudah 
dipengaruhi dan rentan. Kami juga 
telah banyak kehilangan taman 
bermain dan ruang publik yang biasa 
digunakan untuk ruang pertemuan 
atau olahraga untuk remaja dan 
anak-anak di mana mereka dapat 
menyalurkan kebahagiaan mereka 
di lapangan. Kita lupa untuk 
menyalurkan partisipasi anak 
dalam berbagai proses pengambilan 
keputusan melalui ruang publik.
Also, according a 2009 research in 
North Sulawesi, more than 50 children 
were found to be victims of sexual 
exploitation and were forced to 
work across entertainment venues 
in the provincial capital of Manado. 
Separately, a 2010 survey conducted 
across 5 subdistricts in Timor Barat, 
East Nusa Tenggara, also found that 
parents were the main perpetrators in 
abuse towards children: 65 per cent of 
physical abuse was conducted by the 
mothers and 13 per cent by the fathers. 
Specifically for child abuse cases 
in East Nusa Tenggara, the primary 
perpetrators are the mothers. We 
need to think about how to approach 
mothers with our information, and also 
the fathers of course, on violence. 
There is no specific national data 
on violence against children. But we 
tried to initiate one in 2006 via the 
national economic social survey, and 
at the time we had found a three to 
six per cent prevalence. 
For this year, Indonesia has recently 
completed data collection from a wide-ranging 
survey on violence against children 
covering 25 provinces and involving 11,000 
samples. So hopefully this can eventually 
present a representative number regarding 
violence against children in Indonesia. 
According to the Directorate General for 
Corrections at the Indonesian Justice 
Ministry, in 2011, records show that 
there were 54,712 child offenders in 
Indonesia, and most of them already 
received sentences. The provinces of 
Jambi, Banten and West Papua have the 
Regional Conference on Legal Protection for Child Victims of Sexual Exploitation in Southeast Asia 
38 
Menurut sensus publik pada tahun 
2010, 34,6 % penduduk Indonesia 
terdiri dari anak-anak. Data survei 
nasional pada tahun 2009 menunjukan 
bahwa 28 % anak-anak hidup dalam 
keluarga termiskin, 23% hidup 
keluarga golongan kedua termiskin, 
dan hanya 13% hidup di keluarga kaya. 
Lebih dari separuh anak-anak 
Indonesia hidup dalam kondisi rawan 
kekerasan. Pemetaan yang dilakukan 
oleh Kementerian Pemberdayaan 
Perempuan dan Perlindungan Anak 
pada tahun 2010 juga menunjukkan 
fakta mencengangkan: di beberapa 
lokasi di seluruh Indonesia seperti 
Tasikmalaya, Pare-Pare dan Sumatera 
Utara, anak-anak yang dianggap 
korban pelecehan ada ratusan di 
setiap daerah. 
Dan juga, menurut penelitian 2009 di 
Sulawesi Utara, lebih dari 50 anak-anak 
yang ditemukan menjadi korban 
eksploitasi seksual dan dipaksa untuk 
bekerja di tempat hiburan di ibukota 
provinsi Manado. Secara terpisah, 
sebuah survei 2010 yang dilakukan 
di 5 kecamatan di Timor Barat, Nusa 
Tenggara Timur, juga menemukan 
bahwa orang tua adalah pelaku utama 
dalam pelecehan terhadap anak-anak: 
65 % kekerasan fisik dilakukan 
oleh ibu-ibu dan 13 % oleh ayah. 
Khusus untuk kasus-kasus kekerasan 
terhadap anak di Nusa Tenggara 
Timur, pelaku utamanya adalah ibu. 
Kita perlu berpikir tentang bagaimana 
cara mendekati ibu, dan juga ayah 
pastinya, mengenai kekerasan.
most child offenders. Five Indonesian 
provinces - South Sulawesi, South 
Kalimantan, Central Kalimantan, Central 
Sulawesi and Southeast Sulawesi - have 
the most juveniles prone to violence, 
ranging from 200 to 300 children for 
each province. 
To increase children’s participation in 
decision-making processes, we plan to 
create a medium-term development 
plan for the 2015-2019 period, which 
shall include the creation of a forum 
to include children in decision-making. 
Children’s participation can provide 
additional value, like their decision-making 
abilities for traffic regulations 
and the creation of public space, for 
example. We have done a review of 
many existing regulations. They have 
not included other sectors that should be 
able to contribute to the development 
of children’s rights. Therefore for the 
2015-2019 period we are going to start 
to include the fulfillment of children’s 
rights in development programs in every 
sector.**** 
Konferensi Regional : Perlindungan Hukum untuk anak korban eksploitasi seksual di Asia tenggara 
39 
Tidak ada data nasional khusus 
tentang kekerasan terhadap anak. 
Tapi kami mencoba untuk memulainya 
pada tahun 2006 melalui survei sosial 
ekonomi nasional, dan pada saat itu 
kami telah menemukan tiga sampai 
enam persen prevalensi. 
Untuk tahun ini, Indonesia baru saja 
menyelesaikan pengumpulan data dari 
survei skala besar tentang kekerasan 
terhadap anak meliputi 25 provinsi 
dan melibatkan 11.000 sampel. Jadi 
semoga pada akhirnya nanti, survey 
ini dapat menyajikan sejumlah angka 
yang mewakili kekerasan terhadap 
anak di Indonesia 
Menurut Direktorat Jenderal 
Pemasyarakatan Kementerian Kehakiman 
Indonesia, pada tahun 2011, catatan 
menunjukkan bahwa ada 54.712 pelanggar 
[anak] di Indonesia, dan sebagian besar 
sudah menerima hukuman. Provinsi 
Jambi, Banten dan Papua Barat memiliki 
paling banyak pelanggar [anak]. Lima 
propinsi di indonesia – Sulawesi Selatan, 
Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, 
Sulawesi Tengah, dan Sulawesi Tenggara-memiliki 
paling banyak remaja yang 
rentan terhadap kekerasan, mulai 
dari 200 sampai 300 anak untuk setiap 
provinsi. 
Untuk meningkatkan partisipasi anak 
dalam proses pengambilan keputusan, 
kami berencana untuk membuat 
rencana pembangunan jangka 
menengah untuk periode 2015-2019, 
yang meliputi penciptaan forum 
untuk memasukkan anak-anak dalam 
pengambilan keputusan. Partisipasi
Regional Conference on Legal Protection for Child Victims of Sexual Exploitation in Southeast Asia 
40 
anak dapat memberikan nilai tambah, 
seperti pengambilan keputusan dalam 
peraturan lalu lintas dan penciptaan 
ruang publik, misalnya. Kami telah 
melakukan review banyak peraturan 
yang ada. Belum termasuk sektor-sektor 
lain, yang harus mampu 
memberikan kontribusi terhadap 
perkembangan hak-hak anak. Oleh 
karena itu untuk periode 2015-2019 
kami akan mulai untuk memasukkan 
pemenuhan hak-hak anak dalam 
program pembangunan di setiap 
sektor.****
Konferensi Regional : Perlindungan Hukum untuk anak korban eksploitasi seksual di Asia tenggara 
41 
INTERNATIONAL LEGAL 
STANDARDS IN THE 
PROTECTION OF CHILD 
VICTIMS OF SEXUAL CRIME 
Presentations By: 
Anjan Bose, Seila Samleang, Tim 
Dwyer, and Ali Aulia Ramly 
Anjan Bose, 
Program Officer, ICT and Child 
Protection, ECPAT International 
On protecting child victims of sexual 
crimes and laws that are linked to child 
sexual abuse materials, what is required 
is a clear definition of child pornography 
in the legislation. There also needs to 
be the criminalization of all acts related 
to child pornography. Legal protection 
should address compensation, recovery 
and reintegration as outlined in key 
International instruments. The Optional 
Protocol on Sale of Children, Child 
Prostitution and Child Pornography, or 
OPSC, delivers specific considerations 
to this effect, and to the obligation of 
a country on providing rehabilitation 
for victims of sexual crimes against 
children. 
In terms of definition, Article 
2 of the OPSC states the 
following: 
“Any representation, by whatever 
means, of a child engaged in real or 
simulated explicit sexual activities 
or any representation of the sexual 
STANDAR INTERNASIONAL 
TENTANG PERLINDUNGAN 
HUKUM BAGI ANAK KORBAN 
KEJAHATAN SEKSUAL 
Presentasi dari: 
Anjan Bose, SeilaSamleang, Timothy 
Dwyer, dan Ali Aulia Ramly 
Anjan Bose, 
Program Officer, ICT dan Perlindungan 
anak, ECPAT International 
Untuk melindungi anak-anak korban 
kejahatan dan pelecehan seksual secara 
hukum, apa yang dibutuhkan? sebuah 
definisi yang jelas tentang pornografi 
anak dalam undang-undang. Perlu juga 
kriminalisasi semua tindakan yang 
berhubungan dengan pornografi anak. 
Perlindungan hukum harus membahas 
kompensasi, pemulihan dan reintegrasi 
sebagaimana yang dituangkan dalam 
instrumen internasional utama. Optional 
Protocol on Sale of Children, Child 
Prostitution and Child Pornography atau 
OPSC, memberikan pertimbangan khusus, 
dan kewajiban negara untuk memberikan 
rehabilitasi bagi korban kejahatan seksual 
terhadap anak-anak. 
DALAM HAL DEFINISI, PASAL 2 OPSC 
MENYATAKAN: 
“Setiap gambaran, dengan cara apapun 
seorang anak terlibat kegiatan seksual 
yang nyata atau simulasi atau gambaran 
dari bagian-bagian seksual seorang 
anak terutama untuk tujuan seksual “.
parts of a child for primarily sexual 
purposes”. When it comes to Southeast 
Asian nations, for instance, Cambodia’s 
definition of child pornography is only 
partially compliant with the OPSC. 
Article 40 of the Cambodian Law on 
Suppression of Human Trafficking 
and Sexual Exploitation states the 
following: “A visible material such as 
a photograph or videotape, including 
material in electronic form, depicting 
a minor’s naked figure which excites 
or stimulates sexual desire.” In the 
Philippines, the definition is fully 
compliant with the OPSC. Law No. 
44 in Indonesia includes a definition. 
However, both Thailand and Vietnam 
do not define child pornography 
specifically in their legislation. 
A child-safe definition should include 
visual, audio and written representations 
of children. This is the case when it 
comes to Indonesia, Philippines and 
Thailand, but not so for Cambodia 
and Vietnam [does not include audio 
and written representations of child 
pornography]. When it comes to child 
pornography, the OPSC requires state 
parties to cover under their criminal 
or penal law, all acts of producing, 
distributing, disseminating, importing 
or exporting, offering, selling and 
possession. 
Standard legislation is key to 
addressing the problem but simply 
ratifying international instruments 
is not enough. It has to be reflected 
in the implementation and the 
national plans. Many countries still 
use obscenity and morality clauses 
Regional Conference on Legal Protection for Child Victims of Sexual Exploitation in Southeast Asia 
42 
Ketika datang ke negara-negara Asia 
Tenggara, misalnya, definisi Kamboja 
tentang pornografi anak tidak begitu 
sesuai dengan OPSC tersebut. Pasal 40 
UU Kamboja mengenai Pemberantasan 
Perdagangan Manusia dan Eksploitasi 
Seksual menyatakan: “Sebuah benda 
yang terlihat seperti foto atau 
rekaman video, termasuk dalam 
bentuk elektronik, menggambarkan 
sosok telanjang di bawah umur yang 
menggairahkan atau merangsang 
hasrat seksual” di Filipina, definisi ini 
sepenuhnya kompatibel dengan OPSC. 
Undang-undang Nomor 44 di Indonesia 
menyebutkan definisi tersebut, 
namun Thailand dan Vietnam tidak 
mendefinisikan pornografi anak secara 
khusus dalam undang-undang mereka. 
Definisi yang aman bagi anak harus 
mencakup visual, audio dan gambaran 
tertulis dari anak. Hal ini terjadi ketika 
datang ke Indonesia, Filipina dan 
Thailand, tapi tidak demikian Kamboja 
dan Vietnam [tidak termasuk representasi 
audio dan representasi tertulis pornografi 
anak]. Ketika terkait ke pornografi 
anak, OPSC membutuhkan negara 
untuk melindungi hukum pidana, semua 
tindakan memproduksi, mendistribusikan, 
menyebarkan, mengimpor atau 
mengekspor, menawarkan, menjual dan 
kepemilikan. 
Undang-undang standar adalah kunci 
untuk mengatasi masalah tetapi hanya 
meratifikasi instrumen internasional 
saja tidak cukup. Tetapi harus 
tercermin dalam pelaksanaan dan 
rencana nasional. Banyak negara masih 
menggunakan klausul pencabulan dan
to tackle the issue of child abuse 
and does not provide the necessary 
framework for tackling the problem. 
The definition of child abuse images 
do not exist in many legislations 
and as such makes sentencing 
difficult. There still exists different 
interpretations of sexual activities/ 
images according to the cultural 
context. Some issues of child abuse 
images are not well understood by 
legislators. Compensation schemes 
and child friendly processes are not 
mainstreamed across all countries. 
EXAMPLES OF PROCEDURAL CRIMINAL 
LAWS IN THE PROTECTION OF CHILD 
ABUSE VICTIMS: 
Key considerations include the 
admissibility of electronic evidence 
and the need to identify relevant law 
enforcement authorities. In Singapore, 
for instance, admissibility of all 
evidence, electronic or otherwise, is 
governed by the Evidence Act. Recent 
amendments were made to the Evidence 
Act in 2012 relating to admissibility: the 
definition of “computer output” was 
deleted; the definition of “document” 
was amended to include multimedia 
[audio, video] and magnetic media; 
the definitions of “copy of document” 
and “electronic records” were 
introduced and electronic evidence 
will be treated like all other forms of 
evidence. Statutory presumptions of 
authenticity of such electronic records 
were introduced. 
Konferensi Regional : Perlindungan Hukum untuk anak korban eksploitasi seksual di Asia tenggara 
43 
moralitas untuk menangani masalah 
kekerasan terhadap anak dan tidak 
memberikan kerangka yang diperlukan 
untuk mengatasi masalah tersebut. 
Definisi gambar pelecehan anak tidak 
ada di banyak peraturan perundang-undangan. 
Masih ada interpretasi yang 
berbeda dari kegiatan seksual / gambar 
dengan konteks budaya. Beberapa 
masalah pelecehan anak dalam bentuk 
gambar tidak dipahami oleh legislator. 
Skema kopensasi dan proses ramah 
anak juga tidak diutamakan di banyak 
negara. 
CONTOH HUKUM PROSEDURAL PIDANA 
DALAM PERLINDUNGAN KORBAN 
[ANAK] PELECEHAN SEKSUAL: 
pertimbangan utama meliputi 
diterimanya bukti elektronik dan 
pengidentifikasian penegak hukum 
yang relevan. Di Singapura, misalnya, 
penerimaan semua bukti elektronik 
atau yang lainnya diatur oleh Undang- 
Undang Bukti. Oleh karena itu, UU 
Bukti pada tahun 2012 diamandemen: 
definisi “output komputer” telah 
dihapus; definisi “dokumen” 
diubah dengan memasukan konten 
multimedia [audio, video] dan 
media magnetik; definisi “salinan 
Dokumen” dan “catatan elektronik” 
diperkenalkan, dan bukti elektronik 
akan diperlakukan seperti semua 
bentuk bukti lainnya. Praduga 
keaslian catatan elektronik juga 
diperkenalkan.
SINGAPORE - AUTHENTICITY OF 
ELECTRONIC RECORDS: 
The ordinary process presumption - 
unless evidence sufficient to raise 
doubt about the presumption is 
adduced, where a device or process 
is one that, or is of a kind that, if 
properly used, ordinarily produces or 
accurately communicates an electronic 
record, the court shall presume that 
in producing or communicating that 
electronic record on the occasion 
in question, the device or process 
produced or accurately communicated 
the electronic record. 
Take the example of a man who seeks 
to adduce evidence in the form of 
an electronic record or document 
produced by an electronic device or 
process. Such evidence could include 
but is not limited to telephone call 
records or digital photographs. He 
proves that the electronic device/ 
process, if properly used, can produce 
electronic records or documents. 
This is a relevant fact for the court 
to presume that in producing the 
electronic record or document on the 
occasion in question, the electronic 
device or process produced the 
electronic record or document which 
the seeks to adduce. 
The Third Party presumption - unless 
evidence to the contrary is adduced, the 
court shall presume that any electronic 
record generated, recorded or stored 
is authentic if it is established that 
the electronic record was generated, 
recorded or stored in the usual and 
Regional Conference on Legal Protection for Child Victims of Sexual Exploitation in Southeast Asia 
44 
SINGAPURA - KEASLIAN DOKUMEN 
ELEKTRONIK: 
Proses asumsi biasa - kecuali bukti yang 
cukup untuk meningkatkan keraguan 
tentang anggapan yang dikemukakan, 
di mana perangkat atau proses adalah 
salah satu yang, atau dari jenis yang, 
jika dipergunakan dengan benar 
biasanya menghasilkan data yang akurat, 
pengadilan harus memperimbangkannya, 
ketika seseorang berkomunikasi melalui 
perangkat elektronik, catatan elektronik 
pun dihasilkan. 
Ambil contoh seorang pria yang 
berusaha untuk mengemukakan bukti-bukti 
dalam bentuk catatan elektronik 
atau dokumen yang dihasilkan oleh 
perangkat elektronik. Bukti tersebut 
bisa mencakup semuannya tidak 
hanya pada catatan panggilan telepon 
atau foto digital. Dia membuktikan 
bahwa perangkat / proses elektronik, 
jika digunakan dengan benar, dapat 
menghasilkan catatan elektronik 
atau dokumen. Ini adalah fakta 
yang relevan bagi pengadilan 
untuk memperimbangkan bahwa 
memproduksi catatan elektronik atau 
dokumen, perangkat elektronik / 
proses menghasilkan catatan elektronik 
atau dokumen untuk mengungkapkan 
kebenaran sebagai bukti yang akurat. 
Pedapat Pihak Ketiga – Ketika bukti 
telah dikemukakan, pengadilan 
harus memastikan keaslian catatan 
elektronik tersebut. Oleh karena 
itu, diperlukan orang ketiga yang 
tidak terlibat dalam kasus ini untuk 
membuktikannya. Orang tersebut
ordinary course of business by a person 
who was not a party to the proceedings 
on the occasion in question and who 
did not generate, record or store it 
under the control of the party seeking 
to introduce the electronic record. 
Take the example of Mr. X seeking 
to adduce evidence against Ms. Y in 
the form of an electronic record. The 
fact that the electronic record was 
generated, recorded or stored in the 
usual and ordinary course of business 
by Ms. Z, a neutral third party, is a 
relevant fact for the court to presume 
that the electronic record is authentic. 
SINGAPORE - ADMISSION OF TEXT 
MESSAGES: 
If a mobile phone was seized and is in 
working condition, switching the phone on 
and showing the text message to the judge 
is acceptable. However, if the defense 
team alleges tampering or fabrication, 
the prosecution will be prejudiced by 
the phone’s memory not having been 
preserved intact since the seizure. The 
forensically and evidentially correct 
procedure would be to forensically create 
an image of the mobile phone’s memory 
and for the text message to be extracted 
from the forensic image. If a deleted 
text message is being relied upon, proper 
forensic examination, accompanied by a 
forensic report, would be required. 
Konferensi Regional : Perlindungan Hukum untuk anak korban eksploitasi seksual di Asia tenggara 
45 
yang mempunyai program untuk 
meneliti memastikan bahwa setiap 
catatan elektronik yang dihasilkan, 
direkam atau disimpan tersebut 
otentik. 
Ambil contoh Mr X berusaha untuk 
mengemukakan bukti terhadap Ms 
Y dalam bentuk catatan elektronik. 
Fakta bahwa catatan elektronik yang 
dihasilkan, direkam atau disimpan 
dalam program Ibu Z, pihak ketiga 
yang netral, adalah fakta yang 
relevan bagi pengadilan untuk 
berasumsi bahwa catatan elektronik 
itu otentik. 
SINGAPURA - PENERIMAAN PESAN TEKS: 
Jika ponsel disita dan dalam kondisi 
kerja, menyalakan telepon dan 
menampilkan pesan teks kepada 
hakim dapat diterima. Namun, jika 
tim pembela keberatan dan menuduh 
itu sebuah gangguan, penuntutan 
akan dirugikan oleh memori telepon 
yang tidak dilindungi kelengkapannya 
selama disita. Prosedur forensik 
dan pembuktiannya akan membuat 
gambar memori ponsel dan pesan 
teks akan diekstraksi secara forensik. 
Jika menghapus pesan teks menjadi 
andalan, pemeriksaan forensik yang 
tepat, disertai dengan laporan 
forensik, akan diperlukan.
BASICS ABOUT THE EXTRACTION 
AND PRESERVATION OF ELECTRONIC 
EVIDENCE: 
Ensure forensic best practices are 
complied with. Forensically reliable 
copies or mirrors to ensure originals 
are not affected by any subsequent 
forensic examination of the evidence. 
Any investigation and/or searches of the 
digital records should only be done on 
the copies and not the originals. Originals 
must be available for disclosure to the 
defense team should they wish to carry 
out their own forensic examination of the 
digital evidence. 
EXAMPLE OF THE PHILIPPINES’S 
CYBERCRIME PREVENTION ACT OF 
2012 - REPUBLIC ACT NO. 10175: 
Service providers are required to 
cooperate and assist law enforcement 
authorities in the collection or recording 
of traffic data in real-time associated 
with specified communications 
transmitted by means of a computer 
system. All other data to be collected 
or seized or disclosed will require a 
court warrant. Integrity of traffic data 
and subscriber information - preserved 
for a minimum period of six months 
from the date of the transaction. 
Content data shall be similarly 
preserved for six months from the 
date of receipt of the order from law 
enforcement authorities requiring 
its preservation. Law enforcement 
authorities may order a one-time 
extension for another six months - 
provided that once computer data 
Regional Conference on Legal Protection for Child Victims of Sexual Exploitation in Southeast Asia 
46 
DASAR-DASAR TENTANG EKSTRAKSI 
DAN PEMELIHARAAN BUKTI 
ELEKTRONIK: 
Pastikan langkah langkah forensik 
yang benar dipenuhi. Salinan forensik 
diandalkan untuk memastikan keaslian, 
tidak terpengaruh oleh pemeriksaan 
bukti forensik berikutnya. Penyelidikan 
dan / atau pencarian catatan digital 
hanya boleh dilakukan pada salinan 
dan bukan aslinya. Originalitas harus 
tersedia untuk keterbukaan informasi 
kepada tim pembela, yang mana mereka 
ingin melakukan pemeriksaan forensik 
bukti digital mereka sendiri. 
CONTOH, UNDANG-UNDANG 
PENCEGAHAN CYBERCRIME DI FILIPINA 
TAHUN 2012 - UNDANG-UNDANG 
REPUBLIK NOMOR 10175: 
Penyedia layanan yang diperlukan 
untuk bekerja sama dan membantu 
aparat penegak hukum dalam 
pengumpulan atau perekaman data 
lalu lintas secara real-time yang 
terkait dengan komunikasi ditentukan 
melalui sistem komputer. Semua data 
lain yang dikumpulkan atau disita 
akan membutuhkan surat perintah 
pengadilan. Integritas lalu lintas data 
dan informasi pelanggan - dilindungi 
untuk jangka waktu minimal enam 
bulan dari tanggal transaksi. 
Data Konten harus dilindungi juga selama 
enam bulan sejak tanggal diterimanya 
perintah dari aparat penegak hukum. 
Penegak hukum dapat memerintahkan 
perpanjangan satu kali selama enam 
bulan - dengan ketentuan bahwa data
preserved, transmitted or stored by 
a service provider is used as evidence 
in a case, the mere furnishing to such 
service provider of the transmittal 
document to the Office of the Prosecutor 
shall be deemed a notification to 
preserve the computer data until the 
termination of the case. The service 
provider ordered to preserve computer 
data shall keep confidential the order 
and its compliance. 
All computer data, including content 
and traffic data, examined under a 
proper warrant shall, within forty-eight 
hours after the expiration of the 
period fixed therein, be deposited with 
the court in a sealed package, and shall 
be accompanied by an affidavit of the 
law enforcement authority executing 
it stating the dates and times covered 
by the examination, and the law 
enforcement authority who may access 
the deposit, among other relevant 
data. 
The law enforcement authority shall 
also certify that no duplicates or 
copies of the whole or any part thereof 
have been made, or if made, that all 
such duplicates or copies are included 
in the package deposited with the 
court. The package so deposited shall 
not be opened, or the recordings 
replayed, or used in evidence, or 
then contents revealed, except upon 
order of the court, which shall not 
be granted except upon motion, with 
due notice and opportunity to be 
heard to the person or persons whose 
conversation or communications have 
been recorded.**** 
Konferensi Regional : Perlindungan Hukum untuk anak korban eksploitasi seksual di Asia tenggara 
47 
komputer yang digunakan sebagai 
bukti sebuah kasus pernah diawetkan, 
ditransmisikan atau disimpan oleh 
penyedia layanan, seperti mengirimkan 
dokumen ke Kantor Kejaksaan akan 
dianggap sebagai pemberitahuan untuk 
memelihara data komputer sampai 
penghentian kasus tersebut. Penyedia 
layanan diperintahkan untuk menjaga 
kerahasiaan dan mempertahankan data 
komputer. 
Semua data komputer, termasuk 
konten dan lalu lintas data, diperiksa 
di bawah surat perintah, dalam waktu 
empat puluh delapan jam setelah 
berakhirnya waktu yang ditetapkan, 
akan disimpan di pengadilan secara 
tertutup, dan harus disertai dengan 
surat pernyataan dari otoritas penegak 
hukum disertai tanggal dan waktu 
selama pelaksanaan pemeriksaan, dan 
kewenangan penegak hukum untuk 
mengakses deposit, antara data-data 
yang relevan. 
Otoritas penegakan hukum juga harus 
memastikan bahwa tidak ada duplikat 
atau salinan semua atau sebagian 
dari data tersebut, atau jika dibuat, 
semua duplikat atau salinan tersebut 
termasuk dalam paket yang disimpan 
pengadilan. Paket yang disimpan tidak 
akan dibuka, diputar, atau digunakan 
sebagai bukti, atau kemudian isinya 
diungkapkan kecuali atas perintah 
pengadilan, yang mana tidak akan 
diberikan kecuali pada mosi, dengan 
pemberitahuan dan kesempatan 
untuk mendengarkan percakapan atau 
komunikasi yang telah direkam. ****
Konferensi Perlindungan Hukum untuk Korban Eksploitasi Seksual di Asia Tenggara
Konferensi Perlindungan Hukum untuk Korban Eksploitasi Seksual di Asia Tenggara
Konferensi Perlindungan Hukum untuk Korban Eksploitasi Seksual di Asia Tenggara
Konferensi Perlindungan Hukum untuk Korban Eksploitasi Seksual di Asia Tenggara
Konferensi Perlindungan Hukum untuk Korban Eksploitasi Seksual di Asia Tenggara
Konferensi Perlindungan Hukum untuk Korban Eksploitasi Seksual di Asia Tenggara
Konferensi Perlindungan Hukum untuk Korban Eksploitasi Seksual di Asia Tenggara
Konferensi Perlindungan Hukum untuk Korban Eksploitasi Seksual di Asia Tenggara
Konferensi Perlindungan Hukum untuk Korban Eksploitasi Seksual di Asia Tenggara
Konferensi Perlindungan Hukum untuk Korban Eksploitasi Seksual di Asia Tenggara
Konferensi Perlindungan Hukum untuk Korban Eksploitasi Seksual di Asia Tenggara
Konferensi Perlindungan Hukum untuk Korban Eksploitasi Seksual di Asia Tenggara
Konferensi Perlindungan Hukum untuk Korban Eksploitasi Seksual di Asia Tenggara
Konferensi Perlindungan Hukum untuk Korban Eksploitasi Seksual di Asia Tenggara
Konferensi Perlindungan Hukum untuk Korban Eksploitasi Seksual di Asia Tenggara
Konferensi Perlindungan Hukum untuk Korban Eksploitasi Seksual di Asia Tenggara
Konferensi Perlindungan Hukum untuk Korban Eksploitasi Seksual di Asia Tenggara
Konferensi Perlindungan Hukum untuk Korban Eksploitasi Seksual di Asia Tenggara
Konferensi Perlindungan Hukum untuk Korban Eksploitasi Seksual di Asia Tenggara
Konferensi Perlindungan Hukum untuk Korban Eksploitasi Seksual di Asia Tenggara
Konferensi Perlindungan Hukum untuk Korban Eksploitasi Seksual di Asia Tenggara
Konferensi Perlindungan Hukum untuk Korban Eksploitasi Seksual di Asia Tenggara
Konferensi Perlindungan Hukum untuk Korban Eksploitasi Seksual di Asia Tenggara
Konferensi Perlindungan Hukum untuk Korban Eksploitasi Seksual di Asia Tenggara
Konferensi Perlindungan Hukum untuk Korban Eksploitasi Seksual di Asia Tenggara
Konferensi Perlindungan Hukum untuk Korban Eksploitasi Seksual di Asia Tenggara
Konferensi Perlindungan Hukum untuk Korban Eksploitasi Seksual di Asia Tenggara
Konferensi Perlindungan Hukum untuk Korban Eksploitasi Seksual di Asia Tenggara
Konferensi Perlindungan Hukum untuk Korban Eksploitasi Seksual di Asia Tenggara
Konferensi Perlindungan Hukum untuk Korban Eksploitasi Seksual di Asia Tenggara
Konferensi Perlindungan Hukum untuk Korban Eksploitasi Seksual di Asia Tenggara
Konferensi Perlindungan Hukum untuk Korban Eksploitasi Seksual di Asia Tenggara
Konferensi Perlindungan Hukum untuk Korban Eksploitasi Seksual di Asia Tenggara
Konferensi Perlindungan Hukum untuk Korban Eksploitasi Seksual di Asia Tenggara
Konferensi Perlindungan Hukum untuk Korban Eksploitasi Seksual di Asia Tenggara
Konferensi Perlindungan Hukum untuk Korban Eksploitasi Seksual di Asia Tenggara
Konferensi Perlindungan Hukum untuk Korban Eksploitasi Seksual di Asia Tenggara
Konferensi Perlindungan Hukum untuk Korban Eksploitasi Seksual di Asia Tenggara
Konferensi Perlindungan Hukum untuk Korban Eksploitasi Seksual di Asia Tenggara
Konferensi Perlindungan Hukum untuk Korban Eksploitasi Seksual di Asia Tenggara
Konferensi Perlindungan Hukum untuk Korban Eksploitasi Seksual di Asia Tenggara
Konferensi Perlindungan Hukum untuk Korban Eksploitasi Seksual di Asia Tenggara
Konferensi Perlindungan Hukum untuk Korban Eksploitasi Seksual di Asia Tenggara
Konferensi Perlindungan Hukum untuk Korban Eksploitasi Seksual di Asia Tenggara
Konferensi Perlindungan Hukum untuk Korban Eksploitasi Seksual di Asia Tenggara
Konferensi Perlindungan Hukum untuk Korban Eksploitasi Seksual di Asia Tenggara
Konferensi Perlindungan Hukum untuk Korban Eksploitasi Seksual di Asia Tenggara
Konferensi Perlindungan Hukum untuk Korban Eksploitasi Seksual di Asia Tenggara
Konferensi Perlindungan Hukum untuk Korban Eksploitasi Seksual di Asia Tenggara
Konferensi Perlindungan Hukum untuk Korban Eksploitasi Seksual di Asia Tenggara
Konferensi Perlindungan Hukum untuk Korban Eksploitasi Seksual di Asia Tenggara
Konferensi Perlindungan Hukum untuk Korban Eksploitasi Seksual di Asia Tenggara
Konferensi Perlindungan Hukum untuk Korban Eksploitasi Seksual di Asia Tenggara
Konferensi Perlindungan Hukum untuk Korban Eksploitasi Seksual di Asia Tenggara
Konferensi Perlindungan Hukum untuk Korban Eksploitasi Seksual di Asia Tenggara
Konferensi Perlindungan Hukum untuk Korban Eksploitasi Seksual di Asia Tenggara
Konferensi Perlindungan Hukum untuk Korban Eksploitasi Seksual di Asia Tenggara
Konferensi Perlindungan Hukum untuk Korban Eksploitasi Seksual di Asia Tenggara
Konferensi Perlindungan Hukum untuk Korban Eksploitasi Seksual di Asia Tenggara
Konferensi Perlindungan Hukum untuk Korban Eksploitasi Seksual di Asia Tenggara
Konferensi Perlindungan Hukum untuk Korban Eksploitasi Seksual di Asia Tenggara
Konferensi Perlindungan Hukum untuk Korban Eksploitasi Seksual di Asia Tenggara
Konferensi Perlindungan Hukum untuk Korban Eksploitasi Seksual di Asia Tenggara
Konferensi Perlindungan Hukum untuk Korban Eksploitasi Seksual di Asia Tenggara
Konferensi Perlindungan Hukum untuk Korban Eksploitasi Seksual di Asia Tenggara
Konferensi Perlindungan Hukum untuk Korban Eksploitasi Seksual di Asia Tenggara
Konferensi Perlindungan Hukum untuk Korban Eksploitasi Seksual di Asia Tenggara
Konferensi Perlindungan Hukum untuk Korban Eksploitasi Seksual di Asia Tenggara
Konferensi Perlindungan Hukum untuk Korban Eksploitasi Seksual di Asia Tenggara
Konferensi Perlindungan Hukum untuk Korban Eksploitasi Seksual di Asia Tenggara
Konferensi Perlindungan Hukum untuk Korban Eksploitasi Seksual di Asia Tenggara
Konferensi Perlindungan Hukum untuk Korban Eksploitasi Seksual di Asia Tenggara
Konferensi Perlindungan Hukum untuk Korban Eksploitasi Seksual di Asia Tenggara
Konferensi Perlindungan Hukum untuk Korban Eksploitasi Seksual di Asia Tenggara
Konferensi Perlindungan Hukum untuk Korban Eksploitasi Seksual di Asia Tenggara
Konferensi Perlindungan Hukum untuk Korban Eksploitasi Seksual di Asia Tenggara
Konferensi Perlindungan Hukum untuk Korban Eksploitasi Seksual di Asia Tenggara
Konferensi Perlindungan Hukum untuk Korban Eksploitasi Seksual di Asia Tenggara
Konferensi Perlindungan Hukum untuk Korban Eksploitasi Seksual di Asia Tenggara

