Konferensi regional ini membahas perlindungan hukum bagi anak korban eksploitasi seksual di Asia Tenggara, dengan fokus pada peran korban dalam proses hukum dan mekanisme restitusi. Konferensi ini dihadiri oleh 95 peserta dari 10 negara untuk membahas berbagai topik terkait perlindungan anak, termasuk undang-undang, kerja sama internasional, dan rekomendasi untuk memperkuat perlindungan hak-hak korban
Konferensi Perlindungan Hukum untuk Korban Eksploitasi Seksual di Asia Tenggara
1. Konferensi Regional : Perlindungan Hukum untuk anak korban eksploitasi seksual di Asia tenggara
1
2. Regional Conference on Legal Protection for Child Victims of Sexual Exploitation in Southeast Asia
2
3. Konferensi Regional : Perlindungan Hukum untuk anak korban eksploitasi seksual di Asia tenggara
3
4. Regional Conference on Legal Protection for Child Victims of Sexual Exploitation in Southeast Asia
4
TABLE OF CONTENTS
Foreword
Acknowledgement
Introduction
The Objectives
Expected Results
Executive Summary
Material Presentation
• The important knowledge
about child victims of sexual
crime that law enforcers
should know
• International legal standards
in the protection of child
victims of sexual crime
• Best practices of the law and
by law enforcers in protecting
child victims of sexual crime
• Legal mechanisms within
Southeast Asia countries in
protecting child victims of
sexual crime and its best
practices in implementation
• The role of institutions in the
protection of witnesses and
child victims of sexual crime
• Mechanisms of restitution and
compensation in fulfilling
the rights of child victims of
sexual crimes
Conclusions and Key
Recommendation
The Committee
DAFTAR ISI
Kata Pengantar
Ucapan Terima Kasih
Pendahuluan
Tujuan
Hasil yang diharapkan
Rangkuman Pelaksanaan
Materi Presentasi
• Pengetahuan penting tentang
korban kejahatan seksual terhadap
anak yang harus diketahui oleh
penegak hukum
• Standar Internasional tentang
perlindungan hukum bagi anak
korban kejahatan seksual
• Pengalaman terbaik dalam
penerapan hukum dan oleh aparat
penegak hukum dalam melindungi
korban kejahatan seksual terhadap
anak
• Mekanisme hukum negara-negara Asia
Tenggara dalam melindungi anak korban
kejahatan seksual dan pengalaman
terbaik dalam penerapannya
• Peran lembaga perlindungan saksi
dan korban dalam melindungi
korban kejahatan seksual terhadap
anak
• Mekanisme restitusi dan
kompensasi dalam memenuhi hak
korban kejahatan seksual terhadap
anak
Ringkasan dan Rekomendasi
Kunci
Panitia
5
9
13
17
18
19
25
27
41
57
69
79
97
105
124
5
9
13
17
18
19
25
27
41
57
69
79
97
105
124
5. Konferensi Regional : Perlindungan Hukum untuk anak korban eksploitasi seksual di Asia tenggara
5
FOREWORD
Ladies, Gentlemen,
You will find in these following pages
the general report of the annual
regional conference upon fight against
child abuse, organized by the French
Embassy and ECPAT Indonesia.
This meeting is now well-known, gives
each year the opportunity to judges,
law enforcement agencies and NGOs
from all countries of the area to meet,
share practices, learn from each other,
and build a strong network.
After having talked about the sexual
exploitation through Internet and the
social networks, last year in Jakarta,
the issue chosen this year, in Bali, has
been “The place of the victim in the
penal process and the legal protection”.
Indeed, for the police officers, judges, NGOs,
it seems important to remind and honor
the basic reason of a strong involvement
in folders and cases which are among the
heaviest, most often painful for the victims
and for the adults who help them?
They probably will never have a real
reward for the energy and strength
they put into folders. Honors, media
and rapid promotions will often not
exist for them. Nobody will ever really
KATA PENGANTAR
Ladies, Gentlemen,
Anda akan menemukan laporan konferensi
regional tahunan tentang ‘memerangi
kekerasan terhadap anak’, yang
diselenggarakan oleh Kedutaan Prancis dan
ECPAT Indonesia.
Konferensi ini setiap tahunnya
memberikan kesempatan kepada hakim,
lembaga penegak hukum, dan LSM dari
berbagai negara untuk bertemu, berbagi
pengalaman, saling belajar dan membuat
jaringan yang kuat.
Setelah berbicara mengenai eksploitasi
seksual melalui internet dan sosial
media tahun lalu di Jakarta, isu yang
dipilih tahun ini, di Bali, adalah “posisi
korban pada proses persidangan dan
perlindungan hukum”.
Isu ini sangat penting untuk polisi, hakim,
dan LSM, dalam mempertimbangkan posisi
korban [anak] dalam keterlibatannya
selama proses hukum yang panjang,
dalam kasus yang berat, dan menyakitkan
untuk mereka. Lalu siapa yang akan
menolong mereka ?
Anak-anak tersebut mungkin tidak
mendapatkan penghargaan atas usaha
dan kekuatan yang mereka berikan pada
sebuah kasus. Tanda jasa, media, atau
6. Regional Conference on Legal Protection for Child Victims of Sexual Exploitation in Southeast Asia
6
understand how these issues affect
them, beyond their mission, intimately
and personally, sometimes damaging
their faith in humanity itself.
But they do it, precisely because
there are victims, Human beings who
have absolutely no way to protect
themselves, which require and deserve
that an adult helps, listens, and shows
them they are not alone, that their
painful experience is not the norm of
the society which host them.
The African proverb says it takes a
whole village to raise a child. It takes
above all members of the village, now
worldwide, to accept to look in the
darkest side, in the pain, to dive into
the gloomiest part of humans, and keep
the energy and the will to continue work
to save those who suffer, and all the
village’s future, they promise.
They do it, because a child saved,
protected, sometimes only smiling, is
enough to keep them rewarded.
Placing the victim at the center of our
concerns is remembering all that. It is
claiming that we do not accept that the
future of these children, which is also
that of the Humanity, is tainted and
corrupted by the darkness of a small
number. Today is also an opportunity
for me to thank them warmly for their
work, often ignored, so essential to our
societies.
France consider itself as a democratic
nation, deeply attached to individual
freedom, carrying universal values,
and it is precisely because it intends
to defend these values, including when
pun promosi yang cepat sering tidak ada
bagi mereka. Tak seorangpun akan benar-benar
mengerti bagaimana masalah ini
bisa mempengaruhi mereka, diluar misi
mereka, sangat pribadi, kadang-kadang
merusak keyakinan mereka mengenai
kemanusian itu sendiri.
Tapi mereka melakukannya, justru
karena anak-anak tersebut adalah
korban, Manusia yang sama sekali tidak
memiliki cara untuk melindungi diri
mereka sendiri, yang membutuhkan
pertolongan orang dewasa untuk
mendengarkan dan menunjukan jika
mereka tidak sendirian dan bahwa
pengalaman yang menyakitkan ini
bukan termasuk norma masyarakat
dimana mereka berada.
Pepatah afrika mengatakan, dibutuhkan
seluruh penduduk desa untuk
membesarkan anak. Dibutuhkan semua
anggota desa, bahkan kini seluruh
dunia, untuk menerima, melihat sisi
paling gelap, sakit, dan menyelam
ke bagian tergelap manusia, dan
menjaga energi dan kemauan untuk
terus bekerja menyelamatkan mereka
yang menderita dan masa depan desa,
mereka berjanji.
Mereka melakukannya, karena seorang
anak yang diselamatkan, dilindungi,
kadang-kadang hanya tersenyum, hal
tersebut sudah cukup untuk membuat
mereka merasa dihargai.
Menempatkan korban [anak] dalam
keprihatinan kami adalah mengingat
semua itu. hal tersebut menegaskan
bahwa kami tidak menerima masa depan
mereka, yang juga merupakan bagian
7. Konferensi Regional : Perlindungan Hukum untuk anak korban eksploitasi seksual di Asia tenggara
7
dari kemanusiaan yang tercemar oleh
kegelapan dalam jumlah kecil. Ini juga
merupakan kesempatan bagi saya untuk
berterima kasih kepada mereka atas
usahanya, sering diabaikan, sehingga
penting untuk masyarakat kita.
Perancis mengganggap dirinya sebagai
bangsa yang demokratis, sangat melekat
pada kebebasan individu, dan justru
karena itu bermaksud untuk membela
nilai-nilai individu, termasuk ketika
dilanggar oleh warganya sendiri, mereka
akan menjadi yang terdepan dalam
memerangi kekerasan terhadap anak,
dan orang akan menemukan kami berada
disisinya dalam hal ini.
Terima kasih atas dukungannya yang
anda buktikan dengan keikutsertaannya
dalam isu ini.
Duta Besar Corinne BREUZÉ
they are violated by its own nationals,
that it will forefront in the fight against
violence to children, and anyone will
find us at his side in this fight.
Thank you for the support you’re
proving by sharing our involvement.
Ambassador Corinne BREUZÉ
8. Regional Conference on Legal Protection for Child Victims of Sexual Exploitation in Southeast Asia
8
9. Konferensi Regional : Perlindungan Hukum untuk anak korban eksploitasi seksual di Asia tenggara
9
ACKNOWLEDGEMENT
Child exploitation for sexual purposes
in South East Asia, especially girls is
a phenomenon that required serious
attention from various parties.
Perpetrators not only come from
domestic but also from foreign
countries. Therefore, Regional
Conference on Legal Protection for
victims of sexual exploitation against
children in South East Asia is held
in cooperation between the French
Embassy and ECPAT Indonesia. The
conference is held in Nusa Dua, Bali
on 23-24 October 2013 and attended
by 95 participants from ten countries
who expert in law, observer, police,
child and victims protection NGOs,
and supported by Witness And Victim
Protection Agency (LPSK), PBB
agencies such as UNICEF and UNODC,
and academia. Discussion, exchange
of information, best practices, and
networking in this two-day conference
are success and gratify.
One of the concerns of this conference
is the process of restitution and
compensation for victims of sexual
exploitation is still weak in South
East Asia so concrete steps is
UCAPAN TERIMA KASIH
Eksploitasi terhadap anak untuk tujuan
seksual di kawasan Asia Tenggara,
terutama anak perempuan, merupakan
fenomena yang membutuhkan perhatian
serius dari berbagai pihak. Pelaku
kejahatan seksual ini tidak hanya
berasal dari aktor-aktor lokal/domestik,
tetapi juga dari mancanegara. Oleh
karena itu, Konferensi Regional Asia
Tenggara dengan tema perlindungan
hukum terhadap anak korban
eksploitasi seksual di Asia Tenggara
diselenggarakan atas kerjasama antara
Kedutaan Besar Republik Perancis
dengan ECPAT Indonesia. Pertemuan
yang diselenggarakan di Nusa Dua,
Bali pada tanggal 23-24 Oktober 2013
ini dihadiri oleh 95 peserta dari 10
negara yang terdiri atas para ahli di
bidang hukum, para pemerhati, aparat
kepolisian, ahli bidang anak, program
psikososial, praktisi berbasis LSM
perlindungan anak dan korban, serta
didukung oleh Lembaga Perlindungan
Saksi dan Korban, lembaga PBB seperti
UNICEF dan UNODC, serta akademisi.
Diskusi, tukar informasi, pengalaman
terbaik, dan networking yang berlangsung
selama dua hari berjalan lancar dan
10. needed to reform and harmonize
the legislation in order to have more
respect for children’s rights before
the law, especially when children
are victims of sexual exploitation.
Important recommendations are
generated in this conference include
regional cooperation to continue the
exchange of information, trans-border
cooperation, research, and establish
a joint mechanism to combat crimes
against children and ensure protection
for child victims anywhere.
On this occasion ECPAT Indonesia would
like to thank to the French Embassy,
which has given belief to keep working
together to protect children in
Indonesia especially and in Southeast
Asia generally from sexual crimes that
endanger their future.
Thanks and highest appreciations also
give to all parties who contributed to
this event, namely:
DONOR AND SPONSOR:
Terre des Hommes Netherland, UNICEF,
The Australian Federal Police, Mensen
met een Missie, Kinder Nothilfe, The
United State Departement of Justice,
Institute Francais d’Indonesie, The
Body Shop Indonesia, ACCOR and
Mercure Nusa Dua, Bali.
MEDIA PARTNERS:
Radio Republik Indonesia and Forum
Keadilan.
Regional Conference on Legal Protection for Child Victims of Sexual Exploitation in Southeast Asia
10
menyenangkan.
