Dokumen tersebut membahas tentang etika dalam pengorganisasian masyarakat dari perspektif keadilan sosial dan hak asasi manusia. Dokumen tersebut menjelaskan pentingnya memiliki kode etik bagi seorang community organizer dan menganalisis pendekatan pengorganisasian masyarakat di lokalisasi yang dinilai tidak memperhatikan kelompok yang tertindas. Dokumen tersebut juga membahas dua filsafat etika yaitu utilitarianisme dan de
1. Briefing Paper
Pebruari 2012
# Community Organizer
MEWUJUDKAN COMMUNITY ORGANIZER
BERPERSPEKTIF KEADILAN SOSIAL DAN HAK ASASI MANUSIA
1. Pengantar
Beberapa penggiat kerja‐kerja masyarakat menganggap kegiatan mereka adalah
sebuah profesi. Walaupun sampai sekarang belum ada kesepakatan untuk
menyatakan para fasilitator pemberdayaan masyarakat merupakan sebuah
profesi.
Seandainya fasilitator pemberdayaan masyarakat (Community Organizer) sebuah
profesi, seperti layaknya profesi‐profesi lainnya (dokter, guru, jurnalis, advokat,
dll) mestinya punya kode etik.
Kode etik merupakan standard perilaku untuk setiap anggota profesi tersebut dan
sekaligus menjadi pedoman (guidelines). Masyarakat pun dapat menjadikannya
sebagai rujukan untuk mengawasi dan mencegah terjadinya ’bias interaksi’ antara
anggota profesi. Bias interaksi merupakan bentuk monopoli terhadap suatu
profesi yaitu memanfaatkan kekuasan dan hak‐hak istimewa yang melindungi
kepentingan pribadi atau kelompok yang bertentangan dengan masyarakat.
Kode Etik Dapat diartikan pola aturan, tata cara, tanda, pedoman etis dalam
melakukan suatu kegiatan atau pekerjaan. Kode etik merupakan pola aturan atau
tata cara sebagai pedoman berperilaku.
Dalam kaitannya dengan profesi, bahwa kode etik merupakan tata cara atau
aturan yang menjadi standard kegiatan anggota suatu profesi. Suatu kode etik
menggambarkan nilai‐nilai professional suatu profesi yang diterjemahkan kedalam
standard perilaku anggotanya. Nilai professional paling utama adalah keinginan
untuk memberikan pengabdian kepada masyarakat.
Apa ukuran seorang Community Organizer dianggap sukses memberdayakan
masyarakat. Apakah cukup dengan sebuah klaim pribadi ?
2. 2. Sebuah Refleksi …………..
Dalam pertemuan yang membicarakan tentang Pencegahan HIV melalui Transmisi
Seksual (PMTS), seorang narasumber menyampaikan materi tentang
pengorganisasian di lokalisasi. Salah satu slide yang ditampilkan menggambarkan
tahapan pengorganisasian yang dilakukan (seperti gambar berikut) :
(COPY &PASTE dari sumber anonim, bahan presentasi tentang penggorganisasian masyarakat di
lokalisasi)
Tahapan pengorganisasian yang disajikan ’relatif’ sama dengan model‐model
pengorganisasian yang banyak diusung. Namun, yang sedikit menganggu ketika
disampaikan salah satu hasil kerja dari pengorganisasian ini adalah ”Adanya
Kesepakatan Lokal.”
Kesepakatan tersebut jelas memberikan kewenangan yang besar kepada pengurus
pokja dalam hal ini antara lain pemilik wisma/barak, mami/germo untuk ’memaksa’
pekerja seks untuk mengggunakan kondom dalam setiap transaksi yang mereka
lakukan dan bersedia untuk mengikuti penapisan IMS (untuk memastikan kondom
digunakan). Kesepakatan ini semakin tidak adil, ketika setiap pelanggaran yang
terjadi menjadi tanggungjawab perempuan pekerja seks.