More Related Content

What's hot

Buku Panduan Wisata Perdesaan Ramah Anak Bebas Eksplotasi
Buku Panduan Wisata Perdesaan Ramah Anak Bebas EksplotasiBuku Panduan Wisata Perdesaan Ramah Anak Bebas Eksplotasi
Buku Panduan Wisata Perdesaan Ramah Anak Bebas EksplotasiECPAT Indonesia
 
Gambaran Kasus ESA dan Tinjauan Reflektif Penanganan
Gambaran Kasus ESA dan Tinjauan Reflektif PenangananGambaran Kasus ESA dan Tinjauan Reflektif Penanganan
Gambaran Kasus ESA dan Tinjauan Reflektif PenangananECPAT Indonesia
 
Menentang Pornografi dan Eksploitasi Terhadap Anak
Menentang Pornografi dan Eksploitasi Terhadap AnakMenentang Pornografi dan Eksploitasi Terhadap Anak
Menentang Pornografi dan Eksploitasi Terhadap AnakECPAT Indonesia
 
Kekerasan Seksual Anak Terhadap Anak
Kekerasan Seksual Anak Terhadap AnakKekerasan Seksual Anak Terhadap Anak
Kekerasan Seksual Anak Terhadap AnakECPAT Indonesia
 
PANDUAN TERMINOLOGI UNTUK PERLINDUNGAN ANAK DARI EKSPLOITASI SEKSUAL DAN KEKE...
PANDUAN TERMINOLOGI UNTUK PERLINDUNGAN ANAK DARI EKSPLOITASI SEKSUAL DAN KEKE...PANDUAN TERMINOLOGI UNTUK PERLINDUNGAN ANAK DARI EKSPLOITASI SEKSUAL DAN KEKE...
PANDUAN TERMINOLOGI UNTUK PERLINDUNGAN ANAK DARI EKSPLOITASI SEKSUAL DAN KEKE...ECPAT Indonesia
 
Materi 3 - Bahaya Pornografi
Materi 3  - Bahaya PornografiMateri 3  - Bahaya Pornografi
Materi 3 - Bahaya PornografiECPAT Indonesia
 
Eksploitasi Seksual Komersia Anak di Indonesia
Eksploitasi Seksual Komersia Anak di IndonesiaEksploitasi Seksual Komersia Anak di Indonesia
Eksploitasi Seksual Komersia Anak di IndonesiaECPAT Indonesia
 
Kebijakan Keselamatan Anak ID COP (KKA)
Kebijakan Keselamatan Anak ID COP (KKA)Kebijakan Keselamatan Anak ID COP (KKA)
Kebijakan Keselamatan Anak ID COP (KKA)ECPAT Indonesia
 
Catatan Akhir Tahun ECPAT Indonesia - Tahun 2017
Catatan Akhir Tahun ECPAT Indonesia - Tahun 2017Catatan Akhir Tahun ECPAT Indonesia - Tahun 2017
Catatan Akhir Tahun ECPAT Indonesia - Tahun 2017ECPAT Indonesia
 
Modul Pelatihan Perlindungan Anak dari Kekerasan dan Eksploitasi Seksual Kome...
Modul Pelatihan Perlindungan Anak dari Kekerasan dan Eksploitasi Seksual Kome...Modul Pelatihan Perlindungan Anak dari Kekerasan dan Eksploitasi Seksual Kome...
Modul Pelatihan Perlindungan Anak dari Kekerasan dan Eksploitasi Seksual Kome...ECPAT Indonesia
 
Melawan Praktik Prostitusi Anak di Indonesia dan Tantangannya
Melawan Praktik Prostitusi Anak di Indonesia dan TantangannyaMelawan Praktik Prostitusi Anak di Indonesia dan Tantangannya
Melawan Praktik Prostitusi Anak di Indonesia dan TantangannyaECPAT Indonesia
 
PERATURAN MENTERI KEBUDAYAAN DAN PARIWISATA NOMOR : PM.30/HK.201/MKP/2010 TEN...
PERATURAN MENTERI KEBUDAYAAN DAN PARIWISATA NOMOR : PM.30/HK.201/MKP/2010 TEN...PERATURAN MENTERI KEBUDAYAAN DAN PARIWISATA NOMOR : PM.30/HK.201/MKP/2010 TEN...
PERATURAN MENTERI KEBUDAYAAN DAN PARIWISATA NOMOR : PM.30/HK.201/MKP/2010 TEN...ECPAT Indonesia
 
Menentang Pornografi dan Eksploitasi Seksual Terhadap Anak
Menentang Pornografi dan Eksploitasi Seksual Terhadap AnakMenentang Pornografi dan Eksploitasi Seksual Terhadap Anak
Menentang Pornografi dan Eksploitasi Seksual Terhadap AnakECPAT Indonesia
 
Panduan Partisipasi Anak dan Orang Muda
Panduan Partisipasi Anak dan Orang MudaPanduan Partisipasi Anak dan Orang Muda
Panduan Partisipasi Anak dan Orang MudaECPAT Indonesia
 
Arah Kebijakan - Kemenparekraf
Arah Kebijakan - KemenparekrafArah Kebijakan - Kemenparekraf
Arah Kebijakan - KemenparekrafECPAT Indonesia
 
Pemantauan media ECPAT 2018
Pemantauan media ECPAT 2018Pemantauan media ECPAT 2018
Pemantauan media ECPAT 2018ECPAT Indonesia
 
Laporan Akhir Tahun ECPAT Indonesia 2018
Laporan Akhir Tahun ECPAT Indonesia 2018Laporan Akhir Tahun ECPAT Indonesia 2018
Laporan Akhir Tahun ECPAT Indonesia 2018ECPAT Indonesia
 
Eksploitasi Seksual Pada Anak Online
Eksploitasi Seksual Pada Anak OnlineEksploitasi Seksual Pada Anak Online
Eksploitasi Seksual Pada Anak OnlineECPAT Indonesia
 
Laporan Akhir Tahun 2018 ECPAT Indonesia
Laporan Akhir Tahun 2018 ECPAT IndonesiaLaporan Akhir Tahun 2018 ECPAT Indonesia
Laporan Akhir Tahun 2018 ECPAT IndonesiaECPAT Indonesia
 
Eksploitasi Seksual Komersial Anak dalam RKUHP
Eksploitasi Seksual Komersial Anak dalam RKUHPEksploitasi Seksual Komersial Anak dalam RKUHP
Eksploitasi Seksual Komersial Anak dalam RKUHPECPAT Indonesia
 

What's hot (20)

Buku Panduan Wisata Perdesaan Ramah Anak Bebas Eksplotasi
Buku Panduan Wisata Perdesaan Ramah Anak Bebas EksplotasiBuku Panduan Wisata Perdesaan Ramah Anak Bebas Eksplotasi
Buku Panduan Wisata Perdesaan Ramah Anak Bebas Eksplotasi
 
Gambaran Kasus ESA dan Tinjauan Reflektif Penanganan
Gambaran Kasus ESA dan Tinjauan Reflektif PenangananGambaran Kasus ESA dan Tinjauan Reflektif Penanganan
Gambaran Kasus ESA dan Tinjauan Reflektif Penanganan
 
Menentang Pornografi dan Eksploitasi Terhadap Anak
Menentang Pornografi dan Eksploitasi Terhadap AnakMenentang Pornografi dan Eksploitasi Terhadap Anak
Menentang Pornografi dan Eksploitasi Terhadap Anak
 
Kekerasan Seksual Anak Terhadap Anak
Kekerasan Seksual Anak Terhadap AnakKekerasan Seksual Anak Terhadap Anak
Kekerasan Seksual Anak Terhadap Anak
 
PANDUAN TERMINOLOGI UNTUK PERLINDUNGAN ANAK DARI EKSPLOITASI SEKSUAL DAN KEKE...
PANDUAN TERMINOLOGI UNTUK PERLINDUNGAN ANAK DARI EKSPLOITASI SEKSUAL DAN KEKE...PANDUAN TERMINOLOGI UNTUK PERLINDUNGAN ANAK DARI EKSPLOITASI SEKSUAL DAN KEKE...
PANDUAN TERMINOLOGI UNTUK PERLINDUNGAN ANAK DARI EKSPLOITASI SEKSUAL DAN KEKE...
 