Salah satu perhatian Konferensi ini adalah
masih lemahnya praktek restitusi dan
kompensasi terhadap korban eksploitasi
seksual di kawasan Asia Tenggara sehingga
diperlukan langkah-langkah konkrit untuk
melakukan reformasi dan harmonisasi
undang-undang agar lebih menghormati
hak asasi anak dihadapan hukum, terutama
ketika anak menjadi korban eksplotasi
seksual. Rekomendasi penting yang
dihasilkan dalam konferensi ini antara lain
adalah meneruskan kerjasama regional
dengan pertukaran informasi, kerjasama
lintas batas, penelitian, serta membangun
mekanisme bersama dalam memerangi
kejahatan terhadap anak dan memastikan
perlidungan terhadap korban di manapun
anak sebagai korban berada.
Dalam kesempatan ini ECPAT Indonesia
mengucapkan Terima Kasih kepada
Kedutaan Republik Prancis, yang telah
memberikan kepercayaan untuk tetap
bekerja sama dalam melindungi anak-anak
di Indonesia khususnya dan di kawasan Asia
Tenggara umumnya dari kejahatan seksual
yang membahayakan masa depan mereka.
Ucapan terima kasih dan apresiasi setinggi-tingginya
juga kami berikan kepada segenap
pihak yang turut mendukung acara ini, yaitu:
DONOR AND SPONSOR:
Terre des Hommes Belanda, UNICEF,
Australian Federal Police, Mensen met een
Missie, Kinder Nothilfe, The United State
Departement of Justice, Institute Francais
Indonesia, Body Shop Indonesia, ACCOR
dan Mercure Nusa Dua Bali.
11. HONORARY VIP SPEAKERS:
H.E. Ambassador Corinne BREUZÉ
(the French Embassy), Prof. Irwanto,
Ph.D. (President of ECPAT Indonesia),
Brigjen Pol. Drs. HerryPrastowo, SH,
MSI (Director of General Crimes), Ms.
Lenny Kling (Representative of Terre
des Homes Netherlands Regional
Office Southeast Asia),Mr. Marc
Lucet (UNICEF Indonesia), Mr. Ade
Noerwenda (ACCOR Indonesia), Dr.
Heru Kasidi, M.Sc. (Representative of
Minister of Women Empowerment and
Child Protection).
HONORARY KEYNOTE SPEAKERS:
Prof. Datuk Dr. Chiam HengKeng (ACWC
Indonesia), Ms. Junita Upadhyay (Deputy
Director of ECPAT International)
THE DISTINGUISH SPEAKERS:
Anjan Bose (ECPAT International), Mr. Seila
Samleang (Action Pour Les Enfants), Mr.
Tim Dwyer (United States Department of
Homeland Security), Mr. Ali Aulia Ramly
(UNICEF), Ms. Caroline Charpentier (French
Magistrate), Federal Agent Lana Palmer
(Child Protection Advisor Australia Federal
Police), Mr. John Carr (Global Advisor on the
ICT and on-line Protection Programme), Ms.
Margaret Akullo (UNODC), Mr. Muhammad
Jailani (Asia ACT), Ms. JoDee Neil (Legal
Advisor of Safe Childhoods Foundation),
Ms. Lili Pintauli Siregar (Institution for the
Protection of Witness and Victim (LPSK)
Indonesia), Federal Agent Sandra Booth
(Australian Federal Police), Ms. Cristina
Konferensi Regional : Perlindungan Hukum untuk anak korban eksploitasi seksual di Asia tenggara
11
MEDIA PARTNER:
Radio Republik Indonesia dan Forum
Keadilan.
YANG TERHORMAT PARA PEMBICARA VIP:
H.E. Ambassador Corinne BREUZÉ
(Kedutaan Besar Prancis), Prof. Irwanto
Ph.D (Presiden ECPAT Indonesia), Brigjen
Pol. Drs. Herry Prastowo, SH, MSI (Direktur
Tindak Pidana Umum), Lenny Kling
(Perwakilan Terre des Homes Belanda
kantor Regional Asia Tenggara), Marc
Lucet (UNICEF Indonesia), Ade Noerwenda
(ACCOR Indonesia), Dr. Heru Kasidi, M.Sc
(Perwakilan Kementrian Pemberdayaan
Perempuan dan Perlindungan Anak ).
YANG TERHORMAT PARA PEMBICARA
KUNCI:
Prof. Datuk Dr. Chiam Heng Keng
(ACWC Indonesia), Ibu Junita Upadhyay
(Deputi Direktur ECAT International)
YANG TERHORMAT PARA PEMBICARA:
Anjan Bose (ECPAT International), Seila
Samleang (Action Pour Les Enfants),
Tim Dwyer (United States Department
of Homeland Security), Ali Aulia Ramly
(UNICEF), Caroline Charpentier (Hakim
Prancis), Agen Federal Lana Palmer
(Penasehat Perlindungan Anak AFP), John
Carr (Penasehat Global ICT dan Program
Perlindungan Online), Margaret Akullo
(UNODC), Muhammad Jailani (Asia ACT),
JoDee Neil (Penasehat Hukum Childhoods
Foundation), Lili Pintauli Siregar (Lembaga
12. Sevilla (ECPAT Philippines Lawyer), Mr.
Muhammad Irfan Jaya (Indonesian Attorney
General Office), Mr. Wanchai Roujanavong
(Director General, International Affairs
Department, The Office of the Attorney
General of Thailand), Ms. Chairul Bariah
(Faculty of Law from University of North
Sumatera)
THE MODERATORS:
Prof. Irwanto, Ph.D. (ECPAT Indonesia),
Ahmad Marzuki (ECPAT Indonesia), Mr. Jean
Philippe Roth (French Security Attaché),
Ali Aulia Ramly (UNICEF Indonesia), Anjan
Bose (ECPAT International), Ms. Cristina
Sevilla (ECPAT Philippines Lawyer).
THE PARTICIPANTS:
All distinguish invited participants who
have actively participated through the
whole two days regional conference from
multi sectors and countries. For many other
parties and/or individuals not mentioned
here, we extend our biggest thanks and
appreciation.
Thereby the report of Regional Conference
on Legal Protection for Victims of Sexual
Exploitation against Children in Southeast
Asia. The report also includes conclusion
and key recommendations. Hopefully, the
networking and the cooperation that has
existed are viable to combat sexual crime
against children in Southeast Asia for the
interest of our children.
Regional Conference on Legal Protection for Child Victims of Sexual Exploitation in Southeast Asia
12
Jakarta, 2 December 2013
Prof. Irwanto, Ph.D.
Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK
Indonesia), Agen Federal Sandra Booth
(Australian Federal Police), Cristina Sevilla
(Pengacara ECPAT Philippines), Muhammad
Irfan Jaya (Kejaksaan Agung Republik
Indonesia), Wanchai ROUJANAVONG
(Direktur General, Departemen Hubungan
Internasional, Kejaksaan Agung Thailan),
Ibu Chairul Bariah (Fakultas Hukum
Universitas Sumatra Utara).
PARA MODERATOR:
Prof. Irwanto, Ph.D (ECPAT Indonesia), Ahmad
Marzuki (ECPAT Indonesia), Bapak Jean
Philippe ROTH (Atase Keamanan Prancis),
Ali Aulia Ramly (UNICEF Indonesia), Anjan
Bose (ECPAT International), Ibu Cristina
Sevilla (Pengacara ECPAT Philippines).
PARA PESERTA:
Para peserta yang terhormat dari berbagai
bidang dan negara yang telah berpartisipasi
secara aktif pada konferensi dua hari.
Dan untuk semua pihak yang tidak bisa
kami sebutkan satu per satu disini, kami
menyampaikan ucapan terima kasih dan
apresiasi yang sebesar-besarnya.
Akhir kata, dalam Laporan ini kami sampaikan
beberapa Rangkuman dan Rekomendasi
Kunci. Semoga networking dan kerjasama
yang telah terjalin dapat terus berjalan
dan semakin erat agar kejahatan seksual
terhadap anak di kawasan Asia Tenggara
dapat teratasi dengan sebaik-baiknya demi
kepentingan terbaik anak-anak kita.
Jakarta, 2 Desember 2013
Prof. Irwanto, Ph.D.
13. Konferensi Regional : Perlindungan Hukum untuk anak korban eksploitasi seksual di Asia tenggara
13
INTRODUCTION
Criminal and crime syndicates organize
the trafficking of vulnerable children for
commercial sexual exploitation. These
criminal elements service an ever-growing
demand in a market dominated by male
customers who seek unlawful sexual
gratification with children. Corruption and
collusion, absence of and/or inadequate laws,
lax legal measures, and limited sensitization
of law enforcement personnel to the
harmful impact on children, are all further
factors which lead, directly or indirectly,
to the commercial sexual exploitation of
children. It may involve the acts of a single
individual, or be organized on a small scale
(e.g., family and acquaintances) or a large
scale (e.g., criminal network).1
Sexual exploitation crimes against children
not only occur in a particular region but
also operates transnationally. Numbers of
child victims of sexual exploitation have
considerably increased in both its scale and
intensity around the world, particularly
PENDAHULUAN
Pelaku dan jaringan kejahatannya
sangat berperan dalam pengadaan
dan penyaluran anak-anak yang
rentan terhadap eksploitasi seksual
komersial dan melanggengkan segala
bentuk eksploitasi. Elemen kejahatan
ini memenuhi permintaan di pasar
seks yang diciptakan oleh pelanggan,
terutama pria, yang mencari
kepuasan seksual yang melanggar
hukum dengan anak-anak. Korupsi dan
kolusi, kekosongan dan/atau hukum
yang tidak memadai, penegakan
hukum lemah, dan terbatasnya
sensitisasi aparat penegak hukum
terhadap dampak berbahaya pada
anak-anak, merupakan faktor-faktor
yang mengarah baik langsung atau
tidak langsung pada eksploitasi
seksual komersial anak. Hal ini dapat
melibatkan tindakan satu orang, atau
diatur dalam skala kecil (misalnya,
keluarga dan kenalan) atau skala
besar (misalnya,jaringan kriminal).1
Kejahatan seksual dan eksploitasi
terhadap anak tidak hanya terjadi di suatu
wilayah atau negara tetapi sering juga
beroperasi secara lintas negara. Jumlah
korban eksploitasi seksual anak telah
jauh meningkat baik dalam skala maupun
intensitasnya di kawasan Asia Tenggara.
Banyak berita serta laporan dari lembaga
1. Stockholm Declaration (ECPAT International
Report of the World Congress III Against Sexual
Exploitation of Children and Adolescents,
September 2009)
1. Stockholm Declaration (ECPAT International
Report of the World Congress III Against Sexual
Exploitation of Children and Adolescents,
September 2009)
14. due to new technology.
It is difficult to estimate how many
children in Southeast Asian countries –
in fact, around the world - are victims
of commercial sexual exploitation,
even more so to disaggregate how
many are victimized through child
sex tourism, child pornography, child
prostitution or sex trafficking. A
majority of child sexual abuse cases
are unreported and undetected. For
decades, child sex abuse perpetrators
have targeted children in countries
within the Southeast Asian region.
Thailand and the Philippines, partly
due to their existing ‘sex industries’,
have been frequently associated with
child sex tourism. However, other
countries have emerged as prime child
sex tourist destinations: Cambodia and
Vietnam have suffered an influx of child
sex tourists as a result of increased
efforts to combat the issue in Thailand.
Indonesia has also witnessed a growth
in the abuse of children by tourists,
showing that sexual exploitation of
children in tourism shifts as political,
economic and social development
Regional Conference on Legal Protection for Child Victims of Sexual Exploitation in Southeast Asia
14
resmi dapat menjadi referensi statistik
untuk melihat fakta di wilayah Asia
Tenggara terkait isu ini.