Dalam penyajian ini sang narasumber menyampaikan ’salah satu’ justifikasi
penggunaan pendekatan ini sebagai bagian dari pemberdayaan komunitas untuk
memastikan keberlanjutan program KIE, distribusi kondom dan rujukan layanan
IMS/VCT. (sebagian orang menyebutkan exist strategi pasca program penjangkauan
oleh Petugas Lapangan berakhir). Peran PL dialihkan ke pokja lokasi.
Pemilihan sasaran pemberdayaan adalah pemilik wisma/barak, mami/germo,
preman, dsb menjadi kontradiktif dengan perspektif keadilan sosial dan HAM.
Page 2 of 8
3. Kelompok ini jelas orang‐orang yang mengekploitasi perempuan pekerja seks,
namun dalam pendekatan ini diberi kekuasaan yang lebih besar untuk
mengeksploitasi. Kelompok ini mendapat kewenangan yang lebih luas, yang tadinya
sebatas mengekploitasi ’vagina’ perempuan diperluas dalam mengekploitasi
’pendapatan’ perempuan pekerja seks untuk membeli kondom dan memeriksakan
diri ke layanan IMS dan VCT.
Sebuah bahan REFLEKSI untuk semua orang yang mengklaim dirinya sebagai
Community Organizer.
Apakah pengorganisasian masyarakat yang mengabaikan kelompok tertindas bisa
disebut sebuah pengorganisasian masyarakat ?
3. Landasan Filosofis Etika
Baik versus jahat, cahaya versus kegelapan, malaikat versus iblis, adalah persoalan
yang ada sejak dulu. Kekuatan kegelapan berusaha menghancurkan kekuatan
kebaikan dalam banyak kisah termuat literature klasik sampai kultur pop.
Persoalan ini juga menimpa bidang pemberdayaan masyarakat. Kadang‐kadang
sebagian fasilitator masyarakat (atau sering disebut Community Organizer)
mengalami masa‐masa dimana mereka menganggap pekerjaan mereka tidak etis.
Oleh karena terkesan ’memanfaatkan’ keluguan masyarakat. Beberapa kritik yang
disampaikan kepada fasilitator masyarakat adalah pemberdayaan masyarakat pada
dasarnya bertujuan untuk ’menjinakkan komunitas, tokenisme atau partisipasi semu
untuk melanggengkan kekuasaan.
Ife & Tesoriero (2006) mengingatkan bahwa gagasan pemberdayaan
(empowerment) adalah suatu strategi untuk mewujudkan keadilan sosial dan hak
asasi manusia. Pemberdayaan bertujuan meningkatkan keberdayaan dari mereka
yang dirugikan. Konsep pemberdayaan ini menekankan pada dua hal penting
keberdayaan dan yang dirugikan yang merupakan bagian yang tidak bisa lepas dari
perspektif keadilan sosial dan hak asasi manusia.
Oleh sebab itu, para fasilitator masyarakat atau Community Organizer harus
mempraktikan komitmen kepada tanggungjawab sosial dan etika.
Filsafat moral adalah studi tentang tindakan apa yang dianggap benar atau secara
moral dapat dipertahankan dan tindakan apa yang keliru atau tidak pantas secara
moral. Para filsuf moral meneliti persoalan etika dengan melihat pada prinsip dasar
moral dan justifikasi mengapa prinsip itu dianggap etis. Prinsip moral ini adalah
pedoman yang memandu perilaku. Ketika filsuf menemukan moral umum atau
diterima secara universal, maka keputusan etis akan menjadi lebih mudah bagi
semua. Misalnya “jangan membunuh” adalah prinsip moral yang diterima secara
umum berdasarkan prinsip‐prinsip kemanusiaan.
Para filsuf menggunakan berbagai metode untuk menentukan apa‐apa yagn
merupakan prinsip moral itu, tetapi kebanyakan proses pembuatan keputusan
berdasarkan rasional, logis dan analitis. Ada dua pendekatan dalam filsafat moral
Page 3 of 8
4. yang biasa dipakai dalam pembuatan keputusan etis : Utilitarianisme dan
Daentologi.