Materi 3 - Bahaya Pornografi
Materi 3  - Bahaya PornografiMateri 3  - Bahaya Pornografi
Materi 3 - Bahaya Pornografi
 
Eksploitasi Seksual Komersia Anak di Indonesia
Eksploitasi Seksual Komersia Anak di IndonesiaEksploitasi Seksual Komersia Anak di Indonesia
Eksploitasi Seksual Komersia Anak di Indonesia
 
Kebijakan Keselamatan Anak ID COP (KKA)
Kebijakan Keselamatan Anak ID COP (KKA)Kebijakan Keselamatan Anak ID COP (KKA)
Kebijakan Keselamatan Anak ID COP (KKA)
 
Catatan Akhir Tahun ECPAT Indonesia - Tahun 2017
Catatan Akhir Tahun ECPAT Indonesia - Tahun 2017Catatan Akhir Tahun ECPAT Indonesia - Tahun 2017
Catatan Akhir Tahun ECPAT Indonesia - Tahun 2017
 
Modul Pelatihan Perlindungan Anak dari Kekerasan dan Eksploitasi Seksual Kome...
Modul Pelatihan Perlindungan Anak dari Kekerasan dan Eksploitasi Seksual Kome...Modul Pelatihan Perlindungan Anak dari Kekerasan dan Eksploitasi Seksual Kome...
Modul Pelatihan Perlindungan Anak dari Kekerasan dan Eksploitasi Seksual Kome...
 
Melawan Praktik Prostitusi Anak di Indonesia dan Tantangannya
Melawan Praktik Prostitusi Anak di Indonesia dan TantangannyaMelawan Praktik Prostitusi Anak di Indonesia dan Tantangannya
Melawan Praktik Prostitusi Anak di Indonesia dan Tantangannya
 
PERATURAN MENTERI KEBUDAYAAN DAN PARIWISATA NOMOR : PM.30/HK.201/MKP/2010 TEN...
PERATURAN MENTERI KEBUDAYAAN DAN PARIWISATA NOMOR : PM.30/HK.201/MKP/2010 TEN...PERATURAN MENTERI KEBUDAYAAN DAN PARIWISATA NOMOR : PM.30/HK.201/MKP/2010 TEN...
PERATURAN MENTERI KEBUDAYAAN DAN PARIWISATA NOMOR : PM.30/HK.201/MKP/2010 TEN...
 
Menentang Pornografi dan Eksploitasi Seksual Terhadap Anak
Menentang Pornografi dan Eksploitasi Seksual Terhadap AnakMenentang Pornografi dan Eksploitasi Seksual Terhadap Anak
Menentang Pornografi dan Eksploitasi Seksual Terhadap Anak
 
Panduan Partisipasi Anak dan Orang Muda
Panduan Partisipasi Anak dan Orang MudaPanduan Partisipasi Anak dan Orang Muda
Panduan Partisipasi Anak dan Orang Muda
 
Arah Kebijakan - Kemenparekraf
Arah Kebijakan - KemenparekrafArah Kebijakan - Kemenparekraf
Arah Kebijakan - Kemenparekraf
 
Pemantauan media ECPAT 2018
Pemantauan media ECPAT 2018Pemantauan media ECPAT 2018
Pemantauan media ECPAT 2018
 
Laporan Akhir Tahun ECPAT Indonesia 2018
Laporan Akhir Tahun ECPAT Indonesia 2018Laporan Akhir Tahun ECPAT Indonesia 2018
Laporan Akhir Tahun ECPAT Indonesia 2018
 
Eksploitasi Seksual Pada Anak Online
Eksploitasi Seksual Pada Anak OnlineEksploitasi Seksual Pada Anak Online
Eksploitasi Seksual Pada Anak Online
 
Laporan Akhir Tahun 2018 ECPAT Indonesia
Laporan Akhir Tahun 2018 ECPAT IndonesiaLaporan Akhir Tahun 2018 ECPAT Indonesia
Laporan Akhir Tahun 2018 ECPAT Indonesia
 
Eksploitasi Seksual Komersial Anak dalam RKUHP
Eksploitasi Seksual Komersial Anak dalam RKUHPEksploitasi Seksual Komersial Anak dalam RKUHP
Eksploitasi Seksual Komersial Anak dalam RKUHP
 

Similar to Konferensi Perlindungan Hukum untuk Korban Eksploitasi Seksual di Asia Tenggara

Melindungi Anak-Anak Dari Eksploitasi Seksual & Kekerasan Seksual Dalam Situa...
Melindungi Anak-Anak Dari Eksploitasi Seksual & Kekerasan Seksual Dalam Situa...Melindungi Anak-Anak Dari Eksploitasi Seksual & Kekerasan Seksual Dalam Situa...
Melindungi Anak-Anak Dari Eksploitasi Seksual & Kekerasan Seksual Dalam Situa...ECPAT Indonesia
 
Ramalan spm 2012 karangan
Ramalan spm 2012 karanganRamalan spm 2012 karangan
Ramalan spm 2012 karanganPRA-UNIVERSITY
 
Advokasi dari Riset Disrupting Harm.pdf
Advokasi dari Riset Disrupting Harm.pdfAdvokasi dari Riset Disrupting Harm.pdf
Advokasi dari Riset Disrupting Harm.pdfECPAT Indonesia
 
Instrumen Internasional Tentang Hak dan Perlindungan Anak dari Bahaya Eksploi...
Instrumen Internasional Tentang Hak dan Perlindungan Anak dari Bahaya Eksploi...Instrumen Internasional Tentang Hak dan Perlindungan Anak dari Bahaya Eksploi...
Instrumen Internasional Tentang Hak dan Perlindungan Anak dari Bahaya Eksploi...ECPAT Indonesia
 
Hasil Riset Disrupting Harm Indonesia.pdf
Hasil Riset Disrupting Harm Indonesia.pdfHasil Riset Disrupting Harm Indonesia.pdf
Hasil Riset Disrupting Harm Indonesia.pdfECPAT Indonesia
 
pencegahan-kekerasan-seksual-di-lingkungan-sekolah.pdf
pencegahan-kekerasan-seksual-di-lingkungan-sekolah.pdfpencegahan-kekerasan-seksual-di-lingkungan-sekolah.pdf
pencegahan-kekerasan-seksual-di-lingkungan-sekolah.pdfAchmadMaoly1
 
Organisasi yang Aman untuk Anak [Perangkat Pelatihan]
Organisasi yang Aman untuk Anak [Perangkat Pelatihan]Organisasi yang Aman untuk Anak [Perangkat Pelatihan]
Organisasi yang Aman untuk Anak [Perangkat Pelatihan]ECPAT Indonesia
 
Advokasi Kebijakan
Advokasi KebijakanAdvokasi Kebijakan
Advokasi KebijakanGiosiaJeff
 
Materi 7 Kegiatan SAPA-2.pptx
Materi 7 Kegiatan SAPA-2.pptxMateri 7 Kegiatan SAPA-2.pptx
Materi 7 Kegiatan SAPA-2.pptxssuserc0a131
 
Tindakan yang diambil
Tindakan yang diambilTindakan yang diambil
Tindakan yang diambilSitiNajihah21
 
Kebijakan perlindungan anak di dunia usaha rita save the chilldren
Kebijakan perlindungan anak di dunia usaha rita save the chilldrenKebijakan perlindungan anak di dunia usaha rita save the chilldren
Kebijakan perlindungan anak di dunia usaha rita save the chilldrenRita Pranawati
 
Teks moderator 14.9.19
Teks moderator 14.9.19Teks moderator 14.9.19
Teks moderator 14.9.19Maimunah Sibli
 

Similar to Konferensi Perlindungan Hukum untuk Korban Eksploitasi Seksual di Asia Tenggara (20)

Melindungi Anak-Anak Dari Eksploitasi Seksual & Kekerasan Seksual Dalam Situa...
Melindungi Anak-Anak Dari Eksploitasi Seksual & Kekerasan Seksual Dalam Situa...Melindungi Anak-Anak Dari Eksploitasi Seksual & Kekerasan Seksual Dalam Situa...
Melindungi Anak-Anak Dari Eksploitasi Seksual & Kekerasan Seksual Dalam Situa...
 
Ramalan spm 2012 karangan
Ramalan spm 2012 karanganRamalan spm 2012 karangan
Ramalan spm 2012 karangan
 
Advokasi dari Riset Disrupting Harm.pdf
Advokasi dari Riset Disrupting Harm.pdfAdvokasi dari Riset Disrupting Harm.pdf
Advokasi dari Riset Disrupting Harm.pdf
 
human trafficking
human traffickinghuman trafficking
human trafficking
 
Paedofil
PaedofilPaedofil
Paedofil
 
Instrumen Internasional Tentang Hak dan Perlindungan Anak dari Bahaya Eksploi...
Instrumen Internasional Tentang Hak dan Perlindungan Anak dari Bahaya Eksploi...Instrumen Internasional Tentang Hak dan Perlindungan Anak dari Bahaya Eksploi...
Instrumen Internasional Tentang Hak dan Perlindungan Anak dari Bahaya Eksploi...
 
Hasil Riset Disrupting Harm Indonesia.pdf
Hasil Riset Disrupting Harm Indonesia.pdfHasil Riset Disrupting Harm Indonesia.pdf
Hasil Riset Disrupting Harm Indonesia.pdf
 
pencegahan-kekerasan-seksual-di-lingkungan-sekolah.pdf
pencegahan-kekerasan-seksual-di-lingkungan-sekolah.pdfpencegahan-kekerasan-seksual-di-lingkungan-sekolah.pdf
pencegahan-kekerasan-seksual-di-lingkungan-sekolah.pdf
 
Organisasi yang Aman untuk Anak [Perangkat Pelatihan]
Organisasi yang Aman untuk Anak [Perangkat Pelatihan]Organisasi yang Aman untuk Anak [Perangkat Pelatihan]
Organisasi yang Aman untuk Anak [Perangkat Pelatihan]
 
Advokasi Kebijakan
Advokasi KebijakanAdvokasi Kebijakan
Advokasi Kebijakan
 
Advokasi Berbasis Hak di Industri Ekstraktif
Advokasi Berbasis Hak di Industri EkstraktifAdvokasi Berbasis Hak di Industri Ekstraktif
Advokasi Berbasis Hak di Industri Ekstraktif
 
b.pptx
b.pptxb.pptx
b.pptx
 
4.pptx
4.pptx4.pptx
4.pptx
 
Materi 7 Kegiatan SAPA-2.pptx
Materi 7 Kegiatan SAPA-2.pptxMateri 7 Kegiatan SAPA-2.pptx
Materi 7 Kegiatan SAPA-2.pptx
 
2.pptx
2.pptx2.pptx
2.pptx
 
FORUM ANAK
FORUM ANAK FORUM ANAK
FORUM ANAK
 
Tindakan yang diambil
Tindakan yang diambilTindakan yang diambil
Tindakan yang diambil
 
belia dan jenayah
belia dan jenayahbelia dan jenayah
belia dan jenayah
 
Kebijakan perlindungan anak di dunia usaha rita save the chilldren
Kebijakan perlindungan anak di dunia usaha rita save the chilldrenKebijakan perlindungan anak di dunia usaha rita save the chilldren
Kebijakan perlindungan anak di dunia usaha rita save the chilldren
 
Teks moderator 14.9.19
Teks moderator 14.9.19Teks moderator 14.9.19
Teks moderator 14.9.19
 

More from ECPAT Indonesia

Fact Sheet - ESA dalam PJK
Fact Sheet - ESA dalam PJKFact Sheet - ESA dalam PJK
Fact Sheet - ESA dalam PJKECPAT Indonesia
 
Laporan Hasil Pemantauan di Jabodebek 2021-2022.pdf
Laporan Hasil Pemantauan di Jabodebek 2021-2022.pdfLaporan Hasil Pemantauan di Jabodebek 2021-2022.pdf
Laporan Hasil Pemantauan di Jabodebek 2021-2022.pdfECPAT Indonesia
 
Laporan IWF Mengenai AI dan Kekerasan Seksual Anak
Laporan IWF Mengenai AI dan Kekerasan Seksual AnakLaporan IWF Mengenai AI dan Kekerasan Seksual Anak
Laporan IWF Mengenai AI dan Kekerasan Seksual AnakECPAT Indonesia
 
CATATAN TAHUNAN 2022.pdf
CATATAN TAHUNAN 2022.pdfCATATAN TAHUNAN 2022.pdf
CATATAN TAHUNAN 2022.pdfECPAT Indonesia
 
SESI V PENYUSUNAN PROGRAM AKSI.pdf
SESI V PENYUSUNAN PROGRAM AKSI.pdfSESI V PENYUSUNAN PROGRAM AKSI.pdf
SESI V PENYUSUNAN PROGRAM AKSI.pdfECPAT Indonesia
 
SESI IV PENGASUHAN ANAK DI ERA DIGITAL.pdf
SESI IV PENGASUHAN ANAK DI ERA DIGITAL.pdfSESI IV PENGASUHAN ANAK DI ERA DIGITAL.pdf
SESI IV PENGASUHAN ANAK DI ERA DIGITAL.pdfECPAT Indonesia
 
SESI III Internet Aman untuk Anak.pdf
SESI III Internet Aman untuk Anak.pdfSESI III Internet Aman untuk Anak.pdf
SESI III Internet Aman untuk Anak.pdfECPAT Indonesia
 
SESI II ATURAN INTERNASIONAL DAN NASIONAL TTG ESA ONLINE.pdf
SESI II ATURAN INTERNASIONAL DAN NASIONAL TTG ESA ONLINE.pdfSESI II ATURAN INTERNASIONAL DAN NASIONAL TTG ESA ONLINE.pdf
SESI II ATURAN INTERNASIONAL DAN NASIONAL TTG ESA ONLINE.pdfECPAT Indonesia
 
SESI I BENTUK EKSPLOITASI SEKSUAL ANAK DI INTERNET.pdf
SESI I BENTUK EKSPLOITASI SEKSUAL ANAK DI INTERNET.pdfSESI I BENTUK EKSPLOITASI SEKSUAL ANAK DI INTERNET.pdf
SESI I BENTUK EKSPLOITASI SEKSUAL ANAK DI INTERNET.pdfECPAT Indonesia
 
Modul Internet Aman untuk Anak 2018.pdf
Modul Internet Aman untuk Anak 2018.pdfModul Internet Aman untuk Anak 2018.pdf
Modul Internet Aman untuk Anak 2018.pdfECPAT Indonesia
 
Prosiding Paper ECPAT Indonesia.pdf
Prosiding Paper ECPAT Indonesia.pdfProsiding Paper ECPAT Indonesia.pdf
Prosiding Paper ECPAT Indonesia.pdfECPAT Indonesia
 
Tips JAGO Agar Privasi Anak Tetap Aman di Media Sosial
Tips JAGO Agar Privasi Anak Tetap Aman di Media Sosial Tips JAGO Agar Privasi Anak Tetap Aman di Media Sosial
Tips JAGO Agar Privasi Anak Tetap Aman di Media Sosial ECPAT Indonesia
 
Waspada Media Sosial Menjadi Sarana Eksploitasi Seksual Anak
Waspada Media Sosial Menjadi Sarana Eksploitasi Seksual AnakWaspada Media Sosial Menjadi Sarana Eksploitasi Seksual Anak
Waspada Media Sosial Menjadi Sarana Eksploitasi Seksual AnakECPAT Indonesia
 
Dunia Makin Maju, Apa Peranku?
Dunia Makin Maju, Apa Peranku?Dunia Makin Maju, Apa Peranku?
Dunia Makin Maju, Apa Peranku?ECPAT Indonesia
 
Temuan Awal ECPAT Indonesia - Internet Anak Era Pandemi.pdf
Temuan Awal ECPAT Indonesia - Internet Anak Era Pandemi.pdfTemuan Awal ECPAT Indonesia - Internet Anak Era Pandemi.pdf
Temuan Awal ECPAT Indonesia - Internet Anak Era Pandemi.pdfECPAT Indonesia
 
C20 - CHILD PROTECTION ONLINE
C20 - CHILD PROTECTION ONLINEC20 - CHILD PROTECTION ONLINE
C20 - CHILD PROTECTION ONLINEECPAT Indonesia
 
The Code to Protect Children in Travel and Tourism
The Code to Protect Children in Travel and TourismThe Code to Protect Children in Travel and Tourism
The Code to Protect Children in Travel and TourismECPAT Indonesia
 
The Code Implementation Plan For Archipelago
The Code Implementation Plan For ArchipelagoThe Code Implementation Plan For Archipelago
The Code Implementation Plan For ArchipelagoECPAT Indonesia
 

More from ECPAT Indonesia (20)

Fact Sheet - ESA dalam PJK
Fact Sheet - ESA dalam PJKFact Sheet - ESA dalam PJK
Fact Sheet - ESA dalam PJK
 
Laporan Hasil Pemantauan di Jabodebek 2021-2022.pdf
Laporan Hasil Pemantauan di Jabodebek 2021-2022.pdfLaporan Hasil Pemantauan di Jabodebek 2021-2022.pdf
Laporan Hasil Pemantauan di Jabodebek 2021-2022.pdf
 
Laporan IWF Mengenai AI dan Kekerasan Seksual Anak
Laporan IWF Mengenai AI dan Kekerasan Seksual AnakLaporan IWF Mengenai AI dan Kekerasan Seksual Anak
Laporan IWF Mengenai AI dan Kekerasan Seksual Anak
 
CATATAN TAHUNAN 2022.pdf
CATATAN TAHUNAN 2022.pdfCATATAN TAHUNAN 2022.pdf
CATATAN TAHUNAN 2022.pdf
 
Foto-foto Cianjur.pptx
Foto-foto Cianjur.pptxFoto-foto Cianjur.pptx
Foto-foto Cianjur.pptx
 
Foto-foto Cianjur.pptx
Foto-foto Cianjur.pptxFoto-foto Cianjur.pptx
Foto-foto Cianjur.pptx
 
SESI V PENYUSUNAN PROGRAM AKSI.pdf
SESI V PENYUSUNAN PROGRAM AKSI.pdfSESI V PENYUSUNAN PROGRAM AKSI.pdf
SESI V PENYUSUNAN PROGRAM AKSI.pdf
 
SESI IV PENGASUHAN ANAK DI ERA DIGITAL.pdf
SESI IV PENGASUHAN ANAK DI ERA DIGITAL.pdfSESI IV PENGASUHAN ANAK DI ERA DIGITAL.pdf
SESI IV PENGASUHAN ANAK DI ERA DIGITAL.pdf
 
SESI III Internet Aman untuk Anak.pdf
SESI III Internet Aman untuk Anak.pdfSESI III Internet Aman untuk Anak.pdf
SESI III Internet Aman untuk Anak.pdf
 
SESI II ATURAN INTERNASIONAL DAN NASIONAL TTG ESA ONLINE.pdf
SESI II ATURAN INTERNASIONAL DAN NASIONAL TTG ESA ONLINE.pdfSESI II ATURAN INTERNASIONAL DAN NASIONAL TTG ESA ONLINE.pdf
SESI II ATURAN INTERNASIONAL DAN NASIONAL TTG ESA ONLINE.pdf
 
SESI I BENTUK EKSPLOITASI SEKSUAL ANAK DI INTERNET.pdf
SESI I BENTUK EKSPLOITASI SEKSUAL ANAK DI INTERNET.pdfSESI I BENTUK EKSPLOITASI SEKSUAL ANAK DI INTERNET.pdf
SESI I BENTUK EKSPLOITASI SEKSUAL ANAK DI INTERNET.pdf
 
Modul Internet Aman untuk Anak 2018.pdf
Modul Internet Aman untuk Anak 2018.pdfModul Internet Aman untuk Anak 2018.pdf
Modul Internet Aman untuk Anak 2018.pdf
 
Prosiding Paper ECPAT Indonesia.pdf
Prosiding Paper ECPAT Indonesia.pdfProsiding Paper ECPAT Indonesia.pdf
Prosiding Paper ECPAT Indonesia.pdf
 
Tips JAGO Agar Privasi Anak Tetap Aman di Media Sosial
Tips JAGO Agar Privasi Anak Tetap Aman di Media Sosial Tips JAGO Agar Privasi Anak Tetap Aman di Media Sosial
Tips JAGO Agar Privasi Anak Tetap Aman di Media Sosial
 
Waspada Media Sosial Menjadi Sarana Eksploitasi Seksual Anak
Waspada Media Sosial Menjadi Sarana Eksploitasi Seksual AnakWaspada Media Sosial Menjadi Sarana Eksploitasi Seksual Anak
Waspada Media Sosial Menjadi Sarana Eksploitasi Seksual Anak
 
Dunia Makin Maju, Apa Peranku?
Dunia Makin Maju, Apa Peranku?Dunia Makin Maju, Apa Peranku?
Dunia Makin Maju, Apa Peranku?
 