Sulit untuk memperkirakan berapa
banyak anak-anak di negara-negara
Asia Tenggara menjadi korban
eksploitasi seksual komersial,
bahkan untuk menguraikan berapa
banyak yang menjadi korban melalui
pariwisata seks anak, pornografi anak,
prostitusi anak atau perdagangan
seks. Asia Tenggara telah lama
menjadi target kejahatan seks pada
anak oleh wisatawan. Thailand dan
Filipina, terlepas karena adanya
‘industri seks’ di negera tersebut,
sering kali dikaitkan dengan
pariwisata seks anak, Namun, negara-negara
lain telah muncul sebagai
tujuan utama wisata seks anak:
Kamboja dan Vietnam dikatakan telah
mengalami masuknya wisatawan seks
anak sebagai hasil dari meningkatnya
upaya untuk memerangi masalah ini
di Thailand. Negara-negara seperti
Indonesia juga telah menyaksikan
peningkatan kejahatan terhadap anak
oleh wisatawan, menunjukkan bahwa
eksploitasi seksual terhadap anak-anak
dalam dunia pariwisata bergeser
karena terjadi perkembangan politik,
ekonomi dan sosial.2
Di Negara-negara Asia Tenggara sendiri,
undang-undang tentang perlindungan
korban eksploitasi seksual terhadap
anak-anak belum beroperasi pada tingkat
yang sama dari satu negara ke negara
2. ECPAT International, “Combating Child Sex
Tourism”, 2008
2. ECPAT International, “Combating Child Sex
Tourism”, 2008
15. occurs.2
In Southeast Asia, domestic legislation
on the protection of victims of sexual
exploitation against children differs
from one country to the other. Some
countries have delivered very good
protection to victims by providing
compensation and restitution. Some
fail to pay any attention to the
victims.
The United Nation’s Resolution No.40/34
on Declaration of Basic Principles
of Justice for Victims of Crime and
Abuse of Power states that a country
is obliged to consider compensation
and restitution for the victims of a
crime. The Optional Protocol on Sale of
Children, Child Prostitution and Child
Pornography (OPSC) also delivers more
specific considerations to the obligation
of a country on providing compensation,
restitution and rehabilitation for victims
of sexual crimes against children.
France, South America and Australia have
improved on their existing regulations
and the provision of compensation to
victims once punishment is meted out
to child sexual crime offenders.
Through this two-day regional conference
in Bali, held on 23-24 October 2013, a
Konferensi Regional : Perlindungan Hukum untuk anak korban eksploitasi seksual di Asia tenggara
15
lain. Beberapa negara telah memberikan
perlindungan yang sangat baik untuk para
korban dengan memberikan kompensasi
dan restitusi dari negara, tetapi di
sisi lain beberapa negara bahkan tidak
memperhatikan korban.
Resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa
No.40/34 pada Deklarasi Prinsip-prinsip
Dasar Keadilan bagi Korban Kejahatan
dan Penyalahgunaan Kekuasaan
menyatakan bahwa negara wajib
untuk mempertimbangkan kompensasi dan
restitusi bagi korban kejahatan. Protokol
Opsional tentang Penjualan Anak, Prostitusi
Anak dan Pornografi Anak (OPSC) juga
memberikan pertimbangan yang lebih
spesifik untuk kewajiban suatu negara dalam
memberikan kompensasi dan restitusi
Deklarasi Stockholm ECPAT International,
“Combating Child Sex Tourism”, 2008
rehabilitasi bagi korban kejahatan seksual
terhadap anak. Beberapa negara seperti
Perancis, Amerika Selatan, Australia
telah membuat perbaikan hukum dan
pemberian kompensasi kepada korban
setelah hukuman kepada pelaku kejahatan
seksual anak dijatuhkan.
Melalui konferensi regional dua hari
ini di Bali, yang diselenggarakan pada
Oktober 2013, pemahaman yang lebih
mendalam tentang sistem hukum,
16. deeper understanding about the legal
systems, strengths and weaknesses to
providing protection of child victims in
countries such as Indonesia, Thailand,
Philippines, Australia, France and the
USA will be learnt. Identifying obstacles
on multilateral work in the region and
how to build cooperation with countries
whose experiences and legal systems do
effectively address such issues will be
communicated in detail.
Regional Conference on Legal Protection for Child Victims of Sexual Exploitation in Southeast Asia
16
kekuatan dan kelemahan dalam
menyediakan perlindungan bagi korban
anak-anak di negara-negara seperti
Indonesia, Thailand, Filipina, Australia,
Perancis dan Amerika Serikat akan
dipelajari. Mengidentifikasi hambatan
pada pekerjaan multerateral di kawasan
tersebut dan bagaimana menbangun
kerjasama dengan negara-negara yang
berpengalaman dan sistem hukum dalam
menangani isu-isu tersebut secara
efektif akan dikomunikasikan secara
rinci.
17. Konferensi Regional : Perlindungan Hukum untuk anak korban eksploitasi seksual di Asia tenggara
17
THE OBJECTIVES
1. To recognize deeper the available
legal system regulating the
protection of victims of sexual
crimes against children in
Southeast Asia Countries;
2. To recognize the achieved progresses
as well as weaknesses and obstacles
in employing the legal system to
the protection of victims of sexual
crimes against children in Southeast
Asia Countries;
3. To deliver lesson learnt on best
practices of countries which have
been practicing protection for
victims of sexual crimes against
children through restitution and
compensation mechanism;
4. To build cooperation in improving
legal system of countries in
Southeast Asia which have not
delivered protection for victims
of sexual crimes against children;
5. To depict visual pictures the
situation of sexual exploitation
against children through journalist
photos exhibition.
TUJUAN
1. Untuk mengenali lebih jauh sistem
hukum yang ada yang mengatur
tentang perlindungan bagi korban
kejahatan seksual terhadap anak
di negara-negara Asia Tenggara.
2. Untuk mengenali kemajuan yang ada
begitu pula kelemahan dan kendala
yang dihadapi dalam penerapan sistem
hukum tentang perlindungan bagi
korban kejahatan seksual terhadap
anak di negara-negara Asia Tenggara
3. Untuk memberi pembelajaran tentang
pengalaman terbaik dari negara-negara
yang telah menerapkan
perlindungan bagi korban kejahatan
seksual terhadap anak melalui
mekanisme restitusi dan kompensasi
4. Membangun kerjasama dalam
memperbaiki sistem hukum negara-negara
di Asia Tenggara yang belum
menerapkan perlindungan bagi korban
kejahatan seksual terhadap anak.
5. Menggambarkan secara visual situasi
eksploitasi seksual terhadap anak
melalui pameran foto jurnalis.
18. Regional Conference on Legal Protection for Child Victims of Sexual Exploitation in Southeast Asia
18
EXPECTED RESULTS
1. Participants recognize deeper the
available legal system regulating
the protection of victims of
sexual crimes against children in
Southeast Asia Countries;
2. Participants recognize the
achieved progresses as well as
weaknesses and obstacles in
employing the legal system to
the protection of victims of
sexual crimes against children in
Southeast Asia Countries;
3. Participant obtain lesson learnt on
best practices of countries which
have been practicing protection
for victims of sexual crimes against
children through restitution and
compensation mechanism;
4. Participants who are from
Southeast Asia countries can build
communication and cooperation
efforts among countries in
improving their legal system to
the protection of victims of sexual
crimes against children;
5. The situation of sexual exploitation
against children is depicted visually
and gives broader perspective to
the situation faced through photo
journalist exhibition.
HASIL YANG DIHARAPKAN
1. Peserta mengenali lebih jauh sistem
hukum yang ada yang mengatur tentang
perlindungan bagi korban kejahatan
seksual terhadap anak di negara-negara
Asia Tenggara
2. Peserta mengenali kemajuan yang
dicapai begitu pula kelemahan
dan kendala yang dihadapi dalam
penerapan sistem hukum tentang
perlindungan bagi korban kejahatan
seksual terhadap anak di negara-negara
Asia Tenggara
3. Peserta mendapat pembelajaran
tentang pengalaman terbaik dari
negara-negara yang telah menerapkan
perlindungan bagi korban kejahatan
seksual terhadap anak melalui
mekanisme restitusi dan kompensasi
4. Peserta yang berasal dari negara-negara
di Asia Tenggara dapat
saling membangun komunikasi
dan upaya-upaya kerjasama antar
negara dalam memperbaiki sistem
hukum perlindungan bagi korban
kejahatan seksual terhadap anak.
5. Situasi eksploitasi seksual terhadap
anak tergambarkan secara visual
dan memberikan pandangan yang
lebih luas terhadap situasi yang
dihadapi melalui pameran photo
jurnalis
19. Konferensi Regional : Perlindungan Hukum untuk anak korban eksploitasi seksual di Asia tenggara
19
EXECUTIVE SUMMARY
The Regional Conference on Legal
Protection for Child Victims of
Sexual Exploitation in Southeast
Asia was held in Bali, Indonesia, on
23-24 October 2013. This two-day
conference, which covered a lot of
ground on premeditated behavior
leading to, and the consequences of,
the commercial sexual exploitation
of children [CSEC], was organized by
ECPAT Indonesia in collaboration with
the French Embassy. Global experts
from various fields – law enforcement
within the ASEAN region, France, the
USA and Australia, child protection
NGOs, experts in social psychology,
Indonesian government institutions,
UNICEF, UNODC and lecturers of law
– participated to highlight critical
questions on the methods applied by
perpetrators today to sexually exploit
children through new technology;
what constitutes as sexual crimes
against children; what role do law
enforcers play in the rescue, recovery
and protection of child victims of
sexual abuse.
Beside that, there were 95 participants
from 10 countries - Malaysia, France,
Thailand, Cambodia, the Philippines,
Vietnam, Timor Leste, Brunei
Darussalam, Singapore - participated in
the conference. Those who participated
actively in the conference comprised
of co-partners such as the Australian
Federal Police [AFP], the Indonesian
RANGKUMAN PELAKSANAAN
Konferensi Regional tentang Perlindungan
Hukum untuk Anak Korban Eksploitasi
Seksual di Asia Tenggara telah
diselenggarakan di Bali, pada tanggal
23-24 oktober 2013. Konferensi dua hari
yang membahas banyak hal mengenai
kecenderungan perilaku akibat dari
eksploitasi seksual komersial anak
(ESKA) ini, telah dilaksanakan oleh
ECPAT Indonesia yang bekerjasama
dengan Kedutaan Prancis untuk
Indonesia. Para ahli dari berbagai
bidang – penegak hukum dari Asia
Tenggara, Prancis, Amerika Serikat, dan
Australia, LSM perlindungan anak, ahli
psikologi sosial, institusi pemerintah
Indonesia, UNICEF, UNODC, dan Dosen
hukum – berpartisipasi untuk menyoroti
pentanyaan kritis mengenai metode
yang dipakai pelaku sekarang untuk
mengeksploitasi seksual anak melalui
teknologi baru; apa yang dianggap
sebagai kejahatan seksual terhadap
anak-anak, apa peran penegak hukum
dalam penyembuhan, pemulihan,
dan perlindungan terhadap korban
kekerasan seksual.
Disamping itu, ada 95 peserta dari 10
negara -Malaysia, Prancis, Thailand,
Kamboja, Filipina, Vietnam, Timor
leste, Brunei Darussalam, Singapore –
berpartisipasi aktif dalam konferensi
tersebut. Mereka berperan aktif dalam
konferensi ini, diantaranya, Australian
Federal Police [AFP], MABES POLRI,
UNICEF, TDH Belanda, dan lainnya.
20. Police Headquarters [MABES POLRI],
UNICEF, TDH Netherlands, etc. A total of
19 speakers graced six thematic panels.
An interesting exchange of knowledge
on child victims of sexual crimes, the
best practices of the law to protect
these victims and the legal mechanisms
available in Southeast Asian nations,
Australia, the USA and France took
place. Brief recommendations were
made on how to tackle certain issues in
view of its current manifestations.
Interesting issues raised by the panel
speakers included discussion on whether
or not child victims need to undergo
interviews linked to their ordeal over
and over again - first by the police and
then in a courtroom trial - when there
are permanent records in the form of
photo or video documentation; what
constitutes as child abuse images; and
in what forms can legal mechanisms
and legal institutions offer protection
to child victims of sexual abuse.
CSEC, the conference panel speakers
underlined, can and will cause severe
psychological consequences for child
victims, including depression, low self-esteem,
restlessness, concentration
difficulties, aggressive behaviours and
repressed anger. They might experience
difficulties with trusting people. Their
role boundaries may be blurred. Child
victims of CSEC need to obtain judicial
remedies in the form of conviction
of the perpetrator and financial
compensation, but they also need to
access assistance and support under
child protection legislation recovery.
Regional Conference on Legal Protection for Child Victims of Sexual Exploitation in Southeast Asia
20
Sebanyak 19 pembicara menyampaikan
materinya dalam 6 panel. Media berbagi
pengetahuan yang menarik mengenai
anak korban eksploitasi seksual, pelatihan
hukum terbaik untuk melindungi korban
dan mekanisme hukum di Asia Tenggara,
Australia, Amerika Serikat, Prancis.
Rekomendasi singkat telah dibuat
mengenai bagaimana menangani isu-isu
tertentu dalam pandangan manifestasi
saat ini.