4. Filsafat Utilitarian
Utilitarianisme menitikberatkan utilitas – atau hasil yang diharapkan – dari sebuah
keputusan untuk memastikan apa yang “benar” untuk dilakukan. Utilitarianisme
didasarkan pada konsekuensi atau hasil yang diperkirakan dari sebuah keputusan.
Konsekuensi dari sebuah keputusana dipakai untuk mengukur kelayakan moral
suatu tindakan, sehingga prinsip etikanya didefenisikan berdasarkan konsekuensi
atau hasil yang diharapkan.
Utilitarianisme berpendapat bahwa tindakan etis harus menimbulkan kebaikan
maksimal untuk jumlah orang yang banyak. Filsafat ini diperkenalkan oleh Jeremy
Bentham dan diperbaiki muridnya John Stuart Mill, dengan prinsip :
”Sebuah keputusan harus memberikan manfaat yang sebesar‐besarnya (maksimal)
untuk sebanyak‐banyaknya orang dan menekan konsekuensi negatif sekecil‐
kecilnya (minimal) bagi orang lain. ”
Untuk menentukan moralitas suatu tindakan dari perspektif utilitarian, Community
Organizer harus mempertimbangkan semua alternative keputusan yang tersedia
dengan mempertimbangkan mana yang menghasilkan kebaikan terbesar untuk
orang dalam jumlah sebanyak‐banyaknya. Dengan kata lain, Community Organizer
harus memilih alternative yang memaksimalkan hasil positif dan meminimalkan hasil
negatif yang merugikan bagi orang lain.
Utilitarianisme bisa dikatakan merupakan pendekatan paling lazim untuk pembuatan
etika dalam dunia bisnis. Kelemahan prinsip Utilitarianisme (entah itu sengaja atau
tanpa disadari) adalah digunakan untuk menjustifikasi atau memperkuat status quo,
dimana mayoritas merasa senang dengan keputusan yang dibuat tetapi bagi
minoritas tidak menguntungkan. Keputusan yang mengutamakan mayoritas akan
membuat Community Organizer sulit beradaptasi dengan dengan perubahan yang
akan terjadi di tingkat grass root.
5. Filsafat Deontologi
Etika deontologi difokuskan pada prinsip moral, bukan didasarkan pada moralitas
keputusan yang diperkirakan akan dihasilkan. Pendekatan ini menyatakan bahwa
etika seharusnya dipandu kewajiban ketimbang konsekuensi. Deontologi
dikembangkan oleh filsuf Jerman, Immanuel Kant sebagai upaya untuk mencari
prinsip dasar moral yang universal. Deontologi dapat dikatakan merupakan
pendekatan paling luas dalam etika dan didefenisikan sebagai “teori etika yang
menekankan tugas atau kewajiban sebagai basis moralitas.” Dalam deontologis, sifat
etis dari sebuah tindakan tidak bergantung kepada hasilnya karena memprediksikan
hasil adalah di luar kemampuan atau kendali manusia.
Deontologi ditunjukkan dalam pernyataan “Do the right thing?.” Bagaimana kita tahu
apa yang benar dalam situasi yang kompleks ? Daentologi berpendapat bahwa tugas
atau kewajiban moral kita menunjukkan arah tindakan yang benar. Bagaimana kita
menentukan di mana tugas itu berada – dan mana yang benar secara etis – telah
Page 4 of 8
5. dijelaskan melalui test keputusan yang dalam Deontologi dikenal sebagai categorical
imperative. Dikatakan bahwa “bertindaklah sesuai dengan prinsip yang sesuai
dengan hukum universal”
Dua aspek categorical imperative adalah niat (intention) seseorang dan
mempertahankan dan rasa hormat kepada orang lain. Niat mengacu pada kehendak
dasar di balik pembuatan suatu keputusan. Menurut filsafat ini, motivasi
mementingkan diri sendiri atau melakukan yang terbaik hanya untuk pembuatan
keputusan adalah tidak bermoral.
Deontologi menyatakan bahwa :
“niat baik” adalah satu‐satunya pedoman pembuatan keputusan bermoral yang
sesungguhnya, karena semua motivasi lain dapat diselewengkan.