Temuan Awal ECPAT Indonesia - Internet Anak Era Pandemi.pdf
Temuan Awal ECPAT Indonesia - Internet Anak Era Pandemi.pdfTemuan Awal ECPAT Indonesia - Internet Anak Era Pandemi.pdf
Temuan Awal ECPAT Indonesia - Internet Anak Era Pandemi.pdf
 
C20 - CHILD PROTECTION ONLINE
C20 - CHILD PROTECTION ONLINEC20 - CHILD PROTECTION ONLINE
C20 - CHILD PROTECTION ONLINE
 
The Code to Protect Children in Travel and Tourism
The Code to Protect Children in Travel and TourismThe Code to Protect Children in Travel and Tourism
The Code to Protect Children in Travel and Tourism
 
The Code Implementation Plan For Archipelago
The Code Implementation Plan For ArchipelagoThe Code Implementation Plan For Archipelago
The Code Implementation Plan For Archipelago
 

Recently uploaded

Materi Membangun Budaya Ber-Integritas Antikorupsi bagi ASN .pptx
Materi Membangun Budaya Ber-Integritas Antikorupsi bagi ASN .pptxMateri Membangun Budaya Ber-Integritas Antikorupsi bagi ASN .pptx
Materi Membangun Budaya Ber-Integritas Antikorupsi bagi ASN .pptxBudyHermawan3
 
Pemekaran Kabupaten Banyuwangi menujumKota dan kabupaten .pdf
Pemekaran Kabupaten Banyuwangi menujumKota dan kabupaten  .pdfPemekaran Kabupaten Banyuwangi menujumKota dan kabupaten  .pdf
Pemekaran Kabupaten Banyuwangi menujumKota dan kabupaten .pdfHarisKunaifi2
 
INDIKATOR DAN SUB INDIKATOR MCP PELAYANAN PUBLIK.pdf
INDIKATOR DAN SUB INDIKATOR MCP PELAYANAN PUBLIK.pdfINDIKATOR DAN SUB INDIKATOR MCP PELAYANAN PUBLIK.pdf
INDIKATOR DAN SUB INDIKATOR MCP PELAYANAN PUBLIK.pdfNetraHartana
 
Membangun Tim Efektif. suatu pembelajaran ttg pentingnya kolaborasipptx
Membangun Tim Efektif. suatu pembelajaran ttg pentingnya kolaborasipptxMembangun Tim Efektif. suatu pembelajaran ttg pentingnya kolaborasipptx
Membangun Tim Efektif. suatu pembelajaran ttg pentingnya kolaborasipptxBudyHermawan3
 
Permen PANRB Nomor 3 Tahun 2023 - Tentang Penetapan Angka Kredit
Permen PANRB Nomor 3 Tahun 2023 - Tentang Penetapan Angka KreditPermen PANRB Nomor 3 Tahun 2023 - Tentang Penetapan Angka Kredit
Permen PANRB Nomor 3 Tahun 2023 - Tentang Penetapan Angka KreditYOSUAGETMIRAJAGUKGUK1
 
emka_Slide Recall Modul Melakukan Perencanaan PBJP Level 1 V3.1.pptx
emka_Slide Recall Modul Melakukan Perencanaan PBJP Level 1 V3.1.pptxemka_Slide Recall Modul Melakukan Perencanaan PBJP Level 1 V3.1.pptx
emka_Slide Recall Modul Melakukan Perencanaan PBJP Level 1 V3.1.pptxAmandaJesica
 
mata pelajaran geografi ANTROPOSFER 2.ppt
mata pelajaran geografi ANTROPOSFER 2.pptmata pelajaran geografi ANTROPOSFER 2.ppt
mata pelajaran geografi ANTROPOSFER 2.pptMuhammadNorman9
 
Administrasi_pengelolaan_hibah Pemerintah
Administrasi_pengelolaan_hibah PemerintahAdministrasi_pengelolaan_hibah Pemerintah
Administrasi_pengelolaan_hibah PemerintahAnthonyThony5
 

Recently uploaded (8)

Materi Membangun Budaya Ber-Integritas Antikorupsi bagi ASN .pptx
Materi Membangun Budaya Ber-Integritas Antikorupsi bagi ASN .pptxMateri Membangun Budaya Ber-Integritas Antikorupsi bagi ASN .pptx
Materi Membangun Budaya Ber-Integritas Antikorupsi bagi ASN .pptx
 
Pemekaran Kabupaten Banyuwangi menujumKota dan kabupaten .pdf
Pemekaran Kabupaten Banyuwangi menujumKota dan kabupaten  .pdfPemekaran Kabupaten Banyuwangi menujumKota dan kabupaten  .pdf
Pemekaran Kabupaten Banyuwangi menujumKota dan kabupaten .pdf
 
INDIKATOR DAN SUB INDIKATOR MCP PELAYANAN PUBLIK.pdf
INDIKATOR DAN SUB INDIKATOR MCP PELAYANAN PUBLIK.pdfINDIKATOR DAN SUB INDIKATOR MCP PELAYANAN PUBLIK.pdf
INDIKATOR DAN SUB INDIKATOR MCP PELAYANAN PUBLIK.pdf
 
Membangun Tim Efektif. suatu pembelajaran ttg pentingnya kolaborasipptx
Membangun Tim Efektif. suatu pembelajaran ttg pentingnya kolaborasipptxMembangun Tim Efektif. suatu pembelajaran ttg pentingnya kolaborasipptx
Membangun Tim Efektif. suatu pembelajaran ttg pentingnya kolaborasipptx
 
Permen PANRB Nomor 3 Tahun 2023 - Tentang Penetapan Angka Kredit
Permen PANRB Nomor 3 Tahun 2023 - Tentang Penetapan Angka KreditPermen PANRB Nomor 3 Tahun 2023 - Tentang Penetapan Angka Kredit
Permen PANRB Nomor 3 Tahun 2023 - Tentang Penetapan Angka Kredit
 
emka_Slide Recall Modul Melakukan Perencanaan PBJP Level 1 V3.1.pptx
emka_Slide Recall Modul Melakukan Perencanaan PBJP Level 1 V3.1.pptxemka_Slide Recall Modul Melakukan Perencanaan PBJP Level 1 V3.1.pptx
emka_Slide Recall Modul Melakukan Perencanaan PBJP Level 1 V3.1.pptx
 
mata pelajaran geografi ANTROPOSFER 2.ppt
mata pelajaran geografi ANTROPOSFER 2.pptmata pelajaran geografi ANTROPOSFER 2.ppt
mata pelajaran geografi ANTROPOSFER 2.ppt
 
Administrasi_pengelolaan_hibah Pemerintah
Administrasi_pengelolaan_hibah PemerintahAdministrasi_pengelolaan_hibah Pemerintah
Administrasi_pengelolaan_hibah Pemerintah
 