Hal menarik yang digarisbawahi oleh
pembicara adalah diskusi apakah korban
[anak] benar-benar harus melakukan
wawancara dan mengalami penderitaan
yang berulang-ulang, pertama oleh
polisi dan kemudian di ruang pengadilan,
ketika ada dokumentasi berupa foto
atau video; apa yang dimaksud dengan
gambar kekerasan anak; dan dalam
bentuk apa mekanisme dan institusi
hukum dapat melindungi anak korban
ekploitasi seksual.
ESKA, pembicara mengatakan, dapat
dan akan mengakibatkan penderitaan
psikologis untuk mereka, seperti depresi,
rendah diri, resah, sulit berkonsentrasi,
prilaku yang agresif dan menahan
marah. Mereka mungkin mengalami
kesulitan dalam mempercayai orang.
Batasan peran mereka mungkin menjadi
kabur. Anak korban ESKA perlu untuk
mendapatkan remedi yudisial dalam
bentuk kepastian pelaku dan kompensasi
finansial, tapi mereka juga perlu untuk
mengakses bantuan dan dukungan
pemulihan dibawah UU perlidungan
anak.
21. One primary recommendation was
that priority needs to be given
to victim identification, rescue
and protection, including from
hardships during the course of an
ongoing investigation into the crime.
Appropriate therapeutic facilities are
required to support victims after they
have been rescued. Recommendations
were also made for the need of a
clear and a strong legal framework
that is consistent with international
standards. And the possession of
offline and online child abuse images
be made an offence irrespective of
one’s intent to distribute.
On the note of questioning child
victims, panel speakers reiterated
the need that law enforcement should
have officers trained in “child-friendly”
interview techniques when
dealing with child victims of sexual
abuse, and time and efforts need to
be put in to educate law enforcement
officers, so that a suitable
environment is created where the
victim feels comfortable enough to
speak up to the law officers.
Konferensi Regional : Perlindungan Hukum untuk anak korban eksploitasi seksual di Asia tenggara
21
Salah satu rekomendasi utama adalah
bahwa prioritas harus diberikan kepada
identifikasi korban, penyelamatan
dan perlindungan, termasuk dari
kesulitan selama penyelidikan
yang sedang berlangsung. Fasilitas
terapi yang tepat diperlukan untuk
mendukung korban setelah mereka
telah diselamatkan. Rekomendasi
juga telah dibuat untuk kebutuhan
kerangka hukum yang jelas dan
kuat yang sesuai dengan standar
internasional. Dan kepemilikan
gambar pelecehan anak termasuk
pelanggaran, terlepas dari niat untuk
mendistribusikannya.
Salah satu catatan mengenai wawancara
terhadap korban [anak], para
pembicara menyatakan bahwa penegak
hukum harus dilatih menggunakan
tehnik wawancarwa ‘ramah anak’
ketika berurusan dengan anak korban
kekerasan seksual, waktu dan usaha
memang diperlukan untuk mendidik
aparat penegak hukum, oleh karena
itu lingkungan yang sesuai diciptakan
dimana korban merasa cukup nyaman
untuk berbicara kepada petugas.
22. Notable contributions to the conference
also came from a number of participants
who posed thoughtful questions to panel
speakers. An activist from Bali pointed
out that there were zero shelters or
drop-in centers for child victims of
abuse located in far-flung villages in
Bali itself - some inaccessible by road,
while others located about 3 hours from
Denpasar, the capital of Bali. This activist
ended up housing the child victim in
her home, and she posed the question -
what can activists do about providing a
protective home for child victims, when
there are no special drop-in centers
to house them? Another came from a
policewoman who alerted audiences
and provided them with a reminder:
poor communities will and do fiercely
protect suspected pedophiles - both
foreigners and locals alike - who spend
money and provide these communities
with schooling, homes and clothing. She
cited a case where Bali Police officers
had to go to a community in search of
information on a suspected pedophile,
and failing to extract any information
from the community because they were
protective over the suspected man.
Another participant asked:
How can a child receives adequate
protection and justice, when there are
no witnesses to the crime and the only
ones who actually know what transpired
exactly, whether the suspect or the
child victim?
Reminders were raised to the effect
that when a child is interviewed,
Regional Conference on Legal Protection for Child Victims of Sexual Exploitation in Southeast Asia
22
Khususnya masukan untuk konferensi
juga datang dari beberapa peserta yang
mengemukanan pertanyaan cerdas
kepada pembicara. Seorang aktivis
dari Bali menyatakan bahwa tidak ada
shelter untuk anak korban kekerasan
seksual yang berlokasi didesa-desa
yang jauh di bali – beberapa tidak
bisa dijangkau, sementara yang lain
berlokasi sekitar 3 jam dari Denpasar.
Aktivis ini akhirnya menampung korban
[anak] di rumahnya, dan dia bertanya
- apa yang bisa saya lakukan ketika
tidak ada rumah penampungan korban?
pertanyaan lainnya datang dari seorang
polwan dari bali yang memperingatkan
peserta dan mengingatkan mereka:
masyarakat miskin akan sangat
melindungi tersangka pedopil – baik
orang asing maupun pribumi yang
menghabiskan uang mereka untuk
menyediakan kebutuhan sekolah,
rumah dan pakaian mereka. Dia
menyebutkan sebuah kasus dimana
Polisi Bali harus pergi ke masyarakat
untuk mencari informasi tersangka
pedopil, dan gagal mendapatkan
informasi dari mereka karena mereka
sangat melindungi tersangka tersebut.
PESERTA LAINNYA BERTANYA:
Bagaimana seorang anak mendapatkan
perlindungan dan keadilan yang cukup,
ketika tidak ada saksi atas kejahatan
tersebut dan tidak ada satu pun yang
benar-benar tahu yang sebenarnya terjadi,
apakah pelaku atau korban?
Kita juga diingatkan detail ketika
mewawancarai anak. Istilah “dia
23. every detail matters. The “He Said,
She Said” fallacy was pointed out as a
case where the only witnesses are the
complainant and the suspect. The logic
behind this fallacy - and it is a fallacy
applied by law enforcement officers in
child abuse cases - is that one of the
witnesses is always lying, and since it
could be either the complainant or the
suspect, both are presumed unreliable
witnesses. Mentions were made for
the need of a forensic interview which
involves a short recording between
the interviewer and the child, and
questions asked are non-leading.
Aspects such as body language of the
child during the interview are to be
noted. Also, special care needs to be
taken to analyze what a child does not say.
In terms of restitution and compensation
for the child victim, examples were cited
in the case of Thailand, for instance,
before the year 2003 - focus was more
on punishing the abuser rather than on
providing restitution and compensation
for the victim of a crime. However, after
2003, the country’s Criminal Procedure
Code was amended to allow victims
to file a motion to the court trying the
criminal case, forcing the accuser to pay
the restitution to the victim. Obstacles
however remain in terms of the execution
of the judgment in court and the
confiscating the assets of the offenders so
that payment can be made. In Indonesia,
meanwhile, even as there are regulations
that allow for payment of restitution, the
technical aspect in terms of implementing
the execution of payment for child victims
is not available.
Konferensi Regional : Perlindungan Hukum untuk anak korban eksploitasi seksual di Asia tenggara
23
berkata,” sebuah kekeliruan yang telah
dikemukakan bahwa kasus dimana hanya
saksi, pengadu dan tersangka. Logika
dibalik kekeliruan ini – dan kekeliruan ini
diterapkan oleh penegak hukum dalam
kasus kekerasan anak – adalah salah
satu saksi yang selalu berbohong, dan
bisa jadi pengadu dan tersangka, kedua-duanya
merupakan saksi yang tidak bisa
diandalkan. Pernyataan telah dibuat
untuk kebutuhan wawancara forensik
yang melibatkan rekaman pendek antara
pewawancara dan anak, dan pertanyaan
bukan hal utama. Aspek seperti bahasa
tubuh si anak selama wawancara harus
dicatat. Juga, treatment khusus harus
diambil untuk menganalisis apa yang
tidak dikatakan oleh anak.
Dalam hal restetusi dan kompensasi
untuk korban [anak], contohnya telah
dikemukakan hari ini pada kasus di
Thailand, misalnya, sebelum tahun 2003
– fokus lebih kepada menghukum pelaku
pelecehan daripada menyediakan
restetusi dan komensasi terhadap
korban kejahatan. Bagaimanapun,
setelah tahun 2003, KUHP negara telah
diubah untuk mengijinkan korban untuk
mengajukan mosi kepada pengadilan,
memaksa pelaku untuk membayar ganti
rugi restetusi kepada korban. Hakim di
Pengadilan menyita asset tersangka,
sehingga pembayaran dapat dilakukan.
Di Indonesia, meskipun ada regulasi
yang mengijinkan pembayaran restetusi,
tekhnik pembayarannya tidak tersedia.
Laporan Konferensi ini merupakan
versi ringkas dari diskusi yang telah
diselenggarakan. Konferensi ini
dimulai dan berakhir dengan sebuah
24. This conference report will provide
a summarized version of discussions
held. The conference began with and
ended on an underlying note that
served as a reminder throughout the
discussions: there are many reasons
why a majority of sexual abuses go
undetected and unreported. Among
them are a deeply embedded culture
of silence that lasts for years; not
understanding the legal procedures
that need to be taken to report a case
and see it brought to court; children
experiencing deep embarrassment of
not being taken seriously by parents;
and above all, fear of a child’s safety.
Regional Conference on Legal Protection for Child Victims of Sexual Exploitation in Southeast Asia
24
Bali, 23-24 October 2013
catatan yang berfungsi sebagai
pengingat: ada banyak alasan mengapa
sebagian besar pelanggaran seksual
tidak terdeteksi dan tidak dilaporkan.
Diantaranya adalah budaya diam
telah tertanam dan berlangsung
selama bertahun-tahun; kurang
memahami prosedur hukum yang perlu
diambil untuk melaporkan kasus dan
membawanya ke pengadilan; anak-anak
merasa sangat malu datang ke
pengadilan, dan hal itu tidak dianggap
serius oleh orang tua; dan di atas itu
semua, takut akan keselamatan anak.
Bali, 23-24 Oktober 2013
25. Konferensi Regional : Perlindungan Hukum untuk anak korban eksploitasi seksual di Asia tenggara
25
26. Regional Conference on Legal Protection for Child Victims of Sexual Exploitation in Southeast Asia
26
27. Konferensi Regional : Perlindungan Hukum untuk anak korban eksploitasi seksual di Asia tenggara
27
PENGETAHUAN PENTING
TENTANG anak korban
KEJAHATAN SEKSUAL YANG
HARUS DIKETAHUI OLEH
PENEGAK HUKUM
Presentasi dari:
Chiam Heng Keng, Junita Upadhyay
dan Heru Kasidi
Chiam Heng Keng,
Perwakilan Malaysia untuk ACWC
Apa yang dimaksud kejahatan seksual
terhadap anak ? Kebanyakan penegak
hukum mengasosiasikan kejahatan
seksual sebagai pemerkosaan dan
penganiayaan. Lebih banyak lagi
sebenarnya, namun anak korban
pelecehan seksual semakin merajalela,
terutama melalui teknologi informasi
dan komunikasi, online, komunikasi
telepon, dan berbagai kegiatan
eksploitatif lainnya – dari yang tanpa
kekerasan; merusak psikologis secara
mendalam, dan tindakan kasar yang
berakibat kerusakan fisik dan psikis
korban. Contoh terkini adalah 27 pria
dikenakan biaya untuk berhubungan
sex dengan seorang gadis berusia
17 tahun yang menawarkan dirinya
di intenet. Selain itu, seorang pria
tua melakukan sex dengan anak 13
tahun, yang dimulai dengan sms. Dan
kemudian dia melangkah ke kejahatan
perdagangan orang yang terorganisir.
Penegak hukum bagaimanapun harus
mengetahui makna kejahatan seksual.
Kenapa? Meraka adalah orang pertama
yang menerima laporan kejahatan
THE IMPORTANT
KNOWLEDGE ABOUT CHILD
VICTIMS OF SEXUAL CRIME
THAT LAW ENFORCERS
SHOULD KNOW
Presentations By:
Chiam Heng Keng, Junita Upadhyay
and Heru Kasidi
Chiam Heng Keng,
Malaysia’s Representative to ACWC
What constitutes as sexual crimes
against children? Most law enforcers
associate sexual crimes to principally
rape and molestation. More and more
however, child sexual molestation
is becoming rampant, particularly
through ICTs, online and phone-based
communication, and encompasses a
broad range of exploitative activities
– from the non-abusive which imposes
profound psychological damage to a
child, to abusive acts that contribute
to both physical and psychological
damage to the victim. One recent
example is of 27 men being charged
for having sex with a 17-year-old girl
who offered herself on the internet.