Penerapan pendekatan Deontologi dalam situasi etis berarti keputusan dibuat
berdasarkan apa yang benar dan apa yang salah, bukan siapa yang paling banyak
mendapat keuntungan. Pernyataan ini mendeskripsikan kejujuran keadilan dan
universalitas dari Deontologi. Pendekatan ini mengizinkan Community Organizer
untuk mempertimbangkan perspektif dari berbagai stakeholder dan berupaya
memahami nilai dan prinsip moral yang mereka anut.
Secara ringkas penerapan perspektif filsafat moral utilitarianisme dan daentologi
dalam pembuatan keputusan etis seperti tergambar dalam bagan berikut :
Page 5 of 8
7. Seorang revolusioner adalah seorang yang sekian tahun silam menjadi juru selamat
dan dipuji setinggi langit, namun di penghujung hayatnya menjadi ’pesakitan’ yang
kelak akan dibunuh atau diasingkan.
Sama dengan para revolusioner, Community Organizer juga akan mengalami nasib
yang sama, jika mencoba bertahan untuk menguasai komunitas yang mereka
’dampingi’.
Jika Community Organizer datang ke komunitas dengan CINTA, pada akhirnya
mereka harus mengakhirinya dengan CINTA, butuh keberanian untuk berjuang
dalam mencapai pembebasan.
Pembebasan masyarakat untuk mencapai manusia seutuhnya.
6. Penutup
Community Organizer yang memiliki multi peran dalam mewujudkan keadilan sosial
dan hak asasi manusia melalui pemberdayaan masyarakat, mestinya memiliki pola
aturan, tata cara, tanda, pedoman etis dalam melakukan suatu kegiatan atau
pekerjaan yang lebih di kenal dengan KODE ETIK.
Kode etik akan menjadi standard bagi setiap Community Organizer dalam melakukan
kegiatan atau pekerjaan dan sekaligus pedoman (guidelines) masyarakat dan
stakeholder dalam mengawasi dan mencegah terjadinya penyalahgunaan kekuasaan
untuk kepentingan pribadi atau pun kelompok.
Beberapa point penting yang mestinya menjadi pola aturan bagi Community
Organizer adalah :
1. Perilaku Community Organizer dalam memfasilitasi masyarakat harus sesuai
dengan prinsip hukum universal, terutama perspektif keadilan sosial dan hak
asasi manusia.”
‘Niat baik’ Community Organizer dalam bertugas menjadi satu‐satunya
pedoman pembuatan keputusan bermoral yang sesungguhnya
2. Community Organizer harus mampu memfasilitasi proses pengambilan
keputusan yang memaksimalkan hasil positif bagi orang banyak dan
meminimalkan hasil negatif yang dapat merugikan bagi orang lain.
3. Community Organizer memiliki keberanian untuk ‘membebaskan’ masyarakat
yang mereka berdayakan.
Klaim atas kelompok masyarakat ataupun kegiatan yang dilakukan kelompok
masyarakat sebagai keberhasilan atau milik Community Organizer merupakan
pengkhianatan terhadap cita‐cita ‘pendidikan dan penyadaran kritis.’ Perilaku
seperti ini menunjukkan Community Organizer telah berubah menjadi
PENINDAS.
4. Community Organizer memperlakukan setiap orang ataupun kelompok
dengan rasa hormat dan menjunjung martabat seseorang.
Page 7 of 8
8. 5. Community Organizer mampu berdialog dengan semua orang ataupun
kelompok dengan mempertimbangkan perspektif dari berbagai stakeholder
dan berupaya memahami nilai dan prinsip moral yang mereka anut.
Pergi dan temuilah masyarakatmu.
Hidup dan tinggallah bersama mereka.
Cintai dan berkaryalah bersama mereka.
Mulailah dari apa yang telah mereka miliki dan dari apa yang ada.
Buat rencana lalu bangunlah rencana itu, dari apa yang mereka ketahui,
Sampai akhirnya, ketika pekerjaan usai, mereka akan berkata :
“KAMILAH YANG TELAH MENGERJAKANNYA….”
~Lao Tze~
Page 8 of 8