Konferensi Perlindungan Hukum untuk Korban Eksploitasi Seksual di Asia Tenggara

  • 1. Konferensi Regional : Perlindungan Hukum untuk anak korban eksploitasi seksual di Asia tenggara 1
  • 2. Regional Conference on Legal Protection for Child Victims of Sexual Exploitation in Southeast Asia 2
  • 3. Konferensi Regional : Perlindungan Hukum untuk anak korban eksploitasi seksual di Asia tenggara 3
  • 4. Regional Conference on Legal Protection for Child Victims of Sexual Exploitation in Southeast Asia 4 TABLE OF CONTENTS Foreword Acknowledgement Introduction The Objectives Expected Results Executive Summary Material Presentation • The important knowledge about child victims of sexual crime that law enforcers should know • International legal standards in the protection of child victims of sexual crime • Best practices of the law and by law enforcers in protecting child victims of sexual crime • Legal mechanisms within Southeast Asia countries in protecting child victims of sexual crime and its best practices in implementation • The role of institutions in the protection of witnesses and child victims of sexual crime • Mechanisms of restitution and compensation in fulfilling the rights of child victims of sexual crimes Conclusions and Key Recommendation The Committee DAFTAR ISI Kata Pengantar Ucapan Terima Kasih Pendahuluan Tujuan Hasil yang diharapkan Rangkuman Pelaksanaan Materi Presentasi • Pengetahuan penting tentang korban kejahatan seksual terhadap anak yang harus diketahui oleh penegak hukum • Standar Internasional tentang perlindungan hukum bagi anak korban kejahatan seksual • Pengalaman terbaik dalam penerapan hukum dan oleh aparat penegak hukum dalam melindungi korban kejahatan seksual terhadap anak • Mekanisme hukum negara-negara Asia Tenggara dalam melindungi anak korban kejahatan seksual dan pengalaman terbaik dalam penerapannya • Peran lembaga perlindungan saksi dan korban dalam melindungi korban kejahatan seksual terhadap anak • Mekanisme restitusi dan kompensasi dalam memenuhi hak korban kejahatan seksual terhadap anak Ringkasan dan Rekomendasi Kunci Panitia 5 9 13 17 18 19 25 27 41 57 69 79 97 105 124 5 9 13 17 18 19 25 27 41 57 69 79 97 105 124
  • 5. Konferensi Regional : Perlindungan Hukum untuk anak korban eksploitasi seksual di Asia tenggara 5 FOREWORD Ladies, Gentlemen, You will find in these following pages the general report of the annual regional conference upon fight against child abuse, organized by the French Embassy and ECPAT Indonesia. This meeting is now well-known, gives each year the opportunity to judges, law enforcement agencies and NGOs from all countries of the area to meet, share practices, learn from each other, and build a strong network. After having talked about the sexual exploitation through Internet and the social networks, last year in Jakarta, the issue chosen this year, in Bali, has been “The place of the victim in the penal process and the legal protection”. Indeed, for the police officers, judges, NGOs, it seems important to remind and honor the basic reason of a strong involvement in folders and cases which are among the heaviest, most often painful for the victims and for the adults who help them? They probably will never have a real reward for the energy and strength they put into folders. Honors, media and rapid promotions will often not exist for them. Nobody will ever really KATA PENGANTAR Ladies, Gentlemen, Anda akan menemukan laporan konferensi regional tahunan tentang ‘memerangi kekerasan terhadap anak’, yang diselenggarakan oleh Kedutaan Prancis dan ECPAT Indonesia. Konferensi ini setiap tahunnya memberikan kesempatan kepada hakim, lembaga penegak hukum, dan LSM dari berbagai negara untuk bertemu, berbagi pengalaman, saling belajar dan membuat jaringan yang kuat. Setelah berbicara mengenai eksploitasi seksual melalui internet dan sosial media tahun lalu di Jakarta, isu yang dipilih tahun ini, di Bali, adalah “posisi korban pada proses persidangan dan perlindungan hukum”. Isu ini sangat penting untuk polisi, hakim, dan LSM, dalam mempertimbangkan posisi korban [anak] dalam keterlibatannya selama proses hukum yang panjang, dalam kasus yang berat, dan menyakitkan untuk mereka. Lalu siapa yang akan menolong mereka ? Anak-anak tersebut mungkin tidak mendapatkan penghargaan atas usaha dan kekuatan yang mereka berikan pada sebuah kasus. Tanda jasa, media, atau
  • 6. Regional Conference on Legal Protection for Child Victims of Sexual Exploitation in Southeast Asia 6 understand how these issues affect them, beyond their mission, intimately and personally, sometimes damaging their faith in humanity itself. But they do it, precisely because there are victims, Human beings who have absolutely no way to protect themselves, which require and deserve that an adult helps, listens, and shows them they are not alone, that their painful experience is not the norm of the society which host them. The African proverb says it takes a whole village to raise a child. It takes above all members of the village, now worldwide, to accept to look in the darkest side, in the pain, to dive into the gloomiest part of humans, and keep the energy and the will to continue work to save those who suffer, and all the village’s future, they promise. They do it, because a child saved, protected, sometimes only smiling, is enough to keep them rewarded. Placing the victim at the center of our concerns is remembering all that. It is claiming that we do not accept that the future of these children, which is also that of the Humanity, is tainted and corrupted by the darkness of a small number. Today is also an opportunity for me to thank them warmly for their work, often ignored, so essential to our societies. France consider itself as a democratic nation, deeply attached to individual freedom, carrying universal values, and it is precisely because it intends to defend these values, including when pun promosi yang cepat sering tidak ada bagi mereka. Tak seorangpun akan benar-benar mengerti bagaimana masalah ini bisa mempengaruhi mereka, diluar misi mereka, sangat pribadi, kadang-kadang merusak keyakinan mereka mengenai kemanusian itu sendiri. Tapi mereka melakukannya, justru karena anak-anak tersebut adalah korban, Manusia yang sama sekali tidak memiliki cara untuk melindungi diri mereka sendiri, yang membutuhkan pertolongan orang dewasa untuk mendengarkan dan menunjukan jika mereka tidak sendirian dan bahwa pengalaman yang menyakitkan ini bukan termasuk norma masyarakat dimana mereka berada. Pepatah afrika mengatakan, dibutuhkan seluruh penduduk desa untuk membesarkan anak. Dibutuhkan semua anggota desa, bahkan kini seluruh dunia, untuk menerima, melihat sisi paling gelap, sakit, dan menyelam ke bagian tergelap manusia, dan menjaga energi dan kemauan untuk terus bekerja menyelamatkan mereka yang menderita dan masa depan desa, mereka berjanji. Mereka melakukannya, karena seorang anak yang diselamatkan, dilindungi, kadang-kadang hanya tersenyum, hal tersebut sudah cukup untuk membuat mereka merasa dihargai. Menempatkan korban [anak] dalam keprihatinan kami adalah mengingat semua itu. hal tersebut menegaskan bahwa kami tidak menerima masa depan mereka, yang juga merupakan bagian
  • 7. Konferensi Regional : Perlindungan Hukum untuk anak korban eksploitasi seksual di Asia tenggara 7 dari kemanusiaan yang tercemar oleh kegelapan dalam jumlah kecil. Ini juga merupakan kesempatan bagi saya untuk berterima kasih kepada mereka atas usahanya, sering diabaikan, sehingga penting untuk masyarakat kita. Perancis mengganggap dirinya sebagai bangsa yang demokratis, sangat melekat pada kebebasan individu, dan justru karena itu bermaksud untuk membela nilai-nilai individu, termasuk ketika dilanggar oleh warganya sendiri, mereka akan menjadi yang terdepan dalam memerangi kekerasan terhadap anak, dan orang akan menemukan kami berada disisinya dalam hal ini. Terima kasih atas dukungannya yang anda buktikan dengan keikutsertaannya dalam isu ini. Duta Besar Corinne BREUZÉ they are violated by its own nationals, that it will forefront in the fight against violence to children, and anyone will find us at his side in this fight. Thank you for the support you’re proving by sharing our involvement. Ambassador Corinne BREUZÉ
  • 8. Regional Conference on Legal Protection for Child Victims of Sexual Exploitation in Southeast Asia 8
  • 9. Konferensi Regional : Perlindungan Hukum untuk anak korban eksploitasi seksual di Asia tenggara 9 ACKNOWLEDGEMENT Child exploitation for sexual purposes in South East Asia, especially girls is a phenomenon that required serious attention from various parties. Perpetrators not only come from domestic but also from foreign countries. Therefore, Regional Conference on Legal Protection for victims of sexual exploitation against children in South East Asia is held in cooperation between the French Embassy and ECPAT Indonesia. The conference is held in Nusa Dua, Bali on 23-24 October 2013 and attended by 95 participants from ten countries who expert in law, observer, police, child and victims protection NGOs, and supported by Witness And Victim Protection Agency (LPSK), PBB agencies such as UNICEF and UNODC, and academia. Discussion, exchange of information, best practices, and networking in this two-day conference are success and gratify. One of the concerns of this conference is the process of restitution and compensation for victims of sexual exploitation is still weak in South East Asia so concrete steps is UCAPAN TERIMA KASIH Eksploitasi terhadap anak untuk tujuan seksual di kawasan Asia Tenggara, terutama anak perempuan, merupakan fenomena yang membutuhkan perhatian serius dari berbagai pihak. Pelaku kejahatan seksual ini tidak hanya berasal dari aktor-aktor lokal/domestik, tetapi juga dari mancanegara. Oleh karena itu, Konferensi Regional Asia Tenggara dengan tema perlindungan hukum terhadap anak korban eksploitasi seksual di Asia Tenggara diselenggarakan atas kerjasama antara Kedutaan Besar Republik Perancis dengan ECPAT Indonesia. Pertemuan yang diselenggarakan di Nusa Dua, Bali pada tanggal 23-24 Oktober 2013 ini dihadiri oleh 95 peserta dari 10 negara yang terdiri atas para ahli di bidang hukum, para pemerhati, aparat kepolisian, ahli bidang anak, program psikososial, praktisi berbasis LSM perlindungan anak dan korban, serta didukung oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, lembaga PBB seperti UNICEF dan UNODC, serta akademisi. Diskusi, tukar informasi, pengalaman terbaik, dan networking yang berlangsung selama dua hari berjalan lancar dan
  • 10. needed to reform and harmonize the legislation in order to have more respect for children’s rights before the law, especially when children are victims of sexual exploitation. Important recommendations are generated in this conference include regional cooperation to continue the exchange of information, trans-border cooperation, research, and establish a joint mechanism to combat crimes against children and ensure protection for child victims anywhere. On this occasion ECPAT Indonesia would like to thank to the French Embassy, which has given belief to keep working together to protect children in Indonesia especially and in Southeast Asia generally from sexual crimes that endanger their future. Thanks and highest appreciations also give to all parties who contributed to this event, namely: DONOR AND SPONSOR: Terre des Hommes Netherland, UNICEF, The Australian Federal Police, Mensen met een Missie, Kinder Nothilfe, The United State Departement of Justice, Institute Francais d’Indonesie, The Body Shop Indonesia, ACCOR and Mercure Nusa Dua, Bali. MEDIA PARTNERS: Radio Republik Indonesia and Forum Keadilan. Regional Conference on Legal Protection for Child Victims of Sexual Exploitation in Southeast Asia 10 menyenangkan. Salah satu perhatian Konferensi ini adalah masih lemahnya praktek restitusi dan kompensasi terhadap korban eksploitasi seksual di kawasan Asia Tenggara sehingga diperlukan langkah-langkah konkrit untuk melakukan reformasi dan harmonisasi undang-undang agar lebih menghormati hak asasi anak dihadapan hukum, terutama ketika anak menjadi korban eksplotasi seksual. Rekomendasi penting yang dihasilkan dalam konferensi ini antara lain adalah meneruskan kerjasama regional dengan pertukaran informasi, kerjasama lintas batas, penelitian, serta membangun mekanisme bersama dalam memerangi kejahatan terhadap anak dan memastikan perlidungan terhadap korban di manapun anak sebagai korban berada. Dalam kesempatan ini ECPAT Indonesia mengucapkan Terima Kasih kepada Kedutaan Republik Prancis, yang telah memberikan kepercayaan untuk tetap bekerja sama dalam melindungi anak-anak di Indonesia khususnya dan di kawasan Asia Tenggara umumnya dari kejahatan seksual yang membahayakan masa depan mereka. Ucapan terima kasih dan apresiasi setinggi-tingginya juga kami berikan kepada segenap pihak yang turut mendukung acara ini, yaitu: DONOR AND SPONSOR: Terre des Hommes Belanda, UNICEF, Australian Federal Police, Mensen met een Missie, Kinder Nothilfe, The United State Departement of Justice, Institute Francais Indonesia, Body Shop Indonesia, ACCOR dan Mercure Nusa Dua Bali.
  • 11. HONORARY VIP SPEAKERS: H.E. Ambassador Corinne BREUZÉ (the French Embassy), Prof. Irwanto, Ph.D. (President of ECPAT Indonesia), Brigjen Pol. Drs. HerryPrastowo, SH, MSI (Director of General Crimes), Ms. Lenny Kling (Representative of Terre des Homes Netherlands Regional Office Southeast Asia),Mr. Marc Lucet (UNICEF Indonesia), Mr. Ade Noerwenda (ACCOR Indonesia), Dr. Heru Kasidi, M.Sc. (Representative of Minister of Women Empowerment and Child Protection). HONORARY KEYNOTE SPEAKERS: Prof. Datuk Dr. Chiam HengKeng (ACWC Indonesia), Ms. Junita Upadhyay (Deputy Director of ECPAT International) THE DISTINGUISH SPEAKERS: Anjan Bose (ECPAT International), Mr. Seila Samleang (Action Pour Les Enfants), Mr. Tim Dwyer (United States Department of Homeland Security), Mr. Ali Aulia Ramly (UNICEF), Ms. Caroline Charpentier (French Magistrate), Federal Agent Lana Palmer (Child Protection Advisor Australia Federal Police), Mr. John Carr (Global Advisor on the ICT and on-line Protection Programme), Ms. Margaret Akullo (UNODC), Mr. Muhammad Jailani (Asia ACT), Ms. JoDee Neil (Legal Advisor of Safe Childhoods Foundation), Ms. Lili Pintauli Siregar (Institution for the Protection of Witness and Victim (LPSK) Indonesia), Federal Agent Sandra Booth (Australian Federal Police), Ms. Cristina Konferensi Regional : Perlindungan Hukum untuk anak korban eksploitasi seksual di Asia tenggara 11 MEDIA PARTNER: Radio Republik Indonesia dan Forum Keadilan. YANG TERHORMAT PARA PEMBICARA VIP: H.E. Ambassador Corinne BREUZÉ (Kedutaan Besar Prancis), Prof. Irwanto Ph.D (Presiden ECPAT Indonesia), Brigjen Pol. Drs. Herry Prastowo, SH, MSI (Direktur Tindak Pidana Umum), Lenny Kling (Perwakilan Terre des Homes Belanda kantor Regional Asia Tenggara), Marc Lucet (UNICEF Indonesia), Ade Noerwenda (ACCOR Indonesia), Dr. Heru Kasidi, M.Sc (Perwakilan Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak ). YANG TERHORMAT PARA PEMBICARA KUNCI: Prof. Datuk Dr. Chiam Heng Keng (ACWC Indonesia), Ibu Junita Upadhyay (Deputi Direktur ECAT International) YANG TERHORMAT PARA PEMBICARA: Anjan Bose (ECPAT International), Seila Samleang (Action Pour Les Enfants), Tim Dwyer (United States Department of Homeland Security), Ali Aulia Ramly (UNICEF), Caroline Charpentier (Hakim Prancis), Agen Federal Lana Palmer (Penasehat Perlindungan Anak AFP), John Carr (Penasehat Global ICT dan Program Perlindungan Online), Margaret Akullo (UNODC), Muhammad Jailani (Asia ACT), JoDee Neil (Penasehat Hukum Childhoods Foundation), Lili Pintauli Siregar (Lembaga
  • 12. Sevilla (ECPAT Philippines Lawyer), Mr. Muhammad Irfan Jaya (Indonesian Attorney General Office), Mr. Wanchai Roujanavong (Director General, International Affairs Department, The Office of the Attorney General of Thailand), Ms. Chairul Bariah (Faculty of Law from University of North Sumatera) THE MODERATORS: Prof. Irwanto, Ph.D. (ECPAT Indonesia), Ahmad Marzuki (ECPAT Indonesia), Mr. Jean Philippe Roth (French Security Attaché), Ali Aulia Ramly (UNICEF Indonesia), Anjan Bose (ECPAT International), Ms. Cristina Sevilla (ECPAT Philippines Lawyer). THE PARTICIPANTS: All distinguish invited participants who have actively participated through the whole two days regional conference from multi sectors and countries. For many other parties and/or individuals not mentioned here, we extend our biggest thanks and appreciation. Thereby the report of Regional Conference on Legal Protection for Victims of Sexual Exploitation against Children in Southeast Asia. The report also includes conclusion and key recommendations. Hopefully, the networking and the cooperation that has existed are viable to combat sexual crime against children in Southeast Asia for the interest of our children. Regional Conference on Legal Protection for Child Victims of Sexual Exploitation in Southeast Asia 12 Jakarta, 2 December 2013 Prof. Irwanto, Ph.D. Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK Indonesia), Agen Federal Sandra Booth (Australian Federal Police), Cristina Sevilla (Pengacara ECPAT Philippines), Muhammad Irfan Jaya (Kejaksaan Agung Republik Indonesia), Wanchai ROUJANAVONG (Direktur General, Departemen Hubungan Internasional, Kejaksaan Agung Thailan), Ibu Chairul Bariah (Fakultas Hukum Universitas Sumatra Utara). PARA MODERATOR: Prof. Irwanto, Ph.D (ECPAT Indonesia), Ahmad Marzuki (ECPAT Indonesia), Bapak Jean Philippe ROTH (Atase Keamanan Prancis), Ali Aulia Ramly (UNICEF Indonesia), Anjan Bose (ECPAT International), Ibu Cristina Sevilla (Pengacara ECPAT Philippines). PARA PESERTA: Para peserta yang terhormat dari berbagai bidang dan negara yang telah berpartisipasi secara aktif pada konferensi dua hari. Dan untuk semua pihak yang tidak bisa kami sebutkan satu per satu disini, kami menyampaikan ucapan terima kasih dan apresiasi yang sebesar-besarnya. Akhir kata, dalam Laporan ini kami sampaikan beberapa Rangkuman dan Rekomendasi Kunci. Semoga networking dan kerjasama yang telah terjalin dapat terus berjalan dan semakin erat agar kejahatan seksual terhadap anak di kawasan Asia Tenggara dapat teratasi dengan sebaik-baiknya demi kepentingan terbaik anak-anak kita. Jakarta, 2 Desember 2013 Prof. Irwanto, Ph.D.
  • 13. Konferensi Regional : Perlindungan Hukum untuk anak korban eksploitasi seksual di Asia tenggara 13 INTRODUCTION Criminal and crime syndicates organize the trafficking of vulnerable children for commercial sexual exploitation. These criminal elements service an ever-growing demand in a market dominated by male customers who seek unlawful sexual gratification with children. Corruption and collusion, absence of and/or inadequate laws, lax legal measures, and limited sensitization of law enforcement personnel to the harmful impact on children, are all further factors which lead, directly or indirectly, to the commercial sexual exploitation of children. It may involve the acts of a single individual, or be organized on a small scale (e.g., family and acquaintances) or a large scale (e.g., criminal network).1 Sexual exploitation crimes against children not only occur in a particular region but also operates transnationally. Numbers of child victims of sexual exploitation have considerably increased in both its scale and intensity around the world, particularly PENDAHULUAN Pelaku dan jaringan kejahatannya sangat berperan dalam pengadaan dan penyaluran anak-anak yang rentan terhadap eksploitasi seksual komersial dan melanggengkan segala bentuk eksploitasi. Elemen kejahatan ini memenuhi permintaan di pasar seks yang diciptakan oleh pelanggan, terutama pria, yang mencari kepuasan seksual yang melanggar hukum dengan anak-anak. Korupsi dan kolusi, kekosongan dan/atau hukum yang tidak memadai, penegakan hukum lemah, dan terbatasnya sensitisasi aparat penegak hukum terhadap dampak berbahaya pada anak-anak, merupakan faktor-faktor yang mengarah baik langsung atau tidak langsung pada eksploitasi seksual komersial anak. Hal ini dapat melibatkan tindakan satu orang, atau diatur dalam skala kecil (misalnya, keluarga dan kenalan) atau skala besar (misalnya,jaringan kriminal).1 Kejahatan seksual dan eksploitasi terhadap anak tidak hanya terjadi di suatu wilayah atau negara tetapi sering juga beroperasi secara lintas negara. Jumlah korban eksploitasi seksual anak telah jauh meningkat baik dalam skala maupun intensitasnya di kawasan Asia Tenggara. Banyak berita serta laporan dari lembaga 1. Stockholm Declaration (ECPAT International Report of the World Congress III Against Sexual Exploitation of Children and Adolescents, September 2009) 1. Stockholm Declaration (ECPAT International Report of the World Congress III Against Sexual Exploitation of Children and Adolescents, September 2009)
  • 14. due to new technology. It is difficult to estimate how many children in Southeast Asian countries – in fact, around the world - are victims of commercial sexual exploitation, even more so to disaggregate how many are victimized through child sex tourism, child pornography, child prostitution or sex trafficking. A majority of child sexual abuse cases are unreported and undetected. For decades, child sex abuse perpetrators have targeted children in countries within the Southeast Asian region. Thailand and the Philippines, partly due to their existing ‘sex industries’, have been frequently associated with child sex tourism. However, other countries have emerged as prime child sex tourist destinations: Cambodia and Vietnam have suffered an influx of child sex tourists as a result of increased efforts to combat the issue in Thailand. Indonesia has also witnessed a growth in the abuse of children by tourists, showing that sexual exploitation of children in tourism shifts as political, economic and social development Regional Conference on Legal Protection for Child Victims of Sexual Exploitation in Southeast Asia 14 resmi dapat menjadi referensi statistik untuk melihat fakta di wilayah Asia Tenggara terkait isu ini. Sulit untuk memperkirakan berapa banyak anak-anak di negara-negara Asia Tenggara menjadi korban eksploitasi seksual komersial, bahkan untuk menguraikan berapa banyak yang menjadi korban melalui pariwisata seks anak, pornografi anak, prostitusi anak atau perdagangan seks. Asia Tenggara telah lama menjadi target kejahatan seks pada anak oleh wisatawan. Thailand dan Filipina, terlepas karena adanya ‘industri seks’ di negera tersebut, sering kali dikaitkan dengan pariwisata seks anak, Namun, negara-negara lain telah muncul sebagai tujuan utama wisata seks anak: Kamboja dan Vietnam dikatakan telah mengalami masuknya wisatawan seks anak sebagai hasil dari meningkatnya upaya untuk memerangi masalah ini di Thailand. Negara-negara seperti Indonesia juga telah menyaksikan peningkatan kejahatan terhadap anak oleh wisatawan, menunjukkan bahwa eksploitasi seksual terhadap anak-anak dalam dunia pariwisata bergeser karena terjadi perkembangan politik, ekonomi dan sosial.2 Di Negara-negara Asia Tenggara sendiri, undang-undang tentang perlindungan korban eksploitasi seksual terhadap anak-anak belum beroperasi pada tingkat yang sama dari satu negara ke negara 2. ECPAT International, “Combating Child Sex Tourism”, 2008 2. ECPAT International, “Combating Child Sex Tourism”, 2008