Another is of an older man conducting
sex with a 13-year-old, an act
preceded by exchanges of messages
through mobile phone texting. And
then it goes on to steps taken toward
organized crime - trafficking.
Law enforcers therefore must know
what constitutes as sexual crimes.
Why? They are the first ones who
receive reports of sexual crimes, and
28. they carry out the investigations of
those crimes. To protect children
effectively, law enforcers need to
comprehend the psychological and
physical impact on child victims of
sexual abuse. Such abuse includes
non-violent acts like fondling, or
children being paid a certain sum to
undress themselves. The extent of
physical or psychological damage can
depend on the duration of the abuse
[long or short period of time].
A majority of sexual abuse cases
involving child victims go undetected.
Firstly, there is a culture of silence
due to deep shame on the part of the
victim. Secondly, because of how these
acts are carried out by perpetrators –
including binding the child to secrecy,
sometimes under threat - it is very
difficult to find out how many children
have been abused. Also, perpetrators
offer child victims gifts. They build a
rapport with the victim first, before
engaging in sexual relations. This is
referred to as grooming. It could also
involve supplying the child with drugs
or alcohol before the abuse begins.
Another common form of sexual crime
is the transaction of indecent images
of children through webcams or social
networking sites. Then, there is online
chatting between an adult and a child
which leads to sex chats on the net, and
then meeting up for sexual purposes.
The child could also be tricked into
producing indecent images of himself
or herself. Through this method, the
perpetrator can sexual exploit a large
number of victims.
Regional Conference on Legal Protection for Child Victims of Sexual Exploitation in Southeast Asia
28
seksual dan mereka yang melakukan
penyelidikan atas kejahatan tersebut.
Untuk menjaga anak secara efektif,
penegak hukum perlu untuk memahami
dampak psikologis dan fisik anak
korban pelecehan seksual. Pelecehan
tersebut termasuk tindakan tanpa
kekerasan seperti belaian, atau anak-anak
dibayar untuk menanggalkan
pakaiannya sendiri. Tingkat kerusakan
fisik dan psikologis anak dapat
bergantung kepada waktu pelecehan
tersebut [lama atau sebentar].
Sebagian besar kasus pelecehan
seksual melibatkan korban yang tak
terdeteksi. Pertama, adanya budaya
diam karena korban merasa sangat
malu. Kedua, karena perlakuan si
pelaku seperti mengikat anak untuk
diam, kadang-kadang memberi
ancaman – sangat sulit untuk
mengetahui berapa banyak anak-anak
yang mengalami pelecehan. Dan juga,
pelaku menawarkan anak hadiah.
Mereka membangun hubungan dengan
korban terlebih dahulu sebelum
terlibat dalam hubungan seksual. Hal
ini disebut perawatan (grooming)
. Bisa juga memasok obat-obatan atau
alkohol ke anak sebelum pelecehan
dimulai.
Bentuk umum lain dari kejahatan
seksual adalah transaksi gambar
vulgar anak-anak melaui webcam atau
situs jejaring sosial. Lalu chatting
yang mengarah kepada obrolan seks di
internet antar orang dewasa dan anak
yang mengarah kepada obrolan seks
di internet, dan kemudian bertemu
untuk tujuan seksual. Anak juga
29. Due to the profound effects of this
abuse, social integration and the well-being
of the child victim is severely
compromised. The victim may suffer
from headaches, sleeplessness,
anxiety, stomachaches, low self-esteem,
rage and repressed anger.
They could suffer from an inability
to form relationships all their lives
if their psychological health goes
untreated. On one end, some could
isolate themselves. On the other, they
could exhibit promiscuous behavior
and are sexually advanced.
Sexual abuse can also lead to psychosis
in the victims. Manifestations of these
physical and psychological problems
can include self-mutilation, extreme
promiscuity, overeating, loss of
appetite and suicidal attempts.
Law enforcers can either protect
child victims from suffering further
physical and psychological hardships,
or cause greater harm physically and
psychologically as child victims seek
for protection and justice.
Konferensi Regional : Perlindungan Hukum untuk anak korban eksploitasi seksual di Asia tenggara
29
bisa tertipu dan membuat gambar
vulgarnya sendiri. Melalui metode
ini, pelaku dapat mengeksploitasi
lebih banyak korban.
Karena efek yang mendalam dari
pelecehan ini, integrasi sosial dan
kesejahteraan korban terancam. Korban
mungkin menderita sakit kepala, susah
tidur, cemas, sakit perut, rendah diri,
marah, menekan kemarahan. Mereka
mungkin menderita ketidakmampuan
membangun hubungan selama hidupnya
jika kesehatan psikologisnya tidak
teratasi. Pada akhirnya, mungkin
mereka akan mengisolasi diri sendiri,
atau mereka bisa menunjukan prilaku
pergaulan bebas.
Pelecehan seksual juga dapat memicu
penyakit jiwa. Perwujudan dari masalah
fisik dan psikologis ini juga termasuk
melukai diri sendiri, pergaulan yang
ekstrim, makan berlebihan, kehilangan
nafsu makan dan upaya bunuh diri.
Para penegak hukum dapat melindungi
korban dari penderitaan psikis dan fisik,
atau menyebabkan kerugian fisik dan
30. Protection of the privacy of child
victims is of utmost importance.
Measures must be taken from exposing
to the public the identity of the victims
to protect them from being ridiculed,
shamed, ostracized, labelled by
classmates, friends, neighbors or the
general public.
Where medical examinations are
needed, care should be exercised for
it to be minimally intrusive. Medical
examinations that are capable of
offending the child’s modesty should
be carried out only when absolutely
necessary. The child should have the
right to choose the gender of the
medical staff. The child has the right for
a parent, guardian or a trusted adult to
be present at the medical examination.
Law enforcers should identify and
convey to child victims or their legal
representatives at the first encounter
relevant information pertaining to
available assistance and access to
justice. The information is to be given
in a child-friendly manner, adapted to
the age and the capacity of the child
victim.****
Regional Conference on Legal Protection for Child Victims of Sexual Exploitation in Southeast Asia
30
psikis yang lebih besar sebagai korban
[anak] yang mencari perlindungan dan
keadilan.
Perlindungan privasi korban [anak] sangat
penting.Tidak boleh mengekspos identitas
korban ke publik untuk melindungi mereka
dari ejekan, dipermalukan, dikucilkan,
atau diberi label oleh temannya, tetangga
atau masyarakat umum.
Dimana pemeriksaan medis diperlukan,
perawatan harus dilakukan untuk
meminimalisir gangguan. Pemeriksaan
medis bisa menyinggung harga diri anak,
sehingga seharusnya dilakukan hanya
bila benar-benar perlu. Anak memiliki
hak untuk memilih jenis kelamin petugas
kesehatan. Anak memiliki hak untuk orang
tua, wali atau orang yang dipercaya untuk
hadir pada saat pemeriksaan.
Ketika pertemuan pertama, Penegak
hukum harus mengidentifikasi dan
menyampaikan kepada korban [anak] atau
kuasa hukumnya mengenai bantuan yang
tersedia dan akses terhadap keadilan itu
sendiri. Informasi ini diberikan dengan
cara yang ramah, disesuaikan dengan usia
dan kapasitas korban [anak]. ****
31. Konferensi Regional : Perlindungan Hukum untuk anak korban eksploitasi seksual di Asia tenggara
31
Junita Upadhyay,
ECPAT International Deputy Director
for Programs
Why is it important to protect victims of
CSEC? It is firstly the duty of the state to
protect who it fails to protect. This duty is
in accordance with international, regional
and national legislative instruments
- Trafficking Protocol, Convention on
the Rights of the Child and Optional
Protocol. Also, the ASEAN Declaration
against Trafficking in Persons Particularly
Women and Children, and the numerous
Memorandum of Understandings (MOU)
between countries in the region. The
more victims are protected by the state,
the more they will collaborate with the
state during the prosecution stage, and
ideally, the more convictions will be
issued.
So who should know more about this
issue? All the law enforcers: the police,
public prosecutors, judges and lawyers.
Those also in the know should include
psychologists and the social welfare
workers involved.
NON-CRIMINALISATION:
Child victims are often arrested,
detained, charged and sometimes
prosecuted for unlawful activities
related to trafficking such as illegal
entry into the country and engaging in
prostitution. Child victims should not be
criminalised as a result of being subjected
to CSEC crimes. Criminalisation of
trafficking victims is also prohibited by
the Trafficking Principles and Guidelines
Junita Upadhyay,
Direktur Deputi Program ECPAT
International
Kenapa melindungi korban ESKA itu sangat
penting? Pertama, karena memang sudah
menjadi tugas negara untuk melindungi
siapa saja warga negaranya. Kewajiban
ini sesuai dengan instrument legislatif
internasional, regional dan nasional –
Protokol Perdagangan, Konvensi Hak
Anak dan Protokol Opsional. Juga,
Deklarasi ASEAN Anti Perdagangan Orang
Khususnya Perempuan dan Anak, dan
berbagai Memorandum of Understanding
(MOU) antara negara-negara di wilayah
tersebut. Semakin banyak korban
dilindungi oleh negara, semakin mereka
akan berkerjasama dengan negara pada
tahap penuntutan, dan idealnya, semakin
banyak kepercayaan akan tercipta.
JADI SIAPA YANG HARUSNYA LEBIH
MENGETAHUI TENTANG MASALAH INI?
Semua penegak hukum: polisi, jaksa
penuntut, hakim, pengacara, termasuk
psikolog dan pekerja sosial yang terlibat.
NON-KRIMINALISASI:
korban anak sering ditangkap, ditahan,
dituntut dan kadang-kadang dituntut
untuk kegiatan yang melanggar hukum
terkait dengan perdagangan seperti masuk
secara ilegal ke negara itu dan terlibat
dalam prostitusi. Korban anak tidak boleh
dikriminalisasi karena menjadi sasaran
kejahatan ESKA. Kriminalisasi korban
trafficking juga dilarang oleh Prinsip
32. 2002 (Guideline 5), the 2005 European
Trafficking Protocol (Article 26), and by
the 2011 European Trafficking Directive
(Article 8). It is imperative that when
children report commercial sexual
exploitation and trafficking to police,
they are protected from prosecution
themselves.
VICTIM IDENTIFICATION:
Prompt victim identification is a primary
method of avoiding criminalization.
Furthermore, identification of the
victims protects his/her rights. The
UNODC, in its “On Line Toolkit to Combat
Trafficking in Person” developed
strategy for the identification of the
victims. UNODC underlined the actions
that all states, intergovernmental
and non-governmental organizations
should follow, including to produce
guidelines and procedures for state
authority and officials to permit for
a rapid and accurate identification.
The police and social workers
should be trained on and be able to
identify the so called “indicators” of
different potential crimes related to
child sexual abuse - from trafficking
to prostitution, child sexual abuse
material, neglect, or sexual violence.
MEDICAL TREATMENT:
Immediate medical assistance should
include, at a minimum, health screening
aimed at identifying the possible necessary
care to be subsequently pursued. It is
important to know which kind of traumas
Regional Conference on Legal Protection for Child Victims of Sexual Exploitation in Southeast Asia
32
dan Pedoman traffiking 2002 (Pedoman
5), Protokol Perdagangan Manusia Eropa
2005 (Pasal 26), dan pada 2011 Intruksi
Perdagangan Orang Eropa (Pasal 8).
Selain itu, juga sangat penting bahwa
ketika anak-anak melaporkan eksploitasi
seksual komersial dan perdagangan ke
polisi, mereka dilindungi dari penuntutan
itu sendiri.
IDENTIFIKASI KORBAN:
Identifikasi korban dengan cepat adalah
metode utama untuk menghindari
kriminalisasi. Selain itu, identifikasi
para korban juga untuk melindungi
haknya. UNODC, dalam “Peralatan
online untuk Memberantas Perdagangan
Orang” mengembangkan strategi yang
untuk identifikasi korban. UNODC
menggarisbawahi tindakan semua negara,
pemerintah maupun organisasi non-pemerintah
harus terlibat, termasuk
untuk menghasilkan pedoman dan
prosedur otoritas negara dan pejabat yang
memungkinkan untuk identifikasi cepat dan
akurat. Para polisi dan pekerja sosial harus
dilatih agar mampu mengidentifikasi apa
yang disebut sebagai “indikator” kejahatan
potensial terkait dengan pelecehan seksual
anak - dari perdagangan, prostitusi,
pelecehan seksual anak, kelalaian, atau
kekerasan seksual.
PERAWATAN MEDIS:
bantuan medis yang cepat harus mencakup,
minimal, pemeriksaan kesehatan yang
bertujuan untuk mengidentifikasi
perawatan yang diperlukan. Penting untuk
33. the victim may have suffered to be ready
to assist the child with appropriate
support. Particular attention should be
paid to the nature of the crime under
consideration: as a sexual crimes’ victim,
the child should undergo specific analysis
intended to exclude sexually transmitted
diseases (STD). Furthermore, preliminary
psychological support should begin.
SAFE ACCOMMODATION:
The location selected to accommodate a
child victim who comes forward must be a
secure place, where the victim is protected
from the accused persons and other
potential traumatic dangers. Recovery
programs should start as soon as possible.
CHILD-FRIENDLY INTERVIEWS, DATA
COLLECTION AND PSYCHOLOGICAL
ASSISTANCE:
In a criminal law context, there is
a need for child friendly procedures
for taking evidence from CSEC
victims - from when they report the
crime, to when evidence is given
Konferensi Regional : Perlindungan Hukum untuk anak korban eksploitasi seksual di Asia tenggara
33
mengetahui jenis trauma korban, sehingga
bisa langsung ditangani dengan perawatan
yang tepat. Kasus-kasus tertentu
membutuhkan perhatian khusus seperti:
sebagai korban kejahatan seksual, anak
harus menjalani analisis spesifik untuk
mengidentifikasi penyakit menular seksual
(PMS). Selain itu, dukungan psikologis
harus dimulai dari awal.
PENAMPUNGAN YANG AMAN:
Lokasi yang dipilih untuk menampung anak
korban kejahatan seksual harus menjadi
tempat yang aman, di mana korban
dilindungi dari terdakwa dan potensi bahaya
traumatis lainnya. Program pemulihan
harus dimulai sesegera mungkin.
TEKNIK WAWANCARA RAMAH
ANAK, PENDATAAN DAN BANTUAN
PSIKOLOGIS:
Dalam konteks hukum pidana, ada
kebutuhan untuk prosedur yang ramah
anak dalam mengambil bukti dari korban
ESKA – semenjak mereka melaporkan
kejahatan, hingga ketika bukti-
34. in court. Interrogations during the
investigation phase must follow
specific rules for the protection of
the child victims (eg. female police
officers, psychologist assisting
the interrogation, no repeated
questioning of the victim, use of
child-friendly rooms and techniques
of interrogation). The video recording
of the interrogation might be helpful
for future use in court, in order to
prevent the child from having to re-testify
Regional Conference on Legal Protection for Child Victims of Sexual Exploitation in Southeast Asia
34
in person during trial.
PROTECTED PARTICIPATION:
Child sensitive procedures must be set
during the trial phase, in particular
during the hearing. The child’s particular
vulnerability, associated with the
potential risk of intimidation, impose
the adoption of all possible measures
to limit psychological damages (also
related to the sight of the accused
person). Material and legal techniques
can range from the equipment of the
interview room specifically designed
for children, to the use of closed-circuit
television or video conference
during the testimony and the use of
witness pre-trial statement instead of
court testimony.
LEGAL ASSISTANCE:
To ensure that child victims are
informed, their views heard and taken
into account, and their best interests
respected in the legal process, legal
assistance should be provided. The legal
guardian has several responsibilities
including appointing a lawyer, acting as
bukti sudah diberikan ke pengadilan.
Interogasi selama tahap penyelidikan
juga harus mengikuti aturan khusus
untuk perlindungan korban [anak]
(misalnya polisi wanita, psikolog yang
membantu interogasi, pertanyaan
tidak diulang-ulang, penggunaan ruang
ramah anak dan teknik interogasi).
Rekaman video interograsi mungkin
bisa membantu untuk digunakan di
pengadilan nantinya, untuk mencegah
anak dari keharusan bersaksi lagi
selama persidangan.
PARTISIPASI YANG DILINDUNGI:
Prosedur sensitif Anak harus diatur
selama fase uji coba, khususnya
selama sidang. Kerentanan anak,
dikaitkan dengan risiko potensi
intimidasi, memaksakan penerapan
semua tindakan yang mungkin untuk
membatasi kerusakan psikologis (juga
terkait dengan tatapan terdakwa).
Bahan dan teknik hukum dapat berkisar
dari peralatan di ruang wawancara yang
khusus dirancang untuk anak-anak,
penggunaan televisi tertutup atau
video conference selama kesaksian
dan penggunaan penyataan saksi pra-sidang
bukan kesaksian pengadilan.
BANTUAN HUKUM:
harus dipastikan bahwa korban [anak]
mendapatkan informasi, pendapat
mereka didengar dan diperhitungkan,
dan kepentingan terbaik mereka
dihormati dalam proses hukum, dan
harus diberikannya bantuan hukum.
35. a legal representative in all proceedings,
assisting the child during the hearing/
interview, explaining the judicial
decisions to the child and ensuring the
child fully understands all processes. ***
Konferensi Regional : Perlindungan Hukum untuk anak korban eksploitasi seksual di Asia tenggara
35
Heru Kasidi,
Representative from the Indonesian
Ministry of Women Empowerment and
Child Protection
The potential for violence against
children exists at every phase. In
the poorest families it stems from
the hardships of life and social
environmental conditions that
allow for violence against children.
Children who grow up in depraved
families and are accustomed to
experiencing violence may behave
the same way in their adulthood.
They may turn to become very
aggressive adults.
Meanwhile in better-off families,
abuse takes the form of maltreatment
by providing children with excessive
material possession and depriving
them of personal, healthy guidance.
Various surveys and media analysis
showed that violence against
children have been increasing, both
in quality and quantity. Poor social
and economic environment also
leave children vulnerable to all sorts
of violence, bullying, rape and other
forms of abuse.
Involvement of children in prostitution
is no longer a myth but a fact. They
are not only trafficked for purposes
Wali hukum memiliki beberapa tanggung
jawab termasuk menunjuk pengacara,
bertindak sebagai kuasa hukum dalam
semua proses, membantu anak selama
sidang / wawancara, menjelaskan
keputusan pengadilan kepada anak dan
memastikan bahwa anak sepenuhnya
memahami semua proses. ***
Heru Kasidi,
Perwakilan dari Kementrian
Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak
Potensi kekerasan terhadap anak ada
pada setiap tahap. Pada keluarga
termiskin yang berasal dari sulitnya
hidup dan kondisi lingkungan sosial
yang memungkinkan terjadinya
kekerasan terhadap anak. Anak-anak
yang tumbuh dalam keluarga bejat
dan terbiasa mengalami kekerasan
dapat berperilaku dengan cara yang
sama di masa dewasa mereka. Mereka
bisa berubah menjadi orang dewasa
yang sangat agresif.
Sementara di keluarga yang lebih
baik, bentuk penganiayaannya
adalah dengan cara memfasilitasi
anak-anak secara berlebihan serta
menghilangkan privasi dan bimbingan
kesehatan. Berbagai survei dan
analisis media menunjukkan bahwa
kekerasan terhadap anak-anak telah
meningkat, baik secara kualitas
maupun kuantitas. Lingkungan
sosial dan ekonomi yang buruk
juga menjadikan anak-anak rentan
terhadap berbagai macam kekerasan
36. of prostitution but also as objects of
pornography, for purposes of begging
on the streets, domestic workers and
other exploitative occupations.
Various violent behaviors against
children and teens are a result of the
process of imitating behaviors of elders,
peers, external and internal influences.
The problem is immaturity, and an
inability to separate the good and the
bad from the various information that
they receive. A critical point from
this imitating phase in children is the
lack of a strong figure in their family
and community for the adoption of
noble, moral and ethical values. The
more dominant information that most
children receive and watch is those that
feature violence, direct or indirect, via
media presentation and video games.
Various studies indicate that information
that contains elements of violence can
lead to more aggressive minds, emotions
and behaviors in children. Living in a
harsh and aggressive condition from a
young age can cultivate the perception
that violence is a form of problem
solving.
The increase of violence against
children and women is an indicator
of poor public mental health and
psychological factors influenced by
economic, social, political and cultural
conditions. Children suffer various
multidimensional crises causing a lot
of stress and anxiety.
Poverty and ignorance are the bane of a
society. This is compounded by cultural
norms and tradition, where children
Regional Conference on Legal Protection for Child Victims of Sexual Exploitation in Southeast Asia
36
seperti bullying, pemerkosaan, dan
bentuk pelecehan lainnya.
Keterlibatan anak-anak dalam
prostitusi bukan lagi sebuah mitos
tapi kenyataan. Mereka tidak
hanya diperdagangkan untuk tujuan
prostitusi tetapi juga sebagai objek
pornografi, mengemis dijalanan,
pembantu rumah tangga, dan
pekerjaan eksploitatif lainnya.
Berbagai perilaku kekerasan terhadap
anak-anak dan remaja adalah
hasil dari proses meniru perilaku
orang tua, teman sebaya, pengaruh
eksternal dan pengaruh internal.
Masalahnya adalah ketidakdewasaan,
dan ketidakmampuan mereka untuk
memisahkan yang baik dan yang
buruk dari berbagai informasi yang
mereka terima. Sebuah titik kritis
dari tahap meniru ini pada anak-anak
adalah kurangnya sosok kuat dalam
keluarga dan komunitas mereka
untuk mengadopsi nilai-nilai luhur,
moral dan etika. Informasi yang
dominan adalah kebanyakan anak-anak
menerima dan menonton orang-orang
yang melakukan kekerasan
secara langsung, melalui media
ataupun video game.
Berbagai penelitian menunjukkan
bahwa informasi yang mengandung
unsur kekerasan dapat menyebabkan
pikiran lebih agresif, emosi dan
perilaku pada anak-anak. Hidup
dalam kondisi yang keras dan agresif
dari usia muda dapat menumbuhkan
presepsi bahwa kekerasan adalah
suatu bentuk pemecahan masalah.
37. are considered as the property of their
parents where parents have the right to do
anything, even conduct violence towards
their children. Meanwhile, there is the
lack of proper parenting and an education
system that tends to limit a child’s
freedom to express creatively in a healthy
environment, which has contributed to
the creation of an unsafe, uncomfortable
environment for a child’s growth and
development.
Therefore, it is often that the child will
run away from home and tends to be
easily influenced and vulnerable. We have
also lost a lot of playgrounds and public
space used for sport gatherings for teens
and children where they can channel their
happiness on the field. We have forgotten
to channel children’s participation in
various decision-making processes through
public spaces.
According to a public census in 2010, 34.6
per cent of the Indonesian population is
comprised of children. The national survey
data in 2009 showed that 28 per cent of
children live in the poorest families, 23
per cent in second poorest income bracket
households, and just 13 per cent lived in
the society’s richest families.
More than half of Indonesian children
are living in a violence-prone condition.
A mapping done by the Ministry of
Women Empowerment and Children
Protection in 2010 also showed an
astonishing fact: in several locations
across Indonesia like Tasikmalaya,
Pare-Pare and North Sumatra, children
considered victims of abuse ran in the
hundreds in every region.
Konferensi Regional : Perlindungan Hukum untuk anak korban eksploitasi seksual di Asia tenggara
37
Peningkatan kekerasan terhadap
anak dan perempuan merupakan
indicator bahwa kesehatan mental
dan psikologis masyarakat yang
buruk ini dipengaruhi oleh kondisi
ekonomi, sosial, politik dan budaya.
Anak-anak menderita berbagai krisis
multidimensi yang menyebabkan
stres dan kecemasan.
Kemiskinan dan kebodohan adalah
kutukan dari masyarakat. Hal ini
diperparah oleh norma-norma budaya
dan tradisi, dimana anak-anak dianggap
sebagai milik orang tua di mana orang
tua memiliki hak untuk melakukan
apa pun, bahkan melakukan kekerasan
terhadap anak-anaknya sendiri.
Sementara itu, kurangnya pengasuhan
yang tepat dan sistem pendidikan
yang cenderung membatasi kebebasan
anak untuk mengekspresikan diri
secara kreatif dalam lingkungan yang
sehat, telah memberikan kontribusi
terhadap penciptaan rasa tidak aman
dan lingkungan yang tidak nyaman bagi
pertumbuhan dan perkembangan anak.