  • 15. occurs.2 In Southeast Asia, domestic legislation on the protection of victims of sexual exploitation against children differs from one country to the other. Some countries have delivered very good protection to victims by providing compensation and restitution. Some fail to pay any attention to the victims. The United Nation’s Resolution No.40/34 on Declaration of Basic Principles of Justice for Victims of Crime and Abuse of Power states that a country is obliged to consider compensation and restitution for the victims of a crime. The Optional Protocol on Sale of Children, Child Prostitution and Child Pornography (OPSC) also delivers more specific considerations to the obligation of a country on providing compensation, restitution and rehabilitation for victims of sexual crimes against children. France, South America and Australia have improved on their existing regulations and the provision of compensation to victims once punishment is meted out to child sexual crime offenders. Through this two-day regional conference in Bali, held on 23-24 October 2013, a Konferensi Regional : Perlindungan Hukum untuk anak korban eksploitasi seksual di Asia tenggara 15 lain. Beberapa negara telah memberikan perlindungan yang sangat baik untuk para korban dengan memberikan kompensasi dan restitusi dari negara, tetapi di sisi lain beberapa negara bahkan tidak memperhatikan korban. Resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa No.40/34 pada Deklarasi Prinsip-prinsip Dasar Keadilan bagi Korban Kejahatan dan Penyalahgunaan Kekuasaan menyatakan bahwa negara wajib untuk mempertimbangkan kompensasi dan restitusi bagi korban kejahatan. Protokol Opsional tentang Penjualan Anak, Prostitusi Anak dan Pornografi Anak (OPSC) juga memberikan pertimbangan yang lebih spesifik untuk kewajiban suatu negara dalam memberikan kompensasi dan restitusi Deklarasi Stockholm ECPAT International, “Combating Child Sex Tourism”, 2008 rehabilitasi bagi korban kejahatan seksual terhadap anak. Beberapa negara seperti Perancis, Amerika Selatan, Australia telah membuat perbaikan hukum dan pemberian kompensasi kepada korban setelah hukuman kepada pelaku kejahatan seksual anak dijatuhkan. Melalui konferensi regional dua hari ini di Bali, yang diselenggarakan pada Oktober 2013, pemahaman yang lebih mendalam tentang sistem hukum,
  • 16. deeper understanding about the legal systems, strengths and weaknesses to providing protection of child victims in countries such as Indonesia, Thailand, Philippines, Australia, France and the USA will be learnt. Identifying obstacles on multilateral work in the region and how to build cooperation with countries whose experiences and legal systems do effectively address such issues will be communicated in detail. Regional Conference on Legal Protection for Child Victims of Sexual Exploitation in Southeast Asia 16 kekuatan dan kelemahan dalam menyediakan perlindungan bagi korban anak-anak di negara-negara seperti Indonesia, Thailand, Filipina, Australia, Perancis dan Amerika Serikat akan dipelajari. Mengidentifikasi hambatan pada pekerjaan multerateral di kawasan tersebut dan bagaimana menbangun kerjasama dengan negara-negara yang berpengalaman dan sistem hukum dalam menangani isu-isu tersebut secara efektif akan dikomunikasikan secara rinci.
  • 17. Konferensi Regional : Perlindungan Hukum untuk anak korban eksploitasi seksual di Asia tenggara 17 THE OBJECTIVES 1. To recognize deeper the available legal system regulating the protection of victims of sexual crimes against children in Southeast Asia Countries; 2. To recognize the achieved progresses as well as weaknesses and obstacles in employing the legal system to the protection of victims of sexual crimes against children in Southeast Asia Countries; 3. To deliver lesson learnt on best practices of countries which have been practicing protection for victims of sexual crimes against children through restitution and compensation mechanism; 4. To build cooperation in improving legal system of countries in Southeast Asia which have not delivered protection for victims of sexual crimes against children; 5. To depict visual pictures the situation of sexual exploitation against children through journalist photos exhibition. TUJUAN 1. Untuk mengenali lebih jauh sistem hukum yang ada yang mengatur tentang perlindungan bagi korban kejahatan seksual terhadap anak di negara-negara Asia Tenggara. 2. Untuk mengenali kemajuan yang ada begitu pula kelemahan dan kendala yang dihadapi dalam penerapan sistem hukum tentang perlindungan bagi korban kejahatan seksual terhadap anak di negara-negara Asia Tenggara 3. Untuk memberi pembelajaran tentang pengalaman terbaik dari negara-negara yang telah menerapkan perlindungan bagi korban kejahatan seksual terhadap anak melalui mekanisme restitusi dan kompensasi 4. Membangun kerjasama dalam memperbaiki sistem hukum negara-negara di Asia Tenggara yang belum menerapkan perlindungan bagi korban kejahatan seksual terhadap anak. 5. Menggambarkan secara visual situasi eksploitasi seksual terhadap anak melalui pameran foto jurnalis.
  • 18. Regional Conference on Legal Protection for Child Victims of Sexual Exploitation in Southeast Asia 18 EXPECTED RESULTS 1. Participants recognize deeper the available legal system regulating the protection of victims of sexual crimes against children in Southeast Asia Countries; 2. Participants recognize the achieved progresses as well as weaknesses and obstacles in employing the legal system to the protection of victims of sexual crimes against children in Southeast Asia Countries; 3. Participant obtain lesson learnt on best practices of countries which have been practicing protection for victims of sexual crimes against children through restitution and compensation mechanism; 4. Participants who are from Southeast Asia countries can build communication and cooperation efforts among countries in improving their legal system to the protection of victims of sexual crimes against children; 5. The situation of sexual exploitation against children is depicted visually and gives broader perspective to the situation faced through photo journalist exhibition. HASIL YANG DIHARAPKAN 1. Peserta mengenali lebih jauh sistem hukum yang ada yang mengatur tentang perlindungan bagi korban kejahatan seksual terhadap anak di negara-negara Asia Tenggara 2. Peserta mengenali kemajuan yang dicapai begitu pula kelemahan dan kendala yang dihadapi dalam penerapan sistem hukum tentang perlindungan bagi korban kejahatan seksual terhadap anak di negara-negara Asia Tenggara 3. Peserta mendapat pembelajaran tentang pengalaman terbaik dari negara-negara yang telah menerapkan perlindungan bagi korban kejahatan seksual terhadap anak melalui mekanisme restitusi dan kompensasi 4. Peserta yang berasal dari negara-negara di Asia Tenggara dapat saling membangun komunikasi dan upaya-upaya kerjasama antar negara dalam memperbaiki sistem hukum perlindungan bagi korban kejahatan seksual terhadap anak. 5. Situasi eksploitasi seksual terhadap anak tergambarkan secara visual dan memberikan pandangan yang lebih luas terhadap situasi yang dihadapi melalui pameran photo jurnalis
  • 19. Konferensi Regional : Perlindungan Hukum untuk anak korban eksploitasi seksual di Asia tenggara 19 EXECUTIVE SUMMARY The Regional Conference on Legal Protection for Child Victims of Sexual Exploitation in Southeast Asia was held in Bali, Indonesia, on 23-24 October 2013. This two-day conference, which covered a lot of ground on premeditated behavior leading to, and the consequences of, the commercial sexual exploitation of children [CSEC], was organized by ECPAT Indonesia in collaboration with the French Embassy. Global experts from various fields – law enforcement within the ASEAN region, France, the USA and Australia, child protection NGOs, experts in social psychology, Indonesian government institutions, UNICEF, UNODC and lecturers of law – participated to highlight critical questions on the methods applied by perpetrators today to sexually exploit children through new technology; what constitutes as sexual crimes against children; what role do law enforcers play in the rescue, recovery and protection of child victims of sexual abuse. Beside that, there were 95 participants from 10 countries - Malaysia, France, Thailand, Cambodia, the Philippines, Vietnam, Timor Leste, Brunei Darussalam, Singapore - participated in the conference. Those who participated actively in the conference comprised of co-partners such as the Australian Federal Police [AFP], the Indonesian RANGKUMAN PELAKSANAAN Konferensi Regional tentang Perlindungan Hukum untuk Anak Korban Eksploitasi Seksual di Asia Tenggara telah diselenggarakan di Bali, pada tanggal 23-24 oktober 2013. Konferensi dua hari yang membahas banyak hal mengenai kecenderungan perilaku akibat dari eksploitasi seksual komersial anak (ESKA) ini, telah dilaksanakan oleh ECPAT Indonesia yang bekerjasama dengan Kedutaan Prancis untuk Indonesia. Para ahli dari berbagai bidang – penegak hukum dari Asia Tenggara, Prancis, Amerika Serikat, dan Australia, LSM perlindungan anak, ahli psikologi sosial, institusi pemerintah Indonesia, UNICEF, UNODC, dan Dosen hukum – berpartisipasi untuk menyoroti pentanyaan kritis mengenai metode yang dipakai pelaku sekarang untuk mengeksploitasi seksual anak melalui teknologi baru; apa yang dianggap sebagai kejahatan seksual terhadap anak-anak, apa peran penegak hukum dalam penyembuhan, pemulihan, dan perlindungan terhadap korban kekerasan seksual. Disamping itu, ada 95 peserta dari 10 negara -Malaysia, Prancis, Thailand, Kamboja, Filipina, Vietnam, Timor leste, Brunei Darussalam, Singapore – berpartisipasi aktif dalam konferensi tersebut. Mereka berperan aktif dalam konferensi ini, diantaranya, Australian Federal Police [AFP], MABES POLRI, UNICEF, TDH Belanda, dan lainnya.
  • 20. Police Headquarters [MABES POLRI], UNICEF, TDH Netherlands, etc. A total of 19 speakers graced six thematic panels. An interesting exchange of knowledge on child victims of sexual crimes, the best practices of the law to protect these victims and the legal mechanisms available in Southeast Asian nations, Australia, the USA and France took place. Brief recommendations were made on how to tackle certain issues in view of its current manifestations. Interesting issues raised by the panel speakers included discussion on whether or not child victims need to undergo interviews linked to their ordeal over and over again - first by the police and then in a courtroom trial - when there are permanent records in the form of photo or video documentation; what constitutes as child abuse images; and in what forms can legal mechanisms and legal institutions offer protection to child victims of sexual abuse. CSEC, the conference panel speakers underlined, can and will cause severe psychological consequences for child victims, including depression, low self-esteem, restlessness, concentration difficulties, aggressive behaviours and repressed anger. They might experience difficulties with trusting people. Their role boundaries may be blurred. Child victims of CSEC need to obtain judicial remedies in the form of conviction of the perpetrator and financial compensation, but they also need to access assistance and support under child protection legislation recovery. Regional Conference on Legal Protection for Child Victims of Sexual Exploitation in Southeast Asia 20 Sebanyak 19 pembicara menyampaikan materinya dalam 6 panel. Media berbagi pengetahuan yang menarik mengenai anak korban eksploitasi seksual, pelatihan hukum terbaik untuk melindungi korban dan mekanisme hukum di Asia Tenggara, Australia, Amerika Serikat, Prancis. Rekomendasi singkat telah dibuat mengenai bagaimana menangani isu-isu tertentu dalam pandangan manifestasi saat ini. Hal menarik yang digarisbawahi oleh pembicara adalah diskusi apakah korban [anak] benar-benar harus melakukan wawancara dan mengalami penderitaan yang berulang-ulang, pertama oleh polisi dan kemudian di ruang pengadilan, ketika ada dokumentasi berupa foto atau video; apa yang dimaksud dengan gambar kekerasan anak; dan dalam bentuk apa mekanisme dan institusi hukum dapat melindungi anak korban ekploitasi seksual. ESKA, pembicara mengatakan, dapat dan akan mengakibatkan penderitaan psikologis untuk mereka, seperti depresi, rendah diri, resah, sulit berkonsentrasi, prilaku yang agresif dan menahan marah. Mereka mungkin mengalami kesulitan dalam mempercayai orang. Batasan peran mereka mungkin menjadi kabur. Anak korban ESKA perlu untuk mendapatkan remedi yudisial dalam bentuk kepastian pelaku dan kompensasi finansial, tapi mereka juga perlu untuk mengakses bantuan dan dukungan pemulihan dibawah UU perlidungan anak.
  • 21. One primary recommendation was that priority needs to be given to victim identification, rescue and protection, including from hardships during the course of an ongoing investigation into the crime. Appropriate therapeutic facilities are required to support victims after they have been rescued. Recommendations were also made for the need of a clear and a strong legal framework that is consistent with international standards. And the possession of offline and online child abuse images be made an offence irrespective of one’s intent to distribute. On the note of questioning child victims, panel speakers reiterated the need that law enforcement should have officers trained in “child-friendly” interview techniques when dealing with child victims of sexual abuse, and time and efforts need to be put in to educate law enforcement officers, so that a suitable environment is created where the victim feels comfortable enough to speak up to the law officers. Konferensi Regional : Perlindungan Hukum untuk anak korban eksploitasi seksual di Asia tenggara 21 Salah satu rekomendasi utama adalah bahwa prioritas harus diberikan kepada identifikasi korban, penyelamatan dan perlindungan, termasuk dari kesulitan selama penyelidikan yang sedang berlangsung. Fasilitas terapi yang tepat diperlukan untuk mendukung korban setelah mereka telah diselamatkan. Rekomendasi juga telah dibuat untuk kebutuhan kerangka hukum yang jelas dan kuat yang sesuai dengan standar internasional. Dan kepemilikan gambar pelecehan anak termasuk pelanggaran, terlepas dari niat untuk mendistribusikannya. Salah satu catatan mengenai wawancara terhadap korban [anak], para pembicara menyatakan bahwa penegak hukum harus dilatih menggunakan tehnik wawancarwa ‘ramah anak’ ketika berurusan dengan anak korban kekerasan seksual, waktu dan usaha memang diperlukan untuk mendidik aparat penegak hukum, oleh karena itu lingkungan yang sesuai diciptakan dimana korban merasa cukup nyaman untuk berbicara kepada petugas.
  • 22. Notable contributions to the conference also came from a number of participants who posed thoughtful questions to panel speakers. An activist from Bali pointed out that there were zero shelters or drop-in centers for child victims of abuse located in far-flung villages in Bali itself - some inaccessible by road, while others located about 3 hours from Denpasar, the capital of Bali. This activist ended up housing the child victim in her home, and she posed the question - what can activists do about providing a protective home for child victims, when there are no special drop-in centers to house them? Another came from a policewoman who alerted audiences and provided them with a reminder: poor communities will and do fiercely protect suspected pedophiles - both foreigners and locals alike - who spend money and provide these communities with schooling, homes and clothing. She cited a case where Bali Police officers had to go to a community in search of information on a suspected pedophile, and failing to extract any information from the community because they were protective over the suspected man. Another participant asked: How can a child receives adequate protection and justice, when there are no witnesses to the crime and the only ones who actually know what transpired exactly, whether the suspect or the child victim? Reminders were raised to the effect that when a child is interviewed, Regional Conference on Legal Protection for Child Victims of Sexual Exploitation in Southeast Asia 22 Khususnya masukan untuk konferensi juga datang dari beberapa peserta yang mengemukanan pertanyaan cerdas kepada pembicara. Seorang aktivis dari Bali menyatakan bahwa tidak ada shelter untuk anak korban kekerasan seksual yang berlokasi didesa-desa yang jauh di bali – beberapa tidak bisa dijangkau, sementara yang lain berlokasi sekitar 3 jam dari Denpasar. Aktivis ini akhirnya menampung korban [anak] di rumahnya, dan dia bertanya - apa yang bisa saya lakukan ketika tidak ada rumah penampungan korban? pertanyaan lainnya datang dari seorang polwan dari bali yang memperingatkan peserta dan mengingatkan mereka: masyarakat miskin akan sangat melindungi tersangka pedopil – baik orang asing maupun pribumi yang menghabiskan uang mereka untuk menyediakan kebutuhan sekolah, rumah dan pakaian mereka. Dia menyebutkan sebuah kasus dimana Polisi Bali harus pergi ke masyarakat untuk mencari informasi tersangka pedopil, dan gagal mendapatkan informasi dari mereka karena mereka sangat melindungi tersangka tersebut. PESERTA LAINNYA BERTANYA: Bagaimana seorang anak mendapatkan perlindungan dan keadilan yang cukup, ketika tidak ada saksi atas kejahatan tersebut dan tidak ada satu pun yang benar-benar tahu yang sebenarnya terjadi, apakah pelaku atau korban? Kita juga diingatkan detail ketika mewawancarai anak. Istilah “dia
  • 23. every detail matters. The “He Said, She Said” fallacy was pointed out as a case where the only witnesses are the complainant and the suspect. The logic behind this fallacy - and it is a fallacy applied by law enforcement officers in child abuse cases - is that one of the witnesses is always lying, and since it could be either the complainant or the suspect, both are presumed unreliable witnesses. Mentions were made for the need of a forensic interview which involves a short recording between the interviewer and the child, and questions asked are non-leading. Aspects such as body language of the child during the interview are to be noted. Also, special care needs to be taken to analyze what a child does not say. In terms of restitution and compensation for the child victim, examples were cited in the case of Thailand, for instance, before the year 2003 - focus was more on punishing the abuser rather than on providing restitution and compensation for the victim of a crime. However, after 2003, the country’s Criminal Procedure Code was amended to allow victims to file a motion to the court trying the criminal case, forcing the accuser to pay the restitution to the victim. Obstacles however remain in terms of the execution of the judgment in court and the confiscating the assets of the offenders so that payment can be made. In Indonesia, meanwhile, even as there are regulations that allow for payment of restitution, the technical aspect in terms of implementing the execution of payment for child victims is not available. Konferensi Regional : Perlindungan Hukum untuk anak korban eksploitasi seksual di Asia tenggara 23 berkata,” sebuah kekeliruan yang telah dikemukakan bahwa kasus dimana hanya saksi, pengadu dan tersangka. Logika dibalik kekeliruan ini – dan kekeliruan ini diterapkan oleh penegak hukum dalam kasus kekerasan anak – adalah salah satu saksi yang selalu berbohong, dan bisa jadi pengadu dan tersangka, kedua-duanya merupakan saksi yang tidak bisa diandalkan. Pernyataan telah dibuat untuk kebutuhan wawancara forensik yang melibatkan rekaman pendek antara pewawancara dan anak, dan pertanyaan bukan hal utama. Aspek seperti bahasa tubuh si anak selama wawancara harus dicatat. Juga, treatment khusus harus diambil untuk menganalisis apa yang tidak dikatakan oleh anak. Dalam hal restetusi dan kompensasi untuk korban [anak], contohnya telah dikemukakan hari ini pada kasus di Thailand, misalnya, sebelum tahun 2003 – fokus lebih kepada menghukum pelaku pelecehan daripada menyediakan restetusi dan komensasi terhadap korban kejahatan. Bagaimanapun, setelah tahun 2003, KUHP negara telah diubah untuk mengijinkan korban untuk mengajukan mosi kepada pengadilan, memaksa pelaku untuk membayar ganti rugi restetusi kepada korban. Hakim di Pengadilan menyita asset tersangka, sehingga pembayaran dapat dilakukan. Di Indonesia, meskipun ada regulasi yang mengijinkan pembayaran restetusi, tekhnik pembayarannya tidak tersedia. Laporan Konferensi ini merupakan versi ringkas dari diskusi yang telah diselenggarakan. Konferensi ini dimulai dan berakhir dengan sebuah
  • 24. This conference report will provide a summarized version of discussions held. The conference began with and ended on an underlying note that served as a reminder throughout the discussions: there are many reasons why a majority of sexual abuses go undetected and unreported. Among them are a deeply embedded culture of silence that lasts for years; not understanding the legal procedures that need to be taken to report a case and see it brought to court; children experiencing deep embarrassment of not being taken seriously by parents; and above all, fear of a child’s safety. Regional Conference on Legal Protection for Child Victims of Sexual Exploitation in Southeast Asia 24 Bali, 23-24 October 2013 catatan yang berfungsi sebagai pengingat: ada banyak alasan mengapa sebagian besar pelanggaran seksual tidak terdeteksi dan tidak dilaporkan. Diantaranya adalah budaya diam telah tertanam dan berlangsung selama bertahun-tahun; kurang memahami prosedur hukum yang perlu diambil untuk melaporkan kasus dan membawanya ke pengadilan; anak-anak merasa sangat malu datang ke pengadilan, dan hal itu tidak dianggap serius oleh orang tua; dan di atas itu semua, takut akan keselamatan anak. Bali, 23-24 Oktober 2013
  • 25. Konferensi Regional : Perlindungan Hukum untuk anak korban eksploitasi seksual di Asia tenggara 25
  • 26. Regional Conference on Legal Protection for Child Victims of Sexual Exploitation in Southeast Asia 26
  • 27. Konferensi Regional : Perlindungan Hukum untuk anak korban eksploitasi seksual di Asia tenggara 27 PENGETAHUAN PENTING TENTANG anak korban KEJAHATAN SEKSUAL YANG HARUS DIKETAHUI OLEH PENEGAK HUKUM Presentasi dari: Chiam Heng Keng, Junita Upadhyay dan Heru Kasidi Chiam Heng Keng, Perwakilan Malaysia untuk ACWC Apa yang dimaksud kejahatan seksual terhadap anak ? Kebanyakan penegak hukum mengasosiasikan kejahatan seksual sebagai pemerkosaan dan penganiayaan. Lebih banyak lagi sebenarnya, namun anak korban pelecehan seksual semakin merajalela, terutama melalui teknologi informasi dan komunikasi, online, komunikasi telepon, dan berbagai kegiatan eksploitatif lainnya – dari yang tanpa kekerasan; merusak psikologis secara mendalam, dan tindakan kasar yang berakibat kerusakan fisik dan psikis korban. Contoh terkini adalah 27 pria dikenakan biaya untuk berhubungan sex dengan seorang gadis berusia 17 tahun yang menawarkan dirinya di intenet. Selain itu, seorang pria tua melakukan sex dengan anak 13 tahun, yang dimulai dengan sms. Dan kemudian dia melangkah ke kejahatan perdagangan orang yang terorganisir. Penegak hukum bagaimanapun harus mengetahui makna kejahatan seksual. Kenapa? Meraka adalah orang pertama yang menerima laporan kejahatan THE IMPORTANT KNOWLEDGE ABOUT CHILD VICTIMS OF SEXUAL CRIME THAT LAW ENFORCERS SHOULD KNOW Presentations By: Chiam Heng Keng, Junita Upadhyay and Heru Kasidi Chiam Heng Keng, Malaysia’s Representative to ACWC What constitutes as sexual crimes against children? Most law enforcers associate sexual crimes to principally rape and molestation. More and more however, child sexual molestation is becoming rampant, particularly through ICTs, online and phone-based communication, and encompasses a broad range of exploitative activities – from the non-abusive which imposes profound psychological damage to a child, to abusive acts that contribute to both physical and psychological damage to the victim. One recent example is of 27 men being charged for having sex with a 17-year-old girl who offered herself on the internet. Another is of an older man conducting sex with a 13-year-old, an act preceded by exchanges of messages through mobile phone texting. And then it goes on to steps taken toward organized crime - trafficking. Law enforcers therefore must know what constitutes as sexual crimes. Why? They are the first ones who receive reports of sexual crimes, and