Oleh karena itu, anak sering lari
dari rumah dan cenderung mudah
dipengaruhi dan rentan. Kami juga
telah banyak kehilangan taman
bermain dan ruang publik yang biasa
digunakan untuk ruang pertemuan
atau olahraga untuk remaja dan
anak-anak di mana mereka dapat
menyalurkan kebahagiaan mereka
di lapangan. Kita lupa untuk
menyalurkan partisipasi anak
dalam berbagai proses pengambilan
keputusan melalui ruang publik.
38. Also, according a 2009 research in
North Sulawesi, more than 50 children
were found to be victims of sexual
exploitation and were forced to
work across entertainment venues
in the provincial capital of Manado.
Separately, a 2010 survey conducted
across 5 subdistricts in Timor Barat,
East Nusa Tenggara, also found that
parents were the main perpetrators in
abuse towards children: 65 per cent of
physical abuse was conducted by the
mothers and 13 per cent by the fathers.
Specifically for child abuse cases
in East Nusa Tenggara, the primary
perpetrators are the mothers. We
need to think about how to approach
mothers with our information, and also
the fathers of course, on violence.
There is no specific national data
on violence against children. But we
tried to initiate one in 2006 via the
national economic social survey, and
at the time we had found a three to
six per cent prevalence.
For this year, Indonesia has recently
completed data collection from a wide-ranging
survey on violence against children
covering 25 provinces and involving 11,000
samples. So hopefully this can eventually
present a representative number regarding
violence against children in Indonesia.
According to the Directorate General for
Corrections at the Indonesian Justice
Ministry, in 2011, records show that
there were 54,712 child offenders in
Indonesia, and most of them already
received sentences. The provinces of
Jambi, Banten and West Papua have the
Regional Conference on Legal Protection for Child Victims of Sexual Exploitation in Southeast Asia
38
Menurut sensus publik pada tahun
2010, 34,6 % penduduk Indonesia
terdiri dari anak-anak. Data survei
nasional pada tahun 2009 menunjukan
bahwa 28 % anak-anak hidup dalam
keluarga termiskin, 23% hidup
keluarga golongan kedua termiskin,
dan hanya 13% hidup di keluarga kaya.
Lebih dari separuh anak-anak
Indonesia hidup dalam kondisi rawan
kekerasan. Pemetaan yang dilakukan
oleh Kementerian Pemberdayaan
Perempuan dan Perlindungan Anak
pada tahun 2010 juga menunjukkan
fakta mencengangkan: di beberapa
lokasi di seluruh Indonesia seperti
Tasikmalaya, Pare-Pare dan Sumatera
Utara, anak-anak yang dianggap
korban pelecehan ada ratusan di
setiap daerah.
Dan juga, menurut penelitian 2009 di
Sulawesi Utara, lebih dari 50 anak-anak
yang ditemukan menjadi korban
eksploitasi seksual dan dipaksa untuk
bekerja di tempat hiburan di ibukota
provinsi Manado. Secara terpisah,
sebuah survei 2010 yang dilakukan
di 5 kecamatan di Timor Barat, Nusa
Tenggara Timur, juga menemukan
bahwa orang tua adalah pelaku utama
dalam pelecehan terhadap anak-anak:
65 % kekerasan fisik dilakukan
oleh ibu-ibu dan 13 % oleh ayah.
Khusus untuk kasus-kasus kekerasan
terhadap anak di Nusa Tenggara
Timur, pelaku utamanya adalah ibu.
Kita perlu berpikir tentang bagaimana
cara mendekati ibu, dan juga ayah
pastinya, mengenai kekerasan.
39. most child offenders. Five Indonesian
provinces - South Sulawesi, South
Kalimantan, Central Kalimantan, Central
Sulawesi and Southeast Sulawesi - have
the most juveniles prone to violence,
ranging from 200 to 300 children for
each province.
To increase children’s participation in
decision-making processes, we plan to
create a medium-term development
plan for the 2015-2019 period, which
shall include the creation of a forum
to include children in decision-making.
Children’s participation can provide
additional value, like their decision-making
abilities for traffic regulations
and the creation of public space, for
example. We have done a review of
many existing regulations. They have
not included other sectors that should be
able to contribute to the development
of children’s rights. Therefore for the
2015-2019 period we are going to start
to include the fulfillment of children’s
rights in development programs in every
sector.****
Konferensi Regional : Perlindungan Hukum untuk anak korban eksploitasi seksual di Asia tenggara
39
Tidak ada data nasional khusus
tentang kekerasan terhadap anak.
Tapi kami mencoba untuk memulainya
pada tahun 2006 melalui survei sosial
ekonomi nasional, dan pada saat itu
kami telah menemukan tiga sampai
enam persen prevalensi.
Untuk tahun ini, Indonesia baru saja
menyelesaikan pengumpulan data dari
survei skala besar tentang kekerasan
terhadap anak meliputi 25 provinsi
dan melibatkan 11.000 sampel. Jadi
semoga pada akhirnya nanti, survey
ini dapat menyajikan sejumlah angka
yang mewakili kekerasan terhadap
anak di Indonesia
Menurut Direktorat Jenderal
Pemasyarakatan Kementerian Kehakiman
Indonesia, pada tahun 2011, catatan
menunjukkan bahwa ada 54.712 pelanggar
[anak] di Indonesia, dan sebagian besar
sudah menerima hukuman. Provinsi
Jambi, Banten dan Papua Barat memiliki
paling banyak pelanggar [anak]. Lima
propinsi di indonesia – Sulawesi Selatan,
Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah,
Sulawesi Tengah, dan Sulawesi Tenggara-memiliki
paling banyak remaja yang
rentan terhadap kekerasan, mulai
dari 200 sampai 300 anak untuk setiap
provinsi.
Untuk meningkatkan partisipasi anak
dalam proses pengambilan keputusan,
kami berencana untuk membuat
rencana pembangunan jangka
menengah untuk periode 2015-2019,
yang meliputi penciptaan forum
untuk memasukkan anak-anak dalam
pengambilan keputusan. Partisipasi
40. Regional Conference on Legal Protection for Child Victims of Sexual Exploitation in Southeast Asia
40
anak dapat memberikan nilai tambah,
seperti pengambilan keputusan dalam
peraturan lalu lintas dan penciptaan
ruang publik, misalnya. Kami telah
melakukan review banyak peraturan
yang ada. Belum termasuk sektor-sektor
lain, yang harus mampu
memberikan kontribusi terhadap
perkembangan hak-hak anak. Oleh
karena itu untuk periode 2015-2019
kami akan mulai untuk memasukkan
pemenuhan hak-hak anak dalam
program pembangunan di setiap
sektor.****
41. Konferensi Regional : Perlindungan Hukum untuk anak korban eksploitasi seksual di Asia tenggara
41
INTERNATIONAL LEGAL
STANDARDS IN THE
PROTECTION OF CHILD
VICTIMS OF SEXUAL CRIME
Presentations By:
Anjan Bose, Seila Samleang, Tim
Dwyer, and Ali Aulia Ramly
Anjan Bose,
Program Officer, ICT and Child
Protection, ECPAT International
On protecting child victims of sexual
crimes and laws that are linked to child
sexual abuse materials, what is required
is a clear definition of child pornography
in the legislation. There also needs to
be the criminalization of all acts related
to child pornography. Legal protection
should address compensation, recovery
and reintegration as outlined in key
International instruments. The Optional
Protocol on Sale of Children, Child
Prostitution and Child Pornography, or
OPSC, delivers specific considerations
to this effect, and to the obligation of
a country on providing rehabilitation
for victims of sexual crimes against
children.
In terms of definition, Article
2 of the OPSC states the
following:
“Any representation, by whatever
means, of a child engaged in real or
simulated explicit sexual activities
or any representation of the sexual
STANDAR INTERNASIONAL
TENTANG PERLINDUNGAN
HUKUM BAGI ANAK KORBAN
KEJAHATAN SEKSUAL
Presentasi dari:
Anjan Bose, SeilaSamleang, Timothy
Dwyer, dan Ali Aulia Ramly
Anjan Bose,
Program Officer, ICT dan Perlindungan
anak, ECPAT International
Untuk melindungi anak-anak korban
kejahatan dan pelecehan seksual secara
hukum, apa yang dibutuhkan? sebuah
definisi yang jelas tentang pornografi
anak dalam undang-undang. Perlu juga
kriminalisasi semua tindakan yang
berhubungan dengan pornografi anak.
Perlindungan hukum harus membahas
kompensasi, pemulihan dan reintegrasi
sebagaimana yang dituangkan dalam
instrumen internasional utama. Optional
Protocol on Sale of Children, Child
Prostitution and Child Pornography atau
OPSC, memberikan pertimbangan khusus,
dan kewajiban negara untuk memberikan
rehabilitasi bagi korban kejahatan seksual
terhadap anak-anak.
DALAM HAL DEFINISI, PASAL 2 OPSC
MENYATAKAN:
“Setiap gambaran, dengan cara apapun
seorang anak terlibat kegiatan seksual
yang nyata atau simulasi atau gambaran
dari bagian-bagian seksual seorang
anak terutama untuk tujuan seksual “.
42. parts of a child for primarily sexual
purposes”. When it comes to Southeast
Asian nations, for instance, Cambodia’s
definition of child pornography is only
partially compliant with the OPSC.
Article 40 of the Cambodian Law on
Suppression of Human Trafficking
and Sexual Exploitation states the
following: “A visible material such as
a photograph or videotape, including
material in electronic form, depicting
a minor’s naked figure which excites
or stimulates sexual desire.” In the
Philippines, the definition is fully
compliant with the OPSC. Law No.
44 in Indonesia includes a definition.
However, both Thailand and Vietnam
do not define child pornography
specifically in their legislation.
A child-safe definition should include
visual, audio and written representations
of children. This is the case when it
comes to Indonesia, Philippines and
Thailand, but not so for Cambodia
and Vietnam [does not include audio
and written representations of child
pornography]. When it comes to child
pornography, the OPSC requires state
parties to cover under their criminal
or penal law, all acts of producing,
distributing, disseminating, importing
or exporting, offering, selling and
possession.
Standard legislation is key to
addressing the problem but simply
ratifying international instruments
is not enough. It has to be reflected
in the implementation and the
national plans. Many countries still
use obscenity and morality clauses
Regional Conference on Legal Protection for Child Victims of Sexual Exploitation in Southeast Asia
42
Ketika datang ke negara-negara Asia
Tenggara, misalnya, definisi Kamboja
tentang pornografi anak tidak begitu
sesuai dengan OPSC tersebut. Pasal 40
UU Kamboja mengenai Pemberantasan
Perdagangan Manusia dan Eksploitasi
Seksual menyatakan: “Sebuah benda
yang terlihat seperti foto atau
rekaman video, termasuk dalam
bentuk elektronik, menggambarkan
sosok telanjang di bawah umur yang
menggairahkan atau merangsang
hasrat seksual” di Filipina, definisi ini
sepenuhnya kompatibel dengan OPSC.
Undang-undang Nomor 44 di Indonesia
menyebutkan definisi tersebut,
namun Thailand dan Vietnam tidak
mendefinisikan pornografi anak secara
khusus dalam undang-undang mereka.
Definisi yang aman bagi anak harus
mencakup visual, audio dan gambaran
tertulis dari anak. Hal ini terjadi ketika
datang ke Indonesia, Filipina dan
Thailand, tapi tidak demikian Kamboja
dan Vietnam [tidak termasuk representasi
audio dan representasi tertulis pornografi
anak]. Ketika terkait ke pornografi
anak, OPSC membutuhkan negara
untuk melindungi hukum pidana, semua
tindakan memproduksi, mendistribusikan,
menyebarkan, mengimpor atau
mengekspor, menawarkan, menjual dan
kepemilikan.
Undang-undang standar adalah kunci
untuk mengatasi masalah tetapi hanya
meratifikasi instrumen internasional
saja tidak cukup. Tetapi harus
tercermin dalam pelaksanaan dan
rencana nasional. Banyak negara masih
menggunakan klausul pencabulan dan
43. to tackle the issue of child abuse
and does not provide the necessary
framework for tackling the problem.
The definition of child abuse images
do not exist in many legislations
and as such makes sentencing
difficult. There still exists different
interpretations of sexual activities/
images according to the cultural
context. Some issues of child abuse
images are not well understood by
legislators. Compensation schemes
and child friendly processes are not
mainstreamed across all countries.