  • 28. they carry out the investigations of those crimes. To protect children effectively, law enforcers need to comprehend the psychological and physical impact on child victims of sexual abuse. Such abuse includes non-violent acts like fondling, or children being paid a certain sum to undress themselves. The extent of physical or psychological damage can depend on the duration of the abuse [long or short period of time]. A majority of sexual abuse cases involving child victims go undetected. Firstly, there is a culture of silence due to deep shame on the part of the victim. Secondly, because of how these acts are carried out by perpetrators – including binding the child to secrecy, sometimes under threat - it is very difficult to find out how many children have been abused. Also, perpetrators offer child victims gifts. They build a rapport with the victim first, before engaging in sexual relations. This is referred to as grooming. It could also involve supplying the child with drugs or alcohol before the abuse begins. Another common form of sexual crime is the transaction of indecent images of children through webcams or social networking sites. Then, there is online chatting between an adult and a child which leads to sex chats on the net, and then meeting up for sexual purposes. The child could also be tricked into producing indecent images of himself or herself. Through this method, the perpetrator can sexual exploit a large number of victims. Regional Conference on Legal Protection for Child Victims of Sexual Exploitation in Southeast Asia 28 seksual dan mereka yang melakukan penyelidikan atas kejahatan tersebut. Untuk menjaga anak secara efektif, penegak hukum perlu untuk memahami dampak psikologis dan fisik anak korban pelecehan seksual. Pelecehan tersebut termasuk tindakan tanpa kekerasan seperti belaian, atau anak-anak dibayar untuk menanggalkan pakaiannya sendiri. Tingkat kerusakan fisik dan psikologis anak dapat bergantung kepada waktu pelecehan tersebut [lama atau sebentar]. Sebagian besar kasus pelecehan seksual melibatkan korban yang tak terdeteksi. Pertama, adanya budaya diam karena korban merasa sangat malu. Kedua, karena perlakuan si pelaku seperti mengikat anak untuk diam, kadang-kadang memberi ancaman – sangat sulit untuk mengetahui berapa banyak anak-anak yang mengalami pelecehan. Dan juga, pelaku menawarkan anak hadiah. Mereka membangun hubungan dengan korban terlebih dahulu sebelum terlibat dalam hubungan seksual. Hal ini disebut perawatan (grooming) . Bisa juga memasok obat-obatan atau alkohol ke anak sebelum pelecehan dimulai. Bentuk umum lain dari kejahatan seksual adalah transaksi gambar vulgar anak-anak melaui webcam atau situs jejaring sosial. Lalu chatting yang mengarah kepada obrolan seks di internet antar orang dewasa dan anak yang mengarah kepada obrolan seks di internet, dan kemudian bertemu untuk tujuan seksual. Anak juga
  • 29. Due to the profound effects of this abuse, social integration and the well-being of the child victim is severely compromised. The victim may suffer from headaches, sleeplessness, anxiety, stomachaches, low self-esteem, rage and repressed anger. They could suffer from an inability to form relationships all their lives if their psychological health goes untreated. On one end, some could isolate themselves. On the other, they could exhibit promiscuous behavior and are sexually advanced. Sexual abuse can also lead to psychosis in the victims. Manifestations of these physical and psychological problems can include self-mutilation, extreme promiscuity, overeating, loss of appetite and suicidal attempts. Law enforcers can either protect child victims from suffering further physical and psychological hardships, or cause greater harm physically and psychologically as child victims seek for protection and justice. Konferensi Regional : Perlindungan Hukum untuk anak korban eksploitasi seksual di Asia tenggara 29 bisa tertipu dan membuat gambar vulgarnya sendiri. Melalui metode ini, pelaku dapat mengeksploitasi lebih banyak korban. Karena efek yang mendalam dari pelecehan ini, integrasi sosial dan kesejahteraan korban terancam. Korban mungkin menderita sakit kepala, susah tidur, cemas, sakit perut, rendah diri, marah, menekan kemarahan. Mereka mungkin menderita ketidakmampuan membangun hubungan selama hidupnya jika kesehatan psikologisnya tidak teratasi. Pada akhirnya, mungkin mereka akan mengisolasi diri sendiri, atau mereka bisa menunjukan prilaku pergaulan bebas. Pelecehan seksual juga dapat memicu penyakit jiwa. Perwujudan dari masalah fisik dan psikologis ini juga termasuk melukai diri sendiri, pergaulan yang ekstrim, makan berlebihan, kehilangan nafsu makan dan upaya bunuh diri. Para penegak hukum dapat melindungi korban dari penderitaan psikis dan fisik, atau menyebabkan kerugian fisik dan
  • 30. Protection of the privacy of child victims is of utmost importance. Measures must be taken from exposing to the public the identity of the victims to protect them from being ridiculed, shamed, ostracized, labelled by classmates, friends, neighbors or the general public. Where medical examinations are needed, care should be exercised for it to be minimally intrusive. Medical examinations that are capable of offending the child’s modesty should be carried out only when absolutely necessary. The child should have the right to choose the gender of the medical staff. The child has the right for a parent, guardian or a trusted adult to be present at the medical examination. Law enforcers should identify and convey to child victims or their legal representatives at the first encounter relevant information pertaining to available assistance and access to justice. The information is to be given in a child-friendly manner, adapted to the age and the capacity of the child victim.**** Regional Conference on Legal Protection for Child Victims of Sexual Exploitation in Southeast Asia 30 psikis yang lebih besar sebagai korban [anak] yang mencari perlindungan dan keadilan. Perlindungan privasi korban [anak] sangat penting.Tidak boleh mengekspos identitas korban ke publik untuk melindungi mereka dari ejekan, dipermalukan, dikucilkan, atau diberi label oleh temannya, tetangga atau masyarakat umum. Dimana pemeriksaan medis diperlukan, perawatan harus dilakukan untuk meminimalisir gangguan. Pemeriksaan medis bisa menyinggung harga diri anak, sehingga seharusnya dilakukan hanya bila benar-benar perlu. Anak memiliki hak untuk memilih jenis kelamin petugas kesehatan. Anak memiliki hak untuk orang tua, wali atau orang yang dipercaya untuk hadir pada saat pemeriksaan. Ketika pertemuan pertama, Penegak hukum harus mengidentifikasi dan menyampaikan kepada korban [anak] atau kuasa hukumnya mengenai bantuan yang tersedia dan akses terhadap keadilan itu sendiri. Informasi ini diberikan dengan cara yang ramah, disesuaikan dengan usia dan kapasitas korban [anak]. ****
  • 31. Konferensi Regional : Perlindungan Hukum untuk anak korban eksploitasi seksual di Asia tenggara 31 Junita Upadhyay, ECPAT International Deputy Director for Programs Why is it important to protect victims of CSEC? It is firstly the duty of the state to protect who it fails to protect. This duty is in accordance with international, regional and national legislative instruments - Trafficking Protocol, Convention on the Rights of the Child and Optional Protocol. Also, the ASEAN Declaration against Trafficking in Persons Particularly Women and Children, and the numerous Memorandum of Understandings (MOU) between countries in the region. The more victims are protected by the state, the more they will collaborate with the state during the prosecution stage, and ideally, the more convictions will be issued. So who should know more about this issue? All the law enforcers: the police, public prosecutors, judges and lawyers. Those also in the know should include psychologists and the social welfare workers involved. NON-CRIMINALISATION: Child victims are often arrested, detained, charged and sometimes prosecuted for unlawful activities related to trafficking such as illegal entry into the country and engaging in prostitution. Child victims should not be criminalised as a result of being subjected to CSEC crimes. Criminalisation of trafficking victims is also prohibited by the Trafficking Principles and Guidelines Junita Upadhyay, Direktur Deputi Program ECPAT International Kenapa melindungi korban ESKA itu sangat penting? Pertama, karena memang sudah menjadi tugas negara untuk melindungi siapa saja warga negaranya. Kewajiban ini sesuai dengan instrument legislatif internasional, regional dan nasional – Protokol Perdagangan, Konvensi Hak Anak dan Protokol Opsional. Juga, Deklarasi ASEAN Anti Perdagangan Orang Khususnya Perempuan dan Anak, dan berbagai Memorandum of Understanding (MOU) antara negara-negara di wilayah tersebut. Semakin banyak korban dilindungi oleh negara, semakin mereka akan berkerjasama dengan negara pada tahap penuntutan, dan idealnya, semakin banyak kepercayaan akan tercipta. JADI SIAPA YANG HARUSNYA LEBIH MENGETAHUI TENTANG MASALAH INI? Semua penegak hukum: polisi, jaksa penuntut, hakim, pengacara, termasuk psikolog dan pekerja sosial yang terlibat. NON-KRIMINALISASI: korban anak sering ditangkap, ditahan, dituntut dan kadang-kadang dituntut untuk kegiatan yang melanggar hukum terkait dengan perdagangan seperti masuk secara ilegal ke negara itu dan terlibat dalam prostitusi. Korban anak tidak boleh dikriminalisasi karena menjadi sasaran kejahatan ESKA. Kriminalisasi korban trafficking juga dilarang oleh Prinsip
  • 32. 2002 (Guideline 5), the 2005 European Trafficking Protocol (Article 26), and by the 2011 European Trafficking Directive (Article 8). It is imperative that when children report commercial sexual exploitation and trafficking to police, they are protected from prosecution themselves. VICTIM IDENTIFICATION: Prompt victim identification is a primary method of avoiding criminalization. Furthermore, identification of the victims protects his/her rights. The UNODC, in its “On Line Toolkit to Combat Trafficking in Person” developed strategy for the identification of the victims. UNODC underlined the actions that all states, intergovernmental and non-governmental organizations should follow, including to produce guidelines and procedures for state authority and officials to permit for a rapid and accurate identification. The police and social workers should be trained on and be able to identify the so called “indicators” of different potential crimes related to child sexual abuse - from trafficking to prostitution, child sexual abuse material, neglect, or sexual violence. MEDICAL TREATMENT: Immediate medical assistance should include, at a minimum, health screening aimed at identifying the possible necessary care to be subsequently pursued. It is important to know which kind of traumas Regional Conference on Legal Protection for Child Victims of Sexual Exploitation in Southeast Asia 32 dan Pedoman traffiking 2002 (Pedoman 5), Protokol Perdagangan Manusia Eropa 2005 (Pasal 26), dan pada 2011 Intruksi Perdagangan Orang Eropa (Pasal 8). Selain itu, juga sangat penting bahwa ketika anak-anak melaporkan eksploitasi seksual komersial dan perdagangan ke polisi, mereka dilindungi dari penuntutan itu sendiri. IDENTIFIKASI KORBAN: Identifikasi korban dengan cepat adalah metode utama untuk menghindari kriminalisasi. Selain itu, identifikasi para korban juga untuk melindungi haknya. UNODC, dalam “Peralatan online untuk Memberantas Perdagangan Orang” mengembangkan strategi yang untuk identifikasi korban. UNODC menggarisbawahi tindakan semua negara, pemerintah maupun organisasi non-pemerintah harus terlibat, termasuk untuk menghasilkan pedoman dan prosedur otoritas negara dan pejabat yang memungkinkan untuk identifikasi cepat dan akurat. Para polisi dan pekerja sosial harus dilatih agar mampu mengidentifikasi apa yang disebut sebagai “indikator” kejahatan potensial terkait dengan pelecehan seksual anak - dari perdagangan, prostitusi, pelecehan seksual anak, kelalaian, atau kekerasan seksual. PERAWATAN MEDIS: bantuan medis yang cepat harus mencakup, minimal, pemeriksaan kesehatan yang bertujuan untuk mengidentifikasi perawatan yang diperlukan. Penting untuk
  • 33. the victim may have suffered to be ready to assist the child with appropriate support. Particular attention should be paid to the nature of the crime under consideration: as a sexual crimes’ victim, the child should undergo specific analysis intended to exclude sexually transmitted diseases (STD). Furthermore, preliminary psychological support should begin. SAFE ACCOMMODATION: The location selected to accommodate a child victim who comes forward must be a secure place, where the victim is protected from the accused persons and other potential traumatic dangers. Recovery programs should start as soon as possible. CHILD-FRIENDLY INTERVIEWS, DATA COLLECTION AND PSYCHOLOGICAL ASSISTANCE: In a criminal law context, there is a need for child friendly procedures for taking evidence from CSEC victims - from when they report the crime, to when evidence is given Konferensi Regional : Perlindungan Hukum untuk anak korban eksploitasi seksual di Asia tenggara 33 mengetahui jenis trauma korban, sehingga bisa langsung ditangani dengan perawatan yang tepat. Kasus-kasus tertentu membutuhkan perhatian khusus seperti: sebagai korban kejahatan seksual, anak harus menjalani analisis spesifik untuk mengidentifikasi penyakit menular seksual (PMS). Selain itu, dukungan psikologis harus dimulai dari awal. PENAMPUNGAN YANG AMAN: Lokasi yang dipilih untuk menampung anak korban kejahatan seksual harus menjadi tempat yang aman, di mana korban dilindungi dari terdakwa dan potensi bahaya traumatis lainnya. Program pemulihan harus dimulai sesegera mungkin. TEKNIK WAWANCARA RAMAH ANAK, PENDATAAN DAN BANTUAN PSIKOLOGIS: Dalam konteks hukum pidana, ada kebutuhan untuk prosedur yang ramah anak dalam mengambil bukti dari korban ESKA – semenjak mereka melaporkan kejahatan, hingga ketika bukti-
  • 34. in court. Interrogations during the investigation phase must follow specific rules for the protection of the child victims (eg. female police officers, psychologist assisting the interrogation, no repeated questioning of the victim, use of child-friendly rooms and techniques of interrogation). The video recording of the interrogation might be helpful for future use in court, in order to prevent the child from having to re-testify Regional Conference on Legal Protection for Child Victims of Sexual Exploitation in Southeast Asia 34 in person during trial. PROTECTED PARTICIPATION: Child sensitive procedures must be set during the trial phase, in particular during the hearing. The child’s particular vulnerability, associated with the potential risk of intimidation, impose the adoption of all possible measures to limit psychological damages (also related to the sight of the accused person). Material and legal techniques can range from the equipment of the interview room specifically designed for children, to the use of closed-circuit television or video conference during the testimony and the use of witness pre-trial statement instead of court testimony. LEGAL ASSISTANCE: To ensure that child victims are informed, their views heard and taken into account, and their best interests respected in the legal process, legal assistance should be provided. The legal guardian has several responsibilities including appointing a lawyer, acting as bukti sudah diberikan ke pengadilan. Interogasi selama tahap penyelidikan juga harus mengikuti aturan khusus untuk perlindungan korban [anak] (misalnya polisi wanita, psikolog yang membantu interogasi, pertanyaan tidak diulang-ulang, penggunaan ruang ramah anak dan teknik interogasi). Rekaman video interograsi mungkin bisa membantu untuk digunakan di pengadilan nantinya, untuk mencegah anak dari keharusan bersaksi lagi selama persidangan. PARTISIPASI YANG DILINDUNGI: Prosedur sensitif Anak harus diatur selama fase uji coba, khususnya selama sidang. Kerentanan anak, dikaitkan dengan risiko potensi intimidasi, memaksakan penerapan semua tindakan yang mungkin untuk membatasi kerusakan psikologis (juga terkait dengan tatapan terdakwa). Bahan dan teknik hukum dapat berkisar dari peralatan di ruang wawancara yang khusus dirancang untuk anak-anak, penggunaan televisi tertutup atau video conference selama kesaksian dan penggunaan penyataan saksi pra-sidang bukan kesaksian pengadilan. BANTUAN HUKUM: harus dipastikan bahwa korban [anak] mendapatkan informasi, pendapat mereka didengar dan diperhitungkan, dan kepentingan terbaik mereka dihormati dalam proses hukum, dan harus diberikannya bantuan hukum.
  • 35. a legal representative in all proceedings, assisting the child during the hearing/ interview, explaining the judicial decisions to the child and ensuring the child fully understands all processes. *** Konferensi Regional : Perlindungan Hukum untuk anak korban eksploitasi seksual di Asia tenggara 35 Heru Kasidi, Representative from the Indonesian Ministry of Women Empowerment and Child Protection The potential for violence against children exists at every phase. In the poorest families it stems from the hardships of life and social environmental conditions that allow for violence against children. Children who grow up in depraved families and are accustomed to experiencing violence may behave the same way in their adulthood. They may turn to become very aggressive adults. Meanwhile in better-off families, abuse takes the form of maltreatment by providing children with excessive material possession and depriving them of personal, healthy guidance. Various surveys and media analysis showed that violence against children have been increasing, both in quality and quantity. Poor social and economic environment also leave children vulnerable to all sorts of violence, bullying, rape and other forms of abuse. Involvement of children in prostitution is no longer a myth but a fact. They are not only trafficked for purposes Wali hukum memiliki beberapa tanggung jawab termasuk menunjuk pengacara, bertindak sebagai kuasa hukum dalam semua proses, membantu anak selama sidang / wawancara, menjelaskan keputusan pengadilan kepada anak dan memastikan bahwa anak sepenuhnya memahami semua proses. *** Heru Kasidi, Perwakilan dari Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Potensi kekerasan terhadap anak ada pada setiap tahap. Pada keluarga termiskin yang berasal dari sulitnya hidup dan kondisi lingkungan sosial yang memungkinkan terjadinya kekerasan terhadap anak. Anak-anak yang tumbuh dalam keluarga bejat dan terbiasa mengalami kekerasan dapat berperilaku dengan cara yang sama di masa dewasa mereka. Mereka bisa berubah menjadi orang dewasa yang sangat agresif. Sementara di keluarga yang lebih baik, bentuk penganiayaannya adalah dengan cara memfasilitasi anak-anak secara berlebihan serta menghilangkan privasi dan bimbingan kesehatan. Berbagai survei dan analisis media menunjukkan bahwa kekerasan terhadap anak-anak telah meningkat, baik secara kualitas maupun kuantitas. Lingkungan sosial dan ekonomi yang buruk juga menjadikan anak-anak rentan terhadap berbagai macam kekerasan
  • 36. of prostitution but also as objects of pornography, for purposes of begging on the streets, domestic workers and other exploitative occupations. Various violent behaviors against children and teens are a result of the process of imitating behaviors of elders, peers, external and internal influences. The problem is immaturity, and an inability to separate the good and the bad from the various information that they receive. A critical point from this imitating phase in children is the lack of a strong figure in their family and community for the adoption of noble, moral and ethical values. The more dominant information that most children receive and watch is those that feature violence, direct or indirect, via media presentation and video games. Various studies indicate that information that contains elements of violence can lead to more aggressive minds, emotions and behaviors in children. Living in a harsh and aggressive condition from a young age can cultivate the perception that violence is a form of problem solving. The increase of violence against children and women is an indicator of poor public mental health and psychological factors influenced by economic, social, political and cultural conditions. Children suffer various multidimensional crises causing a lot of stress and anxiety. Poverty and ignorance are the bane of a society. This is compounded by cultural norms and tradition, where children Regional Conference on Legal Protection for Child Victims of Sexual Exploitation in Southeast Asia 36 seperti bullying, pemerkosaan, dan bentuk pelecehan lainnya. Keterlibatan anak-anak dalam prostitusi bukan lagi sebuah mitos tapi kenyataan. Mereka tidak hanya diperdagangkan untuk tujuan prostitusi tetapi juga sebagai objek pornografi, mengemis dijalanan, pembantu rumah tangga, dan pekerjaan eksploitatif lainnya. Berbagai perilaku kekerasan terhadap anak-anak dan remaja adalah hasil dari proses meniru perilaku orang tua, teman sebaya, pengaruh eksternal dan pengaruh internal. Masalahnya adalah ketidakdewasaan, dan ketidakmampuan mereka untuk memisahkan yang baik dan yang buruk dari berbagai informasi yang mereka terima. Sebuah titik kritis dari tahap meniru ini pada anak-anak adalah kurangnya sosok kuat dalam keluarga dan komunitas mereka untuk mengadopsi nilai-nilai luhur, moral dan etika. Informasi yang dominan adalah kebanyakan anak-anak menerima dan menonton orang-orang yang melakukan kekerasan secara langsung, melalui media ataupun video game. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa informasi yang mengandung unsur kekerasan dapat menyebabkan pikiran lebih agresif, emosi dan perilaku pada anak-anak. Hidup dalam kondisi yang keras dan agresif dari usia muda dapat menumbuhkan presepsi bahwa kekerasan adalah suatu bentuk pemecahan masalah.
  • 37. are considered as the property of their parents where parents have the right to do anything, even conduct violence towards their children. Meanwhile, there is the lack of proper parenting and an education system that tends to limit a child’s freedom to express creatively in a healthy environment, which has contributed to the creation of an unsafe, uncomfortable environment for a child’s growth and development. Therefore, it is often that the child will run away from home and tends to be easily influenced and vulnerable. We have also lost a lot of playgrounds and public space used for sport gatherings for teens and children where they can channel their happiness on the field. We have forgotten to channel children’s participation in various decision-making processes through public spaces. According to a public census in 2010, 34.6 per cent of the Indonesian population is comprised of children. The national survey data in 2009 showed that 28 per cent of children live in the poorest families, 23 per cent in second poorest income bracket households, and just 13 per cent lived in the society’s richest families. More than half of Indonesian children are living in a violence-prone condition. A mapping done by the Ministry of Women Empowerment and Children Protection in 2010 also showed an astonishing fact: in several locations across Indonesia like Tasikmalaya, Pare-Pare and North Sumatra, children considered victims of abuse ran in the hundreds in every region. Konferensi Regional : Perlindungan Hukum untuk anak korban eksploitasi seksual di Asia tenggara 37 Peningkatan kekerasan terhadap anak dan perempuan merupakan indicator bahwa kesehatan mental dan psikologis masyarakat yang buruk ini dipengaruhi oleh kondisi ekonomi, sosial, politik dan budaya. Anak-anak menderita berbagai krisis multidimensi yang menyebabkan stres dan kecemasan. Kemiskinan dan kebodohan adalah kutukan dari masyarakat. Hal ini diperparah oleh norma-norma budaya dan tradisi, dimana anak-anak dianggap sebagai milik orang tua di mana orang tua memiliki hak untuk melakukan apa pun, bahkan melakukan kekerasan terhadap anak-anaknya sendiri. Sementara itu, kurangnya pengasuhan yang tepat dan sistem pendidikan yang cenderung membatasi kebebasan anak untuk mengekspresikan diri secara kreatif dalam lingkungan yang sehat, telah memberikan kontribusi terhadap penciptaan rasa tidak aman dan lingkungan yang tidak nyaman bagi pertumbuhan dan perkembangan anak. Oleh karena itu, anak sering lari dari rumah dan cenderung mudah dipengaruhi dan rentan. Kami juga telah banyak kehilangan taman bermain dan ruang publik yang biasa digunakan untuk ruang pertemuan atau olahraga untuk remaja dan anak-anak di mana mereka dapat menyalurkan kebahagiaan mereka di lapangan. Kita lupa untuk menyalurkan partisipasi anak dalam berbagai proses pengambilan keputusan melalui ruang publik.
  • 38. Also, according a 2009 research in North Sulawesi, more than 50 children were found to be victims of sexual exploitation and were forced to work across entertainment venues in the provincial capital of Manado. Separately, a 2010 survey conducted across 5 subdistricts in Timor Barat, East Nusa Tenggara, also found that parents were the main perpetrators in abuse towards children: 65 per cent of physical abuse was conducted by the mothers and 13 per cent by the fathers. Specifically for child abuse cases in East Nusa Tenggara, the primary perpetrators are the mothers. We need to think about how to approach mothers with our information, and also the fathers of course, on violence. There is no specific national data on violence against children. But we tried to initiate one in 2006 via the national economic social survey, and at the time we had found a three to six per cent prevalence. For this year, Indonesia has recently completed data collection from a wide-ranging survey on violence against children covering 25 provinces and involving 11,000 samples. So hopefully this can eventually present a representative number regarding violence against children in Indonesia. According to the Directorate General for Corrections at the Indonesian Justice Ministry, in 2011, records show that there were 54,712 child offenders in Indonesia, and most of them already received sentences. The provinces of Jambi, Banten and West Papua have the Regional Conference on Legal Protection for Child Victims of Sexual Exploitation in Southeast Asia 38 Menurut sensus publik pada tahun 2010, 34,6 % penduduk Indonesia terdiri dari anak-anak. Data survei nasional pada tahun 2009 menunjukan bahwa 28 % anak-anak hidup dalam keluarga termiskin, 23% hidup keluarga golongan kedua termiskin, dan hanya 13% hidup di keluarga kaya. Lebih dari separuh anak-anak Indonesia hidup dalam kondisi rawan kekerasan. Pemetaan yang dilakukan oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak pada tahun 2010 juga menunjukkan fakta mencengangkan: di beberapa lokasi di seluruh Indonesia seperti Tasikmalaya, Pare-Pare dan Sumatera Utara, anak-anak yang dianggap korban pelecehan ada ratusan di setiap daerah. Dan juga, menurut penelitian 2009 di Sulawesi Utara, lebih dari 50 anak-anak yang ditemukan menjadi korban eksploitasi seksual dan dipaksa untuk bekerja di tempat hiburan di ibukota provinsi Manado. Secara terpisah, sebuah survei 2010 yang dilakukan di 5 kecamatan di Timor Barat, Nusa Tenggara Timur, juga menemukan bahwa orang tua adalah pelaku utama dalam pelecehan terhadap anak-anak: 65 % kekerasan fisik dilakukan oleh ibu-ibu dan 13 % oleh ayah. Khusus untuk kasus-kasus kekerasan terhadap anak di Nusa Tenggara Timur, pelaku utamanya adalah ibu. Kita perlu berpikir tentang bagaimana cara mendekati ibu, dan juga ayah pastinya, mengenai kekerasan.
  • 39. most child offenders. Five Indonesian provinces - South Sulawesi, South Kalimantan, Central Kalimantan, Central Sulawesi and Southeast Sulawesi - have the most juveniles prone to violence, ranging from 200 to 300 children for each province. To increase children’s participation in decision-making processes, we plan to create a medium-term development plan for the 2015-2019 period, which shall include the creation of a forum to include children in decision-making. Children’s participation can provide additional value, like their decision-making abilities for traffic regulations and the creation of public space, for example. We have done a review of many existing regulations. They have not included other sectors that should be able to contribute to the development of children’s rights. Therefore for the 2015-2019 period we are going to start to include the fulfillment of children’s rights in development programs in every sector.**** Konferensi Regional : Perlindungan Hukum untuk anak korban eksploitasi seksual di Asia tenggara 39 Tidak ada data nasional khusus tentang kekerasan terhadap anak. Tapi kami mencoba untuk memulainya pada tahun 2006 melalui survei sosial ekonomi nasional, dan pada saat itu kami telah menemukan tiga sampai enam persen prevalensi. Untuk tahun ini, Indonesia baru saja menyelesaikan pengumpulan data dari survei skala besar tentang kekerasan terhadap anak meliputi 25 provinsi dan melibatkan 11.000 sampel. Jadi semoga pada akhirnya nanti, survey ini dapat menyajikan sejumlah angka yang mewakili kekerasan terhadap anak di Indonesia Menurut Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Kehakiman Indonesia, pada tahun 2011, catatan menunjukkan bahwa ada 54.712 pelanggar [anak] di Indonesia, dan sebagian besar sudah menerima hukuman. Provinsi Jambi, Banten dan Papua Barat memiliki paling banyak pelanggar [anak]. Lima propinsi di indonesia – Sulawesi Selatan, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Sulawesi Tengah, dan Sulawesi Tenggara-memiliki paling banyak remaja yang rentan terhadap kekerasan, mulai dari 200 sampai 300 anak untuk setiap provinsi. Untuk meningkatkan partisipasi anak dalam proses pengambilan keputusan, kami berencana untuk membuat rencana pembangunan jangka menengah untuk periode 2015-2019, yang meliputi penciptaan forum untuk memasukkan anak-anak dalam pengambilan keputusan. Partisipasi
  • 40. Regional Conference on Legal Protection for Child Victims of Sexual Exploitation in Southeast Asia 40 anak dapat memberikan nilai tambah, seperti pengambilan keputusan dalam peraturan lalu lintas dan penciptaan ruang publik, misalnya. Kami telah melakukan review banyak peraturan yang ada. Belum termasuk sektor-sektor lain, yang harus mampu memberikan kontribusi terhadap perkembangan hak-hak anak. Oleh karena itu untuk periode 2015-2019 kami akan mulai untuk memasukkan pemenuhan hak-hak anak dalam program pembangunan di setiap sektor.****
  • 41. Konferensi Regional : Perlindungan Hukum untuk anak korban eksploitasi seksual di Asia tenggara 41 INTERNATIONAL LEGAL STANDARDS IN THE PROTECTION OF CHILD VICTIMS OF SEXUAL CRIME Presentations By: Anjan Bose, Seila Samleang, Tim Dwyer, and Ali Aulia Ramly Anjan Bose, Program Officer, ICT and Child Protection, ECPAT International On protecting child victims of sexual crimes and laws that are linked to child sexual abuse materials, what is required is a clear definition of child pornography in the legislation. There also needs to be the criminalization of all acts related to child pornography. Legal protection should address compensation, recovery and reintegration as outlined in key International instruments. The Optional Protocol on Sale of Children, Child Prostitution and Child Pornography, or OPSC, delivers specific considerations to this effect, and to the obligation of a country on providing rehabilitation for victims of sexual crimes against children. In terms of definition, Article 2 of the OPSC states the following: “Any representation, by whatever means, of a child engaged in real or simulated explicit sexual activities or any representation of the sexual STANDAR INTERNASIONAL TENTANG PERLINDUNGAN HUKUM BAGI ANAK KORBAN KEJAHATAN SEKSUAL Presentasi dari: Anjan Bose, SeilaSamleang, Timothy Dwyer, dan Ali Aulia Ramly Anjan Bose, Program Officer, ICT dan Perlindungan anak, ECPAT International Untuk melindungi anak-anak korban kejahatan dan pelecehan seksual secara hukum, apa yang dibutuhkan? sebuah definisi yang jelas tentang pornografi anak dalam undang-undang. Perlu juga kriminalisasi semua tindakan yang berhubungan dengan pornografi anak. Perlindungan hukum harus membahas kompensasi, pemulihan dan reintegrasi sebagaimana yang dituangkan dalam instrumen internasional utama. Optional Protocol on Sale of Children, Child Prostitution and Child Pornography atau OPSC, memberikan pertimbangan khusus, dan kewajiban negara untuk memberikan rehabilitasi bagi korban kejahatan seksual terhadap anak-anak. DALAM HAL DEFINISI, PASAL 2 OPSC MENYATAKAN: “Setiap gambaran, dengan cara apapun seorang anak terlibat kegiatan seksual yang nyata atau simulasi atau gambaran dari bagian-bagian seksual seorang anak terutama untuk tujuan seksual “.
  • 42. parts of a child for primarily sexual purposes”. When it comes to Southeast Asian nations, for instance, Cambodia’s definition of child pornography is only partially compliant with the OPSC. Article 40 of the Cambodian Law on Suppression of Human Trafficking and Sexual Exploitation states the following: “A visible material such as a photograph or videotape, including material in electronic form, depicting a minor’s naked figure which excites or stimulates sexual desire.” In the Philippines, the definition is fully compliant with the OPSC. Law No. 44 in Indonesia includes a definition. However, both Thailand and Vietnam do not define child pornography specifically in their legislation. A child-safe definition should include visual, audio and written representations of children. This is the case when it comes to Indonesia, Philippines and Thailand, but not so for Cambodia and Vietnam [does not include audio and written representations of child pornography]. When it comes to child pornography, the OPSC requires state parties to cover under their criminal or penal law, all acts of producing, distributing, disseminating, importing or exporting, offering, selling and possession. Standard legislation is key to addressing the problem but simply ratifying international instruments is not enough. It has to be reflected in the implementation and the national plans. Many countries still use obscenity and morality clauses Regional Conference on Legal Protection for Child Victims of Sexual Exploitation in Southeast Asia 42 Ketika datang ke negara-negara Asia Tenggara, misalnya, definisi Kamboja tentang pornografi anak tidak begitu sesuai dengan OPSC tersebut. Pasal 40 UU Kamboja mengenai Pemberantasan Perdagangan Manusia dan Eksploitasi Seksual menyatakan: “Sebuah benda yang terlihat seperti foto atau rekaman video, termasuk dalam bentuk elektronik, menggambarkan sosok telanjang di bawah umur yang menggairahkan atau merangsang hasrat seksual” di Filipina, definisi ini sepenuhnya kompatibel dengan OPSC. Undang-undang Nomor 44 di Indonesia menyebutkan definisi tersebut, namun Thailand dan Vietnam tidak mendefinisikan pornografi anak secara khusus dalam undang-undang mereka. Definisi yang aman bagi anak harus mencakup visual, audio dan gambaran tertulis dari anak. Hal ini terjadi ketika datang ke Indonesia, Filipina dan Thailand, tapi tidak demikian Kamboja dan Vietnam [tidak termasuk representasi audio dan representasi tertulis pornografi anak]. Ketika terkait ke pornografi anak, OPSC membutuhkan negara untuk melindungi hukum pidana, semua tindakan memproduksi, mendistribusikan, menyebarkan, mengimpor atau mengekspor, menawarkan, menjual dan kepemilikan. Undang-undang standar adalah kunci untuk mengatasi masalah tetapi hanya meratifikasi instrumen internasional saja tidak cukup. Tetapi harus tercermin dalam pelaksanaan dan rencana nasional. Banyak negara masih menggunakan klausul pencabulan dan
  • 43. to tackle the issue of child abuse and does not provide the necessary framework for tackling the problem. The definition of child abuse images do not exist in many legislations and as such makes sentencing difficult. There still exists different interpretations of sexual activities/ images according to the cultural context. Some issues of child abuse images are not well understood by legislators. Compensation schemes and child friendly processes are not mainstreamed across all countries. EXAMPLES OF PROCEDURAL CRIMINAL LAWS IN THE PROTECTION OF CHILD ABUSE VICTIMS: Key considerations include the admissibility of electronic evidence and the need to identify relevant law enforcement authorities. In Singapore, for instance, admissibility of all evidence, electronic or otherwise, is governed by the Evidence Act. Recent amendments were made to the Evidence Act in 2012 relating to admissibility: the definition of “computer output” was deleted; the definition of “document” was amended to include multimedia [audio, video] and magnetic media; the definitions of “copy of document” and “electronic records” were introduced and electronic evidence will be treated like all other forms of evidence. Statutory presumptions of authenticity of such electronic records were introduced. Konferensi Regional : Perlindungan Hukum untuk anak korban eksploitasi seksual di Asia tenggara 43 moralitas untuk menangani masalah kekerasan terhadap anak dan tidak memberikan kerangka yang diperlukan untuk mengatasi masalah tersebut. Definisi gambar pelecehan anak tidak ada di banyak peraturan perundang-undangan. Masih ada interpretasi yang berbeda dari kegiatan seksual / gambar dengan konteks budaya. Beberapa masalah pelecehan anak dalam bentuk gambar tidak dipahami oleh legislator. Skema kopensasi dan proses ramah anak juga tidak diutamakan di banyak negara. CONTOH HUKUM PROSEDURAL PIDANA DALAM PERLINDUNGAN KORBAN [ANAK] PELECEHAN SEKSUAL: pertimbangan utama meliputi diterimanya bukti elektronik dan pengidentifikasian penegak hukum yang relevan. Di Singapura, misalnya, penerimaan semua bukti elektronik atau yang lainnya diatur oleh Undang- Undang Bukti. Oleh karena itu, UU Bukti pada tahun 2012 diamandemen: definisi “output komputer” telah dihapus; definisi “dokumen” diubah dengan memasukan konten multimedia [audio, video] dan media magnetik; definisi “salinan Dokumen” dan “catatan elektronik” diperkenalkan, dan bukti elektronik akan diperlakukan seperti semua bentuk bukti lainnya. Praduga keaslian catatan elektronik juga diperkenalkan.
  • 44. SINGAPORE - AUTHENTICITY OF ELECTRONIC RECORDS: The ordinary process presumption - unless evidence sufficient to raise doubt about the presumption is adduced, where a device or process is one that, or is of a kind that, if properly used, ordinarily produces or accurately communicates an electronic record, the court shall presume that in producing or communicating that electronic record on the occasion in question, the device or process produced or accurately communicated the electronic record. Take the example of a man who seeks to adduce evidence in the form of an electronic record or document produced by an electronic device or process. Such evidence could include but is not limited to telephone call records or digital photographs. He proves that the electronic device/ process, if properly used, can produce electronic records or documents. This is a relevant fact for the court to presume that in producing the electronic record or document on the occasion in question, the electronic device or process produced the electronic record or document which the seeks to adduce. The Third Party presumption - unless evidence to the contrary is adduced, the court shall presume that any electronic record generated, recorded or stored is authentic if it is established that the electronic record was generated, recorded or stored in the usual and Regional Conference on Legal Protection for Child Victims of Sexual Exploitation in Southeast Asia 44 SINGAPURA - KEASLIAN DOKUMEN ELEKTRONIK: Proses asumsi biasa - kecuali bukti yang cukup untuk meningkatkan keraguan tentang anggapan yang dikemukakan, di mana perangkat atau proses adalah salah satu yang, atau dari jenis yang, jika dipergunakan dengan benar biasanya menghasilkan data yang akurat, pengadilan harus memperimbangkannya, ketika seseorang berkomunikasi melalui perangkat elektronik, catatan elektronik pun dihasilkan. Ambil contoh seorang pria yang berusaha untuk mengemukakan bukti-bukti dalam bentuk catatan elektronik atau dokumen yang dihasilkan oleh perangkat elektronik. Bukti tersebut bisa mencakup semuannya tidak hanya pada catatan panggilan telepon atau foto digital. Dia membuktikan bahwa perangkat / proses elektronik, jika digunakan dengan benar, dapat menghasilkan catatan elektronik atau dokumen. Ini adalah fakta yang relevan bagi pengadilan untuk memperimbangkan bahwa memproduksi catatan elektronik atau dokumen, perangkat elektronik / proses menghasilkan catatan elektronik atau dokumen untuk mengungkapkan kebenaran sebagai bukti yang akurat. Pedapat Pihak Ketiga – Ketika bukti telah dikemukakan, pengadilan harus memastikan keaslian catatan elektronik tersebut. Oleh karena itu, diperlukan orang ketiga yang tidak terlibat dalam kasus ini untuk membuktikannya. Orang tersebut
  • 45. ordinary course of business by a person who was not a party to the proceedings on the occasion in question and who did not generate, record or store it under the control of the party seeking to introduce the electronic record. Take the example of Mr. X seeking to adduce evidence against Ms. Y in the form of an electronic record. The fact that the electronic record was generated, recorded or stored in the usual and ordinary course of business by Ms. Z, a neutral third party, is a relevant fact for the court to presume that the electronic record is authentic. SINGAPORE - ADMISSION OF TEXT MESSAGES: If a mobile phone was seized and is in working condition, switching the phone on and showing the text message to the judge is acceptable. However, if the defense team alleges tampering or fabrication, the prosecution will be prejudiced by the phone’s memory not having been preserved intact since the seizure. The forensically and evidentially correct procedure would be to forensically create an image of the mobile phone’s memory and for the text message to be extracted from the forensic image. If a deleted text message is being relied upon, proper forensic examination, accompanied by a forensic report, would be required. Konferensi Regional : Perlindungan Hukum untuk anak korban eksploitasi seksual di Asia tenggara 45 yang mempunyai program untuk meneliti memastikan bahwa setiap catatan elektronik yang dihasilkan, direkam atau disimpan tersebut otentik. Ambil contoh Mr X berusaha untuk mengemukakan bukti terhadap Ms Y dalam bentuk catatan elektronik. Fakta bahwa catatan elektronik yang dihasilkan, direkam atau disimpan dalam program Ibu Z, pihak ketiga yang netral, adalah fakta yang relevan bagi pengadilan untuk berasumsi bahwa catatan elektronik itu otentik. SINGAPURA - PENERIMAAN PESAN TEKS: Jika ponsel disita dan dalam kondisi kerja, menyalakan telepon dan menampilkan pesan teks kepada hakim dapat diterima. Namun, jika tim pembela keberatan dan menuduh itu sebuah gangguan, penuntutan akan dirugikan oleh memori telepon yang tidak dilindungi kelengkapannya selama disita. Prosedur forensik dan pembuktiannya akan membuat gambar memori ponsel dan pesan teks akan diekstraksi secara forensik. Jika menghapus pesan teks menjadi andalan, pemeriksaan forensik yang tepat, disertai dengan laporan forensik, akan diperlukan.
  • 46. BASICS ABOUT THE EXTRACTION AND PRESERVATION OF ELECTRONIC EVIDENCE: Ensure forensic best practices are complied with. Forensically reliable copies or mirrors to ensure originals are not affected by any subsequent forensic examination of the evidence. Any investigation and/or searches of the digital records should only be done on the copies and not the originals. Originals must be available for disclosure to the defense team should they wish to carry out their own forensic examination of the digital evidence. EXAMPLE OF THE PHILIPPINES’S CYBERCRIME PREVENTION ACT OF 2012 - REPUBLIC ACT NO. 10175: Service providers are required to cooperate and assist law enforcement authorities in the collection or recording of traffic data in real-time associated with specified communications transmitted by means of a computer system. All other data to be collected or seized or disclosed will require a court warrant. Integrity of traffic data and subscriber information - preserved for a minimum period of six months from the date of the transaction. Content data shall be similarly preserved for six months from the date of receipt of the order from law enforcement authorities requiring its preservation. Law enforcement authorities may order a one-time extension for another six months - provided that once computer data Regional Conference on Legal Protection for Child Victims of Sexual Exploitation in Southeast Asia 46 DASAR-DASAR TENTANG EKSTRAKSI DAN PEMELIHARAAN BUKTI ELEKTRONIK: Pastikan langkah langkah forensik yang benar dipenuhi. Salinan forensik diandalkan untuk memastikan keaslian, tidak terpengaruh oleh pemeriksaan bukti forensik berikutnya. Penyelidikan dan / atau pencarian catatan digital hanya boleh dilakukan pada salinan dan bukan aslinya. Originalitas harus tersedia untuk keterbukaan informasi kepada tim pembela, yang mana mereka ingin melakukan pemeriksaan forensik bukti digital mereka sendiri. CONTOH, UNDANG-UNDANG PENCEGAHAN CYBERCRIME DI FILIPINA TAHUN 2012 - UNDANG-UNDANG REPUBLIK NOMOR 10175: Penyedia layanan yang diperlukan untuk bekerja sama dan membantu aparat penegak hukum dalam pengumpulan atau perekaman data lalu lintas secara real-time yang terkait dengan komunikasi ditentukan melalui sistem komputer. Semua data lain yang dikumpulkan atau disita akan membutuhkan surat perintah pengadilan. Integritas lalu lintas data dan informasi pelanggan - dilindungi untuk jangka waktu minimal enam bulan dari tanggal transaksi. Data Konten harus dilindungi juga selama enam bulan sejak tanggal diterimanya perintah dari aparat penegak hukum. Penegak hukum dapat memerintahkan perpanjangan satu kali selama enam bulan - dengan ketentuan bahwa data
  • 47. preserved, transmitted or stored by a service provider is used as evidence in a case, the mere furnishing to such service provider of the transmittal document to the Office of the Prosecutor shall be deemed a notification to preserve the computer data until the termination of the case. The service provider ordered to preserve computer data shall keep confidential the order and its compliance. All computer data, including content and traffic data, examined under a proper warrant shall, within forty-eight hours after the expiration of the period fixed therein, be deposited with the court in a sealed package, and shall be accompanied by an affidavit of the law enforcement authority executing it stating the dates and times covered by the examination, and the law enforcement authority who may access the deposit, among other relevant data. The law enforcement authority shall also certify that no duplicates or copies of the whole or any part thereof have been made, or if made, that all such duplicates or copies are included in the package deposited with the court. The package so deposited shall not be opened, or the recordings replayed, or used in evidence, or then contents revealed, except upon order of the court, which shall not be granted except upon motion, with due notice and opportunity to be heard to the person or persons whose conversation or communications have been recorded.**** Konferensi Regional : Perlindungan Hukum untuk anak korban eksploitasi seksual di Asia tenggara 47 komputer yang digunakan sebagai bukti sebuah kasus pernah diawetkan, ditransmisikan atau disimpan oleh penyedia layanan, seperti mengirimkan dokumen ke Kantor Kejaksaan akan dianggap sebagai pemberitahuan untuk memelihara data komputer sampai penghentian kasus tersebut. Penyedia layanan diperintahkan untuk menjaga kerahasiaan dan mempertahankan data komputer. Semua data komputer, termasuk konten dan lalu lintas data, diperiksa di bawah surat perintah, dalam waktu empat puluh delapan jam setelah berakhirnya waktu yang ditetapkan, akan disimpan di pengadilan secara tertutup, dan harus disertai dengan surat pernyataan dari otoritas penegak hukum disertai tanggal dan waktu selama pelaksanaan pemeriksaan, dan kewenangan penegak hukum untuk mengakses deposit, antara data-data yang relevan. Otoritas penegakan hukum juga harus memastikan bahwa tidak ada duplikat atau salinan semua atau sebagian dari data tersebut, atau jika dibuat, semua duplikat atau salinan tersebut termasuk dalam paket yang disimpan pengadilan. Paket yang disimpan tidak akan dibuka, diputar, atau digunakan sebagai bukti, atau kemudian isinya diungkapkan kecuali atas perintah pengadilan, yang mana tidak akan diberikan kecuali pada mosi, dengan pemberitahuan dan kesempatan untuk mendengarkan percakapan atau komunikasi yang telah direkam. ****