EXAMPLES OF PROCEDURAL CRIMINAL
LAWS IN THE PROTECTION OF CHILD
ABUSE VICTIMS:
Key considerations include the
admissibility of electronic evidence
and the need to identify relevant law
enforcement authorities. In Singapore,
for instance, admissibility of all
evidence, electronic or otherwise, is
governed by the Evidence Act. Recent
amendments were made to the Evidence
Act in 2012 relating to admissibility: the
definition of “computer output” was
deleted; the definition of “document”
was amended to include multimedia
[audio, video] and magnetic media;
the definitions of “copy of document”
and “electronic records” were
introduced and electronic evidence
will be treated like all other forms of
evidence. Statutory presumptions of
authenticity of such electronic records
were introduced.
Konferensi Regional : Perlindungan Hukum untuk anak korban eksploitasi seksual di Asia tenggara
43
moralitas untuk menangani masalah
kekerasan terhadap anak dan tidak
memberikan kerangka yang diperlukan
untuk mengatasi masalah tersebut.
Definisi gambar pelecehan anak tidak
ada di banyak peraturan perundang-undangan.
Masih ada interpretasi yang
berbeda dari kegiatan seksual / gambar
dengan konteks budaya. Beberapa
masalah pelecehan anak dalam bentuk
gambar tidak dipahami oleh legislator.
Skema kopensasi dan proses ramah
anak juga tidak diutamakan di banyak
negara.
CONTOH HUKUM PROSEDURAL PIDANA
DALAM PERLINDUNGAN KORBAN
[ANAK] PELECEHAN SEKSUAL:
pertimbangan utama meliputi
diterimanya bukti elektronik dan
pengidentifikasian penegak hukum
yang relevan. Di Singapura, misalnya,
penerimaan semua bukti elektronik
atau yang lainnya diatur oleh Undang-
Undang Bukti. Oleh karena itu, UU
Bukti pada tahun 2012 diamandemen:
definisi “output komputer” telah
dihapus; definisi “dokumen”
diubah dengan memasukan konten
multimedia [audio, video] dan
media magnetik; definisi “salinan
Dokumen” dan “catatan elektronik”
diperkenalkan, dan bukti elektronik
akan diperlakukan seperti semua
bentuk bukti lainnya. Praduga
keaslian catatan elektronik juga
diperkenalkan.
44. SINGAPORE - AUTHENTICITY OF
ELECTRONIC RECORDS:
The ordinary process presumption -
unless evidence sufficient to raise
doubt about the presumption is
adduced, where a device or process
is one that, or is of a kind that, if
properly used, ordinarily produces or
accurately communicates an electronic
record, the court shall presume that
in producing or communicating that
electronic record on the occasion
in question, the device or process
produced or accurately communicated
the electronic record.
Take the example of a man who seeks
to adduce evidence in the form of
an electronic record or document
produced by an electronic device or
process. Such evidence could include
but is not limited to telephone call
records or digital photographs. He
proves that the electronic device/
process, if properly used, can produce
electronic records or documents.
This is a relevant fact for the court
to presume that in producing the
electronic record or document on the
occasion in question, the electronic
device or process produced the
electronic record or document which
the seeks to adduce.
The Third Party presumption - unless
evidence to the contrary is adduced, the
court shall presume that any electronic
record generated, recorded or stored
is authentic if it is established that
the electronic record was generated,
recorded or stored in the usual and
Regional Conference on Legal Protection for Child Victims of Sexual Exploitation in Southeast Asia
44
SINGAPURA - KEASLIAN DOKUMEN
ELEKTRONIK:
Proses asumsi biasa - kecuali bukti yang
cukup untuk meningkatkan keraguan
tentang anggapan yang dikemukakan,
di mana perangkat atau proses adalah
salah satu yang, atau dari jenis yang,
jika dipergunakan dengan benar
biasanya menghasilkan data yang akurat,
pengadilan harus memperimbangkannya,
ketika seseorang berkomunikasi melalui
perangkat elektronik, catatan elektronik
pun dihasilkan.
Ambil contoh seorang pria yang
berusaha untuk mengemukakan bukti-bukti
dalam bentuk catatan elektronik
atau dokumen yang dihasilkan oleh
perangkat elektronik. Bukti tersebut
bisa mencakup semuannya tidak
hanya pada catatan panggilan telepon
atau foto digital. Dia membuktikan
bahwa perangkat / proses elektronik,
jika digunakan dengan benar, dapat
menghasilkan catatan elektronik
atau dokumen. Ini adalah fakta
yang relevan bagi pengadilan
untuk memperimbangkan bahwa
memproduksi catatan elektronik atau
dokumen, perangkat elektronik /
proses menghasilkan catatan elektronik
atau dokumen untuk mengungkapkan
kebenaran sebagai bukti yang akurat.
Pedapat Pihak Ketiga – Ketika bukti
telah dikemukakan, pengadilan
harus memastikan keaslian catatan
elektronik tersebut. Oleh karena
itu, diperlukan orang ketiga yang
tidak terlibat dalam kasus ini untuk
membuktikannya. Orang tersebut
45. ordinary course of business by a person
who was not a party to the proceedings
on the occasion in question and who
did not generate, record or store it
under the control of the party seeking
to introduce the electronic record.
Take the example of Mr. X seeking
to adduce evidence against Ms. Y in
the form of an electronic record. The
fact that the electronic record was
generated, recorded or stored in the
usual and ordinary course of business
by Ms. Z, a neutral third party, is a
relevant fact for the court to presume
that the electronic record is authentic.
SINGAPORE - ADMISSION OF TEXT
MESSAGES:
If a mobile phone was seized and is in
working condition, switching the phone on
and showing the text message to the judge
is acceptable. However, if the defense
team alleges tampering or fabrication,
the prosecution will be prejudiced by
the phone’s memory not having been
preserved intact since the seizure. The
forensically and evidentially correct
procedure would be to forensically create
an image of the mobile phone’s memory
and for the text message to be extracted
from the forensic image. If a deleted
text message is being relied upon, proper
forensic examination, accompanied by a
forensic report, would be required.
Konferensi Regional : Perlindungan Hukum untuk anak korban eksploitasi seksual di Asia tenggara
45
yang mempunyai program untuk
meneliti memastikan bahwa setiap
catatan elektronik yang dihasilkan,
direkam atau disimpan tersebut
otentik.
Ambil contoh Mr X berusaha untuk
mengemukakan bukti terhadap Ms
Y dalam bentuk catatan elektronik.
Fakta bahwa catatan elektronik yang
dihasilkan, direkam atau disimpan
dalam program Ibu Z, pihak ketiga
yang netral, adalah fakta yang
relevan bagi pengadilan untuk
berasumsi bahwa catatan elektronik
itu otentik.
SINGAPURA - PENERIMAAN PESAN TEKS:
Jika ponsel disita dan dalam kondisi
kerja, menyalakan telepon dan
menampilkan pesan teks kepada
hakim dapat diterima. Namun, jika
tim pembela keberatan dan menuduh
itu sebuah gangguan, penuntutan
akan dirugikan oleh memori telepon
yang tidak dilindungi kelengkapannya
selama disita. Prosedur forensik
dan pembuktiannya akan membuat
gambar memori ponsel dan pesan
teks akan diekstraksi secara forensik.
Jika menghapus pesan teks menjadi
andalan, pemeriksaan forensik yang
tepat, disertai dengan laporan
forensik, akan diperlukan.
46. BASICS ABOUT THE EXTRACTION
AND PRESERVATION OF ELECTRONIC
EVIDENCE:
Ensure forensic best practices are
complied with. Forensically reliable
copies or mirrors to ensure originals
are not affected by any subsequent
forensic examination of the evidence.
Any investigation and/or searches of the
digital records should only be done on
the copies and not the originals. Originals
must be available for disclosure to the
defense team should they wish to carry
out their own forensic examination of the
digital evidence.
EXAMPLE OF THE PHILIPPINES’S
CYBERCRIME PREVENTION ACT OF
2012 - REPUBLIC ACT NO. 10175:
Service providers are required to
cooperate and assist law enforcement
authorities in the collection or recording
of traffic data in real-time associated
with specified communications
transmitted by means of a computer
system. All other data to be collected
or seized or disclosed will require a
court warrant. Integrity of traffic data
and subscriber information - preserved
for a minimum period of six months
from the date of the transaction.
Content data shall be similarly
preserved for six months from the
date of receipt of the order from law
enforcement authorities requiring
its preservation. Law enforcement
authorities may order a one-time
extension for another six months -
provided that once computer data
Regional Conference on Legal Protection for Child Victims of Sexual Exploitation in Southeast Asia
46
DASAR-DASAR TENTANG EKSTRAKSI
DAN PEMELIHARAAN BUKTI
ELEKTRONIK:
Pastikan langkah langkah forensik
yang benar dipenuhi. Salinan forensik
diandalkan untuk memastikan keaslian,
tidak terpengaruh oleh pemeriksaan
bukti forensik berikutnya. Penyelidikan
dan / atau pencarian catatan digital
hanya boleh dilakukan pada salinan
dan bukan aslinya. Originalitas harus
tersedia untuk keterbukaan informasi
kepada tim pembela, yang mana mereka
ingin melakukan pemeriksaan forensik
bukti digital mereka sendiri.
CONTOH, UNDANG-UNDANG
PENCEGAHAN CYBERCRIME DI FILIPINA
TAHUN 2012 - UNDANG-UNDANG
REPUBLIK NOMOR 10175:
Penyedia layanan yang diperlukan
untuk bekerja sama dan membantu
aparat penegak hukum dalam
pengumpulan atau perekaman data
lalu lintas secara real-time yang
terkait dengan komunikasi ditentukan
melalui sistem komputer. Semua data
lain yang dikumpulkan atau disita
akan membutuhkan surat perintah
pengadilan. Integritas lalu lintas data
dan informasi pelanggan - dilindungi
untuk jangka waktu minimal enam
bulan dari tanggal transaksi.
Data Konten harus dilindungi juga selama
enam bulan sejak tanggal diterimanya
perintah dari aparat penegak hukum.
Penegak hukum dapat memerintahkan
perpanjangan satu kali selama enam
bulan - dengan ketentuan bahwa data
47. preserved, transmitted or stored by
a service provider is used as evidence
in a case, the mere furnishing to such
service provider of the transmittal
document to the Office of the Prosecutor
shall be deemed a notification to
preserve the computer data until the
termination of the case. The service
provider ordered to preserve computer
data shall keep confidential the order
and its compliance.
All computer data, including content
and traffic data, examined under a
proper warrant shall, within forty-eight
hours after the expiration of the
period fixed therein, be deposited with
the court in a sealed package, and shall
be accompanied by an affidavit of the
law enforcement authority executing
it stating the dates and times covered
by the examination, and the law
enforcement authority who may access
the deposit, among other relevant
data.
The law enforcement authority shall
also certify that no duplicates or
copies of the whole or any part thereof
have been made, or if made, that all
such duplicates or copies are included
in the package deposited with the
court. The package so deposited shall
not be opened, or the recordings
replayed, or used in evidence, or
then contents revealed, except upon
order of the court, which shall not
be granted except upon motion, with
due notice and opportunity to be
heard to the person or persons whose
conversation or communications have
been recorded.****
Konferensi Regional : Perlindungan Hukum untuk anak korban eksploitasi seksual di Asia tenggara
47
komputer yang digunakan sebagai
bukti sebuah kasus pernah diawetkan,
ditransmisikan atau disimpan oleh
penyedia layanan, seperti mengirimkan
dokumen ke Kantor Kejaksaan akan
dianggap sebagai pemberitahuan untuk
memelihara data komputer sampai
penghentian kasus tersebut. Penyedia
layanan diperintahkan untuk menjaga
kerahasiaan dan mempertahankan data
komputer.
Semua data komputer, termasuk
konten dan lalu lintas data, diperiksa
di bawah surat perintah, dalam waktu
empat puluh delapan jam setelah
berakhirnya waktu yang ditetapkan,
akan disimpan di pengadilan secara
tertutup, dan harus disertai dengan
surat pernyataan dari otoritas penegak
hukum disertai tanggal dan waktu
selama pelaksanaan pemeriksaan, dan
kewenangan penegak hukum untuk
mengakses deposit, antara data-data
yang relevan.
Otoritas penegakan hukum juga harus
memastikan bahwa tidak ada duplikat
atau salinan semua atau sebagian
dari data tersebut, atau jika dibuat,
semua duplikat atau salinan tersebut
termasuk dalam paket yang disimpan
pengadilan. Paket yang disimpan tidak
akan dibuka, diputar, atau digunakan
sebagai bukti, atau kemudian isinya
diungkapkan kecuali atas perintah
pengadilan, yang mana tidak akan
diberikan kecuali pada mosi, dengan
pemberitahuan dan kesempatan
untuk mendengarkan percakapan atau
komunikasi yang telah direkam. ****